Pendahuluan
Dalam merumuskan pengertian hokum diplomatic belum terdapat suatu kesatuan
pendapat di anatara pendapat para sarjana hokum internasional, para penulis hanya
memberikan batasan dan arti “diplomacy” itu sendiri walaupun di antara mereka belum ada
keseragaman. Mengenai pemakaian perkataan “diplomacy” itu secara berbeda-beda menurut
penggunaanya sebagai berikut:
1. Ada yang menyamakan kata itu dengan “politik luar negri”, misalnya jika dikatakan
“diplomasi Republik Indonesia di Afrika perlu ditingkatkan”.
2. Diplomasi dapat pula di artikan sebagai perundingan seperti sering dinyatakan bahwa
“masalah Timur Tengah hanya dapat diselesaikan melalui diplomasi”. Pernyataan
diplomasi disini merupakan satu-satunya mekanisme, yaitu perundingan.
3. Dapat pula diplomasi diartikan sebagai “dinas luar negri” seperti dalam ungkapan
“selama ini bekerja untuk diplomasi”
4. Ada juga yang menggunakan kiasan dalam “ia pandai berdiplomasi” yang artinya
bersilat lidah.
5. Yang menarik lagi adalah istilah yang dikemukakan Perdana Menteri Kanada, Pierre
Elliott truedau, yakni “megaphone diplomacy”(diplomasi pengeras suara) istilah
tersebut berarti diplomasi saling meneriakan sikap keras, tuduh-menuduh, ancam-
mengancam dan saling menantang. Hal tersebut mencerminkan tidak adanya
salingpercaya. Dengan demikian, trudeau pun menyatakan diplomasi jenis itu perlu
direndahkan, diganti dengan dialogue of confidence, dialog yang berdasarkan system
saling percaya.
6. “diplomasi perjuangan”. Istilah tersebut dicetuskan dan merupakan isi pokok pidato
Presiden Suharto dalam rapat kerja kepala-kepala perwakilan republic Indonesia pada
bulan maret 1977.
Sementara itu Sir Ernest Satow, memberikan batasan diplomasi sebagai berikut.
“........ Diplomacy comprise any means which states establish or maintain mutual
relations, communicate which each other, or carry out opolitical or legal transactions, in
each case through their authorization agents”.
Dari Batasan dan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa ada beberapa faktor
penting.
Dengan demikian, pada hakikatnya hokum diplomatic merupakan ketentuan atau prinsip-
prinsip hokum Internasional yang mengatur hubungan diplomatic antar Negara yang
dilakukan atas dasar permufakatan bersama dan ketentuan.
Semenjak perang dunia I dan perang Dunia II. Beberapa masalah dan factor turut menentukan
mengapa peranan diplomasi merosot, terutama dalam rangka pelaksanaan politik luar negri
pada masing-masing Negara itu, ada lima factor yang turut menyebabkan kemerosotan
diplomasi.
1. Perkembangan serta kemajuan yang dicapai dalam kemajuan yang dicapai dalam
system dan perkembangan telekomunikasi menyebabkan peranan dan fungsi
diplomasi menjadi tergeser berat karena pejabat diplomat itu tidak perlu menjalankan
fungsinya secara langsung berkat adanya system komunikasi modern.
2. Depresiasi dalam diplomasi disebabkan oleh falsafah dasar tentang diplomasi serta
perdamaian sebagai bagian dari usaha politik luar negri pada masing-masing Negara
itu tidak didasari oleh landasan konkret.
3. Diplomasi yang dilaksanakan melalui prosedur parlementer dengan dibentuknya liga
Bangsa-Bangsa sebagai organisasi internasional yang melaksanakan pekerjaanya dan
keputusan-keputusannya atas dasar persetujuan bersama dapat dipandang sebagai
pengganti tugas diplomasi.
4. Timbulnya Negara-negara superpower (adikuasa), seperti Amerika Serikat dan Uni
Soviet. Setelah Roosevelt wafat yang selama duabelas tahun menangani sendiri
politik luar negriAmerika, tidak ada yang dapat menciptakan dan mengoperasikan
masineri yang halus itu, dengan mana diplomasi tradisional telah memberikan
proteksi dan kemajuan terhadap kepentingan-kepentingan nasional. Sedangkan
diplomasi Uni Soviet mirip dengan suatu seri perintah militer yang dikeluarkan dari
komando tertinggi.
