Anda di halaman 1dari 25

Sejarah negara yang mempengaruhi pola dan aktor diplomasi

serta perbandingan berdasarkan periodisasi

Disusun oleh :
- Auliya Nur Avianty 192030087
- Assyifa Atus Syafira Maulidina Mahdy 192030121
- Fitriana Kurniawan 192030130
- Kyrcilla Kurnia Anjani 192030137

ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS PASUNDAN
2021
Diplomasi, meski dapat dikatakan sebagai cara yang beradab dan cukup modern dalam
meraih national interest, namun ternyata hal yang cukup modern tersebut sudah ada sejak
zaman prasejarah (Black, 2010: 17). Black (2010) mengungkapkan bahwa pada era itu, bahkan
beberapa milenium sebelum Masehi, jejak jejak diplomasi sudah dapat ditemukan di wilayah
Mesopotamia. Penemuan yang cukup kuat untuk membuktikan bahwa diplomasi berawal dari
Mesopotamia adalah ditemukannya dokumen Amarna di bekas reruntuhan istana kerajaan
Mesir pertengahan abad ke-14 sebelum Masehi pada tahun 1887 yang terdiri dari 350 huruf
yang membuktikan adanya jaringan diplomatik yang luas dan dinamikanya yang cukup maju
juga adanya saling ketergantungan antara kekuatan-kekuatan besar kala itu. Teks dokumen
tersebut secara keseluruhan membahas mengenai status, prestise, dan ranking. Semuanya
dibagi dalam dua kondisi, kondisi absolut yaitu vis a vis Mesir, dan kondisi relatif yaitu vis a
vis dengan relasi mesir yang lain. Akar dari kiasan tersebut termasuk pemberian hadiah, dan
ikatan darah melalui pernikahan antar bangsawan dimana secara status seharusnya dipandang
sederajat namun kenyataannya tidak, hal ini tidak sedikit disebabkan oleh ikatan pernikahan
semacam itu yang memang tidak sesuai dengan dasar kebudayaan masyarakat Mesir, ditambah
lagi dengan pertimbangan peringkat yang dibumbui dengan prestise. Meski begitu, metode
diplomasi dengan perkawinan antar bangsawan tersebut tetap bertahan dan terus berlangsung
hingga abad ke-19 (Black, 2010: 19). Menurut Black (2010:19), diplomasi pada era Amarna
tersebut cukup kasar atau kurang bersahaja karena tidak mampu menyediakan komunikasi yang
jelas dan bernuansa.

Beralih pada diplomasi era Yunani Kuno, diplomasi dari negara ini merupakan diplomasi yang
khas dan unik. Bangsa yunani mendapatkan keterampilan berdiplomasi melalui perserikatan
antar negara kota yang mereka bentuk, selain itu Yunani Kuno juga mempunyai proxenoi yaitu
warga dari sebuah kota yang bertugas untuk mewakili kepentingan kota lain. di kota tersebut,
sebagai contoh seorang warga Athena mewakili kepentingan Corinth di kota Athena (Black,
2010: 20). Namun, Black (2010: 21) juga mengatakan bahwa informasi yang buruk dan
dipengaruhi oleh kepentingan pribadi dari para proxenoi tersebut telah mengakibatkan Athena
dan Mytilene jatuh kedalam konflik. Diplomasi a la Yunani Kuno sangat kental dengan nuansa
teleologis dimana hal ini mengakibatkan timbulnya batasan-batasan terhadap diplomasi
Yunani itu sendiri,dan dalam prakteknya, hal ini juga menjadi penghalang terhadap renaissance
di Italia. Namun, dalam praktek diplomasi a la Yunani tersebut dapat dikatakan
menguntungkan seorang diplomat, karena pada era itu seorang utusan atau diplomat dianggap
sebagai orang suci (Black, 2010:21).1

Persia, adalah masalah besar bagi diplomasi Yunani Kuno. Invasi Persia yang didorong oleh
semangat ekspansionis dan rasa haus atas tanah dan air menjadikan Persia menerapkan segala
cara untuk menaklukkan Yunani. Praktik diplomasi yang dilakukan oleh persia bahkan jauh
lebih canggih lagi dibandingkan dengan Yunani, selain menerapkan diplomasi yang kasar yang
berisi ancaman-ancaman, persia juga menerapkan diplomasi secara halus. Gaya diplomasi
tersebut dibawa masuk ke Yunani pada tahun 480 sebelum Masehi oleh utusan-utusan dari
Persia dibawah komando Raja Xerxes dari dinasti Achaemenid. Dalam perkembangannya,
kombinasi antara dua gaya diplomasi tersebut dipandang sangat relevan dan diterapkan pada
imperium-imperium lain seperti Cina, dan Britania Raya pada abad ke-19 (Black, 2010:18).

Di sisi lain, terbelahnya Kekaisaran Romawi menjadi Kekaisaran Romawi Barat dan
Kekaisaran Romawi Timur dan jatuhnya Kekaisaran Romawi Barat yang kemudian digantikan
oleh kerajaan-kerajaan barbarian seperti Francia, secara tidak langsung menjadikan gereja
tampil sebagai kekuatan supra-nasional bahkan lebih dari itu, gereja juga dikenal sebagai pusat
berkumpulnya orang-orang terdidik dan memiliki pengetahuan yang luas tentang politik.
Dalam era ini, tentu saja nilai-nilai Kristianitas sangat berpengaruh dalam proses pengambilan
kebijakan-kebijakan internasional termasuk mempengaruhi diplomasi itu sendiri. Black (2010:
23) juga mengatakan bahwa Kristianitas atau Christendom tersebut sering diartikan sebagai
persiapan untuk menghadapi Crusade atau perang salib. Dengan mengatasnamakan tugas
keagamaan, para diplomat pada era pertengahan sering kali diuntungkan karena dapat terbebas
dari hambatan-hambatan yang dapat menghalangi proses diplomasi. Pada akhir abad ke 12
hingga awal abad ke 13, merupakan sebuah titik penting bagi perkembangan diplomasi. Saat
itu, hukum yang berlaku di kerajaan Romawi mengatur bahwa raja yang sedang berkuasa
diberikan wewenang untuk menunjuk seorang utusan untuk mengemban tugas khusus.
Menurut Black (2010: 24) kemampuan untuk mempercayakan suatu tugas khusus terhadap
orang lain yang kita tunjuk tidak secara spesifik merujuk kepada diplomasi, akan tetapi hal itu
merupakan bagian esensial dari kultur dan praktik dari diplomasi itu sendiri. Pada era abad
pertengahan tersebut terdapat Papacy Diplomacy atau diplomasi Paus. Paus dipandang sebagai
orang yang sangat berpengaruh dalam perputaran diplomasi pada era itu karena masyarakat
yang saat itu sangat patuh pada gereja menganggap paus sebagai perwakilan tertinggi tuhan di

1
Black, Jeremy. 2010. A History of Diplomacy. London: Reaktion Books Ltd. Pp: 1-42
dunia. Selain itu adanya konsep kepercayaan persatuan kristen menjadikan pengaruh Pope’s
Diplomacy semakin kuat. Namun pengaruh diplomasi paus segera meredup setelah adanya era
pencerahan dan perjanjian Westphalia yang melahirkan sistem negara modern yang berdaulat
dan tidak lagi tunduk terhadap gereja. Dalam era ini, fungsi diplomasi masih sama, yaitu
sebagai “the art of survival” bagi negara-negara berdaulat.

Dalam perkembangannya yang berawal dari wilayah Mesopotamia, hingga era westphalia,
diplomasi terus mengalami dinamika. Berawal dari diplomasi mesir kuno yang kurang
bersahaja dan terkendala bahasa, diplomasi Yunani yang berbentuk perserikatan, adanya
proxenoi dan diplomat yang dianggap sebagai orang suci, kristenitas gereja a la Romawi,
diplomasi paus hingga westphalia. Semua tujuan dari diplomasi tersebut adalah sama yaitu “the
art of survival” tetapi dengan seiring perkembangan zaman hingga saat ini, diplomasi bukan
semata “the art of survival” bagi negara berdaulat saja, namun diplomasi juga digunakan oleh
aktor-aktor lain diluar aktor negara.

