Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hubungan Diplomatik merupakan hubungan yang dijalankan antara negara satu dengan
negara lainnya untuk saling memenuhi kebutuhan masing-masing negara, hal ini sudah dilakukan
sejak berabad-abad yang lalu. Untuk dapat menjalankan hubungan diplomatik dengan negara lain
perlu adanya pengakuan (recognition) terlebih dahulu terhadap negara tersebut, terutama oleh
negara yang akan menerima perwakilan diplomatik suatu negara (Receiving State). Tanpa adanya
pengakuan terhadap negara tersebut, maka pembukaan hubungan dan perwakilan diplomatik
tidak bisa dilakukan. Misalnya, Indonesia tidak dapat membuka perutusan diplomatiknya di
Israel karena belum mengakui Israel sebagai sebuah negara.1

Pada awalnya, pelaksanaan hubungan diplomatik itu sendiri hanya dilaksanakan


berdasarkan kebiasaan internasional yang ada di antara masyarakatmasyarakat internasional
dahulu kala. Setelah mengalami perkembangan, pada akhirnya negara-negara kemudian
mengkodifikasikan kebiasaan-kebiasaan internasional yang berkaitan dengan perwakilan
diplomatik asing yang dianggap penting pelaksanaannya kedalam Vienna Convention on
Diplomatic Relations, 1961, yang kemudian disusul dengan pembentukan Vienna Convention on
Consular Relations, 1963, beserta protokol tambahannya masing-masing.

Di dalam prakteknya, untuk menjalankan hubungan diplomatik diperlukan adanya


perwakilan diplomatik dari tiap-tiap negara. Perwakilan-perwakilan tersebut akan dipilih oleh
negara yang mengutusnya dan akan menjalankan diplomasi sebagai salah satu cara komunikasi
yang biasanya dilakukan antara berbagai pihak termasuk negosiasi antara wakil-wakil yang
sudah diakui. Jika suatu negara telah menyetujui pembukaan hubungan diplomatik dengan
negara lain melalui suatu instrumen atas dasar asas timbal balik (principle of reciprocity) dan
asas saling menyetujui (mutual consent), negara-negara tersebut sudah harus memikirkan
pembukaan suatu perwakilan diplomatik dan penyusunan keanggotaan perwakilan tersebut baik

1
Sumaryo Suryokusumo, 2013, Hukum Diplomatik dan Konsuler Jilid I, Tatanusa, Jakarta, hlm.8.

1
dalam tingkatannya maupun jumlah anggota staf perwakilan yang telah disetujui bersama atas
dasar kewajaran dan kepantasan (reasonable and normal).

Setelah adanya kesepakatan antara negara pengirim dengan negara penerima, ke


depannya para wakil yang menjadi pejabat diplomatik, termasuk juga pejabat konsuler diberikan
hak kekebalan dan keistimewaan untuk dapat menjalankan tugas atau misinya dengan baik dan
tidak menghadapi halangan seperti adanya pencegahan masuknya pejabat-pejabat dari negara
penerima ke dalam gedung diplomatik, kecuali disetujui oleh kepala misi, karena dapat dianggap
mencampuri urusan negara pengirim begitu pula sebaliknya, selain itu negara penerima harus
menyediakan sarana yang pantas kepada perwakilan diplomatik asing di negaranya, kemudian
mengijinkan dan melindungi kemerdekaan berkomunikasi pada pihak perwakilan diplomatik
asing tersebut agar tidak ada hambatan untuk berkomunikasi dengan Pemerintah Negara
pengirimnya untuk melaksanakan fungsi-fungsinya.

Pemberian kekebalan dan keistimewaan bagi para pejabat diplomatik yang didasarkan
pada prinsip timbal balik (principle of reciprocity) antar negara seperti yang telah disebutkan
sebelumnya sudah lama menjadi bagian dari sejarah diplomasi, dan hal ini sudah dianggap
sebagai kebiasaan internasional.

Kekebalan dan keistimewaan bagi perwakilan asing di suatu negara pada hakikatnya
dapat digolongkan ke dalam tiga kategori, yaitu : Pertama, kekebalan tersebut meliputi tidak
dapat diganggu-gugatnya para diplomat termasuk tempat tinggal serta miliknya seperti yang
tercantum di dalam ketentuan Pasal-pasal 29, 30, dan 41, serta kekebalan mereka dari yurisdiksi
baik administrasi, perdata maupun pidana (Pasal 31). Kedua, keistimewaan atau kelonggaran
yang diberikan kepada para diplomat yaitu dibebaskannya kewajiban mereka untuk membayar
pajak, bea cukai, jaminan sosial dan perorangan (Pasal-pasal 33, 34, 35, dan 36). Ketiga,
kekebalan dan keistimewaan yang diberikan pada perwakilan diplomatik bukan saja menyangkut
tidak diganggu-gugatnya gedung perwakilan asing di suatu negara termasuk arsip dan kebebasan
berkomunikasi, tetapi juga pembebasan dari segala perpajakan dari negara penerima (Pasal-pasal
22, 23, 24, 26, dan 27).

2
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas penulis membuat rumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah perbedaan Diplomasi dan Diplomatik ?


2. Bagaimana dasar hubungan Diplomatik dalam Islam ?
3. Bagaimanakah tugas dan fungsi Diplomatik dalam Islam ?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui perbedaan Diplomasi dan Diplomatik.


