Anda di halaman 1dari 107

Sejarah gereja Awal, Patristik dan Abad Pertengahan (103)

Situasi umum

Pada saat kelahiran Yesus, daratan yang mengelilingi Laut Mediterania berada di bawah
kontrol politis Roma. Kekaisaran ini merangkul tidak hanya wilayah pantai tetapi juga
pedalaman. Dibatasi oleh lautan dan sungai Rhine dan Danubio ke arah utara Mediterania,
kekaisaran ini meliputi Afrika Utara dan Mesir dan membentang ke arah Timur di perbatasan
Armenia dan kekaisaran Persia.
Satu setengah abad sebelum munculnya kekristenan, pergerakan para Pemimpin dan
masyarakat Roma diperluas dari Italia untuk mencakup tidak hanya Gaul, Spanyol dan Afrika
Utara di Barat, tetapi juga di Timur, Kerajaan Helenistik yang telah menjalar sampai ke
kekaisaran Aleksander Agung. Masa ekspansi ini terjadi serantak dengan bertumbuhnya konflik
dan ketidakmenentuan hidup sosial dan politis di Republik Roma. Pembunuhan Julius Caesar
pada tahun 44 S.M. yang dilakukan oleh satu kelompok yang takut akan tindakannya yang
subversif atas institusi-institusi republik yang tradisional, diikuti oleh perang sipil yang
mempengaruhi semua wilayah lain yang dipimpin oleh Roma.
Sistem kerajaan yang ditetapkan oleh Augustus merangkul masyarakat dari berbagai
bahasa dan budaya. Wilayah-wilayah kekaisaran umumnya dikoordinasi menurut unit politis
dan sosial fundamental yang disebut dengan polis 1 yang dalam taraf tertentu menikmati
otonomi tertentu. Kekaisaran dipersatukan dengan persekutuan politis umum, ketergantungan
ekonomis dan perdagangan satu sama lain, dan dengan mengambil bagian dalam satu budaya
yang lebih tinggi. Secara politis, segala sesuatu tergantung pada Roma, kaisarnya, dan
tentaranya, baik untuk pemeliharaan keteraturan internal maupun bagi perlindungan batas-
batas luar dari peradaban Mediterania, di mana ditempatkan jumlah pasukan yang paling
besar. Kesatuan dan keutuhan kekaisaran tergantung juga pada adanya kebudayaan yang lebih
tinggi – budaya Helenis yang tumbuh berkembang pada saat gencarnya serangan Alexander
Agung pada tahun 356-323 S.M. Pada kesempatan ini mulai dimasukkan bahasa, pendidikan
dan institusi sipil Yunani ke dunia Mediterania Timur. Bahkan Roma pada saat ini menjadi
penyebar tradisi Yunani dalam bidang budaya dan intelektual. Karena Yunani menjadi bahasa
sehari-hari warga di Timur, bahasa yang sama ini juga menjadi bahasa kedua bagi orang-orang
terpelajar di Barat yang memakai bahasa Latin sebagai bahasa utama. Bahasa-bahasa lain –
Aram, Koptik, Punik – cenderung mundur menjadi bahasa orang tak terpelajar di desa-desa.
Dengan cara demikian ilmu Yunani, filsafat religius Yunani, seni dan literatur Yunani
memperkaya dan diperkaya oleh tradisi lain dan menciptakan kemungkinan bagi pertukaran

1
This was a corporation of citizens tending the affairs of a modest territory whose heart was an urban center of
greater or smaller size.

1
nilai-nilai budaya dan religius bagi proses terciptanya peradaban penduduk kota di wilayah
Mediterania.
Dalam dunia yang kompleks dan beragam inilah ketertarikan religius, keyakinan-
keyakinan dan praktek-praktek lain menjadi pusat kehidupan individual dan komunitas. Dalam
masyarakat hidup berbagai macam aliran dan jenis penghayatan religus yang berbeda-beda. Ke
dalam situasi ini masuk juga agama tradisionil Yunani. Secara umum ada tiga kategori keyakinan
dan praktek agama yang berbeda. pertama, ada agama tradisionil yang menyembah dewa-dewi
keluarga dan komunitas. Inilah yang disebut dengan agama sipil dunia Helenistik Romawi.
Kedua, ada yang disebut dengan “kultus misteri.” Agama ini percaya akan mitos-mitos yang
berakar dalam ritus-ritus kesuburan. Tetapi kemudian agama ini mengalami perubahan dan
menjadi persaudaraan sukarela yang menawarkan inisiasi keselamatan dari pembatasan Sial
dan Nasib. Akhirnya, ada jalan hidup yang mengusahakan kepenuhan dan kesempurnaan
manusiawi melalui pencarian dan praktek kebijaksanaan filosofis: suatu kebijaksanaan yang
didasarkan pada kritik atas dewa-dewi tradisional kuil-kuil Yunani, tetapi mampu menawarkan
suatu versi “demythologisasi” atas agama tradisional. Dalam praktek ketiga aliran kepercayaan
ini hidup dalam damai.
Agama tradisionil dalam dunia Helenis-Roma merupakan suatu hal publik dan sosial,
sesuatu yang terkait erat dengan keluarga dan komunitas. Karena kesejahteraan manusia setiap
saat tergantung pada kehendak baik para dewa, kekuatan kosmis, maka agama menjadi usaha
untuk mencari pertolongan para dewa bagi hal-hal umum dalam kehidupan: pertambahan hasil
panen, penanganan bisnis, sulitnya menghadapi perang dan diplomasi. Ritusnya sangat kuno
dan tradisional, jarang dirasionalisasikan, dan dipimpin oleh pemimpin-pemimpin komunitas
yang biasa: kepala keluarga atau pejabat kota yang dipilih. Di dalam ritus tersebut dipergunakan
nubuat, mimpi, dan kata-kata bijak untuk mencari kehendak penguasa tersebut. Ritus tersebut
menggunakan doa dan kurban untuk menjalin persekutuan dengan para dewa. Dalam konteks
seperti inilah muncul penyembahan dan ibadat kepada kaisar sebagai wujud kekuatan dan
kekuasaan para dewa. Dalam konteks ini jugalah berkembang agama-agama populer yang
berusaha mengontrol kuasa-kuasa supramanusiawi yang diyakini sebagai pengatur kehidupan
manusia. Praktek magis tersebar di mana-mana. Astrologi menjadi model utama yang hidup di
tengah masyarakat yang diimport ke dalam periode Helenistik dari Babilonia dan menyebar ke
dunia Mediterania. Situssi ini membuat kultus-kultus misteri semakin populer. Kultus ini adalah
agama natural yang berasal dari dunia Timur yang masuk ke dunia Mediterania sebagai agama
keselamatan pada zaman Helenisasi.
Praktek-praktek religius ini memiliki satu tujuan, yakni mendapatkan kehidupan yang
penuh dan bahagia. Cara lain untuk mencapai tujuan ini ialah mencari kebijaksanaan filosofis.
Pada zaman Helenistik, filsafat dimengerti sebagai suatu jalan untuk memahami kosmos dan
manusia di dalamnya. Pemahaman ini diperoleh hanya dengan berpartisipasi dalam cara hidup
tertentu yang menelurkan kebahagiaan. Karena itu panggilan menjadi filosof tidak

2
diperuntukkan bagi semua orang. Asal-usul sekolah filosofis Helenistik-Roma bisa ditelusuri
kembali ke abad ke empat sebelum Kristus: Plato (347 s.m); murid Plato, Aristoteles (384-322
s.m.). Kemudian muncul sekolah Epikurus (342-270 s.m) dan Stoic (berasal dari Porch (stoa),
suatu hall umum di Athena, di mana Zeno, pendirinya, mengawali pelajarannya. Filsafat ini
kemudian berkembang sampai ke Barat dan menanamkan pengaruh yang besar dalam
masyarakat. Filsafat yang jauh lebih berpengaruh di bagian Barat ini adalah filsafat Stoics yang
mengajarkan bahwa satu-satunya kebaikan manusiawi ialah keutamaan atau “hidup sesuai
dengan alam, kodrat.” Ajaran Zeno yang dikembangkan oleh penggantinya, Cleanthers (232
s.m.) dan Chrysippus (207 s.m.), dikembangkan di Barat oleh Lucius Annaeus Seneca (65 m.),
Epictetus, yang sebelumnya berstatus sebagai budak (135 M) dan kaisar Marcus Aurelius (121-
180).2 Semua fenomena ini harus dipertimbangkan oleh kekristenan yang muncul kemudian
sebagai kelompok agama yang baru.

Latar belakang Jahudi

Pada abad ke enam sebelum Kristus lahir, orang-orang Jahudi tunduk pada peraturan-
peraturan yang dibuat oleh serentetan kaisar yang mengontrol Siria dan Palestina. Setelah
pembuangan Israel ke Babilonia oleh raja Nebukadnezar (586 S.M), sebagian dari mereka
kembali ke Yudea di bawah pimpinan nabi Ezra dengan berkat dari kerajaan Achaemenid
(Persia). Di sana mereka diijinkan oleh pemerintah Persia mejalankan kebiasaan agama mereka
dan hidup sesuai dengan hukumnya sendiri. Politik toleransi ini diteruskan kemudian oleh para
pemimpin Hellenistik Yudea, yakni Ptolemies dari Mesir dan setelah tahun 200 SM, para
Seleucid dengan basis kekuatannya di Siria dan Mesopotamia. Yudea selama periode Hellenistik
sebenarnya memiliki status politik “ethnarchy,”3 dalam urusan domestik dipimpin oleh imam
agung yang diwariskan turun temurun dan oleh para penasehatnya. Judea adalah sebuah
wilayah kecil, terisolir baik oleh geografi maupun kebudayaan hasil proses helenisasi yang
berkembang. Periode yang sama ini – khususnya selama pemerintahan Ptolemaic dan Seleucid
– menyaksikan pertambahan jumlah orang Yahudi yang hidup di luar Yudea yang disebut
dengan Diaspora. Mereka tersebar di Mesir, Asia Kecil dan Siria. Pada abad pertama
kekristenan, barangkali sepertiga penduduk Alexandria adalah Jahudi, dan tempat tinggal
mereka bukan hanya di Timur tetapi juga di Roma dan berbagi kota lain di bagian barat. Di
daerah Diaspora mereka tetap mempertahankan identitas nasional dan religius mereka dan
membentuk komunitas khusus yang memilik hak istimewa. Pusat identitas Jahudi adalah bait
Allah di Jerusalem dan Hukum Musa berfungsi tidak hanya sebagai hukum religius tetapi juga
hukum sipil. Orang Jahudi diaspora membayar pajak tahunan untuk bait Allah hingga
keruntuhannya pada tahun 70 M dan peribadatan di bait Allah merupakan pusat formal
2
W. Walker et. al., A History of the Christian Church, Edinburgh 1986, 5-13.
3
Ruler in the Roman Empire: a ruler of a province or people in the Roman Empire.

3
kehidupan nasional mereka. Baik di Yudea maupun di Diaspora pemakaian benteng identitas
Israel, pemahamannya sebagai masyarakat terpisah yang dikhususkan bagi Allah adalah hukum
yang harus dijalankan. Mempelajari, memahami dan memelihara Hukum adalah panggilan dan
kebahagiaan bagi orang Jahudi yang benar.
Usaha yang berlebihan untuk memahami dan melaksanakan hukum mendapatkan
pengungkapan lahiriahnya dalam dua instutusi. Sinagoga, barangkali berasal dari periode
pembuangan, adalah pertemuan khas seluruh Yahudi di daerah tertentu, yang diketuai oleh
sekelompok “tua-tua” yang sering kali memiliki seorang pemimpin tertinggi. Kelompok ini
berkumpul untuk berdoa dan memuji nama Tuhan, tapi juga untuk membaca dan menafsirkan
Hukum dan kitab Para Nabi. Para pelayan sinagoga bertanggung jawab atas pelayanan Hukum
dan dengan demikian juga atas hukuman dan ekskomunikasi bagi para pelanggar. Kebutuhan
untuk menafsirkan Hukum dan untuk pengudusan kehidupan komunitas dengan membawa
semua aspeknya de bawah peraturan Hukum menghasilkan sebuah kelas fungsionaris religius
yang disebut dengan “ahli Taurat.” Ezra dipandang sebagai orang pertama yang memangku
tugas ini. Para pemimpin religius ini berusaha meluaskan wilayah pengaplikasian Hukum dan
menjaganya dari segala bentuk pelanggaran dengan menafsirkannya dengan sangat hati-hati
dan keras. Akibatnya mereka mengembangkan tradisi interpretasi oral yang isinya, untuk tujuan
praktis, dipandang sebagai bagian dari hukum itu sendiri.
Krisis besar dalam hidup kejahudian pada zaman helenisasi terjadi pada pertengahan
abad ke dua s.m. Satu kelompok dari komunitas Jahudi yang berasal dari kelompok aristokrat
pemilik tanah di Jerusalem berusaha dan akhirnya berhasil mendapat izin dari kerajaan
Seleucid, Antiochus IV Ephiphanes, untuk mengubah dasar konstitusional kehidupan Jahudi
dengan membentuk Jerusalem menjadi kota yang berwarna Yunani, dengan nama baru
“Antiokia.” Sejalan dengan kebijakan ini, institusi pendidikan Yunani – gymnasion dan
ephebeieion – didirikan untuk menciptakan peradaban baru. Di dalam rancangan ini Hukum
Musa kehilangan statusnya sebagai konstitusi dalam komunitas, karena kekuasaan legislatif
ditampung dalam tubuh kewargaan yang baru. Pemberontakan yang diadakan oleh kelompok
yang tidak menghendaki pelengseran imam agung yang diusahakan oleh kelompok kelompok
reformis memaksa Antiochus untuk campur tangan. Untuk menjamin keamanan di wilahnya dia
menjatuhkan hukuman keras. Dia menghapuskan praktek Jahudisme dan memasukkan praktek
penyembahan Zeus Olympios di Bait Allah di Jerusalem.
Dengan cara demikian, perjuangan religius melawan Hellenisasi di antara orang Jahudi
di Judea menjadi terkait dengan masalah politis yang lebih luas yang melemahkan kekaisaran
Seleucid. Tindakan Antiochus yang menghapuskan ibadah Yahudi menghasut timbulnya revolusi
Makabe (167 s.m) yang memaksa dia dan para penggantinya untuk berkompromi dengan para
pemimpin Jahudi. Hasil akhir dari semua ini adalah tiga hal. Ibadah kepada Allah diizinkan
kembali dan penetapan kembali konstitusi etnarchy tradisional Jahudi. Hasmonean menjadi
pewaris kepemimpinan di Judea. Pada waktu yang sama negara Jahudi, yang pada tahun 142

4
menjadi independen, secara militer semakin berkembang, di bawah pimpinan John Hyrcanus
(135-105 s.m), hingga ia mengontrol seluruh Palestina. Akan tetapi dengan proses ini tujuan
pemberontakan yang asli semakin menghilang. Imam tinggi (high priesthood) sendiri
berkembang menjadi monarki helenistis, dan kekuatan-kekuatan religius yang telah memaksa
dan mendukung pemberontakan melawan Antiochus semakin bertentangan dengan dinasti
Hasmonean.
Era pemberontakan Makabe dan pemerintahan Hasmonean ini adalah esensi kelompok-
kelompok religius dan ide-ide religius yang mendominasi Judaisme Palestina pada waktu Jesus.
Kedatangan pemerintah Romawi pada tahun 63 S.m. di bawah pimpinan Pompey Agung
mengubah situasi hanya dengan membuat konflik-konflik internal menjadi semakin tajam.
Roma mulai mengubah situasi ini dengan campur tangan untuk menetapkan perjuangan bagi
pergantian pemimpin dalam keluarga Hasmonean. Roma menyelesaikan problem ini dengan
menundukkan sebagian besar kerajaan Jahudi kepada hukum pemerintahannya di Siria, tetapi
Jerusalem sendiri dibentuk menjadi sebuah temple-state (negara kuil), urusan-urusan
domestiknya diatur oleh imam-imam agung Hasmonean. Sistem ini kiranya berhasil, seandainya
Roma tidak mengubah pikirannya dan melanggar sensibilitas Jahudi dengan memasukkan
Herodes, yang disebut “Agung” sebagai raja (memakai sistem feudal, vassal king) pada tahun
37-4 s.m atas wilayah-wilayah Hasmoneans sebelumnya. Sebagai orang Idumea yang
masyarakatnya dipaksa bertobat menjadi Jahudisme pada masa pemerintahan Hasmonean,
Herodes hampir secara universal dibenci, kendatipun dia telah merekonstruksi bait Allah
Jerusalem, dia juga telah banyak menyumbang bagi kesejahteraan materil daerah itu, dan telah
campur tangan kepada Roma demi melindungi kepentingan Jahudi. Kehadirannya sebagai raja
melanggar konstitusi teokratik tradisionil rakyat Jahudi. Lebih lagi, dia bukan hanya orang asing
tetapi juga wujud dari figur yang menginginkan helenisasi. Tetapi di atas segalanya sistem
perpajakannya mempermiskin para petani, tanah makin dikuasai oleh para pemilik tanah yang
kaya, dan memaksa masyarakat untuk menjadi pengemis dan perampok. Roma coba menutupi
kesalahan ini dengan menciptakan Yudea sebagai propinsi di bawah seorang prokurator Roma,
tetapi ternyata kerusakan yang lebih parah terjadi. Konflik religius, politis dan ekonomis yang
telah dipicu oleh Antiochus IV dan diteruskan oleh raja Hasmonean telah diperparah oleh
kebijakan Roma. Maka tidaklah mengejutkan bahwa respons pertama atas sensus Roma pada
tahun 6 m adalah pemberontakan lokal yang dipimpin oleh pendiri partai Zelot, yang bernama
Juda dari Galilea.
Pada masa pemerintahan Hasmonean muncul dua kelompok Yahudi, yakni orang-orang
Saduki dan Farisi. Kelompok Saduki secara esensial adalah sebuah partai duniawi. Sikap dan
pola pikir mereka ditentutukan lebih oleh kepentingan ekspansi politis dan komersial daripada
oleh keyakinan religius yang kuat. Secara religius mereka termasuk kelompok konservatif.
Kelompok ini taat pada hukum tetapi tidak menerima tradisi lisan dari para ahli Taurat. Mereka
menyangkal doktrin yang baru saja populer mengenai kebangkitan atau immortalitas, dan

5
mereka menolak gagasan tentang roh-roh yang baik dan jahat. Kendatipun sangat berpengaruh
secara politis, mereka tidak memiliki massa yang besar, yang memandang mereka sebagai
wujud penindas secara ekonomis, terbuka bagi pengaruh-pengaruh asing, dan sikapnya
terhadap Hukum sangat longgar.
Berlawanan dengan kelompok di atas ialah kaum Farisi – “Yang terpisah.” Partai ini
berdiri teguh pada tradisi ahli Taurat kuno dan tradisi Hasidim, yang telah memberi sokongan
bagi pemberontakan Makabe. Keprihatinannya yang utama ialah pengudusan hidup melalui
pelaksanaan Hukum secara teliti dan gembira. Mereka tidak menunjukkan kepentingan besar
dalam aksi politis (kendatipun partai Zelot, yang membela pemberontakan terhadap Roma,
tampaknya muncul dari gerekan Farisi), namun mereka berpihak pada masalah-masalah yang
mempengaruhi kehidupan politis. Orang-orang Farsis sangat berpengaruh dan secara meluas
dikagumi. Hal ini membuat Hasmoneans terpaksa memberikan perwakilan mereka dalam
kelompok Sanhedrin, para dewan penasehat imam agung. Meskipun demikian jumlah mereka
tidak banyak, karena kebanyakan masyarakat tidak terlalu menonjol dalam pendidikan dan juga
tidak memiliki banyak waktu luang untuk membaktikan dirinya semata-mata untuk Hukum.
Mereka dengan kuat mendukung eksistensi dari roh-roh yang baik dan jahat dan doktrin-
doktrin tentang para malaikat dan setan yang sebagian berasal dari pengaruh orang Persia.
Dalam simbol yang sama, mereka mengajarkan keyakinan akan kebangkitan badan dan akan
ganjaran dan hukuman yang akan datang: keyakinan eskatologis yang, bersama dengan
harapan mesianik, berkembang pada masa sulit selama dua abad sebelum kelahiran Yesus.
Terkait dengan partai Farisi dalam oposisinya dengan pendirian Hasmonean dalam
urusan religius, hadir kelompok Esseni. Mereka hidup di Qumran, di pantai Barat Laut dari Laut
Mati; sebagai bentuk quasi monastik kelompok ini terisolir dari orang-orang Israel lain. Gerakan
ini menarik diri dari arus utama kehiudpan orang Yahudi. Mereka menolak untuk terlibat dalam
ibadat di bait Allah dan percaya bahwa mereka sendirilah kawanan Israel sejati, sisa Israel yang
setia. Para anggotanya mengharagi Hukum dan mengklaim diri sebagai pihak yang memelihara
hukum yang benar di hadapan orang-orang yang telah menyesatkannya. Mereka melaksanakan
penyucian berkala, suatu ritus tahunan untuk memasuki dan memperbaharui Perjanjian, dan
perjamuan suci roti dan anggur. Mereka menghidupi disiplin yang keras. Mereka menantikan
dengan semangat penebusan Israel masa depan. Mereka menantikan munculnya figur mesianik
atau figur yang akan bangkit untuk mengumpulkan orang-orang Israel yang tercerai berai untuk
menaklukkan musuh-musunya dan untuk memaklumkan masa pemerintahan Allah. 4

Jesus dan Para Muridnya

4
W. Walker et. al., A History of the Christian Church, Edinburgh 1986, 13-19.

6
Jalan bagi Yesus telah disiapkan oleh Yohanes Pembaptis yang memimpin suatu pergerakan
apokaliptik-mesianis. Dengan menjalani hidup asketis, Yohanes mewartakan bahwa hari
penghakiman terhadap orang Israel telah dekat dan bahwa Mesias akan segera datang.
“Bertobatlah dan tegakkan keadilan” adalah isi wartanya. Dia membaptis para pengikutnya
dengan tanda pembersihan dosa-dosa mereka, dan dia mengajari mereka doa khusus.
Beberapa dari murid Yohanes kemudian menjadi pengikut Yesus. Menurut kesaksian Kitab Suci
Yesus dibesarkan di Nazaret, Galilea. Daerah ini loyal kepada agama dan tradisi Yahudi dan
secara khusus diresapi oleh pegharapan mesianik. Yesus tampaknya tertarik oleh khotbah
Yohanes pembaptis. Dia pergi kepada Yohanes dan dibaptis olehnya di sungai Yordan. Dengan
pembaptisannya muncul keyakinan bahwa dia dipilih oleh Allah untuk memenuhi fungsi khusus
dalam mewartakan kerajaan yang segera akan dimaklumkan oleh Putera Manusia ilahi. Yesus
tampaknya menolak konsep mesianik resmi yang memasyarakat dan telah mengantisipasi
bukan kemenangan politis melainkan penderitaan bagi kelompoknya. Setelah pembaptisannya
dan setelah Yohanes ditangkap, Yesus memulai karyanya dengan berkhotbah keliling dan
melakukan penyembuhan. Dia memberitakan kedatangan Kerajaan Allah yang sudah dekat dan
tobat serta iman yang menjadi tuntutannya. Dia mengumpulkan kelompok pengikut –
kelompok dua belas yang menyimbolkan kepenuhan suku-suku Israel – dan menjalin satu
kelompok murid yang lebih besar yang tidak terlalu melekat dengan dia. Waktu pelayanannya
sangat singkat, hanya tiga tahun. Karyanya menimbulkan perlawanan dari otoritas religius dan
dari orang lain karena tindakan dan ajaran Yesus membuatnya tampak sebagai pengkritik dan
penghujat Hukum dan interpretasi tradisionalnya. Dia berjalan ke arah utara menuju Tirus dan
Sidon, dan kemudian ke dareah Caesarea Philippi di mana menurut injil para muridnya
mengakui misi mesianisnya. Dia pergi ke Yerusalem setelah kebencian terhadapnya semakin
berkembang; di sana dia ditangkap dan disalibkan di bawah pemerintahan Pontius Pilatus (26-
36 m) kemungkinan pada tahun 29. Para muridnya terpencar-pencar, tetapi segera berkumpul
sekali lagi di Yerusalem dengan keyakinan bahwa Allah telah membangkitkannya dari mati.
Dalam ajaran Yesus, Kerajaan Allah berarti penyataan hukum Allah yang benar dan
mencintai. Selanjutnya dari mereka yang mampu melihat dekatnya masa kedatangan isi
wartanya, kerajaan Allah menuntut pengakuan praktis akan Pemerintahan dan kebapaan Allah.
Ini terjadi hanya melalui reorientasi nilai dan sikap total (tobat dan iman) yang muncul dalam
cinta akan Allah dan sesama dan dimahkotai dan dikuatkan oleh pengampunan ilahi. Hidup
demi kerajaan yang akan datang tersebut memiliki tuntutan tinggi dan berharga. Hal itu
menuntut kemauan untuk meninggalkan semua harta yang tidak berarti untuk mengatasi
tuntutan-tuntutan moral Hukum, dan dengan memberikan pengampunan yang tidak terbatas
bagi orang lain. Pemenuhan cara hidup seperti itu merupakan persekutuan dengan Allah yang
tak pernah berakhir. Bagi orang yang tidak bisa melihat dan memahami kerajaan yang sedang
datang dalam pelayanan Yesus hanya ada kehancuran.

7
Cara dan gaya Yesus yang mengajar dengan penuh wibawa (bdk Mrk 1:22), tidak seperti
ahli Taurat, menimbulkan efek yang sangat mengganggu dan revolusioner. Dia bisa berkata
bahwa yang paling kecil dari antara para muridnya lebih besar daripada Yohanes Pembaptis,
dan bahwa langit dan bumi akan berlalu di hadapan sabdanya. Dia mengundang orang yang
berbeban berat datang kepadanya dan menawarkan istirahat buat mereka. Dia berjanji kepada
mereka yang mengakui dia di hadapan manusia untuk mengakui mereka di hadapan Allah. Dia
menyatakan bahwa tidak seorangpun mengenal Bapa selain Putera, dan mereka yang
kepadanya Putera akan menyatakannya. Dia menyatakan dirinya sebagai Tuan atas Sabbath.
Dia menegaskan bahwa dia berkuasa memberikan pengampunan atas dosa-dosa. Dia berdoa
dan mengajar murid-muridnya berdoa. Dia menegaskan bahwa dia tidak tahu saat akhir dari
dunia saat ini. Hanya Bapa yang mengetahuinya. Bukan dia yang menentukan siapa yang bakal
duduk di sebelah kiri dan kanannya dalam kerajaan Allah. Dia berdoa agar kehendak Bapa, dan
bukan kehendaknya, yang terjadi. Dia berseru dari atas salib, “Allahku ya Allahku, mengapa
engkau meninggalkan aku?” Semua rekaman injil ini sebenarnya menyaksikan bahwa dia adalah
di satu pihak manusia normal dan di pihak lain pengemban otoritas Allah dan saksi
kehadiranNya yang aktif.
Apa yang diajarkan dan dilakukan oleh Yesus dibenarkan oleh kebangkitannya setelah
mati kepada kehidupan dalam kerajaan Allah yang telah diwartakannya. Kenyataan
kebangkitannya ini dialami oleh para muridnya yang pertama. Inilah titik balik dalam
pertobatan Paulus. Kebangkitan ini menyemangati murid-murid yang tercerai-berai untuk
bersatu dan berkumpul kembali menjadi saksi kebangkitanNya. Selanjutnya, mereka memiliki
Tuhan yang dibangkitkan yang di dalam dia kenyataan kerajaan Allah telah dipenuhi dan
mereka mengambil bagian dalam kemuliannya sementara menantikan penyataannya yang
universal. Keyakinan ini diperdalam oleh pengalaman turunnya karunia eskatologis Roh Kudus
pada saat Pentakosta.5

Komunitas Kristen awal

Sejak awal orang-orang kristen secara rutin berkumpul pada hari pertama minggu itu
(Kis 20:7; 1Kor 16:2) yang disebut dengan hari Tuhan. Hari pertemuan itu ialah hari Minggu,
dies solis (sun-day). Selain merayakan ekaristi, umat beriman berkumpul untuk berdoa,
memberikan pengajaran dan melambungkan puji-pujian yang dilakukan dengan mengambil
model dari sinagoga.6 Dalam tahapannya yang paling awal, gerakan Kristen berpusat di
Jerusalem. Di sana gerakan ini mengambil bentuk sebagai satu sekte atau kelompok dalam
tubuh Yahudisme. Kiranya sejak awal sudah ada pengikut Yesus di kota dan desa-desa Yudea
dan Galilea. Komunitas-komunitas awal kristen terdiri dari orang-orang Jahudi Palestina. Atas

5
W. Walker et. al., A History of the Christian Church, Edinburgh 1986, 20-22.
6
W. Walker et. al., A History of the Christian Church, Edinburgh 1986, 101-104.

8
dasar kebangkitan Yesus mereka mewartakan kedatanganNya kembali yang tidak lama lagi
sebagai pemenuhan kerajaan Allah. Hidup mereka diwarnai oleh penantian akan kedatangan
itu. Mereka menyebut dirinya sebagai “kaum miskin” atau “para kudus” dan juga “ekklesia”
yakni “perkumpulan” atau “gereja.” Komunitas awal ini memandang dirinya, berkat
persatuannya dengan Yesus, sebagai kelompok Israel, komunitas akhir yang akan diakui oleh
Tuhan bila ia datang lagi dalam kemuliaannya. Sebagai orang yang setia baik pada kehadiran di
Bait Allah maupun ketaatan pada Hukum, mereka memandang dirinya sebagai orang Yahudi,
Israel yang diperbaharui. Mereka hidup rukun dengan otoritas religius di Yerusalem. Komunitas
ini memiliki institusinya yang khusus yang mengungkapkan identitasnya yang khusus pula.
Komunitas ini melakukan pembaptisan yang menyatukan orang dengan karunia eskatologis Roh
Kudus. Komunitas ini berkumpul secara teratur untuk berdoa, saling menasehati, dan
“memecahkan roti.” Anggota-anggota pendiri komunitas ini adalah Sebelas rasul yang
kemudian dipenuhi menjadi duabelas oleh pemilihan Matthias. Pada saat penulisan kisah para
rasul mereka disebut dengan “rasul.” Ketika Paulus mengunjungi Yerusalem, kepemimpinan
tamapknya berada di tangan dua atau tiga “pilar,” Jakobus saudara Tuhan, Petrus dan Yohanes.
Masalah masuk ke dalam komunitas beriman ini di Yerasalem ketika orang Yahudi
Diaspora yang berbicara Yunani yang tinggal di Yerusalem masuk ke dalam kelompok ini. Orang
yang baru masuk ini mengeluh terhadap para kristen lokal yang berbicara bahasa Aram.
Menurut Kis 6 alasan munculnya masalah ini ialah bahwa para “Helenis” ini mengeluh karena
“para janda mereka dilalaikan dalam pelayanan harian” (Kis 6:1). Pertikaian singkat ini diatasi
dengan memilih tujuh orang Helenis untuk melayani komunitas tersebut (Kis 6:3). Ada masalah
lain yang lebih daripada sekedar masalah administratif. Saat itu Stephanus sedang terlibat
dalam debat sengit dengan para anggota Sinagoga yang berbahasa Yunani yang menuduhnya
mengucapkan kata-kata hujat terhadap Musa dan Allah. Stephanus diseret ke hadapan
Sanhedrin dan akhirnya dihukum mati dengan rajaman. Barangkali, karena itu, Stephanus dan
para beriman yang berbicara bahasa Yunani kurang menghormati bait Allah dan Hukum yang
selalu ditunjukkan oleh orang-orang Kristen Palestina. Karena itu mereka dianiyaya bukan atas
dasar kepercayaan mereka akan Yesus sebagai mesias, tetapi karena mereka berbicara seolah-
olah mereka telah disiapkan untuk mencampakkan tuntutan tertentu dari Hukum berdasarkan
iman mereka yang baru.
Komunitas di Yerusalem menikmati damai, dengan tetap memelihara loyalitasnya
kepada bait Allah dan Hukum dan karena tidak memiliki keterlibatan langsung dengan misi baru
atau dengan pusat Kristiani baru di tempat-tempat seperti Antiokia dan Damaskus. Damai ini
dengan segera dipecahkan oleh raja Herodes Agrippa I (41-44 m) yang mendapat bagian
kerajaan dari kaisar Klaudius yang membagikan kerajaan kakeknya, Herodes Agung. Barangkali
untuk Agripa mengeksekusi Yakobus dan mencampakkan Petrus ke penjara bisa membangun
reputasi bagi ortodoxy yang entusiastik. Mungkin penganiayaan inilah yang menuntun
keberangkatan Petrus dari Yerusalem dan aktivitasnya yang berikut sebagai rasul misi.

9
Kepemimpinan dalam komunitas Yerusalem jatuh ke tangan Yakobus saudara Tuhan, yang
melaksanakan kepemimpinanya hinga kematiannya sebagai martir pada tahun 63. 7

Paulus dan Kristen-Kafir

Penganiyaan yang mengantar Stephanus menjadi martir mengawali gerakan yang menanamkan
kekristenan di kota-kota Yahudi Diaspora. Kegiatan ini menciptakan Antiokia sebagai pusat
kedua kehidupan kekristenan. Di ibukota propinsi Siria ini warta tentang Yesus disampaikan
kepada para Kafir yang “takut akan Allah.” Orang –orang ini dimasukkan ke dalam kelompok
kristen tanpa terlebih dahulu menjadi proselit Yahudi. Salah satu akibat dari perkembangan ini
adalah bahwa orang-orang di Antiokia mulai memahami para pengikut Yesus sebagai satu
tubuh yang berbeda bukan hanya dari kekafiran tetapi juga dari Yudaisme normatif. Di Antiokia
ini kemudian anggota-anggota gereja ini pertama sekali mendapat label sebagai kristen. Akibat
lain ialah munculnya masalah apakah orang-orang yang tidak menjadi anggota sinagoga bisa
menjadi anggota ekklesia, warga eskatologis Allah. Jika aturan-aturan Hukum diwajibkan
kepada pentobat Kafir, gereja akan tetap menjadi sebuah kelompok dalam Israel; jika para
pentobat itu bebas dari Hukum, gereja memahami dirinya sebagai wadah yang memiliki misi
universal. Dalam debat ini peranan decisif dimainkan oleh rasul Paulus.
Paulus dilahirkan di kota Cilicia di Tarsus. Bapaknya tampaknya adalah penduduk Roma
dan juga seorang Yahudi dalam tradisi Farisi. Sejak kecil ia berbicara Yunani dan sejak masa
mudanya telah akrab dengan moralitas dan pemikiran religius Helenisktik. Tetapi dia dibesarkan
dalam tradisi rabinik. Dia tunduk pada ideal Farisi mengenai sebuah bangsa yang disucikan oleh
pelaksanaan Hukum Allah dengan ketat dan dia membela bahwa kelakuannya sendiri,
berdasarkan standard Hukum, tidak tercela. Ideal inilah yang mendorong Paulus mengejar
gereja. Tindakannya ini diarahkan kepada orang-orang yang imannya berpaut dengan tendensi
untuk membelokkan tuntutan Hukum.
Perubahan besar terjadi dalam diri Paulus sekitar tahun 35. Ketika berjalan ke Damaskus
dalam satu perjalan tugas, dia ditangkap dalam suatu pertemuan dengan Kristus yang bangkit,
yang memanggilnya kepada satu misi khusus. Dia bergabung dengan kelompok orang yang
pada awalnya ingin dituntunnya kepada Yudaisme. Kini dia menemukan bahwa Tuhan
sendirilah yang telah menentukan identitasnya. Yang paling penting ialah keyakinannya bahwa
persatuan dengan Yesus yang tersalib dan dibangkitkan, dan bukan pelaksanaan Hukum, yang
menjadi syarat yang dituntut bagi partisipasi umat dalam janji Allah bagi ciptaan yang
diperbaharui. Pertobatan langsung tampak nyata dalam aksi. Dia mengisahkan bahwa pada
awal ia pergi ke Arab, yakni wilayah Nabatea bagian selatan dari Damaskus, dengan Petra
sebagai ibukotanya. Di sana ia mewartakan Injilnya. Tiga tahun setelah pertobatannya dia
mengunjungi Yerusalem selama dua minggu untuk bertemu dengan Kefas (Petrus) (Gal 1:18).

7
W. Walker et. al., A History of the Christian Church, Edinburgh 1986, 23-25.

10
Dia sana ia berjumpa dengan Yakobus juga. Selama hampir satu dekade dia bekerja di Syria dan
Cilicia untuk mendirikan gereja. Akhirnya dia dibawa ke Antiokia oleh Barnabas, seorang kristen
Jahudi Helenistik. Rumahnya berada di Cyprus dan barangkali dia adalah salah seorang dari
yang lari dari Yerusalem setelah kemartiran Stephanus.
Pada titik ini muncul krisis yang tak bisa dihindarkan. Orang kristen dari Yerusalem
datang berkunjung ke Antiokia. Seturut kebiasaan gereja Yerusalem, mereka menuntut: “Jika
kamu tidak disunat menurut hukum Musa, kamu tidak akan diselamatkan.” Debat ini membawa
Paulus, Barnabas dan Titus, pentobat kafir yang tidak disunat, ke Yerusalem untuk bertemu
dengan para pemimpin gereja di sana (bdk Gal 2:1-10 dan Kis 15). Para pemimpin gereja di
Yerusalem dan para pemimpin misi kafir yang baru mencapai satu kesepakatan yang penting.
Panggilan orang-orang seperti Paulus dan Barnabas diakui keabsahannya, dan diakui pula
bahwa Injil adalah milik baik para kafir mapun Yahudi. Dengan demikian terdapat dua alur
dalam usaha misioner gereja; tetapi kelompok kafir yang baru dan para pemimpin mereka
harus “mengingat kaum miskin” – yakni, mereka harus menunjukkan persatuan dengan
kawanan Yerusalem dengan memberi sumbangan bagi kebutuhan materilnya (Gal 2:9-10).
Kemungkinan besar setelah sidang di Yerusalem ini Paulus dan Barnabas, menuruti tutuntunan
Roh, melakukan perjalanan yang membawa mereka ke Cyprus dan kemudian ke Perga, Antiokia
di Psidia, Iconium, Lystra dan Derbe. Inilah yang disebut dengan perjalanan misioner pertama
yan dilukiskan dalam Kisah Para Rasul 13 dan 14. Pada saat kembali dari perjalanan ini,
timbullah di Antiokia debat antara Petrus dan Paulus mengenai hal makan bersama dengan
kristen kafir. Dalam debat ini, Barnabas, teman seperjalanan Paulus memihak Petrus. Akibatnya
ialah bahwa ketika sekali lagi Paulus melaksanakan perjalanan misinya, dia memilih Silas
sebagai temannya, sementara Barnabas membawa Markus dan berlayar ke Cyprus.
Kini tibalah saatnya bagi karya misi Paulus yang besar “untuk memenangkan dari para
pentobat Kafir bagi iman akan Kristus” (Rom 15:18) dengan menanamkan Injil di setiap wilayah
yang telah memiliki peradaban, bahkan sampai ke ujung barat kekaisaran Romawi.
Perjalanannya dibuka dengan kujungan-kunjungan ke komunitas-komunitas yang telah
didirikannya sebelumnya di selatan Asia Minor. Dia tertahan sementara di Galatia karena sakit.
Kesempatan ini dipakainya untuk mendirikan gereja-gereja baru di sana. Kemudian bersama
dengan teman seperjalanannya dia dituntun untuk meninggalkan Asia Kecil. Dari Troas dia
menyeberang ke Makedonia dan meneruskan perajalanan melalui Via Ignatia yang
membawanya ke arah Barat ke Laut Adriatik dan Italia. Setelah mendirikan komunitas di
Philippi dan Thesalonika, Paulus mengalihkan perjalanannya ketika kekacauan di Tesalonika
memaksanya berangkat diam-diam dan berbelok sedikit ke Selatan di pusat Yunani. Tetapi
penganiayaan terus mengejar dia, karena itu dia terus bergerak ke Selatan ke pelabuhan
Korintus lewat jalan Atena. Di Korintus dia tinggal 18 bulan untuk berkotbah dan mengajar di
rumah Titius Justus, seorang Kafir yang takut akan Allah. Dari sana Paulus berjalan dengan dua
orang teman baru, Yahudi Roma, Aquila dan Priscilla, ke Ephesus, tetapi dia segera

11
meninggalkan mereka di sana untuk kembali ke Palestian dan Antiokia. Setelah itu ia muncul
kembali di Efesus setelah mengadakan kunjungan ke gereja-gereja di Phrygia dan Galatia. Pada
saat kembali ke Efesus, dia memulai satu pelayanan di sana selama bebarapa tahun.
Pelayanannya ini menghasilkan surat-menyurat dengan orang Korintus dan juga mungkin surat-
suratnya kepad orang Galatia, Philippi dan Philemon.
Keberangkatan Paulus dari Efesus membawanya kembali ke Korintus untuk tinggal di
sana selama sekitar tiga bulan. Dari sana dia menulis surat kepada orang-orang Roma. Surat ini
mencakup dua proyek besar yang harus dilakukannya. Salah satu ialah membawa persembahan
yang telah dikumpulkannya dari kelompok kristen kafir ke gereja di Jerusalem sebagai sikap
terima kasih dan solidaritas yang membangun kesatuan. Dia merasa bahwa dirinya sendirilah
yang harus melakukan hal ini kendatipun dia merasa tidak pasti akan penerimaan dari pihak
kristen Yahudi di Palestina. Proyek kedua ialah melaksanakan rencana awalnya untuk
membawa Injil ke bagian barat kekaisaran untuk menghapuskan “kewajiban baik kepada orang
Yunani maupun kepada kaum barbar.” Ketika rencana ini terlaksana, dalam perjalanannya ke
Yerusalem, pemerintah Roma menangkap dan membawanya ke Roma setelah dipenjarakan
sebagai tertuduh di Kaisarea selama dua tahun. Kemungkinan Paulus dieksekusi di Roma
beberapa saat sebelum tahun 64 m. Di kemudian hari surat-surat yang ditulis oleh Paulus,
setelah keempat injil, memenangkan otoritas dalam komunitas kristen. Dasar ajaran dan
wartanya ialah apa yang disebutnya dengan “injil” atau “injilku,” yang berisikan keselamatan
Allah yang terjadi lewat kematian dan kebangkitan Yesus. Inti pokok dari injilnya ialah
keyakinan bahwa orang yang percaya sungguh digabungkan dengan Kristus dalam Roh. Oleh
Roh ini mereka disatukan dengan Tuhan (1Kor 6:17).8
Sepeninggal Paulus informasi tentang situasi gereja hanya bisa kita ketahui dari
sejarawan Roma yang bernama Tacitus. Pada tahun 64 api yang lebih besar dan berbahaya
daripada semua yang pernah terjadi yang melanda kota Roma mengamuk selama lebih dari
satu minggu. Amukan api ini menghanguskan sepuluh dari empat belas wilayah distrik kota.
Meskipun banyak usaha dan pengeluaran uang pribadi Nero untuk perbaikan kota, banyak yang
mencurigai bahwa dialah yang menghidupkan api agar dia mempunyai kesempatan untuk
membangun kembali Roma dengan gaya yang luar biasa. Jawaban Nero atas rumor ini adalah
menjadikan kambing hitam orang yang disebut masyarakat sebagai Kristen yang menjijikkan
karena karya-karya mereka yang memalukan. Orang-orang kristen ditahan dan diadili, bukan
karena alasan pembakaran kota, tapi karena kebencian orang terhadapnya. Mereka dibunuh
dengan cara –cara yang dimaksudkan untuk mengadakan pertunjukan yang mengerikan dan
sadis kepada publik. Tampaknya pada masa Nero Kristen diakui di Roma sebagai kelompok yang
berbeda dan terpisah dari komunitas Yahudi. Mereka tidak populer karena tidak bercampur
dengan kelompok lain. Pemerintah mungkin memandang mereka sebagai kelompok
masyarakat yang tidak sah dan berbahaya bagi kehidupan publik.