Sejarah Negara dalam kajian tentang diplomasi berkembang pesat pasca konvensi Wina tahun
1961 yang menjelaskan bahwa tujuan-tujuan hak-hak istimewa dan kekebalan hukum tidaklah
untuk keuntungan individu akan tetapi untuk menjamin pelaksanaan yang efisien fungsi-fungsi
misi-misi diplomatik dalam mewakili Negara-Negara. Menegaskan bahwa aturan hukum
kebiasaan internasional tetap terus mengatur masalah-masalah yang tidak secara tegas diatur
oleh ketentuan-ketentuan Konvensi ini. Berasarkan konvensi Wina tahun 1961, maka Negara
penerima boleh setiap saat dan tanpa harus menerangkan keputusannya, memberitahu Negara
pengirim bahwa kepala misinya atau seseorang anggota staf diplomatiknya adalah persona non
grata atau bahwa anggota lainnya dari staf misi tidak dapat diterima. Dalam hal seperti ini,
Negara pengirim, sesuai dengan mana yang layak, harus memanggil orang tersebut atau
mengakhiri fungsi-fungsinya di dalam misi. Seseorang dapat dinyatakan non grata atau tidak
dapat diterima sebelum sampai di dalam teritorial Negara penerima. Gedung misi tidak dapat
diganggu gugat (inviolabel). Pejabat-pejabat dari Negara penerima tidak boleh memasukinya,
kecuali dengan persetujuan kepala misi. Negara penerima di bawah kewajiban khusus untuk
mengambil semua langkah yang perlu untuk melindungi gedung misi terhadap penerobosan
atau perusakan dan untuk mencegah setiap gangguan perdamaian misi atau perusakan
martabatnya. (https://sites.google.com/site/published bysumadi/vienna1961). Menurut Sir
Earnest Satow dalam bukunya Guide to Diplomatic Practice mengatakan bahwa diplomasi
merupakan penerapan kepandaian dan taktik pada pelaksanaan hubungan resmi antara
pemerintah dengan negara-negara berdaulat (Sir Earnest Satow. 1995. Hlm 2). 2
Selain itu pandangan ahli mengenai diplomasi, yaitu:”Diplomasi pada dasarnya adalah usaha
untuk meyakinkan pihak lain atau negara lain untuk dapat memahami dan membenarkan
pandangan kita dan jika mungkin mendukung pandangan kita itu, tanpa perlu menggunakan
kekerasan” (Hasyim Djalal: 1990. Hlm 30). Menurut KM Panikkar dalam bukunya yang
berjudul The Principle of Diplomacy, maka diplomasi dalam hubungannya dengan politik
internasional merupakan seni dalam mengedepankan kepentingan suatu negara dalam
hubungannya dengan negara lain, yang dalam hal ini merupakan kepentingan nasional suatu
negara dalam dunia internasional, namun oleh sebagian pandangan diplomasi lebih
menekankan terhadap negosiasi– negosiasi perjanjian atau sebagai posisi tawar-menawar
dengan negara lain. Diplomasi sangat erat dengan penyelesaian permasalahan– permasalahan
yang dilakukan dengan cara–cara damai, tetapi apabila cara–cara damai gagal untuk
memperoleh tujuan yang diinginkan, diplomasi mengizinkan penggunaan ancaman atau
kekuatan nyata sebagai cara untuk mencapai tujuan– tujuannya. Sehingga dapat dikatakan
bahwa perang juga merupakan salah satu sarana dalam diplomasi di dunia internasional. S.L.
Roy, mengkaji hal-hal penting yang terdapat dalam berbagai definisi mengenai diplomasi.
Menurutnya dari definisidefinisi tersebut beberapa hal tampak jelas, bahwa:
o Unsur pokok diplomasi adalah negoisasi,
o Negoisasi dilakukan untuk mengedepankan kepentingan negara,
o Tindakan-tindakan diplomatic diambil untuk menjaga serta memajukan kepentingan
nasional sejauh mungkin dan dilaksanakan secara damai, pemeliharaan perdamaian
dengan tanpa merusak kepentingan nasional merupakan tujuan utama diplomasi,
o Teknik-teknik diplomasi yang sering dipakai untuk mempersiapkan perang bukan
untuk menghasilkan perdamaian,
o Diplomasi berhubungan erat dengan tujuan politik luar negeri suatu negara,
o Diplomasi modern berhubungan erat dengan sistem negara,
o Diplomasi tidak bisa dipisahkan dari perwakilan Negara.
Tujuan diplomasi bagi setiap negara adalah pengamanan kepentingan nasional, kebebasan
politik dan integritas territorial. Menurut Kautilya tujuan utama diplomasi adalah menjamin

2
Rourke, John T., author Subjek International relations World politics--1945-198 Monterey:
Brooks/Cole Publishing Company, 1986 (327.1 ROU i)
keuntungan maksimum Negara sendiri, dan kepentingan terdepan tampaknya adalah
pemeliharaan keamanan. Fungsi utama dari pelaksanaan diplomasi adalah negosiasi dan ruang
lingkup diplomasi adalah meyelesaikan perbedaanperbedaan dan menjamin
kepentingankepentingan Negara melalui negosiasi yang sukses, apabila negosiasi gagal perang
merupakan bagian dari sarana diplomasi. Selain itu terdapat tiga cara dasar dalam pelaksanaan
diplomasi suatu negara yaitu kerjasama, persuaian dan pertentangan. Sehingga dalam proses
diplomasi suatu Negara pasti akan menjalankan tiga pelaksanaan diplomasi tersebut. Fungsi
utama dari pelaksanaan diplomasi adalah negosiasi dan ruang lingkup diplomasi adalah
meyelesaikan perbedaan-perbedaan dan menjamin kepentingan-kepentingan negara melalui
negosiasi yang sukses, apabila negosiasi gagal perang merupakan bagian dari sarana diplomasi.
Selain itu terdapat tiga cara dasar dalam pelaksanaan diplomasi suatu negara yaitu kerjasama,
persuaian dan pertentangan. Sehingga dalam proses diplomasi suatu Negara pasti akan
menjalankan tiga pelaksanaan diplomasi tersebut. Suatu negara yang berusaha melaksanakan
politik luar negeri yang cerdik dan secara damai tidak dapat berhenti membandingkan
tujuantujuannya sendiri dengan tujuan-tujuan negara lain berdasarkan kesesuaian tujuannya.
Jika tujuan-tujuan mereka tidak cocok, maka negara A akan menetapkan bahwa tujuan-
tujuannya adalah penting bagi negaranya sendiri hingga tujuan-tujuan tersebut harus dicapai
meskipun tidak sesuai dengan tujuan negara B. Sebaliknya, jika negara A mendapati bahwa
tujuan-tujuannya penting sekali untuk kepentingan nasionalnya maka negara A kemudian akan
melihat terlebih dahulu tujuan negara B yang tidak sesuai dengan tujuannya itu setelah itu baru
dilakukan kesesuaian tujuan diantara keduanya.
Kesimpulannya melalui tawar menawar diplomatik, yaitu dengan kompromi memberi dan
menerima, harus dicari jalan agar kepentingan-kepentingan negara A dan B dapat saling
dipertemukan. Cara-cara yang dipergunakan dalam praktek dipomasi ada tiga, yaitu:
persuasif, kompomi dan ancaman kekuatan senjata (Yusuf Sufri. 1989. Hlm 119). Dalam
kasus ini awalnya diplomasi Indonesia terhadap kebijakan Malaysia adalah dengan
menggunakan mahkamah internasional, namun pasca lepasnya pulau Sipadan dan Ligitan,
maka diplomasi Indonesia terhadap Malaysia adalah dengan meningkatkan kekuatan.
powernya sebagai elemen diplomasi untuk mempertahankan wilayah teritorialnya. Diplomasi
terbagi dua, yaitu:

 Soft Diplomacy: diplomasi dalam bentuk penyelesaian secara damai dalam bidang
kebudayaan, bahasa, persahabatan dan ekonomi
 Hard Diplomacy: diplomasi dalam bentuk perang, yaitu agresi militer dan politik
(Andri Hadi. 2009) Oleh karena itu, jika kita mengambil studi kasus mengenai
diplomasi sebuah negara terhadap Negara lain, maka diplomasi yang dilakukan oleh
negara dilakukan dengan menggunakan soft diplomacy dan hard diplomacy.
Cara soft diplomacy dengan mengikuti perundingan bilateral dengan negara lain serta
menyerahkan penyelesaian permasalahan konflik kepada pihak ketiga yaitu Mahkamah
Internasional. Selain itu, juga menggunakan hard diplomacy dengan cara meningkatkan
kekuatan milite Negara tersebut dan melakukan kerja sama pertahanan dengan negara lain
untuk meningkatkan efek penangkalan (deterrence) ketika terjadi konflik. Menurut John T.
Rourke, hakikat dan peranan diplomasi dipengaruhi oleh setting (lingkungan) yang disebut
dengan diplomacy setting (Rourke, John T. 2002, hlm 26) Setting disini dimaksudkan sebagai
kondisi yang memiliki peranan penting dalam menciptakan output diplomacy. Lingkungan
diplomasi terbagi dalam tiga bagian yaitu:
1. Sistem Internasional
Menurut kaum realis hakekat dari sistem internasional yang anarki telah menciptakan sebuah
setting, dimana para aktor yang memiliki kepentingan sendiri dalam tujuan diplomatic
menggunakan power yang dimilikinya untuk mencapai kepentingan mereka diatas kepentingan
pihak lain. Hal yang perlu ditekankan kembali bahwa sistem internasional tidak mempunyai
badan otoritatif dalam menyelesaikan permasalahan yang ada sehingga setiap negara harus
berjuang sendiri dengan menggunakan power yang dimiliki dalam menyelesaikan
permasalahan di dunia internasional.
1. Lingkungan Diplomatik Bagian ini mencakup hubungan diantara beberapa aktor yang
terlibat dalam bagian permasalahan yang dihadapi.
Bagian ini dikategorikan dalam empat bagian, yaitu:
a. Diplomasi perseteruan
Diplomasi perseteruan berlangsung dalam lingkaran yang mengalami permusuhan dimana satu
atau beberapa negara terikat pada perseteruan senjata atau ketika terdapat suatu kemungkinan
yang mendasari bahwa pertempuran merupakan kondisi yang harus dihadapi.
b. Diplomasi Perlawanan
Lingkungan dari diplomasi perlawanan terjadi pada saat adanya konfrontasi diantara dua
negara atau lebih yang berbenturan kepentingan tetapi pada saat itu tidak terjadi konflik
bersenjata. Diplomasi ini melibatkan isuisu internasional, seperti suatu negara melakukan
penekanan terhadap negara lain untuk memperoleh apa yang mereka inginkan. 3
c. Diplomasi Gabungan (koalisi)
Diplomasi gabungan terjadi ketika sejumlah Negara memiliki kepentingan yang sama dalam
aktivitas internasional.
d. Diplomasi Perantara
Diplomasi perantara berbeda dengan tiga jenis diplomasi diatas, dimana kegunaan diplomasi
ini berpengaruh saat negara yang tidak terlibat secara langsung sebagaimana salah satu dari
beberapa pihak berusaha membantu dua atau lebih sisi dalam menyelesaikan konflik perbedaan
yang ada diantara mereka.
1. Hubungan Domestik
Bagian ketiga dalam lingkungan diplomasi adalah politik domestik. Politik domestik ini dapat
digambarkan melalui teori Two level Game dimana para diplomat harus berjuang mencapai
solusi antara persaingan di level internasional dengan level domestik (legislator, opini publik
dan kelompok kepentingan). Pada bagian ini para diplomat akan berusaha memaksimalkan
keputusan yang akan mendapat dukungan dari konstituen dan level domestik.
Berdasarkan teori di atas, pengambilan langkah diplomasi oleh sebuah negara dalam
menghadapi kebijakan negara lain dipengaruhi oleh faktor lingkungan internasional dan
lingkungan diplomatik. Lingkungan internasional menuntut setiap Negara untuk berusaha
memperjuangkan kepentingannya secara sendiri-sendiri, sehingga berdasarkan hal tersebut
maka masuk akal jika sebuah negara akan merubah pola diplomasinya terhadap negara lain
atau lingkungan eksternal guna mengamankan wilayah teritorialnya dari ancaman negara lain.
Faktor lingkungan diplomatik juga sangat mempengaruhi diplomasi negara, hal ini bisa dilihat
dengan adanya benturan kepentingan, sehingga memunculkan diplomasi perlawanan diantara
kedua negara. Keefektifan diplomasi suatu negara bergantung pada sejauh mana kekuatannya
nasionalnya sendiri. Dalam menerapkan diplomasinya, suatu Negara harus mempertimbangkan
kekuatan dan sumber dayanya yang ada. Kekuatan (power) dan sumber daya tetap merupakan
sumber penting dalam menentukan keberhasilan diplomasi, karena faktor ini terakumulasi
dalam kapabilitas suatu negara terhadap Negara lain dalam diplomasi (M, Saeri. 2003. Hlm
137-138). Sehingga suatu Negara dikatakan berhasil melakukan proses diplomasi jika negara
tersebut mampu menggunakan kekuatan powernya dengan baik.

3
Public diplomacy- Mark Leonard, Catherine Stead, Conrad Smewing, hal 55-65
Pola dan actor diplomasi berdasarkan periodisasi….
Actor Diplomasi
Menurut buku “Public Diplomacy oleh Mark Leonard”, terdapat beberapa pihak yang dapat
menjadi aktor diplomasi.30 Pertama Non Governmental Organization (NGO), yang memiliki
peranan yang efektif untuk melakukan komunikasi dengan kelompok masyarakat di negara
lain. Hal ini dikarenakan mereka memiliki tiga sumber utama untuk menghubungkan dengan
pemerintahan di negara lain yaitu, kredibilitas, keahlian, dan kesesuaian jaringan informasi.
Dari sisi kredibilitas NGO yang memiliki spesialisasi khusus dalam satu isu dapat menarik
kepercayaan dari masyarakat di berbagai negara. Hal ini dibuktikan dengan survey yang
dilakukan oleh Environics International Global Issues yang menyatakan bahwa 65%
masyarakat percaya dengan NGO yang bergerak atas dasar kepentingan masyarakat. Kedua,
adalah keahlian yang dimiliki oleh NGO, dimana keahlian ini dapat digunakan dalam isu-isu
strategis. Kemampuan ini dapat dijadikan alat yang efektif untuk melakukan diplomasi publik.
Ketiga adalah jaringan informasi yang luas. Hal ini mengingat hubungan yang sangat kuat
antara lembaga-lembaga non-pemerintah di berbagai belahan dunia. Selain itu, NGO juga
memilik4i hubungan yang sangat luas dengan pihak lain seperti perusahaan.
Aktor selanjutnya yang dapat melakukan diplomasi publik adalah diaspora. Peningkatan
volume migrasi internasional pada abad ke-20 telah melahirkan konektivitas diantara teman,
sahabat, rekan bisnis di seluruh dunia. Hal ini memberikan kesempatan memasuki dan
memperkuat potensi diplomatik melalui hubungan yang dimiliki. Sebagai contoh, dalam
kesepakatan kerja sama yang dilakukan oleh komunitas bisnis yang berada di Indonesia dengan
persatuan warga negara Indonesia yang berada di Inggris. Lebih jauh lagi, diaspora dapat
membantu memberikan akses kepada pengetahuan terhadap budaya, politik, dan pengetahuan
masyarakat di suatu negara, dimana hal ini dapat meningkatkan keberhasilan kebijakan luar
negeri sebuah negara. Dengan kata lain, diaspora dapat menjadi representasi sebuah negara di
negara yang dia tinggali. Ketiga, pihak yang dapat menjadi aktor diplomasi publik adalah partai
politik. Hubungan antara partai politik yang memiliki kesamaan ideologi di beberapa negara

4
Black, Jeremy. 2010. “1970 to the Present”, dalam A History of Diplomacy. London:
Reaktion Books, Ch. 7, pp. 224-7.

Djelantik, Sukawarsini. 2008. Diplomasi antara Teori dan Praktik. Yogyakarta: Graha Ilmu.
berbeda dapat memiliki dimensi yang vital dalam mempengruhi kebijakan luar negeri sebuah
negara. Hal ini dikarenakan peranan yang dimainkan oleh masing-masing partai politik dalam
pembuatan kebijakan luar negeri di negaranya masing-masing. Sebagai contoh, partai republik
di Amerika dapat berhubungan dengan partai republik asal Australia dan melakukan
pembicaraan terhadap kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Australia. Hal ini
didasarkan pada kedekatan ideologi yang dimiliki oleh kedua partai tersebut. Terakhir, pihak
yang dapat menjadi aktor diplomasi publik adalah merek dagang. Dalam dua puluh tahun
terakhir, merek dagang telah menjadi salah satu saluran yang penting dalam menyalurkan
identitas nasional kepada konsumen. Pada awalnya, identitas sebuah negara hanya dapat
dibentuk oleh sejarah, institusi politik, atau kebudayaan, akan tetapi pada hari ini merek dagang
dapat menjadi gambaran bagi sebuah negara. Sebagai contoh, merek dagang Coca-Cola atau
Levi’s sering diidentikkan dengan gaya hidup orang Amerika, yang memiliki nilai-nilai
kebebasan. Menurut Wally Olins, merek dagang telah menjadi sebuah objek konsumsi yang
mana dapat meningkatkan kesetiaan individu terhadap suatu produk. Selain itu, merek dagang
menjadi representasi dari sebuah gagasan yang dapat mencerminkan identitas seorang individu
seperti muda, energik, selera yang bagus, kelas, dan lain-lain.