2. Untuk mengetahui Bagaimana dasar hubungan Diplomatik dalam Islam.
3. Untuk mengetahui Bagaimanakah tugas dan fungsi Diplomatik dalam Islam.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Perbedaan Diplomasi dan Diplomatik

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kita tentu akan mengenal banyak istilah
yang berkaitan dengan hubungan negara dan dunia internasional. Sebuah bangsa yang merdeka
dan berdaulat memang harus mendapatkan pengakuan dari bangsa lain untuk dapat disebut
sebagai negara yang sebenarnya dan diakui oleh dunia Internasional. Dalam mencapai tujuannya,
negara yang berdaulat dan merdeka juga harus bekerjasama dengan negara lain.

Terkait dengan hubungan antar negara tersebut, munculah beberapa istilah yang perlu
dipahami dalam kaitannya untuk mempelajari kehidupan bernegara sebuah bangsa. Istilah yang
kerap kali terdengar yang berkaitan dengan hubungan sebuah negara dengan negara lain dalam
dunia internasional adalah diplomasi dan diplomatik yang terkadang sulit dibedakan sebagai
landasan dari hubungan internasional dan organisasi internasional.

Diplomasi secara bahasa berasal dari bahasa latin dan yunani dengan kata dasarnya
diploma yang berarti surat kepercayaan. Dalam sejarahnya, istilah diploma atau surat
kepercayaan muncul pada masa pemerintahan kerajaan romawi yang digunakan sebagai tanda
bagi pedagang untuk dapat melintasi jalan jalan yang dikuasai oleh romawi. Dengan kata lain,
diploma merupakan surat yang menunjukan bahwa pemerintahan romawi memberikan
kepercayaan dan kerjasama pada pedagang tertentu. Istilah diplomat kemudian berkembang dan
menjadi dasar dari munculnya diplomasi dan diplomatik dengan fungsi perwakilan diplomatik.

Perbedaan diplomasi dan diplomatik yang pertama dapat dipandang dari penjelasan
terkait definisi keduanya yakni,

a) Diplomasi secara definisi merupakan suatu proses dan cara berkomunikasi antar dua
belah pihak dalam sebuah negosiasi melalui perwakilan yang sudah ditunjuk dan diakui.
Dengan kata lain, diplomasi merupakan suatu sifat dan proses yang dilakukan untuk
menciptakan hubungan serta kesepakatan yang diinginkan dan diakui oleh kedua belah
pihak.
4
b) Sedangkan diplomatik secara definisi adalah hubungan secara resmi dan saling mengakui
antara sebuah negara dengan negara lainnya. Hal tersebut menjadikan istilah hubungan
antara negara yang saling mengakui dan menguntungkan disebut dengan hubungan
diplomatik.

Dalam proses hubungan diplomatik antar negara tersebut tentu sifat dan proses
diplomasi diterapkan guna mendapatkan pengakuan dan kesepakatan atas hal tertentu. Negara
dapat melakukan proses diplomasi dalam hubungan diplomatiknya dengan negara lain yang
bertujuan untuk mewujudkan keinginan sebauh negara agar dapat dikabulkan negara lain secara
khusus dan disepakati bersama.

Proses diplomasi dalam hubungan diplomatik antar negara menghadirkan munculnya


diplomat yang merupakan wakil dari setiap negara yang memiliki hubungan secara diplomatik
untuk negara lainnya yang mengakui hubungan tersebut. Adanya diplomat tersebut menjadi
simbol hubungan antar negara yang baik dan juga untuk mempercepat proses negosiasi yang
terjadi antar negara berkaitan dengan hubungannya tersebut. Diplomat setiap negara contohnya
Indonesia, memiliki peran untuk memperkenalkan kelebihan Indonesia di mata dunia
internasional.

B. Dasar Hubungan Diplomatik dalam Islam


Diplomasi merupakan sebuah praktek pelaksanaan hubungan antar negara yang melalui
perwakilan resmi, yang mencakup seluruh proses hubungan luar negeri, pembentukan
kebijaksanaan luar negeri, serta pelaksanaannya.2 Diplomasi bermula dari sebuah hubungan
manusia dengan manusia, berkembang menjadi hubungan kelompok dengan kelompok yang
kemudian meluas menjadi hubungan antar negara yang digunakan oleh negara-negara sebagai
sebuah cara yang dilakukan oleh suatu negara untuk menjalin hubungan, melakukan komunikasi
yang harmonis, memperjuangkan national interest-nya dan mencapai perdamaian.
Kita mengenal kegiatan diplomasi itu sudah berjalan dari zaman India kuno, yakni dengan
adanya karya besar dari Kautilya yaitu Arthasastra yang mengupas mengenai diplomasi, aspek-
aspek yang mempengaruhinya, mengungkapkan bagaimana seorang wanita mampu menjadi