8
W. Walker et. al., A History of the Christian Church, Edinburgh 1986, 25-31.

12
Serangan lokal ini tidaklah memiliki efek yang sangat berarti bagi kekristenan
dibandingkan dengan pemberontakan Yahudi pada tahun 66-70 m yang menghancurkan Yudea
dan Galilea dan berakhir pada pembakaran Bait Allah dan penghancuran Yerusalem. Pada awal
pemberontakan ini, orang Kristen di Yerusalem telah kehilangan pemimpinnya yang pertama,
yakni Yakobus saudara Tuhan, yang dibunuh oleh pemimpin Yahudi. Eusebius dari Caesarea
dalam Ecclesiastical History yang ditulis pada abad ke-4 mengisahkan bahwa suatu
kebijaksanaan menuntun orang beriman untuk bermigrasi dari Yerusalem ke kota
Transyordania di Pella sebelum peperangan yang lebih parah terjadi. Selama perang Yahudi ini
orang Kristen di Palestina mengambil posisi netral. Sikap ini memperburuk konflik antara
sinagoga dan gereja. Pada dekade terakhir abad pertama, para rabbi yang mengorganisasi
kembali dan menyemangati Yudaisme, setelah peruntuhan Bait Allah, dengan memasukkan ke
dalam doa-doa di Sinagoga satu anathema yang membuat para “ Nasrani” tidak mungkin lagi
berpartisipasi secara resmi dalam liturgi. Krisis besar ini melahirkan pemisahan gereja dari induk
semangnya. Ini berarti bahwa orang-orang kristen yang terus melaksanakan Hukum dan
merayakan pesta-pesta Yahudi menjadi kelompok yang makin terpinggir dan tidak lagi masuk
dalam hitungan Yahudisme; kristen Yerusalem berada dalam konflik baik dengan Yudaisme
maupun dengan gereja-gereja kafir yang sedang berkembang.
Pertigaan terakhir dari abad pertama menampilkan saat krisis tidak hanya bagi
Yudaisme tetapi juga bagi pergerakan Kristen yang baru. Para pemimpin besar seperti Paulus,
Petrus, dan Yakobus telah wafat. Selanjutnya gereja mulai menjadi perhatian para pemimpin
yahudi; dan meskipun terus tergantung pada pemikiran, tradisi dan literatur Yahudi, gereja
terus semakin terpisah dari sinagoga. Tidak mengherankan bahwa saat krisis dan transisi ini
melahirkan debat serius dan perbedaan-perbedaan dalam komunitas kristiani sendiri. Muncul
masalah-masalah mengenai arti dan implikasi praktis dari warta mengenai Kristus yang bangkit.
Karena itu bisa dimengerti mengapa periode ini menghasilkan banjiran literatur kristen yang
signifikan. Literatur-literatur ini merefleksikan kebutuhan gereja akan pemantapan hidup dan
kesaksiannya – untuk merumuskan tradisinnya dan menetapkan identitasnya yang jelas.
Dengan munculnya tulisan-tulisan yang demikian kaya, nyata bahwa gerakan kekristenan mulai
menyadari bahwa gereja hidup demi warta tentang Yesus yang didasarkan pada hidup dan
ajarannya sendiri yang telah diwartakan oleh kesaksian pemimpin dan pendiri komunitas
Kristen pertama.9
Pada akhir abad pertama muncul ke permukaan satu masalah yang sangat penting bagi
gereja, yaitu pemahaman tentang Yesus dalam dan melalui hidup, sengsara, kematian dan
kebangkitannya. Apa arti figur dan karya Yesus. Refleksi kristologis ini berpangkal dari
pengalaman akan Yesus yang bangkit. Bagi para pengikut pertama Yesus, pengalaman ini
menjadi bukti bahwa di dalam dan karena Yesus “kehidupan kekal” telah datang. Yang bangkit
ini adalah buah sulung dari ciptaan Allah yang baru. Dengan demikian dia juga adalah pembawa

9
W. Walker et. al., A History of the Christian Church, Edinburgh 1986, 31-34.

13
Kerajaan Allah. Olehnya kerajaan Allah telah datang dan bisa dimasuki. Pada awalnya Yesus
ditampilkan dan dimasukkan ke dalam kategori mesianik. Kebangkitannya menunjukkan bahwa
dia adalah satu-satunya yang diutus Allah untuk memenuhi segala sesuatu (Kis 3:20-21, 10:42).
Dengan menggunakan rumusan tradisionil, Paulus mengatakan kepada Jemaat Roma bahwa inti
kabar gembira ialah Putera Allah yang turun dari Daud menurut daging dan menurut Roh
kekudusan dinyatakan oleh kebangkitanNya dari antara orang mati, bahwa ia adalah Anak Allah
yang berkuasa (Rom 1:3-4). Dalam surat lain rasul ini menerangkan bahwa panggilan orang
kristen ialah “menantikan Putera Manusia dari surga, yang dibangkitkanNya dari mati, Yesus
yang membebaskan kita dari murka yang akan datang (1Tes 1:10). Jemaat perdana yakin bahwa
Kristus bukan saja pembawa kerajaan Allah, tetapi juga orang yang di dalamnya para beriman
menemukan identitas mereka yang sejati karena mereka ambil bagian dalam kehidupannya.
Oleh partisipasi ini mereka sendiri merasa diubah. Paulus merumuskan partisipasi ini dengan
konsep pembaptisan “ke dalam Kristus,” sehingga dengan mengambil bagian dalam
kematiannya mereka juga bisa mengambil bagian dalam kebangkitannya. 10

Kristen Kafir pada abad ke dua

Pada tahun 100 kekristenan telah hadir di Asia Minor, Siria, Makedonia, Yunani dan kota
Roma. Hal yang sama juga terjadi di Mesir. Di bagian Barat kerajaan kehadiran kekristenan
sangat sedikit. Asia Kecillah daerah kerajaan yang paling luas dikristenkan. Sekitar tahun 111-
113, Plinius Muda, gubernur di Bithinia melaporkan kepada kaisar Trayano bahwa “penularan
takhyul itu (kekristenan) telah menerobos tidak hanya kota-kota tetapi juga kampung-kampung
dan daerah pedalaman.” Dan dia menyatakan bahwa itulah alasannya dia mengambil langkah
untuk memerangi penyebarannya, kuil-kuil kafir telah “ditingalkan.” Surat ini merefleksikan
hidupnya pergerakan Kristen di wilayah itu sepanjang pantai Laut Hitam. Kedua surat yang
dialamatkan kepada Petrus, surat-surat Yohanes, wahyu kepda Yohanes dan barangkali juga
surat-surat pastoral memberi kesaksian tentang hidupnya gerakan kristen di wilayah itu. Selain
kesaksian ini ada juga literatur lain yang secara tradisionil dianggap sebagai “Bapa-bapa
Apostolik.”11 Deskripsi ini ditulis pada abad ke 17 sementara para ahli berpendapat bahwa
karya-karya tersebut telah ditulis pada “masa apostolik” oleh murid-murid para pendiri gereja.
Di antara karya-karya ini, yang paling dihormati ialah I Clement, tulisan yang ditulis atas
nama gereja Roma kepada orang-orang Kristen di Korintus sekitar tahun 95. Karya ini pada
10
W. Walker et. al., A History of the Christian Church, Edinburgh 1986, 35-40.
11
The title given since the later 17th century to those Fathers of the age immediately succeeding the New
Testament period whose works in whole or in part have survived. They are Clement of Rome, Ignatius, Hermas,
Polycarp, and Papias, and the authors of the Epistle of Barnabas, of the Epistle to Diognetus, of 2nd Clemant, and of
the Didache. In modern printed editions the ‘Martyrdoms of Clement, Ignatius, dan Polycarp are sometimes
included with them. Some of these writings hovered for a time on the edge of the New Testament canon, Hermas
and Barnabas, e.g,. being found in the Codex Sinaiticus and I Clement in the Codex Alexandrinus. Apostolic Fathers,
dalam Cross, F.L., Livingstone, E.A., ed., The Oxford Dictionary of the Christian Church, New York 1997, 90.

14
umumnya diatributkan kepada Klemans, seorang imam terkenal (atau barangkali uskup) gereja
Roma. Karya ini menjawab masalah-masalah tatanan gereja di hadapan pemberontakan di
Korintus terhadap otoritas dari presbiterium gereja itu. Bersama dengan I Clement, ada tujuh
surat yang ditulis (sekitat tahun 113) oleh Ignatius, uskup Antiokia, kepada gereja-gereja yang
telah menerimanya sementara dia berjalan di bawah penjagaan militer yang ketat untuk diadili
di Roma karena imannya. Ignatius juga memberi perhatian pada masalah-masalah susunan
gerejani, kendatipun perhatian terhadap hal ini distimulasi oleh masalah-masalah teologis. Dia
menuntun para pembacanya kepada kesatuan dalam Kristus, suatu kesatuan yang yang harus
dinyatakan dalam wujud kesatuan dengan uskup, imam dan diakon gereja lokal. Terpadu
dengan I Clement dan surat-surat Ignatius adalah satu surat dari Polykarpus, uskup Smyrna dan
satu dokumen yang disebut dengan Surat Barnabas. Surat ini, kemungkinan ditulis di Alexandria
sekitar tahun 130. Ini sebenarnya bukan surat, melainkan satu makalah yang dengan metode
alegoris menerangkan arti Hukum Yahudi yang sebenarnya dari kacamata kristen. Ke dalam
makalah ini dilampirkan instruksi etis kristen awal. Akhirnya, daftar tradisionil “Bapa-bapa
Apostolik” mencakup kotbah kristen awal, barangkali aslinya adalah kotbah Alexander, tetapi
dengan salah disebut dengan Surat kedua Clement (2 Clement).
Periode berikutnya menambahkan karya lain kepada daftar “Bapa-bapa Apostolik” ini.
Yang paling terkenal ialah Apokalipse atau wahyu yang disebut dengan The Shepherd, ditulis
sekitar akhir abad ke dua oleh seorang nabi Kristen Roma yang disebut Hermas, yang terganggu
oleh moralitas komunitasnya dan masalah apakah ada “pertobatan kedua” bagi dosa berat
yang dilakukan setelah pembaptisan. Juga termasuk dalam karya ini apa yang disebut dengan
surat kepada Diognetus, walaupun para ahli telah memasukkan potongan ini pada akhir
pertengahan kedua abad ke dua dan mengidentifikasinya sebagai suatu karya apologetis
kristen. Yang lebih baru – hasil dari penemuan di Konstantinopel pada tahun 1883 –
ditambahkan juga ke dalam daftar tersebut yakni sebuah karya yang berjudul Pengajaran
Tuhan melalui Kedua Belas Rasul kepada Bangsa Kafir yang sering disebut dengan Didache.
Karya ini, seperti surat Barnabas, merupakan karangan kuno (Composite: in Classical style:
belonging to a Classical order of architecture that combines elements of the Ionic and
Corinthian orders). Karya ini berisi sebuah versi instruksi etis primitive yang dilampirkan dalam
surat tersebut, yang menyodorkan satu tatanan gereja yang sederhana – satu set instruksi
mengenai baptisan, ekaristi, dan pemerintahan gereja. Biasanya surat ini ditujukan ke Syria dan
ditulis kira-kira awal abad ke dua
Kepada periode ini orang harus memasukkan awal literatur-literatur Gnostik kristen.
Jelas bahwa para guru Gnostik yang besar, Basilides dan Valentinus, bertugas di Alexandria
sebelum tahun 140, ketika Valentinus muncul di Roma. Fragmen dari surat-surat dan kotbah
Valentinus yang telah disimpan bagi kita oleh Clement dari Alexandira mungkin juga berasal
dari periode ini. Dan agak terlepas dari literatur Gnostik masih ada sejumlah karya lain dari
periode ini, sebagai contoh, Kotbah Petrus; Wahyu Petrus yang sangat berpengaruh, yang

15
dikenal dan digunakan oleh gereja Roma hinga akhir abad ke dua; dan Surat Para Rasul (Epistula
Apostolorum), sebuah tulisan anti-Docetis yang menyaksikan pergulatan antara kelompok
Gnostik dan anti Gnostik di dalam gereja. Literatur ini menyaksikan bahwa kekristenan pada
dekade awal abad kedua merupakan suatu gerekan yang dirundung oleh debat dan konflik.
Gereja masih bergerak di bawah bayangan dunia pemikiran Yudaisme. Pertanyaan mengenai
arti dan nilai Kitab Suci gereja, yang pada waktu itu masih merupakan kitab tradisionil
Yudaisme, persoalan mengenai kerangka keyakinan dan nilai-nilai yang di dalamnya pewartaan
“Yesus dan kebangkitan” masih harus dipahami, tentang susunan komunitas dan bentuk hidup
yang harus diaplikasikan oleh orang Kristen masih mendominasi debat pada waktu itu. Waktu
membuat problem-problem ini semakin akut.
Pada waktu yang sama tulisan-tulisan tersebut menyingkapkan suatu kekuatan yang
sedang bekerja yang mendorong gereja-gereja untuk mencari solusi bersama atas masalah-
masalah yang ada. Salah satu yang terpenting dari kekuatan tersebut ialah keyakinan paling
Kristen yang mendasar tentang dirinya: bahwa anggota-anggota dan pengikutnya merupakan
“satu bangsa terpilih...suatu bangsa kudus, umat Allah sendiri (1Pet 2:9). Betapa terpencar dan
beraneka ragamnya pun komunitas beriman, mereka sadar sebagai umat tunggal yang memiliki
kewargaan bukan di Roma tetapi Yerusalem surgawi. Kenyataan ini disaksikan bukan hanya
oleh kata-kata mereka sendiri – seperti rujukan Ignatius kepada gereja katolik (universal) yang
ada “di mana saja Jesus Kristus ada” – melainkan juga oleh kebiasaan mereka yang tidak ada
paralelnya, dari penulisan surat satu sama lain yang berisikan teguran, nasehat dan ajakan. Rasa
kesatuan ini, rasa bersatu sebagai umat terpilih, menampakkan keseriusan untuk
menyingkirkan ketidaksepakatan mereka. Ini juga menampakkan luapan semangat mereka
untuk berusaha duduk bersama untuk mencari jalan keluar. Didache atau Epistula Apostolorum
menyaksikan hal yang sama.
Selain itu kehidupan bersama gereja dibentuk oleh institusi-institusi yang berperan
sebagai alat kesatuan dan kelangsungan komunitas. Anggota baru diterima ke dalam gereja
dengan ritus pembaptisan. Pertemuan rutin komunitas, yang terjadi pada Hari Tuhan (Minggu)
untuk merayakan kebangkitan Yesus, mencakup tidak hanya doa, pujian dan pembacaan Kitab
Suci, tetapi juga kotbah, menyampaikan nubuat kenabian, dan perayaan Perjamuan terakhir
Tuhan atau ekaristi. Hal yang sama pentingnya dalam kehidupan gereja abad kedua ialah
disiplin komunitas. Gereja adalah satu tubuh “terpisah” yang anggota-anggotanya diharapkan
menghidupi hidupnya dengan cara tertentu. Ada disiplin untuk berpuasa dan berdoa. Mereka
tidak menikahdua kali, tidak membunuh anak yang tidak diinginkan dengan aborsi. Mereka
tidak terkait sama sekali dengan pesta-pesta kafir dan kegiatan yang menundukkan mereka
kepada “setan” yang menjadi tuhan kafir. Mereka mencintai saudara-saudari dan harus
memberikan sedekah dan dan melakukan perbuatan karitatif. Mereka menolong satu sama
lain. Hal ini perlahan-lahan memanimalisasi konflik dan ketidaksepakatan.12

12
W. Walker et. al., A History of the Christian Church, Edinburgh 1986, 41-45.

16
Organisasi Kristen

Tidaklah gampang menelusuri asal usul pelayanan ministerial resmi gereja. Tumbuhnya
perkembangan institusional memiliki pekembangannya sendiri yang khas. Namun pda
pertengahan abad ke dua sebuah model pelayanan lokal yang seragam secara substansial mulai
mendominasi di seluruh dunia Kristen. Di setiap kota, Kristen condong memiliki pemimpin
utama dan pastor, yang disebut dengan episkopos – “uskup” atau “penilik” atau “pengawas.” Di
satu pihak episkopos ini bekerja dengan satu badan kolegial yang disebut presbuteroi (“para
tua-tua”) dan di pihak lain bekerja dengan sekelompok pembantu yang “melayaninya” dalam
menjalankan fungsi-fungsi pastoralnya, yakni diakonoi, atau “para diakon.” Para pejabat ini
tentu saja tidak dipilih atau dihunjuk dari kelompok tertentu yang telah dilatih secara kurang
lebih terlatih, sebagamana terjadi dengan pelayan Kristen di sebagian besar tempat sejak akhir
abad awal dan abad pertengahan. Mereka adalah anggota kelompok Kristen di kota tertentu
yang dipilih atas dasar talenta dan kualitas personalnya.
Mengapa peran ini muncul? Komunitas kristen di bebarapa kota tertentu pada saat itu
merupakan satu tubuh yang sangat bersatu. Komunitas ini berkumpul secara teratur untuk
menjalankan ritus-ritusnya yang khas. Komunitas ini juga berfungsi sebagai suatu kumpulan
yang saling memberi bantuan bagi anggota-anggotanya, dan komunitas ini juga memberikan
sokongan bagi orang miskin, janda dan bagi anak-anak yang tidak memiliki orang tua. Selain itu,
tidak seperti komunitas Yahudi, gereja-gereja ini pada umumnya telah mengatur urusan
mereka sendiri dan hubungan di antara para anggota tanpa meminta bantuan kepada
pengadilan Romawi, yang menguatkan standard tingkah laku mereka sendiri dan perdebatan-
perdebatan yang muncul. Akhirnya komunitas-komuitas ini menemukan arti dan tujuan
keberadaan mereka (raison d’etre) dalam kehidupan baru Kristus yang bangkit, yang
dikomunikasikan kepada mereka oleh Allah dalam Roh dan diartikulasikan dalam pewartaan
dan pengajaran murid-murid pertama dan rasul-rasul. Mereka yakin bahwa pemeliharaan dan
penyampaian Injil ini dalam bentuknya yang otentik merupakan hal yang esensial bagi hidup
mereka. Munculnya pemimpin komunitas dalam situasi ini untuk bertindak sebagai pemimpin
ibadat, pemimpin dalam kehidupan komuntias, petugas-petugas yang menjalankan berbagai
pekerjaan dan guru-guru yang mengajakan kebenaran, sama sekali bukan hal yang
mengejutkan.
Tetapi bagaimanakah perkembangan bentuk pelayanan ini menjadi suatu jabatan
resmi? Dari kisah para rasul kita mendapat informasi bahwa pada akhirnya gereja di Yerusalem
dipimpin oleh Yakobus saudara Tuhan bekerja sama dengan satu kelompok “tua-tua.” Satu
petunjuk mengenai munculnya struktur kepemimpinan dalam gereja berasal dari dekade
pertama abad ke dua. Ketidak seragaman informasi dalam surat-surat Palus membuat informasi

17
kelahiran kepemimpinan ini tidak bisa kita ambil begitu saja dari kesaksian Perjanjian Baru.
Memang Paulus sangat terlibat dengan fungsi-fungsi kepemimpinan dalam gereja yang
didirikannya. Paulus sendiri menjalankan fungsi kepemimpinan yang sangat aktif untuk
mengayomi, mengawasi serta memimpin kawanan yang dibentuknya, dan dia mempunyai
pembantu dalam menjalankan kepemimpinannya. Tetapi dia tidak pernah memandang dirinya
sebagai pejabat gereja.
Namun pada akhir abad pertama, pejabat telah muncul bukan hanya di gereja Paulus,
tetapi juga di gereja Roma dan tampaknya juga di wilayah Siria dan Palestina. Lebih lagi,
struktur dan istilah pejabat tampaknya secara kasar sudah sama di semua wilayah ini. I Clement
berbicara tentang “uskup-uskup” dan “para diakon” dan menelusuri jabatan ini ke masa
pendirian apostolik. Surat ini menyatakan bahwa pejabat seperti itu ada bukan hanya di Roma
tapi juga di Korintus. Mereka adalah orang-orang yang dipilih dengan persetujuan semua
gereja. Asal-usul jabatan ini yang menempatkan mereka sebagai pengganti para rasul
mengakibatkan bahwa pemberontakan atas otoritas mereka dipandang sebagi tindakan yang
hina dan merusak tatanan ilahi kekristenan. Surat yang sama ini juga menyebutkan para tua-tua
sebagai pejabat dalam gereja. Akan tetapi pemakaian “tua-tua” dan “uskup” dipertukarkan satu
sama lain untuk menyebutkan jabatan yang sama.
Surat-surat Pastoral dan Didache juga berbicara tentang dua struktur kepemimpinan
dalam gereja. Didache hampir pasti melukiskan situasi transisi, di mana otoritas pejabat-pejabat
lokal harus diserahkan di hadapan seruan para “rasul” dan para “nabi” yang berkeliling, yang
kadang-kadang menunjukkan tendensi pada charlatanism. Didache menyodorkan rambu-
rambu untuk membedakan nabi-nabi palsu dari yang benar (nabi palsu meminta uang dan tidak
melaksanakan apa yang diwartakannya) dan mengajak pembacanya untuk memilih “uskup dan
diakon yang percaya kepada Tuhan... Tidak seperti Didache, surat-surat Pastoral menyebutkan
tua-tua dan juga para diakon dan para uskup, tapi satu bagian dalam Titus tampaknya
mengatakan bahwa di sini seperti I Clement, “tua-tua” dan uskup menunjuk pada orang yang
sama. Juga dalam garis yang sama dengan I Clement Surat Pastoral menunjukkan bahwa para
pejabat ini menjalankan otoritasnya dengan persetujuan apostolik dan juga di bawah
pengarahan apostolik. Dalam melukiskan pekerjaan tua-tua-uskup, surat Pastoral meletakkan
tekanan pada tiga hal. Pertama, uskup harus menjadi model kehidupan Kristen: “tidak
pemabuk, tidak kasar tapi lembut, tidak suka bertengkar, dan tidak gila uang” (1Tim 3:3).
Kedua, dia haruslah seorang pelaksana yang cakap untuk tugas itu – seorang administrator
(1Tim 3:2, 5:17). Di atas segalanya, dia haruslah seorang “guru” untuk “mengikuti model sabda
yang sehat” (2 Tim 1:13) yang mewujudkan doktrin para rasul sendiri dan untuk “memegang
teguh kata-kata yang diajarkan, sehingga dia mampu memberikan instruksi dalam doktrin yang
sehat” (Tit 1:9). Terdapat guru-guru palsu di mana-mana, dan para pemimpin gereja lokal
mendapat tanggung jawab utama sebagai pemberi kesaksian atas bentuk hidup dan doktrin

18
yang telah ditanamkan oleh para pengkotbah kristen dari generasi pertama. Mereka adalah
penjaga warisan apostolik.
Perhatian untuk menjaga kesaksian Kristen yang otentik dilukiskan juga dalam surat-
surat Ignatius, yang memuji anggota-anggota komunitas di Efesus karena “selalu sejalan dengan
para rasul sendiri.” Ignatius memandang para pejabat gereja sebagai simbol kesatuan umat
beriman dengan Kristus dan Allah. Yang khas dalam Ignatius ialah adanya struktur
kepemimpinan yang terdiri dari tiga level dan didalmnya dia dengan jelas membedakan uskup
dengan tua-tua. Di dalam setiap gereja yang disebutkannya dalam suratnya ada seorang uskup,
yang memimpin dengan kelompok tua-tua dan pelayannya, yakni para diakon. Karena itu
dalam surat-surat Ignatiuslah para sejarawan pertama sekali bertemu dengan struktur
pelayanan yang menonjol dalam seluruh gereja pada abad kedua.
Salah satu hipotesis tentang perkembangan struktur ini mengatakan bahwa hal itu
berkembang secara natural ketika status khusus dan tanggung jawab dalam masing-masing
gereja diserahkan kepada orang yang lebih tua yang secara teratur mengetuai pertemuan yang
disebut Ignatius dengan “presbiterium.” Susunan gereja abad ke-3 yang dikenal sebagai
Didascalia Apostolorum mengidentikkan pastor kepala dari gereja lokal sebagai “uskup dan
kepala Presbiterium,” dan jelas bahwa dalam waktu yang lama para tua-tua dipandang bukan
sebagai perwakilan atau delegat uskup, melainkan sebagai kolleganya. Pada peralihan ke abad
ketiga, sistem yang mengakui tua-tua, uskup dan diakon dan sistem yang bicara tentang uskup,
para tua-tua dan diakon bisa dilihat dengan jelas, dalam prakteknya telah memperlakukan
soerang dari antara tua-tua sebagai pemimpin utama dan guru.
Bersamaan dengan penetapan model tatanan gereja ini, muncul juga ide awal tentang
suksesi apostolik. Hal ini paling jelas dinyaktakan dalam I Clement. Otoritas para uskup dan para
diakon ditetapkan berdasarkan pada kenyataan bahwa jabatan mereka dibentuk oleh para
rasul. Satu kalimat yang kabur mengatakan bahwa gereja Roma memandang tua-tua-uskup
sebagai pengganti para rasul. Tapi ide ini tidak luas penyeberannya pada awal abad ke dua.
Surat-surat Pastoral mengklaim otoritas Paulus bagi institusi episcopal dan pelayanan diakonal
tetapi tidak menyatakan bahwa para pejabat lokal menggantikan otoritas apostolik; Ignatius
dari Antiokia, kendatipun dia yakin akan perlunya menguatkan otoritas uskup dan presbiterium,
tidak berusaha mengklaim pendasaran apostolik bagi jabatan-jabatan itu. Pertumbuhan ide
suksesi apostolik yang penuh harus menunggu kontroversi Gnosticisme kemudian pada abad ke
dua.
Bahkan pada permulaan abad ini model pelayanan dan pemerintahan yang tetap masih
berada dalam proses pembentukan. Unit gereja masih merupakan tubuh Kristen dalam polis
tertentu. Masing-masing gereja ini cenderung memiliki gembala utama, yang disebut uskup
yang tidak hanya memimpin pertemuan liturgis tetapi juga urusan administratif dan disiplin
dalam komunitas, dan dia merupakan guru resmi gereja, penjaga dan penafsir tradisi etis dan
doktrinal. Bersama dengan uskup diasosiasikan dengan karya ini sekelompok tua-tua, dari mana

19
dia berasal dan “para pelayan” dan para diakon yang tampaknya membantu uskup dalam karya
liturgis, administratif dan disipliner. Setiap tubuh seperti itu, dengan para pejabatnya, dipahami
sebagai ekklesia, penuh dan lengkap dalam tempatnya yang partikuler. Kendatipun jelas bahwa
setiap gereja lokal sering saling bertukar ide dan nasehat dengan gereja lain, tidak ada
organisasi gerejani di atas level polis.

Kekristenan dan Kekaisaran Romawi

Pemerintah kekaisaran Romawi biasanya bersikap toleran dalam hal agama. Dewa-dewi,
ritus dan praktek religius di setiap kota dihargai oleh pemerintah dan bahkan mendapat
perlindungan darinya sejauh agama tersebut menghormati kekaisaran dan dewa-dewinya. Akan
tetapi toleransi terhadap pluralisme ini mempunyai batasan juga yang tampak pada saat
kepentingan kerajaan Romawi dan kesejahteraan warga Romawi saling terkait. Beberapa
praktek religius tampaknya bagi kerajaan Romawi sebagai immoral dan karena itu menghina
dewa-dewi yang menjadi penjamin kesejahteraan Romawi. Praktek seperti ini bisa ditekan dan
dihapuskan baik di Roma sendiri maupun di wilayah propinsi. Claudius misalnya menghapuskan
kultus Druidic yang mengerikan karena mempraktekkan persembahan manusia. Ritus yang
mempraktekkan pengambilan darah untuk sumpah yang menuntun mereka pada tindakan
kriminal dan pemberontakan juga dilarang pada waktu yang sama. Singkatnya, kultus religius
yang tampaknya mengancam kerajaan Romawi dan tatanan publik dipandang secara otomatis
sebagai tidak halal, walaupun tindakan untuk menekan praktek itu tidak terlalu signifikan.
Atas dasar pemikiran di atas, maka gerakan kristen sebagai kelompok yang tidak
memiliki status yang diakui dan secara potensial merupakan perkumpulan yang berbahaya
berada pada daftar agama yang akan dimusnahkan. Kristen bukanlah agama tradisional dari
suku atau kota tertentu dan karena itu tidak mungkin mendapat pengakuan seperti yang
diberikan kepada agama Yahudi atau Mesir atau kultus lokal seperti Baal Syria. Lebih lagi, orang
orang kristen berkumpul secara privat, dan monoteisme mereka yang eksklusif memaksa
mereka untuk menolak semua bentuk partisipasi dalam praktek religius kafir. Ini berarti tidak
hanya masyarakat yang cenderung mencurigai mereka sebagai sesuatu yang melawan moralitas
publik atau golongan kiri, tetapi juga dalam kota di mana mereka hidup mereka menampilkan
diri sebagai kelompok kecil yang ingin menarik diri dari dasar kehidupan komunal. Paulus
menerangkan sikap orang Kristen dengan mengatakan, “kewarganegaraan kita adalah di surga”
(Fil 3:20); bagi sejarawan Romawi, Tacitus, sikap ini kelihatan lebih sebagai “kebencian akan
umat manusia.” Karena itu ketika Plinius, selama masa pemerintahannya di Bithynia, menulis
kepada kaisar Trayanus tentang masalah Orang Kristen, bahasanya sendiri mengungkapkan
bahwa reaksinya ditimbulkan oleh kaum beriman dari orang-orang semasanya. Mereka
“berkumpul sebelum terang,” katanya, “dan secara bergiliran meresitir satu bentuk sabda
kepada Kristus sebagai allah.” Selain itu, mereka mempersatukan diri “dengan satu sumpah,”

20
dan meskipun mereka menyatakan bahwa sumpah tersebut mengajak mereka untuk tidak
melakukan pembunuhan, tetapi untuk kebaikan, Plinius dengan jelas memiliki kesulitan dalam
mempercayai kebenaran sumpah itu. Karena itu, dia menyiksa dua budak perempuan yang
adalah diakones Kristen untuk mengungkapkan kebenaran, tetapi, katanya, “Aku tidak
menemukan apapun selain takhyul yang aneh dan tidak masuk akal.” Untuk sementara dia
tidak meragukan bahwa Orang Kristen bersalah karena melakukan “pembunuhan
tersembunyi,” tetapi dia tidak pasti apakah mereka harus disiksa karena kejahatan ini atau
hanya karena namanya belaka, yakni hanya karena bernama Kristen.
Jawaban kaisar Trayanus hanyalah bersifat instruktif sebagaimana dilaporkan oleh
Plinius. Tidak ada masalah dalam pikiran kaisar bahwa Orang Kristen merupakan perkumpulan
yang tidak sah dan secara prinsipil berbahaya. Meskipun demikian jelas dia tidak percaya bahwa
secara praktis mereka menimbulan banyak masalah. Karena itu dia menganjurkan bahwa bila
tertangkap maka mereka harus dihukum (namun jika mereka meninggalkan imannya mereka
bisa diampuni), tetapi mereka tidak harus dicari dan dikejar. Karena itu pemerintah itu tidak
melibatkan dirinya dalam satu usaha sistematis untuk memusnahkan sekte ini. Pengganti
Trayanus, kasiar Hadiran, tampaknya mengambil sikap yang sama. Dia menyatakan bahwa
kekristenan memang tidak sah dan karena itu bisa dihukum; tetapi perhatian utamamnya ialah
untuk memastikan agar prosedur-prosedur judisial yang jelas diikuti dan supaya pribadi-pribadi
tidak dihukum karena keyakian Kristen ssendiri atau akibat kekacauan massa atau tuduhan-
tuduhan palsu dan anonim.
Tampaknya jelas bahwa para kaisar pada masa ini tidak terlalu tertarik dan juga tidak
terlalu terganggu oleh fenomena Kekristenan. Kendatipun demikian, mereka menganggap
Orang Kristen sebagai yang tidak diinginkan dan bisa dihukum, dan dengan penilaian ini mereka
menuntun Orang kristen kepada kebencian penduduk lokal dan dengan demikian kepada
penyiksaan dan penghukuman oleh para pemerintah kekaisaran. Selanjutnya Hadrian menduga
bahwa orang Kristen menyebabkan gangguan lebih bagi otoritas kekaisaran dengan
menciptakan kemungkinan bagi munculnya kekacauan dan keributan lokal daripada oleh
ancaman yang mereka timbulkan bagi kerajaan sendiri; dan dalam perintah ini terdapat satu
petunjuk yang menungkapkan bahwa bukan kebijakan kerajaan tetapi kebencian masyarakatlah
yang menjadi awal pengejaran. Hal inilah yang terjadi pada tahun 177 Di Lyon dan Wina di
Gaul. Di Roma, Justinus, apologis Kristen, tidaklah dicari oleh otoritas Romawi, tetapi
diserahkan kepada pemerintah oleh teman intelektualnya, yang bernama Crescens seorang
penganut filsafat sinis. Orang cenderung menyimpulkan bhwa peristiwa penyiksaan aktual
tergantung pada sikap dan perasaan masyarakat setempat terhadap orang Kristen dan pada
keinginan para pemerintah provinsi untuk menenangkan perasaan masyarakat dan bekerja
sama dengannya. Tetapi yang lebih penting daripada kebijakan para kaisar adalah ketakutan
masyarakat dan kecurigaan terhadap orang Kristen, yang diyakini sebagai ateis, penghasut dan
pelaku kejahatan.

21
Di hadapan penyiksaan, penjara dan kematian yang menjadi konsekuensi dari tuduhan
masyarakat, orang Kristen memahami bahwa mereka dipanggil untuk mengakui iman akan
Allah dengan teguh, untuk mengambil bagian dalam penderitaan Kristus yang telah
mengalahkan kejahatan. Kematian sebagai martir dipandang sebagai puncak kemuliaan dari
perjuangan yang menuntun kepada kehidupan kekal. Perjuangan ini tidak dipandang sebagai
perlawanan terhadap otoritas Romawi dan para kaisanya. Perjuangan ini diarahkan kepada
Setan dan para pengikutnya, yang mengontrol dunia.13

Para apologis

Tuduhan-tuduhan yang dilancarkan kepada orang kristen, terutama kebijakan resmi yang
memperlakukan gereja sebagai kelompok yang tidak sah, memaksa kaum beriman tidak hanya
untuk memberi kesaksian dalam penderitaan tetapi juga untuk menerangkan dan membela
imannya. Oleh karena itu sepanjang abad kedua muncul jenis literatur kristen yang baru, yakni
“apologia” (apologia berarti “a speech for the defense”). Para pengarang karya-karya ini secara
kolektif dikenal dengan nama Para Apologis. Meskipun tulisan-tulisan jenis ini diproduksi lama
setelah akhir abad ke dua, kurun waktu dari kira-kira tahun 130 sampai 180 m seringkali
dihunjuk sebagai zaman para Apologis.
Penulis pertama dari para aplogis ini ialah seorang Quadratus, kemungkinan seorang
Athena, yang sekitar tahun 125 menulis satu apologi yang ditujukan kepada Kaisar Hadrianus.
Karya ini tinggal potongan-potongan saja. Yang lebih dikenal dengan baik ialah seruan Aristides,
seorang Atena lain dan filsuf khas, yang menujukan argumennya kepada Antonius Pius pada
tahun 140. Yang paling terkenal ialah Apologi Justinus Martir, seorang filsuf Kristen yang
tampaknya memimpin satu sekolah di Roma dan menulis sekitar pertengahan abad ke dua.
Murid Justinus, Tatianus (yang juga mengharmoniskan keempat Injil dalam Diatesseronnya yang
terkenal) menulis sebuah Discourse to the Greeks. Karya ini lebih merupakan serangan telak
bagi kultur dan agama kafir daripada sebuah pembelaan. Figur-figur berikut juga
dikelompokkan dalam kelompok penulis apologi: Melito dari Sardis yang menulis antara tahun
169 dan 180; Athenagoras yang menulis Supplication for the Christians (sekitar 177); uskup
Theofilus dari Antiokia yang menulis To Autolycus, satu apologi yang panjang. Tulisan-tulisan ini
memiliki nilai tinggi dalam lingkungan kristen, karena tulisan ini mengajukan penjelasan
mendasar dan rasional atas pengajaran Kristen. Para penulisnya adalah orang-orang yang
berlatar belakang budaya filosofis, yang berusaha memakai bahasa kaum terpelajar. Karya-
karya ini menunjukkan bahwa bahwa mereka tidak hanya mengenal isi warta dan katekese
Kristen tradisional, tetapi juga beberapa ide dan tema utama apologetik Jahudi Hellenis yang
mereka gunakan dalam argumennya.

