Anda di halaman 1dari 8

Nama: Jaki Rahman

NIM: 6211191150

Kelas: D

History, Functions of Diplomacy, Foreign Policy

Manusia dalam hidupnya pasti tidak akan bisa lepas dari segala bentuk
komunikasi, karena tanpa komunikasi tidak mungkin manusia dapat bertahan hidup
hingga abad ke-21 ini, apabila kita ingin berdagang tentu saja kita harus melakukan
komunikasi dengan pembeli, apabila kita ingin bekerja sama juga tidak mungkin
terjadi kesepakatan apabila tanpa komunikasi, demikian juga dalam halnya
menciptakan perdamaian di dunia maka diperlukannya komunikasi antar negara,
dalam hal inilah lahir diplomasi yang mana merupakan bentuk negosiasi antar negara
melalui sebuah perwakilan negara tersebut (diplomat).

Diplomasi sudah ada sejak dahulu kala namun hanya bentuknya saja yang
berubah dari zaman ke zaman menyesuaikan berdasarkan kebutuhannya, namun tetap
memiliki tujuan yang sama yaitu menghindari peperangan dan kekerasan. Kata
diplomasi berasal dari kata “diploun” yang berarti melipat, “diplomas” dalam bahasa
Yunani berarti adalah dokumen resmi yang dilipat ganda yang mana memberikan
para pembawanya hak – hak khusus [ CITATION Lei16 \l 1057 ]. Pada awalnya diploma
berfungsi sebagaimana paspor, namun secara bertahap tepatnya pada zaman
pertengahan, istilah diploma digunakan sebagai dokumen yang memberikan hak
istimewa.

Diplomasi pertama kali muncul pada era Mesopotamia dengan adanya temuan
surat tentang surat Amarna. Pada zaman Mesopatamia diplomasi kegiatan dipomasi
diawali dengan adanya interaksi antara raja mesir kuno yaitu Raja Pharaoh Ramesses
II dengan Raja Muwatallis dari kerajaan Hittite [ CITATION Kur11 \l 1057 ].
Diplomasi pada masa Yunani Kuno merupakan praktik diplomasi modern
yang membahas negara-kota yang saling mengakui kedaulatannya. Praktik diplomasi
pada masa ini menggunakan sistem public oratory (pidato umum) dan proxenos,
public oratory adalah sistem diplomasi terbuka yang ditekankan pada masa Yunani
Kuno menekankan adanya publisitas dan keterbukaan dalam melakukan proses
diplomasi, orang yang dipilih oleh negara-kota untuk menjadi perwakilannya pada
masa ini disebut “Heralds” yang berarti orang suci. Dengan sistem public oratory
membuat para Heralds tidak hanya menyampaikan pesan (surat) dari negara-kota
asalnya saja, namun harus pula mempersiapkan pesan lisan atas negara-kota asalnya.
Proxenos merupakan warga sipil negara-kota yang secara sukarela menjadi konsulat
untuk negara negara-kota lainya yang ada karena di masa ini diplomasi bukan
merupakan bagian inti dari pemerintahan. Dalam melakukan proses diplomasi Yunani
Kuno memiliki aturan unik yaitu adalah larangan untuk pemberian hadiah yang mana
alasannya adalah untuk menghindari kegiatan suap menyuap, dan juga pada sistem
diplomasi di masa ini tidak adanya imunitas diplomatik atau jaminan keamanan bagi
para utusan diplomatik yang dikirim ke negara-kota lain, hal ini dikarenakan bahwa
pada masa ini para heralds dianggap utusan para dewa dan sakral, namun apabila
sedang dalam kondisi berperang keamanan para utusan diplomatik tidak lagi terjamin
[ CITATION Kur11 \l 1057 ].

Pada zaman romawi biasanya diplomasi dimulai dengan datangnya duta besar
asing ke Roma, meminta makan dan penginapan kepada hakim sembari menunggu
audiensinya dengan Senat. Setelah dipanggil di depan Senat sebagai sebuah
kelompok, para duta besar memperkenalkan diri kepada para senator, lalu ketua
delegasi akan menyampaikan orasi formal, mengungkapkan ucapan selamat (biasanya
setelah kemenangan Roma dalam peperangan), ucapan terima kasih (untuk bantuan
Roma), Komplain (terhadap musuh regional, yang mungkin adalah aliansi dari Roma
ataupun bukan), atau menawarkan bantuan (untuk menengahi konflik Roma atau
semacamnya). Sesudahnya Roma biasanya berterima kasih kepada para duta besar
yang di barengi dengan memberikan hadiah yang biasanya adalah uang, dan yang
akhirnya diantar kepada perjalanan pulang mereka.

