Anda di halaman 1dari 6

Nama : Akbar Fasya Habibilla

NIM : 205120400111026

Kelas/Prodi : B-2/Hubungan Internasional

Diplomasi Bilateral dan Multilateral

Diplomasi merupakan sebuah seni dalam berhubungan dengan pihak lain. Untuk itu
dalam prosesnya diperlukan seorang diplomat yang hebat dalam berbicara, bernegosiasi, dan
tawar-menawar guna mendapat tujuan awal yang ingin digapai oleh suatu negara. Diplomasi
hadir guna menghadirkan cara yang lebih bijak dalam melakukan interaksi antarnegara, yakni
dengan menghindari peperangan dan segala bentuk permusuhan antarnegara. Dalam
praktiknya proses diplomasi dapat digolongkan menjadi dua berdasarkan lingkup
kerjasamanya yang akan dibahas pada artikel ini. Pertama ialah diplomasi bilateral dan kedua
ada diplomasi multilateral. Mengapa perlu dibedakan antara diplomasi bilateral dan
multilateral? Apakah ada perbedaan yang signifikan antara keduanya? Bagaimana
sejarahnya? Disini akan dibahas lebih lanjut.

Pertama ialah Diplomasi Bilateral, merupakan bentuk diplomasi yang dilakukan secara
state-to-state dan terjadi antara dua negara saja, bentuknya formal dan terdapat misi
diplomasi yang disepakati oleh kedua belah pihak. Diplomasi Bilateral sering dianggap
sebagai diplomasi lama karena hanya melibatkan dua negara dan cenderung tertutup. Namun
seiring perkembangan zaman, diplomasi bilateral ini berubah menjadi terbuka. Karena
terdapat larangan melakukan secret diplomacy sehingga mengharuskan adanya keterbukaan
informasi mengenai diplomasi yang dilakukan antarnegara.

Kemudian kedua ada Diplomasi Multilateral, yakni bentuk diplomasi yang terjadi
antara tiga negara atau lebih yang memiliki kepentingan atau tujuan yang sama dan ingin
dicapai bersama, formal, bersifat terbuka terhadap seluruh negara peserta, dan kedudukan
negara peserta seimbang sehingga tidak ada monopoli yang dilakukan oleh salah satu negara
peserta. Diplomasi multilateral mengakar kuat pada awal abad ke-20 di bawah pengaruh
perang dunia dan kekuatan ide demokrasi. Itu berkembang setelah Perang Dunia II dengan
ekspansi besar dalam jumlah negara dan keyakinan negara-negara baru bahwa diplomasi
konferensi dalam sistem PBB - berdasarkan pemungutan suara mayoritas - adalah
kesempatan terbaik mereka untuk mengamankan pengaruh. Akhirnya, mereka kecewa.
Kekuatan-kekuatan besar Barat menjadi lelah membayar program-program yang mereka
anggap sebagai keberatan politik yang kuat dan, secara bertahap, di bawah nama
pengambilan keputusan konsensus, mulai membuat bobot mereka terasa. Pada 1980-an,
dengan sistem PBB terguncang di bawah dampak pemotongan anggaran Amerika dan
negara-negara yang lebih miskin semakin kecewa dengan hasil yang sedikit diperoleh dari
mayoritas suara mereka yang besar, krisis multilateralisme terjadi. Namun, multilateralisme
akan tetap ada: itu telah terjadi. mengatasi krisisnya, dan telah muncul sedikit lebih ramping.
Ini juga muncul sedikit lebih diplomatis.

Terdapat beberapa tujuan dari diplomasi multilateral, diantaranya

1. Pengumpulan dan penggabungan informasi antarnegara


2. Sebagai sarana bekerja sama
3. Sebagai sarana memanajemen lingkungan eksternal
4. Menanamkan pengaruh ke negara lain
5. Untuk mencapai kerjasama yang saling menguntungkan
6. Untuk menjalankan domestic agendas suatu negara, dsb.