13
W. Walker et. al., A History of the Christian Church, Edinburgh 1986, 50-53.

22
Yang paling menonjol dari antara penulis itu ialah Justinus Martir. Dia lahir di daerah
jajahan Romawi di Flavia Neapolis dekat Sikhem kuno. Dia belajar filsafat Platonis. Lewat filsafat
ini ia bermaksud melihat Allah. Dia mempelajari bahwa pengetahuan yang benar tentang Allah
hanya bisa diperoleh lewat wahyu dan bahwa wahyu seperti itu telah diberikan melalui para
nabi, “yang berbicara melalui roh ilahi.” Justinus yakin bahwa tujuan filsafat hanya bisa dicapai
melalui pewahyuan Allah sendiri dalam PuteraNya dan bahwa kebenaran pewahyuan ini
dibuktikan dan dijamin oleh kesaksian nabi-nabi Ibrani. Kekristenan, menurut dia, adalah
filsafat yang paling tua, benar dan paling ilahi, karena kekristenan adalah kebijaksanaan yang
diwahyukan oleh Allah sendiri melalui para nabi kemudian dalam Puteranya sendiri.
Apologia Justinus ditulis setelah dia tinggal di Roma sekitar tahun 153. Diskursus ini
dibuka dengan mempermasalahkan ketidakadilan dan irrasionalitas hukuman yang dikenakan
kepada orang beriman hanya karena nama “Kristen” dan bukan karena tindakan kriminal yang
bisa dibuktikan. Selanjutnya, diskursus ini menandaskan bahwa Orang Kristen tidak bersalah
atas tuduhan-tuduhan yang biasanya dituduhkan kepada mereka. Mereka bukanlah ateis,
tetapi mereka menyembah Allah yang benar. Mereka tentu saja bukan pemberontak dan
penghasut ataupun anarkis, karena ‘kerajaan’ yang mereka cari ialah kerajaan Allah, dan bukan
kerajaan manusia sebagai saingan kaisar. Mereka bukan pembunuh, tetapi menanamkan
moralitas yang ketat sesuai dengan ajaran Yesus dan berusaha mempromosikan damai dan
moralitas yang baik. Setelah mengetengahkan poin ini, Justinus kemudian menunjukkan bahwa
keyakinan kristen lebih tinggi daripda agama kafir dan menyusun bukti-buktinya dengan
menunjukkan bagaimana nabi-nabi Yahudi telah menubuatkan agama Kristen.
Inti argumen Justinus ialah Logos ilahi. Logos ialah “yang pertama dilahirkan dari Allah,”
“Roh dan Kekuatan dari Allah,” yang dengannya Justinus mengidentikkan Roh kreatif Dunia dari
Plato dalam dialognya Timaeus. Logos ini sudah aktif sepanjang sejarah manusiawi sebagai
pewahyu Allah, dan semua umat manusia ambil bagian dan berpartisipasi dalam Logos Allah
sejauh mereka rasional. Yustinus mengatakan bahwa orang-orang yang hidup oleh sokongan
Logos adalah orang Kristen walaupun mereka dinyatakan ateis – seperti Socrates dan Heraclitus
dan sejenisnya di antara orang-orang Yunani, dan para barbarian, Abraham ... dan Elia.” Orang
kristen memahami bahwa logos itu dilahirkan sebagai makhluk insani oleh seorang perawan,
dan diberi nama Jesus, dan telah disalibkan dan wafat dan bangkit dan naik ke surga.” Karena
itu tidaklah benar mengatakan bahwa Kristus yang lahir hanya ada “seratus limapuluh tahun
lampau.” Dia selalu menjadi teman umat manusia, tetapi dia tidak selalu hadir dalam cara yang
dikenal Orang Kristen – sebagai persona manusiawi yang dinamai Yesus.14

14
W. Walker et. al., A History of the Christian Church, Edinburgh 1986, 53-56.

23
DARI KRISIS GNOSTIK KEPADA KONSTANTINUS

Gnosticisme

Selama masa hidup Justinus Martir, yakni pada periode antara tahun 130 dan 160 M,
muncullah dalam komunitas kristen sebuah debat yang berakar dari abad pertama. Debat
tersebut ialah kontroversi antara kelompok-kelompok yang akan disebut dengan “gnostik” dan
para pembela tradisi pengajaran gereja. Debat ini mengangkat masalah-masalah fundamental
dan pelik, bukan hanya mengenai masalah partikuler – seperti, kodrat kejahatan, arti “Allah,”
dan karakter penebusan – tetapi juga mengenai cara penginterpretasian pengajaran gereja.
Akibat yang tidak bisa dielakkan ialah munculnya perkembangan penting dalam tradisi teologis
kristiani, dan juga dalam institusi yang dengannya tradisi itu dibentuk dan diteruskan.
Gnostisisme adalah suatu realitas yang plural, bukan suatu fenomena yang seragam.
Tidak tersedia satu ajaran umum yang dimiliki oleh setiap aliran ini. Dari sudut pandang para
penulis dan pemikir Kristen abad ke-2, gnostisisme bisa dilihat sebagai suatu sekte atau heresi
dalam gereja. Ajaran gnostik adalah suatu ajaran rahasia, yang diwahyukan hanya kepada
sedikit orang saja dan sifatnya sangat misterius. Banyak ajaran gnostik, dan itulah intinya,
diutarakan secara mitologis. Gnosis yang datang sebagai suatu wahyu kepada orang-orang
“yang tahu” mengambil bentuk sejarah tentang kenyataan transenden dan primordial. Ajaran
gnoticisme ini merupakan gagasan-gagasan teologis dan filosofis abstrak, simbol-simbol religius
yang umum, yang digunakan bukan sebagai simbol melainkan sebagai nama – “remitologisasi,”
dan menjadi subyek dongeng. Dalam ajaran gnostisisme ini ditemukan juga suatu sifat sinkretis.
Unsur-unsur tertentu dari Kitab Suci Jahudi – kisah penciptaan, misalnya – ditampilkan secara
lebih luas dalam tulisan gnostik. Terdapat juga tema-tema mitologi kafir, astrologi populer, dan
magis, terutama ide-ide filosofis yang paralel dengan Middle Platonism, Neo-Pythagoreanisme
dan Yudaisme Hellenistis.
Gnosis adalah roh-budak dari dunia cahaya dan Pengetahuan yang tersembunyi, yang
hilang dan dipenjarakan dengan bengis dalam dunia material dan kelihatan yang gelap dan
bodoh, tetapi ditakdirkan untuk kembali ke rumahnya yang sebenarnya. Dengan paham ini,
Theodotus, gnostik Kristen, bisa menerangkan bahwa dalam baptisan, “bukan pencucian sendiri
yang membebaskan, teapi gnosis yang mengatakan siapa kita, keadaan kita sekarang, situasi
apa yang harus kita masuki, ke arah mana kita harus pergi, dari mana kita harus dibebaskan,
akan menjadi apakah kita, dan jadi hal baru apakah kita.” pertanyaan-pertanyaan inilah –
identitas, kejatuhan, dan penebusan roh-budak – yang coba dijawab oleh mitos gnostik.
Peralatan dasar dari mitos ini ialah ide tentang dualitas atau replikasi dunia. Pemisahan dua
dunia – cahaya dan kegelapan – dipahami sebagai sesuatu yang original dan primordial. Dalam

24
mitos seperti itu, pemindahan para roh-budak, yang adalah para gnostic, dilukiskan sebagai
hasil dari suatu pertemuan yang tidak menggembirakan dan percampuran dari dua tatanan.
Tipe kedua dari mitos yang menonjol di antara gnostik Kristen abad ke dua dari sekolah
Basilides dan Valentinus ialah ajaran tentang dunia-kegelapan, “kosmos,” tidaklah original, asli,
melainkan sekunder dan berasal dari sesuatu yang lain. Dunia-kegelapan tidak ada sejak
permulaan. Dunia seperti itu adalah hasil kejatuhan dan kesalahan tragis, suatu gangguan
dalam dunia yang lebih tinggi. Menurut versi yang biasa dari mitos ini, anggota yang terlemah
dan terendah dari dunia-cahaya, “Eon” yang disebut dengan Sophia atau Kebijaksanaan, jatuh
ke dalam kesalahan dan nafsu melalui keinginannya untuk mengenal Bapa yang tak bisa
dikenal. Penebusan dan restorasinya ke tatanan semula membutuhkan penghilangan kesalahan
dan nafsu ini dari dunia yang lebih tinggi. Akibat penghapusan kejahatan ini, mulailah proses
terciptanya kosmos yang lebih rendah – kosmos di mana unsur-unsur roh itu diperangkap.
Dengan demikian ada dua dunia yang paralel: dunia yang original, dunia ilahi - roh, yang
disebut dengan “Kepenuhan” (pleroma), dan dunia yang lebih rendah, dunia material, yang
kadang-kadang disebut “Yang kosong” (kenoma). Penekanan pada paralelisme antara kedua
dunia ini merupakan ciri khas pemikiran gnostik Kristiani. Apa saja yang nyata dan penting
menjadi nyata dalam Kepenuhan, tetapi hal itu ditiru dengan satu kunci pemindahan pada level
yang lebih rendah dalam kosmos yang kelihatan. Maka, sebagai contoh, drama penebusan
sebagaimana dipahami oleh orang Kristen adalah bayangan atau imaginasi dari kisah
penebusan sejati yang menampakkan dunia sipirit. Tetapi perlu dicatat bukan kesatuan yang
mendapat tekanan, melainkan pemisahan dari kedua dunia tersebut. Perbedaan kedua dunia
ini juga ditampakkan dengan perbedaan bahan dari mana keduanya dibuat. Dunia cahaya
terbuat dari roh (pneuma), sementara dunia yang lebih rendah terbuat dari jiwa (psuche) dan
materi (hule). Dengan tanda yang sama, kedua dunia ini dituntun oleh dua dewa yang berbeda.
Ada suatu figur-Allah yang merupakan “Pemodel” (Demiurge) dari kosmos material. Ini
sebenarnya adalah “Allah” dan Tuhan” yang dibicarakan oleh orang Yahudi. Tetapi walaupun
dia mengklaim diri sebagai satu-satunya Allah, dia bukanlah anggota dari dunia-roh, tetapi
hanya terdiri dari hal-jiwa dan tidak tahu akan sumber dan dasar asli dari semua yang ada.
“Tuhan Allah,” ini hanyalah satu copy – sejenis imitasi-kedua – dari Pikiran dari mana berasal
dunia-roh dan para penduduknya.
Situasi gnostik adalah sebagai berikut. Dalam bagian dalamnya, budak sejati adalah roh,
dan tempat mereka yang sebenarnya adalah Kepenuhan. Karena kehilangan dalam kosmos
asing, mereka terhukum dan tidak tahu lagi kodratnya yang sebenarnya. Hanya rahmat
pewayhuan yang membuat mereka sadar akan dirinya sehingga mereka bisa direstorasi
menjadi statusnya yang sebenarnya. Namun setelah mereka menerima “formasi dalam
pengetahuan” ini, mereka memahami dirinya sebagai yang dipilih bagi dunia yang lebih tinggi
bahkan bagi Allah-Pencipta dalam Kitab Suci Yahudi dan dibebaskan dari rangkaian tatatan
dunia yang menindas. Kemudian, mau tidak mau, situasi mereka sebagai penerima gnosis

25
memisahkan mereka dari orang lain. Gnostik Kristen pada abad ke dua sebenarnya mengenal
tiga kelas persona manusiawi sesuai dengan tiga jenis “benda” kosmis. Ada orang-orang –
barangkali para kafir – yang terperangkap tanpa harapan dalam dunia badani atau materil yang
ditentukan bagi kehancuran. Ada orang-orang – tampaknya kaum beriman Kristen biasa – yang
sungguh-sungguh menjadi milik Allah Kitab Suci Yahudi karena mereka hidup dalam level jiwa.
Orang-orang psikis ini ditetapkan bukan untuk kehancuran, melainkan untuk sejenis
keselamatan kelas kedua bersama dengan Allah yang mereka abdi. Akhirnya, ada orang-orang
“spiritual,” gnostik sendiri, dengan tujuan ke dalam Kepenuhan dunia ilahi. Yang ketiga ini,
karena merupakan kelompok yang terjamin keselamatannya, membuat para gnostik menjadi
anggota yang mengganggu dalam kehidupan gerejani. Mereka tidak mau tahu dengan hidup
“iman dan karya” dan kesaksian dalam martiria. Mereka memiliki komitmen minimalsitis dalam
kehidupan institusional dan komunal gereja. Mereka tampaknya berada di atas segalanya.
Mengenai Penyelamat, gnostik Kristen berbeda dari kelompok lain karena mereka
mengidentikkan pembawa wahyu keselamatan dengan Kristus atau Yesus. Sesuai dengan
doktrinnya tentang dua dunia dan dua tingkat keselamatan, gnostik Kristen cenderung ialah
memiliki pandangan dua Kristus yang paralel. Salah satu dari gambaran ini hanyalah Kristus
“psikis” belaka, Mesias yang dijanjikan oleh Allah-Pencipta sesuai dengan iman Yahudi.
Penyelamat yang benar datang dari Kepenuhan dan turun kepada orang yang menerimanya
pada saat baptisan. Dalam versi tema inkarnatif ini, karya-karya dan sabda Kristus “biasa”
dilihat sebagai penyataan wahyu yang lebih tinggi yang dilahirkan oleh Sabda dari Kepenuhan;
dan pewahyuan yang lebih tinggi ini hanya bisa ditangkap oleh para gnostik. Akan tetapi
pengetahuan yang menyelamatkan tidak bisa menyentuh daging, tatanan material. Karena itu,
pemikiran gnostik cenderung mengarah pada docetisme, yakni, kepada keyakinan bahwa
Penyelamat tidak berkarya dalam dunia jasmani tetapi memiliki penampakan tubuh. Para
gnostis ini mencoba menginterpretasikan ajaran tradisional sesuai dengan ajaran mereka dan
mengacu pada sumber-sumber kepercayaan kristiani. Walaupun demikian kebanyakan
pemimpin gereja (seperti Klemens dari Alexandria, yang suka menyebut mereka Gnostiks)
melihat dalam Gnostisisme suatu distorsi sistematis atas arti tradisi pengajaran. Oleh karena itu
mereka memandang kelompok ini dengan rasa curiga.15

Marcion

Marcion, seorang kristen kaya pemilik kapal yang lahir di Sinope Asia Kecil, datang ke Roma
sekitar tahun 139. Di sana ia bergabung dengan komunitas Roma dan memberikan sumbangan
besar kepada komunitas dan mulai mengajarkan pemahamannya sendiri tentang injil, yang
didasarkan pada satu tafsiran atas surat-surat Paulus. Pandangannya menciptakan kekacauan,
skandal dan pertentangan yang mengakibatkan ekskomunikasinya dan pengembalian uangnya

15
W. Walker et. al., A History of the Christian Church, Edinburgh 1986, 61-67.

26
pada tahun 144. Jawaban Marcion terhadap penolakannya adalah mengumpulkan pengikutnya
menjadi gereja terpisah, yang tampaknya diorganisir dengan hati-hati. Bagi kelompok ini, dia
menyediakan kanon resmi dari buku-buku suci: sepuluh surat Paulus (tanpa surat-surat
Pastoral) dan satu bentuk Injil Lukas. Komunitas yang didirikannya segera menyebar dan
menjadi saingan gereja ortodox hingga abad ke-5. Secara khusus komunitas ini menjadi kuat di
Siria.
Pokok persoalan yang menjadi awal pertentangan dengan Marcion ialah ajarannya
tentang hubungan Injil Kristiani dengan Yudaisme dan dengan ajaran religius Kitab Suci Yahudi.
Dari surat-surat Paulus yang dipelajarinya dengan baik, dia memahami bahwa kelompok Kristen
dididirikan atas pewahyuan dalam Kristus, Allah yang mencintai dan penuh rahmat. Dia juga
menyimpulkan dari bacaannya tentang Paulus bahwa antara Injil tentang Allah Yang mencintai
dan agama hukum Yudaisme terdapat pertentangan dan inkonsistensi. Dalam pandangan
Marcion, keyakinan ini diperkuat dan diteguhkan oleh isi Kitab Suci Yahudi. Ini dibacanya
dengan cara yang baru dalam lingkup Kristen. Caranya membaca yang tidak memandang
Hukum Taurat dan Para nabi sebagai simbol dan benih awal sistem religius kristiani, tetapi
membacanya secara literal, membawanya pada kesimpulan bahwa Allah dalam perjanjian Musa
dan Allah Jesus dan Paulus adalah hal yang agak berbeda. Allah Yesus dan Paulus adalah Allah
cinta dan murah dan pengampun. Allah Musa adalah Allah yang mengakkan keadilan dengan
kasar – semena-mena, tidak konsisten dan bahkan bersifat tiranis. Perbedaan ini diutarakannya
secara sistematis dalam satu-satunya karya tulisnya. Karya yang disebut dengan Antitheses,
mengembangkan pemahaman Marcion tentang iman Kristen dengan menunjukkan
inkonsistensi antara Kitab Suci Yahudi dan keyakinan kristiani. Nada gnostisnya nampak dalam
perkembangan ide Marcion. Dia melihat kekristenan sebagai sesuatu yang secara absolut baru,
maka ia menolak bahwa kekristenan mempunyia akar dalam Yahudisme. Allah dan Bapa Yesus
Kristus tidak dikenal sebelum penyataan Yesus. Karena itu, Allah dalam Kitab Suci Yahudi harus
dipandang sebagai allah ke dua yang lebih rendah, berbeda dari dan bertentangan dengan Allah
yang benar. Dengan cara ini Marcion mengadopsi dualisme yang tajam. Kosmos yang kelihatan,
sebagai ciptaan Allah Israel, dan suatu ciptaan dari ketiadaan, adalah karya jahat yang
diperuntukkan bagi kebinasaan. Kristus, yang datang sebagai agen Allah cinta yang tak dikenal
untuk menyelamatakan jiwa-jiwa, muncul di Galilea, setelah mengalami kelahiran non
manusiawi dan tidak memiliki tubuh manusiawi yang nyata. Senada dengan pandangan
materialitas dan tubuh, pengikut Marcionis dituntut untuk berpantang dari semua hubungan
sexual bahkan dalam perkawinan. Rigorisme Marcion juga ditunjukkan dalam tuntutan agar
pengikutnya memantangkan daging.16

Montanisme

16
W. Walker et. al., A History of the Christian Church, Edinburgh 1986, 67-69.

27
Krisisi pemahaman diri gerja semakin diperuncing lagi pada akhir dekade abad ke dua oleh
gerakan “kenabian baru” yang dikenal dengan nama “Montanisme.” Gerakan ini didirikan oleh
Montanus, seorang pentobat kristen yang tinggal di wilayah Asia Kecil, persisnya di perbatasan
Propinsi Phrygia dan Mysia, keduanya wilayah Romawi. Sekitar tahun 170 dia menyatakan diri
kepada para pengikutnya sebagai seorang nabi. Dia menganggap dirinya sebagai sarana Roh
yang telah dijanjikan oleh Allah kepada gereja sebagai yang akan “mengajar...segala sesuatu”
dan “menuntunmu kepada kebenaran.” Kepadanya bergabung dua wanita, Priskila dan
Maximilla, yang mengambil bagian dalam insipirasinya dan menyampaikan pidato-pidato gelap
yang penting dalam keadaan ekstasi, yang berbicara bukan atas nama pribadi mereka,
melainkan atas nama Roh sendiri. Dengan cepat mereka memenangkan banyak pengikut dan
ketika gerakan ini semakin bertumubuh, muncul juga dengan seketika pertentangan dari para
pemimpin komunitas kristen, yang merasakannya sebagai ancaman bagi otoritas resmi
mereka, tatanan hidup gerejani, dan bagi tradisi pengajaran yang telah ditetapkan. Yang
menjadi masalah bukanlah klaim Montanus sebagai nabi, tetapi kenabian yang baru ini yang
bentuk dan isinya tidak biasa. Montanus dan teman-temannya menghadirkan kembali suatu
penghidupan kembali roh apokaliptik dan mewartakan tibanya akhir dunia. Tuhan akan segera
kembali, dan Yerusalem baru akan didirikan berdekatan dengan kota Pepuza di Phrygia. Sesuai
dengan pandangan apokaliptik, Montanus dan teman-temannya memandang dirinya terpisah
sepenuhnya dari dunia. Mereka dipanggil untuk menjadi martir, dan mereka wajib
mengharapkannya dan tidak pernah lari dari penganiayaan. Sebagai persiapan bagi akhir dari
segala sesuatu, mereka memurnikan diri dan melepaskan segala ikatan dengan masyarakat.
Orang-orang Phrygian ini, demikian mereka sering disebut, berpuasa panjang dan lebih teliti
daripada orang Kristen lain dan tidak menganjurkan perkawinan. Dalam semangat ini Priskila
dan maximilla meninggalkan suami mereka.
Gerakan ini menyebar cepat sekali dari Asia Kecil sampai ke Syria dan Antiokia, dan juga
dikenal di Roma dan Barat pada akhir dekade 179. Tertulianus – penulis Kristen di Afrika Utara -
adalah pentobat Montanis yang paling terkenal. Baginya, Montanisme itu menghadirkan
kembali gereja yang murni, tidak dinodai oleh sikap kompromis dengan dunia dan dikarunia
dengan kehadiran dan otoritas Roh yang menghidupkan. Para uskup di Asia Kecil mengadakan
beberapa kali sinode untuk menanggapi masalah Phrygian ini dan akhrinya menghukum
Kenabian Baru ini. Di Barat, penerimaan gerakan ini lebih bercampur baur. Zephyrinus, uskup
Roma (199-217) pada awalnya menerimanya dengan toleran, tetapi kemudian tidak lagi. Di
Afrika Utara gerakan ini tampaknya menjadi gerekan di dalam gereja, yang hanya kemudian
memisahkan diri dari Orang kristen, dan hidup di sana hingga masa Agustinus Hippo. 17

Gereja Katolik

17
W. Walker et. al., A History of the Christian Church, Edinburgh 1986, 69-70.

28
Walaupun Gnosticisme dan Montanisme benar-benar persuasive dan menarik bagi mentalitas
religious abad ke dua, namun tidak satu pun dianut secara mayoritas oleh Orang Kristen. Yang
muncul dari kontroversi pada pertengahan dan akhir abad kedua ialah gereja yang masih
berada dalam proses memilih dan belum mendefinisikan ajaran doktrinal dan moralnya dan
juga mengakui dan menetapkan institusi-institusi tertentu sebagai wadah tradisinya yang
definitive. Institusi ini sama sekali tidak baru; yang baru ialah kejelasan dan keseragaman yang
dengannya otoritas mereka diterima dan, pada waktu yang sama, tuntutan atau pengakuan
bahwa artinya tidak konsisten dengan ajaran-ajaran orang lain seperti Marcion atau Gnostik
Valentinian. Dengan kata lain, “kekatolikan awal” yang muncul sebagai kekristenan normative
dari masa perdebatan ini menghadirkan kembali satu tahapan segar dalam perkembangan
tradisi Kristen - suatu pemantapan pesan kristiani yang merupakan definisi dari kandungan dan
implikasinya yang lebih dekat dan lebih terelaborasi.

Salah satu tanda dan bentuk perkembangan ini ialah keunggulan dan otoritas yang berkembang
yang diberikan pada rumusan iman atau pengakuan. Rumusan seperti itu selalu dibentuk dalam
kehidupan gerejani. Kadang-kadang rumusan-rumusan itu mengambil bentuk dari ringkasan
pengajaran atau kotbah – misalnya, rumusan tradisioni yang dikutip Paulus untuk
mengingatkan umatnya di Korintus akan hal-hal yang telah disampaikannya kepada mereka,
atau Yustinus Martir yang merujuk pada “Yesus Kristus, yang datang ke dunia, disalibkan, dan
mati, dan bangkit kembali, naik ke surga dan kini meraja.” Di tempat lain, rumusan-rumusan
pengakuan iman telah membantu tercapainya tujuan polemis dan berusaha menspesifikasikan
secara lebih sempit arti dari keyakinan tradisionil. Salah satu contoh dalam hal ini ialah rumusan
Yohannes, “Jesus Kristus telah menjadi daging” (1Yoh 4:2). Yang sama dengan ini ialah bentuk
pidato yang disimpan dan diteruskan sebagai bagian standard dari tradisi liturgis. Doa-doa
ekaristis yang melukiskan karya penyelamatan Allah dalam bentuk doa syukur juga memiliki
karaketer konfesional.

Tetapi yang lebih penting dari semuanya ialah pengakuan iman yang membentuk rumusan
baptisan. Di dalam komunitas-komunitas abad pertama, pengakuan ini barangkali sudah
merupakan afirmasi kristologis seperti “Yesus adalah Tuhan.” Pada pertengahan abad ke dua
pengakuan baptisan mengambil bentuk triadik. Para calon baptis disuguhi tiga pertanyaan
ketika mereka berdiri di dalam air, yang jawbannya masing-masing adalah “Aku percaya”; dan
dengan ketiga affirmasi ini dan pembasuhan yang menyertainya, para calon dipahami sebagai
orang yang dibaptis “dalam nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus” (Mat 28:19). Pengakuan
baptisan ini merupakan dasar keanggotaan seseorang dalam komunitas dan karena itu juga
menjadi ungkapan paling fundamental dari pemahaman diri komunitas. Setiap gereja memiliki
pengakuan baptisannya masing-masing yang kata-katanya tidak persis sama satu dengan yang
lain. Yang seragam ialah struktur pengakuan tersebut, yakni keyakinan bahwa pengakuan lokal
mengungkapkan dan menyatakan iman yang satu. Maka tidaklah mengejutkan bahwa dalam

29
debat-debat pada abad kedua mengenai arti iman kristiani rujukan selalu dibuat kepada
terminologi pengakuan baptisan sebagai perwujudan komitmen yang dengannya gereja berdiri
atau jatuh. Rumusan-rumusan tersebut yang diambil dari suatu “rule” (kanon) yang kadang
disebut dengan “rule of truth,” “rule of faith,” “ecclesiastical rule,” “tradisi,” dan juga
“kerygma,” menjadi asal usul dari Credo para rasul atau credo “nicea.”

Bersama dengan penetapan rumusan baptis ini, berhadapan dengan Gnosticisme dan Marcionis
gereja menetapkan kanon Perjanjian Baru. Proses penetapan ini tidaklah terjadi secara
simultan. Yang pertama adalah suatu pengenalan yang semakin berkembang terhadap
kebutuhan akan tradisi tertulis dan fix, terutama yang menyangkut ajaran Yesus. Yang kedua
ialah proses yang dengannya tulisan-tulisan Kristen seperti Injil dan surat-surat apostolik diakui
sebagai yang mempunyai tempat yang sama dalam kehidupan gereja seperti Kitab Suci Yahudi
dan dengan demikian mulai dikutip dan diperlakukan dengan cara yang sama, yakni sebagai
yang diinspirasikan oleh Roh Kudus. Proses yang ketiga ialah kerumuitan yang terjadi dalam
memutuskan tulisan-tulisan mana persisnya yang cocok dengan status Kristen. Untuk ini
tampaknya diikuti dua kriteria. Buku-buku ditetapkan sebagai “kanonis” jika buku-buku
tersebut dibaca secara teratur pada perayaan liturgis gerejani dan jika dipandang sebagai
“apostolik,” yakni jika buku-buku tersebut bisa dipandang masuk akal sebagai yang ditulis oleh
seorang rasul atau orang lain yang termasuk dalam generasi pendiri yang kesaksiannya identik
dengan kesaksian para rasul. Kedua kriteria ini tidak selalu sejalan dan ada debat mengenai
tulisan-tulisan seperti surat kepada Orang Ibrani atau Pastor Hermas yang memang jelas tidak
apostolik tetapi dipakai dalam pertemuan liturgis. Kriteria ketiga yang lebih informal juga ialah
doktrin. Keempat injil untuk sementara dicurigai karena dipakai juga oleh Gnostik dan para
pengikut Kenabian baru; penetapannya sebagai kanonis adalah akibat pemakaiannya yang luas
dan kenyataan bahwa sebuah nama apostolik diasosiasikan dengannya.

Inti pusat dari kanon yang berkembang ini ialah Korpus Paulinum dan keempat Injil, bersama
dengan Kisah Para Rasul. Tampaknya ada satu koleksi surat-surat Palus yang dipakai agaknya
pada awal abad ke dua, dan surat-surat itu telah dipandang sebagai “kitab suci” dan “sulit
dimengerti” (2Ptr 3:15-16). Masalah Injil tampaknya agak berbeda. 1 Clement menyaksikan
bahwa bahkan setelah keempat Injil disusun, umat untuk beberapa waktu masih merujuk lebih
pada tradisi lisan daripada kepada dokumen-dokumen tertulis mengnai ajaran-ajaran Yesus.
Tetapi pada masa Yustinus Martir paling tidak ketiga Injil sinoptik telah dipakai dalam liturgi di
Roma, dan barangkali pada awal pertigaan terakhir abad ke dua pemakaian keempat Injil sudah
meluas.

Dengan pengartikulasian tradisi pengakuan-iman dan munculnya kanon Perjanjian Baru, gereja-
gereja mendefinisikan apa yang mereka maksudkan dengan kekristenan otentik dan apostolik.
Langkah ini membawa gereja kepada pemilikan kunci penting bagi penafsiran bagian-bagian

30
kitab suci yang masih kabur, suatu kunci yang mengeluarkan eksegese gnostik. Pada masa ini
juga sudah muncul debat tentang suksesi apostolik dalam kepemimpinan gereja. Dengan
penetapan institusional atas sumber-sumber kehidupan dan ajaran mereka yang terikat erat
dengan akarnya dari abad pertama, gereja memulai satu fase baru dalam sejarah pergerakan
Kristen, yakni membedakan diri mereka dari masa lalunya dan mulai menyatakan identitasnya
yang jelas.18

Pentingnya Gereja Roma yang semakin berkembang

Sumber-sumber sejarah gereja awal menyaksikan menonjolnya peranan yang dimainkan oleh
komunitas Roma. Awal mula komunitas ini tidak terlalu jelas. Kemungkinan komunitas ini mulai
dengan pertobatan sebuah kelompok besar Yahudi yang dihelenisasikan – barangkali dari satu
sinagoga – pada tahun-tahun awal misi dari Yerusalem. Ada beberapa hal yang bisa diutarakan
berkaitan dengan komunitas ini. Petrus dan Paulus wafat di Roma dan tenarnya nama mereka
dikaitkan dengan gereja Roma sejak awal walaupun mereka bukanlah pendirinya. Tampaknya
pada awal abad ke dua komunitas ini merupakan kelompok Kristen yang terbesar dari semua
komunitas lain. Dalam perjalanan waktu pengaruh Roma semakin bertambah oleh kemurahan
dan kebaikan gereja-gereja di sana yang terkenal. Ignatius Antiokia memujinya karena memiliki
“kepemimpinan cinta”, dan beberapa dekade berikutnya Dionysius dari Korintus memuji
komunitas Roma karena mengirim “sumbangan kepada banyak gereja di setiap kota...
mengurangi kemiskinan orang –orang yang membutuhkan, dan melayani orang Kristen yang
berkekurangan.” Pengaruh gereja Roma juga semakin meluas oleh letaknya yang menjadi
persinggahan baik bagi kekaisaran maupun kekristenan. Gereja ini adalah gereja immigran dan
anggotanya juga sangat bervariasi. Masalah-masalah yang ada dan penyelesaiannya menjadi
model bagi gereja lain. Salah satu ialah masalah penetapan tanggal yang tepat bagi perayaan
Paska. Dalam laporan yang melukiskan kunjungan Polykarpus, uskup Smyrna kepada Anisetus,
uskup Roma pada tahun 154 atau 155, disaksikan bahwa Paska telah dirayakan sejak awal
sejarah Kristen. Pada waktu itu di Asia Kecil Paska dimulai dengan vigilia paska yang memuncak
pada ekaristi, mulai pada tanggal 14 Nissan malam: yakni, perayaan bersamaan dengan tanggal
permulaan Paskah Yahudi, tanpa memperdulikan hari-hari dalam minggu di mana pesta itu
jatuh. Sebaliknya kebiasaaan Roma, juga dipakai di bebarapa bagian di Timur, selalu merayakan
paska pada hari Minggu yang mengikuti Paska Yahudi. Kendati ada perbedaan yang tak dapat
dipecahkan oleh Polykarpus dan Anicetus, tetapi mereka berjalan dengan kehendak baik.
Kesepakatan mereka untuk mengakui perbedaan ini berarti bahwa gereja Roma dibagi antara
mereka yang memakai kebiasaan Asia dan mereka yang mengikuti kebiasaan lokal.
Permasalahan lanjut yang muncul akibat perbedaan ini akhirnya dimenangkan oleh Roma,
dibawah Victor, uskup Roma yang mewajibkan praktek paska yang seragam di gerejanya. Ini
juga menjadi satu tanda bahwa gereja Roma dan para uskupnya memperoleh otoritas dan
18
W. Walker et. al., A History of the Christian Church, Edinburgh 1986, 71-75.

31
pengaruh yang melampaui wilayah mereka, suatu otoritas dan pengaruh yang tidak dimiliki
oleh gereja lain.19

Ireneus dari Lyon adalah salah satu figur yang terkenal dalam komunitas di Roma. Dialah
pemimpin teologis pertama yang menonjol dalam debat dengan Marcion dan Gnostik. Uskup
Gaul ini adalah seorang immigran ke Barat dari Asia Kecil yang lahir pada tahun 135 m. Ketika
terjadi penganiyaan tahun 177 dia tidak berada di Roma karena satu tugas misi. Sekembalinya
dari tugas tersebut, dia dipilih menjadi uskup untuk menggantikan Ponthinus yang wafat
sebagai martir. Ireneus wafat, menurut tradisi, sebagai martir sekitar tahun 200. Menurut
Ireneus tradisi pengajaran gereja menghadirkan versi iman Krisitani yang otentik. Dialah orang
pertama yang mengembangkan acuan kepada tradisi (“rule of truth”) dan kepada suksesi para
uskup dan imam sebagi senjata menghadapi lawan-lawannya dari Marcionis dan gnostis. Ia
membela bahwa Allah Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru adalah satu dan sama. Dia adalah
pencipta segala sesuatu. Berkaitan dengan keselamatan dia juga menentang ajaran para gnostik
tentang Logos. Yesus adalah Logos Allah yang membawa kita kepada kemanusiaan sejati dan
keselamatan. Dia juga menentang dualisme dunia yang dipahami oleh Gnostik. 20

Tertulianus dan Siprianus

Tertulianus adalah penulis kristen pertama yang menggunakan bahasa Latin dan yang
memberikan vokabulari dan dasar kepada teologi Latin. Dia bertobat menjadi kristen, penduduk
asli Carthage yang barangkali tak pernah pergi jauh dari rumah. Dia adalah orang yang terdidik
secara profesional dalam bidang Rhetorika. St Hieronumus, yang menulis dua abad kemudian,
mengatakan bahwa Tertulianus adalah seorang imam, tapi tampaknya ini tidak benar. Dia tiba-
tiba muncul dalam skenario Kristen di Afrika Utara tahun 197 dengan munclnya Aplogy-nya dan
meninggal sekitar tahun 225. Teologi Tertulianus sangat menekankan kemurnian dan
kekudusan gereja – keotentikan praktis dari hidup dan ajarannya. Gereja hidup oleh pewahyuan
Allah, dan pewahyuan itu, yang terfokus dalam diri Yesus Kristus dan Injilnya, adalah hukum
yang mengatur kehidupannya. Dengan melaksanak hukum itu dalam tindakan dan keyakinan,
gereja dan anggota-anggotanya menerapkan janji-janji Injil bagi dirinya dan dengan keyakian
penuh menantikan “pengadilan yang akan datang.” Menjalankan sabda Allah berarti
memisahkan diri dari dunia. Menurut Tertulianus orang kristen tidak boleh terlibat dalam
pelayanan militer, dalam pemerintahan, dalam institusi-institusi pendidikan atau dalam
berbagai urusan yang secara langsung maupun tidak langsung mendukung agama kafir.

Selama dan setelah zaman Tertulianus, kekristenan menyebar dengan sangat cepat di Afrika
Utara dan Numidia, tetapi dalam generasi setelah wafatnya gereja mengalami cobaan yang
keras, ketika kaisar Decius dan Valerian mengumumka penganiayaan universal yang pertama
19
W. Walker et. al., A History of the Christian Church, Edinburgh 1986, 75-77.
20
W. Walker et. al., A History of the Christian Church, Edinburgh 1986, 77-79.

32
terhadap gereja. Pada saat itu uskup di Carthage ialah Syprianus, seorang guru Rethorika dan
murid Tertulianus. Dia memasuki komuntias kristiani sekitar tahun 246. Dia dipilih sebagai
usukup tidak lama sebelum penganiayaan. Dia memimpin gereja selam masa-masa sulit yang
berada dalam bahaya apostasi. Dia akhrinya menjadi martir, kepalanya dipotong, pada tahun
258 setelah meninggalkan warisan berharga bagi gereja mengenai pemahamannya akan gereja
dalam cahaya jawabannya terhadap penganiayaan. Dia mengatakan, seperti Tertulianus,
bahwa tidak ada keselamatan di luar gereja. Gereja adalah perahu keselamatan. Peristiwa
penganiyaan, yang mengajak banyak umat untuk menghindari kematian dengan membeli surat
(lilbelli) palsu yang membebaskan mereka dari penderitaan ini, sebenarnya telah menempatkan
mereka di luar lingkup keselamatan. Akan tetapi para uskup Afrika dibawah tekanan dari
kesadaran pastoral mereka sendiri dan juga dari para pengaku sendiri yang mengklaim otoritas
untuk mengampuni dan merestorasi para apostates, setuju untuk menerima mereka kembali ke
dalam gereja dengan syarat bahwa mereka yang telah membeli sertifikat itu harus menjalani
masa penitensi yang panjang. Tindakan ini mengimplikasikan bahwa identitas dan kekudusan
gereja tidak bisa lagi didasarkan pada kemurnian dan kesetiaan anggota-anggotanya masing-
masing. Bahkan kekudusan para martir pun tidak bisa membayar kelonggaran sekian banyak
saudara saudarinya. Ini menimbulkan masalah besar dalam kesatuan gereja. Dipertanyakan,
atas apakah kesatuan gereja didasarkan? Apakah para skismatik – tetapi diakui tidak heretik –
juga adalah gereja? Cyprianus berpikir tidak. Dia menilai bahwa gereja didasarkan atas para
rasul yang diutus oleh Kristus. Para rasullah sebagai satu kollegio yang menjadi dasar identitas,
kekudusan dan kesatuan gereja. Jabatan apostolis ini dalam pandangan Cyprianus diteruskan
dalam para uskup, pengganti para rasul, yang masing-masing menjalankan otoritas dari
pelayanan kolektif. Pandangan ini mempunyai konsekuensi historis dan logis. Para uskup
menuntun gereja pada sistem pemerintahan sinodik. Setiap uskup di tempatnya menggantikan
dan menjalankan otoritas apostolik. Setiap uskup memiliki hak untuk memberikan suara
mengenai hal-hal yang menyangkut seluruh gereja, yang dipimpin bukan oleh perorangan
melainkan oleh kollegio para uskup sendiri. Bahkan uskup Roma – yang memiliki martabat
khusus dan hak khusus dalam kepemimpinan, sebagai pengganti St. Petrus –secara praktis
memiliki hak yang sama dengan saudaranya uskup lain. Pada waktu yang sama, cara Cyprianus
yang berfokus pada kekudusan dan identitas gereja pada diri uskup menuntun pada posisi
teologis yang diambil oleh Donatis pada abad ke empat dan ke lima.21

Gereja dan Masyarakat Roma dari tahun 180 hingga 260

Permulaan dan pertengahan dekade abad ke III – masa Tertulianus, Hippolitus, Origenes dan
Cyprianus - menandai satu periode krisis dan perubahan baik dalam kekaisaran Romawi
maupun komunitas-komunitas kristen yang ada di dalamnya. Salah satu krisis ini berkaitan
dengan dunia militer. Mulai dalam pemerintahan Marcus Aurelius ( 180), suku barbar di wilayah
21
W. Walker et. al., A History of the Christian Church, Edinburgh 1986, 79-83.

33
perbatasan sungai Rhine dan Danubio, kini diorganisir ke dalam kelompok-kelompok yang lebih
besar dan luar biasa, terus menerus menerobos dan menyerobot provinsi Romawi. Pada tahun
235 tekanan ini ditambah lagi oleh dinasti Sassinid baru di Persia yang condong merebut
kembali wilayah-wilayah yang dulu menjadi milik kaisar Darius dan Xerxes. Karena itu Roma
harus berjuang untuk mempertahankan wilayahnya.

Tekanan-tekanan militer ini bukan satu-satunya yang menjadi gangguan bagi dunia Romawi.
Nyata juga kelemahan-kelemahan lain dalam kehidupan kerajaan sendiri. Kebutuhan akan
senjata semakin membengkak baik dalam ukuran maupun kekuatan. Kebutuhan untuk hal ini
semakin banyak menyerap kemakmuran warga biasa. Pajak semakin berat dan ini pada
gilirannya mempercepat pelarian para petani yang terbebani dari tanah mereka dan bahkan
situasi ini juga memiskinkan kelas-kelas atas di kota-kota propinsi. Untuk mendapatkan lebih
banyak uang, para kaisar mengijinkan penurunan mata uang, dengan akibat inflasi melanda
kerajaan. Masalah sosial dan ekonomis ini ditambah lagi oleh apa yang menumpuk menjadi
krisis konstitusional. Marcus Aurelius telah meninggalkan praktek penggantian penguasa yang
dengannya kaisar memilih dan “mengadopsi” pengganti yang layak untuk mengemban tugas
kerajaan. Kembalinya kepada prinsip warisan gagal menghasilkan orang yang mampu
memimpin kerajaan pada masa krisis. Akibatnya, para kaisar setelah tahun 235 datang dan
pergi seturut kontrol tentara, kehidupannya tergantung pada sukses militer dan kemampuan
mereka untuk menjamin loyalitas pasukannya.

Krisis dan situasi yang tidak stabil ini juga mempunyai dimensi religius. Pada saat seperti ini
lebih dari sebelumnya kehendak baik dan bantuan para dewa sangat dibutuhkan bagi kerajaan
Romawi dan warganya masing-masing. Saat ini juga membuat jabatan kerajaan berada pada
perlunya menciptakan sanksi religius bagi para pemegeng otoritas. Satu gejala yang dominan
pada masa ini ialah hidupnya kembali kultus imperial dan mulai dengan para kaisar dari dinasti
Severius (218-235) ada usaha untuk menciptakan keseragaman religius dibawah tameng Zeus
Sol Invictus, “Matahari yang tak terkalahkan,” yang hukumnya disimbolkan oleh kaisar.