Bangsa Roma, dan Bangsa Italia lainya, menggunakan serikat pendeta, yang
biasa para Roma sebut fetiales, untuk menengahi hubungan dalam negara mereka dari
mulai sejak lama (abad ke-8 SM) hingga abad ke-3 SM. Berdasarkan hukum fetial
(ius fetiale), kapan pun Roma dirugikan oleh negara lain ( menyerang wilayah Roma
atupun aliansinya, atau ikut campur dalam perdagangan Roma dengan aliansinya),
pendeta fetial akan dikirim ke negara yang bersalah untuk meminta kepuasan (rerum
repetitio). Apabila negara yang bersalah tidak memberikan kepuasan dalam 33 hari,
pendeta tersebut akan melapor terhadap negara yang bersalah kalau para dewa akan
ditanyai atas jalan apa yang harus dipilih Roma. Jika para dewa menunjukkan “cukup
perang”, sebuah iustum bellum, dilanjutkan dengan pendata mendeklarasikan perang
dengan cara resmi Roma mendeklarasikan perang (indictio belli) dengan
melemparkan tombak yang dicelupkan ke dalam darah ke wilayah negara yang
bersalah [ CITATION Bur18 \l 1057 ].

Kekaisaran Byzantium atau Kekaisaran Romawi Timur merupakan kekaisaran


pertama yang membentuk departemen luar negeri untuk urusan yang berhubungan
dengan negara lain, Byzantium mempraktikkan diplomasi secara profesional di mana
para diplomat mulai berlatih untuk bernegosiasi, para duta besar Byzantium diberi
petunjuk dalam bentuk instruksi tertulis dan ditekankan untuk sopan dalam
berhubungan dengan orang-orang dari negara lain. Terutama apabila ada seorang
kaisar yang baru saja naik tahta, maka pihak Byzantium akan mengirimkan
perwakilannya untuk mengungkapkan selamat serta memberitakan peristiwa ini.
Praktik institusional diplomatik sudah dipraktikkan selama zaman ini.

Bangsa Byzantium juga memilik taktik tersendiri dalam menangani konflik


musuhnya yang akan terjadi, biasanya mereka akan mulai menyebarkan bibit
permusuhan atau perpecahan di antara negara atau kelompok yang mempunyai
potensi akan terjadinya konflik. Praktik diplomasi yang digunakan Kekaisaran
Byzantium dikenal dengan diplomasi manipulatif yang diterapkan dengan 3 strategi
kunci yaitu: sanjungan dan suap, kecerdesan, anti terror dan rasa takut. Diplomasi
oleh Kekaisaran Byzantium dianggap sebagai sebuah instrumen penting yang
bertujuan untuk menjaga stabilitas internal kekaisaran sekaligus menjaga status quo
sebagai kekaisaran besar hasil warisan Kekaisaran Romawi Kuno [ CITATION Bas16 \l
1057 ].

Pada zaman ini diplomasi lebih ditekankan kepada tindakan – tindakan


koersif , tindakan koersif yang dilakukan oleh kekaisaran Byzantium ini
menghasilkan diplomasi yang berdasarkan kepada permusuhan, hal ini melahirkan
konsep – konsep seperti: Device, Rule, dan Survive.

Pada era Renaissance, Italia mengubah struktur pemerintahannya yang


asalnya kerajaan menjadi negara-kota. Dengan masing-masing negara-kota yang tidak
dapat memenuhi segala kepentingannya sendiri, maka muncullah rasa ketergantungan
antar negara-kota yang berpengaruh pada sistem diplomasi yang berkembang saat ini.
Praktik diplomasi menjadi salah satu agenda tetap pemerintah Italia pada saat itu.
Pada masa ini seorang utusan dikirim untuk menetap di negara lain dengan tugasnya
mengumpulkan sebanyak mungkin dan sekaligus mewakili negara asal dalam
kegiatan yang dilakukannya.