5. Namun sebaliknya, dengan adanya situasi dimana dua Negara adikuasa itu saling
berhadapan dan merupakan dua kekuaatan yang paling dahsyat saat ini,maka jelas
bahwa peranan dan fungsi diplomasi bagi Negara lain berkurangkarena dimonopoli
oleh kedua Negara besar yang justru membentuk dua blok pula. Masalah diplomasi
akan terus menjadi pertanyaan beasar, bilamana masalah perdamaian tidak dapat
dijawab oleh seluruh Negara-negara yang ada di dunia ini. Masalah-masalah persuasi
dan kompromi mungkin tidak lagi menjadi suatu hal yang aneh.
Sejarah telah membuktikan bahwa jauh sebelum bangsa-bangsa di dunia mengenal dan
menjalankan praktek hubungan diplomatic dengan perwakilan diplomatic secara tetap seperti
yang ada sekarang, pada zaman India Kuno telah dikenal ketentuan-ketentuan atau Kaidah-
kaidah yang mengatur hubungan antar Raja ataupun kerajaan, dimana hokum bangsa-bangsa
pada waktu itu telah mengenal istilah “Duta”.
Setelah perserikatan bangsa-bangsa dibuat pada tahun 1945, dua tahun kemudian
dibentuk komisi hokum Internasional, selama tigapuluh tahun (1949-1979), komisi tersebut
telah menangani dupuluh tujuh topic dan sub topic hokum Internasional. Tujuh diantaranya
adalah menyangkut hokum diplomatic sebagai berikut.
Indonesia dapat menerima isi seluruh konvensi mengenai misi khusu tersebut, kecuali
protocol opsional mengenai penyelesaian sengketa secara wajib. Konvensi mengenai misi
khusus yang dimaksudkan untuk melengkapi konvensi wina 1961 mengenai hubungan
diplomatic dan Konvensi Wina 1963 mengenai hubungan konsuler akan dapat membantu
meningkatkan hubungan persahabatan antara bangsa dunia yang prinsipnya tanpa
membedakan ideology, system politik atau sistemsosialnya.
“bagi mahkamah Internasional yang tugasnya memberikan keputusan sesuai dengan hokum
Internasional, terhadap perselisihan-perselisihan yang diajukan kepadanya akan berlaku :
1. Perjanjian internasional, baik yang bersifat umum maupun khusus yang dengan tegas
menyebutkan ketentuan-ketentuan yang diakui oleh Negara-negara yang bersengketa.
2. Kebiasaaan kebiasaan internasional yang terbukti merupakan praktik umum yang
diakui sebagai hokum.
3. Prinsip-prinsip hokum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab, dan
4. Keputusan pengadilan dan ajaran-ajaran sarjana-sarjana yang paling tekemuka dari
pelbagai negaradi dunia sebagai sumber tambahan bagi menetapkan kaidah-kaidah
hokum.
Selama lebih dari 150 tahun telah banyak dicapai berbagai perjanian yang menciptakan
hokum. Khusus dalam rangka hokum diplomatic adalah sebagai berikut.
Perlu juga ditambahkan bahwa pendapat para sarjana hokum terkrmuka yang menjadi
komisis hokum internasional bertambah wibawanya apabila ia bertindak dalam suatu fungsi
dan secara langsung bertaliang dengan suatu persoalan hokum internasionaluntuk dicari
penyelesaiannya.dalam hal ini tidak dapat diabaikan pula bahwa usaha-usaha para sarjana
hokum internasional terkemuka di bidang kodifikasi dan pengembangan hokum internasional
yang dilakukan dibawah naungan organisasibukan pemerintah (swasta), seperti internasional
law association dan usaha-usaha serupa lainnya.
Sekitar tahun 80an, dimana laju kegiatan tindak terorisme cukup menonjol, khusunya yang
dilakukan para diplomat merupakan tindakan yang sangat meresahkan dan membahayakan
fungsi mereka dalam melaksanakan tugas, pada tahun 1980 PBB telah mengadakan
pembahasan tentang masalah secara insentif dan akhirnya dikeluarkan resolusi Majelis
Umum PBB dengan judul :
Mendesak semua anggota PBB untuk mematuhi dan melaksanakan Prinsip-prinsip dan aturan
hukum Internasional yang mengatur tentang hubungan diplomatic dan konsuler.