Sejarah Diplomasi

The French System Diplomacy

Pada Abad Pertengahan, tanggung jawab untuk diplomasi ditempatkan terutama di


tangan ‘nuncius’ dan ‘plenipotentiary’ atau orang yang berkuasa penuh. Nuncius disini tidak
lebih dari 'surat hidup', sedangkan plenipotentiary memiliki 'kekuatan penuh'- plena potestas,
oleh karena itu yang kemudian menjadi' berkuasa penuh '- untuk bernegosiasi atas nama
negara dan mengikat prinsipal. Namun demikian, mereka sama karena mereka adalah utusan
sementara dengan tugas-tugas yang terfokus secara sempit (Queller: bab 1 dan 2). Itu adalah
tanda dari sistem yang mulai muncul pada paruh kedua abad kelima belas bahwa utusan ad
hoc ini diganti atau, lebih tepatnya, dilengkapi dengan kedutaan besar residen dengan
tanggung jawab yang luas. Mengapa ini terjadi?

Karena pengiriman ‘utusan’ memiliki kekurangan, yakni biaya mahal yang harus
dikeluarkan saat mengirim ‘utusan’, rentan di jalan, dan selalu cenderung menimbulkan
masalah daripada yang didahulukan dan seremonial karena status tinggi yang disyaratkan dari
para pemimpin mereka. Akibatnya, ketika aktivitas diplomatik di Eropa meningkat pada
akhir abad ke-15 M, ternyata lebih praktis dan lebih ekonomis untuk menunjuk seorang duta
besar untuk tetap berada di pengadilan yang sering dikunjungi' (Queller: 82; juga Satow: vol.
I , 240-1). Representasi yang berkelanjutan juga mengarah pada keakraban yang lebih baik
dengan kondisi dan kepribadian di negara yang bersangkutan, sehingga menghasilkan
pelaporan politik yang lebih baik; memfasilitasi persiapan negosiasi penting (meskipun sudah
lama menjadi kebiasaan untuk terus mengirim utusan khusus berpangkat lebih tinggi untuk
melaksanakannya); dan membuat negosiasi semacam itu lebih mungkin dilakukan tanpa
menarik perhatian yang biasanya akan menyertai kedatangan utusan khusus (Queller: 83).
Penyebaran misi residen juga difasilitasi oleh tumbuhnya kekuatan doktrin raison d'etat;
yaitu, doktrin bahwa standar moralitas pribadi tidak relevan dalam tata negara, di mana satu-
satunya ujian adalah apa yang memajukan kepentingan negara. Ini menyetujui apa yang, pada
abad ketujuh belas, Richelieu menyebutnya sebagai 'negosiasi berkelanjutan': diplomasi
permanen 'di semua tempat', terlepas dari pertimbangan sentimen atau agama (Berridge,
Keens-Soper, dan Otte: bab 4). Mengantisipasi doktrin ini selama satu abad, pada tahun 1535
Yang Mulia Yang Maha Kristiani, Francois, Raja Prancis, mendirikan kedutaan besar
penduduk di Konstantinopel di istana Suleiman Agung, Sultan Kekaisaran Ottoman, yang
dianggap representasi ‘Tuhan’ di Bumi - dan tombak kerajaan pada masa perang suci umat
Islam melawan Pasukan Kristen.

Karakteristik lainnya dari model diplomasi perancis ini ialah kerahasiaan, dimana
segala sesuatu yang dibicarakan dan didiskusikan di dalam proses diplomasi harus terjaga
kerahasiaannya. Untuk itu model diplomasi sistem perancis ini sering disebut ‘secret
diplomacy’ karena dalam sistem ini beranggapan bahwa suatu diplomasi dilakukan agar
diplomasi tersebut berhasil. Untuk menunjang keberhasilan tersebut maka segala sesuatu
apapun yang terjadi dalam proses diplomasi harus terjaga kerahasiaannya guna menghindari
adanya sabotase dari pihak lain yang dapat mengancam tujuan dari suatu diplomasi tersebut.

