Anda di halaman 1dari 17

Kamis, 22 Maret 2018 Pertemuan-3

Oleh: Helga Yohana Simatupang, M.A.

Prodi Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Politik dan Kependidikan, Universitas Potensi Utama
 Periode Weda (Vedic Period) yaitu pada 1.500 – 600 SM  menggunakan utusan duta
yang dikenal sebagai Prahita, Palgala,dan Suta  seorang utusan yang dikirim oleh
rajanya untuk mengumpulkan informasi dan penyampai pesan.
 Periode Yajurweda  penunjukan wakil-wakil diplomatik oleh para penguasa untuk
mewakili mereka di istana satu sama lain baik dalam waktu damai maupun perang.
Palgala dan Suta merupakan pejabat-pejabat tinggi yang memiliki pengaruh dalam
pemilihan raja, mereka juga ditugaskan untuk membawa misi-misi diplomatik penting
ke negara-negara lain.
 Kekaisaran Maurya (abad ke-4 S.M.)  dipimpin oleh Chandragupta dan dilanjutkan
oleh anaknya Bindusara dan cucunya Ashoka
 Peran Kautilya sebagai penasihat Raja  Buku Arthasastra
 Konsep Rajamandala (lingkaran negara-negara)  pentingnya aspek geopolitik
 Politik antar anggota masyarakat internasional yang berbeda, pada dasarnya
ditentukan oleh konstelasi: sahabat – musuh – dan – netral.
 Peran Kautilya  advokasinya terhadap tata cara kenegaraan yang bijaksana oleh
seorang Raja  kesuksesan Chandragupta menyatukan seluruh subkontinen di
India
 Pada abad ke-3 S.M  Maurya Kaisar Asoka  menerapkan prinsip Buddha
Dhamma ke dalam administrasi pemerintahannya  menerapkan doktrin non-
violence (tanpa kekerasan), tidak hanya dalam kehidupan pribadi atau negara,
tetapi bahkan juga dalam hubungan Internasional  agama Buddha mengalami
perkembangan yang pesat dari daerah lembah Sungai Gangga hingga ke seluruh
India dan menyebar ke negeri-negeri tetangga

Strategi Diplomasi (Chatur Upaya – tertuang dalam Teks Manusriti):


1.Sama (Negosiasi) 3. Bheda (Pemecahan/Ancaman)
2.Dana (Pemberian Hadiah/Menyogok) 4. Danda (Intervensi Militer/Kekerasan)
 Wujud diplomasi  berbagai perjanjian antar suku bangsa,
serta adanya penggunaan bahasa kedua suku bangsa yang
tertua di Mesopotamia yakni suku bangsa Sumeria dan
Akkadia yang kemudian menjadi sebuah bahasa diplomatik
pertama di Timur Tengah.
 Penggunaan teknologi penulisan Mesopotamia yakni huruf
paku (claytables)  penemuan Amarna Letters di tahun 1887
di daerah Tell er-Amarna, Mesir
 Pertempuran Kaldesh  perbedaan kepentingan politik
antara Raja Firaun Ramesses II dari Dinasti Mesir dengan
Raja Muwatallis dari kerajaan Hittite untuk memperoleh
kontrol atas wilayah Near East
 15 tahun setelah pertempuran Kaldesh  tidak ada
pemenang mutlak  Amarna Letters  surat diplomatik 
diskusi-diskusi mengenai rencana pernikahan antar dinasti,
perdagangan, penawaran aliansi, serta masalah legalitas di
masing-masing pihak.
 Salah satu contoh terbaik diplomasi dalam bentuk
imperial  pertama kali ditemukan di Kerajaan
Assyria tahun 1100 SM
 Diplomasi Persia  penggunaan bahasa Aramaic
sebagai bahasa umum; diplomasi Persia selalu
dilakukan konsentris dimana Perspolis dan Satraps
menjadi tempat untuk berdiplomasi.
