Anda di halaman 1dari 12

“ Sejarah dan Praktik Diplomasi ”

Review
Dianjukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Diplomasi yang diampu oleh:

Iing Nurdin, Drs., M.Si., Ph.D.

DISUSUN OLEH :

Daffa Fauzan Apandi

6211201195

Kelas E

JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI
CIMAHI
2021
Daftar Isi
BAB I..........................................................................................................................................................2
PENDAHULUAN......................................................................................................................................2
A. Latar Belakang.................................................................................................................................2
B. Rumusan Masalah............................................................................................................................2
C. Tujuan Masalah...............................................................................................................................3
BAB II........................................................................................................................................................4
PEMBAHASAN.........................................................................................................................................4
A. Sejarah dan praktik Diplomasi pada Masa Yunani Kuno.................................................................4
B. Sejarah dan praktik diplomasi pada masa Romawi Kuno................................................................5
C. Sejarah dan praktik Diplomasi pada masa Abad Pertengahan.........................................................6
D. Sejarah dan praktik diplomasi pada masa Perancis..........................................................................8
E. Sejarah dan praktik Diplomasi Masa Inggris...................................................................................9
F. Sejarah dan praktik Diplomasi Menjelang Perang Dunia I............................................................10
BAB III.....................................................................................................................................................11
KESIMPULAN........................................................................................................................................11
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Diplomasi merupakan sebuah seni bernegosiasi atau merupakan sebuah perundingan yang
biasanya dilakukan oleh orang-orang yang diutus oleh sebuah negara atau yang biasa disebut
dengan Diplomat, secara ringkas dapat disebutkan bahwa diplomasi merupakan sebuah
perundingan yang tujuan nya membuat perjanjian-perjanjian diantara negara-negara, secara lebih
luas diplomasi pun dapat diartikan merupakan sebuah sistem management untuk
menghubungkan keperluan setiap negara dengan cara membuat perjanjian yang dilakukan
melalui negosiasi, tujuan utama diplomasi.

Secara etimologis, kata ‘’diplomasi’’ berasal dari bahsa Yunani yaitu ‘diploun’’ yang artinya
melipat, penamaan ini mengacu pada kejadian yang ada pada masa kekaisaran Romawi yang
mana semua passport atau semua dokumen sebagai syarat melintasi batas – batas negara di cetak
menggunakan pada piringan logam lalu dilipat dan dijahi menjadi satu, yang mana surat tersebut
disebut sebagai diplomas. Ada beberapa pendapat para ahli contohnya yaitu menurut Geoffrey
McDermott yang berpendapat bahwa diplomasi merupakan pertimbangan dalam manajemen
hubungan internasional, masing-masing negara yang tidak terhitung ukuran nya yang ingin selalu
memelihara/mengembangkan posisinya dalam kancah Internasional. Sedangkan menurut David
W Ziegler yaitu Diplomasi merupakan mesin atau alat dari politik luar negeri sebuah negara,
pentingnya diplomasi ini sangat vital dalam mengkomunikasikan sesama negara-negara dunia
untuk menjaga perdamaian dunia. Karena memang salah satu factor pecahnya perang yaitu
dikarenakan tidak adanya komunikasi antar negara-negara yang betikai seperti kasus perang
dunia.

B. Rumusan Masalah
 Sejarah dan praktik Diplomasi pada masa Yunani Kuno
 Sejarah dan praktik Diplomasi pada masa Romawi Kuno
 Sejarah dan praktik Diplomasi pada masa Abad Pertengahan
 Sejarah dan praktik Diplomasi pada masa Perancis
 Sejarah dan praktik Diplomasi pada masa Inggris
C. Tujuan Masalah
 Mengetahui sejarah dan praktik Diplomasi pada masa Yunani Kuno
 Mengetahui sejarah dan praktik Diplomasi pada masa Romawi Kuno
 Mengetahui sejarah dan praktik Diplomasi pada masa Abad Pertengahan
 Mengetahui sejarah dan praktik Diplomasi pada masa Perancis
 Mengetahui sejarah dan praktik Diplomasi pada masa Inggris
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah dan praktik Diplomasi pada Masa Yunani Kuno