Fitur penting lainnya dari sistem Prancis adalah perhatian yang cermat dalam protokol
untuk mengelaborasi upacara dengan nuansa religius. Ini digunakan untuk meningkatkan
prestise seorang penguasa, menyanjung sekutunya, dan mengadakan. Dalam diplomasi sistem
perancis, kecurangan atau kebohongan merupakan hal yang sangat dihindari. Karena pada
dasarnya tujuan negosiasi bukanlah untuk mengelabui pihak lain, melainkan untuk
merekonsiliasi negara-negara berdasarkan perkiraan yang benar tentang kepentingan abadi
mereka. Sebaliknya, jika suatu negara mengamankan kesepakatan dengan tipu daya, atau
kemudian segera membatalkan kesepakatan, dan hal itu mengusik rekan kerjasamanya,
kemungkinan akan menumbuhkan keinginan untuk membalas dendam di dada korbannya.
Kemungkinan juga akan menemukan negara bagian lain yang enggan melakukan negosiasi
dengannya di masa depan. Kejujuran yang lebih besar dalam diplomasi merupakan pertanda
semakin matangnya sistem diplomasi.

Diplomasi model Perancis dianggap sebagai sistem diplomasi yang tepat digunakan
pada masanya. Diplomasi model ini sering disebut dengan ‘diplomasi lama’ karena berfokus
pada diplomasi bilateral saja. Diplomasi sistem perancis inilah yang disinyalir menyebabkan
pecahnya Perang Dunia I. karena sifatnya yang rahasia dan tertutup sehingga menyebabkan
adanya rasa kecurigaan oleh negara lain dan menganggap bahwa kedua pihak yang
bernegosiasi hendak mengancam kedamaian suatu negara. Sehingga hal ini menimbulkan
rasa kecemasan oleh negara lain sehingga timbullah masalah baru, yakni konflik yang terjadi
hingga menimbulkan Perang Dunia I.

Akhirnya, dengan bertambahnya jumlah negara, kompleksitas masalah yang mereka


hadapi berlipat ganda, dan urgensi yang mengikutinya bertambah, kecepatan operasi sistem
diplomasi bilateral Prancis menjadi terlalu lambat. Hal ini disadari selama Perang Dunia I dan
ditunjukkan dengan banyaknya konferensi - banyak di antaranya mencapai status permanen -
yang terorganisir dengan tergesa-gesa untuk mengatasi krisis. Setelah itu, diplomasi
multilateral diresmikan dengan baik dengan pembentukan Liga Bangsa-Bangsa, dan secara
luas diyakini bahwa diplomasi lama telah digantikan oleh 'diplomasi baru'.

Konferensi Wina Tahun 1961 tentang Hubungan Dipomatik

Pada 1950-an, secara luas diterima oleh para ahli hukum bahwa diplomat harus
memiliki hak istimewa dan kekebalan khusus di bawah hukum pidana dan perdata lokal. Para
diplomat memerlukan perlakuan khusus di bawah undang-undang karena tanpanya, mereka
tidak akan dapat menjalankan fungsinya dengan baik karena mungkin saja apa yang mereka
lakukan dapat bersinggungan dengan hukum pidana dan perdata di suatu negara

Berikut merupakan fungsi misi diplomatis yang termaktub dalam konverensi Vienna
1961: (a) mewakili Negara pengirim di Negara penerima; (b) melindungi di Negara penerima
kepentingan Negara pengirim dan warga negaranya, dalam batas-batas yang diizinkan oleh
hukum internasional; (c) bernegosiasi dengan Pemerintah Negara penerima; (D) memastikan
dengan semua cara yang sah kondisi dan perkembangan di Negara penerima, dan
melaporkannya kepada Pemerintah Negara pengirim; (e) mempromosikan hubungan
persahabatan antara Negara pengirim dan Negara penerima, dan mengembangkan hubungan
ekonomi, budaya dan ilmiah mereka.
Hak istimewa lain yang diterima oleh diplomat ialah adanya perlindungan terhadap
tempat kedutaan suatu negara yang tidak dapat diganggu gugat oleh pihak lain (termasuk oleh
pihak negara penerima). Karena sejatinya kantor kedutaan suatu negara di luar negeri ibarat
wilayah suatu negara itu sendiri. Sehingga aturan yang berlaku merupakan aturan negara itu
sendiri dan negara lain (negara penerima) tidak berhak mengganggu atau bahkan
mengintervensi kantor kedutaan tersebut.