 Konsentris memiliki fungsi administratif namun
tetap desentralisasi dalam rangka mengatur
disetiap daerah seperti badan-badan otonom 
Persia dapat memperluas kekuasaannya hingga
Macedonia dan Kerajaan Roma
 Ekspansi kekuatan Raja Darius  akar praktik
diplomasi realis
 Penemuan Inscription  pertemuan diplomasi Raja
Jehu dari Juda dengan Raja Salmanazar dari Assyria
 Mitologi Yunani  Zeus, raja para dewa, menugaskan Hermes untuk misi-misi diplomatik
yang sulit termasuk membunuh Argos. Hermes melambangkan sifat-sifat mempesona, penuh
tipu-daya dan cerdik.
 Diplomasi masa Yunani Kuno  diplomasi modern dengan bahasan negara-kota yang saling
mengakui kedaulatannya  era keemasannya di bidang seni, teknologi, dan dalam bidang
politik.
 Sistem public oratory  menekankan adanya publisitas dan keterbukaan dalam berdiplomasi
 utusan pada masa Yunani Kuno tidak hanya memiliki tugas untuk menyampaikan pesan
dari negara-kota asalanya, namun juga diharuskan mampu membuat argumen lisan atas
negara-kota asalnya.
 Sistem proxenos  warga kota yang secara sukarela menjadi konsulat dari negara-kota
lainnya
 Juru bicara melakukan negosiasi di antara suku-suku bangsa yang berbeda  pembahasan
terkait perdamaian, bersatu, konvensi, perjanjian seremonial, akhir perdamaian
 Pada abad ke-6 S.M, para warga kota Yunani melakukan praktik memilih ahli pidato
mereka yang terbaik sebagai utusan mereka  dipercaya untuk membela kasus
mereka di depan majelis rakyat dari kota-kota lain di mana mereka telah dikirim untuk
berunding  mengajukan proposal secara terbuka dalam sebuah pidato yang hebat 
perundingan atau negosiasi dilakukan secara lisan dan di muka umum  negosiasi
yang berhasil akan menghasilkan perjanjian dan persyaratan-persyaratan yang akan
diukir pada loteng suci pada sebuah kepingan agar bisa dilihat secara umum.
 Yunani Kuno juga memiliki aturan tertentu dalam berdiplomasi  larangan untuk
melakukan pertukaran hadiah  menghindari adanya suap-menyuap
 Para Duta Besar (Heralds) yang dikirim dipuji atas kefasihan dan keahlian mereka
berbicara sehingga bisa membujuk pihak lain untuk menerima pandangan mereka 
memperoleh kekebalan diplomatik.
 Sistem pemerintahan  negara-kota seperti Korinthia, Thebes, Sidon dan terdapat dua
kota hegemoni yang cukup dominan yaitu Sparta dan Athena (hegemonik)
 Kemunculan tokoh-tokoh pemikir  Plato, Aristoteles, Thales, dan Thucydides
 Diplomasi Romawi Kuno  dipengaruhi status hegemonik negara yang
bersangkutan.
 Bangsa Romawi tidak melakukan diplomasi sebagai hal yang inti  diplomasi
untuk pencapaian hal-hal yang berhubungan dengan bisnis antar provinsi 
diplomasi jarang sekali digunakan untuk masalah internasional
 Sumbangsih  pemikiran serta praktis tentang negara, hukum internasional, dan
masyarakat dunia, yaitu istilah ius civile (hukum yang diterapkan pada warga
negara Romawi ), ius gentium ( hukum yang diterapkan bagi warga negara
Romawi dengan orang asing), dan ius naturale (hukum yang umum bagi seluruh
umat manusia).
 Sistem pemerintahan Roma  awalnya berbentuk Monarki, namun dengan
pengembangan yang dilakukan muncul senat dengan fungsi eksekutif.
 Ketika Romawi menggunakan sistem republik  senat memiliki wewenang penuh
atas urusan luar negeri, termasu perwakilan diplomasi dari negara lain 
prosedur dan praktek diplomasi sama dengan diplomasi Yunani Kuno.