2
Plano Jack C, Roy Olton. The International Relation Dictionary. terj. Wawan Juanda. Bandung:
Putra A Bardin. 1999. hal. 201
5
senjata perang, menghubungan aspek geopolitik dengan diplomasi dan menekankan national
interest sebagai segalanya, kita pun patut untuk mengetahui bagaimana praktek diplomasi dalam
sejarah Islam, yang sebenarnya memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap praktek-praktek
diplomasi yang dijalankan pada era ini.
Dalam masa pra Islam, diplomasi hanya terbatas pada bidang yang sangat terbatas dan
dianggap tanpa pertimbangan etis. Sumbangan Islam dalam diplomasi adalah memberikan
bentuk yang komprehensif dengan memperluas ruang lingkup diplomasi dan penggabungannya
dengan etika dan moral, sehingga meletakkan dasar bagi cara-cara diplomasi diplomasi. Selain
perang, perdamaian dan perjanjian, Islam membawa isu-isu diplomasi untuk berkaitan
dengan prisoners of war, kerjasama internasional untuk kebaikan umat manusia, aksi global
melawan musuh kemanusiaan, ekspresi solidaritas positif dan aktif dengan orang-orang berjuang
untuk tujuan yang sah, penciptaan kesadaran global untuk menguntungkan dan melawan
tindakan berbahaya, kekebalan diplomatik, dan lain-lain.3
Perjanjian (treaty) telah menjadi instrumen yang paling penting dalam diplomasi dan
Hubungan Internasional, baik di masa lampau maupun di masa sekarang ini. Para Ulama klasik
memfokuskan pada aspek-aspek tertentu dari suatu perjanjian, khususnya mengenai pemenuhan
kontrak dan konsekuensi dari tindakan pengkhianatan dan pelanggaran. Dalam sejarah Islam,
terdapat sebuah perjanjian pertama dan disebut-sebut sebagai sumber otoritatif yang menjadi
‘role model’ bagi perjanjian internasional antara Muslim dan non-Muslim, yaitu Perjanjian
Hudaibiyah.4
Sebelum terjadinya Perjanjian Hudaibiyah ini, Kaum Musyrikin Mekah bersama- sama
dengan Kaum Yahudi Khaibar, dan suku- suku lain di sekitar Arab yang masih musyrik
menyerang Madinah. Ini dikenal dengan peristiwa Perang Ahzab atau Perang Khandaq. Usaha
penyerangan tersebut gagal total dikarenakan mereka terhalang oleh benteng yang dibuat oleh
Kaum Muslimin berupa parit. Serta berkat bantuan dari Allah SWT berupa badai yang sangat
dingin yang menerpa pasukan musyrikin tersebut. Perang ini dipandang sebagai akhir dari usaha
Kaum Musyrikin Mekah untuk memerangi Kaum Muslimin Madinah. Setelah peristiwa tersebut,
para kaum muslimin hendak melakukan ibadah haji, namun kemudian dihalang-halangi oleh

3
Zafor Mohammad. 2014. Diplomacy in Islam. http://www.islamdaily.org/en/islam/11828.
Diakses pada desember 2019
4
Friedman David D. Islamic International Law. http://www.daviddfriedman.com. Diakses pada
desember 2019
6
kaum musyrikin Mekah untuk masuk ke Mekah. Maka dilakukanlah negosiasi yang melahirkan
kesepakatan untuk mengadakan perjanjian secara damai, yaitu Perjanjian Hudaibiyah. 5
Diplomasi yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dengan dengan orang-orang
Yahudi dan Kristen dari Semenanjung Arab (misalnya, di Najran dan’Aqabah) dapat dilihat dari
berbagai contoh perjanjian, dan pengiriman utusan ke penguasa Abyssinia, Byzantium, Mesir,
dan Persia yang dianggap sebagai bukti awal praktek diplomatik Islam. Terlepas dari asumsi
bahwa jihad melawan kafir merupakan sebuah kewajiban yang tak henti-hentinya, Perjanjian
Hudaibiyah tersebut, telah menjadi prototipe dari gencatan senjata (meskipun bukan perdamaian
abadi) antara kombatan. Setelah preseden ini, khalifah Umayyah kelima,’Abd al-Malik
menandatangani gencatan senjata dengan penguasa Bizantium dan bahkan membayar upeti
kepada Al-Malik untuk kepentingan mengamankan satu sayap untuk berbalik melawan
pemberontak Muslim.
Dalam pemerintahan Khalifah Harun Al Rasyid, pada masa dinasti Abbasiyah, beliau
secara rutin membuat perjanjian dengan orang asing untuk sejumlah alasan, khususnya, untuk
menebus tawanan perang mereka. Mereka juga secara teratur menerima utusan asing di Baghdad
sebagai wakil dari sesama penguasa. Sekitar tahun 800, misalnya, Khalifah Harun menerima
duta dari Charlemagne dan mengirim satu kembali ke Aix-la-Chapelle. Bahkan selama Perang
Salib, ada beberapa perjanjian formal dengan pangeran Kristen, seperti perjanjian pada tahun
1192 antara Saladin dan Raja Inggris Richard I, yang memfasilitasi ziarah kaum Kristen ke
Tanah Suci.
Selain itu, salah satu kontribusi besar Syiar (Hukum Internasional Islam) terhadap hukum
internasional modern adalah pembentukan imunitas diplomatik.[7] Dapat dikatakan bahwa dalam
Syariah tradisional, diplomat menikmati kekebalan tidak berbeda dengan yang diatur dalam
hukum internasional modern. Kaum Muslim sangat menghormati kekebalan utusan dan misi
diplomatik. Non-Muslim diizinkan untuk memasuki dar al Islam tanpa gangguan sebagai utusan
resmi, asalkan mereka menyatakan bahwa mereka membawa pesan diplomatik. Aturan
kekebalan diplomatik kembali ke zaman Nabi Muhammad SAW ketika dua utusan musuh islam,
Musailamah, yang merupakan Nabi palsu datang berkunjung, Nabi Muhammad SAW tidak
pernah menyakiti dan membunuh utusan diplomatik tersebut. Duta besar, termasuk anggota