Yunani kuno merupakan salah satu saksi sejarah dari perjalanan diplomasi, pada masa lampau
banyak sekali dewa-dewa bangsa yang terlibat dalam kegiatan diplomasi salah satu dewa yang
terlibat dalam diplomasi yaitu raja dari para dewa yang bernama Zeus yang kala itu memperi
perintah kepada Hermes yang mana adalah dewa pembawa pesan untuk melakukan praktik
diplomasi yang dapat dikatakan sulit karena Hermes ditugaskan untuk membunuh Argos yang
merupakan seorang penyair yang menulis pergantian abad kelima SM juga terkenal sebagai
pahlawan eponim, dikatakan pahlawan karena Argos pernah mengumpulkan para wanita untuk
melawan Spartan yang menyerang dibawah Kleomes I sekitar 494 SM. Dalam menjalankan
perintah nya Hermes menggunakan tipu daya yang sangat cerdik bahkan melambangkan sifat-
sifat mempesona, akibat dari perlakukan Hermes yang menggunakan banyak tipu yang cerdik
bahkan mempesona dalam menjalankan praktik diplomasi berdampak kepada praktik diplomasi
sesudahnya karena pada masa modern sekalipun banyak yang meng asumsikan bahwasanya
diplomasi banyak bersifat negatif seperti sifat-sifat kebohongan dan kelicikan demi melindungi
kepentingan nya sendiri.
Salah satu sejarawan yang bernama Thucydides berhasil menggambarkan praktik diplomasi pada
masa Yunani Kuno pada masa keenam SM para warga Yunani melakukan praktik diplomasi
yaitu memilih ahli pidato terbaik saat itu untuk berunding didepan majelis rakyat dari liga atau
kota-kota dengan harapan dapat menangani kasus yang ada, perundingan yang dimaksud diatas
adalah melakukan negosiasi dengan cara berpidato secara lisan di depan umum dengan harapan
agar lebih banyak warga yang mendukung, jika proses negosiasi berhasil dan menghasilkan
sebuah perjanjian maka persyaratan – pesyaratan tersebut akan di ukir pada loteng suci pada
sebuah batangan yang berbentuk seperti tablet agar bisa dilihat oleh semua warga. Salah satu
sejarawan pun menyebut kegiatan ini merupakan sebagai ‘bangsa Yunani menerapkan sistem
perjanjian terbuka yang dilakukan secara terbuka’.
Setelah kejadian tersebut selanjutnya pada abad ke lima SM pengiriman serta penerimaan
kedutaan-kedutaan menjadi sangat sering, sarana-sarana diplomatic yang dipraktikan oleh
Yunani Kuno tentu saja tidak mulus dan ada beberapa kekurangan yang terjadi salah satu
kekurangan yang paling sangat terasa yaitu ‘penyakit warga Yunani kecintaan akan perselisihan’
maka tentu saja praktik diplomasi akan banyak terhambat contoh hambatan yang terjadi adalah
kecemburuan satu sama lain sehingga power tawar menawar diplomatic warga Yunani
membahayakan keamanan mereka sendiri.

B. Sejarah dan praktik diplomasi pada masa Romawi Kuno


Kontribusi bangsa Romawi kuno tidak begitu menonjol, tetapi bangsa Romawi kuno membuat
sebuah kontribusi yang substansial dalam pertumbuhan serta perkembangan hukum
internasional. Pada awal mulanya bangsa Romawi measuiki sebuah perjanjian atas dasar asas
timbal balik dan koalisi latin sebagai koalisi antarpartner yang sejajar. Tradisi diplomasi dan
metode-metode diplomasi serta praktiknya disebarkan dari bangsa Yunani kepada bangsa
Romawi. Bangsa Romawi diberi tuhan ‘’practial sense’’ bangsa Romawi mempunyai kapasitas
administrasi yang mengagumkan tetapi mereka tidak membuat kontribusi yang penting pada
perkembangan seni negosiasi. Perwakilan diplomatik Romawi disebut Legatus, yang ditunjuk
berpunca dan oleh Senat. Legatus memegang sejumlah kekuasaan menjelang prei bertindak.
Kebutuhan seorang deputi kebanyakan dipenuhi oleh majikan tentara dan presiden wilayah yang
dihadiri.