Prosedur untuk memberikan informasi kepada Sekjen PBB itu pada hakikatnya merupakan
langkah utama untuk menyelesaikan masalah. Akan tetapi, secara tidak langsung usaha itu
juga dapat memperluas wewenang PBB sendiri dalam rangka menangani masalah-masalah
yang sangat pelik dan peka menyangkut kerjasama antar Negara.
Resolusi tersebut juga meminta kepada setiap Negara anggota PBB agar melaporkan
tindakan-tindakan apa yang telah dilakukan untuk menghukum para pelanggar, termasuk
untuk mencegah agar tidak terjadi lagi, antara lain melalui sanksi-sanksi. Negar aegara
anggota juga diminta untuk melindungi wakil-wakil diplomatic dan konsuler termasuk
perwakilan masing-masing Negara anggota.
BAB 2
Berlakunya Hubungan Diplomatik
Diawali dengan republik di Italia (di antara mereka sendiri) dan pada abad ke-15 Republik
Italia menempatkan wakilnya di beberapa negara, seperti Spanyol, Jerman, Perancis , dan
Inggris yang kemudian diikuti negara lain.
o Harus terdapat kesepakatan antara kedua belah pihak (mutual consent) sesuai dengan
Konvensi Wina 1961 yang dituangkan dalam suatu bentuk persetujuan bersama (joint
agreement), komunikasi bersama (joint communication), atau pernyataan bersama (joint
declaration).
o Khususnya negara-negara kecil, memiliki kesulitan dalam hal finansial dan sumber
daya manusia yang terbatas.
Dalam praktek, terdapat negara yang mau menerima duta besar (ambassador) tetapi hanya
mengirimkan duta (envoy) saja.
- Penolakan oleh negara penerima dapat dilakukan dengan alasan misalnya, negara
penerima mengetahui bahwa sikap politik pejabat yang bersangkutan terhadap negara
penerima kurang menyenangkan.
- Dua pendapat mengenai apakah negara penerima harus memberikan alasan/tidak:
o Harus terdapat alasan-alasan sehingga dapat dilihat apakah alasan-alasan itu masuk akal tau
tidak.
o Sering terjadi alasan penolakan tersebut menjadi sumber perselisihan antar dua negara
tersebut. Oleh karena itu, negara penerima tidak perlu memberikan alasan penolakan
penerimaan wakil diplomatik (pasal 4 ayat 2 Konvensi Wina 1961)
- Terdapat kemungkinan di dalam dua negara terdapat satu wakil diplomatik, sehingga
di negara yang tidak terdapat wakil diplomatik yang menetap terus menerus akan
ditempatkan seorang Charge d’affaires ad interim (Konvensi Wina 1961 pasal 5 ayat
1 dan 2)
- Pejabat/staf perwakilan tidak memerlukan persetujuan negara penerima, namun harus
terdapat pemberitahuan oleh negara pengirim siapa yang akan dikirim
- Pejabat-pejabat tersebut terdiri atas beberapa golongan: (pasal 2-9)
o Staf administrasi dan teknis, juru bahasa, dokter, penasehat hukum,dll (members of the staff
of the mission)
o Staf rumah tangga (service staff). Contoh : Sopir dan pengatur rumah tangga yang
diperkerjakan bukan oleh pribadi tapi oleh perwakilan.
o Kejujuran (truthfulness)
o Ketelitian (precision)
o Ketenangan (calm)
o Kesetiaan (loyalty)
o Duta keliling adalah sebagai delegasi ke konferensi internasional dan perwakilan yang
diakreditasikan pada perwakilan tertentu dengn tugas untuk mengadakan suatu perundingan
khusus tentang masalah tertentu (ad hoc)
- Perutusan atau delegasi memerlukan surat kepercayaan dan harus memenuhi dua
syarat, yaitu
o The delegates must conform to any requirement set by the constitution or rules in question.
o Duta Besar serta perwakilan kursi suci (Ambassador Papa Legates Nuncios)
o Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh (Envoys Extraordinary and Minister
Plenipotentiary)
o Menurut Oppenheim, klasifikasi ini didasarkan pada perbedaan fungsi yang dijalankan
o Klasifikasi pangkat diplomatic dan tahta suci (Vatikan) pada tingkat kedutaan besar
dinamakan “Nuncios”.
- Ambassador atau Nuncios; diakreditasikan pada kepala negara dan kepala misi lain
yang sederajat.
- Envoys, Ministers, dan Internuncios; diakreditasikan kepala negara.