5
Saefulllah Saad. 2014. Perjanjian Hudaibiyah, Bukti Kejeniusan Politik Nabi. http://
www.islampos.com/perjanjian-hudaibiyah-bukti-kejeniusan-politik-nabi/.
7
delegasi mereka, menikmati kekebalan pribadi penuh dan memiliki kebebasan penuh untuk
menjalankan agama dan ritual mereka. Hal tersebut mengindikasikan bahwa inviolability dari
seorang diplomat, merupakan bagian dari Hukum Adat Internasional.
Melihat fakta-fakta yang ada, bahwa Nabi Muhammad telah membuat berbagai perjanjian
dengan negara lain, termasuk musuhnya sendiri, menunjukan bahwa Islam sudah mengenal
mengenai hukum dan perjanjian internasional dan mengenali prinsip-prinsip dasar dan
fundamental dalam suatu perjanjian. Kembali pada perjanjian Hudaibiyah, yang dimana para
sahabat kecewa akan tindakan Nabi Muhammad SAW yang menandatangani perjanjian tersebut
yang dipandang lebih menguntungkan Mekkah dibandingkan Madinah. Namun, Nabi
Muhammad tetap memenuhi dan menaati perjanjian tersebut, yang pada akhirnya, akibat
kecerdasan politiknya Sang Nabi, justru Madinah memiliki power yang lebih besar karena
adanya Perjanjian Hudaibiyah tersebut.6
Dari hal tersebut, kita dapat pula menyimpulkan bahwa Nabi Muhammad pun telah
mengenal asas dalam perjanjian internasional, yang pada masa modern ini disebut sebagai Pacta
Sunt Servanda, yang merupakan sebuah aturan umum hukum Internasional yang menyatakan
bahwa perjanjian bersifat mengikat dan harus dilaksanakan, dimana asas ini merupakan prinsip
hukum yang telah menjadi basis untuk mengukuhkan ikatan perjanjian yang mengikat negara
penandatangannya. Hal tersebut membuktikan bahwa Islam telah memberikan pengaruh yang
besar atas perkembangan mengenai diplomasi, hukum dan perjanjian Internasional pada era
kontemporer ini, termasuk salah satunya meletakkan dasar bagi cara-cara dan prinsip-prinsip
dalam berdiplomasi.
Diplomasi biasa di artikan sebagai seni berunding yang di lakukan oleh pejabat/utusan
resmi sebuah Negara, dalam Islam pengertian Diplomasi terkait dengan konsistensi dan tanggung
jawab kepada umat sesuai dengan Al-Qur'an dan Hadist. Dalam pengertian itu di Diplomasi
merupakan seni berunding yang di lakukan oleh seorang utusan/pejabat yang didasarkan pada
upaya mengedepankan kepentingan ummat bukan kepentingan elit saja. sesuai dengan
tertulisnya dalam Al-Qur'an dan Hadist, yakni kegiatan Diplomasi dilakukan agar dapat
bermanfaat kepada semua pihak, "Rahmatan Lil 'Alamin" baik bagi diri sendiri, bagi

6
Frick Marie L, Andreas Th Muller (ed.). 2013. Islam and International Law: Engaging Self-
Centrism from a Plurality of Perspectives (Brill’s Arab and Islamic Law Series). Leiden, Boston. Martinus
Nijhoff. hal. 67
8
lawan/musuh pun bagi alam semesta. Konsep Rahmatan Lil 'Alamin membedakan diplomasi
Islam dengan Diplomasi Konvensional
Islam memperkenalkan satu perubahan yang signifikan yang menancapkan prinsip hukum
Internasional dan Diplomasi. islam dengan tegasnya menyatakan persamaan antar manusia
disadur dalam Al-Qur'an (QS. Al-Hujuraat 49:13)

  


   
 
  
   
    
 
Artinya : Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling
taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.

Adapun mengenai Kebijakan Politik Luar Negri yang di tekankan oleh Al-Qur'an dalam
(QS Al-Maidah. ayat 1), Yang membahas terhadap perjanjian-perjanjian yang telah di buat. Lalu
dalam (QS. An-Nahl ayat 83) menyampaikan bahwa kejujuran serta ketulusan dalam tiap
transaksi. Selain itu Islam juga menggaris bawahi bagaimana pentingnya keadilan dalam sistem
Internasional, tidak memihak bangsa tertentul Islam sebelumnya sudah merealisasikannya yang
didasari dalam (QS. An-Nissa ayat 90), begitupun kedamaian dalam (QS. Al-Anfaal ayat 61).

Dalam kekhalifahan Islam, politik dan hubungan internasional digunakan sebagai upaya
dakwah Islam terhadap global. hal tersebut merupakan metode dalam menyebarkan ajaran Islam
yaitu Berdakwah dan Jihad. Oleh karena itu seni Diplomasi Di landasi Aqidah Islam. Allah SWT
berfiman:

9
   
 

Artinya : Dan Al Quran itu tidak lain hanyalah peringatan bagi seluruh umat.

Ayat diatas merupakan ayat makkiyah, diriwayatkan oleh Ibnu Mas'ud bahwa ketika ayat
ini turun terdapat 6 orang pemeluk Islam. hal tsb menyimpulkan visi penyebaran Islam keseluruh
ummat manusia. Begitupun tertulis dalam Firman Allah SWT yang artinya: “Dan kami tidak
mengutus kamu (Muhammad) melainkan kepada ummat manusia seluruhnya sebagai pembawa
berita dan pemberi peringatan” (QS. Saba'. 28).

Demikian bisa kami simpulkan bahwa Diplomasi dalam ajaran Islam merupakan seni yang
megedepankan kepentingan Dakwah, melalui negosiasi dengan cara-cara damai pun itu dalam
berhubungan dengan negara lain. apabila cara-cara tesebut gagal maka diplomasi mengijinkan
penggunaan ancaman atau kekuatan nyata sebagai cara untuk tercapainya tujuan. karna dalam
Islam kekerasan maupun perang meruapakan solusis terakhir dalam tercapainya kedamaian.