Dalam lingkup seperti ini, komunitas kristen pada abad ke tiga berada pada posisi ambigu dan
tidak pasti. Salah satu faktor penting dalam situasi ini ialah ekspansi dan konsolidasinya yang
terus berlanjut. Pada saat ini, kekristenan menyebar di Mesir, Asia Kecil, Syria, Afrika Utara dan
Italia. Kekristenan juga merupakan gerakan yang bertumbuh di Gaul dan Spanyol. Pertumbuhan
ini umumnya terjadi di perkotaan dan karena itu gampang sekali dilihat. Di beberapa tempat
para pengikutnya lumayan banyak sehingga para penulis seperti Tertulianus dan Origenes bisa
mempertanyakan apakah gereja ini bisa dimusnahkan. Selanjutnya, gerakan Kristen bukan
semata-mata satu tren pikiran atau keyakinan, sebuah “sekolah pikiran.” Untuk bergabung
dengannya seorang harus menjadi anggota komunitas yang secara terpisah diorganisir secara
sentripetal (sentralisasi), yang tidak hanya memiliki pemimpin dan pejabatnya sendiri, ritusnya

34
sendiri yang khas dalam baptisan dan ekaristi, kalender hidup dan perayaannya sendiri, harta
milik dan financialnya sendiri, tetapi juga mempertahankan kebencian yang berkelanjutan akan
fondasi-fondasi religius masyarakat Romawi. Tidak semua ambil bagian dalam pandangan keras
Montanis atau pemikir seperti Hipolitus dari Roma, yang mengidentikkan negara Romawi
sebagai Antikristus. Tetapi mereka tidak sejalan dengan dunia kafir, mereka muncul sebagai
masyarakat alternatif.

Kekristenan pada abad ini juga sedang mengalami perubahan posisi. Kehadiran mereka semakin
menarik perhatian bagi kalangan yang lebih luas. Filsuf Celsus pada masa Ireneus telah
menyerang Kristen dalam Sabda Kebenaran, yang menuntut jawaban dari Origenes sendiri.
Pada abad ke tiga, Porphyry (232-305), filsuf Napoleonis dan penafsir Plotinus (205-207)
bergerak lebih jauh dengan meluncurkan karya yang bagus dalam lima belas buku untuk
menyerang Kristen. Sebaliknya, Di antara para kaisar ada beberapa yang toleran terhadap
Kekristenan dan beberapa secara positif tertarik padanya. Caracalla (211-217) membiarkan
orang kristen hidup tanpa gangguan; meskipun Scapula, prokunsul Afrika (211-212), mulai
melawan Kristen selama pemerintahannya yang singkat. Ini tampaknya terjadi atas inisiatifnya
sendiri. Alexander Severus (222-235), dibawah pengaruh kuat ibunya Julia Mamaea,
menjalankan satu toleransi yang baik dan bahkan mempekerjakan seorang Kristen terpelajar,
Julius Africanus, untuk mengawasi pembangunan satu perpustakaan dekat Pantheon di Roma.
Benar bahwa Septimius Severus (192-211) telah mengeluarkan dekrit yang melarang
pertobatan ke Yudaisme atau kekristenan dan bahwa dekrit itu telah menimbulkan
penganiayaan lokal baik di Alexandria maupun di Carthage pada tahun 202. Tetapi secara
umum pertengahan pertama abad ketiga adalah saat damai. Penyebaran keyakinan dan
pertumbungan berlangsung baik dalam komunitas-komunitas gerejani.

Kasiar Philippus Arab, yang terkenal karena rasa simpatinya terhadap Kristen, pada tahun 247
berpartisipasi dengan khidmat dalam ritus perayaan millenium negara Romawi. Orang-orang
Kristen menolak untuk berpartisipasi dalam upacara ini karena di dalamnya dewa-dewa kuno
Romawi dimuliakan. Karena itu tidak mengejutkan bahwa pada tahun 248 Origenes telah
mengamati bahwa di tengah-tengah masyarakat luas muncul kebencian terhadap Kristen yang
dituduh sebagai kelompok luar yang tidak kooperatif. Pada saat yang sama terjadilah
serangkaian invasi Gothic ke kerajaan. Tak berhasil menghadapi serangan ini, Philipus Arab
dibuang oleh Decius (249-251). Seorang Illyrian konservatif, seorang tentara kerajaan, yang
berambisi untuk mengembalikan kemuliaan Romawi dengan kembali kepada keutamaan dan
para dewa yang telah membuat Roma menjadi besar pada masa lalu. Pada awal tahun naiknya
Decius terjadilah serangan masyarakat terhadap Kristen di Alexandria. Kemudian Decius sendiri
bertindak, menetapkan penganiayaan universal pertama terhadap gereja.

35
Tindakan ini dimulai dengan menangkap para pemipin gereja pada Januari 250. Uskup Roma,
Fabianus, diekskusi; Cyprianus dari Carthage dan Dionysius dari Alexandria lari bersembunyi.
Pada bulan Juni Decius memerintahkan agar semua penduduk kerajaan berseru kepada para
dewa untuk minta bantuan dengan mempersembahkan kurban dan selanjutnya harus
dibuktikan bahwa hal itu telah dilaksanakan dengan memperoleh sertifikat resmi (libelli).
Konsekuensi bagi orang yang melawan ialah penjara dan penyiksaan seperti yang dialami oleh
Origenes. Penganiayaan ini tidak berlangsung lama. Decius melancarkan suatu serangan militer
di Propinsi Danubio di mana dia dibunuh pada tahun 251. Tetapi akibatnya bagi gereja adalah
malapetaka besar. Origenes dan Cyprians melaporkan bahwa banyak orang Kristen yang
melakukan persembahan dan membeli libelli dari pejabat yang mau diajak berkomporomi.
Uskup Smyrna, pengganti Polycarpus yang mati martir, murtad seperti yang dilakukan oleh dua
orang uskup Afrika Utara. Pada akhir masa pemerintahan pengganti Decius, yakni Valerian (253-
260), penganiayaan diperbaharui lagi. Dekrit kali ini diarahkan secara ekplisit kepada para
pemimpin gereja – terutama para imam, kemudian awam yang berpengaruh, yang terakhir ini
diancam dengan kehilangan harta milik dan hak-hak khusus. Dalam masa penganiayaan inilah
hidup Cyprianus dan Sixtus II dari Roma diakhiri.
Penganiayaan-penganiayaan ini menimbulkan shock besar bagi kehidupan dan
pemahaman diri gereja. Hanya saja hal ini tidak sempat mengakibatkan pengurangan jumlah
yang signifikan bagi anggota gereja. Baik mereka yang telah mengadakan persembahan
(sacrificati) maupun yang membeli sertifikat (libellati) tampaknya pada umumnya berusaha
masuk kembai ke dalam gereja. Bukan iman mereka yang kalah, tetapi semangat mereka.
Mereka disemangati kembali oleh mereka yang bertahan dalam iman (mereka yang dipenjara
karena iman), yang berasumsi bahwa kesaksian yang telah mereka nyatakan memberi mereka
otoritas untuk memaafkan dan menerima kembali mereka yang telah lalai, dan orang yang,
sekurang-kurangnya di Afrika Utara, mengusulkan untuk tidak mendiskriminasikan privilegi ini.
Kelompok lain yang lebih keras menyatakan tiada maaf bagi orang yang murtad. Para uskup
seluruhnya, otoritas mereka ditantang oleh kelompok yang bertahan dalam iman, cenderung
untuk mengakui kembali orang yang lalai itu, tapi dengan syarat mereka harus menghidupi
disiplin gereja. Karena itu para uskup Afrika Utara menetapkan penitensi yang panjang bagi
para libellatici dan bahkan mengizinkan restorasi bagi sacrificati, walupun hanya pada saat
kematian.
Jalan tengah ini, dipraktekkan juga di Roma, menghasilkan reaksi dari kedua belah pihak.
Di Roma, imam Novatian, penulis risalah On the Trinity, mengorganisasi satu skisma rigoris atas
dasar keyakinan bahwa sebuah gereja yang menerima kembali orang-orang murtad
menghianati kodrat dan panggilannya. Sebaliknya, di Carthage, seorang imam lain, Novatus
namanya, memimpin satu gerakan skismatik dengan dukungan dari otoritas para pengaku iman
dan kebijakan “laxist” mereka. Walaupun penganiyaan itu tidak mengurangi jumlah Kristen
secara signifikan, namun gereja sungguh terganggu oleh timbulnya masalah dalam

36
pengampunan yang akan menjadi tema debat yang panjang. Penghentian penganiaayan dan
masuknya gereja dalam periode damai sama sekali belum mampun menetapkan dan
memantapkan status gereja dalam dunia Romawi. Penetapan yang stabil hanya bisa dihasilkan
oleh perubahan-perubahan penting dalam kehidupan Gereja dan kerajaan. 22

Perkembangan Konstitusional Gereja.

Meskipun terjadi ketidakpastian dan krisis dalam abad ke-3, namun pada umumnya
selama periode ini gereja secara relatif menikmati damai. Situasi inilah yang memungkinkan
gereja mengadakan ekspansi ke sebagian besar dunia Romawi. Perkembangan ini terjadi sejalan
dengan perkembangan dan konsolidasi organsisasi gerejani di atas dasar yang telah diletakkan
pada abad ke-2. Perkembangan ini menyentuh status dan pengartikulasian jabatan pelayanan,
organisasi internal dari masing-masing gereja dan hubungan gereja yang satu dengan yang lain.
Kata “gereja” tetap menunjuk pada perkumpulan Orang Kristen di tempat tertentu,
yakni, praktisnya, polis dengan pusat kota dan daerah pedalaman. “Kota-kota” itu berbeda-
beda ukurannya, dari pusat kosmopolitan seperti Roma, Alexandria, atau Antiokia dan berbagai
kota kecil lainnya. Di beberapa tempat, orang kristen bisa berkumpul bersama di satu tempat
untuk perayaan ekaristi rutin; di tempat lain seperti Roma dan Alexandria, pusat-pusat kedua
berkembang menjadi apa yang kemudian disebut dengan paroki (paroikia). Kesatuan komunitas
ini dihadirkan oleh kenyataan bahwa uskup setempat adalah pemimpin dan pastor untuk
seluruh kawanan. Dipilih oleh kawanan, uskup ditahbiskan dengan penumpangan tangan oleh
uskup-uskup tetangga. Ini menjadi lambang bahwa dia bukan hanya menjadi pemipin gereja
lokal tetapi juga gereja universal. Begitu ditahbiskan dia menjadi pemimpin dalam kongregasi.
Uskup ini melayani urusan finansial komunitas, dia adalah guru utama, memilih dan
mentahbiskan para pelayan lain (imam, diakon, dan yang lain), menegakkan disiplin dan
memimpin perayaan baptisan dan ekaristi. Oleh karena dia “mempersembahkan kurban”
dalam liturgi ekaristi, uskup disebut dengan sacerdos atau hierus (“imam”), sebuah nama yang
bisa juga dikenakan pada koleganya, yakni imam.
Pada abad ke tiga, selain uskup yang menjalankan kepemimpinan dalam bidang
administratif, pastoral dan liturgi, bertumbuh juga jabatan-jabatan lain yang melayani gereja.
Bermunculan juga para awam yang menduduki jabatan lain seperti para lektor, subdiakon, para
janda, para perawan, para diakones, katekis, akolit, exorcis. Yang paling menonjol ialah para
diakon yang membantu uskup baik dalam liturgi maupun pelaksanaan karya karitatif. Jumlah
mereka seringkali (seperti di Roma) dibatasi menjadi enam sesuai dengan Kis 6:3. Uskup
Fabianus di Roma (236-250), martir pada zaman penganiayaan Decius, ternyata telah membagi
kotanya, demi tujuan administrasi ekklesiastikal, menjadi tujuh wilayah yang masing-masing

22
W. Walker et. al., A History of the Christian Church, Edinburgh 1986,94-97.

37
dijaga oleh diakon. Bisa dipahami bahwa kemudian ketika seorang uskup meninggal hampir
sering kali satu dari diakon tersebut dipilih untuk menggantikannya.
Selama masa ini peran para imam menjadi penting, khususnya di gereja-gereja yang
jumlah umat atau keadaan geografisnya membuat pertemuan lokal tersendiri di bawah
pimpinan uskup menjadi sulit atau tidak mungkin. Pada awalnya ketika berkumpul bersama
uskup sebagai penasehat dan kolega, para imam memainkan peranan yang agaknya tidak jelas.
Kini dalam situasi baru ini mereka menjadi perwakilan uskup atau utusan dalam pertemuan
lokal untuk berperan sebagai pemberi instruksi dan selebran perayaan ekaristi. Dengan
demikian seorang imam kemungkinan berjalan ke, atau bertempat tinggal di, sebuah
pedalaman atau kampung di wilayah uskup tersebut, atau dia bisa juga memimpin pertemuan-
pertemuan lokal di sebuah kota besar. Di beberapa tempat, di mana wilayah keusukupan
mencakup lebih dari satu kota, imamlah yang menjadi pastor utama bagi kongregasi yang baru
didirikan, sekurang-kurangnya untuk sementara. Ada tendensi untuk meyakini bahwa setiap
pusat populasi kristen harusnya memilikinya uskupnya sendiri; di provinsi Afrika, pada akhir
abad ke tiga, ada uskup di sekitar dua ratus kota.
Bersama diakon dan para imam, anggota-anggota yang disebut dengan ordo kecil
memiliki fungsi vital dalam kehidupan gereja. Ordo pada diakones, sebagai contoh, tampaknya
lebih daripada ordo kecil, sekurang-kurangnya di gereja-gereja Siria. Instruksi-instruksi
Didascalia Apostolorum pada abad ke tiga memberikan kesaksian atas hal ini. Teks ini
menyebutkan mereka sebagai “diakon” dan dikhususkan bagi tugas pelayanan wanita dengan
alasan bahwa “Tuhan dan Penyelamat kita juga dibantu oleh pelayan-pelayan wanita.”
Subdiakon yang dikenal dari Carthage dan juga di Roma berperan sebagai para pembantu
diakon dalam tugas administratif dan liturgis mereka. Para janda didedikasikan pada tugas doa
dan kunjungan bagi orang sakit dan miskin. Lektor adalah satu jenis tugas yang paling sering
disebut. Para lektor memiliki tugas utama sebagai pembaca Kitab Suci dalam liturgi dan juga
memelihara buku-buku yang dia bacakan. Pejabat lain ialah para katekis yang mengurusi
pengorganisasian masa katekumenat.
Selain penetapan berbagai jenis jabatan pelayanan abad ke tiga juga menyaksikan
banyak perkembagan lain yang penting dalam kehidupan gereja. Para uskup menjadi pemilik
kekayaan gereja. Pada awalnya mereka menerima uang yang dipersembahkan oleh umat
beriman. Secara perlahan-lahan tempat ibadah yang sebelumnya diadakan di rumah umat,
mulai dibangun oleh para uskup atau mereka menerima sebuah bangunan untuk tempat ibadah
sebagai persembahan dari orang tertentu. Penggalian di Dura-Europas, si Siria Timur, dan
Aquileia membuktikan hal ini. Gereja di Roma tampaknya telah mulai mendapat kuburan
sendiri pada masa Zephyrinus. Kita tidak tahu persis apakah penambahan perbendaharaan
barang gereja berasal dari pemberian atau pembelian. Tapi bagaimanapun pertambahan ini
menambah beban adminstratif bagi uskup dan para diakonnya dan juga menjadi sumber

38
potensial bagi pemasukan tetap baik bagi karya karitatif mapun bagi sokongan kegiatan dan
jabatan gerejani.
Salah satu perkembangan lain yang kita lihat pada abad ini ialah, meskipun masih dalam
tahap awal sekali, penetapan organisasi gerejani yang lebih daripada sekedar tingkat level
lokal. Sebagai akibat krisis Montanis di Asia Kecil dan debat tentang tanggal perayaan Paska
pada abad ke dua, sidang-sidang para uskup telah diadakan di wialyah-wilayah untuk
mendiskusikan dan menyelesaikan masalah secara bersama. Di beberapa tempat lain, praktek
ini menjadi sesuatu yang biasa. Para uskup sebagai wakil dan pemimpin gereja berkumpul
untuk mencari penyelesaian bagi isu-isu yang mendesak ditangani atau sekedar mendiskusikan
masalah biasa. Sinode ini ada yang diadakan secara rutin. Di Propinsi Afrika, sinode tersebut
diadakan setiap tahun. Sangat erat terkait dengan perkembangan institusi-institusi konsilier,
sebuah sistem mulai muncul di mana gereja-gereja tertentu dan para uskupnya diakui sebagai
figur yang memiliki keunggulan dan otoritas khusus dalam satu propinsi atau areal tertentu.
Demikianlah misalnya Carthage menjadi situs “gereja induk” propinsi Afrika, dan para
uskupnya, sekurang-kurangnya sejak zaman Cyprianus, memanggil dan memimpin sidang para
uskup di propinsi itu. Hal yang sama, gereja Roma dan uskupnya memiliki posisi natural untuk
mengawasi kebanyakan gereja di Italia, seperti Alexandria terhadap gereja di Mesir. Sistem ini
kemudian berkembang menuju pada berdirinya, seperti di Timur, gereja dan uskup
“Metropolitan” setelah abad ke IV. Bebarapa gereja, terutama Roma, Alexandria, Antiokia dan
Carthage, diakui sebagai gereja yang memiliki otoritas yang meluas sampai ke luar wilayah
propinsi. Gereja ini akan disebut “patriarkal” dan di Barat seperti juga di Alexandria di Timur,
uskup yang duduk di tahta inilah yang digelari “paus”.23

Model kehidupan Kristen.

Baptisan,24 perayaan Ekaristi,25dan praktek pengampunan dosa26yang khas dan tuntutan


moral idealnya yang tinggi membuat gereja pada abad ke dua dan ketiga memandang dirinya
sebagai suatu masyarakat yang agak “terpisahkan” – dipimpin oleh Roh yang berbeda dari roh-
roh yang memimpin dunia pada umumnya. Sumber pikiran dan sikap hidup ini pastilah berasal
dari pandangan dunia apokaliptik Yahudi. Karena menolak kerusakan politis, moral dan religius
dari satu dunia yang terperangkap dalam jaring kejahatan, para apokalips bersandar pada masa
depan, kepada satu masa baru bilamana Allah menghukum si jahat, mengganjari orang benar
yang menderita dan dengan demikian menjadikan ciptaan menjadi benar. Akan tetapi karena
mereka yang telah mempercayai pesan kebangkitan Yesus dan dengan baptisan telah masuk ke
dalam kehidupan yang baru telah menyadari diri sebagai orang yang telah mengambil bagian
23
W. Walker et. al., A History of the Christian Church, Edinburgh 1986, 98-101.
24
W. Walker et. al., A History of the Christian Church, Edinburgh 1986, 104-108.
25
W. Walker et. al., A History of the Christian Church, Edinburgh 1986, 108-110.
26
W. Walker et. al., A History of the Christian Church, Edinburgh 1986, 111-113.

39
dalam kebahagiaan pada saat ini dan di masa yang akan datang. Mereka juga tahu bahwa hidup
sebagai orang yang “disalibkan...bagi dunia ini” adalah tugas utama mereka (Gal 6:14).
Semangat inilah yang mendorong orang beriman untuk menghadapi kemartiran. Para martir
bukan hanya orang yang tetap berdiri teguh demi keyakianan mereka. Mereka adalah para
pemenang dalam perjuangan antara yang baik dan yang jahat. Mereka mengambil bagian
dalam penderitaan Kristus dan kepenuhan hidup Kristus di zaman yang akan datang. Para
martir adalah pengikut sempurna hidup Kristus yang bersama dengan Tuhan sungguh-sungguh
disalibkan kepada dunia dan karena itu menjadi satu model bagi semua Kristen. 27

Rest and Growth

Pada tahun 260, kaisar Valerian (253-260), yang berperang melawan Persia, dikalahkan dan
ditawan oleh Sapor I (234-270). Puteranya, kolega dan penggantinya Gellienus (253-268)
kemudian menghapus edik pengejaran yang dikeluarkan bapaknya, dan untuk empat puluh
tahun ke depan gereja-gereja Kristen mengalami sebuah periode tenang tanpa pengejaran
resmi. Periode masa pertumbuhan ini, konsolidasi dan damai gereja merupakan saat krisis bagi
kerajaan yang semakin meruncing, ketika kelangsungan hidupnya diragukan. Di sungai Rein,
Danubi dan perbatasan Timur selalu ada tekanan dan serangan. Lebih lagi kemampuan para
kaisar dan senjata untuk menghempang ancaman luar ini semakin lemah oleh munculnya
berulang kali perampasan dan mendesaknya keperluan untuk berjuang menghadapi perang
sipil. Persia tiga kali menyerang wilayah propinsi di Timur. Suku Gothic menerobos melalui
Danubio dan tidak hanya merampas Balkan dan Yunani, tetapi dua kali menerobos ke Asia Kecil.
Dari satu titik konfederasi suku Jerman memangil para Franks yang telah tiba di Spanyol dengan
menyeberangi sungai Rein dan bahkan meramps Afrika Utara. Di bawah tekanan ini, para kaisar
tampaknya untuk sementara tidak mampu mempertahankan kerajaan. Selama empat puluh
tahun (259-273), terdapat sebuah “kerajaan” independen di Gaul dengan ibukota di Augusta
Trevirorum (Trier). Di Timur, kerajaan Palmyra, di bawah ratu Zenobia (267-273) memperluas
wilayahnya ke Syria, Mesopotamia, Mesir dan sebagian Asia Kecil dan memimpinnya sebagai
negara yang independen. Hanya di bawah pimpinan Claudius Gothicus (268-270) dan Aurelius
(270-275) gelombang ini kembali ke posisi semula dan kerajaan bersatu kembali melawan para
musuhnya. Dan Diocletianus lah (284-305) yang mampu dengan serius mengarahkan pikiran
kepada reformasi internal dan penataan kembali susunan Roma yang sempat tergoncangkan.
Selama masa ini, persoalan Kristen dan statusnya, yakni masalah pendirian religius dan loyalitas
pada kekaisaran, terabaikan tidak mendapat perhatian.
Pada akhir periode ini, kekristenan hadir kembali di semua bagian kekaisaran dan
pemeluknya berkisar lima juta orang. Pusat utamanya ialah di Asia Kecil, Mesir, Syria, Afrika
Utara dan Italia pusat. Di Mesir dan Afrika Utara secara khusus, gereja berhasil memenangkan

27
W. Walker et. al., A History of the Christian Church, Edinburgh 1986, 114-117.

40
loyalitas penduduk kampung. Pada saat yang sama orang-orang dari kelas tinggi sudah mulai
menjadi anggota komunitas kristiani. Pada masa Diocletianus sudah ada orang Kristen yang
menjabat di staff kerajaan dan tingkat propinsi keanggotan gereja sudah mencakup para
magisterartes. Selanjutnya pada masa Diocletianus sudah ada orang kristen di dalam tubuh
militer – mungkin sebagai hasil dari wajib militer yang menimbulkan masalah dari waktu ke
waktu oleh keengganan mereka dalam menghormati dewa-dewi kafir. Karena itu gereja
berkembang tidak hanya secara geografis tetapi juga secara sosial, dan keanggotaannya
mendekati satu titik yang bisa menghadirkan kekacauan dalam masyarakat umum. Pertengahan
terakhir dari abad ke tiga tampaknya tidak banyak menghasilkan pemikiran teologis. Tahun-
tahun terakhir dari abad ini menyaksikan Eusebius dari Caesarea (ca 260-340) – murid dari
imam Pamphillus, yang dulu adalah murid dari Origenes – memulai karya monumentalnya
Ecclesiastical History, yang selesai pada tahun 323.28

Kekuatan religius yang menjadi saingan

Abad ketiga, selain mencirikan masa ekspansi dan konsolidasi bagi gereja, merupakan masa
perubahan religius bagi dunia Romawi secara keseluruhan. Kekafiran sendiri mengalami
perubahan dalam model pemikirannya. Perhatian pada dewa-dewi intrakosmis dari agama
klasik yang sebelumnya mendapat perhatian khusus kini lebih terarah kepada Allah kudus
pemberi hidup dan transenden yang kekuatannya mereka hadirkan. Perkembangan ini nyata
secara khusus dalam evolusi kultus kaisar. Para kaisar, walau mereka adalah mahluk manusiawi,
tidak lagi dipandang sebagai dewa-dewa. Tetapi mereka dilihat sebagai orang-orang yang
berkat jabatan mereka dilahirkan dari dewa-dewi, yakni orang yang ambil bagian dalam
kesucian Ilahi dan mengalami perlindungannya. Dalam pemikirian seperti inilah Diocletianus
menyebut dirinya “Jovius,” suatu model yang tidak bermaksud mengidentikkan dia dengan
Yupiter, tetapi bahwa dia mewakili dewa itu dan termasuk ke dalam “keluarganya.”
Di balik perubahan arti kultus kaisar ini terletak perkembangan monoteisme solaris –
penyembahan matahari pemberi hidup sebagai simbol Allah terakhir yang adalah sumber dari
semua hal dan yang tidak jarang diidentikkan dengan Apollo. Disemangati oleh para kaisar dari
dinasti Severius pada awal abad ke tiga, popularitas kultus ini berkembang sejalan dengan
perjalanan waktu. Kaisar Aurelian membangun sebuah kuil bagi Matahari yang Tak Terkalahkan,
yang dimaksudkannya menjadi pusat kehidupan religius kerajaan. Orang kristen pada abad ke
empat tidak punya cara lain selain menyaingi dewa populer ini dengan menggunakan ulang
tahunnya, 25 Desember, sebagai momen untuk merayakan kelahiran Kristus, Matahari
Kebenaran. Pada tingkat yang lebih populer, penyembahan matahari dan kehidupan
transenden yang dihadirkannya mewujud dalam kultus Mithras yang tersebar luas, dewa Iran
Cahaya Pagi. Sebagai aliran keyakinan yang lebih populer di Barat daripada di Timur, dan

28
W. Walker et. al., A History of the Christian Church, Edinburgh 1986, 117-119.

41
khususnya berpengaruh dalam kelas pasukan Romawi, misteri Mithras ini tidak hanya
mempersembahkan immortalitas kepada anggota barunya tetapi juga menanamkan etika keras
demi kesetiaan, tindakan yang baik dan kontrol diri.
Tidak terpisah dari perkembangan ini ialah bangkitanya Noeplatonisme, sekolah filosofis
yang ajarannya pada abad ke tiga dan ke empat menjadi mesin penghidup kembali kekafiran
dan sumber pertentangan antara orang-orang terpelajar terhadap klaim kekristenan. Aliran lain
yang menjadi lawan kekristenan ialah Manichaeanisme yang masuk ke Kekaisaran Romawi dari
Persia. Gerakan religius ini didirikan oleh guru dari Persia yang bernama Mani (216-277).
Manichaeanisme ini adalah iman dualistik yang sangat terkait dengan Gnositicisme. Tema dasar
Mani ialah konflik antara Terang dan Kegelapan yang tidak bisa pernah didamaikan. Keduanya
dipimpin oleh rajanya masing-masing. Penciptaan tatanan dunia sekarang ini adalah hasil
konflik dari kedua kerajaan ini, di mana Kegelapan berusaha menelan Terang dan akhrinya
sebagian berhasil. Panggilan manusia ialah mengakui bahwa kodratnya ialah campuran dari
terang dan kegelapan. Dengan bantuan para utusan dari Terang – Buddha, Joroaster, Yesus,
dan Mani sendiri – manusia dimurnikan dari kegelapan. Pemurnian ditimbulkan oleh
pemantangan diri dari segala sesuatu yang mengikat individu dengan materi. Masuk secara
penuh ke iman Manichaean terjadi dengan penolakan dunia secara keseluruhan. Mereka tidak
bekerja dan tidak menikah, tidak memiliki apa-apa, mereka menolak semua yang tidak murni.
Gerakan ini dengan cepat menyebar sampai ke kekaisaran Romawi, terutama di Afrika Utara
dan Siria. Pada Abad Pertengahan muncul satu gerakan yang secara tidak langsung dipengaruhi
oleh gerakan ini, yakni Albigensianisme di bagian selatan Prancis.29

Babak baru dalam perjuangan gereja

Pada tahun 284 Diocletianus menduduki kursi kekaisaran. Orang Dalmatia yang berasal dari
golongan rendah ini menjadi terkemuka dalam tubuh militer dan diangkat ke martabat kerajaan
oleh para pasukannya. Kendatipun terus menerus perlu bagi kerajaan untuk terlibat dalam
perang untuk mempertahankan perbatasan, krisis militer abad ke tiga bisa dikontrol dengan
baik sehingga Diocletianus mampu mengalihkan pikirannya pada rekonstruksi internal – dinasti,
militer dan ekonomi. Langkah pertama yang termaktub dalam programnya ialah menghunjuk
Maximian,30 kolleganya sebagai Augustus kedua pada tahun 285 untuk berbagi otoritas guna
mengawasi urusan-urusan di bagian barat kerajaan. Langkah berikutnya ialah mengangkat dua
orang kaisar yang masing-masing tunduk kepada salah satu Augustus yang menjadi atasannya.
Mereka memegang tanggung jawab untuk memimpin dan mempertahankan bagian-bagian dari
kerajaan dan mereka juga dihunjuk menjadi pewaris kedua Augustus tersebut. Diocletianus
memilih Galerius sebagai kaisarnya dan Konstantius I, ayah dari Konstantiunus Agung, dipilih
29
W. Walker et. al., A History of the Christian Church, Edinburgh 1986, 119-121.
30
Maximianus: augustus di Barat memilih kaisarnya, Konstantius Khlorus; Diocletianus: agustus di Timur memilih
Galerius sebagai kaisarnya.

42
oleh Maximian menjadi kaisarnya. Meskipun ada empat pemimpin, namun kerajaan masih
tetap satu. Setelah itu Diocletianus menggandakan jumlah propinsi dengan menetapkan
kembali batasan-batasnya dan kemudian mengelompokkan propinsi-propinsi baru ini ke dalam
wilayah administratif yang lebih luas yang disebut dengan “dioceses,” yang masing-masing
dipimpin oleh “vicar” atau gubernur general. Banyak hal lain yang dibuatnya. Singkatnya
Diocletianus mulai menciptakan bentuk kerajaan Romawi dengan Byzantium sebagai
ibukotanya sampai 1453.
Berkaitan dengan agama, seperti para pendahulunya, Diocletianus dan colleganya yakin
bahwa nasib Roma tergantung pada persekutuannya dengan para dewa. Bagi Diocletianus dan
kaisarnya, Galerius, “para dewa” itu berarti para pelindung kuno Roma – dia mengasosiasikan
dirinya dengan kekuatan Yupiter. Tapi ini tidak berarti bahwa dia condong pada pembasmian
agama-agama lain. Sebagian besar dari masa pemerintahannya dicirikan oleh toleransi yang
menandai kebiajakan para pendahulunya, meskipun memang benar bahwa Galerius secara
nyata-nyata bermusuhan dengan kekristenan. Akan tetapi menjelang akhir pemerintahannya
situasi membuatnya yakin bahwa keberadaan kekristenan memutuskan kelekatan antara Roma
dan para dewanya. Tidak hanya orang Kristen yang ada dalam tubuh tentara yang menghina
para dewa ini dengan menolak untuk mengakui mereka, tetapi Diocletianus juga mendapat
informasi dari para imamnya bahwa, karena kehadiran orang “awam” dalam kerajaaan
(diperhitungkan orang Kristen), penubutan tradisionil, yang dengannya para kaisar mengetahui
kehendak para dewa, menjadi kosong, tidak jalan lagi: para dewa tidak lagi bisa menjawab. Dan
ketika Diocletianus menyuruh utusan ke kuil Apollo di Miletus untuk meminta apa yang harus
dibuat Diocletianus untuk menghadapi situasi tersebut, jawabannya adalah sikap tidak simpati
terhadap orang Kristen. Dengan demikian Diocletianus dipengaruhi untuk mengikuti garis yang
disenangi oleh Galerius, dan dia mulai mengadakan satu seri tindakan untuk mengusir orang-
orang Kristen pertama-tama dari lingkungan kerajaan dan tentara, dan kemudian dari seluruh
kerajaan.
Mulai pada bulan Februari 303 dikeluarkan tiga edik penganiayaan yang dilaksanakan
tidak lama sesudahnya. Gereja-gereja dihancurkan, buku-buku suci di sita dan akhirnya imam
dipenjarakan dan dipaksa untuk melakukan persembahan. Pada tahun 304, edik ke empat yang
diterbitkannya mendesak agar semua orang Kristen melakukan persembahan. Seperti di Timur
pada umumny dan di Afrika Utara dan Italia, efek dari edik-edik ini sama dengan penganiayaan
pada masa Decius dan Valerian. Beberapa orang beriman dijadikan martir, banyak yang
menderita, dan banyak yang murtad. Pada tahun 305, karena kesehatan yang memburuk,
Diocletianus mundur dari jabatannya sebagai Augustus dan memaksa pengunduran diri
koleganya, Maximian. Pengunduran diri ini tidak menghentikan penganiayaan. Memang benar
suasana damai datang kepada gereja-geraja di Barat, karena Agustus baru, Konstantius I,
berpikir bahwa kebijakan penganiayaan merupakan langkah yang buruk. Tetapi di Timur,

43
Augustus senior, Galerius, dan kaisarnya yang baru, Maximinus Daia, meneruskan penganiyaan
yang sama kerasnya.
Sementara kerasnya penganiayaan semakin hebat di Timur, sebuah bintang baru terbit
di Barat. Pengunduran diri Diocletianus telah menurunkan dari kuasa orang yang otoritasnya
kiranya memelihara sistem suksesi baru dalam jabatan kerajaan. Ketidakhadirannya membuat
kuasa tentara untuk berusaha menghancurkan para kaisar bangkit lagi. Pada tahun 306,
Augustu baru di Barat, Konstantius I, tiba-tiba meniggal di York di Inggris. Puteranya,
Konstantinus, yang baru saja kembali ke sisinya setelah lama tinggal di istana Diocletianus,
dengan segera diserukan menjadi kaisar oleh pasukan Konstantius. Oleh dukungan dari tentara
ini, Konstantinus memaksa Galerius untuk mengakuinya sebagai “kaisar,” dan kepadanya
diberikan Inggris, Gaul dan Spanyol sebagai wilayah kekuasaannya. Secara teoritis, dia menjadi
bawahan dan pewaris Severus, yang telah menggantikan Konstantius sebagai Augustus di Barat.
Akan tetapi Severus ditangkap dan dibuang oleh perampas lain, Masentius, putera dari
Maximian yang menyatakan dirinya penguasa Italia dan Afrika Utara. Pada akhir dekade
pertama dari abad ke empat, Barat dibagi di antara Konstantinus dan Masentius yang
memegang sebuah gencatan senjata yang semakin tidak gampang.
Sebelum terjadi peperangan yang menentukan bagi wilayah Barat, kaisar Galerius di
Timur mengeluarkan, dari pembaringannya yang sudah dibatasi geraknya oleh penyakit, sebuah
edik toleransi bagi orang Kristen. Diterbitkan pada tahun 311, edik ini mengakui bahwa tujuan
penganiayaan belumlah selesai. Orang Kristen belum kembali kepada “persuasi nenek moyang
mereka” atau berhenti “membuat diri mereka sendiri menjadi hukum otonom.” Selain itu, tidak
saja mereka tidak melayani para dewa Roma, tetapi mereka juga telah dicegah oleh
penganiayaan dari menyembah allah mereka. Berdasarkan situasi ini dan tentu saja dengan
beberapa ide bahwa sakitnya diakibatkan oleh sikapnya kepada allah kristen, Galerius
menyatakan bahwa Orang kristen bisa exis kembali dan bahwa adalah tanggung jawab mereka
untuk berdoa bagi allah mereka demi kebaikan kerajaan. Kebaikan ini ternyata memberikan
keringanan bagi penyakit Galerius. Dia meninggal segera sesudah dia mengumumkan toleransi.
Meninggalnya Galerius meninggalkan empat orang yang bersain dalam kerajaan. Di timur,
Licinius, yang mengontrol wilayah utara Hellespont menghadapi Maximinus Daia, yang
memegang Asia Kecil, Syria, Palestina, dan Mesir. Maximinus memperbaharui kembali
penganiyaan terhadap Kristen tidak lama setelah meninggalnya Galerius dan bergabung dengan
Massentius di Barat untuk mengkounter sekutu yang sudah ada antara Konstantinus dan
Licinius. Pada tahun 313, Licinius menaklukkan Maximinus dalam satu pertempuran di dekat
Heraclea Pontica dan mengambil alih sektor barat kerajaan. Di Barat, Konstantinus, dengan
pasukan yang tampaknya terlalu kecil untuk misinya, telah menyeberangi pegunungan Alpen
dan memenangkan beberapa kontak perang dengan pasukan Massentius di Utara Italia.
Dengan mengambil resiko, dia terus bergerak ke selatan untuk menghadapi Massentius yang
dengan jumlah yang lebih banyak telah menarik diri ke belakang tembok Roma. Kekacauan-

44
kekacauan di Roma yang mengakibatkan popularitasnya hilang, menuntun Massentius untuk
membawa pasukannya ke luar dari kota dan untuk menghadapi kekuatan Konstantinus di
depan jembatan Milvio yang menghubungkan sungai Tiberius.
Peristiwa inilah yang mengubah arah sejarah baik gereja maupun kerajaan. Seperti
ayahnya, Konstantinus adalah aktor utama yang tidak setuju dengan penganiayaan orang
Kristen. Tetapi juga seperti ayahnya, dia menganut monoteisme matahari yang kabur yang
dipopulerkan oleh Aurelius, suatu kultus yang sejalan dengan sensibilitas kafir. Tetapi pada
waktu fajar sebelum pertempuran di jembatan Milvio, Konstantinus bermimpi. Dalam mimpi itu
dia melihat huruf-huruf awal nama Kristus denagn kata-kata, “Dengan tanda ini kau akan
menang.” Dengan mengambil huruf itu sebagai tanda kenabian, dia berhasil menyandarkan
usahanya kepada Allah orang Kristen dan melukiskan mongram Chi-Rho (X disilangkan dalam
huruf P) dalam tameng para serdadunya. Di dalam pertempuran yang sedang terjadi,
Massentius kehilangan kekuatan dan hidupnya. Konstantinus memenangkan kontrol atas
wilayah Barat. Ketika ia memasuki Roma dengan membawa kemenangan, Konstantinus
mengingat kepada siapa dia telah berhutang atas
kemenangannya. Kebiasaan untuk mengucapkan
syukur keapda dewa-dewi Romawi dihilangkan.
Dia memandang Allah kristen sebagai pelindung
kerajaan dan sponsor misi untuk mereformasi dan
merekonstruksi.
Konstantinus tentu saja sangat berhati-hati
dalam memperkenalkan kepada sekutunya apa
yang ada dalam pikirannya. Dia menerima
lambang kafir Pontifex Maximus, dan koinnya
masih menunjukkan lambang Dewa-Matahari.
Pada pertemuan di Milano tahun 313, dia dan
Licinius mencapai kesepakatan tentang perlakuan
terhadap Kristen yang lebih dari sekedar toleransi
menjadi sejenis penetapan gereja. Kekristenan
diberikan kebebasan untuk menjalankan
ibadahnya seperti kultus-kultus lain, dan
memerintahkan restorasi semua milik gereja yang
dirampas selama penganiyaan. Akan tetapi Licinius agak enggan melaksanakan kesepakatan ini.
Dia bukanlah penganiaya, tetapi masih seorang pengikut kafir yang loyal – juga dia tidak
condong untuk memberikan privilege kepada gereja. Ketika tegangan antara dia dan
Konstantinus semakin bertambah selama dekade berikutnya setelah pertemuan mereka tahun
313, Licinius mengeluarkan atauran yang semakin keras bagi kehidupan publik gereja. Karena
itu sebagai pemenang iman Kristeni, dan tidak sekedar orang yang punya misi politis,

45
Konstantinus menemukan alasan untuk menyerang wilayah Licinius pada tahun 324. Dikalahkan
dalam dua kali pertempuran, Licinius menarik diri ke Tesalonika dan akhirnya dibunuh.
Konstantinus menjadi penguasa tunggal kerajaan, dan gereja tumbuh dan pada periode
berikutnya kerajaan Romawi dan gerakan Kristiani menjadi satu.31