- Charge d’affaires; diakreditasikan kepada menteri luar negeri.
o Menurut Setyo Widagdo dalam bukunya Hukum Diplomatik dan Konsuler, klasifikasi staf
perwakilan diplomatik dalam menjalankan fungsinya adalah:
- Kepala perwakilan
- Minister
- Minister Counselor
- Counselor
- Sekretaris I
- Sekretaris II
- Sekretaris III
- Atase
Bab 3
Tugas dan fungsi perwakilan diplomatic
Misi perwakilan tidak tetap memiliki fungsi yang terbatas pada tugas yang diserahkan kepada
wakil diplomatic itu untuk menangani masalah-masalah tertentu sesuai dengan isi surat
kepercayaan yang diberikan kepada mereka untuk hal-hal khusus. Contoh, untuk mengadakan
pembicaraan atau perundingan khusus menyangkut penyelesaian masalah para pelintas
batasan Indonesia dan Papua nugini.
Sementara tugas dan fungsi perwakilan diplomatic tetap bersifat sangat luas dan sudah
ditentukan sebagian besar dalam konvensi wina 1961 yaitu
Telah dirinci secara tegas dalam Konvensi wina 1963 tentang hubungan konsuler yang
berlaku sejak 24 April 1963.
Perbedaan antara perwakilan diplomatic dan konsuler dalam fungsinya yakni bahwa
perwakilan diplomatic mengutamakan tugas-tugas representationdan negotiation, sedangkan
perwakilan konsuler lebih khusus berhubungan dengan tugas melindungi kepentingan warga
Negara, serta memajukan kepentingan dagang, industry dan pelayaran.
1. Representasi.
Sebagaimana ditentukan Konvensi Wina 1961 dalam pasal 3 ayat (1,a) fungsi
perwakilan diplomatic adalah mewakili Negara pengirim di Negara penerima.
2. Proteksi.
Terdapat kecenderungan timbulnya dua prinsip yang dianggap sangat
fundamental dalam mengatasi dan mencegah tindakan-tindakan terorisme tersebut.
- Semua Negara harus nelaksanakan kewajiban-kewajiban Internasional
masing-masing dengan menaati ketentuan ketentuan konvensi termasuk
peningkatannya.
- Perlunya peningkatan tindakan tindakan khusus guna melindungi Individu-
individu dan perwakilan karena ada kesenjangan-kesenjangan yang terdapat
dalam ketentuan konvensi yang kini diserahkan kepada Negara itu sendiri
untuk menafsirkan dan melaksanakan tindakan khusus mengenai proteksi
melalui system perundang-undangan nasional masing-masing Negara.
3. Negosiasi
Makasud diadakannyabaik antara pengirim dan Negara penerima bahkan bias
juga Negara ke tiga ada bermacam-macam. Mulai dari pertukaran pendapat tentang
suatu masalah politik, ekonomi social atau budaya dan ilmu pengetahuan sampai
mengadakan persiapan guna mengadakan suatu perjanjian atau persetujuan.
4. Pelaporan
Dasar dari seorang diplomat adalah memberikan laporan kepada
pemerintahnya. Asalkan bukan sebagai spionase.
5. Peningkatan Hubungan Persahabatan antar Negara
Perwakilan diplomatic berkewajiban selalu dan berusaha menjaga hubungan
antara Negara pengirim dan penerima. Usaha-usaha peningkatan dilakukan dengan
cara diplomasi.
Menurut jonohatmodjo cara diplomasi tersebut ada 4 macam:
1) Diplomasi Politik
2) Diplomasi ekonomi
3) Diplomasi Sosbud dan penerangan
4) Diplomasi Hankam
Kekebalan duta besar dari yuridiksi pidana di Negara penerima telah mulai dilakukan
oleh berbagai Negara pada abad ke-17 sebagai kebiasaan internasional. Undang-ndang
memuat ketentuan bahwa para diplomat asing dibebaskan dari yuridiksi perdata dan pidana.
Undang-undang tersebut kemudian terkenal sebagai “7 Anne Cap.12-2,706” yang ternyata
dokumen tersebut sebagai dasar bagi kekebalan dan keistimewaan para diplomat.
1. Exterritoriality Theory
Menurut teori Ini seorang pejabat diplomatic dianggap tidak berada di Negara
penerima melainkan berada di Negara pengirim, meskipun kenyataanya ia berada di
wilayah Negara penerima. Maksudnya seorang diplomat tidak tunduk pada yuridiksi
hukum setempat yang sebenarnya teori ini menghendaki dikuasai oleh hukum Negara
pengirim.