Negara-kota di Italia pada saat itu memperkenalkan adanya residen duta besar
yang kemudian mulai menyebar ke kawasan Eropa bagian lainya [ CITATION Edi20 \l
1057 ]. Pengiriman duta besar pertama kali dilakukan pada pertengahan abad ke-15
oleh Francesco Sforza, seorang Duke of Milan, yang mengirimkan wakilnya ke
Florence, Genoa, Naples, dan Vanesia [CITATION Hel14 \l 1057 ]. Selain itu, bangsa
Venesia juga memiliki peranan penting bagi perkembangan diplomasi. Bangsa
Venesia dapat menciptakan sistem diplomasi yang terorganisir dengan memelihara
arsip mereka dengan baik. Melalui laporan berkala, para duta besar Venesia di luar
negeri tetap terinformasi tentang kejadian-kejadian di dalam maupun luar negeri.
Hingga bangsa Venesia menyadari bahwa para wakil mereka di negara lain tidak
akan berfungsi dengan semestinya apabila mereka tidak secara rutin diberi informasi
baru.
Perancis juga memiliki peranan yang tak kalah pentingnya dalam dunia
diplomasi saat itu. Kardinal Richeliu adalah seorang negarawan Perancis yang
beperan penting dalam dunia diplomasi, dia berpendapat bahwa seni negosiasi
seharusnya bukan suatu proses yang tergesa-gesa melainkan suatu kegiatan yang
permanen. Richleu menetapkan prinsip-prinsip penting bahwa yang paling esensial
dari seluruh aspek diplomasi adalah unsur kepastian, dan di samping itu perjanjian
juga merupakan alat yang penting dari diplomasi. Richeliu merupakan orang yang
pertama kali mengemukakan doktrin bahwa diplomasi tidak hanya semata-mata
kegiatan ad hoc tetapi merupakan suatu proses yang berkesinambungan. Bangsa
Perancis memberi penekanan pada instruksi tertulis yang diberikan kepada para duta
besar yang sering menyertakan pula surat kepercayaan (letter of credence) resmi dan
beberapa surat perkenalan kepada orang-orang terkemuka di negara penerima.
Instruksi ini memuat garis besar kebijaksanaan yang harus dicapai oleh duta besar.

Dalam menerapkan diplomasinya India pada eranya menggunakan


Arthashastra karya Chanakya yang merupakan risalah mengenai ilmu tahta
pemerintahan yang tidak hanya sebatas membahas administrasi kenegaraan, ekonomi
dan hukum saja namun juga membahas mengenai perang, strategi menaklukkan
musuh dari luar negara, seni diplomasi, dan juga intelejen [ CITATION NiN18 \l 1057 ].
Diplomasi dalam Arthashastra karya Chanakya dibahas secara umum dengan
terminologi mantrashakti. Mantrashakti merupakan kekuatan yang dibangun di atas
kecerdasan dan kekuatan narasi manusia termasuk perkataan dan tulisan.
Mantrashakti dalam Arthashastra dikenal sebagai soft power diplomacy, yakni
menasihati, mengarahkan, sesuatu melalui kekuatan lisan yang membuat seorang
ataupun sebuah negara bersedia melakukan sesuatu ataupun bersepakat akan suatu hal
yang membawa dampak positif terhadap tujuan negara [ CITATION NiN18 \l 1057 ].

Di dalam bukunya Chanakya menjabarkan bahwa ada enam kebijakan politik


luar negeri (Ṣāḍguṇya Theory). Keenam kebijakan tersebut adalah membuat
perdamaian (saṃdhi), melakukan peperangan (vigraha), tinggal diam/netral (asana),
mempersiapkan diri untuk perang atau siaga (yana), mencari dukungan atau aliansi
(samsraya), dan kebijakan ganda (dvaidibhava) yaitu membuat perdamain dengan
engara satu sementara itu juga mengadakan peperangan dengan negara lainya.
Ṣāḍguṇya atau six fold Foreign Policy merupakan kebijakan yang dapat diambil oleh
penguasa negara dalam kerangka hubungan antar negara.

Untuk menjalankan keenam kebijakan ini terdapat empat cara atau jalan
(catur upaya) yang umumnya ditempuh dalam diplomasi menurut Chanakya. Catur
Upaya merupakan empat pendekatan atau cara mencapai tujuan nasional atau bisa
dikategorikan sebagai empat metode diplomasi sebuah negara. Catur Upaya terdiri
dari empat bagian berbeda. Pertama, sama (conciliation) perdamaian, konsilasi atau
penyesuaian. Kedua, dama (gift) pemberian, kado atau hadiah. Ketiga, bedha
(rupture) perpecahan atau perselisihan. Dan keempat adalah danda (force) kekerasan,
atau pemaksaan.