Adapun Sifat-sifat idealnya seorang Diplomat harus merujuk kepada sifat sifat Rasulullah
SAW sebagai seorang utusan Allah SWT yang harus di teladani

a) Siddiq (jujur)
Sifat jujur yang dimiliki Rasulullah terlihat dari ucapan dan perbuatannya. apa yang
pernah disampaikan kepada ummatnya baik berupa wahyu atau kabar, harus sesuai
dengan apa yang telah diterima dari Allah SWT. dalam arti lain bahwa apa yang telah
disampaikan pasti benar adanya. Allah SWT dalam firmannya "apa yang diberikan Rasul
kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang di larangnya bagimu maka tinggalkanlah
(QS. Al-Hasyr. 7)
b) Amanah (dipercaya)

Allah berfirman "Sesungguhnya aku adalah seorang Rasul kepercayaan (yang diutus)
kepadamu" (QS. ASy-Syura'. 143) Amanah diartikan sebagai dapat dipercayai. rasulullah
dalam syiarnya dapat di percaya dalam setiap ucapan maupun perbuatan

c) Tabligh (menyampaikan)

10
Sudah menjadi suatu kewajiban bagi Rasul guna menyampaikan amanah berupa wahyu
kepada manusia/ummatnya tercatat dalam (QS. AL-Ahzab. 39) Allah berfiman dalam Al
Qur'an "(yaitu) orang-orang yang menyampaikan risalah allah. mereka takut kepadanya
dan mereka tiada merasa takut kepada seseorangpun selain kepada Allah SWT. dan
cukuplah Allah sebagai pembuat perhitungan"

d) Fathonah (Cerdas)

Dalam menyampaikan dakwahnya pun risalah yang di berikan allah SWT. tentu
dibutuhkan keahlian diplomasi yang smart (cerdas). bisa di lihat dalam (QS. Al-An'am.
83) yang berbunyi " dan iyulah hujjah kami yang kami berikan kepada Ibrahim untuk
mengadapi kaumnya.

C. Tugas dan Fungsi Diplomatik dalam Islam dan Konvensional


1) Diplomatik dalam Islam

Dalam Daulah Khilafah Islam, politik hubungan internasional disusun berlandaskan


pada upaya mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia. Hal ini tidak terlepas dari salah satu
metode (thoriqoh) Islam untuk menjaga dan menyebarkan mabda’ Islam yaitu dakwah dan jihad.
Oleh karena itu, aktivitas diplomasi harus menyandarkan kepada aqidah Islam itu sendiri. Allah
swt berfirman:
Dan al-Qur’an itu tidak lain hanyalah peringatan bagi seluruh umat manusia. (TQS. Al –
Qolam (68): 52)
Ayat ini adalah ayat Makkiyah, diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud bahwa pada saat ayat ini
turun, baru ada enam orang pemeluk agama Islam. Hal ini menunjukkan visi penyebaran Islam
ke seluruh umat manusia di dunia.
Begitupun dengan firman Allah swt yang artinya
Dan Kami tidak mengutus kamu (Muhammad) melainkan kepada umat manusia seluruhnya,
sebagai pembawa berita dan pemberi peringatan (TQS. Saba’ (34): 28)
Katakanlah: hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua. (TQS. Al
A’raaf (7): 158)
Ayat – ayat di atas tidaklah bermakna bahwa orang – orang yang belum mengetahui
kedatangan Islam atau belum mendengar bahwa Allah swt telah mengutus seseorang Rasul, akan

11
mengetahuinya secara otomatis tanpa perlu ada yang menyampaikan kepadanya dan
mengajaknya masuk Islam.
Dengan demikian pengertian diplomasi dalam Islam adalah seni mengedepankan
kepentingan Dakwah Islam melalui negosiasi dengan cara-cara damai apabila mungkin dalam
berhubungan dengan negara lain. Apabila cara-cara damai gagal untuk memperoleh tujuan yang
diinginkan, diplomasi mengijinkan penggunaan ancaman atau kekuatan nyata sebagai cara untuk
mencapai tujuan-tujuannya.

I. Diplomasi Pada Masa Rasulullah saw

Setelah Nabi Muhammad dan kaum muslimin berhijrah ke madinah dan mendirikan
Negara Islam yang diplokamirkan melalui adzannya Bilal bi Rabbah yang menandakan secara
defacto dan dejure keberadaan Negara Islam di kancah perpolitikan dunia. Kemudian, beliau
melakukan perkiraan politik dengan menentukan mana kawan dan mana lawan. Pihak lawan
yang dimaksud Rasulullah adalah orang – orang Yahudi, orang – orang Musyrik, serta Persia dan
Romawi. Dari sinilah dimulai diplomasi politik luar negeri dilakukan.
Sebagai contoh,
Rasulullah saw pernah saling berkirim surat dengan Yahudi Bani Nadhir.
Surat Bani Nadhir kepada Nabi Muhammad saw: “Kirimkan kepada kami 30 orang laki-laki dari
sahabatmu, dan kami akan mengirimkan 30 orang laki-laki, hingga kita bertemu di tempat
ini……” hingga akhirnya, tatkala mereka tiba di sebuah tanah lapang, orang – orang Yahudi
saling bertanya satu dengan yang lain: “bagaimana kalian bisa membinasakan dirinya, sedangkan
ia bersama dengan 30 orang sahabat yang semuanya mencintai kematian?” lalu mereka
berencana berkhianat mengirim 60 orang yang dipersenjatai. Kemudian Bani Nadhir mengirim
surat lagi: “Keluarkan 30 orang laki-laki dari sahabatmu, maka kami akan mengirimkan 30 orang
‘alim kami kepada engkau, dan mereka akan mendengarkan engkau. Jika mereka beriman, maka
kami seluruhnya akan beriman dan membenarkan engkau”. Kemudian Rasulullah mengirim 30
orang sahabatnya. Hingga seorang perempuan Bani Nadhir memberitahukan kepada saudara
laki-lakinya yang muslim tentang pengkhianatan Bani Nadhir. Berita ini dirahasiakan hingga
sampai kepada Rasulullah saw, kemudian beliau beserta 30 orang sahabatnya kembali ke sentral
Negara Islam dan mengirim surat kepada Bani Nadhir: “Sesunggunya kalian tidak akan