Bangsa Romawi menganggap perjanjian ini sebagai kontrak hukum dan menekankan kegiatan
diplomatik sesuai dengan kewajiban mereka di bawah hukum. Bangsa Romawi juga
mengembangkan sistem regulasi yang luas untuk menerima perwakilan asing. Hal ini terlihat
dalam salah satu aturan Romawi yang menyatakan bahwa duta besar tidak hanya menerimanya,
tetapi panitia atau staf harus menerima hak yang sama. Selain itu, Roy (1995) juga berpendapat
bahwa diplomasi penting dalam dunia hubungan internasional. Namun, Roy berpendapat bahwa
peradaban Romawi kuno tidak memberikan kontribusi besar bagi perkembangan seni negosiasi.
Bangsa Romawi pada dasarnya lebih suka memaksakan kehendak mereka daripada bernegosiasi
atas dasar timbal balik atau tawar-menawar. Meskipun kontribusi Romawi terhadap
pengembangan struktur diplomatik tidak begitu penting, mereka memberikan kontribusi yang
signifikan terhadap perkembangan dan pertumbuhan hukum internasional. Pada saat Romawi
berganti bentuk pemerintahan menjadi kekaisaran, Romawi semakin kuat dan hal ini menjadikan
Romawi semakin angkuh. Karena merasa mempunyai power, Romawi mulai menggunakan
ancaman dan memaksakan kehendak kepada siapa saja yang berkoalisi dengannya. Asas
diplomasi yang diterapkan di awal dan bersifat timbal balik pun memudar. Romawi tidak segan
untuk menyerang lawan yang tidak tunduk dan melakukan pengecualian pada mereka yang
tunduk (Roy, 1995: 58). Senat pada masa ini juga kehilangan perannya. Senat kini tak lagi
mempunyai kewenangan atas pembuatan keputusan, ia termarginalisasi dan hanya menjadi
sebuah simbolis. Diplomasi pada masa kekaisaran ini pun menurun (Kurizaki, 2011: 10). Bangsa
Romawi juga menekankan pada sanksi perjanjian. Bagi mereka, perjanjian adalah sebuah
kontrak hukum. Kewajiban juga diatur oleh hukum tersebut.

Champbell menerangkan bahwa penggunaan diplomasi yang berapa pada peradaban Romawi
kuno bergantung pada pemerintahan yang ada dan yang berkuasa pada saat itu selain itu Kurizaki
( 2011 ) juga menjelaskan bahwa ada factor pendorong proses diplomasi yang ada pada zaman
Romawi.

C. Sejarah dan praktik Diplomasi pada masa Abad Pertengahan


Diplomasi modern pertama kali dikembangkan di kota – kota di negara Italia, karena mwewka
berdiri diluar sistem feudal utama, dalam usaha memperoleh supremasi mereka lebih sering
membentuk koalisi yang membantu mereka dalam perolehan tujuan nya. Munculnya sistem
negara kota selama renaissans di Italia ditemani oleh seni diplomasi yang sedang berkembang
pesat. Eropa Abad Pertengahan ditandai dengan jatuhnya Kekaisaran Romawi Barat dan
munculnya sistem kepausan dan Orang Suci Romawi, keduanya dianggap sebagai pewaris
Kekaisaran Romawi (Nigro, 2006: 195). Paus dan Kaisar menyatukan banyak hal, seperti
ekonomi, wilayah, agama, khususnya Kristen. Kedua belah pihak membuat agama Kristen
berkembang dan melahirkan sistem Kristen. Pada saat ini, Gereja telah memainkan peran penting
dalam pemerintahan. Kita melihat bahwa dalam sistem feodal, bahkan dengan raja sebagai
otoritas tertinggi, dia masih harus tunduk kepada Gereja. Gereja juga berperan dalam
memutuskan hukuman atas tindakan yang dianggap salah. Perasaan tidak nyaman dengan
keberadaan Gereja, yang menghapuskan segala sesuatu yang dianggap di luar kekuasaannya,
termasuk pengetahuan, menyebabkan apa yang disebut periode Abad Pertengahan (Knutsen,
1997). Tetapi kemudian sistem Kristen yang sejati menjadi ambigu dan ambigu dan mengarah
pada tumpang tindih dalam bidang politik. Periode ini diakhiri dengan Perang Salib, yang secara
tidak langsung memberikan kontribusi signifikan bagi diplomasi Eropa dan memunculkan
periode baru, yaitu Renaisans atau Pencerahan (Black, 2010). : 32).
Bizantium sebagai organisasi komersial juga berkontribusi pada diplomasi di Italia. Venesia
memprakarsai arsip, kebutuhan akan pendidikan dalam bahasa dan secara teratur memberikan
informasi baru kepada utusan di negara lain. Hal ini kemudian menjadi inovasi bagi negara lain
yang ingin melakukan diplomasi. Machiavelli, dalam bukunya The Prince, menyatakan bahwa
diplomasi memang merupakan tindakan yang tidak bermoral, karena utusan sering menggunakan
kedua belah pihak untuk keuntungan mereka sendiri (Roy, 1995: 63). Sir Henry Wotton (dalam
Roy, 1995: 6. Tidak hanya Italia, Perancis juga mengembangkan sistem diplomasinya pada abad
pertengahan. Tepatnya pada abad ke-17, suatu tatanan dalam praktik-praktik diplomasi mulai
menggantikan kondisi-kondisi kekacauan yang terjadi saat itu. Hugo Grotius memainkan
peranan yang sangat penting dengan diterbitkannya buku berjudul “De Jure Belli et Pacis”
(Hukum Perang dan Damai) pada tahun 1625 yang telah membantu perkembangan hukum
internasional dan memainkan peranan penting dalam evolusi diplomasi (Roy, 1995).
Diterbitkannya buku tersebut menyadarkan semua orang bahwa ada beberapa prinsip tertentu
yang sama bagi seluruh umat manusia yang harus membentuk basis “peraturan tingkah laku
internasional”. Kesadaran ini merintis jalan bagi diterimanya beberapa aturan untuk dipelihara
dan dipertahankan dalam melaksanakan hubungan internasional melalui prosedur-prosedur
diplomatik yang terorganisir dan teratur. S. L. Roy (1995) menandai hal ini sebagai suatu
kemajuan besar dalam perkembangan diplomasi.

