Anda di halaman 1dari 4

Tugas 2

Nama: Jaki Rahman

NIM: 6211191150

Kelas: D

Mata Kuliah: Organisasi Internasional

O’Neill (1996) di dalam jurnalnya yang berjudul Power and Satisfaction in the United
Nations Security Council, O’Neill menjelaskan bagaimana sistem voting yang berlaku di Dewan
Keamanan PBB menggunakan Shapley-Shubik indeks, yang merupakan cara formal untuk
mengukur power yang dimiliki oleh pemilih atau voter. Pada jurnalnya, O’Neill menjelaskan
bahwa power bukanlah hal yang harus selalu menjadi prioritas dalam Dewan Keamanan PBB,
namun kepuasan para voter pun harus dipertimbangkan, yang menjadikan penambahan anggota
permanen atau non-permanen di Dewan Keamanan PBB bukanlah suatu solusi untuk
memecahkan ketidakseimbangan power yang terjadi saat ini. Karena dengan adanya
penambahan anggota non-permanen pun tidak akan menyebabkan perbedaan yang signifikan
terhadap sistem yang sedang berlaku ini. Karena dengan adanya penambahan anggota non-
permanen menyebabkan adanya penurunan power bagi para anggota non-permanen, yang mana
sebelumnya saja sudah sangat tidak berpengaruh.

Menurut O’Neill, perubahan dalam Dewan Keamanan PBB masih bisa efektif apabila
hanya ditambah menjadi 23 anggota, yang berisikan 7 anggota permanen atau 10 anggota
permanen, O’Neill berpendapat bahwa yang berkemungkinan menduduki kursi tambahan
tersebut ialah, Jerman, Jepang, Brazil, India, dan Nigeria. Namun dengan penambahan anggota
permanen berikut akan menyebabkan mengurangnya power yang dimiliki masing-masing negara
permanen dan juga mengurangnya power negara sementara atau non-permanen yang keefektifan
powernya pun masih banyak di pertanyakan.

Namun di era kapitalis ini, power yang dimiliki masing-masing tidak lagi sangat relevan,
karena seperti apa yang ada di dalam teori ketergantungan, bahwa negara-negara maju atau
negara-negara yang memiliki power besar, cenderung memiliki hubungan yang eksploitatif
terhadap negara-negara yang masih berkembang, di mana bisa disimpulkan bahwa negara maju
di sini ialah negara-negara yang memiliki hak veto. Negara-negara yang memiliki veto ini pasti
akan sering menjalin hubungan kerja sama dengan negara-negara lain, yang pada akhirnya
berujung pada kepentingan negaranya [ CITATION Moh20 \l 1057 ]. Hal ini menjadikan jika meski
adanya penambahan anggota permanen baik non-permanen dalam Dewan Keamanan PBB
tidaklah sangat efektif.

Memang, hal tersebut selalu menjadi perdebatan karena ketidakseimbangan power di


dalam Dewan Keamanan PBB memang benar adanya, hal ini dikarenakan adanya rasa
ketidakpuasan dari masing-masing anggota non-permanen, seperti yang ditulis O’Neill, karena
power mereka yang hampir tidak berarti dalam bersuara akan solusi atau sengketa yang ada.
Seperti halnya, yang saya tulis di paragraf sebelumnya, bahwa tidaklah berat untuk negara-
negara yang memiliki hak veto untuk menambatkan suara yang dibutuhkan.

Namun apabila ada anggota permanen yang tidak setuju akan keputusan yang dibuat
tersebut maka keputusan tersebut tidak dapat di sahkan meski ada berapa negara pun yang
menyetujuinya [ CITATION Nat10 \l 1057 ]. Hal ini dianggap tabu di dalam Dewan Keamanan PBB,
karena kelima anggota permanen merupakan inti dari Dewan Keamanan, sebagai jantung dari
sistem keamanan global saat ini, apa pun yang mereka lakukan, mereka putuskan atau tidak, atau
persetujuan mereka, atau hak veto mereka, terletak takdir dari usaha kita untuk mendapatkan
perdamaian melalui perjanjian internasional [ CITATION Nat10 \l 1057 ].

Tidak diragukan lagi bahwa Dewan Keamanan PBB ini berkesan sangat Eurosentris,
dikarenakan dari total lima anggota, tiga dari anggotanya terletak di benua Eropa, satu berada di
benua Amerika, dan satu lagi berada di benua Asia Pasifik. Namun mengapa tidak ada
perwakilan dari benua Afrika? Hal inilah yang memicu munculnya pendapat-pendapat reformasi
di Dewan Keamanan PBB. Namun yang menjadi masalah utama adalah siapa yang akan ditunjuk
sebagai perwakilan dari benua tersebut, bagaimana kriterianya. Seperti yang kita tahu, anggota
permanen atau yang memiliki hak veto di Dewan Keamanan PBB, ialah lima negara yang
memenangkan perang dunia kedua. Yang mana belum ada kriteria pasti akan bagaimana kriteria
yang harus dipenuhi bagi anggota permanen atau pemegang hak veto.