12
mendapatkan keamanan dariku, kecuali dengan perjanjian yang kalian buat bersamaku”. Namun,
mereka menolak untuk membuat perjanjian. Akhirnya pada hari itu juga Rasulullah dan kaum
muslimin memerangi mereka. Esok harinya Rasulullah membuat perjanjian dengan Bani
Quraizhah, kemudian kembali ke Bani Nadhir dan memerangi mereka hingga diusir dari
perkampungannya.

Contoh lain adalah ketika perjanjian Hudaibiyah dilaksanakan, dalam proses perjanjian
tersebut terjadi saling utus mengutus para diplomatnya, baik dari kalangan Quraisy dan juga dari
pihak Rasulullah saw. Beliau sendiri mengutus Utsman bin Affan sebagai diplomat kepada
kalangan Quraisy di Mekkah saat itu. Terjadilah negoisasi-negoisasi perdamaian antara
Muhammad bin Abdullah dan kaum Musyrik Quraiys (yang diwakili oleh Suhail bin Amru)
yang dicatat oleh Ali bin Abi Thalib. Perjanjian ini membawa kemenangan besar terhadap
dakwah Negara Islam di Jazirah Arab.

II. Menggagas Diplomasi Negara Islam Modern


Institusi diplomatik sendiri dalam sebuah Negara terdiri dari dua bagian, yaitu pertama
departemen pemerintahan yang diberi tugas untuk melakukan politik luar negeri seperti
departemen luar negeri. Kedua, delegasi diplomatik di luar negeri yang diwakili oleh kedutaan-
kedutaan besar dan yang setingkat dengannya.
Sedangkan aktivitas para diplomat adalah melaksanakan politik luar negeri dan mengurus
hubungan politik, dan bukan mendesainnya. Tugasnya juga adalah memberikan informasi dan
pertimbangan kepada pembuat kebijakan politik luar negeri (khalifah) untuk membantu mereka
menggariskan kebijakan yang benar. Oleh karena itu, seorang diplomat harus melakukan
penetrasi terhadap Negara dimana mereka hidup, serta membangun hubungan erat dengan para
pengambil keputusan dan mereka yang menggariskan politik di negeri tersebut, serta dengan
para staf yang berpengaruh di dalamnya, sehingga mereka mengetahui apa yang terjadi,
mengetahui kepentingan vital serta orientasi politik relasinya.
Untuk menjalin hubungan diplomasi antar daulah Khilafah dengan Negara lain, perlu
dilakukan pengklasifikasian Negara. Hal ini penting, sebagai acuan Daulah Khilafah dalam
melakukan hubungan internasional dengan Negara lain.

13
Islam mengklasifikasikan negara dalam dua kategori, yaitu Darul Islam dan Darul Kufur/ Darul
Harb, sebagaimana hadits Nabi Muhammad saw riwayat Sulaiman bin Buraidah:
Serulah mereka kepada Islam, apabila mereka menyambutnya, terimalah mereka dan
hentikanlah peperangan atas mereka; kemudian ajaklah mereka berpindah dari negeri mereka
(darul kufr) ke Darul Muhajirin (darul Islam madinah); dan beritahukanlah pada mereka, bahwa
apabila mereka telah melakukan semua itu, maka mereka akan mendapatkan hak yang sama
sebagaimana yang didapatkan oleh kaum Muhajirin, dan juga kewajiban yang sama halnya
kewajiban Muhajirin (HR. Muslim)
Darul Islam adalah wilayah atau negeri yang di dalamnya diterapkan sistem hukum Islam
dan keamanannya diberlakukan keamanan Islam tanpa memperhatikan apakah penduduknya
kaum muslim, ahlu dzimmah atau merupakan campuran keduanya. Sedangkan darul Kufur
adalah wilayah atau negeri yang di dalamnya diterapkan sistem kufur dan keamanannya bukan
menggunakan keamanan Islam. (Iyad Hilal: 2002,h. 8). Darul kufur sendiri terbagi menjadi tiga:
1. Daulah al mu’ahadah/ ahl al-hudnah, atau ahl ash-shulh yaitu negara yang mempunyai
perjanjian dengan negara Islam
2. Daulah al-kafirah al-harbiyah al-muharibah bi al-fi’li yaitu negara kafir harbi yang benar-
benar sedang memerangi umat Islam secara nyata
3. Ad-daulah al-kafirah al-harbiyah ghayru al-muharibah bi al-fi’li yaitu negara kafir harbi
yang tidak sedang terlibat perang secara nyata dengan umat Islam. Atau disebut juga
dengan Ad-daulah al-kafirah al-harbiyah hukman. (Ibnu Qoyyim al Jauziyah dalam
Ahkam ahl adz dzimmah)