 Bangsa Romawi juga mengembangkan sistem yang rumit dalam mengatur
peraturan-peraturan yang berhubungan dengan penerimaan perwakilan asing 
Duta Besar dan stafnya yang sedang berkunjung diberi hak imunitas  apabila
ada seorang staf kedutaan yang ketahuan melanggar hukum, ia dikirim kembali ke
negara asalnya, sehingga ia bisa diadili di negaranya sesuai dengan hukum
negaranya.
 Strategi diplomasi Romawi  kewaspadaan dan intervensi militer (hard power) 
cenderung lebih suka menaklukkan daripada berunding  praktek diplomasinya
seringkali menghasilkan ultimatum dan perjanjian antar bangsa dan dalam
prakteknya, sistem spionase mulai dikembangkan.
 Peradaban Romawi Kuno lebih berkontribusi dalam segi hukum serta sistem sosial
dan politik  peradaban pertama yang melahirkan konsep pengiriman duta besar
adalah kekaisaran Romawi  “legati” & muncul istilah “nuntius”, yaitu pembawa
pesan yang dikirim ke luar daerah yang kemudian kembali setelah misinya
terselesaikan
 Pada masa kejayaan Islam, kerajaan Roma jatuh diperkirakan karena hasil dari
desentralisasi yang diterapkan hanya terus menerus menambah kesenjangan antar
daerah  peradaban yang tersisa adalah gereja kristen  kekuasaan terpusat
paus (papacy)  hubungan diplomatik hanya sebatas pada paus dan bangsawan
yang berwenang, hal tersebut yang membuat Eropa kembali jatuh karena
kelemahan dan serangan yang terus menerus datang.
 Kebangkitan diplomasi bersifat religi yang menyatukan berbagai entitas di Yunani
 Era Dark Age karena begitu kakunya entitas dogma dan diplomasi terlalu
didominasi oleh Paus atas kepentingan agama.
 Jenis diplomasi yang digunakan  Old dan Secret diplomacy  rahasia, tertutup,
elitis dan penuh propaganda.
 Pada awal mula Rennaisance, mulai melemahlah kekuatan gereja sehingga raja
yang dulunya memiliki egalitas pada gereja kini dapat memiliki kekuasaan penuh
atas itu  secara tidak langsung praktek diplomasi yang dilakukan gereja pada
saat itu menginspirasi praktik-praktik diplomasi yang terjadi di era sekarang yang
penuh kerahasiaan dan tipu daya.
 Perang 30 tahun  terjadi di beberapa wilayah Eropa, terutama Eropa Barat 
merubah konsep akan negara dalam pemerintahan.
 Kondisi ini diperparah oleh Monarki di Eropa yang menimbulkan banyak gejolak
pemberontakan  membuat pemerintahan goyah dan tidak stabil.
 Diangkatnya Ferdinand II (Kaisar Romawi - penganut Katolik) sebagai King of
Bohemian pada 1617  memberlakukan penutupan - penutupan terhadap Gereja
Kristen Protestan di wilayah Praha  para penganut Kristen Protestan merasa
haknya dirampas paksa oleh raja  melakukan pemberontakan yang dibantu oleh
Pangeran - Pangeran dari Jerman.
 Peperangan seringkali berlangsung di wilayah pedesaan yang mengakibatkan
banyak korban dari warga sipil  kerusakan Perang 30 Tahun  kelelahan luar
biasa bagi yang terlibat  Jerman harus kehilangan lebih dari sepertiga
populasinya dan Spanyol harus kehilangan setengah juta penduduknya karena ini.
 Tidak hanya di Jerman Spanyol, namun di berbagai wilayah di Eropa juga
mengalami kejadian yang sama, bahkan di wilayah Holy Roman Emperor,
pengurangan penduduk disebabkan oleh cuaca yang tidak menentu serta bencana
kelaparan yang mengerikan.