STATUS GEREJA DALAM KERAJAAN

Situasi yang berubah

Pada awalnya, dalam pikiran Konstantinus, ada perbedaan tipis antara monoteisme
kristiani dengan kultus matahari yang dia anut. Tetapi jelas bahwa Allah Kristenlah yang
membawa Konstantinus kepada kemenangan di tembok Roma, dan setelah kemenangan itu
kepada gereja Kristenlah Konstantinus mempersembahkan persembahan kepada satu Allah,
“summa divinita,” penyembahan satu-satunya bisa menjamin kesejahteraan kerajaan dan
keberhasilan usahnya. Dalam semangat inilah dia memerintahkan Anulinus, pemerintah
propinsi Afrika untuk membebaskan imam “gereja katolik” dari kewajiban sipil, supaya mereka
bisa membaktikan waktu mereka sepenuhnya untuk melayani Allah untuk “mendatangkan
keuntungan yang tidak terhingga bagi kehidupan umum.” Dia bahkan memandang dirinya
bertanggung jawab untuk menjamin kesejahteraan gereja supaya, lewat ibadatnya, gereja bisa
menjamin kesejahteraan penduduk kerajaan.
Komitmen ini terbukti dari tindakan-tindakannya setelah tahun 313. Pada tahun itu juga
dia memakai pejabat gerejani, yakni uskup Hosius dari Cordova, seorang Spanyol sebagai
penasehatnya. Sumbangan uang diberikan kepada masing-masing gereja untuk tujuan karitatif.
Dia mendirikan basilika dengan biaya dari dia sendiri untuk menjadi tempat ibadat Kristen. Pada
tahun 321 dia mengeluarkan dekrit yang mengizinkan penerimaan warisan. Dekrit ini
memberikan kepada para uskup status badan hukum. Dia menetapkan secara hukum bahwa
Hari Matahari, “hari pertama” Kristen harus menjadi libur mingguan dari kerja. Para uskup
dalam kasus tertentu diberi kuasa untuk mengambil kepustusan yang mempunyai efek hukum.
Ketika membangun kota Konstantinopel dia hanya menggunakan bentuk tempat kudus Kristen
dan tidak lagi menyediakan tempat bagi ibadat kafir. Kebijakan yang diambil oleh Konstantinus
tidak secara otomatis mendapat dukungan dari kelompok kafir yang pada saat itu
mendominaasi kelas atas dan terpelajar. Kelompok kristen sendiri berdasarkan pemahaman
yang berbeda mulai membuat pemisahan dan menciptakan konflik yang harus mendapat
penanganan dari Konstantinus. Skisma Donatisme berasal dari konflik idiologi mengenai
kemartiran. Dalam tradisi Tertulianus dan Cyprianus sendiri, masyarakat kristen Afrika Utara

31
W. Walker et. al., A History of the Christian Church, Edinburgh 1986, 122-125.

46
terus mengagungkan panggilan martir dan semangat melawan dunia. Para penganutnya juga
yakin akan kebenaran ajaran Cyprianus bahwa Roh Kudus tidak bisa diberikan dalam satu gereja
yang uskupnya, karena alasan kemurtadan atau dosa besar, tidak pantas lagi menjabat sebagai
uskup. Karena itu selama masa penganiayaan di bawah Diocletianus terjadi perlawanan
terhadap uskup Carthage, Mensurius, dan diakon agungnya, Cecilianus, ketika mereka secara
terbuka menolak kultus para martir dan terkesan kurang memberi hati untuk melawan kuasa
jahat. Ketika Mensurius wafat dan Cecilianus dipilih dan ditahbiskan menjadi uskup, banyak
orang kristen di propinsi Afrika diasingkan. Pengasingan ini menjadi skisma ketika dituduh
bahwa salah satu uskup yang mentahbiskan Cecilianus telah murtad dengan menyerahkan buku
suci kepada penguasa pada masanya. Oleh karena itu tahbisan itu tidaklah sah dan Cecilianus
tidaklah uskup. Jadi pada masa Konstantinus muncul ke permukaan gereja Afrika yang
terpecah. Cecilianus memimpin sebuah kelompok yang disebut “katolik” karena dia berada
dalam persatuan dengan gereja-gereja di dunia Romawi; lawannya adalah Donatus agung,
seorang figur karismatis yang memimpin “gereja para martir.” Ketika Konstantinus mengakui
kelompok Cecilianus sebagai gereja Kristen di Afrika, para Donatis menyerukan kepadanya
suatu pengadilan formal yang menuntut bahwa mereka dan hanya mereka sajalah gereja yang
sah. Dengan demikian kaisar terlibat langsung dalam urusan internal gereja.
Dengan demikian Konstantinus mulai memasukkan masalah gerejani ke dalam kebijakan
kerajaan. Dia menyerahkan masalah ini kepada dua konsili para uskup secara berturut-turut:
yang pertama, kepada uskup Roma, Miltiades, yang harus bersidang dengan tiga uskup Gaul;
kemudian. Ketika para Donatis menolak keputusan Miltiades yang melawan kasus mereka,
Konstantinus memanggil sebuah konsili yang lebih besar yang diadakan di Arles (314), di Gaul.
Lagi, tuduhan Donatis bahwa tahbisan Cecilianus tidak sah karena salah satu dari penahbisnya
adalah orang yang murtad. Prinsip Donatis menegaskan bahwa imam yang tidak layak secara
moral tidak bisa bertindak sah dan karena itu dia harus ditolak. Usaha-usaha untuk mengatasi
skisma ini tidak berhasil. Dengan singkat Konstantinus berusaha mencekik Donatisme dengan
paksa, tapi dia segera menyerah. Skisma berlanjut dan “bagian dari Donatis” berkembang di
Afrika dengan mengklaim diri sebagai satu-satunya gereja yang benar dan sungguh-sungguh
menjadi perwujudan semangat tradisional kekristenan Afrika.32

Kontroversi Arian sampai wafat Konstantinus

Ketika pada tahun 324 Konstatinus mengambil alih kontrol atas bagian Timur kerajaan,
dia berhadapan dengan suatu debat sengit yang memecah seluruh wilayah yang dulu dipimpin
oleh Licinius. Kali ini yang menjadi persoalan ialah masalah teologis berkaitan dengan teologi-
Logos: masalah kodrat atau status Sabda dan Putera Allah dan hubungannya dengan Allah di
satu sisi dan dengan tatanan ciptaan di pihak lain. Masalah ini tak terselesaikan secara resmi

32
W. Walker et. al., A History of the Christian Church, Edinburgh 1986, 129-131.

47
selama enam puluh tahun. Hal ini mengakibatkan perlunya memikirkan kembali cara
pengungkapan kristiani mengenai pemahamannya akan Allah. Kontroversi ini sudah dimulai di
Alexandria, kemungkinan tahun 318. Imam Arius yang memimpin “paroki” kampung di Baucalis
dan seorang yang terkenal di gereja Alexandria, mengajukan pandangan bahwa Logos adalah
suatu ciptaan yang diciptakan Allah “dari ketiadaan.” Sebagai ciptaan, Logos bisa berubah dan
bisa, sekurang-kurangnya dalam prinsip, muncul dalam keutamaan atau keburukan, persis
seperti manusia. Lebih lagi, Arius berpikir, ada satu “waktu” – suatu “ketika” – di mana Logos
tidak ada. Uskup Alexandria, Alexander (312?-328), setelah mendengar pandangan ini
dihadirkan dalam sebuah debat antara Arius dan seorang guru lain, memutuskan bahwa Arius
salah. Dia harus berhenti memajukan pendapat itu. Akan tetapi Arius tidak sendiri. Dia memiliki
pendukung baik dari kalangan imam maupun awam. Dia menjelaskan bahwa dia bermaksud
untuk terus menyebarkan pandangannya. Skala kontroversi bertumbuh. Akhirnya, sekitar tahun
320, Alexander membuang Arius dan pengikutnya dengan sebuah konsili yang terdiri dari
sekitar seratus orang uskup Mesir; tetapi pada waktu itu Arius telah melarikan diri ke Palestina,
tentu saja di luar Mesir dia akan mendapatkan simpati dan pendukung. Antara lain dia
memenangkan Eusebius Nicomedia yang sangat berpengaruh (+ca.342), uskup ibukota kerajaan
di Timur dan seorang murid Lucianus dari Antiokhia, sama seperti Arius. Untuk sementara Arius
tinggal bersama Eusebius di Nicomedia dan kemungkinan besar di sanalah dia menulis Thalia
nya, sebuah karya yang mencakup pandangannya secara kurang lebih sistematis. Di antara
mereka, Arius dan Eusebius, melalui kampanye dalam bentuk surat, mencoba menekan
Alexander untuk merestorasi Arius; sebagai jawaban Alexander memakai kampanye
korespondensinya sendiri dengan menegaskan bahwa penolakan Arius atas keilahian
Logos/Putera adalah penghujatan. Uskup ini berpendapat bahwa Putera diturunkan secara
kekal, tanpa referensi pada waktu, datang “dari Allah sendiri” dan bukan “dari ketiadaan,” dan
tidak berubah dan sempurna. Akan tetapi posisi yang menggemakan subordinasionisme
Origenes ini menimbulkan tanggapan dari Arians bahwa Alexander mengajarkan dua Allah yang
sama– dua “yang tak dilahirkan.”
Masalah utama dalam debat ini ialah Logos. Masalah ini pada gilirannya tergantung pada
interpretasi dari istilah Yunani, gennetos yang diaplikasikan kepada Putera. Secara tradisional
diterjemahkan dengan ‘dilahirkan’ dalam terminologi filosofis Yunani kata tersebut memiliki arti
yang lebih luas dan juga lebih kabur. Kata tersebut menunjuk pada segala sesuatu yang dengan
cara apa saja “menjadi ada” dan kemudian apa saja yang “derivative” atau “diturunkan.”
Pemikiran kristen telah terlatih mengungkapkan pendirian monoteistiknya dengan menegaskan
bahwa hanya Allah yang agennetos (underived, ungenerated): yakni prinsip pertama yang unik
dan absolut. Berbeda dengan Allah, semua adaan lain - termasuk Logos, Putera Allah –
dilukiskan sebagai generated. Ini tentu saja mengimplikasikan tidak hanya bahwa Logos adalah
subordinated kepada Allah, tetapi juga bahwa Logos mempunyai sesuatu yang sama dengan
ciptaan yang tidak dimiliki oleh Allah – beberapa kualitas “keterciptaan.” Namun “Sesuatu yang

48
sama,” tidaklah harus mengimplikasikan identitas absolut, dan tradisi teologi Yunani biasanya
membedakan cara penurunan Logos/Putera dari cara penurunan ciptaan seperti jiwa atau
tubuh manusia. Yang terakhir ini menjadi ada ‘dari ketiadaan’; sebaliknya Logos “dilahirkan”
dari Allah dan karena itu berada pada tingkat kedua tetapi tetap ilahi dalam arti yang
sebenarnya. Karena itu yang ditunjukkan oleh tradisi Yunani adalah sebuah pluralisme persona
ilahi dalam suatu hirarki adaan. Ada sebuah prinsip pertama yang tak berubah dan kekal, Allah,
yang membangkitkan Putera dan Image, Logos, dan melalui Image dirinya sendiri menjadikan
dunia ciptaan“dari ketiadaan”.
Arius segera menentang tradisi ini. Dia memegang ide hirarkis bahwa Logos menjadi
pengantara Allah dan dunia, tetapi pada waktu yang sama dia berpendapat bahwa antara
ungenerated dan generated, Allah dan ciptaan, tidak mungkin ada istilah ontologis
pertengahan. Mediator haruslah atau Allah atau ciptaan, karen tidak bisa ada dua Allah, maka
Putera adalah ciptaan. Pastilah dia adalah ciptaan yang paling mulia, instrumen Allah dalam
penciptaan dan penebusan, dan karena itu dia adalah ciptaan dalam tingkat yang berbeda dari
yang lain. Meskipun demikian, dia adalah ciptaan yang bisa dikenai perubahan, dan barangkali
karena alasan itulah dia menjadi model kemanusiaan yang telah diciptakan “menurut gambar
Allah,” yakni menurut model Logos. Sebaliknya, posisi orang seperti Alexander, yang ingin
menekankan keilahian Logos dan kepersisannya yang pasti dengan Allah, tampaknya
melibatkan satu dari dua asumsi yang mungkin. Atau ada dua Allah yang sama, atau yang lain
tidak ada, seperti dipikirkan oleh para monarchianis, perbedaan nyata antara Bapa dan Putera.
Singkatnya, baik Arius maupun Alexander sebenarnya mempermasalahkan apakah skema
hirarkis tradisional, yang menjembatani jurang antara Allah yang tidak berubah dan ciptaan
yang berubah dengan merujuk pada Logos sebagai perantara, bisa ditopang. Dalam drama
pertama ini, uskup-uskup gereja Timur yang bingung dan tidak pasti ini berakhir dengan
menolak kedua posisi tersebut dan meneguhkan kembali tradisi yang dimiliki Arius dan
uskupnya, dengan cara yang berbeda. sikap ini memiliki bahaya tertentu.
Tidak hanya kebingungan yang ditemukan oleh Konstantinus di Timur pada tahun 324.
Banyak pemimpin gereja yang memihak, dan ada juga konflik terbuka yang sangat memalukan
dan menjijikkan. Masalah teologis menjadi sangat tercampur dengan masalah personalitas dan
prestise. Pada awalnya kaisar tampaknya tidak tanggap akan fakta ini. Tindakan yang
diambilnya ialah mengutus penasehatnya, Hosius Cordova, ke Alexandria dengan surat yang
menyerukan rekonsiliasi dan mensugesti bahwa masalah yang diperdebatkan tidak akan
menguntungkan. Usaha yang bertujuan baik ini tetapi tidak pas menjadi sia-sia. Dalam
perjalanannya pulang kepada kaisar, Hosius memimpin sebuah pertemuan para uskup yang
datang ke Antiokia untuk menempatkan seorang uskup baru di sana. Setelah memilih seorang
Eustathius, seorang anti Arian yang kuat, para uskup mengeluarkan satu pernyataan iman yang
sangat menentang Arius bahwa Logos/Putera “dilahirkan bukan dari ketiadaan tetapi dari Bapa,
bukan dibuat tetapi sebagai satu offspring,” dan bahwa dia “ada untuk selamanya” dan

49
“immutable dan unchangeabel.” Penolakan ajaran Arian ini mendorong kaisar untuk berpikir
bahwa masalah ini bisa ditangai dengan cara yang sama dalam menangani kasus Donatis di
Barat – yakni dengan mengundang sidang para uskup. Karena itu ia bergerak untuk memanggil
semua uskup di kerajaan ke kota Nicea di Asia Kecil. Inilah konsili unversal pertama dalam
gereja.
Konsili ini, berkumpul pada bulan Mei 325, dalam tradisi Kristiani menjadi satu-satunya
konsili yang mendefinisikan dasar ortodoksi pengakuan imannya. Para uskup, yang kebanyakan
telah dengan salah satu cara mengalami penganiayaan, pastilah merasa takjub dan
berterimakasih karena mereka bisa mengadakan perjalanan atas biaya kerajaan. Sebagian besar
dari mereka datang dari Timur: dari sekitar dua atau tiga ratus yang hadir, hanya enam berasal
dari Barat. Mereka mewakili tiga aliran sekolah. Kelompok dengan jumlah kecil yang dipimpin
oleh Eusebius dari Nicomedia adalah sepenuhnya arianisme. Satu kelompok kecil yang lain,
termasuk Eustathius dari Antiokia dan Marcellus dari Ancyra, adalah pendukung Alexander.
Mayoritas – yang paling menonjol ialah Eusebius dari Caesarea, sejarawan gereja – adalah
kaum konservatif dalam arti bahwa mereka mewakili pluralisme dan subordinationisme dari
tradisi Timur. Kaisar sendiri hadir dalam sidang itu dan mendominasi jalannya konsili.
Segera setelah dibuka, konsili menunjukkan arah untuk menolak pengakuan iman yang
diajukan oleh Arian. Usulan rumusan yang diajukan oleh Eusebius dari Caesarea yang berasal
dari credo baptisan kota kelahirannya disetujui oleh para uskup yang dipimpin oleh kaisar
sebagai ortodox. Yang ingin diusahakan oleh kaisar dan para uskup ialah cara menolak ajaran
Arius yang tidak secara eksplisit mengeluarkan pendirian tradisional Timur. Karena itu mereka
mengambil credo baptisan lain, yang secara umum sama dengan credo Eusebius dan mengubah
teksnya sejauah perlu untuk mendukung tujuan mereka. Pada akhir rumusan ini, mereka
menambahkan satu rangkaian pendek anathemasit yang secaar langsung menghukum proposisi
dasar yang diaffirmasi oleh Arius. Dalam teks itu sendiri, mereka menyisipkan ungkapan
signifikan “Allah sejati dari Allah sejati,” “dilahirkan tidak diciptakan,” “dari substansi Bapa,” dan
– yang paling penting – “dari satu substansi (homousios) dengan Bapa.” Kekutan umum dari
ungkapan ini adalah sederhana. Mereka mengeluarkan secara mutlak ide bahwa Logos adalah
ciptaan, mereka menyatakan bahwa dia adalah sungguh-sungguh “Putera” Allah yang
diturunkan, dan menegaskan bahwa dia berada dalam tatanan yang sama dengan Allah.
Tetapi sejak awal orang seperti Eusebius Caesarea telah meragukan credo itu, suatu
keraguan yang terfokus pada homoousios. Tidak mudah mengartikan kata ini. Oleh karena itu
berada dalam bahaya untuk disalahtafsirkan. Kendati demikian credo ini mampu mengeluarkan
Arianisme dan memberikan kepada gereja Timur suatu rumusan yang mendapat persetujuan.
Konsili juga berurusan dengan masalah lain. Salah satu di antaranya ialah penetapan struktur
formal gereja di atas tingkat lokal. Struktur yang mengambil bentuk lebih cepat di Timur
daripada di Barat ini didasarkan pada pembagian propinsi kerajaan. Konsili menetapkan otoritas
gereja lokal dan para uskupnya dengan mengundang sinode propinsi reguler para uskup.

50
Kepada uskup metropolis propinsi diserahkan hak veto atas pemilihan dan pentahbisan uskup
di wilayahnya. Ditegaskan juga bahwa tak seorangpun bisa dijadikan uskup tanpa partisipasi
dari sekurang-kurangnya tiga uskup lain dari propinsi. Lagi, dia mengakui juridiksi exceptional,
lebih luas daripada wilayah satu propinsi, bagi para uskup Alexandria, Roma, Antiokia – satu
langkah awal terhadap pengakuan takhta patriarkal.
Konsili juga dipanggil untuk mencari jalan memperbaiki skisma di gereja Mesir yang
timbul akibat penganiyaan pada masa Diocletianus. Pada waktu itu, Petrus, uskup Alexandria,
telah menarik diri ke persembunyiannya. Dalam ketidakhadirannya, Melitius, uskup Lycopolis,
mengambil alih kuasa untuk menahbiskan imam bagi Alexandria. Petrus melihat hal ini sebagai
perampasan otoritasnya dan menjawab dengan mengekskomunikasi Melitius. Karena terkena
hukuman ini, Melitius mengorganisasi gereja terpisah. Dipimpin oleh Konstantinus, konsili
bersaha menyembuhkan skisma ini – yang tetap berlanjut, bahkan setelah kemartiran Petrus,
hingga terpilih penggantinya – dengan kompromi. Imam Melitian tetap menjabat fungsinya,
tetapi di bawah otoritas Alexander. Para uskup Melitian, jika sungguh terpilih untuk tujuan itu,
bisa menggantikan counterpart katolik mereka pada saat wafat para uskup yang terakhir itu.
Keinginan Konstatinus untuk mengusahakan damai dan rekonsiliasi, yang diwujudkan
dalam legislasi Konsili Nicea, tidak berhenti setelah penutupan konsili. Tetapi Caranya untuk
mengusahakan damai hanyalah mengembangkan konflik yang sudah ada. Pada tahun 328,
tahun di mana diakon Athanasius menggantikan Alexander sebagai uskup di Alexandria, kaisar
memanggil kembali Eusebius dari Nicomedia (yang dibuangnya tidak lama setelah Nicea karena
berkomunikasi dengan Arius) sebagai uskup ibukota kerajaan. Sebagai seorang politikus yang
jitu dan punya tujuan dan juga sebagai Arian, Eusebius segera menjadi penasehat gerejani
utama bagi Konstantinus. Dia mulai mengusir musuh gereja yang menolak teologi
subordinationis dari tradisi Timur. Akhirnya, tidak hanya mencapai tujuannya, dia melakukan
usahanya tanpa kejelasan bahwa masalah yang sebenarnya ialah rumusan Nicea dari
Konstantinus yang dilihat Eusebius sebagai alat untuk tujuan monarchisme.
Korban pertama dari usaha Eusebius ialah Eustathius dari Antiokia, seorang anti-Origenes,
yang dituduh Eusebius secara publik sebagai monarkianisme. Diinformasikan oleh para
penasehatnya bahwa Eustathius adalah pengganggu damai gereja, seorang yang tak jelas
karakter moralnya, dan seorang yang telah menyuarakan penilaian yang tidak bernada kasih
atas ibu kaisar, Helena, Konstantinus setuju dengan pembuangan Eustathius. Dia dibuang oleh
satu sinode Origenist di Antiokia sekitar tahun 330 ke Thrace. Korban Eusebius berikutnya yang
lebih sulit adalah Athanasius, patriark baru di Alexandria (327-373). Sebagai seorang pemenang
dalam formula Nicea, Athanasius menyerang pendapat Melitians dan mengkonsolidasikan
otoritasnya di gereja Mesir. Pada tahun 335, Athanasius diseret ke hadapan sinode di Tirus yang
sepenuhnya terdiri dari musuh-musuh teologisnya yang paling pahit. Dia antara lain dituduh
merencanakan pembunuhan terhadap seorang uskup Melitian yang bernama Arsenius.
Tuduhan itu palsu, tapi tidak ada harapan munculnya keadilan bagi pengganti Alxander ini.

51
Karena itu Athanasius melarikan diri dari Tirus dengan diam-diam untuk meminta bantuan
kepada kaisar secara pribadi di Konstantinopel. Tapi, akhirnya seruan ini tidak menghasilkan
apa-apa. Eusebius dari Nicomedia dan kelompoknya meyakinkan Konstantinus bahwa
Athanasius telah mengancam menghentikan pasokan gandum ke ibukota dari Mesir. Ini
memuncak pada tuduhan penghianatan, dan Konstantinus menerimanya sebagai bukti tanpa
pembuktian. Athanasius dibuang ke Trier di German. Kemenangan terakhir Eusebius adalah
pemecatan dan pembuangan Marcellurs Ancyra, seorang anti-Origenes lain. Setelah
Konstantinus meninggal pada bulam Mei 337 para musuh Nicea dan pembela
subordinationisme menikmati kemenangan hingga munculnya Thodosius I. 33

Kontroversi di bawah kepemimpinan para putera Konstantinus

Wafat Konstantinus membawa kerajaan kepada pembagian atas tiga bagian. Konstantinus
II, putera sulung, mendapat Inggris, Gaul dan Spanyol. Konstantius II diserahi tugas memimpin
di Timur: Asia Minor, Syria, dan Mesir. Kepada yang bungsu, Konstans, diserahkan bagian pusat
kerajaan, termasuk Afrika Utara. Ketika berusaha memaksakan kuasa atas saudaranya yang
paling muda, Konstantinus II terjerembab ke dalam perangkap di Aquileia tahun 340. Oleh
karena itu, setelah tahun itu wilayah Roma secara lebih luas dipimpin oleh Konstans. Fakta ini
mempunyai arti penting bagi sejarah kontroversi atas Nicea. Fokus pertama dari kontroversi itu
– yang segera merangkul seluruh gereja, Latin dan Yunani – bukanlah credo Nicea sendiri,
melainkan status kedua uskup, Athanasius dan Marcellus dari Ancyra secara khusus, yang telah
dipecat oleh para pemimpin Timur. Para kaisar baru pada awal pemerintahannya mengijinkan
uskup yang dibuang ini untuk kembali, dan Athanasius kembali ke Alexandria sebelum akhir
tahun 337. Akan tetapi pengaruh Eusebius, yang telah pindah dari Nicomedai menjadi uskup
Konstantinopel (339) dan yang masih berfungsi sebagai pemimpin efektif atas para uskup timur,
membuat Athanasius menjadi mustahil untuk bertahan. Diusir dari Alexandria pada musim semi
tahun 339 dan digantikan oleh seorang Arian, Gregorius dari Cappadocia (yang tiba dikawal
oleh pasukan), Athanasius lari ke Roma, di mana Marcellus dari Ancyra segera bergabung
dengannya. Di sana orang yang terbuang ini mendapat dukungan dan simpati dari Julius, uskup
Roma, yang diminta oleh para uskup Eusebian, pada waktu lemah, untuk meninjau ulang kasus
Athanasius.
Julius, yang sekarang menikmati dukungan dari kaisar Konstans, mengundang sebuah
sinode pada tahun 340 yang menyatakan bahwa penggulingan Athanasius dan Marcellus tidak
adil. Para pemimpin Timur marah akan pernyataan tersebut. Mereka mencurigai baik
Athanasius maupun Marcellus menggunakan credo Nicea sebagai samaran bagi satu
monarchian yang menolak Bapa, Putera, dan Roh sebagai tiga realitas yang berbeda
(hypostases). Karena itu, sembilan puluh tujuh dari mereka, yang bersidang di Antiokia pada

33
W. Walker et. al., A History of the Christian Church, Edinburgh 1986, 131-137.

52
tahun 341 untuk pendidikasian “Basilika Emas” Konstantinus, menolak sugesti bahwa mereka
adalah Arians. Mereka menyangkal hak Roma untuk bertindak sebagai suatu court of appeal
dalam kasus yang menangkut gereja-gereja Timur. Posisi teologis mereka dijelaskan dengan
mengeluarkan tiga rumusan iman. Ini tampaknya dimaksudkan untuk melengkapi dan
memperbaiki rumusan Nicea dengan secara sistematis mengeluarkan monarchianisme secara
umum dan pandangan Marcellus secara khusus. Rumusan ke empat ditampilkan kepada kaisar
Konstans di Trier ketika dia meminta penjelasan posisi para uskup Timur.
Perpecahan serius antara gereja Latin dan Timur hanya bisa ditangani dengan usaha yang
besar. Konstans yang bertindak atas anjuran Paus Yulius meyakinkan Konstansius untuk
bergabung bersama dia memanggil konsili umum gereja di Sardica (kini di Sofia). Berkumpul
pada musim gugur 343, konsili ini hanya memperuncing masalah. Dihadapkan dengan satu
tuntutan barat agar Athanasius dan Marcellus duduk bersama di konsili, banyak jumlah dari
Timur berkuarang. Kelompok Latin bergerak maju untuk mengesahkan kanon-kanon yang
mengkonfirmasi Roma sebagai rujukan dan mengeluarkan, melawan nasehat Athanasius, satu
pernyataan teologis yang bagi kelompok timur mendukung monarchianisme. Para uskup barat
menuntut agar hanya ada hypostasis Bapa, Putera, dan Roh Kudus; dan ketika mereka juga
menyatakan bahwa mereka tidak menyangkal distingsi real dari ketiganya, bahasa ini dipakai
untuk menyerang seluruh tradisi Origenes di Timur.
Menghadapi kemandekan ini, kedua kaisar memutuskan agar kesepakatan dibuat di
kedua belah pihak. Pada saat kematian saingannya, Gregorius cappadocian pada tahun 347,
Athanasius direstorasi ke gerejanya di Alexandria. Di barat, semua usaha untuk merehabilitasi
Marcellus Ancyra pelan-pelan dihilangkan. Damai yang dihasilkan ternyata tidak bertahan lama.
Pada tahun 350, kaisar Konstans dibunuh oleh pendukung seorang perampas kuasa, namanya
Magnentius. Setelah berjuang selama tiga tahun, Magnentius dikalahkan oleh Konstansius II.
Sejak tahun 353 dia menjadi penguasa tunggal kerajaan. Situasi kritis ini ditemani oleh
bangkitnya perjuangan teologis dalam bentuk yang baru dan lebih explisit. Setelah direstorasi
ke takhtanya, Athanasius meluncurkan satu pembelaan atas credo dan istilah homoousios Nicea
secara lebih terbuka dan agresif dengan menerbitkan satu risalah, On the Decrees of the Nicene
Synod (350-351. Dari generasi kedua Arian, guru Aetius (d. Ca. 370), yang tinggal di Alexandria
selama periode ini, argumen Athanasius menimbulkan jawaban yang menjadi ciri khas dari
Arianisme radikal dan reformatif: pernyataan bahwa Logos/Putera “tidak sama” dengan Bapa.
Tahap baru telah dibuka bagi kontroversi atas Nicea.
Perkembangan teologis ini pertama-tama dibayangi oleh usaha-usaha heroik kaisar
Konstansius untuk menciptakan kesepakatan dengan memaksakan sesuatu yang secara esensial
tidak diungkapkan, yaitu ortodoksi utama kerajaan. Langkahnya yang pertama dalam hal ini
ialah membebaskan dirinya dari Athanasius. Pada sinode yang diadakan di Arles (353) dan
Milano (355), dia memaksa para uskup Barat untuk menghilangkan Athanasius dan
mengusahakan kembali kesatuan penuh dengan gereja Timur. Mereka yang melawan – Liberius

53
dari Roma (352-366), Hosius dari Cordova yang menjadi tua, dan Hilarius dari Poitiers (+367) –
terpaksa dibuang. Athanasius diusir dari Alexandria tahun 356 dan melarikan diri selama enam
tahun berikutnya ke biara rahib di pedalaman Mesir. Dia juga harus menyentuh masalah
doktrinal di bawah tuntunan para penasehat Arian. Sebuah sinode yang diadakan di kediaman
kerajaan, Sirmium, pada tahun 357 menerbitkan satu deklarasi yang menuntut agar istilah-
istilah seperti substantia, atau ousia, atau homoousios yang tidak berasal dari Kitab Suci, atau
ungkapan-ungkapan yang mengatakan bahwa Putera “disubordinasikan kepada Bapa,” tidak
dipakai lagi. Rumusan yang menolak Nicea ini dan sebenarnya memberikan ruang bagi
Arianisme, telah berubah menjadi “hujatan Sirmium,” sebutan yang diberikan oleh uskup
Phoebadius dari Agennum di Gaul. Meskipun ada pertentangan, Konstansius tidak mundur.
Melalui serangkaian konsili dan sinode tahun 359, dia memaksa para uskup Timur dan Barat
menerima rumusan yang akhirnya ditetapkan sebagai ortodoksi kerajaan oleh satu sinode yang
diadakan di Konstantinopel tahun 360. Rumusan ini melarang pemakaian istilah-istilah ousia
dan “hypostasis” dan mencukupkan diri dengan pernyataan bahwa “Putera adalah seperti
Bapa.” Rumusan ini memenangkan Arianisme. Kemenangan Arianisme ini membangkitkan
berbagai reaksi kontra dalam bidang teologis mengenai Allah dan Logos/Putera. Salah satu yang
lebih menonjol ialah reaksi dari para uskup Timur dalam tradisi Origenes yang dipimpin oleh
Basilius, uskup Ancyra (336-360).34
Konstansius II wafat tahun 361 dan digantikan oleh sepupunya Julian (332-363) sebagai
pemimpin tunggal. Kaisar ini adalah penganut kafir yang tersembunyi. Begitu memegang kuasa
Julian berusaha mewujudkan idealnya untuk mereformasi agama kafir dengan membatasi
pengaruh Kristen dan mencoba menghilangkan kebiasaan kristen. Secara khusus dia
mengeluarkan orang Kristen dari pengajaran dalam sekolah-sekolah yang disupport oleh
kerajaan dan dari jabatan-jabatan kerajaan. Pasa masa pemerintahannya Athanasius kembali
dari tempat persembunyiannya di biara para rahib Mesir pada tahun 362, dan dia diterima
dengan sangat antusias oleh penduduk sehingga Yulian membuangnya untuk keempat kalinya
sebelum akhir tahun itu. Singkatnya masa pemerintahan Yulian yang berakhir pada tahun 363
setelah dia kehilangan hidupnya dalam perang melawan Persia menunjukkan kelemahan
kelompok yang diarianiskan yang telah disokong oleh Konstansius. Karena satu hal, Athanasius,
pada sinode yang dikumpulkan di Alexandria tahun 362, di satu pihak mengakui bahwa “tiga
hypostasis,” seruan dari kaum konservatif Timur, tidaklah dimaksudkan untuk mengartikan
“tiga Allah” atau tiga “subsisten . . . terpisah dalam substansi dari satu sama lain.” Kemudian di
pihak lain ia menegaskan bahwa homoousios artinya “identitas dari kodrat” tetapi tidak
dimaksudkan untuk menyangkal kebenaran bahwa Bapa, Logos, dan Roh adalah berbeda.
Sinode ini juga menjelaskan bahwa Roh Kudus juga harus dipandang sebagai yang “memiliki
substansi yang sama” seperti Allah. Dengan demikian sinode ini, dibawah kepemimpinan
Athanasius, menetapkan bahwa untuk rekonsiliasi kelompok-kelompok itu cukuplah dengan

34
W. Walker et. al., A History of the Christian Church, Edinburgh 1986, 137-140.

54
menolak Arianisme saja, untuk “mengakui iman yang diakui oleh bapa-bapa Nicea,” dan
“mengutuk mereka yang mengatakan bahwa Roh Kudus adalah suatu ciptaan. Kini dia yakin
bahwa ortodoksi kerajaan ciptaan Konstansius II yang menjadi ancaman nyata bagi iman
Kristen, dan dengan keyakinan ini dia membuka jalan bagi ketetapan yang akan diambil oleh
bapa-bapa Kapadokia setelah wafatnya tahun 373.
Kematian Yulianus diikuti oleh masa pemerintahan singkat Yovianus (363-364), seorang
kristen dari Nicea yang mempunyai sedikit kesempatan atau kecondongan untuk terlibat dalam
urusan gereja. Yovianus – yang kenaikannya mengakibatkan pembuangan Athanasius yang
keempat kali – digantikan oleh Valentinianus I (364-375). Valentinianus menyerahkan
kekuasaan atas Timur kepada saudaranya Valens (374-378) untuk mempermudah pertahanan
Roma yang bertempur di perbatasan. Valentinianus sejauh mungkin tidak menghindari campur
tangan dalam masalah-masalah religius dan menerapkan toleransi yang sama rata; tetapi
saudaranya, yang sangat kuat dipengaruhi oleh imam Arian dari Konstantinopel, secara aktif
mengikuti kebijakan-kebijakan Konstantius II. Pada tahun 365 dia menghukum Athanasius
dengan membuangnya untuk yang kelima kalinya.
Pada waktu kematian Athanasius tahun 373 baik kepemimpinan intelektual maupun
politis yang berjuang melawan Arianisme telah mencapai kesepakatan: yang disebut dengan
partai “Nicea baru.” Kelompok yang dipimpin oleh Basilius Agung, uskup metropolitan
Kappadocia Kaisarea (370-379) dan Miletius, uskup Antiokia (+381), terdiri dari para Origenest
Timur dan para homoiousians35 yang telah bergabung untuk mendukung iman Nicea di bawah
pengaruh Athanasius. Mereka bekerja untuk rekonsiliasi berbagai kelompok dan sekolah yang
telah berjuang melawan Arianisme. Mereka juga bertugas untuk merumuskan dan membela
bingkai teologis yang di dalamnya keilahian Sabda dan Roh yang penuh bisa diakui. Tetapi
sayang mereka sendiri terbagi oleh pertentangan atau kesalahpahaman masa lalu.
Basilius sendiri adalah pusat dan jiwa dari partai baru ini. Dilahirkan dari keluarga
Kappadocia yang terkenal pada tahun 330, dia dididik di Konstantinopel dan Athena. Di Athena
dia memulai persahabatan dengan Gregorius dari Nazianzus, yang dengan kefasihan berbicara
dan ilmunya berhasil memenangkan orang-orang ibukota kerajaan kepada pengakuan Nicea.
Setelah menyelesaikan pendidikannya, Basilius berpaling dari karier publiknya sebagai ahli
pidato. Selama setahun, dia berjalan bersama para asketis Mesir dan Palestina. Pada waktu
kembali ke tanah kelahirannya, dia mendirikan komunitas rahib di tanah keluarga di Pontus.
Meskipun segera dipanggil untuk menekuni kehidupan yang lebih aktif, dia terus menjadi
penuntun dan pemimpin yang tak kenal lelah bagi pergerakan monastik di kampung

35
Homoousion, Greek, ‘of one substance’, rendered in Latin consubstantialis. The term used in the Nicene Creed to
express the relations of the Father and the Son within the Godhead and originally designed to exclude Arianism. Its
earlier associations with the Gnostics and Paul of Samosata may have made it suspect at first and many Origenests,
who had no sympathy with Arianism, preferred the term Homoiousion (of like substance with the Father) which
was held to leave more room for distinctions in the Godhead. F.L. Cross, The Oxford Dictionary or the Christian
Church, Oxford 1997, 786.

55
halamannya. Setelah terpilih menjadi uskup di Kaisarea, Basilius bekerja untuk perdamaian
Barat dan Timur Nicea “tua” dan “baru” menghadapi Arianisme. Pada waktu yang sama, dia
menghadapi dua masalah teologis baru. Di antara para homoiousians yang terdahulu yang kini
mengakui keilahian penuh dari Putera, ada beberapa yang bertahan menyangkal keilahian Roh
Kudus. Melawan yang disebut dengan Pneumatomachi (“Spirit-fighters”) atau “Macedonians,”
Basilius menulis risalah klasiknya, On the Holy Spirit. Akan tetapi yang lebih penting dari debat
ini ialah debatnya dengan guru Anomoean, Eunomius, seorang murd Aetius. Eunomius
menyatakan bahwa, karena Allah menurut kodratnya tidak diturunkan dan Putera diturunkan,
keduanya pasti tidak sama kodratnya.
Dalam pergulatan teologis ini Basilius mempuyai dua orang pembantu yang ajarannya
akan memainkan peranan yang penting bagi pemikiran Kristen di Timur. Yang pertama ialah
Gregorius Nazianze (329?-389?), yang seperti Basilius sendiri tertarik akan hidup kontemplatif
tetapi memiliki sedikit saja rasa dan kemampuan untuk terlibat dalam menangani ambiguitas
politis. Sebagai seorang orator yang ulung dan seorang teolog yang imaginatif dan inspiratif,
Gregorius juga adalah orang yang memiliki sensitivitas yang berlebihan, dengan satu tendensi
untuk menarik diri dari tanggung jawab yang dipercayakan orang kepadanya. Pembantu kedua
ialah saudaranya yang lebih muda, Gregorius Nyssa. Kendati tidak begitu lihai dalam
kepemimpinan dan administrasi, namun dia melampaui kedua temannya dalam kedalaman dan
penelusuran teologis. Dia memiliki banyak tulisan penting yang diarahkan tidak hanya pada
persoalan Arian tetapi juga masalah-masalah antropologi teologis dan kehidupan spiritual.
Waktu wafatnya tidak diketahui, tetapi dia masih hidup setelah 394.
Kunci bagi rekonsiliasi Kappadocian antara kelompok Nicea “tua” dan tradisi Timur yang
diwakili oleh para homoiousian terletak pada distingsi yang baik antara arti kata ousia dan
hupostasis.36 Mulai dengan pengandaian bahwa Bapa, Putera, dan Roh adalah tiga hypostasis
(konkrit, kenyataan yang subsisten), para bapa Kappadocia berpendapat bahwa masing-masing
hypostasis ini mengeksemplarkan (instantiate) satu adaan atau kodrat singel yang identik
(ousia: dalam bahasa Latin “substansi”) – yakni Keilahian – dan karena itulah maka disebut
homoousioi. Dengan demikian hypostasis ilahi (“person” pribadi dalam idiom Latin) dilihat

36
The greek word has had a variety of meanings. In popular language it was used originally for ‘objective reality’ as
opposed to illusion. In the New Testament this seems to be roughly its meaning at Hebrew 1:3. Allied to this was
its use for ‘basis’ or ‘foundation’ and hence also ‘confidence’. In early Christian writers it is used to denote ‘being’
or ‘substantive reality’ and is not distinguished in meaning from ousia; it was so used by Tatian and Origen, and
also in the anathemas appended to the Nicene Creed of 325. From the middle of the 4th century onwards the word
came to be contrasted with ousia and used to mean ‘individual reality’, especially in Trinitarian and Christological
contexts. It was mainly under the influence of the Cappadocian Fathers that the terminology was clarified and
standardized, so that the formula ‘Three Hypostaseis in one Ousia’ came to be everywhere accepted as an epitome
to the orthodox doctrine of the Holy Trinity. But this consensus was not achieved without some confusion at first in
the minds of western theologians, who naturally translated hypostasis by ‘sub-stantia’ (‘substance’) anda
understood the Easterns when speaking of three ‘Hypostaseis’ in the Godhead to mean three ‘Substances”, i.e.
they suspected them of tritheism (F.L. Cross, The Oxford Dictionary or the Christian Church, Oxford 1997, 786).