Perlu menjadi catatan, Pembagian kategori Negara ini sebatas menunjukkan status
Negara dan system pemerintahannya, tidak lantas secara otomatis mempengaruhi status
keimanan seseorang. Misalnya seorang muslim yang tinggal di darul kufur tidak lantas dirinya
menjadi kufur dan berlaku hukum sebagaimana kepada warga Negara yang secara keimanan
bukanlah muslim.
Dalam Islam, ada pengaturan interaksi antar Negara-negara. Dari pengklasifikasian
tersebut maka pengaturan diplomasi dengan Negara-negara lain dalam konteks kekinian adalah
sebagai berikut:

14
a. Pertama, negara yang menduduki wilayah Islam, atau negara yang terlibat secara aktif
memerangi umat Islam seperti Amerika Serikat, Inggris, Israel, dan India. Hubungan
dengan negara-negara ini ditetapkan berdasarkan kebijakan Harbi Fi’lan (perang riil).
Tidak boleh ada hubungan diplomatik maupun ekonomi antara Khilafah dengan negara-
negara musuh ini. Warga negara mereka tidak diizinkan memasuki wilayah Daulah
Khilafah. Meski tengah terjadi gencatan senjata yang bersifat temporer, negara-negara itu
tetap diperlakukan sebagai harbi fi’lan. Hubungan diplomatik dan ekonomi dengan
negara-negara tersebut tetap tidak dilakukan.
b. Kedua, negara-negara Kafir yang tidak menduduki wilayah Islam, atau tidak sedang
memerangi umat Islam, akan tetapi mereka mempunyai niat menduduki wilayah Islam.
Khilafah tidak menjalin hubungan diplomatik dan ekonomi dengan negara-negara Kafir
seperti ini. Tapi warga negara-negara tersebut diizinkan memasuki wilayah Daulah
Khilafah dengan visa sekali jalan (single entry).
c. Ketiga, negara-negara Kafir selain kedua kategori di atas. Terhadap negara-negara
seperti ini, Khilafah diizinkan membuat perjanjian. Sambil terus mengamati skenario
politik internasional, Khilafah diperbolehkan menerima atau menolak perjanjian demi
kepentingan dakwah Islam. Di samping itu, perjanjian diplomatik dan ekonomi dengan
negara-negara Kafir jenis ini harus dilakukan sesuai dengan syariah Islam.

III. Prinsip diplomasi dalam Islam

Diplomasi negara Islam dengan negara lain akan dilaksanakan dengan beberapa prinsip
berikut ini:
a. Berlandaskan kepada aqidah Islam
b. Berorientasi dalam rangka mengemban dakwah Islam, maka perjanjian apapun
akan diarahkan untuk kepentingan penyebaran ideologi Islam.
c. Tidak dilakukan perang dengan Negara lain kecuali sebelumnya sudah disampaikan
dakwah Islam
d. Menyerukan Negara kufur untuk memeluk agama Islam sekaligus menerapkan
system Islam.

15
e. Jika menolak untuk memeluk Islam, maka diserukan untuk tunduk kepada system
Islam yang dibuktikan dengan membayar jizyah tanpa dipaksa untuk memeluk Islam.
Secara de facto dan de jure wilayah ini menjadi bagian dari daulah khilafah, sehingga
negara Islam akan menerapkan syari’ah Islam di negeri ini.
f. Jika menolak keduanya maka perang menjadi alternative terakhir dalam kebijakan
luar negeri daulah Islam

2) Diplomatik dalam Hukum Konvensional

Perwakilan diplomatik adalah perwakilan yang berbagai kegiatannya mewakili negara


dalam melaksanakan hubungan diplomatik dengan negara penerima atau suatu negara dan
organisasi internasional. Bisa juga dibilang, perwakilan yang kegiatannya melaksanakan
kepentingan negaranya di luar negara. Seseorang yang diberikan tugas sebagai perwakilan
diplomatik suatu negara tersebut disebut dengan diplomat. Dalam menjalin hubungan
internasional atau hubungan diplomatik dengan negara lain, suatu negara biasanya menempatkan
perwakilan diplomatik dengan negara lain atau negara mitranya.

I. Peranan Perwakilan Diplomatik

Pembuatan perjanjian internasional dilaksanakan melalui perundangan yang melibatkan


beberapa wakil dari masing masing negara pembuat perjanjian. Peran yang di miliki oleh
perwakilan negara berkaitan dengan hubungan antar bangsa. Semua kegiatan hubungan antar
bangsa atau antar negara intinya ialah diplomasi, yakni usaha memelihara hubungan diantara
negara negara. Aktifitas diplomasi dilaksanakan para diplomat, yakni orang-orang yang
mewakili secara resmi sebuah negara pada hubungan resmi negara satu dengan negara lainnya.
Para wakil tersebut diakreditasi, atau diakui secara resmi menjadi wakil negaranya oleh negara
pengirim atau oleh negara penerimanya.

II. Fungsi Perwakilan Diplomatik

Sebagai representasi negaranya di negara lain, fungsi perwakilan diplomatik sangatlah


besar untuk hubungan negara dengan negara lain maupun dengan organisasi dunia lain. Berdasar

16
Konvensi Wina pada tahun 1961, pada pasal 3 ayat (1), ada beberapa fungsi perwakilan
diplomatik yang perlu kita ketahui, seperti:

a. Fungsi Mewakili
Untuk mewakili kepentingan negara sebagai pengirim pada negara penerima.
b. Fungsi Melindungi
Untuk melindungi kepentingan negara sebagai pengirim maupun warga negaranya pada
negara penerima.
c. Fungsi Mengadakan
Untuk mengadakan persetujuan bersama pemerintah dari pihak negara penerima.
d. Fungsi Memberikan
Untuk memberi laporan secara berkala mengenai kondisi dan pertumbuhan dalam bidang
ekonomi, militer, serta ilmu pengetahuan maupun lain-lain pada negara penerima.
e. Fungsi Meningkatkan
Untuk meningkatkan kerja sama antara kedua negara dalam berbagai bidang, misalnya
bidang perdagangan pendidikan & kebudayaan.