Pola diplomacy
Seiring berjalannya waktu, diplomasi -kian berkembang akibat dinamika hubungan
internasional. Diplomasi lama yang bersifat state-centric, tertutup, dan cenderung bilateral kini
bergeser menjadi diplomasi baru dengan ruang lingkup yang kian meluas, lebih terbuka, serta
melibatkan lebih banyak aktor. Perkembangan diplomasi baru pun kemudian memunculkan
pola-pola diplomasi yang tak hanya terbatas secara bilateral dan multilateral namun melibatkan
kemajuan-kemajuan yang disajikan globalisasi hingga melahirkan diplomasi asosiasi5,
diplomasi konferensi, diplomasi personal, dan diplomasi summit.
Dari semua pola diplomasi, diplomasi bilateral merupakan pola yang paling klasik dan
diidentifikasi sebagai diplomasi tradisional. Pola diplomasi ini telah dilangsungkan oleh
peradaban-peradaban kuno berabad-abad sebelum Masehi. Amarna Letters merupakan relik
sejarah diplomasi tertua yang merekam hubungan bilateral antara Mesopotamia dan Timur

5
Jönsson, Christer, dan Martin Hall. 2005. “Communication”, dalam Essence of Diplomacy.
Kurizaki, Shuzei. 2011. “Decline of Diplomacy? 20th Century and Beyond”, dalam A
Natural History of Diplomacy. Texas: A&M University Press, pp. 32-37.
Dekat. Diplomasi bilateral merupakan diplomasi yang hanya melibatkan dua negara. Konsep
diplomasi ini ialah hubungan yang dijalankan secara langsung dengan basis state-to-state dan
bersifat dua arah. Lazimnya, kesepakatan hanya dapat dicapai dengan kesepahaman dan
persetujuan bersama. Namun, bukan berarti opresi dari negara satu atas negara lain tidak
mungkin terjadi. Sejak era Mesopotamia, diplomasi bilateral lebih bersifat tertutup karena
segala proses diplomatik hanya diketahui oleh aktor-aktor diplomatik kedua negara dan tidak
disebarluaskan baik dari rakyat maupun dari negara lain. Proses diplomasi menjadi lebih
mudah dirahasiakan dan konsistensi diplomasi lebih mudah dijaga. Namun, keterbatasan pihak
yang terlibat membuat kedua negara tidak bisa mengandalkan diplomasi bilateral semata untuk
memenuhi seluruh kepentingan nasional masing-masing sehingga mau tidak mau, kedua
negara harus tetap berhubungan dengan negara-negara lain.
Akibat keterbatasan diplomasi bilateral, cakupan pola diplomasi kian berkembang hingga
melibatkan lebih banyak aktor. Muncullah diplomasi multilateral sebagai diplomasi yang
dijalankan oleh tiga negara atau lebih (DiploFoundation 2015). Seperti diplomasi bilateral,
diplomasi ini dijalin oleh banyak negara yang ingin mencapai kepentingan bersama. Seiring
dinamika globalisasi, hubungan internasional menjadi kompleks dengan semakin banyaknya
tantangan yang dihadapi negara-negara untuk memenuhi kepentingan nasional masing-masing
yang juga beragam. Pola diplomasi ini menjadi respon dari keterbatasan diplomasi bilateral
dalam mencapai kesepakatan atas suatu kepentingan sehingga diperlukan lebih banyak
partisipan langsung dalam menangani suatu isu tertentu. Meski secara teknis telah
dilangsungkan oleh peradaban-peradaban kuno melalui praktik aliansi, diplomasi multilateral
kembali muncul di abad 20 yakni seusai Perang Dunia II dengan digalangnya Liga Bangsa-
Bangsa. 6

Globalisasi melahirkan entitas-entitas baru, utamanya organisasi internasional, sehingga


negara sudah bukan satu-satunya aktor dalam interaksi internasional. Diplomasi multilateral
tercatat menjadi titik balik diplomasi modern karena pelibatan organisasi internasional
membuat jalannya proses diplomatik lebih terbuka. Organisasi-organisasi ini memudahkan

6
Roy, Samendra L. 1995. Diplomasi. Jakarta: Grafindo Raja Perkasa.

White, Brian. 2001. “Diplomacy”, dalam Baylis, John, dan Steve Smith (ed.), The
Globalization of World Politics: An Introduction to International Relations. New York:
Oxford University Press, Ch. 17, pp. 387-403.
diplomasi multilateral dengan menggabungkan kepentingan negara-negara di dalamnya
sehingga isu yang ditangani dapat dicapai penyelesaiannya bersama. Salah satu praktik
diplomasi multilateral yang terdahulu ialah Kongres Osnabruck dan Munster yang melahirkan
Perjanjian Westphalia (Jonsson dan Hall 2005, 83). Dewasa ini, PBB lah organisasi
internasional yang mewadahi seluruh praktik diplomasi multilateral. Diplomasi multilateral
lebih mempermudah pencapaian kepentingan negara terutama yang bersifat general dan global.
Perkembangan pola diplomasi bilateral dan multilateral kemudian memunculkan praktik
aliansi antar negara dalam mengahadapi isu-isu internasional atau dikenal sebagai diplomasi
asosiasi. Diplomasi asosiasi muncul karena adanya kesamaan kepentingan nasional dari
negara-negara yang terkait sehingga menjadi kepentingan bersama untuk dicapai. Pada
umumnya, diplomasi asosiasi dilakukan oleh negara-negara yang berada dalam satu kawasan
regional dan dilaksanakan secara berkelanjutan. Salah satu contohnya adalah ASEAN yang
memiliki visi-misi terkait aspek ekonomi, politik keamanan, dan sosial budaya.
Tak cukup berdiplomasi dengan interaksi langsung antar aktor diplomatik, sarana-sarana baru
dimanfaatkan untuk memfasilitasi jalannya proses diplomasi dengan baik. Salah satunya ialah
konferensi, yakni pertemuan perwakilan-perwakilan diplomatik negara yang terkait untuk
membahas isu yang bersifat spesifik namun mendesak dan membutuhkan penanganan spontan.
Disusunlah diplomasi konferensi, yakni diplomasi yang diatur dengan prosedur parlementer.
Perundingan diorganisasi dalam forum dengan landasan formal yang disepakati bersama dan
dijalankan secara rutin pada waktu yang telah ditentukan
.
Diplomasi konferensi yang mulanya bersifat insidental serta difokuskan pada isu perang dan
damai kemudian diorganisasikan secara permanen melalui organisasi-organisasi internasional.
Awal mula diplomasi konferensi adalah lahirnya LBB, yang kemudian menjadi PBB, sebagai
forum diskusi negara-negara untuk mengusahakan kepentingan nasionalnya dalam suatu
konferensi yang permanen. PBB sendiri menjadi krusial karena digadang sebagai organisasi
yang dapat menanggulangi konflik Perang Dingin, mengingat dunia masih mengalami
traumatisasi akibat Perang Dunia I dan II. Karenanya, pola diplomasi ini menerapkan prinsip
bahwa semua negara yang terlibat memiliki kuasa dan hak yang sama dalam pengambilan
keputusan serta menekankan netralitas untuk mengakhiri monopoli negara-negara superpower.
Distingsi diplomasi konferensi dengan pola-pola diplomasi sebelumnya ialah adanya koalisi
dan blok, kepempininan dalam organisasi, dan sekretariat internasional yang fungsional.
Kemudian, konferensi yang berhasil dapat melahirkan dokumen persetujuan atau legitimasi
hukum. Tak hanya dalam forum seperti konferensi, diplomasi juga dapat diusahakan secara
personal. Diplomasi personal merupakan diplomasi yang dilakukan oleh perseorangan atau
para diplomat sebagai individu. Diplomasi personal dinilai lebih efektif karena dalam proses
diplomatik, interaksi dilaksanakan secara langsung. Namun, individu-individu tidak memiliki
tidak memiliki keabsahan kuasa seperti legitimasi institusi-institusi pemerintahan. Peran
diplomat sebagai perwakilan diplomatik kian penting bagi citra negara karena diplomat
menjadi representasi negara di mata dunia.