Negara-kota di Italia pada saat itu mengirimkan para duta besar ke negara lain secara permanen
dan memperkenalkan adanya residen duta besar. Dari Perancis, telah memberi kontribusi pada
sistem diplomasi saat ini dengan penekanannya pada instruksi tertulis yang diberikan kepada
para duta besar dengan tujuan untuk memberi garis besar kebijaksanaan yang harus dicapainya.
Pemikiran Francois Callieres yang mencela tipu daya sebagai alat diplomasi dan penegasannya
bahwa diplomasi yang baik didasarkan pada saling kepercayaan dengan menjalankan kesetiaan,
juga turut menjadi salah satu kontribusi dari Perancis pada diplomasi abad pertengahan. Spanyol
juga memberikan beberapa kontribusi melalui pemikiran Ferdinand II yang menyadari akan
pentingnya menyatukan dua kerajaan yang sedang bertikai secara damai.

D. Sejarah dan praktik diplomasi pada masa Perancis


Perjanjian Lodi menghasilkan unstable equilibrium karena meskipun terdapat balance of power,
kelima city-state mengalami dilema keamanan yakni rasa saling curiga akibat perang
sebelumnya. Demi menjaga perdamaian, Italia menjalankan pertukaran diplomat antar city-state
sebagai sistem komunikasi yang stabil. Diplomasi menjadi kekuatan penting dalam pengumpulan
informasi, kalkulasi risiko, dan pengambilan strategi. Seiring meningkatnya hubungan aliansi
dan fluktuasi tensi militer, fungsi diplomat dan durasi tugasnya di negara penerima turut
bertambah. Diplomat yang mulanya bersifat ad hoc kemudian ditempatkan sebagai residen
permanen serta didirikan kedutaan besar agar diplomasi berjalan lebih efisien (Kurizaki 2011,
17-9). Institusionalisasi praktik diplomatik ini disebut Nicolson (1963) sebagai ‘sistem Italia’,
cikal bakal lahirnya sistem diplomasi modern (Jonsson dan Hall 2005, 11). Kestabilan sistem
Italia sempat terancam ketika Charles VIII memimpin invasi Perancis tahun 1494. Paus
Alexander VI kemudian membentuk Liga Venisia dengan bantuan Maximilian I dari Romawi
Suci, Ferdinand dari Aragon, serta aliansi-aliansi lain. Liga Venisia, didukung kelihaian duta-
duta perwakilan Ferdinand dalam berbagai lembaga peradilan Eropa, berhasil menangkal invasi
Perancis. Keberhasilan ini membuat sistem Italia tersebar ke berbagai penjuru Eropa (Kurizaki
2011, 19).
Perancis kemudian juga memanfaatkan dan mengembangkan seni diplomasi. Berbeda dengan
Italia yang cenderung tertutup, Perancis menerapkan diplomasi yang terbuka dan berfokus pada
pembangunan citra baik di mata pihak luar. Sistem diplomasi Perancis sendiri dipengaruhi
pemikiran Armand Jean du Richelieu. Kardinal Richelieu menjadi Menteri Luar Negeri,
kemudian Perdana Menteri Kerajaan Perancis, untuk Louis XIV. Di masa ini Perancis muncul
dengan ambisi mengungguli dominasi Spanyol. Pecahlah Perang Tiga Puluh Tahun 1618-1648
yang merupakan klimaks dari perebutan kekuasaan antara Spanyol yang membawa nama Katolik
dan Perancis yang membawa nama Protestan, sebelum kemudian diakhiri dengan Perjanjian
Wetsaphalia 1648 (Nigro 2010, 203).
Richelieu beranggapan bahwa jalannya negara tidak perlu bergantung pada Kepausan karena
perumusan dan pencapaian kepentingan negara, raison d'etat, harus diutamakan. Menurut
Richelieu, diplomasi harusnya didasarkan pada asas keterbukaan dan kepercayaan satu sama