 Dalam upaya mengakhiri perang  dicetuskan Westphalian Treaty  dasar
terbentuknya konsep nation state.
 Perjanjian Westphalia  “merapikan” masalah agama dan politik di Eropa 
pembatasan kekuasaan gereja karena melihat kesewenang - wenangan Holy Roman
Empire yang terpengaruh oleh gereja dan tidak dapat dikendalikan.
 Pemisahan urusan gereja dengan pemerintahan inilah yang menjadi poin penting
dalam sejarah Hubungan Internasional, karena melahirkan konsep negara bangsa,
bahkan sampai saat ini.
 Perjanjian Westphalia juga menyerahkan kebebasan bagi negara bagian di
bawah Holy Roman Emperor untuk memilih sendiri basis agama apa yang menjadi
dasar negaranya.
Perjanjian Westphalia bukan merupakan perjanjian
tunggal, melainkan kumpulan - kumpulan perjanjian
perdamaian yang menuju ke arah akhir dari Perang
30 Tahun. Muara dari kumpulan perjanjian -
perjanjian tersebut adalah ditandatanganinya
Perjanjian Westphalia itu sendiri pada 1648.
 Renaissance  masa peralihan antara abad pertengahan ke abad modern
yang ditandai dengan lahirnya berbagai kreasi baru yang diilhami oleh
kebudayaan Eropa Klasik (Yunani dan Romawi) yang lebih bersifat duniawi.
 Menekankan pada sisi negosiasi (soft power)
 Praktik diplomasi yang dilakukanpun telah menjadi kegiatan permanen
pemerintah  Penguasa Eropa mulai mengirim wakilnya untuk tinggal di
negeri asing untuk mengumpulkan informasi dan sekaligus mewakili negara
dalam kegiatan yang akan dilakukannya.
 Dibandingkan pada abad pertengahan yang dulunya hanya mengirimkan
wakilnya dalam waktu yang singkat saja  Penempatan Kedutaan Besar
pertama kali oleh adipati dari Milan di Napoli, Genoa, Roma, dan Venice 
berbagai Negara mulai mengikuti dan mendirikan kedutaan mereka di
Negara-negara lain.
 Perumusan konsep kedaulatan (sovereignty) merupakan perkembangan
terpenting yang mendorong terbantuknya Westphalian system.
 Konsep sovereignty  Jean Bodin  “absolute and perpetual power vested in
a commonwealth”  sovereignty dibatasi oleh natural law, laws of God, jenis
pemerintahan, dan perjanjian.
 Bagi John Locke, kedaulatan merupakan sebuah proses yang diarahkan
menuju perdamaian yang diprakarsai oleh pemikiran rasional manusia yang
menemukan bahwa hidup di masyarakat seharusnya diselenggarakan oleh
semacam kekuasaan yang berdaulat merupakan cara terbaik dalam
keberlangsungan hidup manusia  Kedaulatan, diletakkan dalam beberapa
bentuk kewenangan pemerintahan yang mana pemikiran Locke menjadi
contoh ideal dalam menjamin dan mengatur setiap individu dalam
keberlangsungan hidupnya. Dalam hal ini, kedaulatan oleh Locke dipahami
sebagai identitas bersama masyarakat dan pemenuhan nasib perorangan.
Berbicara mengenai state-power, yang merupakan kekuatan
negara dalam menjaga stabilitas nasional negaranya, dengan
hadirnya Perjanjian Westphalia, tiap negara memiliki batas-
batas wilayah yang jelas dan memiliki urusan internal
masing-masing yang tidak bisa dicampuri pihak lain.
Namun dengan hadirnya negara-negara yang mendominasi,
turut menjadikan politik luar negeri suatu negara bergantung
dengan yang lainnya. Hal inilah yang mendasari konsep state-
power dimana setiap negara pada dasarnya memiliki
kekuatannya masing-masing guna mempertahankan kedaulatan
negaranya.

Anda mungkin juga menyukai