Terdapat forum diplomatik yang lebih tinggi dari konferensi yakni summit. Diplomasi summit
ialah diplomasi yang dijalankan tingkatan tertinggi pemerintah yakni komunikasi langsung
antar pemimpin negara. Sejarah mencatat diplomasi summit telah diadakan sejak abad 8 SM
oleh tiga kaisar yang menguasai China kala itu. Diplomasi summit menjadi diplomasi
seremonial yang sangat berpengaruh bagi dinamika perpolitikan global. Contoh diplomasi
summit ialah Protokol Kyoto. Kelemahan diplomasi summit ialah bertambahnya agenda
pemimpin-pemimpin negara sehingga konsentrasi untuk mengatur perpolitikan domestik
semakin berkurang dan berisiko terbengkalai. Selain itu, biaya untuk menghadiri summit
membebani anggaran belanja negara.
Dari penjabaran di atas, penulis menyimpulkan bahwa pergeseran diplomasi tradisional
menjadi diplomasi modern menjadi pemicu lahirnya berbagai pola diplomasi baru sehingga
kini terdapat diplomasi bilateral, diplomasi multilateral, diplomasi asosiasi, diplomasi
konferensi, diplomasi personal, dan diplomasi summit. Tidak semua pola bias digunakan untuk
semua situasi karena masing-masing pola diplomasi memiliki kelebihan dan kekurangan
sehingga diperlukan strategi yang sesuai dalam penerapan proses diplomatik.

Diplomasi adalah seni dan praktik bernegosiasi oleh seseorang yang biasanya mewakili
sebuah negara atau organisasi. Kata diplomasi sendiri biasanya langsung terkait dengan
diplomasi internasional yang biasanya mengurus berbagai hal seperti budaya, ekonomi, dan
perdagangan

Pola pola diplomasi

Diplomasi penting bagi seluruh negara untuk menjaga eksistensinya dalam dunia
internasional disamping untuk membina hubungan baik antar negara. Diplomasi berfungsi
sebagai alat untuk menjalankan politik internasional suatu negara yang menghasilkan
kebijakan luar negeri yang berdampak bagi kepentingan nasional negara tersebut. Diplomasi
dalam hubungannya dengan politik internasional merupakan seni mengedepankan
kepentingan suatu negara dalam hubungannya dengan negara lain (Roy, 1995: 3).

Dalam praktek diplomasi terdapat pola-pola yang beragam dan masing-masing pola memiliki
karekteristik yang berbeda sesuai dengan tujuan dari diplomasi itu sendiri. Kali ini, penulis
akan membahas enam pola diplomasi, yaitu diplomasi bilateral, diplomasi multilateral,
diplomasi asosiasi, diplomasi konferensi, diplomasi personal, dan diplomasi summit.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia bilateral berarti antara dua pihak, sehingga diplomasi
bilateral merupakan diplomasi yang dilakukan antara dua negara. Diplomasi bilateral diyakini
sebagai pola diplomasi paling sederhana dan tertua di dunia karena berupa pengiriman
perwakilan negara ke negara lain dan membahas kepentingan tertentu yang berkaitan dengan
kedua negara. Diplomasi bilateral merupakan diplomasi yang penting dan efektif demi
memajukan kepentingan eksternal suatu negara terutama dalam lingkungan global) Menteri
Luar Negeri RI Dr. Marty M. Natalegawa dan Menteri Luar Negeri Argentina Hector
Timerman menandatangani dua perjanjian bilateral yaitu perjanjian bebas visa bagi
pemegang paspor diplomatik dan dinas serta perjanjian kerjasama di bidang kerjasama
teknik, di sela-sela Forum for East Asia – Latin America Cooperation (FEALAC ke-5) yaitu
Pertemuan Tingkat Menteri Luar Negeri di Buenos Aires pada 24 Agustus 2011. 7

Diplomasi multilateral merupakan diplomasi yang terjadi antara lebih dari dua aktor atau
negara yang biasanya diwakili oleh sistem PBB.

Adanya diplomasi multilateral sebagai respon atas kurang mampunya pola diplomasi bilateral
dalam mencapai kepentingan suatu negara sehingga dirasa perlunya pola diplomasi yang
menghadirkan langsung beberapa negara yang berhubungan dengan isu atau kepentingan
tertentu dalam hubungan internasional. Diplomasi multilateral berkembang pada awal abad
20 seiring berkembangnya paham liberal yang mementingkan opini publik sehingga
diplomasi multilateral berkembang menjadi diplomasi terbuka untuk mendapat dukungan dari
masyarakat internasional yang umumnya membahas isu yang menjunjung kebaikan bersama.

Indonesia sebagai negara yang terlibat dalam Millenium Development Goals (MDGs) yang
digagas PBB pada tahun 2000 untuk memajukan kesejahteraan global yang berisi delapan
tujuan utama harus dicapai pada tahun 2015. Tahun 2015 ada di depan mata, maka dari itu
negara-negara yang terlibat dalam MDGs mencoba merancang Suistanable Development

7
http://www.diplomacy.edu
Goal (SDGs) sebagai kelanjutan MDGs. Dari contoh tersebut dapat dipahami bahwa
diplomasi multilateral sangat efektif jika tujuannya bersifat umum seperti lingkungan dan
kesejahteraan bereda jika membahas isu keamanan seperti konflik di Laut Cina Selatan yang
melibatkan beberapa negara yang sampai sekarang belum terselesaikan.

Diplomasi asosiasi merupakan salah satu dari pola diplomasi multilateral karena terdiri dari
beberapa negara. Diplomasi asosiasi terbentuk karena terdapat kesamaan tujuan antar negara
yang dalam implementasinya dibentuklah sebuah aliansi atau asosiasi untuk mencapainya.
Negara-negara dalam pelaksanaan kepentinganya terikat dalam suatu aliansi atau organisasi
yang memiliki tujuan yang sama sehingga secara bersama-sama mewujudkannya.
Kepentingan tersebut seringkali berhubungan dengan isu tertentu atau spesifik yang bersifat
regional sehingga diplomasi asosiasi seringkali terjadi akibat faktor regional walaupun tidak
setiap diplomasi asosiasi bersifat demikian contohnya ASEAN, Africa Union, Europe
Community. Contoh kasus Flight Information Region diatas Kepulauan Natuna antara
Indonesia, Malaysia dan Singapura seringkali mengalami kegagalan dalam diplomasi akibat
adanya faktor ketidakpuasan dari masing-masing negara (Chomsky, 2014). Udara di
Kepulauan Natuna dianggap memiliki nilai strategis geopolitik bagi masing-masing negara
sehingga perebutan tidak hanya terjadi dalam aspek militer saja namun juga diplomasi
dengan persaingan peningkatan kualitas layanan. Maka ASEAN berperan penting dalam
memfasilitasi perundingan antar negara terkait dalam diplomasi asosiasi.

Diplomasi multilateral juga dapat berbentuk diplomasi konferensi. Diplomasi konferensi


adalah diplomasi yang dilakukan berupa pengiriman perwakilan tiap negara untuk bertemu
dalam suatu forum untuk mengatasi suatu masalah umum

Contoh dari diplomasi konferensi seperti Indonesia dalam memperjuangkan kasus Irian Barat
dalam Konferensi Uni Indonesia Belanda pada 4 Desember 1950 dan Konferensi Meja
Bundar pada 1959. Indonesia juga berkontribusi dalam perdamaian internasional pada tahun
1955 dengan menggagas Konferensi Asia Afrika yang mampu menyumbangkan pemikiran
atas Gerakan Non Blok ditengah perang dingin antara blok barat dan timur pada masa itu,
dalam KAA Indonesia juga mendapat dukungan internsional dalam pembebasan Irian Barat.8

Diplomasi personal merupakan diplomasi yang dilakukan secara langsung oleh kepala negara
dengan kepala negara lain. Diplomasi personal dapat digunakan oleh presiden

8
http://www.diplomacy.edu
selaku Diplomat-in-Chief untuk memperkuat aliansi, menyelesaikan permasalahan, dan
memelihara hubungan antarnegara (George W. Bush Presidential Center, t.t.). Diplomasi
personal dilakukan oleh kepala negara melalui dialog informal diantara keduanya tidak hanya
melalui tatap muka secara langsung namun juga bias memnfaatkan kecanggihan teknologi
sperti telepon. Melalui dialog tersebut kedua kepala negara akan semakin mempererat
hubungan persahabatannya karena mereka semakin mengenal satu sama lain. Secara tidak
langsung, hubungan persahabatan presiden juga akan berdampak pada hubungan antarnegara
yang mereka perintah. Contoh diplomasi personal era Perang Dingin antara Presiden Amerika
Serikat Ronald Reagan dengan Sekertaris Jendral Partai Komunis Rusia Mikhail Gorbachev
pada tahun 1985 di Jenewa Swiss. Ditengah pertemuan formal tersebut Reagan berharap
bertemu secara pribadi dengan Gorbachev, mereka berdua berjalan-jalan ke rumah perahu di
dekat gedung pertemuan selama hampir dua jam yang menghasilkan awal hubungan baik
(Meese III, 2004). Diplomasi personal sebagai pertemuan nonformal terbukti mampu
membangun hubungan pribadi antar dua pemimpin negara sehingga mampu meruntuhkan
secara perlahan hambatan ketidakpercayaan antar negara, hal itu terbukti dengan
dilanjutkannya pertemuan tersebut dengan adanya pertemuan di Washington dan Moskow
pasca pertemuan tersebut.