lain. Negosiasi tidak seharusnya bersifat insidental dan tergesa-gesa namun berkesinambungan
secara permanen sehingga dapat mengandung unsur kepastian (Roy 1995, 67). Setelah Richelieu
wafat, salah satu pengikutnya yakni Jules Mazarin melanjutkan kedudukannya sebagai Perdana
Menteri untuk Louis XIV. Era Mazarin membawa Perancis mencapai perdamaian dengan
Spanyol dan menggapai puncak kejayaannya di Eropa.
Pada era kejayaan Perancis, diplomasi Renaissance Perancis abad 17-18 dianggap sebagai model
diplomasi lama dengan proses diplomatik yang seremonial, pengumpulan informasi yang bersifat
konfidensial, serta pemberian surat perintah bagi diplomat). Para diplomat Perancis diberi
instruksi tertulis mengenai misi diplomatiknya beserta informasi koheren mengenai negara
penerimanya (Roy 1995, 68). Era ini memulai penggunaan lingua franca yakni bahasa Perancis,
kesepakatan protokol diplomatik, standardisasi bahasa diplomatis, prosedur pembuatan
perjanjian, serta penggunaan peraturan dan norma diplomatik. Tak hanya terdapat
institusionalisasi namun juga profesionalisasi menteri luar negeri dan diplomat resmi.
E. Sejarah dan praktik Diplomasi Masa Inggris

Sejarah Diplomasi pada era Westphalia, Revolusi Amerika dan Eropa Sebagian besar sejarah
abad kesembilan belas Eropa adalah mengenai perang dan konflik. Salah satu alasan untuk hal
tersebut adalah penyebaran dan penerimaan ide politik baru dan institusi di seluruh benua.
Meninjau lebih lanjut, pada abad kedelapan belas istilah politik, yakni revolusi, hadir dengan
makna baru. Istilah tersebut telah lama digunakan dalam arti perubahan dalam kompetisi
pemerintah dan tidak ada suatu kekerasan. Namun, pada 1789, hal tersebut tidak berlangsung
lama. Tidak semua politik di era abad kesembilan belas dapat  disatukan di bawah rubrik revolusi
dalam jangka panjang. Selanjutnya, selama kurang lebih satu abad, muncul banyak gejolak
politik dibandingkan sebelumnya yang memang revolusi hadir dalam bentuk radikal dan
kekerasan (Roberts , 2010: 303).

Revolusi politik pertama dari sebuah era baru sejarah Eropa terjadi di luar Eropa dan baik
sebelum berakhirnya abad kedelapan belas, yaitu pada saat pembubaran kekaisaran pertama
Inggris. Pada tahun 1763, kekuasaan Inggris di Amerika Utara telah mencapai puncaknya,
dengan membentuk tiga belas koloni yang memiliki pemerintahan sendiri. Kemudian, wilayah
Kanada telah diambil dari Prancis (Roberts , 2010: 304). Peperangan terus berlangsung, yang
mana memakan waktu sangat lama. Meninjau lebih lanjut, kerajaan Inggris sempat mengalami
kebangkrutan dalam peperangan melawan Prancis. Dalam mengatasi masalah keuangan,
pemerintah Inggris kemudian membuat kebijakan-kebijakan yang mengeksploitasi negara-negara
jajahan, termasuk Amerika Utara. Selanjutnya, Inggris  memberikan prinsip pada Amerika
bahwa Amerika, termasuk tiga belas koloni yang ada di wilayahnya tersebut harus membayar
bagian mereka dari pajak perlu menegakkan pertahanan dan kepentingan kekaisarannya sendiri,
dengan mencoba untuk memaksakan memberikan pajak pada gula impor ke koloni atau untuk
membuat stempel pendapatan wajib pada dokumen-dokumen tertentu. Berbagai kebijakan yang
merugikan rakyat wilayah koloni di Amerika menimbulkan pemberontakan yang dikenal dengan
Revolusi Amerika