Percobaan dalam mereformasi Dewan Keamanan PBB sebenarnya sudah dilakukan sejak
tahun 1950an, dan inisiatif Argentina dan Kuba untuk mendiskusikan hak veto, namun reformasi
tidak pernah tercapai, karena berhubungan dengan sedang terjadinya perang dingin pada saat itu
yang menjadikan masalah ini ditunda hingga kondisi yang lebih tepat [ CITATION Nat10 \l 1057 ].
Namun pada tahun 1963 terjadilah reformasi pada Dewan Keamanan PBB, yaitu penambahan 4
anggota non-permanen dari 6 anggota menjadi 10 anggota, ini merupakan reformasi pertama dan
satu-satunya yang terjadi di Dewan Keamanan PBB. Percobaan reformasi Dewan Keamanan
PBB kemudian terjadi lagi pada tahun 1974, yang berujung pada terbentuknya komite spesial
untuk mempelajari masalah tersebut pada tahun 1975 yang bernama “Special Committee for the
United Nations Charter and for strengthening the role of Organizations” [ CITATION Nat10 \l
1057 ]. Pada tahun 90an reformasi Dewan Keamanan PBB kembali menjadi masalah penting
yang membuat majelis umum mengeluarkan keputusan Resolusi 48/267, yang mendirikan
“Open-ended working group on the question of equitable representation and increase in the
membership of the Security Council and other Security Council matters”. Masih banyak lagi
usaha-usaha mereformasi Dewan Keamanan PBB ini, namun semuanya berujung tidak
terselesaikan, atau bahkan ditunda. Hal ini terjadi karena para pemegang hak veto tidak
semuanya setuju akan adanya penambahan pada anggota permanen pada Dewan Keamanan
PBB.

Namun dari banyaknya percobaan reformasi-reformasi yang di ajukan oleh banyak


negara lantas apa prospek positif dari terwujudnya reformasi tersebut? Apabila reformasi tersebut
terwujud, bukankah akan memunculkan masalah baru di hari nanti. Dengan lima anggota
permanen saja sudah sangat sulit dan banyak perbedaan pandangan dalam menyelesaikan banyak
masalah, yang mana sering berujung pada jalan buntu.

HLP atau High Level Panel di Dewan Keamanan PBB, menemukan bahwa keanggotaan
Dewan Keamanan PBB yang sekarang terdapat adanya ketidaksetaraan, yang bisa menjadi
ancaman akan terjadinya delegitimasi terhadap Dewan Keamanan PBB secara keseluruhan.
Keefektifan sistem keamanan kolektif global itu terdapat pada legitimasi. Hal inilah yang harus
di pertimbangkan pada reformasi Dewan Keamanan PBB, karena kehilangan legitimasi sama
dengan kehilangan power atau keefektifan Dewan Keamanan PBB. Yang mana hal ini
menjadikan bahan pertimbangan besar Dewan Keamanan PBB untuk mereformasi untuk saat ini,
karena perubuhan pada struktur Dewan Keamanan PBB akan berdampak baik dalam
peningkatan legitimasi, yang akan menghasilkan power dan keefektifan yang lebih baik lagi.
Reformasi pada Dewan Keamanan PBB merupakan hal yang sangat penting, apalagi
sudah hampir 60 tahun, semenjak reformasi terakhir pada organisasi ini. Yang mana sudah sangat
lama dan dunia sudah mengalami banyak perubahan semenjak reformasi terakhir. PBB saat ini
beranggotakan 193 negara, sedangkan perwakilan untuk Dewan Keamanan hanya berisikan 15
anggota saja (5 anggota permanen, 10 anggota non-permanen). Yang menjadikan terdapatnya
ketidaksetaraan pada organisasi ini, terutama untuk benua Afrika yang sama sekali tidak
memiliki perwakilan di kursi anggota permanen, atau pemegang hak veto.

Referensi
Bourantonis, D., 2004. The History and Politics of UN Security Council Reform. s.l.:Routledge.
Cox, B., 2009. United Nations Security Council Reform. South Carolina Journal of
International Law and Business, 6(1), pp. 89-128.
Hurd, I., 2008. Myths of Membership: The Politics of Legitimation in UN Security Council
Reform. Global Governance, 14(2), pp. 199-217.
O'Neil, B., 1996. Power and Satisfaction in the United Nations Security Council. The Journal of
Conflict Resolution, 40(2), pp. 219-237.
Ronzitti, N., 2010. The reform of the UN Security Council. The EU, the UN and Collective
Security, p. 73.
Rosyidin, M., 2020. TEORI HUBUNGAN INTERNASIONAL: DARI PERSPEKTIF KLASIK
SAMPAI NON-BARAT. 1 ed. Depok: Rajawali Pers.
Weiss, T. G., 2003. The illusion of UN Security Council reform. The Washington Quarterly,
Volume 26, pp. 147-161.

Anda mungkin juga menyukai