56
sebagai tiga cara berbeda yang di dalamnya adaan yang sama itu ada. Para bapa Kappadocia
selanjutnya berargumen bahwa kesatuan adaan atau kodrat Allah mengimplikasikan kesatuan
aktivitas atau operasi Allah. Dengan kata lain, ketiga “pribadi” ini tidak berbeda satu dari yang
lain karena mereka terlibat dalam aktivitas yang berbeda. Semua dilibatkan, namun dengan
cara yang berbeda, dalam setiap tindakan ilahi. Yang membuat hypostasis terpisah dari satu
sama lain ialah caranya dikaitkan satu sama lain – masing-masing sebagai Sumber, Asal dan
Prosessi dari satu Keallahan. Dalam mengembangkan doktrin ini, para bapa Kappadocia tidak
hanya menampilkaannya dengan logika pengakuan iman Nicea bahwa Allah dan Sabdanya
adalah ‘hal yang sama’ tetapi juga mereka merevisi lukisan Kristen Helenis tentang Allah dan
hubungan Allah dengan ciptaan. Jika Sabda dan Roh adalah sepenuhnya Allah dan bukan
kekuatan “pengantara”, maka seperti yang dikatakan oleh Athanasius, terdapat suatu
kehadiran Allah yang langsung, tanpa pengantara dengan ciptaan. Lebih lagi, dan jika ini benar,
maka transendensi Allah harus dipahami dengan cara yang agak berbeda dari yang telah
diungkapkan oleh teologi Logos tradisional. Para bapa Kappadocia ini tidak memahami kodrat
atau adaan Allah sebagai sesuatu yang “bertentangan,” dan selanjutnya mempertentangkannya
dengan ciptaan. Melainkan, mereka mengatakan bahwa adaan atau kodrat ilahi dalam artinya
yang paling mendasar mencakup semua karena dia tak terbatas dan tak terdefinisikan.
Karya politis dan teologis bapa-bapa Kapadocia ini menghasilkan buah setelah kekalahan
dan wafat kaisar Valens di tangan para Visigoths. Peristiwa yang terjadi pada tahun 378 di dekat
Adrianopoli membawa kaisar Gratianus (367-383), kemenakan Valens, memilih seorang Agustus
baru untuk daerah Timur. Pilihannya jatuh pada seorang tentara dan administrator Spanyol
yang kuat yang bernama Theodosius (379-395), yang mulai menjabat ketika Basilius Agung
wafat. Sebagai seorang Barat, Theodosius (yang juga disebut “Agung”) simpatik kepada masalah
Nicea. Gregorius Nazianze dipanggil ke Konstantinopel, di mana, di mimbar Athanasius, dia
menyampaikan “kotbah Teologis” yang terkenal, di mana dia mengajukan pembelaan klasik
kasus Nicea. Pada tahun 380, Theodosius dan Gratianus mengeluarkan sebuah edik yang
menyatakan bahwa “semua penduduk” kerajaan seharusnya “mempraktekkan... agama yang
diikuti oleh uskup Damaskus Roma dan oleh Petres, uskup Alexandria” – kekristenan ortodoks,
yang mengakui Keallahan tunggal Bapa, Putra dan Roh Kudus.” Dekrit yang menandai
kemenangan kelompok Nicea atas Ariansime ini juga menandai suatu tahap baru dalam sejarah
hubungan gereja gereja Roma dengan kerajaan Romawi. Jelas bahwa dalam pikiran Gratianus
dan Theodosius, kekristenan adalah agama resmi kerajaan, dan semua yang lain dilarang,
termasuk kekristenan yang menyeleweng.
Pada tahun 381 Theodosius memanggil sebuah sinode para uskup Timur di
Konstantinopel. Konsili ini, diakui sebagai konsili ekumenis gereja ke dua, menjadikan sasaran
utamanya peneguhan Keallahan Roh Kudus melawan kelompok Macedonian. Konsili ini
meneguhkan simbol (yakni credo atau pengakuan iman) konsili Nicea. Pada waktu yang sama,
para anggotanya tampaknya mempertimbangkan rumusan lain pula: simbol penyataan

57
baptisan yang ke dalamnya kata-kata kunci Nicea disisipkan. Rumusan ini berisi pernyataan anti
Macedonian bahwa Roh Kudus “disembah dan dimuliakan bersama denagn Bapa dan Putera.”
Pengakuan ini, meskipun tidak diadopsi secara resmi oleh konsili tahun 381, terus diasosiasikan
dengan namanya dan kemudian, pada konsili Kalcedon tahun 451, dinyatakan menjadi “iman”
dari seratus lima puluh uskup yang berkumpul di bawah Theodosius. Simbol inilah yang karena
alasan pemakaiannya yang berkembang dalam rumusan liturgis dan baptisan, secara bertahap
mendapat pengakuan universal. Ini disebut Nicea karena dia menampilkan kata-kata anti-Arian
dari Credo Nicea - dan dengan demikian menyatakan iman.
Teologi hanyalah satu bagian dari diskusi konsili ini. Satu masalah yang paling pelik dari
tahun-tahun akhir kontroversi Arian ialah penyatuan gereja di Antiokia. Di sana debat panjang
tentang Nicea telah menghasilkan skisma internal, tidak hanya antara Arians dan ortodoks
tetapi juga antara sebuah kelompok kecil “Nicea tua” yang dipimpin oleh seorang Paulinus,
yang mendapat dukungan para uskup Roma dan Alexandria, dan kelompok mayoritas yang
dipimpin oleh uskup Meletius, sebuah “Nicea baru.” Kaisar Theodosius menandai penilaiannya
dengan menghunjuk Meletius presiden konsili (dengan demikian mengkualifikasikan, dalam
cahaya realitas Timur, penilaiannya sebelumnya bahwa ortodoks hanya terbentuk dari
kesepakatan dengan para uskup Roma dan Alexandria). Akan tetapi Meletius meninggal pada
saat jalannya pertemuan. Sebaliknya Gregorius Nazianze yang dipilih pada pembukaan konsili
untuk menggantikan Demophilus, seorang uskup Arian di Konstantinopel, difrustrasikan oleh
ketidakinginan para uskup untuk menkonsolidasikan Roma (dan barat pada umumnya) dengan
mengakui Paulinus. Akibatnya, dalam satu tindakan pura-pura, dia menarik diri dari tempat
kehormatan baru ini dan kembali ke rumah, meninggalkan konsili untuk memilih penggantinya
dan juga pengganti Meletius. Situasi ini maju dengan menghunjuk dua pendukung kelompok
“Nicea baru”: Flavianus sebagai uskup Antiokia dan seorang pejabat awam kerajaan, Nectarius
sebagai uskup Konstantinopel. Tindakan ini yang sepenuhnya melalaikan pandangan Damaskus
Roma (jelas juga pendapat Timoteus, uskup baru Alexandria), berarti bahwa karya konsili
dipandang dengan penuh kebencian di Barat; dan reaksi ini dipertinggi oleh kanon ketiga dari
konsili ini, yang menyatakan bahwa uskup Konstantinopel mempunyai “the primacy of honor”
setelah uskup Roma, dengan alasan bahwa Konstantinopel adalah “Roma yang baru.” Tindakan
ini melanggar kebiasaaan memandang Roma dan Alexandria sebagai gereja “senior” dan ini
juga melanggar komitmen gereja Roma untuk melihat bahwa “honor” dari satu gereja
tergantung bukan pada status politis kotanya melainkan dari hubungannya dengan rasul Petrus.
Karena itu hasil akhir dari konsili Konstantinopel bukan hanya suatu kemenangan teologi Nicea,
tetapi juga sumber perpecahan baru antara Barat dan Timur dan , di Timur sendiri, tegangan
antara takhta kuno Alexandria dan takhta baru di ibukota kerajaan yang baru, yang telah
ditetapkan oleh kanon kedua Konsili menjadi takhta patriarkal.37

37
W. Walker et. al., A History of the Christian Church, Edinburgh 1986, 141-147.

58
Invasi Jerman

Pertempuran Adrianopel (378) yang mencabut nyawa kaisar Valens dan tentaranya oleh
para Visigoths menandai awal krisis baru dalam hubungan Kerajaan Romawi dengan suku-suku
Jerman di seberang sungei Rhein dan perbatasan Danubio. Pertempuran ini mengawali
penyerbuan, penaklukan dan pembagian bagian barat dari kerajaan Romawi oleh suku Gothic,
Franks, Vandal dan Lombards. Serangan yang tidak hanya melibatkan tentara tetapi juga
masyarakat ini dimungkinkan oleh kombinasi para marga dan suku ke dalam satu konfederasi
dan bangsa-bangsa di bawah kepemimpinan yang bersatu. Serangan-serangan hampir tidak
bisa dielakkan oleh pergerakan orang-orang Hunnic ke arah Barat dari padang rumput Asia,
suatu gerekan yang menekan suku-suku Jerman ke perbatasan Roma dan akhirnya memaksa
mereka mencari aman dengan menyeberang dengan paksa ke dalam wilayah Romawi.
Pada abad ke empat orang-orang Frank menduduki tepi kanan sungai Rhein dan hidup
sebagai satu “federasi” dalam perbatasan kerajaan. Konfederasi yang dikenal dengan Visigoths
atau “Gotic Barat” menduduki tepi sungai Danubio utara Thrace, dan berderet di belakang
mereka, di bawah tekanan langsung dari para Hun, saudara mereka Ostrogoths atau “Gothic
Timur,” yang berpusat di bagian utara Laut Hitam. Di antara Gothic di Selatan dan para Franks
di utara banyak grup lain: Vandals, Alan, Burgundians. Pada waktu ini sering terjadi kontak
antara orang Romawi dan Jerman dengan saling melintasi perbatasan. Orang-orang Jerman
semakin bertambah dalam tentara Romawi. Para pedagang Romawi membawa barang-barang
mereka ke wilayah Jerman. Banyak orang Jerman tinggal di propinsi-propinsi perbatasan, dan
karena itu mereka menjadi terbiasa dengan cara-cara Romawi.
Dalam situasi seperti ini pastilah tidak bisa dihindari kontak antara suku-suku Jerman
dengan kekristenan. Para tawanan perang dari Cappadocia menanamkan benih kekristenan di
antara para Visigotic sebelum akhir abad ke tiga. Ulfilas memulai karya evangelisasi secara
formal. Dia dilahirkan pada tahun 311 sebagai keturunan para tawanan Cappadocia. Dia sendiri
adalah seorang Gothic. Sebagai orang muda, barangkali karena dia adalah lektor di gereja, dia
menterjemahkan kitab suci Kristen ke dalam bahasa Gothic. Setelah menemani seorang duta
Gothic ke Konstantinopel, dia ditahbiskan pada tahun 341 oleh Eusebius Nicomedia menjadi
uskup para Gothic. Sebagai seorang Arian, Ulfilas akhrinya mengadopsi pandangan kelompok
Homoean – ortodoksi kerajaan dari Konstansius II. Dia bekerja selama tujuh tahun di antara
bangsanya hingga penganiayaan memaksa dia dan teman-temannya kristen untuk melarikan
diri ke tanah Romawi. Pertobatan akhir dari Visigothic terjadi pada waktu raja mereka, Fritigern,
pada tahun 376 membawa seluruh bangsanya ke dalam gereja setelah mereka melarikandiri
dari Huns ke wilayah Romawi. Demikianlah para Gothic, yang mengalahkan Valens di
Adrianopoli tahun 378, dalam suatu pertempuran yang berkembang dari satu debat dengan
otoritas Romawi, adalah orang yang telah menerima iman Valens sendiri: kekristenan Arian.
Bukan hanya mereka, tetapi juga para tetangga mereka – Ostrogothic, sebagian Vandals, dan

59
Burgundian – memeluk kekristenan Arian sebelum menyerang kerajaan. Hanya kelompok
terjauh terpisah dari Visigothic, Franks dan Saxon di Utara yang pada umumnya kafir pada saat
penyerangan. Suku-suku Jerman bukanlah seluruhnya menjadi musuh kekristenan. Mereka
tidak datang sebagai musuh Romawi. Jika mereka memeluk kekristenan, itu adalah karena
kekristenan adalah agama orang-orang Romawi; dan yang mereka usahakan ialah untuk
mengambil bagian dalam keuntungan menjadi warga Romawi.
Sesudah petaka di Adrianopel, Theodosius I berhasil menahan para Visigothic, pada
awalnya dengan kesepakatan dan pembayaran uang. Pada saat wafatnya tahun 395, kerajaan
terbagi antara kedua puteranya, Arcadius (393-408) di Timur dan Honorius (393-423) di Barat.
Pembagian ini membuat kerajaan tidak mampu bertahan menghadapi serangan Gothic. Di
bawah raja mereka yang baru, Alaric, para visigothic maju ke Konstantinopel dan menyerbu
Yunani sampai ke Sparta. Beralih ke Barat, tahun 401 mereka terus mendesak ke Italia Utara,
tetapi pada awalnya berhasil ditahan oleh genderal Theodosius, seorang Vandal yang kuat
bernama Silicho. Kepadanya dipercayakan kekayaan Honorius yang muda. Tetapi pada tahun
408, Honorius menjadi penyebab terbunuhnya Stilicho. Tindakan ini membuka jalan ke Roma
sendiri, dan tahun 410 Alarik dan kereta perangnya menawan kota kerajaan ini. Hendak
mengambil Afrika bagian Romawi, pemasok gandum Italia, Alaric terus bergerak ke selatan,
tetapi dia wafat di ambang penyeberangan ke Sicilia. Penggantinya, Athaulf, membawa para
Visigothic kembali ke utara. Pada tahun 412, dia menyerang Gaul selatan dan pada tahun 419
para Gothic telah berdiam di sana. Dalam perjalanan abad ke lima, mereka mendominasi tidak
hanya bagian selatan Gaul tetapi juga Spanyol dengan menundukkan para penduduk Romawi
dan mengambil alih tanah mereka.
Selama perjalanan sulit yang ditempuh Visigothic dari propinsi-propinsi Danubio ke Gaul,
suku-suku Jerman di seberang sungai Rhein telah melihat dan menangkap satu kesempatan.
Pada penghujung tahun 406, Para Arian Vandal bersama dengan Alan dan Suevi kafir
menyeberangi sungia Rein, bergerak ke Gaul dan turun ke Spanyol. Mereka tiba di sana
sebelum Visigothic. Kira-kira pada waktu yang sama para Franks telah menekan ke utara Gaul,
sementara para Burgundian menduduki wilayah sekitar Strassburg. Inggris, datang di bawah
bertambah seringnya serangan dari Saxons, Angles, and Jutes, dan Celtik yang telah
diromawikan didesak ke arah Barat ke Cornwall, Wales, and Strathclyde. Para Vandal di
Spanyol, di bawah tekanan dari Visigothic, menyeberang ke Afrika pada tahun 429. Raja mereka
segera mendirikan negara Jerman yang kuat di sana dan kapal-kapalnya dengan cepat
menguasai Mediterania Barat. Sebuah serangan Vandal merampas Roma pada tahun 455.
Kemudian selang kira-kira lima tahun kekuatan Roma dihancurkan di Britain, Gaul,
Spanyol dan Afrika Utara. Para raja dari bangsa-bangsa barbar secara teknis menjadi pelayan
Roma. Dari waktu ke waktu mereka senang bekerja sama dengan otoritas kerajaan di Italia.
Atas perintah dan permintaan Roma para Visigothic menyerang Vandal di Spanyol. Satu
kesatuan tentara Romawi dan German berjuang melawan penyerang Huns di bawah Attila

60
dekat Chalons tahun 451. Meskipun Attila terus menyerang ke Italia, dia akhirnya menarik diri
ke dalam kerajaannya, yang kini adalah Hungaria, dan meninggal di sana sebelum
mengkosolidasikan wilayah-wilayah yang ditklukkannya.
Akan tetapi bahkan kekuatan para kaisar di Barat menurun, dan secara bertahap mereka
menjadi boneka-boneka dari jenderal mereka. Pada waktu Honorius wafat, jabatan kerajaan
pindah kepada Valentinian III (423-455). Masa pemerintahannya yang panjang ditandai dengan
pertengkaran antara Bonifasius, duke Afrika dan Aeitius, duke Italia. Pertengkaran ini
mengizinkan Vandal untuk menaklukkan Afrika Utara. Aetius, pemimpin kekuatan Romawi,
melawan Attila pada tahun 451, yang meraih kemenangan. Antara wafat Valentinian dan tahun
476 tidak kurang dari sembilan kaisar di Barat ditangkap dan dibuang, sementara Italia secara
efektif dipimpin oleh serangkaian pemimpin militer. Kaisar terakhir, yang disebut dengan
Romulus Augustulus, disingkirkan oleh jenderal Jerman Odovakar. Penaklukan ini umumnya
dikatakan sebagai “akhir” dari Kerajaan Romawi di Barat.
Pemerintahan Odovakar di Italia berakhir pada tahun 493 oleh serangan baru dari
Jerman, para Ostrogothic di bawah pimpinan raja mereka, Theodoric. Usahanya untuk melebur
institusi Jerma dan Romawi gagal karena kuatnya batas-batas sosial dan religus antara Gothic
dan Romawi. Theodoric memimpin dari Ravenna hingga wafatnya tahun 526. Tidak lama
setelah ini kaisar Justinianus (527-565) memulai usaha penundukan kerajaan Barat dari orang-
orang barbar. Pada tahun 533, jenderalnya, Belisarius menyerang Afrika Utara dan mendirikan
kembali kerajaan di sana. Pada tahun 535 penundukan Italia dimulai dan berakhir setelah
peperangan selama dua dekade. Kemenangan Justinianus tidak berlangsung lama. Tiga tahun
sesudah wafatnya, kelompok Jerman lain, Lombard, menyerang semenanjung Italia. Sekitar
tahun 572, mereke menguasai sebagian besar Italia Utara. Roma, Ravenna (takhta
pemerintahan kerajaan), dan bagian Selatan tetap dibawah otoritas Konstantinopel.
Sementara itu peristiwa yang memiliki arti penting bagi masa depan sedang terjadi di
Gaul. Bangsa Frankis sudah sejak lama menekan ke arah bagian Utara propinsi-propinsi Romawi
kuno. Dari sekitar tahun 481, ketika seorang Clovis menjadi raja Salian Franks, tekanan ini
berubah menjadi penaklukan. Clovis dengan cepat meluaskan pemerintahannya sampai ke
selatan sungai Loire. Pada tahun 493 ia menikahi Clotilda, seorang ratu Burgundia yang adalah
seorang katolik, dan bukan Arian seperti kebanyakan orang pada saat itu. Setelah kemenangan
pada tahun 496 atas Alemanni (orang-orang Jerman), Clovis mengumumkan dirinya menjadi
kristen. Dia dibaptis, bersama dengan tiga ribu pengikutnya, pada hari natal di Reim, menjadi
orang katolik. Dengan demikian orang Franks menjadi bangsa Jerman pertama yang menganut
kekristenan ortodox kerajaan. Kenyataan ini membuat mereka memenangkan simpati tidak
hanya di Konstantinopel tetapi juga di antara masyarat dan imam penduduk Romawi di Gaul.
Pada saat Clovis wafat, wilayah kerajaan Frankis menyebar ke Pyrenees di Selatan dan melewati
Rein di Timur. Kini kembali hadir sekali lagi negara katolik yang kuat secara potensial di Barat.

61
Ini merupakan satu kenyataan yang memiliki efek panjang di masa depan ketika para uskup
Roma dipaksa berpaling ke Prancis lebih daripada meminta bantuan kepada Konstantinopel.
Pertobatan para Franks juga mempengaruhi para pemimpin dan penduduk Jerman yang
lain, meskipun contoh para penduduk setempat di mana mereka tinggal semakin kuat. Para
Burgundian meninggalkan Arianisme pada tahun 517 dan menjadi bagian kerajaan Frankish
pada tahun 532. Penundukan Justinianus mengakhiri kerajaan Vandal dan Ostrogotik yang
adalah Arian. Di Spanyol, raja Visigotik, Reccard, meninggalkan Arianisme pada tahun 587 yang
diteguhkan pada Konsili Toledo tahun 589. Sekitar tahun 590, pertobatan secara bertahap dari
Lombardus kepada katolik mulai terjadi, meskipun tidak semuanya bertobat hingga tahun 660.
Demikianlah caranya Arianisme pada akhirnya hilang.38

Pertumbuhan Kepausan

Abad ke empat merupakan masa berkembangnya pengaruh para uskup Roma dan klaim
yang mereka ciptakan. Akar dari otoritas ini sejauh menyangkut tempat, kesejahteraan, dan
penciptaannya oleh gereja Romawi terletak pada pertemuan rasul Petrus dan Paulus. Meskipun
demikian, seiring dengan perjalanan waktu, klaim takhta Roma sebagai yang lebih unggul
didasarkan pada penerimaan kenyataan bahwa para uskupnya adalah pengganti Petrus. Gereja
Roma adalah penjaga makam rasul yang menjadi martir dan koleganya Paulus. Kaisar
Konstantinus menghormatinya dengan membangun dua basilika St. Petrus di bukit Vatikan, dan
St. Palus di luar tembok. Semangat dan kehadiran para rasul ini memelihara gereja Roma dan
secara khusus mempertahankannya. Maka hampir tidak mengejutkan bahwa gereja ini
dipandang memiliki otoritas khusus, bukan hanya di antara gereja-gereja di Italia Selatan yang
telah mengakui jurisdiksi Roma, tetapi juga di Barat pada umumnya dan bahkan sampai pada
titik tertentu di Timur.
Ketika paus Damasus (366-384) memulai kebiasaan melukiskan gereja Roma sebagai
“takhta apostolik” dia tentu saja dalam arti tertentu menemukan dan sekaligus
mempertajamnya. Di satu pihak dia ingin menegaskan keunggulan Roma bahkan di antara
gereja-gereja patriarkal, di lain pihak mengkritik peninggian Konstantinopel yang tidak memiliki
dasar apostolik di atas Alexandria dan Antiokia yang memiliki dasar itu. Pokok ini tidak tanpa
pembenaran sebelumnya. Status uskup Roma telah diakui oleh Konstantinus ketika dia
berpaling kepada paus Miltiades untuk memutuskan klaim Donatis di Afrika; dan pada masa
Julius (337-352), telah diakui diam-diam oleh para uskup Timur, yang meminta persetujuan
Roma bagi pembuangan Athanasius dan Marcellus Ancyra. Meskipun dibayang-bayangi oleh
teman sejamannya yang berpengaruh besar, Ambrosius dari Milano, paus Siricius yang
menggantikan Damasus menjalankan kuasa pendisiplinan bukan hanya atas gereja-gereja di
Italia tapi juga atas gereja di Gaul dan Spanyol. Pada akhir abad ke empat, Roma tidak saja

38
W. Walker et. al., A History of the Christian Church, Edinburgh 1986, 147-151.

62
mengklaim, tetapi juga memiliki sebuah peranan dan otoritas khusus di antara gereja-geraja
pada umumnya. Roma adalah takhta patriarkal senior. Kata-katanya juga berpengaruh di Timur.
Di Barat, dia mulai memegang otoritas hampir dalam tingkat legislatif.
Para paus pada abad ke lima memperluas otoritas ini. Innocentius I (402-417) berhasil
menanamkan prestise dan otoritas uskup Roma di Barat. Dia merujuk pada uskup Roma sebagai
“kepala dan puncak episkopat,” dan berdasarkan kanon-kanon Konsili di Sardica, yang
diatributkannya pada Konsili Nicea, dia mengklaim jurisdiksi universal. Semangat yang sama
menganimasi Paus Leo I (440-461) yang digelari “agung.” Dia meneguhkan primat Petrus di
antara para rasul dan mengajarkan bahwa para paus, seperti Petrus pewaris yang sah, mewarisi
peranannya sebagai pemimpin dan guru tertinggi, demikian juga Petrus bisa dikatakan
berbicara dalam dan melalui mereka. Dalam semangat inilah dia mencampuri kontroversi
Euthyuchian dengan Tome yang dialamatkan kepada Flavianus, uskup Konstantinopel.
Dokumen ini akhirnya diterima oleh Konsili Kalcedon (451) sebagai keyakinan ortodox dengan
seruan, “Petrus telah berbicara melalui Leo.” Meskipun dipusingkan oleh Kanon 28 Konsili
Kalcedon yang menyetujui otoritas takhta Konstantinopel demi penghormatan sama dengan
Roma, Leo memandang posisinya dibela di Barat. Di Afrika Utara, Spanyol, dan Gaul, dia
menetapkan otoritasnya sebagai rujukan hakim tertinggi bagi masalah-masalah tatanan gereja.
Otoritas ini diteguhkan oleh kaisar Valentinianus III yang mendekritkan dengan “edik kekal
bahwa tidak sah secara hukum bagi para uskup Gaul dan provinsi-propinsi lain...untuk
melakukan apa saja tanpa otoritas paus kota Abadi yang terhormat.” Pandangan Leo yang
terkenal dan resmi ini dan jabatannya selanjutnya diwujudkan dalam sebuah laporan utusan
yang dimintanya ke Attila the Hun, ketika yang terakhir ini mendekati Roma dengan
pasukannya. “Raja,” dilaporkan, sangat senang akan kehadiran imam kepala kristen yang
memberi perintah untuk menghentikan perang. Uskup Roma tidak hanya menjadi guru tetapi
juga pemimpin dan penjaga umat Kristen di Barat.
Kemudian, dalam pergulatan dengan Monofisitisme, para uskup Roma secara teratur
memasukkan otoritasnya ke dalam usaha para kaisar Timur untuk mendamaikan para Monofisit
di Siria dan Mesir dengan mengangkat doktrin Kalcedon tentang “dua kodrat” dalam Kristus.
kebijakan ini menuntun pada ekskomunikasi patriarch Konstantinopel, Acacius oleh Roma pada
masa pontifikal Felix III (483-492). Skisma yang dikenal dengan nama “Skisma Acacian” ini
diselesaikan pada tahun 519 dengan kemenangan pada pihak paus. Akan tetapi kemenangan
ini, ketika hal ini menunjukkan pentingnya takhta Roma dalam urusan-urusan gerejani bahkan
di gereja Timur, pada waktu yang sama membuktikan persekutuan yang makin berkembang
antara gereja Barat dan Timur. Persekutuan ini terjadi ketika paus Vigilius (537-555) diseret ke
Konstantinopel oleh kaisar Justinianus dan dimasukkan ke penjara untuk berkompromi dengan
Monofisit. Timur mengakui status patriarkal (dan bobot politis) uskup Roma, tetapi tidak
otoritas universal yang diklaim oleh Loe I dan para penggantinya. Di pihak lain, di daerah Barat

63
yang semakin dikuasai oleh barbar, otoritas paus semakin mantap, bahkan ketika kekuasaan
mereka yang aktual diperkecil, simbol dari otoritas apostolik dan tradisi Romawi. 39

Monasticisme

Sebuah gerakan yang mulai muncul pada abad ke tiga dan berkembang cepat selama
abad ke empat, yang diberi label “monastik” (dari bahasa Yunani, monachos, “keheningan”)
menyumbangkan sebuah dimensi baru baik secara institusional maupun spiritual kepada
kehidupan gereja. Gerakan ini adalah kelanjutan dari tendensi yang telah tampak sebelumnya
dalam komunitas Kristen. Secara tradisionil gerakan ini dipahami sebagai pintu masuk ke dalam
sebuah kehidupan yang ditandai dengan penyangkalan terhadap tatanan dunia yang sekarang
dan dedikasi penuh kepada suatu tatanan baru yang dinyatakan dalam kebangkitan Kristus.
Model hidup ini telah dicerahi oleh kesaksian para martir, yang seperti Kristus sendiri telah
berjuang melawan kekuatan jahat dan menang melalui kematian. Sejak awal gereja telah
mengenal para asketis yang baik secara individual maupun bersama berusaha meneladani
Kristus dan para martirnya untuk menghidupi kehidupan kristen dalam kepenuhannya dengan
penolakan sistematis segala bentuk kelekatan kepada dunia. Dengan meninggalkan pencarian
harta milik dan kekayaan, menahan diri dari dorongan seksual, dan membaktikan diri kepada
doa, puasa dan belajar Kitab Suci, orang-orang ini berusaha hidup pada saat ini sebagai warga
zaman yang akan datang.
Meskipun gerakan hidup monastik memiliki akarnya dalam asketisme kristen awal, tetapi
hidup monastik ini memiliki kekhasan tersendiri. Monastisisme pada mulanya muncul di antara
para kelas petani. Pertumbuhan awalnya sejalan dengan pertobatan penduduk yang bebas dari
pengaruh helenisasi di Mesir dan pedalaman Syria. Pada waktu yang sama, monastisisme
adalah satu gerakan pengasingan dan pengunduran. Secara instingtif gerekan ini mencari
padang gurun: memisahkan diri baik secara fisik mapun sosial dari kota dan desa, dan dengan
demikian dari kehidupan normal gereja juga. Pengasingan ini (Yunani, anachoresis, bahasa
Inggris, anchorite) tidak memiliki arti tugngal. Dari satu sisi kata ini berarti menginginkan
keheningan; dari sisi lain menujuk pada gerakan yang menampakkan penolakan keduniawian
dan bahkan rasa jijik akan sipilisasi dan budaya. Selain itu, pengasingan ini juga merupakan
pengungkapan pelarian menetap kelas petani yang memiliki terlalu banyak beban yang datang
dari tuntutan negara dan pungutan pajak. Karena pada waktu yang sama gerakan ini menjadi
wujud dorongan yang bersifat awam dan populer dan mencerminkan pertumbuhan antusiasme
religius yang sangat cepat, monasticisme menciptakan masalah bagi gereja dan para
pemimpinnya, para uskup. Gerakan ini menjadi ancaman yang menciptakan organisasi
kehidupan kristen yang terpisah. Masalah ini teratasi ketika para pemimpin gereja sendiri
menjadi sponsor, organisator dan akhirnya melahirkan gerakan ini.

39
W. Walker et. al., A History of the Christian Church, Edinburgh 1986, 151-153.

64
Semangat monsticisme ini bisa kita pelajari dari Antonius dari Mesir, seorang pemimpin
yang paling berpengaruh dalam gerakan ini. Life nya yang ditulis oleh Athanasius dari
Alexandria adalah fragmen yang berisikan propaganda atas gerakan tersebut yang banyak
dibaca di Timur dan Barat. Anthonius lahir sekitar tahun 250. Pada usianya yang ke 20 dia
ditangkap oleh Sabda Tuhan bagi orang kaya muda. Dia menjual warisan orang tuanya dan
menjalani hidup pertapa di pinggir kampung kelahirannya, di bawah pemeliharaan seorang
asketis yang lebih tua. Karena berkembang dalam hidup ini, dia secara perlahan bergerak ke
padang gurun. Akhirnya dia menghabiskan waktu 20 tahun dalam kesendirian di sebuah
rongsokan pelabuhan dekat pantai Laut Merah. Selama waktu ini dia terlibat dalam pergulatan
heroik, seperti para martir, melawan kekuatan jahat. Dalam nama Kristus, dengan karya yang
terus menerus, berpuasa, dan terus berjaga dan dengan doa yang tiada henti dan membaca
kitab suci, dia berhasil menaklukkan kekuatan setan. Cara hidup ini membuat orang lain
memandangnya tidak hanya sebagai pahlawan dan orang yang diilhami dengan kekudusan,
tetapi orang yang menghadirkan kodrat mansiawi yang direstorasi menjadi yang seharusnya.
Dia menyembuhkan orang sakit, mendamaikan yang bertikai, dan dengan contoh dan kata-kata
mengajarkan kebijaksanaan yang dia pelajari. Orang lain berkumpul di sekelilingnya, dan
muncullah sebuah komunitas pertapa yang longgar, yang berlatih bagi keselamatan jiwa
mereka di bawah tuntunan Anthonius. Pada waktu Anthonius wafat tahun 356 ada sekitar
ribuan asketis yang mempraktekkan hidup mengikuti Kristus di padang gurun.
Sebagian mempraktekkan satu bentuk hidup monastik baru dan komunal yang muncul di
Upper (selatan) Mesir di bawah pimpinan dan inspirasi Pachomius (sekitar 290-346). Tidak lama
setelah melaksanakan wajib militer dalam pasukan tentara Romawi, Pachomius yang lahir di
Chenoboskion ini, datang untuk dibaptis dan segera sesudahnya menjalani hidup pertapa di
bawah pengawasan seorang asketis yang lebih tua bernama Palamon. Sekitar tahun 320 dia
mendirikan sebuah komunitas monastik yang terorganisasi di kampung Tabbenisi. Anggota
komunitas ini hidup bersama dengan ketat (koinos bios, Inggris coenobite atau cenobite)
dengan mengikuti jadwal kerja, doa dan meditasi bersama. Mereka makan bersama dan
memiliki harta bersama. Mereka menghayati ketaatan yang ketat kepada superior yang
memimpin biara sebagai satu keseluruhan dan kebijakan rumah sesuai dengan Peraturan yang
dikembangkan oleh Pachomius secara bertahap. Sementara itu Koinonia Pachomius mulai
mencakup sejumlah pusat monstik seperti itu (termasuk komunitas wanita) dan dengan
demikian membentuk “ordo” monastik yang pertama. Komunitas ini hidup dari kerja mereka
sendiri (pertanian, menenun) dan berbakti bagi pertolongan satu sama lain dan
penyemangatan dalam menapaki jalan keselamatan.
Baik monsticisme heremitical Anthonius maupun komunitas Pachomius menyebar ke
daerah lain. Di Syria gerakan ini mendapat warna baru yang dicirikan oleh penyangkalan diri
yang ekstrem dan praktek asketis yang eksentrik. Simeon the Elder (sekitar 390-459) yang
disebut dengan “Stylistes” adalah contoh terkenal dari asketis ini, karena dia menghabiskan 30

65
tahun hidup di sebuh pilar, tiang untuk berdoa dan berkhotbah bagi pejiarah yang
mengunjunginya. Orang kudus seperti ini menjadi sangat terhormat di Syria. Di Kapadoccia dan
Pontus dan kemudian di Asia Kecil pada umumnya cenobitisme menjadi satu aturan. Kehidupan
monastik ini merupakan hasil karya Basilius Caesarea. Para rahibnya berusaha meneladani
komunitas apostolik di Yerusalem dengan hidup dan mempunyai milik bersama. Dalam
perjalanan waktu Basilius menambahkan ketaatan ke dalam daftar kebajikan monastik. Para
rahib tidak hanya harus hidup di komunitas, dengan mempraktekkan karitas terhadap sesama,
tetapi juga menyangkal diri dengan menundukkan diri kepada aturan komunitas yang diwakili
oleh abbas. Selain itu, Basilius mengajak agar biara-biara ditempatkan di sudut-sudut kota, di
mana mereka bisa membantu masyarakat dengan menawarkan contoh dan instruksi dan juga
penyambutan para pejalan dan perawatan orang sakit dan yang membutuhkan. Peraturan-
peraturan yang ditulis oleh Basilius akhirnya menjadi dasar kehidupan monastisisme di Yunani
dan Rusia hingga saat ini.
Baik secara institusional maupun teologis Basilius dan sekolahnya (termasuk Gregorius
Nazianze dan Gregorius Nyssa) mempengaruhi monatisisme di masa depan. Ideal monastik
pertama sekali dibawa ke Barat olah Athanasius dan dengan karyanya Hidup Anthonius yang
dengan cepat diterjemahkan ke dalam bahasa Latin (sekitar tahun 360). Petunjuk mengenai
institusi monastik pertama dikaitkan dengan nama Martin Tours (sekitar 335-397). Dia
mendirikan monastik di Liguge ketika menjadi uskup di Tours. Hampir dalam waktu yang sama,
Eusebius, uskup Vercelli (340-371) mengintrodusir sebuah bentuk komunitas yang baru dengan
mengorganisasi imam gerejanya di bawah aturan asketis yang kemudian diikuti oleh Agustinus
Hippo. Di Milano pada tahun 380 terdapat sebuah biara laki-laki persis di luar kota. Komunitas
ini disponsori dan diawasi oleh uskup Ambrosius. Pada dekade terakhir abad keempat,
komunitas monastik semakin berlipat ganda di Italia.
Bagi komunitas-komunitas yang berkembang ini disediakan berbagai peraturan hidup.
Dari aturan-aturan ini, Peraturan Benediktus menjadi norma bagi monatisisme Barat.
Benediktus dar Nursia ini (sekitar 480-550) pada awalnya adalah seorang pertapa yang hidup di
Subiaco dan membentuk murid-muridnya menjadi satu komunitas kecil. Akhirnya ia pindah ke
Monte Casino, di sana ia mendirikan biara cenobite untuk menghidupi Peraturannya. Model
biaranya adalah stabil, sebuah komunitas self-supporting yang membaktikan diri untuk
mengikuti Kristus. Para anggotanya diminta meninggalkan milik pribadi, melaksanakan
penyangkalan diri dan tinggal di komunitas. Abbas, kepala komunitas yang memberi nasehat
kepada saudara dalam hal-hal berat, harus ditaati. Peraturan Benediktin ini menyebar secara
perlahan, kendatipun peraturan ini menikmati approbasi khusus dari Paus Gregorius Agung
yang terus menggunakan para rahib sebagai misionaris, sebagai uskup dan sebagai duta.
Akhirnya peratuarn ini menjadi model bagi seluruh monasticisme Eropa.40

40
W. Walker et. al., A History of the Christian Church, Edinburgh 1986,153-158.

66
Kontroversi Kristologis

Akibat pengajaran Arius dan tanggapan Konsili Nicea, kontroversi trinitaris pada awalnya
difokuskan pada status Logos/Putera ilahi – hubungannya dengan Allah dan peranannya dalam
hubungan Allah dengan tataran ciptaan. Debat ini menimbulkan masalah mengenai pribadi
Kristus, karena aksioma pertama Kristologi kuno ialah keyakinan bahwa Yesus Kristus ialah
Logos ilahi yang “menjadi daging” – menjadi ada dengan cara manusiawi, atau disatukan
kepada kemanusiaan. Aksioma ini tidak dipermasalahkan sama sekali oleh kelompok-kelompok
yang kontra Arian. Meskipun demikian, dalam mengangkat persoalan mengenai kodrat dan
status Logos, para pengikut Arian memaksa gereja untuk memikirkan lebih eksplisit arti
rumusan “Logos menjadi daging.” Eksplorasi atas masalah ini melahirkan debat tentang
keilahian dan kemanusiaan Kristus dan model relasinya, dan selama debat ini lahir dua buah
sekolah – yang disebut dengan sekolah Alexandria dan sekolah Antiokia. Konflik antara kedua
sekolah ini, teologis dan politis, menuntut tiga konsili ekumenis untuk menyeselaikannya dan
bahkan menghasilkan dua skisma yang terus berjalan dalam gerakan Kristen.
Masalah kristologis ini muncul pertama sekali dalam sebuah argumen yang tampaknya
dipakai oleh para Arian untuk mendukung tesis mereka bahwa Logos adalah sebuah ciptaan.
Merujuk pada Injil, mereka menunjukkan bahwa Yesus adalah seorang pribadi yang lapar, haus,
menangis, menunjukkan ketidakperdulian, dan menderita. Dari data-data ini mereka
menyimpulkan bahwa Logos memiliki sejenis kodrat yang tunduk pada batasan-batasan
manusiawi biasa. Dengan kata lain, dia adalah terbatas dan ciptaan. Akhirnya Athanasius
memakainya dalam argumennya, karena dia percaya hal ini menyentuh masalah utama.
Melawan Arian, dia menegaskan bahwa Logos adalah Allah sungguh dan Allah penuh, dengan
dasar bahwa hanya melalui kehadiran rahmani sesorang yang adalah Allah sendiri yang
membuat kodrat manusiawi bisa diilahikan – ditinggikan menjadi murid dan kesamaan dengan
penciptanya. Singkatnya Athanasius menilai bahwa penebusan manusia menuntut kehadiran
Allah yang langsung dengan dan untuk kemanusiaan, melaluinya ciptaan bisa berpartisipasi
dalam kehidupan ilahi. Bagi dia, inkarnasi Logos adalah momen yang memungkinkan terjadinya
kesatuan manusia sungguh dan ilahi penuh.
Dalam menyatakan prinsip ini, Athanasius menyuarakan motif sentral dari seluruh tradisi
Aleksandria dalam Kristologi. Tetapi pada saat yang sama, dalam membela prinsipnya dia
menunjukkan bahwa dia dan lawannya mengambil bagian sekurang-kurangnya dalam dua
asumsi tentang pribadi Kristus. pertama-tama kedua belah pihak setuju bahwa Logos adalah
nyata. Athanasius menyatakan keyakianannya dengan hati-hati dan dengan cara yang qualified.
Jika benar bahwa Logos haus dan menderita, itu benar hanya sejauh dia mengenakan cara
berada manusia. Itu bukan dalam kodrat ilahinya yang sebenarnya, tetapi hanya dalam kodrat
manusiawinya dia dikenai oleh sifat-sifat seperti itu. Walaupun demikian Athanasius merasa
pasti bahwa kepada Putera ilahilah, dan bukan yang lain, atribut-atribut itu dikenakan. Tapi