Summit didefinisikan sebagai puncak atau tertinggi sehingga summit diplomacy dapat
dipahami sebagai diplomasi yang dilakukan dalam Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT).
Pertemuan tingkat tinggi merupakan hal biasa terdengar dalam politik internasional modern
namun dalam diplomasi tradisional pertemuan tertinggi hanya dilakukan oleh raja dalam
mewakili kerajaannya untuk mencapai kesepakatan yang sekarang mungkin dipahami dengan
diplomasi bilateral atau multilateral. Istilah summit untuk mengekspresikan karakteristik
pertemuan pertamakali digunakan pada 1955 untuk menggambarkan kegagalan konfrensi era
Perang Dingin oleh empat negara yaitu Inggris, Amerika Serikat, Uni Soviet dan Perancis di
Genewa yang merupakan pertemuan luar biasa dalam politik internasional kala itu
(Weilemann, 2000). Summit kerap juga digunakan untuk menggambarkan pertemuan antara
Presiden Amerika Serikat dan Uni Soviet selama Perang Dingin. Sejak 1970 seluruh presiden
yang tergabung dalam Masyarakat Eropa mengadakan pertemuan dua atau tiga tahu sekali
dan disebut summit (Weilemann, 2000). Tidak hanya terjadi di Eropa summit diplomacy juga
digunakan dalam pertemuan tingkat regional lainnya seperti Africa Summits atau APEC
Summits dalam pertemuan tingkat dunia atau global istilah summits pun digunakan seperti
Earth Summits di Rio dan World Social Summits di Kopenhagen. Perbedaan summits
diplomacy dan diplomasi lainnya tidak hanya pada penggunaan katanya saja. Dalam summits
diplomacy dikategorikan diplomasi tingkat tinggi karena peserta merupakan pejabat eksekutif
meliputi kepala negara dan pimpinan organisasi internasional seperti NATO, ASEAN, IMF
dsb. Keistimwaan lain dari summit diplomacy yaitu para pemimpin mampu berkomunikasi
secara face-to face dengan pemimpin lainnya tanpa memerlukan rangkaian acara seremonial
untuk menunjukkan keseriusan komitmen dalam berdiplomasi (Weilemann, 2000).9

Perbandingan pola pola diplomasi berdasarkan periodisasi

Pada awal perkembangannya, kegiatan diplomasi hanya terbatas pada interaksi antara dua
pihak yang dilakukan secara tatap muka atau dengan media surat. Di era kuno sendiri, para
diplomat dituntut untuk menempuh jarak hingga ribuan kilometer demi melakukan negosiasi
dengan berbagai pihak yang dikehendaki oleh raja (White, 2001). Namun seiring
berkembangnya teknologi, kegiatan diplomasi pun turut berkembang dan semakin variatif,
sebab berbagai faktor telah mendorong diplomasi ke arah yang lebih modern. Dalam dunia
yang telah terglobalisasi, jarak dan waktu tidak lagi dipandang sebagai hambatan besar bagi
setiap entitas politik untuk melaksanakan praktek diplomasinya demi mengedepankan
kepentingan yang dimiliki. Berkenaan dengan dinamika dunia yang kian pesat, pola
diplomasi yang mulanya terhenti pada interaksi bilateral pun ikut berubah. Pada era
kontemporer, setidaknya terdapat enam pola diplomasi yang dikenal secara umum, yakni
diplomasi bilateral, multilateral, personal, summit, association, dan conference. Setiap pola
diplomasi memiliki kelebihan serta kekurangan tersendiri dan oleh karena itu, tulisan ini akan
berfokus pada penjabaran mengenai definisi, kelebihan, serta kekurangan masing-masing
pola diplomasi yang ada.

Dalam era pasca-2000, diplomasi bilateral dianggap sebagai unsur paling menonjol dalam
praktek diplomasi. Diplomasi bilateral bahkan berkaitan erat dengan perkembangan
diplomasi (Barston, 2013), mengingat bahwa pola diplomasi bilateral telah digunakan sejak
era kuno (White, 2001). Menurut Freeman Jr. (1994), bilateral secara ringkas merujuk pada
interaksi antara satu negara dengan lainnya. Lebih lanjut, kamus Merriam-Webster (2017)
menyebutkan bahwa hubungan bilateral meliputi reaksi timbal balik antara kedua belah
pihak, baik itu negara maupun entitas politik lainnya. Diplomasi bilateral memiliki sifat yang

9
http://www.diplomacy.edu
rahasia serta tertutup. Faktor terbesar yang mendorong pelaksanaan diplomasi bilateral adalah
keadaan perekonomian.

Dalam bidang ekonomi, jalinan hubungan bilateral membantu pihak-pihak yang bersangkutan
dalam mengamankan akses pasar, menyempurnakan perdagangan, mengamankan persediaan,
dan memperoleh gerai perdagangan alternatif. Oleh karena itu, diplomasi bilateral dipandang
sebagai unsur pokok dalam politik luar negeri setiap negara. Keuntungan lain dari diplomasi
bilateral adalah memberikan ruang gerak yang lebih luas bagi setiap aktor dalam menjalankan
misi negosiasinya (Barston, 2013). Selain itu, kesepakatan lebih mudah dicapai dalam
diplomasi bilateral, karena tidak banyak pihak yang terlibat dalam pembuatan perjanjian.
Namun kenyataanya, kesepakatan dalam diplomasi bilateral tidak selalu tercapai karena salah
satu pihak terkadang menggunakan kekuatannya untuk memaksakan kehendak. Pada batasan
tertentu, sifat tertutup dan rahasia juga menjadi kelemahan praktek diplomasi bilateral sebab
kerahasiaan antara setiap pihak memberikan celah bagi setiap pihak untuk melalukan
kecurangan (White, 2001).

Mengenai diplomasi multilateral, kamus Merriam-Webster (2017) mendefinisikan istilah


multilateral sebagai praktek diplomasi yang melibatkan lebih dari satu partisipan. Secara
lebih spesifik, Freeman Jr. (1994) menyatakan bahwa diplomasi yang dikategorikan
multilateral dilaksanakan oleh lebih dari tiga negara atau partisipan. Eskalasi popularitas
diplomasi multilateral ditandai dengan berdirinya Liga Bangsa-Bangsa pada 1920. Menurut
Tariqul Islam (2005), terdapat empat alasan yang melatarbelakangi peningkatan diplomasi
multilateral dalam interaksi internasional: (1) kemajuan teknologi transportasi dan
komunikasi; (2) kesadaran bahwa sejumah isu international tidak dapat diselesaikan melalui
diplomasi bilateral tradisional; (3) diplomasi multilateral lebih menarik perhatian negara-
negara kecil. Dengan diplomasi multilateral, negara-negara kecil memiliki kesempatan untuk
mempengaruhi dunia politik dengan kekuatan yang tidak mereka miliki secara individual;
dan (4) promosi terhadap diplomasi multilateral diharapkan mampu meningkatkan
penggunaan kekuatan militer secara kolektif, khususnya melalui framework seperti Liga
Bangsa-Bangsa. Kelebihan dari diplomasi multilateral terletak pada keterbukaannya pada
masing-masing pihak yang kemudian meminimalisir probabilitas kecurangan antara pihak
yang bersangkutan. Selain itu, diplomasi multilateral membuka kesempatan kerjasama yang
lebih luas dengan negara-negara kecil yang notabene tidak memiliki kekuatan besar dalam
dunia politik internasional (Trunkos, 2011). Di sisi lain, banyaknya jumlah partisipan dalam
diplomasi multilateral menyulitkan tercapainya konsensus. Lebih lanjut, ketika setiap pihak
tidak dapat menyatukan pemikirannya, maka konflik menjadi hal awam yang terjadi (Oshiba,
2016).