F. Sejarah dan praktik Diplomasi Menjelang Perang Dunia I


Perkembangan dan perubahan saat ini memiliki pengaruh yang kuat terhadap kelangsungan suatu
peristiwa atau peristiwa penting, seperti perang, dan juga pada penyelesaian keberadaan perang.
Hal ini muncul dari Kongres Wina pada tahun 1815, berkontribusi pada pengembangan
diplomasi serta menjaga stabilitas politik dan perdamaian di Eropa. Kongres Wina merupakan
pertemuan pertama yang diselenggarakan oleh negara-negara Eropa dan kemudian disebut
Konser Eropa yang bertujuan untuk menciptakan keseimbangan kekuatan di Eropa untuk
menjaga perdamaian . Selain itu, Kongres Wina juga turut mendorong berbagai kemajuan yang
meliputi berbagai aspek, seperti di bidang politik, ekonomi dan sosial selama beberapa dekade.
Hal ini membuat negara-negara Eropa lebih maju dan lebih progresif dalam upaya ekspansi
mereka. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa situasi ini akan memunculkan konflik yang
berujung pada Perang Dunia I. Kongres Wina pada tahun 1815 adalah pertemuan yang dihadiri
dan diselenggarakan oleh lima negara paling kuat di Eropa.

Setelah perang, negara baru ini fokus membangun pemerintahan nasional yang bisa menaungi
semua aspirasi rakyat Amerika

Lima negara tersebut adalah Rusia yang diwakili oleh Tsar Alexander I, Prusia yang diwakili
oleh Pangeran Karl August von Hardenberg, Inggris oleh Lord Castlereagh, Austria oleh
Pangeran Clément von Mitternich, dan Prancis oleh Maurice oleh Talleyrand. Selanjutnya, lima
kekuatan Eropa membentuk aliansi yang biasa dikenal dengan aliansi lima negara . Richard B.
Elrod menjelaskan bahwa aliansi lima kali lipat merupakan konsep penyeimbang hegemonik di
Eropa, sehingga konflik dan sengketa isu yang muncul pada saat itu bukanlah konflik antar
negara, melainkan sebatas konflik internal yang muncul. . antara pemerintah suatu negara dan
gerakan anti pemerintah terus tumbuh dan berkembang. Apalagi sistem European Concert atau
Kongres Wina tidak lepas dari pengaruh Otto von Bismarck, yang pada saat itu merupakan
pemimpin Jerman yang berjasa dalam penyelesaian dan penyatuan konflik teritorial Jerman,
yang dikenal dengan peristiwa Revolusi Jerman.

Selain itu, industrialisasi di Eropa mengalami revolusi setelah tahun 1815, yaitu dengan asumsi
bahwa barang-barang yang berguna harus diproduksi untuk memperoleh keuntungan yang besar,
seperti kapas, baja, dan wol. Di era Perdamaian Eropa, diplomasi memainkan peran yang cukup
penting, yaitu sebagai sarana negosiasi untuk mencapai kepentingan Bangsa dengan
mengutamakan unsur perdamaian dan keseimbangan kekuatan.

Konsep balance of power mencoba menjelaskan bahwa tidak ada kekuatan sentral yang
mengontrol negara-bangsa di dunia. Sistem keseimbangan kekuasaan memberi legislator pilihan
untuk menyelesaikan konflik melalui perang atau mencoba menyelesaikan perselisihan melalui
cara damai seperti negosiasi dan diplomasi. Di sisi lain, kesetaraan kekuasaan dapat menciptakan
ketegangan antar negara karena satu negara tidak dapat sepenuhnya menilai kemampuan,
kekuatan dan kemauan negara lain. Tujuan dari balance of power itu sendiri bukan untuk
menjaga perdamaian, tetapi untuk menjaga independensi para aktor untuk melindungi unit
teritorial mereka. Keseimbangan kekuatan juga terkait dengan konsep aliansi, yang berperan
dalam memperkuat kekuatan suatu negara melalui kerjasama dengan negara lain.

BAB III

KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan

Anda mungkin juga menyukai