Sedangkan berdasarkan pasal 5 Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 108 Tahun
2003 Tanggal 31 Desember 2003, Tentang Organisasi Perwakilan Republik Indonesia di Luar
Negeri, Fungsi Perwakilan Diplomatik antara lain :

a. Peningkatan dan pengembangan kerjasama politik dan keamanan, ekonomi, sosial dan
budaya dengan Negara Penerima dan/atau Organisasi Internasional
b. Peningkatan persatuan dan kesatuan, serta kerukunan antara sesama Warga Negara
Indonesia di luar negeri
c. Pengayoman, pelayanan, perlindungan dan pemberian bantuan hukum dan fisik kepada
Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia, dalam hal terjadi ancaman
dan/atau masalah hukum di Negara Penerima, sesuai dengan peraturan perundang-
undangan nasional, hukum internasional, dan kebiasaan internasional
d. Pengamatan, penilaian, dan pelaporan mengenai situasi dan kondisi Negara Penerima;
e. Sebagai konsuler dan protokol

17
f. Perbuatan hukum untuk dan atas nama Negara dan Pemerintah Republik Indonesia
dengan Negara Penerima
g. Kegiatan manajemen kepegawaian, keuangan, perlengkapan, pengamanan internal
Perwakilan, komunikasi dan persandian
h. Fungsi-fungsi lain sesuai dengan hukum dan praktek internasional.

III. Tugas Pokok Perwakilan Diplomatik

Perwakilan diplomatik negara Republik Indonesia juga bisa berbentuk Keduataan Besar
Republik Indonesia atau (KBRI) yang ditempatkan pada suatu negara tertentu serta perutusan
tetap RI. Mengenai tugas pokok dari perwakilan diplomatik diantaranya.

a. Negoisasi, ialah melakukan perundingan bersama kepala negara ataupun menteri luar
negeri pada negara dimana dia di tempatkan.
b. Proteksi, ialah melindungi kepentingan negara dengan warga negaranya pada negara
dimana dia ditempatkan.
c. Representasi, ialah melakukan protes, melaksanakan penyelidikan pertanyaan bersama
pemerintah negara penerima, serta mewakili kebijaksanaan dari politik pemerintah
negaranya.
d. Pengertian Observasi, ialah memberi keterangan terkait peristiwa yang terjadi dalam
sebuah negara yang mungkin bisa mempengaruhi oleh kepentingan negaranya.
e. Persahabatan ialah untuk meningkatkan interaksi persahabatan antara negara pengirim
dan negara penerima, baik dalam bidang ekonomi, budaya, atau ilmu pengetahuan &
teknologi.

Seorang diplomat ketika menjalankan tugasnya berada di luar negeri juga harus
menjauhkan diri terhadap kegiatan yang berbau mencampuri urusan negara penerimanya. Jika di
langgar, seorang diplomat harus meninggalkan negara yang menerima. Berdasarkan peraturan
hukum internasional, diplomat mempunyai kekebalan diplomatik sepenuhnya.

18
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Ternyata, seorang Diplomat harus memiliki sifat-sifat yang di atur dalam Islam yakni :
Siddiq (jujur), Amanah (dipercaya), Tabligh (menyampaikan), Fatonah (cerdas)
2. Ternyata, Pemberian kekebalan dan keistimewaan bagi para pejabat diplomatik
didasarkan pada prinsip timbal balik (principle of reciprocity), untuk dapat
menjalankan tugas atau misinya dengan baik dan tidak menghadapi halangan dari
negara penerima ke dalam gedung diplomatik, kecuali disetujui oleh kepala misi,
karena dapat dianggap mencampuri urusan negara pengirim begitu pula sebaliknya,
3. Penyediaan sarana dan prasarana kepada perwakilan,mengijinkan dan melindungi
kemerdekaan berkomunikasi pada pihak perwakilan diplomatik asing tersebut agar
dapat melaksanakan tugasnya.
4. Pada awalnya tujuan Diplomatik dalam Islam adalah Dakwah dan untuk menyebarkan
Islam Keseluruh dunia

B. Saran
1. Dalam pengambilan kebijakan luar negeri, negara harus mengedepankan penegakan
Hak Asasi Manusia tanpa memandang agama maupun kepentingan Politis.
2. Desawa ini pelanggaran terhadap Minoritas di negara tertentu mengharuskan
Pemerintah Republik Indonesia tampil paling terdepan.
3. Perkembangan IPTEK di era ini menuntut perwakilan Diplomat untuk lebih jeli dan
mengedepankan Kemanusiaan dan Keadilan.

19
DAFTAR PUSTAKA

Sumaryo Suryokusumo, 2013, Hukum Diplomatik dan Konsuler Jilid I, Tatanusa,

Jakarta, hlm.8

Zafor Mohammad. 2014. Diplomacy in Islam. http://www.islamdaily.org/en/

islam/11828. Diakses pada desember 2019

Friedman David D. Islamic International Law. http://www.daviddfriedman.com.

Diakses pada desember 2019

Saefulllah Saad. 2014. Perjanjian Hudaibiyah, Bukti Kejeniusan Politik Nabi. http://

www.islampos.com/perjanjian-hudaibiyah-bukti-kejeniusan-politik-nabi/.

20

Anda mungkin juga menyukai