2. Representative Theory
Beberapa tafsir:
1) Apabila seorang diplomatic dianggap sebagai wakil Negara maka perbuatan
dantindakannya harus dianggap sebagai atau seolah-olah merupakan perbuatan
dan tindakan dari kepala Negara itu sendiri.
2) Oleh karena kedaulatan dan kebebasan yang dimilik Negara asing maka wakil
diplomatic perlu diberikan hak kekebalan dan hak Istimewa agar dapat
melakukan perwakilannya secara bebas di Negara penerima tersebut.
3. Functional Necessity Theory
Menurut theory ini, dasar kekebalan dan hak-hak istimewa seorang wakil
diplomatic harus dan perlu diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk
melakukantugasnya dengan sempurna. Segala yang memengaruhi secara buruk harus
dicegah.
Landasan yuridis kekebalan dan keistimewaan diplomatic
Menurut Komite Ahli Liga Bangsa-bangsa bahwa dasar kekebalan dan keistimewaan
diplomatic itu sebagai berikut.
“the necessity of permiting free and unhampered exercise of the diplomatic function and of
maintaining the dignity of the diplomatic representative and the statue which he represents
and the respect-properly due to. . . .traditions”.
Pemberian hak-hak tersebut didasarkan atas prinsipreciprocity antar Negara dan prinsip
tersebut mutlak diperlukan dalam rangka.
Para diplomat dinegara dimana mereka diakreditasikan dijamin sepenuhnya oleh hukum
internasional demiterlaksananya fungsi perwakilan diplomatic.
Perlu diketahui bahwa para diplomat harus diangkat oleh pemerintah yang
pengangkatannya juga diakui oleh Negara ketiga agar seandainya pejabat yang bersangkutan
in transit di Negara ketiga tersebut akan mendapatkan fasilitas-fasilitas yang diperlukan oleh
para pejabat diplomat yang bersangkutan.
BAB 5
Aspek Hukum Internasional berkaitan dengan Kekebalan
dan Keistimewaan Diplomatik
Ketentuan Untuk melindungi diri Pribadi seorang wakil Diplomatik diatur dalam pasal
29 konvensi Wina 1961. Dalam bahasa asing Kekebalan Diplomatik mengandung dua
pengertian, Inviolability dan Immunity.
Immunity diartikan sebagai kekebalan terhadap yuridiksi dari Negara penerima, baik
hokum pidana maupun hokum perdata.
Berikut beberapa hal kekebalan dan hak-hak istimewa yang melekatpada diri pribadi pejabat
diplomatic:
Dapat disimpulkan bahwa yang termasuk keluarga seorang wakil diplomatic tidak
hanya adanya sesuatu hubungan darah atau perkwainan yang menentukan kedudukan
anggota, tetapi ia harus merupakan bagian dari rumah tangganya dan bertempat tinggal
bersama dengan wakil diplomatic tersebut sebagaimana dalam pasal 37 ayat 1 Konvensi
Wina 1961.
Konvensi Wina 1961 pasal 38 membatasi pemberian hak kekebalan hanya dalama
peranan pejabat diplomatic tersebut dalam melaksanakan fungsi diplomatisnya.
Berarti seorang wakil diplomatic tidak diwajibkan untuk menjadi saksi di muka
pengadilan Negara setempat, baik perdata maupun pidana.
1) HALL, jika hokum Negara setempat menetapkan bahwa kesaksian itu harus diberikan
secara lisan di depan kehadirannya terdakwa adalah layak apabila wakil diplomatic itu
atau anggota perwakilan yang kesaksiannya dibutuhkan, membiarkan dirinya untuk
tunduk kepada pemeriksaan dalam cara yang lazim dilakukan.
2) CALVO, Prinsip-prinsiphukum internasional tidak mengizinkan seorang wakil
diplomatic itu menolak menghadap di depan terdakwa apabila hokum Negara secara
mutlak memerlukannya.
3) ULLMANN, seorang wakil diplomatic diperbolehkan, jika ia memang diinstruksikan
oleh pemerintahnya memberikan kekuasaan kepada pengikut atau keluarganya untuk
menghadap di depan pengadilan sebagai saksi.