67
kemudian, pada tempat kedua, kedua belah pihak biasanya merujuk kepada kemanusiaannya
yang menjadi milik Logos Allah melalui inkarnasi sebagai “tubuh.” Bahkan manakala Athanasius
ingin mengkounter pandangan bahwa Kristus – yakni, Logos yang menjadi daging – bisa
menderita diabaikan, dia tampaknya tidak pernah berpikir melengketkan kebodohan itu kepada
pikiran manusiawi atau jiwa dalam Kristus. Yang penting bagi dia adalah persatuan Logos
dengan dimensi tubuh kodrat manusiawi. Athanasius tentu saja tidak menyangkal kesadaran
pusat manusiawi dalam Kristus, tetapi juga tidak terlalu menaruh ketertarikan di dalamnya.
Hal yang hanya implisit dalam pemikiran Athanasius menjadi eksplisit dalam Apolinaris,
uskup Laodicea di Siria (+ sekitar 390). Dia adalah pemikir pertama pada masa ini untuk
mengembangkan Kristologi sistematis. Sebagai pendukung kuat iman Nicea, teman Athanasius,
dan orang yang bertanggung jawab atas pentobatan Basilius Caesarea kepada posisi
homoousian, Apollinaris menikmati respek dari para teman sejamannya karena keahliannya
sebagai ekseget dan model hidup asketisnya. Posisi kristologisnya, seperti Athanasius, lahir dari
keinginan untuk meneguhkan bahwa dalam Kristus, Putera Ilahi hadir secara langsung untuk
mengubah dan mengilahikan manusia pendosa dan mortal. Bagi dia, keyakinan bahwa
persatuan langsung Logos dengan kemanusiaan dalam Kristus memerlukan keyakinan “ego”
sejati, prinsip hidup utama, dalam Yesus adalah sungguh Logos sendiri. Kemudian, tidak ada
pertanyaan mengenai persatuan Putera Ilahi dengan adaan manusiawi yang normal dan penuh,
karena dalam situasi itu ada dua kehendak yang bersaing, dua pikiran, dua diri dan dua Putera,
manusiawi dan ilahi. Persatuan Kristus akan dilebur dan dengan kesatuannya nyatalah
kebenaran esensial, yakni bahwa dia adalah “Allah beserta kita.”
Apolinaris berpikir bahwa cara memahami dan meneguhkan kesatuan ini adalah seperi
berikut: persis seperti makhluk manusiawi biasa terbuat dari roh, jiwa dan tubuh – atau
memakai bahasa Apolinaris intelek, jiwa, dan tubuh – demikian juga Kristus terbuat dari
elemen-elemen struktural yang sama tapi dengan satu perbedaan yang sangat penting. Kristus
adalah suatu organisme tunggal – “satu kodrat yang majemuk.” Di dalam dia tubuh duniawi
ditenun bersama dengan Allah Bapa dan Logos mengkontribusikan suatu energi khusus kepada
keseluruhan, karena dialah satu-satunya sumber kehidupan dalam organisme manusiawi-ilahi
ini. Kesatuan hidup ini pada gilirannya berarti bahwa “baik yang bertubuh maupun yang ilahi
dinamai sebagi Kristus keseluruhan. Kesulitan dengan ajaran ini adalah bahwa dengan
menyatakan penggantian roh atau intelek manusiawi oleh Logos ilahi, ajaran ini menampilkan
kemanusiaan Kristus sebagai tidak komplet. Bagi Apollinaris hal ini tidak bisa ditentang.
Pandangan ini tidak populer dan mendapat serangan dari berbagai sudut. Gregorius dari
Nyssa mengarang sebuah risalah, Against Apollinaris, yang mengatakan bahwa keseluruhan
aspek manusiawi perlu dikenakan oleh Logos ilahi karena bukan hanya tubuh, tetapi juga jiwa,
pikiran; intelektual dan juga tubuh yang dijiwakan ikut ternoda oleh dosa. Ajaran Apllinaris
dihukum pada tahun 377 oleh Sinode Roma di bawah paus Damaskus, dan dua tahun kemudian

68
oleh sinode di Antiokia di bawah pimpinan Miletius. Kanon 1 Konsili Konstantinopel pada tahun
381 menghukum Apollinarisme.
Lawan utama Apollinaris ialah sekolah Antiokia. Para pendukung Antiokia ini berada pada
garis yang mendukung tradisi yang menekankan peranan Kristus sebagai “Adam Kedua” yang
membawa keselamatan karena ketaatannya sebagai manusia. Pandangan Apollinaris bahwa
Kristus secara keseluruhan merupakan subyek dari ciri-ciri ilahi dan manusia dinilai sebagai
hujatan. Bagaimana mungkin orang berkata tentang Sabda Allah, jika dia adalah Allah yang
sejati, dia haus dan menderita dan mati? Ke dalam permasalahan ini juga terlibat Diodore (378-
394) yang kemudian menjadi uskup di Tarsus. Seperti Arians, Athanasius dan Apollinaris,
Diodore yang turut berpartisipasi dlam Konsili Konstantinopel berkata bahwa Kristus
merupakan kesatuan dari Logos dengan daging. Tetapi dia menegaskan bahwa ada pembedaan
yang jelas antara “daging” dan “Logos.” Murid Diodore yang bernama Theodore, uskup
Mopsuestia di Cilicia (392-428), mengeksplisitkan teologi sekolah Antiokia. Dihukum pada
konsili ekumenis ke lima (553) sebagai asal usul Nestorianisme, Theodore melawan ide
Apollinarian yang mengatakah bahwa Kristus adalah “suatu kodrat yang majemuk” dengan
pandangan bahwa dalam Dia ada dua “kodrat” dua “hypostases” yang dipahaminya sebagai
Logos ilahi dan kodrat manusia yang penuh, “Manusia.” Doktrin yang dikenal dengan kesatuan
prosopic (satu pribadi) memungkinkan Theodore tidak hanya untuk menegaskan bahwa
kemanusiaan Kristus adalah komplit, tetapi juga menakankan pentingnya ketaatan dan derita
manusiawinya bagi penebusan manusia. Pendapat ini memiliki konsekuensi bagi sebutan Maria
sebagai “Bunda Allah.” Dilahirkan sebagai manusia bukanlah atribut sebenarnya dari Logos
sendiri, tetapi hanya atribut wujud manusia yang di dalamnya Logos berdiam. Kepada tradisi
kristologis monisme yang berasal dari Athanasius dan memuncak dalam ajaran Apollinaris,
Theodore mempertentangkan suatu dualisme kristologis yang sangat ketat.
Naiknya Nestorius, seorang rahib sekolah Antiokhia, menjadi Patriark Konstantinopel
pada tahun 428 membawa debat kedua tradisi kristologis ini kepada babak baru. Tema ini
menjadi fokus pergulatan politik antara takhta Alexandria dan Konstantinopel. Nestorius
menghormati dan secara esensil memunculkan kembali ajaran Theodore Mopsuestia tentang
kesatuan pribadi. Pada saat tiba di ibukota kerajaan, Nestorius menghadapi kontroversi yang
sedang marak mengenai theotokos yang dikenakan pada Perawan Maria. Menimbang
kontroversi ini Nestorius memberikan pendapat bahwa istilah itu tidaklah cocok karena “yang
dibentuk dalam rahim itu bukanlah...Allah.” Nestorius lebih suka dengan istilah Christotokos
(“Bunda Kristus). Pandangan ini menjadi pukulan bagi orang-orang yang menyatakan bahwa
Logos dan kemanusiaannya sedemikan bersatu sehingga yang dikatakan tentang
kemanusiaannya merupakan subyek Putera ilahi. Oleh karena itu pernyataan Nestorius
dilaporkan kepada Cyrillus, patriark Alexandria, yang sangat membela theotokos dan tradisi
Kristologis Athanasius. Sebelum masalah ini dibawa kepadanya, Cyrillus sudah bertikai dengan
koleganya di Konstantinopel mengenai kasus beberapa rahib Mesir yang berpaling kepada

69
Nestorius melawan putusan Cyrillus. Cyrillus mewakili tradisi Kristologis Alexandria. Ia
memainkan peranan yang sama dengan Thodore Mopsuestia dalam pembentukan pandangan
Antiokia.
Bagi Cyrillus batu ujian ortodoksi dalam kristologi dan bidang lain adalah rumusan
kepercayaan 318 orang Bapa-Bapa Konsili Nicea, yang diungkapkannya dengan “satu kodrat
inkarnasi Logos Ilahi.” Dalam Kristus terdapat satu subyek, satu kodrat atau hypostasis, yakni
Logos ilahi. Kemanusiaan Kristus, tubuh dan jiwa, adalah sebuah mode of existence yang
dijadikan Logos miliknya melalui kelahirannya dari seorang wanita. Dengan kata lain
kemanusiaan sama sekali tidak terpisahkan dari Logos sebagai “yang lain” di sampingnya.
Pandangan ini dirangkumkan dalam ungkapan seperti “persatuan dalam hypostasis” atau
“persatuan kodrat.” Cyrillus memulai serangannya terhadap Nestorius dengan menulis kepada
para rahib Mesir untuk mempertahankan kata theotokos. Untuk memperkuat posisi, dia minta
dukungan dari Kaisar Theodosius II dan ratu Eudocia dan Pulcheria. Dia juga minta dukungan
dari paus Celestinus I (399-453). Nestorius juga menulis ke Roma, tapi hal ini hanya
membangkitkan kebencian Celestinus, antara lain atas kenyataan bahwa Nestorius menyambut
para pemimpin Pelagius. Sementara itu Cyrillus dan Nestorius telah dua kali saling berkirim
surat: permintaan Cyrillus agar Nestorius “berpikir dan mengajar ... dalam persatuan dengan
kami; pernyataan Nestorius bahwa Cyrillus salah memahami credo Nicea. Dalam sebuah sinode
di Roma tahun 430, Celestinus memerintahkan agar patriark Konstantinopel ini menarik
ajarannya atau diekskomunikasi. Hal ini mendorong Cyrillus untuk menulis surat ketiga yang
mengutuk Nestorius. Surat ini dibalas dengan kutukan dari pihak Nestorius.
Debat dan situasi ini mengajak kaisar Valentinianus III di Barat dan Theodosius II di Timur
untuk memanggil sebuah konsili untuk berkumpul di Efesus tahun 431. Cyrillus dan
rombongannya tiba lebih dahulu daripada Nestorius yang belum juga tiba pada saat
pembukaan Konsili. Cyrillus mendesak agar sidang dimulai. Nestorius menolak untuk hadir,
kendatipun dia dipanggil secara paksa untuk hadir. Pada sebuah sessi harian, perkumpulan ini,
dengan menegaskan otoritas credo Nicea dan mengakui interpretasi Cyrillus atasnya,
menghukum dan membuang Nestorius. Beberapa hari kemudian tibalah para pendukung
Nestorius. Setelah berkumpul mereka menetapkan hukuman Cyrillus dan Memnon, uskup
Efesus. Akhirnya tiba para utusan paus Celestinus dan bergabung dengan kelompok Cyrillus
yang kemudian membuang Johannes Antiokhia sebagai tanda persekutuan dengan Barat dalam
menghukum Pelagianisme. Dalam situasi kacau ini kaisar Theodosius mendukung Cyrillus dan
membuang Nestorius. Dia menarik diri ke biara dekat Antiokia. Pada tahun 433 Johannes
Antiokia dengan dokumen yang dikenal dengan Formula of Reunion mengakui istilah Theotokos
sambil mengakui bahwa Kristus adalah sungguh Allah dan sungguh Manusia, juga suatu
kesatuan dari dua kodrat dan satu Putera. Dengan ini kasus Nestorius menghilang. Dia akhirnya
dibuang ke Mesir bagian Utara dan wafat di sana pada tahun 450.

70
Rekonsiliasi ini bertahan hanya sementara. Pada tahun 438 kecurigaan atas sikap mendua
Antiokia muncul. Kali ini Cyrillus berhadapan dengan Diodore Tarsus dan Theodore Mopsuestia
yang ajarannya masih mendapat penghormatan di antara penanda tangan Formula of Reunion
dari aliran Antiokia. Debat yang dahulu muncul kembali. Setelah meninggal pada tahun 444
Cyrillus digantikan oleh Dioscorus (454) yang sangat gigih mengusahakan kemenangan
Alexandria dari lawan-lawan politis dan teologisnya. Pada waktu yang sama Flavian, yang
cenderung memihak pandangan Antiokhia, (447-449), menggantikan Proclus yang telah
menggantikan Nestorius sebagai patriark Konstantinopel. Inilah kesempatan bagi munculnya
konflik. Pendukung utama dalam kampanye Dioscourus di Konstantinopel ialah Eutyches. Figur
terkenal ini adalah kepala biara di kota itu dan mempunyai pengaruh di kerajaan. Sebuah
sinode lokal Konstantinopel di bawah pimpinan Flavianus, Eusebius, uskup Dorylaeum,
melancarkan serangan terhadap para Alexandrian. Dia menuduh Eutyches mengajarkan bahwa
kodrat manusiawi Kristus diubah dan dirembesi oleh dewa-dewi. Di hadapan sinode Eutyches
menyangkal kemanusiaan Kristus homoousios dengan kemanusiaan kita dan mengatakan
bahwa Kristus adalah dua kodrat sebelum persatuan (inkarnasi) tetapi setelah persatuan,
menjadi satu kodrat. Oleh karena itu sinode membuang dia dan menyatakan dia sebagai
heretik. Eutyches meminta bantuan kepada kerajaan yang memberi tanggapan dengan
menuntut agar Flavianus menyatakan imannya, sementara Dioscorus di Alexandria meminta
agar kerajaan memanggil satu konsili umum.
Kedua pesaing ini berpaling kepada paus Leo I (440-461). Setelah mempelajari catatan
yang dikirimkan oleh Flavianus mengenai pertemuan yang menghukum Eutyches, Leo
mengirimkan kepada Flavianus apa yang disebut dengan Tomus. Dengan tomus tersebut Leo
hendak mengakhiri debat dengan menetapkan tradisi kristologis Romawi dan Barat. Tapi posisi
ini menempatkan Roma berseberangan dengan sekutunya Alexandria. Akhirnya pendukung
konservatif posisi Cyrillus harus memandang Tome Leo sebagai sebuah doktrin yang sedikit
lebih baik dari Nestorianisme murni.
Sementara itu Dioscorus mengambil langkah untuk menyelamatkan Eutyches. Di
pihaknya, Theodosius II memanggil sebuah konsili umum untuk berkumpul di Efesus pada bulan
Agustus 449. Flavianus dari Konstantinopel dan Eusebius dari Dorylaeum dihukum, Euthyches
dibela. Tomus Leo dilarang untuk dibacakan. Konsili menetapkan bahwa tidak bisa ditambahkan
apapun pada credo Nicea. Dioscorus menang tetapi dengan akibat perpecahan antara
Alexandria dan Roma. Leo menyatakan konsili tersebut sebagai “sinode pencuri.” Dia mendesak
kaisar untuk mengadakan konsili baru di Italia, tetapi Theodosius adalah pendukung kuat pihak
Alexandria.
Situasi berubah ketika Pulcheria menduduki tahka yang ditinggal oleh Theodosius yang
wafat pada bulan Juli 450. Pemerintah baru ini menolak permintaan Leo untuk mengadakan
konsili baru di Italia. Mereka memanggil satu konsili yang kemudian berkumpul di kota
Kalchedon pada musim gugur tahun 451. Konsili ekumenis yang keempat ini bertindak dengan

71
cepat untuk membuang Dioscorus dan merehabilitasi para pendukung Formula of Reunion dari
Antiokhia, terutama dua orang kritikus terkenal atas Cyrillus dari Aleksandria, yakni Theodoret
Cyrrhus dan Ibas dari Edessa. Para uskup yang hadir setuju bahwa credo Nicea dan
Konstantinopel pada situasi normal adalah cukup bagi perumusan iman. Namun, mereka
mengakui bahwa telah bangkit heresi baru. Untuk itu mereka menerima surat kedua dari
Cyrillus dari Alexandria kepada Nestorius dan surat Laetentur caeli di mana Cyrillus menyetujui
Formula of Reunion sebagai pengungkapan yang memadai bagi arti iman Nicea melawan
kesalahan Nestorius. Mereka juga menerima Tomus Leo yang pertama yang menyetujui ajaran
Cyrillus yang menerangkan iman ortodox melawan Eutyches. Para bapa konsili tidak ingin
menambahkan sesuatu pada iman Nicea. Tetapi atas desakan kerajaaan konsili menghasilkan
suatu rumusan yang sangat panjang. Rumusan yang merujuk pada rumusan konsili kalcedhon
ini, menegaskan kesatuan Kristus. Rumusan ini mencerminkan posisi yang diambil oleh Leo
dalam Tomusnya. Tetapi kemenangan doktrinal ini tidak membawa serta kemenangan dalam
lingkungan politis. Kanon 28 Konsili Kalcedon memberikan kepada takhta Konstantinopel hak
istimewa yang sama dengan Roma (dengan alasan bahwa Konstantinople adalah “Roma baru”).
Selanjutnya jatuhnya takhta Alexandria, yang ditandai oleh ketidaksukaan yang berkelanjutan
dari gereja-gereja Mesir bagi definisi Kalcedon, berarti bahwa gereja Roma telah kehilangan
sekutunya yang paling tetap di Timur dan pada waktu yang sama kemampuannya untuk
memerankan “kekuatan netral” berhadapan dengan klaim Alexandria dan Konstantinopel.
Kemenangan Roma juga tidak bisa menjamin kesatuan gereja. Konsekuensi kedua dari
Konsili Kalchedon ialah penciptaan gereja Nestorian yang terpisah dalam batas-batas kerajaan
Persia. Banyak uskup Oriental yang enggan menghukum Nestorius. Mereka menetap di
seberang perbatasan kerajaan Romawi di Persia, di mana sebelumnya mereka adalah
komunitas kristiani. Akar sebenarnya dari tubuh yang baru ini terdapat pada Sekolah Edessa, di
mana pengajarannya dijiwa oleh semangat Theodore Mopsuestia. Sebelum tahun 435 Ibas dari
Edessa adalah kepala sekolah ini. Pada saat wafat Ibas tahun 457, Narse yang menggantikan
posisinya memindahkan sekolah ini ke Nisbis di Persia. Di sana secara bertahap sekolah ini
menjadi pusat kekristenan – dan Nestorian – yang diperbaharui. Kepala gereja ini adalah
seorang “katholikos,” yang kemudian dikenal dengan “Patriarkat Timur” dan takhtanya pada
awalnya berada di Seleucia-Ctesiphon. Misi Nestorian membawa kekristenan ke Arab, India,
dan bahkan ke Turki. Gereja ini bertahan hidup dan berkembang seluruhnya di bawah
peraturan islam, tetapi dimusnahkan oleh serangan Mongol pada akhir abad pertengahan. 41

Timur terbagi

Pengakuan iman Kalchedon telah menjadi norma doktrinal resmi kerajaan. Bagi Roma dan
gereja-gereja barat, pengakuan ini menjadi ortodoksi yang tidak lagi dipermasalahkan. Situasi di

41
W. Walker et. al., A History of the Christian Church, Edinburgh 1986, 162-172.

72
Timur sangat berbeda. Selain kristen Nestorian yang mulai mengambil bentuk pengakuan
seputar Edessa dan di kerajaan Persia, para pendukung konservatif ajaran Cyrillus Alexandria
memunculkan suatu arti kecil lain mengenai ajaran Kristus sebagai satu subyek atau hypostasis
dalam dua kodrat. Mereka memandang Kristologi Leo tidak lebih baik daripada Nestorianisme.
Bagi mereka “dua kodrat” berarti dua subyek, dua realitas, dua Putera, dan dengan demikian
menyangkal kesatuan dalam Kristus antara Logos Allah dan kodrat manusiawi.
Timbul juga masalah lain yang diciptakan oleh kelompok Monofisit (yakni pendukung
rumusan “satu kodrat”).42 Mayoritas uskup Timur tunduk pada ajaran Cyrillus, namun sejumlah
kecil mengikuti Eutyches atau Dioscorus. Bahkan mereka yang mengamini dan mendukung
ajaran Kalcedon melakukan hal yang sama dengan alasan bahwa “Leo sejalan dengan Cyrillus.
Namun Cyrillus sendiri, sebagaimana ditegaskan oleh Monophysites, berbicara tentang satu
kodrat dan satu hypostasis dalam Kristus. Gerakan Monofisit memiliki akar dan pendukung yang
kuat baik di Mesir maupun di Syria Utara. Kegagalan para kaisar di Konstantinopel untuk
mendamaikan Monofisit kepada gereja kerajaan menciptakan skisma gerejani dan juga
pertikaian politis di antara warga Mesir dan Syria.

42
Monophysitism (from the Greek monos meaning 'one, alone' and physis meaning 'nature'), or Monophysiticism,
is the Christological position that Christ has only one nature, his humanity being absorbed by his Deity, as opposed
to the Chalcedonian position which holds that Christ maintains two natures, one divine and one human. A brief
definition of Monophysitist Christology can be given as: "Jesus Christ, who is identical with the Son, is one person
and one hypostas in one nature: divine-human." Monophysitism and its antithesis, Nestorianism, were both hotly
disputed and divisive competing tenets in the maturing Christian traditions during the first half of the fifth century;
during the tumultuous last decades of the Western Empire, and marked by the political shift in all things to a center
of gravity then located in the Eastern Roman Empire, and particularly in Syria, the Levant, and Anatolia, where
Monophysitism was popular among the people. There are two major doctrines that can indisputably be called
Monophysite: Eutychianism holds that the human and divine natures of Christ were fused into one new single
(mono) nature: His human nature was "dissolved like a drop of honey in the sea". Apollinarism or Apollinarianism
holds that Christ had a human body and human "living principle" but that the Divine Logos had taken the place of
the nous, or "thinking principle", analogous but not identical to what might be called a mind in the present day. After
Nestorianism, taught by Nestorius, Archbishop of Constantinople, was rejected at the First Council of Ephesus,
Eutyches, an archimandrite at Constantinople, emerged with diametrically opposite views. Eutyches' energy and
imprudence with which he asserted his opinions brought him the accusation of heresy in 448, leading to his
excommunication. In 449, at the controversial Second Council of Ephesus Eutyches was reinstated and his chief
opponents Eusebius, Dommus and Flavian, deposed. Monophysitism and Eutyches were again rejected at the
Council of Calchedon in 451. Monophysitism's theological point of view is also rejected by the Oriental Ortohodox
Churches, but was widely accepted in Syria, Egypt and the Levant, leading to many tensions in the Coptic period of
the Byzanitne Empire. Later, Monothelitism was developed as an attempt to bridge the gap between the
Monophysite and the Chalcedonian position, but it too was rejected by the members of the Chalcedonian synod,
despite at times having the support of the Byzantine emperors and once escaping the condemnation of a Pope of
Rome,Honorius I. Some are of the opinion that Monothelitism was at one time held by the Maronites, but the
Maronite community, for the most part, dispute this, stating that they have never been out of communion with the
Catholic Church. Miaphysitism, the Christology of the Oriental churches, was historically considered by the
Calchedoinan churches as a variant of Monophysitism, but these churches view their theology as distinct from
Monophysitism and anathematize Eutyches. (http://en.wikipedia.org/wiki/Monophysitism).

73
Reaksi Monofisit yang keras dan serius tampak dari peristiwa ini. Di Alexandria, para
pasukan kerajaan diminta untuk mengontrol gerakan brutal yang tidak mau menerima Proterius
sebagai pengganti Dioscorus hanya karena alasan bahwa dia ditahbiskan oleh empat uskup
Mesir yang telah menyetujui karya Kalchedon. Juvenal, patriark Jerusalem, diusir dari tahktanya
oleh umatnya sendiri dan dipaksa kembali ke Konstantinopel. Pada waktu kaisar Marcian (457)
wafat, Proterius dari Alexandria disuspensi dan Timotius diangkat oleh para Monofisit menjadi
patriark baru. Tetapi dia dibuang oleh kaisar baru, Leo (457-474). Di Siria kekuatan gerakan
Monofisit mencuat dalam diri Petrus Fuller yang ditahbiskan untuk menggantikan patriarkh
Martyrius Antiokia.
Setelah Kaisar Leo wafat, sebuah revolusi istana menggantikan penggantinya Zeno
dengan perampas kuasa Basiliscus (475-476) yang berada di barisan kelompok Monofisit. Dia
tidak hanya merestorasi Timotius (yang disebut oleh musuhnya “kucing”) ke tahta di
Alexandria, dan Petrus Fuller ke tahta Antiokia, tetapi juga mengeluarkan satu ensiklik yang
mengutuk Tomus Leo dan keputusan-keputusan Kalchedon. Kaisar Zeno yang kembali naik
takhta pada tahun 476 setelah Basiliscus menyerah, didukung oleh Patriarkh Acacius di
Konstantinopel ( 471-489) untuk mengusahakan suatu kompromi dan rekonsiliasi religius. Pada
tahun 482 dia mengeluarkan Henotikon yang menyatakan bahwa Credo Nicea, sebagaimana
ditegaskan kembali pada konsili Konstantinopel (381) dan Efesus (431) dipandang cukup untuk
merumuskan iman. Dokumen tersebut menghukum Eutyches. Zeno meneguhkan Kristologi
Cyrillus tetapi membiarkan masalah apakah ajaran “dua kodrat” dari Tomus Leo konsisten
dengan definisi Kalcedonia tetap terbuka. Pada awalnya kebijakan ini mendapat sukses besar di
Timur dan menjadi norma ortodoksi kerajaan. Tetapi pada akhirnya Henotikon gagal mencapai
tujuannya. Karena satu hal, takhta Roma, melihat kehormatan dan ortodoksinya diserang oleh
penolakan Kalchedon, mengekskomunikasi Acacius dan memutuskan relasi dengan Timur.
Skisma Acacian ini berlanjut hingga tahun 519 ketika kaisar Justinus (+527) menegakkan
kembali otoritas rumusan iman Kalcedon. Debat antara Monofisit dan Kalcedon berlanjut.
Kontroversi kristologis berlanjut dalam figur imam Severus (sekitar 465-538) yang diduga
sebagai penulis Pseudo Dionysius. Dia memenangkan Monofisit pada dekade terakhir abad ke
lima di kekaisaran Timur. Kaisar Anastasius berhasil dia menangkan. Severus secara eskplisit
menghukum rumusan iman kalchedon dan Tomus Leo. Di Antiokia, patriark pro Kalchedon
digantikan oleh Severus sendiri (512) dan Macedonius, Patriark Konstantinopel dikirim ke
pembuangan. Pada waktu Anastasius wafat, Justinus I naik takhta. Severus dibuang dari takhta
Antiokhia dan para wakil paus Hormisdas (514-523) diizinkan untuk mendiktekan resotrasi bagi
persatuan dengan takhta Roma. Henotikon dihukum bersama dengan para Patriarkh
Konstantinopel yang mendukungnya. Tetapi kemenangan ini ternyata superfisial dan
sementara. Timur belum menyerahkan Cyrillus kepada Leo. Mayoritas pemimpin gereja ingin
menerima rumusan Kalchedonia dan otoritasnya hanya jika ajarannya bisa dibuktikan konsisten
dengan ortodoksi nyata di Timur, yakni ajaran Cyrillus dari Alexandria. Kaisar baru hanya

74
menambahkan, kepada tugasnya mendamaikan Kalcedonianisme dan Monofisitisme di Timur,
kesulitan yang sama untuk mendamaikan pemahaman Barat dan Timur berkaitan dengan
Calchedon.
Pada masa pemerintahan Justinianus I (527-576) diusahakan mendamaikan semua
kelompok yang bertikai sekitar Konsili Kalchedon. Usaha Justinianus yang pertama diarahkan
untuk meyakinkan para pemimpin Monofisit yang dibuang bahwa penerimaan konsili
Kalchedon tidak menuntut suatu Kristologis Nestorian yang dualistik. Peran ratu Theodora
sangat dominan dalam usaha kaisar ini. Usaha pendamaian ini melahirkan satu edik yang
dikeluarkan oleh kaisar pada tahun 533 yang menyatakan definisi iman kristologisnya sendiri.
Edik ini menegaskan bahwa Kristus adalah Sabda ilahi yang mengenakan kodrat manusiawi dan
dia sendiri mengalami penderitaan dalam kodrat itu. Dekrit yang dikutip kembali dalam surat-
surat kepada Patriaks Roma dan Konstantinopel ini berhasil menelurkan toleransi dan
rekonsiliasi tetapi tidak berlangsung lama. Pada saat ini Severus diterima dalam ibukota
kerajaan dan Theodora bisa menampatkan para pendukung Monofisit Severan dalam tahkta
Alexandria dan Konstantinopel. Ketakutan dan pertentangan yang diakibatkan oleh situasi ini
melahirkan campur tangan dari Roma oleh paus Agapetus (535-536) dengan membuang
patriarkh baru Konstantinopel dan mentahbiskan seorang pengganti Kalchedonian. Seorang
kalchedonian kemudian ditempatkan oleh Jusitinianus di takhta Alexandria. Dia menyetujui
pembuangan Severus Antiokia dan para pengikutnya dan memerintahkan pembakaran tulisan-
tulisan Severus. Untuk menyenangkan para Kalchedonian dia menghukum ajaran Origenes pada
tahun 543.
Langkah selanjutnya ialah – untuk meredakan Monofistis – menghukum “Ketiga Bab”
pada tahun 544, yakni tulisan Theodore Mopsuestia dan karya-karya tertentu yang diarahkan
untuk melawan Cyrillus Alexandria oleh Ibas dari Edessa dan Theodoret dari Cyrrhus. Karena
Ibas dan Theodoret, murid dari Theodore, telah diterima sebagai ortodoks oleh Konsili
Kalcedon, tindakan ini mempertanyakan otoritas konsili itu sendiri. Tetapi tindakan Justinianus
ini tidak bisa berbuat banyak untuk mendamaikan Monofisit dengan Kalchedon. Bahkan
penghukuman ini menjadi perangsang yang melahirkan pertentangan Barat Latin dengan
kebijakan neo-Kalcedonia. Para uskup Afrika, sebagian besar uskup Italia dan Prancis dan
utusan paus di Konstantinopel menolak untuk ikut menandatangani penghukuman Tiga Bab.
Justinianus berhasil membawa paus Vigilius (537-555) yang lemah dan tidak punya pendirian ke
konstantinopel. Di sana paus dibujuk untuk mengeluarkan Judicatum (548) yang menyetujui
semua tindakan Justinianus. Barat tidak mau mengikuti pemimpinnya. Sebuah sinode para
Uskup Afrika mengekskomunikasi Vigilius, dan uskup Hermina, Facundus, penulis Afrika,
menyusun risalah In defense of the Three Chapters. Risalah ini mengajak Vigilius menarik
kembali persetujuannya terhadap tindakan kaisar dan selanjutnya mengekskomunikasi patriark
Konstantinopel dan Theodore Askidas, penasehat teologis Justinianus. Akhirnya masalah ini
diserahkan kepada sebuah konsili yang berkumpul pada tahun 553. Konsili yang tidak dihadiri

75
oleh Vigilius ini menghukum Ketiga Bab dan menarik kembali hukuman Origenisme. Karena
Justinianus akhirnya memaksa persetujuan Vigilius bagi tindakan konsili – suatu persetujuan
yang menuntun pada skisma panjang antara gereja-gereja Roma di satu pihak, dan Milan dan
Aquilea di pihak lain, sinode ini dikenal sebagai Konsili Ekumenis kelima.
Sementara itu hirarki gereja Monofisit 43 semakin berkembang. Pada waktu Justinianus
wafat sudah berdiri gereja Monofisit yang independen, berpusat di Syria Utara dan Cilicia.
Gereja Jacobit ini (demikian disebut setelah Baradaeus) memakai bahasa Syria dalam liturgi dan
teologi untuk membedakannya dari gereja kekaisaran yang memakai bahasa Yunani. Di Mesir
perlawanan terhadap kebijakan religius dan teologis Justinianus lahirlah Patriarkh Koptik di
Alexandria untuk menyaingi lawannya Melkite (“royal” atau “imperial”). Gereja Monofisit
Koptik ini mencakup mayoritas Kristen Mesir. Gereja inilah yang dibawa oleh para misionaris ke
kerajaan Nubia dan membentuk kekristenan Ethiopia. Para rahib Syria dan Mesir yang anti
Kalchedon adalah orang yang bertanggung jawab atas penyebaran Kekristenan di Ethiopia pada
abad ke enam yang hingga saat ini bergantung pada Patriark Koptik Alexandria. Bersama
dengan gereja Monofisit di Syria dan Mesir, lahir kelompok ketiga di Armenia.
Demikianlah kontroversi atas konsili Efesus dan Kalchedon akhirnya membagi gereja-
gereja di seluruh dunia Mediterania. Selain memperparah ketegangan antara Barat dan Timur,
Roma dan Konstantinopel, kontroversi ini juga melahirkan gereja Nestorian independen di
Persia dan gereja-gereja Monofisit nasional di Ethiopia, Mesir, Syria dan Armenia. 44

Kontroversi dan malapetaka di Timur

Restorasi yang dilakukan oleh Justinianus untuk kekuatan Roma ternyata tidak bertahan
lama. Setelah tahun 568 kekuatan Byzantin di Italia mulai terpecah ketika menghadapi serangan
kaum Lombard yang akhirnya menguasai bagian Utara dan bagian pusat dari semenanjung itu.
Bagian Barat dan Utara Konstanopel dirampas dan diserang oleh kaum Avars dan Slavs. Pada
tahun kedua pemerintahan Heraclius (610-641) orang Persia menyerang Syria, menawan
Antiokia dan akhirnya Damaskus. Pada tahun 618 mereka manaklukkan Palestina dan Mesir. Di
samping itu orang Slavic menerobos benteng Konstantinopel dan pasukan Romawi yang
terakhir diusir dari Spanyol oleh Visigotic. Serangan yang berturut-turut dijawab Heraclius
dengan melatih pasukan baru. Usahanya ini membawa perdamaian pada tahun 630 yang
merestorasi Siria, Palestina dan Mesir ke dalam kerajaan.
Kemenangan ini dipakai oleh Heraclius sebagai kesempatan untuk memperbaiki
perpecahan religius yang melemahkan kerajaannya. Jalan yang ditempuhnya ialah menyetujui

43
Nestorians: One person, two hypostases, two natures. Catholics: One person, one hypostasis,
two natures. Monophysites: One person, one hypostasis, one nature.
44
W. Walker et. al., A History of the Christian Church, Edinburgh 1986, 173-180.

76
posisi Monofisit dalam masalah energeia Kristus (“operation,” “activity”) sebagaimana
diusulkan oleh Patriark Konstantinopel, Sergius. Tetapi usaha yang pada awalnya sukses ini
menjadi mandeg. Bermunculan pertentangan para rahib Kalcedon Palestina yang pemimpinnya,
Sophronius, dipilih menjadi Patriarkh Jerusalem pada tahun 634. Pertentangan ini memaksa
Heraclius dan Sergius untuk meminta dukungan Roma. Tetapi paus Honorius (625-638), yang
memandang introduksi ajaran dogmatis baru sebagai urusan konsili ekumenis sendiri,
menunjuk bahwa istilah energeia tidak biblis dan menegaskan bahwa “dua kodrat”
mengimplikasikan “dua operasi.” Dia lebih suka bicara tentang “satu kehendak” dalam Kristus.
Pertentangan ini diikuti oleh serangan Islam di luar semenanjung Arab. Damaskus jatuh ke
tangan Arab pada tahun 635, Antiokhia dan Jerusalem pada tahun 638. Meskipun demikian
pada tahun 638 Heraclius menerbitkan Ekthesis, yang mengikuti paus Honorius melarang
pembicaraan tentang “satu energi” atau “dua energi” dan berusaha untuk menjadikan
usulannya, yakni dalam Kristus hanya ada satu kehendak (Monothelitisme), sebagai dogma.
Setelah Heraclius wafat, daerah-daerah yang dimenangkannya jatuh kembali. Ekthesis nya
menjadi ukuran ortodoksi kerajaan dan kontroversi Monothelite berlanjut. Maximus the
Confessor (sekitar 580-662), salah seorang dari pemikir penting di balik teologi dan spiritualitas
Ortodoks Timur, masuk ke dalam debat untuk mempertahankan doktrin bapa Kapadocia bahwa
keinginan dan energi terkait dengan kodrat dan bukan hypostasis. Implikasi pandangan ini
adalah jika menurut ajaran Kalcedon Kristus mempunyai dua kodrat, maka dia memiliki dua
keinginan sejalan dengan cara beradanya yang ilahi dan manusiawi. Ini membawa Maximus ke
dalam persekutuan dengan paus Martin I (649-655), yang pada tahun 649 mengumpulkan satu
sinode di Roma untuk menyatakan eksistensi dua keinginan, manusiawi dan ilahi, dalam Kristus
dan menghukum Ekhtasis Heraclius dan Typos Constans II, kaisar yang sedang memerintah,
yang melarang diskusi tentang kehendak Kristus. tindakan ini membawa paus Martin ke penjara
di Konstantinopel dan kemudian dibuang ke dan meninggal di Crimea.
Akan tetapi pengganti Constans, Constantinus IV (668-685) ingin menjalin kesepakatan
dengan tahta Roma. Memasuki negosiasi dengan paus Agatho (678-681), Konstantinus
memanggil apa yang dikenal dengan Konsili Ekumenis yang keenam yang berkumpul di
Kontstantinopel pada tahun 680 dan 681. Kongres ini menyatakan bahwa Kristus memiliki “dua
kehendak natural... tidak bertentangan satu sama lain... tetapi kehendak manusiawinya
mengikuti, bukan sebagai yang bertahan dan enggan, tapi sebagai yang tunduk pada kehendak
ilahi dan mahakuasanya. Konsili ini juga menghukum Patriark Sergius; penghunjukkan Heraclius
sebagai patriark Alexandria, Cyrus; dan paus Honorius. Dengan keputusan ini, arus kontroversi
kristologis yang besar berakhir. Tendensi ortodoksi neo-Kalecedo Justinianus yang mengarah
pada Monofisitisme dihentikan.
Seperti Kalcedon sendiri, Konsili Ekumenis keenam adalah kemenangan bagi Barat. Ini
diikuti oleh sinode lain yang menandai pemisahan Roma dan Konstantinopel. Karena baik
konsili “Ketiga Bab” mapun konsili tahun 681 tidak merumuskan kanon-kanon disipliner,

77
Justinianus II (685-695, 704-711) memanggil sebuah pertemuan untuk berkumpul di
Konstantinopel tahun 692 untuk menyelesaikan pekerjaan mereka. Dikenal sebagai Konsili
Trullan (dari tullus atau ruang pertemuan di mana mereka bertemu) atau Quinisext Council
(karena melengkapi karya konsili ekumenis kelima dan keenam) perkumpulan ini seluruhnya
berciri Timur. Karena pertemuan ini memperbaharui banyak kanon lama, bebarapa darinya
secara langsung bertentangan dengan praktek Barat. Sejalan dengan Kalcedon, dia menetapkan
bahwa, “tahta Konstantinopel memiliki privilege yang sama dengan tahta Roma tua.”
Perkawinan diakon dan imam diizinkan dan larangan Roma atas perkawinan tersebut dihukum.
Pertemuan tersebut melarang kebiasaan Roma berpuasa pada hari Sabtu Prapaskah. Dia
melarang penyimbolan barat atas Kristus dengan anak domba, tetapi menganjurkan pemakaian
lukisan manusia untuk menekankan realitas inkarnasi. Akta konsili ini tidak pernah mendapat
pengakuan di Barat dan ini semakin memperdalam jurang antara Barat dan Timur. 45

45
W. Walker et. al., A History of the Christian Church, Edinburgh 1986, 180-183.

78
KEKRISTENAN PADA ABAD PERTENGAHAN

Misi ke pulau-pulau kecil Inggris

Salah satu bukti vitalitas gereja Barat ialah proses pertobatan bangsa kafir menjadi orang
beriman kristiani yang menggantikan otoritas Romawi yang terjadi di kepulauan Inggris.
Kekristenan di Inggris sudah ada sebelum pertobatan Konstantinus. Tiga orang uskup Inggris
yang berbahasa Latin sudah hadir pada Konsili di Arles tahun 314. Menjelang akhir abad
keempat, pasukan Romawi secara bertahap bergeser dari Inggris dengan akibat bahwa para
penduduk propinsi sebelumnya harus mempertahankan diri dari serangan orang kafir Saxons di
pantai Timur Inggris dan tekanan para Picts dari Scotlandia di bagian Utara. Tidak seperti Gaul
dan Spanyol, Inggris tidak pernah sepenuhnya diromanisasikan, dan beranjaknya pasukan
kerajaan berarti bahwa selama abad ke lima, daerah ini dikembalikan kepada organisasi suku
dan kota-kota secara perlahan ditinggalkan.
Tetapi kekristenan tetap hidup. Dari Ecclesiastical History of the English Peope yang ditulis
oleh Bede Venerable kita mendapat informasi bahwa uskup Germanus dari Auxerre
mengadakan dua kali kunjungan ke Inggris atas permintaan koleganya di sana (429 dan 444-
445). Seorang figur misionaris yang terkenal di Inggris ialah Patrick (sekitar 389-461) yang
dijuluki sebagai “rasul Irlandia.” Dia adalah putera dari seorang Calpurnis, seorang diakon
Kristen. Diculik oleh bajak laut Irlandia dan dijadikan budak, misionaris masa depan ini
melarikan diri setelah enam tahun dan berakhir di Gaul. Pada tahun 431 paus Celestinus (422-
432) mengutus seorang Palladius menjadi uskup bagi para Scots (orang Irlandia), tetapi dia
meninggal dalam tahun itu. Patrick, yang telah ditahbiskan menjadi Uskup diutus ke Irlandia
untuk menggantikan Palladius. Dia memperkenalkan beberapa bentuk hidup asketis komunal di
Irlandia dan setelah dia wafat komunitas monastik menjadi pusat pastoral gereja Irlandia. Para
abbas yang memimpin komunitas ini biasanya termasuk dalam keluarga kerajaan dan juga
sekaligus menjadi uskup. Komunitas ini selain menjadi pusat pastoral dan karya misioner juga
menjadi pusat belajar, seni, dan pendidikan.
Selama tahun-tahun misi Patrick di Irlandia kekristenan Inggris juga memperluas diri ke
arah Utara menuju Scotlandia. Pemimpin misi ini ialah Ninian. Dia lahir di Briton dan mendapat
pendidikan iman katolik di Roma. Pertobatan orang Skotlandia adalah karya para rahib dari
Irlandia yang sejak awal merupakan gerekan misioner yang gemar melakukan pejiarahan. Salah
satu dari pejiarah ini ialah Columba (521-597) yang mendirikan komunitas monastik di pulau
Iona. Dari sini dia membawa karya misi kepada orang-orang Pictish di Caledonia. Karya misi
komunitas Iona terus berlanjut setelah wafat Columba kepada para penduduk kafir Anglo-
Saxon yang hidup di bagian Tenggara Inggris. Misi ini berawal dari permintaan raja Oswald dari
Bernicia yang berhasil merebut kembali takhta kerajaan pada tahun 633 setelah sebelumnya