Menurut Chakyana diplomasi dijalankan untuk mencapai beberapa hal seperti


menarik sekutu, menunda perang jika sebuah negara itu lemah dan mudah diserang,
dan membuat post war arrangements for a new order. Hubungan antar negara
dibangun dan dibawa oleh duta besar. Diplomasi dalam buku Arthashastra dijalankan
guna mendapatkan power namun power bukanlah tujuan akhir namun adalah alat
yang digunakan untuk menciptakan yogaksema atau kebahagiaan, kesejahteraan, dan
keamanan rakyat.

Berdasarkan tulisan di atas serta referensi-referensi yang saya baca fungsi


diplomasi merupakan tidak lain adalah usaha atau tindakan sebuah negara dalam
menjaga perdamaian serta kemakmuran negaranya dengan cara bernegosiasi
meskipun dalam praktik nyatanya banyak yang melakukan praktik manipulatif tetapi
masih mempunyai tujuan yang sama yaitu menjaga perdamaian serta kemakmuran
negaranya.

Diplomasi juga memiliki fungsi untuk memperkuat hubungan antar negara di


berbagai bidang seperti bidang politik, budaya, ekonomi, dan militer. Diplomasi juga
berperan penting dalam terciptanya perdamaian dunia yang sedang kita nikmati
hingga saat ini, karena hanya melalui diplomasilah masing-masing aktor negara
saling berkomunikasi untuk mencapai sebuah kesepakatan yang bertujuan tercapainya
kepentingan masing-masing negara.

Setelah mempelajari diplomasi pada berbagai macam era, saya berpendapat


bahwa diplomasi memiliki beberapa persamaan dan juga perbedaan. Yang terutama
pada praktik diplomasi itu sendiri, hampir di semua era praktik diplomasi dilakukan
dengan cara mengirimkan perwakilannya ke negara lain dengan tujuan untuk
mencapai kepentingan negaranya dan mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya
tentang negara tempat ia dikirim. Sistem diplomasi di era Perancis dan Romawi Kuno
pada abad ke-8 SM hingga ke-3 SM yang berdasarkan atas kepercayaan yang mana
berbeda dengan sistem diplomasi era Byzantium yang melakukan praktik diplomasi
manipulatif. Terdapat juga perbedaan sistem diplomasi yang ada pada masa Yunani
Kuno yaitu terdapatnya larangan pemberian hadiah, yang mana pada era lainya
pemberian hadiah merupakan bagian krusial dari praktik diplomasi yang
dilaksanakan, serta tidak adanya imunitas diplomatik atau jaminan keamanan
terhadap para utusan diplomatik.

Referensi
Akbar, H., 2014. Diplomasi Abad Pertengahan. [Online]
Available at: http://helmi-akbar-fisip13.web.unair.ac.id/artikel_detail-110884-
(SOH202)%20Sejarah%20Diplomasi-Diplomasi%20Abad%20Pertengahan.html
[Diakses 18 10 2020].
Avalokitesvari, N. N. A. N., Midhio, I. W. & Prasetyo, T. B., 2018. ANALISIS DIPLOMASI
PERTAHANAN NEGARA DALAM PANDANGAN. Diplomasi Pertahanan, 4(2).
Burton, P., 2018. Roman Diplomacy. s.l.:s.n.
Ediplomat, t.thn. A Brief History of Diplomacy. [Online]
Available at: http://www.ediplomat.com/nd/history.htm
[Diakses 18 10 2020].
Kepakisan, B., 2016. Diplomasi Abad Pertengahan. [Online]
Available at: http://a-a-gde-baskara-kepakisan-fisip14.web.unair.ac.id/artikel_detail-163756-
SOH%20202-Diplomasi%20Abad%20Pertengahan.html
[Diakses 18 10 2020].
Kurizaki, S., 2011. A Natural History of Diplomacy. Unpublished manuscript. Tamu. edu-
Texas A&M University.
Leira, H., 2016. A conceptual history of diplomacy. The SAGE handbook of diplomacy, pp.
28-38.

Anda mungkin juga menyukai