1. Diplomatic Bags
Bahwa diplomatic bags dari suatu perwakilan diplomatic Negara asing
tidak dapat dibuka dan ditahan, baik oleh Negara penerima maupun oleh
Negara ketiga.dengan syarat memiliki visible eksternal, atau tanda luar yang
terlihat yang menunjukan sifat sebagai diplomatics bags. Pasal 27 ayat 3 dan 4
Konvensi Wina 1961
2. Diplomatic Courier
Pasal 27 ayat % Konvensi Wina 1961 tidak dapat diganggu gugat,
Diplomatik kurir yang dilengkapi dengan suatu Official Document (dokumen
resmi) yang menunjukan statusnya dan jumlah/nomor bungkusan yang
merupakan diplomatic bags itudilindungi oleh Negara pennerima dalam
melaksanakan tugas-tugas perwakilan.
Pasal 32 ayat 1 dapat dilihat dengan jelas bahwa yang mempunyai hak untuk
menanggalkan kekebalan diplomatic adalah Negara pengirim. Oleh karena hak kekebalan
diplomatic bersumber dari hokum Internasional maka yang mempunyai haktersebut juga
subjek hokum Internasional.
Dari pasal 32 ayat 4 Konvensi Wina tersebut dapat disimpulkan bahwa suatu
penanggalankekebalan diplomatic tidak berarti pula mencakup penanggalan sejauh mengenai
eksekusi putusan hakim dan ayat ini hanya menyebut penanggalan dalam bidang perdata
administrative dan untuk menanggalkan kekebalan dari eksekusi keputusan hakim maka
diperlukan penanggalan kekebalan tersendiri.
1. Kebal terhadap segala bentuk proses peradilan dalam hal kata-kata yang
diucapkan dan ditulis dengan segala tindakan-tindakan yang dijalankan dalam
kedudukan resminya.
2. Pembebasan dari semua pajak pendapatan, gaji, maupun honor yang harus dibayar
ke PBB.
3. Kebal terhadap kewajiban-kewajiban jasa-jasa yang diberikan.
4. Kebal terhadap pembatasan-pembatasan imigrasi dan pencatatan orang asing.
5. Diberikan kekebalan lama dalam fasilitas penukaran uang.
6. Akan diberikan fasilitas-fasilitas untuk kembali kenegaranya bersama istri dan
keluarga yang menjadi tanggungannya.
7. Memiliki hak untuk mengimpor barang-barang perlengkapan dan barang-barang
keperluan pada waktu pertamakali dating dinegara mana ia bertugas.
Dalam pasal 42 ayat 3 ditentukan bahwa para wakil, penasihat dan para
pengacara pihak-pihak di depan Mahkamah akan mendapat hak-hak istimewa
dan kekbalan-kekebalan yang diperlukan untuk menjalankan tugsa mereka
dengan bebas.
Pada hakikatnya Kekebalan dan Keistimewaan bagi perwakilan asing dapat digolongkan
dalam tiga kategori.
Pasal 22 ayat 1 dan 3 menyangkut kekebalan di dalam gedung perwakilan itu sendiri,
termasuk perabotan, harta milik lainnya, dan kendaraan-kendaraan perwakilan.
Sementara ayat 2 berkenaan dengan kewajiban Negara setempat guna melindungi
gedung perwakilan beserta isinya yang tersebut dalam ayat 1 dan 3. Makna yang tak
kalah penting dalam ayat 2 tersebut adalah “… pencegahan adanya setiap gangguan
ketenangan perwakilan atau gangguan yang dapat menurunkan harkat dan martabat
perwakilan asing tersebut di suatu Negara”.
Walau Gedung perwakilan asing tidak dapat diganggu gugat tetapi apabila Negara
penerima mempunyai bukti-bukti atau dakwaan yang kuat bahwa fungsi perwakilan asing
tersebut ternyata bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam konvensi Wina 1961 maka
pemerintah Negara setempat dapat memasuki ruangan tersebut. Prinsip tidak dapat diganggu
gugat itu menurut pendapat Komisi Hukum Internasional tidak menutup adanya
kemungkinan bagi Negara penerima untuk mengambil tindakan terhadap diplomat atau
perwakilan asing di Negara tersebut dalam rangka bela diri atau menghindarkan adanya
tindak pidana.
Menurut peraturan di Inggris bahkan untuk keperluan umum seperti pelebaran jalan pun,
Negara penerima tidak mempunyai wewenang untuk mengambil alih sebagian dari tanah
gedung perwakilan asing.