Selanjutnya, diplomasi personal merujuk pada kegitan diplomasi secara individu antara dua
negara, yang pada umumnya dilakukan antara para pemimpin negara, pemerintah, utusan
pemerintah, atau pemerintah negara. Aktor yang berperan dalam diplomasi personal adalah
aktor yang mempunyai pengaruh besar di dalam sistem internasional dan mengutamakan
pada kemampuan persuasi individu-individu yang bersangkutan (Meese, 2004). Lebih
lanjut, Snead (2003) menyatakan bahwa diplomasi personal dapat dilihat sebagai
sebuah kebijakan imajinatif dan visioner, karena kepala negara atau pemerintahan dapat
membalikkan kondisi negaranya dengan mencegah atau mengesampingkan bahaya yang
dapat ditimbulkan melalui hubungan langsung dengan petinggi negara lain. Perlu
digarisbawahi, individu-individu yang melakukan diplomasi personal tidak berkapasitas
sebagai pemimpin sebuah negara, melainkan membawa nama diri-sendiri (atas nama
pribadi). Salah satu contoh konkret pelaksanaan diplomasi personal dapat dilihat pada
upacara pemakaman pemimpin Uni Soviet menjadi kesempatan bagi sejumlah pemimpin
negara saling bertemu dan membicarakan berbagai hal. Dari sisi positif, diplomasi personal
dapat dilakukan oleh siapa saja. Diplomasi personal juga bersifat fleksibel karena tidak harus
dilakukan secara formal dan seremonial. Namun, kelemahan diplomasi personal terletak pada
pengimplementasiannya. Dengan sifatnya yang tidak terlalu mengikat, pengingkaran janji
dapat terjadi sewaktu-waktu dan sebagai konsekuensinya, pihak yang bersangkutan dapat
mengalami perseteruan dalam jangka panjang (Barston, 2014).

Istilah summit diplomacy pertama kali digunakan oleh Winston Churchill untuk
mendeskripsikan salah satu konferensi Perang Dingin yang gagal yang dihadiri oleh Amerika
Serikat, Inggris, Perancis, dan Uni Soviet di Geneva (Weilemann, 2000). Summit
diplomacy sendiri dapat didefinisikan sebagai diplomasi yang mempertemukan kepala negara
atau pemerintahan guna menyelesaikan suatu isu internasional dengan cara bernegosiasi. Jika
pada awal perkembangannya istilah summit diplomacy merujuk pada pertemuan yang
ditujukan untuk membahas isu-isu pelik dan mendesak, summit diplomacy kini telah
mengalami pergeseran makna sebab pokok bahasannya telah semakin luwas dan merambah
ke low politics. Sejalan dengan pergeseran makna tersebut, esensi dari summit diplomacy pun
semakin menurun. Summit yang mulanya dipandang sebagai pertemuan sakral dan penting
kini dipandang sebagai pertemuan biasa karena telah dilakukan secara rutin (Barston,
2014).10

Bergeser ke pola diplomasi lain, association diplomacy merupakan salah satu pola diplomasi
yang berakar dari
diplomasi multilateral. Melalui association diplomacy, sejumlah negara dengan tujuan yang
sama membina suatu ikatan yang diwujudkan dengan pembentukan asosiasi atau organisasi
(Barston, 2014). Association diplomacy sering kali dikaitkan dengan regionalisme. Diplomasi
asosiasi mencerminkan bahwa diplomat suatu negara harus mampu mengsubordinasikan
dirinya dalam aspek grand strategy, geopolitik, serta ideologi “great contest” yang harus
diaplikasikan dalam pencapaian kepentingan nasional maupun perdamaian dunia. Kelebihan
dari Association Diplomacy adalah mampu menghadirkan elemen-elemen yang sering
termarginalkan dalam perumusan suatu kebijakan perpolitikan internasional. Persamaan
faktor geografi menjadi salah satu alasan kuat atas terbentuknya harmoni antar aktor yang
saling berasosiasi. Di sisi lain, diplomasi asosiasi merupakan pola diplomasi yang rawan akan
perpecahan. Perpecahan tersebut terjadi bila kebijakan tidak dapat mengakomodasi
kepentingan semua pihak, atau jika terdapat kecurangan dan manipulasi demi mendapat
keuntungan pribadi (UK Essays, 2013).

Pola terakhir adalah konferensi, yakni perundingan dan negosiasi yang dilakukan dengan
mengadakan pertemuan langsung untuk mengatasi permasalahan bersama. Berbeda
dengan summit yang harus dihadiri minimal oleh tiga kepala negara, konferensi dapat
dilaksanakan dengan kehadiran minimal dua negara ditambah sejumlah pejabat dan petinggi
organisasi lainnya (Weilemann, 2000). Konferensi biasanya diselenggarakan selama beberapa
hari secara terus menerus (Barston, 2014). Pola konferensi berperan penting dalam
peningkatan solidaritas antar negara karena konferensi menuntut adanya interaksi secara
langsung antara pihak satu dengan lainnya. Konferensi juga cenderung memberi kemudahan
dalam penyelesaian masalah (Djelantik, 2008). Akan tetapi, sama halnya dengan pola-pola
diplomasi lain, sulitnya penyatuan pemikiran dari para representasi adalah salah satu
kelemahan dari diplomasi konferensi. Oleh karena itu, beberapa paksaan untuk mematuhi
solusi dari kelompok mayoritas merupakan hal yang sering terjadi dalam kegiatan konferensi.

Dari penjabaran diatas, dapat disimpulkan bahwa dinamika hubungan internasional dan
perkembangan teknologi telah membawa perubahan pada pola-pola diplomasi antar negara.

10
http://www.diplomacy.edu
Sejauh ini, tidak ada pola diplomasi yang benar-benar sempurna karena setiap pola memiliki
kelemahan tersendiri pada batasan tertentu. Dari sudut pandang penulis, sebagian besar
diplomasi yang dilaksanakan di era kontemporer memiliki pola multilateral, mengingat
bahwa kompleksitas isu global menuntut adanya kerja sama dan sinergi meluas dari setiap
negara yang ada di dunia. Dari semua pola diplomasi, diplomasi bilateral merupakan pola
yang paling klasik dan diidentifikasi sebagai diplomasi tradisional. Pola diplomasi ini telah
dilangsungkan oleh peradaban-peradaban kuno berabad-abad sebelum Masehi. Amarna
Letters merupakan relik sejarah diplomasi tertua yang merekam hubungan bilateral antara
Mesopotamia dan Timur Dekat (Kurizaki 2011, 3). Diplomasi bilateral merupakan diplomasi
yang hanya melibatkan dua negara. Konsep diplomasi ini ialah hubungan yang dijalankan
secara langsung dengan basis state-to-state dan bersifat dua arah. Lazimnya, kesepakatan
hanya dapat dicapai dengan kesepahaman dan persetujuan bersama. Namun, bukan berarti
opresi dari negara satu atas negara lain tidak mungkin terjadi (White 2001, 390). Sejak era
Mesopotamia, diplomasi bilateral lebih bersifat tertutup karena segala proses diplomatik
hanya diketahui oleh aktor-aktor diplomatik kedua negara dan tidak disebarluaskan baik dari
rakyat maupun dari negara lain. Proses diplomasi menjadi lebih mudah dirahasiakan dan
konsistensi diplomasi lebih mudah dijaga (White 2001, 390). Namun, keterbatasan pihak
yang terlibat membuat kedua negara tidak bisa mengandalkan diplomasi bilateral semata
untuk memenuhi seluruh kepentingan nasional masing-masing sehingga mau tidak mau,
kedua negara harus tetap berhubungan dengan negara-negara lain.