Konvensi Wina juga merinci kewajiban misi kepada negara penerima. Ini tidak
mengherankan, karena misi residen selalu berisiko dicurigai sebagai spionase dan subversi,
dan ini telah diperburuk oleh aktivitas Perang Dingin negara adidaya di dunia non-blok
(Berridge 1997: 157-61). Dengan demikian, Konvensi menekankan bahwa diplomat harus
'menghormati hukum dan peraturan Negara penerima' dan berulang kali mengacu pada
kewajiban non-campur tangan dalam urusan dalam negerinya, membuat sejumlah ketentuan
praktis untuk mengurangi risikonya: misi diplomatik diharuskan untuk membatasi perilaku
bisnis resmi mereka pada kementerian luar negeri negara penerima kecuali jika disetujui
sebaliknya; gagal mendapatkan izin sebelumnya, kantor kedutaan tidak dapat didirikan 'di
lokasi lain selain di mana misi itu sendiri didirikan'; persetujuan mungkin diperlukan untuk
atase dinas (selalu dicurigai sebagai mata-mata) serta kepala misi baru; negara penerima
dapat bersikeras untuk mengurangi misi yang mereka yakini terlalu besar; dan akhirnya,
seperti disebutkan sebelumnya, fasilitas radio hanya dapat dipasang dalam misi dengan
persetujuan negara penerima.

Konverensi Wina merupakan tonggak sejarah baru bagi diplomasi dunia. Karena
Konferensi Wina merupakan bentuk diplomasi multilateral yang melibatkan banyak negara di
dunia. Konferensi ini ditandatangani di Wina pada tanggal 18 April 1961 dan mulai berlaku
tiga tahun kemudian, pada tanggal 24 April 1964, telah diratifikasi oleh 22 negara. Sejak
diberlakukannya konferensi ini, ‘Diplomasi baru’ tercipta menggantikan ‘Diplomasi lama’.
Kini, hampir seluruh negara meratifikasi hasil konferensi ini dan hampir setiap negara saling
mengirimkan diplomatnya dengan saling mendirikan kantor kedutaaan di tiap-tiap negara
sebagai tanda akan kedaulatan suatu negara, pengakuan kedaulatan terhadap negara penerima
dan adanya hubungan baik antarnegara tersebut.

Banyak tugas penting yang harus dijalankan oleh perwakilan diplomatik suatu negara
terhadap negara lain, diantaranya

1. Menjadi representasi atas negaranya dan simbol dari hubungan baik antarnegara
2. Fungsi negosiasi dan lobbying
3. Mengklarifikasi ‘niat damai’ suatu negara untuk mewujudkan perdamaian
4. Fungsi laporan politik terhadap negara
5. Diplomasi komersil, efek dari globalisasi sehingga tercipta perdagangan bebas
antarnegara. Disini fungsi kedutaan untuk melayani hal hal komersil (ekspor-impor, dan
kegiatan komersil lainnya)
6. Fungsi serbaguna dan adaptiativable, Kedutaan dapat memenuhi sejumlah fungsi
tambahan, simbolis maupun praktis dan harus adaptif terhadap perkembangan teknologi

Pertanyaan:

Apakah terdapat perbegaan strategi secara spesifik yang harusnya dijalankan oleh seorang
diplomat ketika mengikuti diplomasi bilateral dengan diplomasi multilateral? Jelaskan!

Anda mungkin juga menyukai