Akibat keterbatasan diplomasi bilateral, cakupan pola diplomasi kian berkembang hingga
melibatkan lebih banyak aktor. Muncullah diplomasi multilateral sebagai diplomasi yang
dijalankan oleh tiga negara atau lebih (DiploFoundation 2015). Seperti diplomasi bilateral,
diplomasi ini dijalin oleh banyak negara yang ingin mencapai kepentingan bersama. Seiring
dinamika globalisasi, hubungan internasional menjadi kompleks dengan semakin banyaknya
tantangan yang dihadapi negara-negara untuk memenuhi kepentingan nasional masing-
masing yang juga beragam. Pola diplomasi ini menjadi respon dari keterbatasan diplomasi
bilateral dalam mencapai kesepakatan atas suatu kepentingan sehingga diperlukan lebih
banyak partisipan langsung dalam menangani suatu isu tertentu (White 2001, 391-2). Meski
secara teknis telah dilangsungkan oleh peradaban-peradaban kuno melalui praktik aliansi,
diplomasi multilateral kembali muncul di abad 20 yakni seusai Perang Dunia II dengan
digalangnya Liga Bangsa-Bangsa (Roy 1995, 146).11

Globalisasi melahirkan entitas-entitas baru, utamanya organisasi internasional, sehingga


negara sudah bukan satu-satunya aktor dalam interaksi internasional. Diplomasi multilateral
tercatat menjadi titik balik diplomasi modern karena pelibatan organisasi internasional
membuat jalannya proses diplomatik lebih terbuka (White 2001, 391). Organisasi-organisasi
ini memudahkan diplomasi multilateral dengan menggabungkan kepentingan negara-negara
di dalamnya sehingga isu yang ditangani dapat dicapai penyelesaiannya bersama. Salah satu
praktik diplomasi multilateral yang terdahulu ialah Kongres Osnabruck dan Munster yang
melahirkan Perjanjian Westphalia (Jonsson dan Hall 2005, 83). Dewasa ini, PBB lah
organisasi internasional yang mewadahi seluruh praktik diplomasi multilateral. Diplomasi
multilateral lebih mempermudah pencapaian kepentingan negara terutama yang bersifat
general dan global (Djelantik 2008).

Perkembangan pola diplomasi bilateral dan multilateral kemudian memunculkan praktik


aliansi antar negara dalam mengahadapi isu-isu internasional atau dikenal sebagai diplomasi
asosiasi. Diplomasi asosiasi muncul karena adanya kesamaan kepentingan nasional dari
negara-negara yang terkait sehingga menjadi kepentingan bersama untuk dicapai (Djelantik
2008). Pada umumnya, diplomasi asosiasi dilakukan oleh negara-negara yang berada dalam
satu kawasan regional dan dilaksanakan secara berkelanjutan. Salah satu contohnya adalah
ASEAN yang memiliki visi-misi terkait aspek ekonomi, politik keamanan, dan sosial budaya.

Tak cukup berdiplomasi dengan interaksi langsung antar aktor diplomatik, sarana-sarana baru
dimanfaatkan untuk memfasilitasi jalannya proses diplomasi dengan baik. Salah satunya ialah
konferensi, yakni pertemuan perwakilan-perwakilan diplomatik negara yang terkait untuk
membahas isu yang bersifat spesifik namun mendesak dan membutuhkan penanganan
spontan. Disusunlah diplomasi konferensi, yakni diplomasi yang diatur dengan prosedur
parlementer (Kurizaki 2011, 33). Perundingan diorganisasi dalam forum dengan landasan
formal yang disepakati bersama dan dijalankan secara rutin pada waktu yang telah ditentukan
(Roy 1995, 142-4).

11
Djelantik, Sukawarsini, 2008. Diplomasi: Antara Teori dan Praktik. Yogyakarta: Graha
Ilmu.
Diplomasi konferensi yang mulanya bersifat insidental serta difokuskan pada isu perang dan
damai kemudian diorganisasikan secara permanen melalui organisasi-organisasi
internasional. Awal mula diplomasi konferensi adalah lahirnya LBB, yang kemudian menjadi
PBB, sebagai forum diskusi negara-negara untuk mengusahakan kepentingan nasionalnya
dalam suatu konferensi yang permanen (Roy 1995, 144-5). PBB sendiri menjadi krusial
karena digadang sebagai organisasi yang dapat menanggulangi konflik Perang Dingin,
mengingat dunia masih mengalami traumatisasi akibat Perang Dunia I dan II. Karenanya,
pola diplomasi ini menerapkan prinsip bahwa semua negara yang terlibat memiliki kuasa dan
hak yang sama dalam pengambilan keputusan serta menekankan netralitas untuk mengakhiri
monopoli negara-negara superpower (Kurizaki 2011, 33). Distingsi diplomasi konferensi
dengan pola-pola diplomasi sebelumnya ialah adanya koalisi dan blok, kepempininan dalam
organisasi, dan sekretariat internasional yang fungsional. Kemudian, konferensi yang berhasil
dapat melahirkan dokumen persetujuan atau legitimasi hukum (Jonsson dan Hall 2005, 83).
Tak hanya dalam forum seperti konferensi, diplomasi juga dapat diusahakan secara personal.
Diplomasi personal merupakan diplomasi yang dilakukan oleh perseorangan atau para
diplomat sebagai individu (Black 2010, 242-3). Diplomasi personal dinilai lebih efektif
karena dalam proses diplomatik, interaksi dilaksanakan secara langsung. Namun, individu-
individu tidak memiliki tidak memiliki keabsahan kuasa seperti legitimasi institusi-institusi
pemerintahan. Peran diplomat sebagai perwakilan diplomatik kian penting bagi citra negara
karena diplomat menjadi representasi negara di mata dunia (Black 245-6). Terdapat forum
diplomatik yang lebih tinggi dari konferensi yakni summit. Diplomasi summit ialah
diplomasi yang dijalankan tingkatan tertinggi pemerintah yakni komunikasi langsung antar
pemimpin negara (Jonsson dan Hall 2005, 92). Sejarah mencatat diplomasi summit telah
diadakan sejak abad 8 SM oleh tiga kaisar yang menguasai China kala itu (Jonsson dan Hall
2005, 92). Diplomasi summit menjadi diplomasi seremonial yang sangat berpengaruh bagi
dinamika perpolitikan global. Contoh diplomasi summit ialah Protokol Kyoto (Black 2010,
245). Kelemahan diplomasi summit ialah bertambahnya agenda pemimpin-pemimpin negara
sehingga konsentrasi untuk mengatur perpolitikan domestik semakin berkurang dan berisiko
terbengkalai. Selain itu, biaya untuk menghadiri summit membebani anggaran belanja negara
(Jonsson dan Hall 2005, 93). Dari penjabaran di atas, penulis menyimpulkan bahwa
pergeseran diplomasi tradisional menjadi diplomasi modern menjadi pemicu lahirnya
berbagai pola diplomasi baru sehingga kini terdapat diplomasi bilateral, diplomasi
multilateral, diplomasi asosiasi, diplomasi konferensi, diplomasi personal, dan diplomasi
summit. Tidak semua pola bias digunakan untuk semua situasi karena masing-masing pola
diplomasi memiliki kelebihan dan kekurangan sehingga diperlukan strategi yang sesuai
dalam penerapan proses diplomatik. 12

12
Djelantik, Sukawarsini, 2008. Diplomasi: Antara Teori dan Praktik. Yogyakarta: Graha
Ilmu.
DAFTAR PUSTAKA

Black, Jeremy. 2010. A History of Diplomacy. London: Reaktion Books Ltd. Pp: 1-42

Susilo, IB. 2016. Sejarah Diplomasi. Materi disampaikan pada mata kuliah Sejarah Diplomasi
pada 6 September 2016. Surabaya: Departemen Hubungan Internasional Universitas
Airlangga.

Judul buku : Diplomasi / S.L. Roy Pengarang/Penulis: Roy, S.L Subjek: Indonesia--
Diplomacy Nomor Panggil: [327.2 ROY dt (2);327.2 ROY dt (2), 327.2 ROY dt (2)]

Rourke, John T., author Subjek International relations World politics--1945-1989 Monterey:
Brooks/Cole Publishing Company, 1986 (327.1 ROU i)

Diplomacy dan power Yusuf Sufri. 1989. Hlm 119

Public diplomacy- Mark Leonard, Catherine Stead, Conrad Smewing, hal 55-65

Black, Jeremy. 2010. “1970 to the Present”, dalam A History of Diplomacy. London:
Reaktion Books, Ch. 7, pp. 224-7.

DiploFoundation. 2015. “Multilateral Diplomacy” [online], dalam http://diplomacy.edu


(diakses 26 desember 2020).

Djelantik, Sukawarsini. 2008. Diplomasi antara Teori dan Praktik. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Jönsson, Christer, dan Martin Hall. 2005. “Communication”, dalam Essence of Diplomacy.
New York: Palgrave Macmillan, Ch. 4, pp. 67-97.

Kurizaki, Shuzei. 2011. “Decline of Diplomacy? 20th Century and Beyond”, dalam A
Natural History of Diplomacy. Texas: A&M University Press, pp. 32-37.

Roy, Samendra L. 1995. Diplomasi. Jakarta: Grafindo Raja Perkasa.

White, Brian. 2001. “Diplomacy”, dalam Baylis, John, dan Steve Smith (ed.), The
Globalization of World Politics: An Introduction to International Relations. New York:
Oxford University Press, Ch. 17, pp. 387-403.

Djelantik, Sukawarsini, 2008. Diplomasi: Antara Teori dan Praktik. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Anda mungkin juga menyukai