79
dibuang ke tengah orang Scots dan Pict, orang kristen dari Caledonia. Untuk menanggapi usul
pengkristenan di wilayahnya diutuslah St. Aidan (+651) yang mendirikan sebuah biara di “Holy
Isle” di Lindisfarne (634) dan dari situ menanamkan kekristenan di Northumbria.
Sementara misi Aidan dan para penggantinya berjalan, paus Gregorius agung mengutus
misionaris ke barat daya Inggris dan menetap di Kent dan Anglia Timur. Misi ini dibawa oleh
Augustinus, superior biara Gregorius St. Andreas di Roma dan sekelompok kecil para rahib.
Augustinus menetapkan tahtanya di Canterbury di mana dia mendirikan gereja dan sebuah
biara. Tahun 604 dia mendirikan keuskupan di Rochester (di Kent) dan Londong (di Essex).
Tetapi sayang, dasar komunitas yang didirikan ini masih lemah. Reaksi dari kalangan kafir dan
keragaman tradisi kristiani menimbulkan masalah yang tidak mudah ditangani. Terjadi
perpecahan berlanjut antara Orang Kristen Keltik Barat dan Utara dengan tradisi Irlandia di satu
pihak, dan orang Kristen Saxon baru di selatan di pihak lain, yang gerejanya diorganisir seturut
model kontinental di bawah wilayah para uskup tetapi dengan sadar loyal kepada Roma dan
paus. Tetapi perpecahan ini menjadi awal baik bagi lahirnya ketaatan Inggris kepada Roma.
Displin dan semangat kekritenan Inggris Keltik ini merupakan usaha dari Theodore yang
bertindak sebagai uskup agung di Canterbury yang otoritasnya mendapat pengakuan dari
seluruh Inggris.46

Kekristenan dan Kerajaan Perancis

Pertobatan Clovis menjadi Kristen Katolik pada tahun 496 adalah peristiwa yang
menentukan baik bagi masa depan politis maupun religius benua Eropa. Di bawah
kepemimpinan Clovis dan para puteranya, Orang Franks menaklukkan wilayah-wilayah Romawi
sebelumnya di Gaul dan Jerman dan menciptakan apa yang disebut regnum Francorum
(Kingdom of Franks). Wilayah ini sering kali dibagi di antara bebarapa raja, karena kebiasaan
Frankish menetapkan bahwa kekayaan seorang bapa harus dibagi-bagi kepada para puteranya
yang hidup. Kebiasaan ini menimbulkan pembagian wilayah dalam kerajaan yang memiliki
karakter quasi politis dan quasi etnis. Yang pertama ialah Austrasia, yang terdiri dari wilayah
asli Frankish di sekitar dataran rendah Rein, Thuringia dan daerah-daerah yang dulu dikuasai
oleh Alemanni. Kedua, yang disebut dengan Neustria, yang berpusat di Paris, yang dijadikan
Clovis sebagai ibukota dan meluas ke selatan ke Loire dan bagian utara Somme. Yang kurang
memiliki peranan sentral dalam sejarah politik Franks ialah wilayah-wilayah selatan Aquitaine
dan Burgundy. Meskipun terbagi kerajaan Frankish dipahami sebagai satu patrimoni dan pada
akhir pemerintahan putera Clovis Lothar I (+561) dan sebagian terbesar pemerintahan
Dagobert I (623-639) kerajaan ini memiliki pemimpin tunggal.
Para penduduk Gallo-Romawi di daerah ini tidak senang dengan penguasa yang baru.
Orang-orang Katolik sendiri sangat senang memiliki seorang pemimpin Katolik. Para kaisar

46
W. Walker et. al., A History of the Christian Church, Edinburgh 1986, 221-225.

80
Romawi di Konstantinopel mengakui para pemimpin Frankish, memberikan bantuan finansial
pada saat-saat tertentu; Clovis sendiri diberi gelar konsul. Regnum Francorum dalam arti
tertentu merupakan wakil formal otoritas dan tradisi Romawi. Para Franks tidak menciptakan
kelompok eksklusif, melainkan bergabung dengan penduduk yang ditaklukkannya. Sikap ini
memungkinkan pendirian dasar bagi percampuran budaya. Dengan caranya sendiri, mereka
juga memajukan peyebaran kekristenan. Mereka juga mendukung gerakan monastik dalam
bermisi.
Hal positif di atas tidak menghilangkan semua hal yang kurang mendukung
perkembangan kekristenan. Salah satu ialah kecondongan kepada desentralisasi yang memberi
kepada para bangsawan posisi dalam kepemimpinan. Kecenderungan ini melahirkan sistem
pemberian benefice kepada para bawahan dengan memberikan tanah dari wilayah kerajaan.
Praktek ini tentu saja memperlemah monarki. Dalam kadar tertentu gereja juga mengikuti
sistem ini. Sistem pemberian benefice memberikan kemungkinan bagi kepemilikan “kekayaan”
gereja bagi pribadi-pribadi tertentu yang kaya. Mereka mendirikan gereja dengan biaya pribadi
dan “membayar” imam yang memberikan pelayanan di gereja tersebut. Inilah awal dari
munculnya sistem parokial dan juga perdebatan yang muncul kemudian mengenai kontrol
awam terhadap pengangkatan imam. Para uskup di kerajaan baru ini meneruskan kebiasaan
lama berkumpul dalam konsili untuk mengatur hal-hal umum. Mereka bereaksi terhadap
masalah-masalah eksternal seperti pergulatan Tiga Bab dan kontroversi Monothelite. Tetapi
gereja-gerja Frankish tampaknya makin tertutup, bahkan dari kepemimpinan kepausan,
walaupun menaruh hormat terhadap para pengganti Petrus dan praktek berziarah ke makam
kedua rasul di Roma sama sekali tidak berhenti.
Kekristenan memiliki peranan sentral dan esential dalam kerajaan. Bagi semua kalangan
dalam masyarakat, perlindungan dan bantuan Allah dan para kudus dipandang sangat esensial
bagi tatanan dan keadilan dalam dunia yang tidak teratur ini. Uskup kristen menduduki tempat
khusus. Mereka adalah orang yang berkuasa secara poliltis, orang kudus dan nabi. Kemampuan
literer dan belajar dibatasi hanya pada imam karena hanya di biara dan rumah keuskupan
orang-orang muda dididik menjadi imam. Karena itu tidak mengherankan bila gereja dan
komunitas monastik diganjari dengan pemberian tanah. Tetapi ini berarti bahwa dalam
perjalanan waktu para uskup mengambil sumber yang sangat berguna bagi kerajaan
Merovingian. Karena itu para raja mengaadopsi kebiasaan kuno dalam pemilihan para uskup
oleh masyarakat dan imam dan mereservir hak memilih uskup untuk memberikan benefices
bagi hamba yang setia. Tidak jarang seorang pemimpin melangkah lebih jauh dan membiarkan
takhta keuskupan lowong sementara dia mengambil pemasukannya. Praktek-praktek seperti ini
menjadi sumber pelemahan bagi paus-paus berikutnya. Mulai dari masa Gregorius Agung, para
uskup Roma tidak berhasil membawa rumah Merovingian ke dalam cara pikir yang lebih baik.
Reformasi dan renaissans dalam gereja Frankish akhirnya terjadi melalui penggantian
dynasti Merovingian lebih satu abad setelah wafat Dagobert I (639). Bangkitnya kekuatan di

81
yang dikenal dengan “para mayor istana” (yakni para penasehat dan pelayan utama raja) di
Neustria, Austrasia, dan Burgundy melahirkan situasi politik yang baru. Para mayor Austrasian
memimpin kerajaan Frankish melalui serangkaian bayangan raja-raja Merovingian. Mereka
adalah keturunan uskup Anulf Metz (+641) dan Pepin Landen (+639), yang menang atas saingan
mereka. Kepemimpinan mereka terwujud dalam pribadi Pepin II Heristal (+715) dan puteranya
yang tidak sah, Charles (yang dikenal dengan “Martel”). Baik Pepin maupun Charles, seperti
para raja yang mereka wakili, adalah orang kristen yang setia menyumbang kepada gereja dan
biara-biara. Fokus utama mereka ialah penyatuan kerejaan dan pertahanan perbatasan yang
diancam dari Utara dan Timur oleh suku kafir Jerman. Pada zaman Charles, oleh Arab dan
perampas barbar dari Spanyol, kerajaan Visigothic dirampas oleh kekuatan Islam. Dalam usaha
ini mereka mengalami sukses besar. Usaha militer ini memiliki konsekuensi negatif bagi gereja.
Baik Pepin maupun Charles merampas kekayaan gereja untuk membiayai perang di satu pihak
dan di pihak lain, untuk mendamaikan perbatasan mereka, kedua pemimpin ini mendukung
karya misionaris Inggris di perbatasan utara dan timur. Dukungan ini kemudian membawa
mereka kepada relasi yang erat dengan kepausan dengan konsekuensi yang sangat penting di
masa yang akan datang.
Begitulah Pepin II, dan Charles setelah dia, mendukung karya evangelistik St. Wilibrodus
(658-739), seorang rahib Inggris yang dididik di Ripon dan Irlandia. Pada tahun 690, dengan
kelompok 12 orang, ia memulai karyanya di antara orang Frisian yang kini menjadi Belanda.
Ditahbiskan uskup pada tahun 695 oleh paus Sergius I, Wilibrodus mendirikan takhta Utrecht.
Karyanya diteruskan oleh Wynfrith yang juga dikenal dengan Bonifasius (680-754). Rahib
kelahiran Crediton ini datang ke Frisia pada tahun 716 bekerja pada misi Wilibrodus.
Kegagalannya membawanya kembali ke Inggris tetapi menemukan jalan ke Roma pada tahun
718. Di sana Paus Gregorius II mengutusnya sebagai misionaris ke Jerman, dan dia mengenakan
nama martir Romawi Bonifasius. Dia mengalami sukses besar di Thuringia dan Hesse sehingga
pada tahun 722 dia dipanggil kembali ke Roma di mana dia bersumpah kepada rasul Petrus dan
ditahbiskan menjadi Jerman. Selama sepuluh tahun ke depan, dengan dukungan langsung dari
Charles Marel, misi Bonifasius semakin sukses di Hesse dan Thuringia. Akhirnya dia mendirikan
keuskupan di Bavaria, memperkenalkan Anggaran dasar Benediktine bagi para rahib dan atas
otoritas kepausan mendirikan takhta keuskupan agugnya di Mainz (sekitar 747). Tahun 744 dia
membantu muridnya Sturm, mendirikan pusat biara besar di Fulda yang mendapat sumbangan
tanah dari putera Charles Martel, Carloman. Biara ini menjadi pusat studi dan pendidikan imam
bagi German pusat di Barat. Dalam semua usaha ini Bonifasius bertindak, dalam semangat
kekristen Inggris yang baru, sebagai bawahan uskup Roma dan memasukkan ke dalam dunia
Frankish ide-ide Romawi tentang disiplin dan aturan gerejani. Tidak lama setelah 747 Bonifasius
meninggalkan takhtanya di Mainz untuk kembali ke Frisia sebagai misionaris dan setelah
bekerja beberapa tahun dia menjadi martir di sana.47

47
W. Walker et. al., A History of the Christian Church, Edinburgh 1986, 226-230.

82
Timur dan Barat dalam kontroversi Ikonoklastik

Pemerintahan Charles martel dan Pepin III dan karir Bonifasius kira-kira bersamaan
waktunya dengan pemerintahan Kaisar Leo III (717-740) dan puteranya Constantinus V (741-
775) di Timur. Setelah dekatnya kehancuran Kekaisaran Romawi Byzantine pada abad ke tujuh
oleh pembantaian Islam, pendiri dinasti Isaurian ini memenangkan penetapan kembali batas-
batas kerajaan. Menyerang kembali kekuatan Kalifah Omar II (717-720) dari pintu gerbang
Konstantinopel, Leo dan kemudian puteranya menegakkan kembali kontrol Romawi atas Asia
Kecil. Pada waktu yang sama, mereka menetapkan dan memaksakan kebijakan religius yang
menuntut penghapusan praktek penghormatan ikon-ikon – gambaran-gambaran Kristus,
Perawan Maria, para malaikat dan para kudus dalam bentuk lukisan atau patung. Konflik-konflik
teologis dan politis yang mendalam dan berkepanjangan yang ditimbulkan oleh kebijakan ini
memiliki konsekuensi yang tetap hidup bagi kehidupan gereja baik di Timur mapun Barat. Di
Timur, ini berakibat tidak hanya pada restorasi image-image, tetapi juga pada konsensus
teologis yang melihat dalam penghormatan ikon suatu peneguhan doktrin Kalcedon tentang
kodrat manusawi Kristus yang penuh dan berbeda. Di Barat, perjuangan antara para kaisar
ikonoklastik dan para uskup berikut di Roma bermuara pada perpecahan politis antara
kepausan dan kekaisaran. Hal ini berakibat pada terciptanya aliansi baru para paus dengan
pewaris Charles Martel dan suatu langkah penting dalam perpisahan antara gereja Latin dan
Yunani yang semakin berkembang.
Pada tahun 726 Leo III mengumumkan perlawanan terhadap ikon dan memberitahukan
kebijakannya kepada para pemimpin gereja. Tindakan ini diikuti oleh sikap simbolis dengan
merusak gambar Kristus yang ada di atas pintu masuk istana kerajaan di Konstantinopel.
Tindakan ini memprovokasi kericuhan di ibu kota dan menimbulkan kembali hukuman bagi
Patriarkh Germanus di Konstantinopel, dan tentu saja reaksi kejam dan kasar di antara
penduduk kerajaan dan, terutama, para rahib. Didukung oleh pasukannya, Leo pada tahun 730
memanggil konsili yang mengulangi kembali larangan bagi gambar-gambar suci dan
mengakibatkan penurunan dan pembuangan Germanus dan dia digantikan oleh Anastasius.
Tindakan ini mengundang reaksi keras dari Italia. Ketika Paus Gregorius II (715-731) melawan
dan menghukum kebijakan ikonoklastik kaisar – baik karena tindakan itu melampaui otoritas
seorang awam dan karena ikonoklasme menunjukkan penyangkalan realitas Inkarnasi – Leo
tidak bisa mengelak dari paus. Usaha untuk menggantikan, dan bahkan membunuh, Gregorius
dihalangi oleh dukungan baik panduduk Roma pada umumnya dan Ravenna maupun tentara
Byzantine dan bahkan pengeran Lombardus di Spoleto dan Beneventum.
Suara kritis lain yang tidak bisa didiamkan oleh Leo datang dari pusat kerajaan Islam,
yakni Johannes dari Damaskus (sekitar 675-794). Sebagai pemuda dia telah mewarisi posisi
tinggi dalam pelayanan sipil kalifah dari bapanya yang adalah Kristen. Dipaksa meninggalkan

83
tempat ini, Yohannes menghabiskan sebagian besar hidupnya sebagai rahib dalam biara St.
Sabas dekat Yerusalem. Di sana dia menelurkan banyak tulisan mengenai Trinitas, penciptaan
dan Inkarnasi. Salah satu tulisannya yang terkenal ialah The Fountain of Knowledge. Oleh paus
Leo XIII pada tahun 1890 dia dinyatakan “Doktor Gereja.” Sumbangannya bagi kontroversi
ikonoklasitik disusun pada tahun 726-730 dalam serangkaian diskursus yang menjawab tuduhan
idolatria atas berbagai alasan. Pada tempat pertama, Yohannes menegaskan bahwa sebuah
distingsi harus dibuat antara penghormatan (proskunesis) yang diberikan kepada gambar-
gambar dan penyembahan (latreia) yang hanya dipersembahkan hanya pada Allah saja. Dia
berpendapat bahwa sebuah ikon tidaklah bermaksud menjadi sesuatu yang equivalen, dan
karena itu pengganti, dengan yang dilukiskannya. Ikon hanya menciptakan kemiripan yang
merangsang pikiran untuk sampai kepada yang asli. Baik dia mapun reformator monastik,
Theodore Studios (759-826) pada periode kontroversi berikutnya, mengidentifikasikan masalah
ikonoklastik sebagai masalah kristologis. Penghormatan akan sebuah image Kristus analog
dengan penghormatan Injil, yang “menggambarkan” Kristus dalam sabda. Ikon dan Injil adalah
saksi atas hal ilahi dalam dunia dan sejarah, dan keduanya adalah sarana untuk mencapai Allah.
Dalam pemerintahan Konstantinus V, pengganti Leo, kebijakan ikonoklastik berubah
menjadi usaha sistematik untuk menghancurkan gambar-gambar dan menyiksa para
pendukung imaginasi suci terutama para rahib. Pada tahun 754 Konstantinus mengumpulkan
sebuah konsili yang selain menetapkan kembali hukuman yang telah ditetapkan oleh Leo,
mendekritkan bahwa orang yang melanggar ketetapan ini harus dihukum dengan hukum
negara. Ikon-ikon di gereja dirusakkan, ditutupi dengan cat dan diganti dengan gambar-gambar
yang tidak sakral. Banyak orang disiksa, dipenjarakan dan dibuang. Tindakan ini disertai dengan
kritikan keras terhadap para rahib. Mereka ditertawakan dan dalam kasus tertentu dipaksa
kawin. Para rahib perempuan juga mengalami nasib yang sama. Harta benda mereka dirampas,
dan status mereka disekularisasi. Akibatnya banyak penghuni biara yang melarikan diri dari
wilayah-wilayah yang berada di bawah kontrol kerajaan Timur. Banyak yang lari ke Italia
Selatan.
Situasi ini berubah ketika Ratu Irene naik ke tahta kerajaan. Mengelak dari perlawanan
pasukan, yang selalu berpihak kepada kebijakan Leo III, Irene mengumpulkan sebuah konsili di
Nicea tahun 787. Utusan Paus Hadrian diundang ke konsili ini. Konsili ekumenis ke tujuh ini
menetapkan kembali penghormatan ikon dan menyangkal pandangan bahwa ikon adalah dewa
atau bahwa kaum beriman menyembahnya sebagai Allah. Juga diperintahkan pengembalian
bangunan dan tanah-tanah biara yang dirampas selama pemerintahan Konstantinus V. Akan
tetapi pada awal abad ke sembilan, kebijakan ikonoklastik hidup kembali di bawah
kepemimpinan Leo V (813-820). Sebuah konsili yang diadakan di St. Sophia di Konstantinopel
(815) meneguhkan kembali pendirian konsili Konstantinus V tahun 754, dan penganiayaan
terhadap para penyembahan ikon terus berlanjut dalam pemerintahan Mikael II (820-829) dan
Theophilus (829-842). Ratu Theodora yang memerintah selama puteranya Michael III (842-867)

84
masih kecil menghentikan gerakan ikonoklastik pada tahun 843 ketika dia mengumpulkan
sebuah sinode untuk menghidupkan kembali kanon-kanon Konsili Nicea dan merestorasi
penghormatan ikon-ikon.48

Perancis dan Kepausan

Perlawanan yang dilancarkan Gregorius II terhadap kebijakan ikonoklastik Leo III


dilanjutkan secara lebih nyata oleh Gregorius III (731-741). Delapan bulan setelah menaiki tahta
dia mengumpulkan sebuah konsili di Roma untuk menyatakan ekskomunikasi bagi siapa saja
yang memprofankan gambar-gambar suci. Reaksi atas konsili Leo III pada tahun 730 ini tentu
saja mendatangkan tanggapan langsung dari kerajaan. Kaisar merampas tanah gereja Roma di
Italia selatan dan Sicilia dan gereja-gereja yang ada di sana dan juga di Balkan dikeluarkan dari
jurisdiksi gerejani kepausan. Akan tetapi dia tidak bisa berbuat lebih dari itu. Tidak ada usaha
untuk mewajibkan kebijakan ikonoklastik di gereja Roma sendiri. Hal ini kiranya adalah karena
Leo sudah diyakinkan oleh peristiwa-peristiwa sebelumnya bahwa dia tidak bisa memaksakan
kehendaknya terhadap para paus di wilayah Bizantine di Italia pusat, seperti di wilayah Ravenna
dan Pentapolis.
Setelah bermain politik dengan para pangeran Lombardus di Selatan dan kerajaan
Lombardus di Utara, pada tahun 739, Gregorius berpaling kepada Charles Martel untuk mencari
bantuan. Pada pertengahan abad ini, sekretariat kepausan memproduksi apa yang diesebut
dengan Donatio of Constantine. Dengan menggunakan legenda tentang paus Sylvester yang
telah menyembuhkan kaisar Konstantinus dari penyakit kustanya, dokumen ini diklaim sebagai
surat yang menyatakan rasa syukur dari kaisar sendiri. Dokumen ini menyerahkan kepada para
uskup Roma jurisdiksi atas empat patriarkat Antiokia, Aleksandria, Konstantinopel dan
Jerusalem dan lebih dari itu bahkan mendekritkan bahwa “ takhta suci santo Petrus harus
ditinggikan dengan mulia di atas kerajaan dan takhta duniwai kita.” Interese yang lebih spesifik,
Konstantinus diduga telah menyerahkan kepada para paus “semua propinsi, istana dan wilayah
kota Roma dan Italia dan semua wilayah Barat. Dengan kata lain, dokumen ini mengulangi klaim
tradisional kepausan atas otoritas universal dalam gereja dan keyakinan kepausan dahulu
bahwa otoritas imam lebih tinggi daripada pemimpin sekular. Dokumen ini berkaitan dengan
masalah yang sedang hidup mengenai hak paus untuk memimpin dan menundukkan Roma dan
wilayah Bizantine lain di Italia.
Pemalingan Gregorius III kepada Charles Martel tidak berhasil, tetapi pada masa Pepin III
situasi telah berubah terutama ketika dia menjadi pemimpin tunggal setelah saudaranya
Carloman menarik diri dari jabatannya untuk menjadi rahib di Monte Cassino. Sebagai
pemimpin tunggal Pepin ingin memiliki titel kerajaan dan pusat kekuatan. Untuk menyingkirkan
garis Merovingian yang terkhir ia membutuhkan kekuatan kepausan. Karena itu dia berpaling

48
W. Walker et. al., A History of the Christian Church, Edinburgh 1986, 231-234.

85
kepada paus Zakarias (741-752), yang memberinya persetujuan untuk membuang Childeric dan
pemahkotaan Pepin sebagai raja Prancis. Pemahkotaan ini terjadi pada tahun 751 di Soissaons
dan dilakukan oleh St. Bonifasius sendiri yang mengurapi Pepin untuk tugasnya yang baru dan
dengan demikian memberikan otoritas bagi pergantian pemimpin. Sekitar tiga tahun kemudian,
pada tahun 754 paus Stephanus (752-757) mengadakan perjalanan ke Prancis, di mana dia
memahkotai dan mengurapi Pepin dan para puteranya sekali lagi di gereja St. Denis di Paris.
Pepin menyembah kaki paus dan menuntun kudanya, sementara Stephanus menganugerahkan
gelar “Patrician of the Romans” kepada raja Prancis ini. Ini mengandaikan bahwa Pepin telah
telah mengenal dan dalam arti tertentu telah menerima doktrin Donation of Constantine.
Stephanus juga memenangkan dari Pepin suatu kesepakatan untuk melindungi kepausan
dalam wilayah-wilayah Bizantine di Italia Utara, dan dengan pengurapan raja ini dia
menetapkan raja Prancis dan para penggantinya sebagai penjaga hak-hak rasul Paulus. Oleh
karena itu pada tahun 754 atau 755 Pepin membawa pasukannya ke Italia dan memaksa Aistuf
untuk mengembalikan daerah takulukannya kepada paus. Dari sini mulailah sejarah “negara
Gereja” – bahwa pemerintahan temporal kepausan yang berlangsung hingga 1870 dan
kemudian harus diperbaharui dengan penciptaan negara kota Vatican.
Transaksi ini tampak wajar pada saat itu. Keluarga Pepin II dan Charles martel telah
menetapkan dirinya sebagai pemimpin sekular Kerajaan Kristen Latin yang diperbaharui dan
lebih kuat. Pada waktu yang sama para paus telah mengakui bahwa wilayah otoritas mereka
yang nyata dan efektif adalah Kekristenan yang baru dan Eropa Katolik yang telah diciptakan
oleh misi Inggris dan kekuatan Merovingian. Namun kedua belah pihak memandang
kesepakatan ini dengan cahaya yang berbeda. Bagi Stephanus dan para penggantinya, ini
berarti realisasi nyata dari prinsip-prinsip Donation of Constantine. Tetapi bagi Pepin, ini berarti
bahwa mereka telah mengambil beban kesejahteraan Kekristenan Barat. Dalam situasi ini
terdapat keterkaitan pergulatan kemudian di Barat abad pertengahan antara otoritas kepausan
dan sekular bagi kepemimpinan Kekristenan Latin.49

Karel Agung

Pepin si kecil yang wafat pada tahun 768 membagi kerajaan kepada kedua puteranya,
Karel dan Carloman. Pertikian antara mereka berdua berakhir ketika Carloman
menghembuskan nafasnya yang terakhir pada tahun 771. Sejak saat itu hingga meninggalnya
pada tahun 814, Karel yang mendapat gelar ‘agung’ ini memimpin, mereformasi dan
memperluas kerajaan Kristen Franks yang dipandangnya sebagai tugas panggilan ilahi.
Karel adalah orang yang brilian. Pada saat dia meninggal dia adalah pemimpin atas semua
wilayah yang kini disebut dengan Prancis, Belgia, Belanda, Austria, sebagian besar Jerman dan
Italia dan sebagian wilayah pinggiran Timur Laut Spanyol. Raja yang memandang dirinya sebagai

49
W. Walker et. al., A History of the Christian Church, Edinburgh 1986, 235-238.

86
orang yang diurapi untuk orang kristen ini berusaha menjaga gereja dengan mempertinggi
kesejahteraan materil dan spiritualnya. Tindakan militer pertama yang dilakukannya ialah
berusaha memaksa raja Lombardus yang baru, Desiderius, untuk menghormati independensi
wilayah kepausan di Italia. Keberhasilan ini memberikan kepada Karel nama baru “dengan
rahmat Allah Raja orang Franks dan Lombards and Pelindung Roma.” Nama yang terakhir ini
diberikan oleh Paus Hadrian di Roma, ketika Karel memperbaharui janji Pepin untuk menjamin
milik-milik para paus di wilayah Italia pusat. Tetapi sebenarnya setelah kejatuhan Lombardus,
kepausan berada di bawah kuasa politis Perancis, yang sungguh-sungguh menghormati
pengganti Petrus, tetapi tidak lebih penting dari pada posisinya sebagai orang yang
bertanggung jawab, sebagai raja “oleh rahmat Allah,” bagi kesejahteraan spiritual semua umat
Kristen yang berada di bawahnya. Kecenderungan Karel ialah memandang paus sebagai
pemimpin para imam di kerajaannya.
Setelah sukses dalam bidang militer menaklukkan para Saxon yang menduduki bagian
Bara Laut Jerman, antara Elbe dan mulut sungai Rhein demi integrasi kerajaannya dan
perluasan kekristenan, penunundukan pemberontakan pangeran Bavaria yang bernama Tassilo,
mematikan perjuangan Avars yang memungkinkan penyebaran kekristenan ke Austria, Karel
berusaha mereformasi gereja dan masyarakat. Dalam hal ini ia dibantu oleh penasehatnya,
salah satu yang paling terkemuka ialah diakon Alcuin. Dia adalah seorang rahib Inggris yang
menemukan orang yang memiliki opini yang sama dalam lingkungan kerajaan yang bernama
diakon Paul. Minat Karel bagi gereja yang meliputi seluruh hidupnya tampak dari usahanya
untuk memilih para uskup dan memanggil konsili-konsili untuk memberinya nasehat yang
dibutuhkan. Adalah tindakan Karel yang gigih untuk menjamin hak para uskup untuk
menahbiskan, mengawasi dan mendisiplinkan imam yang dipekerjakan di kampung atau di
tanah gereja. Tidak terkecuali dia menjamin hak uskup dalam kasus-kasus yang sering muncul di
mana pemilik awam yang memiliki kuasa untuk mengangkat imam-imam untuk menjalankan
reksa pastoral. Dengan cara itu, sistem parokial yang berkembang diintegrasikan ke dalam
struktur kepemimpinan gerejani. Serentak dengan itu Karel juga membentuk kembali sistem
tahkta metropolitan kuno, pejabatnya disebut sekarang dengan uskup agung yang memegang
jurisdiksi atas uskup lain dalam “propinsinya.” Minatnya untuk mengorganisir kehidupan para
imam melahirkan bentuk hidup bersama para imam dan kewajiban untuk berdoa ofisi bersama,
tetapi mengijinkan mereka mempunyai milik pribadi dan mengemban kewajiban yang tidak
konsisten dengan panggilan monastik yang keras.
Campur tangan Karel juga sampai pada kepausan sendiri yang berhenti dibawah
pemerintahan Hadrian I (772-795). Dia memperlakukan Karel sendiri sebagai pemimpin awam
atas Kerajaan Kristen. Urusan penyebaran dan reformasi gereja tampaknya dipertahankan bagi
dirinya sendiri . Pengganti Hadiran, Leo III (795-816), mempunyai alasan baik karena rasa terima
kasih dan karena kepanikan di hadapan otoritas yang diemban oleh Karel kembali memberi
kuasa yang besar kepada kaisar. Leo dipilih menjadi paus walaupun para bangsawan Romawi

87
yang berambisi mengontrol pejabat kepausan sangat keberatan. Pada tanggal 25 April 799 Leo
diserang, diculik dan diserang oleh orang-orang sewaan mereka. Diselamatkan oleh dua orang
imam Frankish, dia melarikan diri kepada Karel di Paderborn. Di sana dia disambut dengan baik.
Tidak lama setelah tiba, raja menerima surat – dari orang yang merancang serangan itu – yang
menuduhkan kepada Leo tindakan kriminal dan immoralitas yang serius. Tidak percaya bahwa
seorang pengganti uskup melakukan tuduhan itu, Karel bersama sekelompok uskup Frankish,
bergerak ke Roma. Di sana dalam sebuah perkumpulan di basilika St Petrus, Karel meminta Leo
untuk membuktikan dirinya tidak bersalah dengan bersumpah di hadapan Allah. Dua hari
kemudian, pada hari Natal, 800, ketika Karel, setelah mendengar paus merayakan misa Natal,
sedang berdoa di kuil St. Petrus, Leo meletakkan sebuah mahkota di kepalanya. Penduduk
Roma yang berkumpul menyerukan dia sebagai “Karel Augustus, dimahkotai oleh Allah sebagai
kaisar agung dan pendamai.” Oleh tindakan paus ini, Karel tidak lagi hanya raja Franks dan
Lombardus tetapi juga pengganti Konstantinus, kaisar Kekristenan Romawi. 50

Kekristenan Eropa pada abad ke sembilan

Sepeninggal Karel Agung situasi politis kerajaan Carolingian dengan cepat terpecah. Dia
digantikan oleh puteranya Louis (814-840) yang disebut “Saleh.” Dia memandang jabatan
kerajaan dan kekaisaran sebagai satu panggilan dari Allah untuk mempertahankan, memperluas
dan memimpin orang kristen. Ini berarti dia meneruskan tindakan ayahnya sebagai gembala
gereja yang tertinggi dengan membaharui dan mengatur setiap aspek kehidupannya. Akan
tetapi rancangannya yang membagikan kerajaan kepada para puteranya mengakibatkan
pertikaian yang semakin parah. Pertikaian yang diakhiri dengan traktat Verdun menjadi awal
terpisahnya sejarah Prancis dan Jerman. Kerajaan pecah menjadi tiga bagian. Kepada Louis
(843-875) diberikan wilayah Timur sungai Rein, dari mana dia menerima julukan “the German.”
Kepada Charles (843-877), yang disebut dengan “the Bald,” diserahkan apa yang sebagian besar
sekarang disebut dengan Perancis. Lothair I (843-855), si sulung, mendapat bersama dengan
titel kerajaan, wilayah luas yang membentang dari mulut Rein di Utara dan kerajaan Lombardus
ke arah Utara Italia. Ketika Louis si kecil, raja Carolingian German yang terakhir, meninggal pada
tahun 911, inti kekuatan jatuh ke tangan pemimpin suku Bavaria, Franconia, Swabia, dan
Saxony yang mewarisi titel Romawi kuno, dux. Raja Carolongian Perancis yang terakhir, Louis V
(986-987) menyaksikan disintegrasi total kesatuan politis yang telah dibangun oleh Karel Agung.
Disintegrasi kekuatan Carolingian di Perancis disertai oleh bangkitnya apa yang disebut
pada abad ke-18 dengan “sistem feodal.” Sistem ini adalah sebuah model organisasi sosial dan
politik. Akarnya pertama-tama terletak pada ikatan personal dari pelayanan dan loyalitas yang
secara klasik telah menyusun relasi para pemimpin perang German dan dengan awak
perangnya. Karakternya yang khas terletak pada assosiasi ikatan ini dengan pemilik tanah dan

50
W. Walker et. al., A History of the Christian Church, Edinburgh 1986, 238-242.

88
pemakainya untuk merumuskan kewajiban yang mengikat para pemimpin yang lebih rendah
kepada otoritas pusat: raja atau bangsawan lain. Sebagai imbalan bagi pelayannya yang setia, si
bawahan diberikan sesuatu yang cukup untuk menopang hidupnya. Para dukes dan counts yang
pada awalnya bertindak sebagai pejabat kerajaan yang dihunjuk biasanya diganjari dengan cara
yang sama baik oleh Merovingian maupun para pengganti mereka. Tetapi karena tanah yang
dimiliki adalah basis baik bagi kekuatan ekonomis dan militer, dan karena memiliki sebuah
benfice atau fief (tanah yang diberikan sebagai ganjaran atas pelayanan) dengan cepat dalam
praktek terjadi dari bapa kepada puteranya, jabatan-jabatan ini secara bertahap menjadi milik
para bangsawan. Lebih dari itu, kekayaan dan kekuatan pribadi mereka, yang semakin
membuat mereka tidak tergantung dari raja, juga menjadikan mereka sumber nyata di wilayah
mereka. Mereka juga menjadi tatanan dan keadilan publik dan sumber perlindungan dari
musuh-musuh luar. Dengan demikian mereka juga mulai menerima para “budak” (vassal) dan
menjadi raja-raja kecil di wilayah mereka sendiri. Sebagai raja kecil mereka memiliki hak-hak
jurisdiksi tidak hanya atas para petani yang diikat kepada tanah mereka tapi juga atas orang
bebas yang memakai tanah mereka. Ini semua terjadi dengan memakai kekuatan kerajaan yang
telah menciptakan sistem tersebut sebagai cara mengganjari dan mengontrol hambanya. Salah
satu akibat menurunnya otoritas kerajaan ialah bahwa biara-biara dan keuskupan juga semakin
jatuh ke bawah kontrol para feudal lokal yang kaya.
Akan tetapi hilangnya kesatuan politis ini tidak memecahkan kesatuan religius yang telah
dibentuk oleh Karel Agung. Kekristenan Romawai dan katolik masih tetap menjadi faktor
penyatu dalam kultur dan masyarakat Eropa dan Inggris. Institusi sentralnya - kepausan,
keuskupan, dan komunitas-komunitas monastik – masih tetap kokoh dan mempengaruhi
kehidupan masyarakat. Simbiosis antara biara dan masyarakatnya diparalelkan dalam institusi
keuskupan. Dalam masyarakat yang diciptakan oleh para raja Carolingian awal, uskup berperan
sebagai pastor yang utama. Wilayah tanggung jawabnya mencakup seluruh penduduk dalam
jurisdiksinya, dan penyokong utamanya dalam reksa pastoral ialah raja sendiri. Karena itu
normallah bahwa para uskup pertama-tama menggabungkan diri dengan raja yang diurapi
secara ilahi. Para uskup diperlakukan sebagai pelayan dan “budak” kerajaan. Pada gilirannya
para uskup menerima perlindungan dan sokongan materil dari raja atas kerja mereka.
Bagaiamana dengan kepausan dalam situasi ini? Gereja Roma dan uskupnya sama sekali
tidak kehilangan peranan sentral mereka dalam kekristenan Barat. Sebagai wakil rasul Petrus,
paus menikmati prestise dan hormat yang tiada bandingnya, dan kesejahteraan tahta Roma
adalah satu objek keprihatinan para pemimpin Carolingian beriktunya. Para uskup memandang
dirinya sebagai pelaksana jurisdiksi universal atas semua uskup, menjadi sumber otoritas
pengajaran dalam gereja. Mereka memegang kuasa spiritual yang menempatkan mereka di
atas semua pemimpin sekular dalam kerajaan kristen. Tetapi kondisi abad ke sembilan

89
melarang setiap bentuk administrasi langsung kepausan atas hal-hal biasa dalam gereja, persis
seperti mereka melarang administrasi kerajaan langsung atas urusan-urusan politik lokal. 51

Kepausan dan Kerajaan Ottonian

Paus Yohannes VIII yang naik ke tahta pada tahun 870 jarang sekali menjadikan relasi
dengan gereja-gereja Timur sebagai perhatian utamanya. Menghadapi perampas Saraceni yang
masuk ke biara St. Benediktus di Monte Cassino dan mendekati tembok Roma, paus Yohannes
menghabiskan banyak masa pontifikalnya untuk mengumpulkan bantuan bagi Italia dari utara
dan menyatukan para pangeran Italia melawan musuh bersama ini. Berbeda dengan usaha
yang pertama, usahanya yang kedua ini menikmati keberhasilan. Walaupun demikian ketika dia
meniggal karena diracuni oleh anggota keluarganya sendiri, Roma berada di bawah serangan.
Wafat Yohannes pada tahun 882 menandai titik awal di mana kepausan selama kurang
lebih satu abad menjadi sasaran kekerasan dan ketidaksepakatan politik Italia dan menjadi
mainan pemimpin lokal dan aristokrat Romawi. Masa ini ditandai oleh degradasi kepausan baik
secara moral maupun institusional. Periode kepausan yang paling dipenuhi dengan skandal
adalah pertengahan abad antara naiknya Sergius III (904-911) dan Johannes XIII (965-972).
Selama masa yang dijuluki oleh serajawan sebagai “Pornocracy,” Roma dan kepausan berada di
bawah kontrol keluarga Theophylcat, “Senator Roma” dan pejabat awam tertingi dalam kuria
kepausan.
Wafat Theophylact (915?) memberikan kesempatan kepada puterinya Morazia yang
ambisius untuk menangani urusan keluarga dan kebangsawanan Romawi. Setelah suaminya,
Alberic dari Spoleto meninggal (setelah tahun 917), Morazia berusaha mengkonsolidasikan
posisinya dengan perkawinan bersama Guy dari Tuscany. Yohannes X menentang perkawinan
ini, tetapi oposisi ini dijawab dengan munculnya pasukan Tuscana di Roma dan memasuki
Lateran. Ia membunuh saudara paus dan kemudian memenjarakan dan mencekik paus sendiri.
Morazia menghunjuk ketiga paus berikut, yang terakhir ialah Johannes XI (931-936) anaknya
sendiri. Setelah Morazia wafat dan suaminya yang ketiga, Hugh dari Provence, melarikan diri
dari Roma, putera Morazia, Aberic, mengambil alih urusan gereja dan duke Roma dengan gelar,
“Pangeran dan Senator seluruh orang Roma.” Dia memimpin dengan semena-mena. Dia
memberi perhatian besar pada reformasi pendirian monastik. Dia membasmi semua usaha
yang mencoba menundukkan Roma pada kekuatan luar. Dalam diri cucu Theophylact inilah
semangat integritas lokal dan self-sufficiency menang. Dia mengontrol kepausan yang dipimpin
oleh paus pilihannya yang berfungsi hanya sebagai simbol saja. Menjelang saat kematiannya
tiba, dia berusaha menyatukan jabatannya sendiri dengan kepausan dengan menjanjikan
bahwa puteranya Octavian, tampaknya seorang yang playboy, akan menggantikan paus yang
sedang menjabat, Agapetus II (946-955). Pada usia 16 tahun, dengan nama Yohannes XII,

51
W. Walker et. al., A History of the Christian Church, Edinburgh 1986, 243-251.

90
Octavianus naik ke tahta kepausan sebagai pengganti Agapetus dan bapaknya. Dia ternyata
tidak cocok untuk tugas ini.
Pada waktu yang bersamaan dengan peristiwa ini muncul pula Biara Cluny yang terletak
di Burgundy. Pada masa jayanya biara ini memberikan sumbangan yang luar biasa bagi
reformasi moral dan religius institusi gereja. Biara ini didirikan oleh duke William Aquitaine
pada tahun 910. William menetapkan bahwa para rahibnya memiliki hak, seperti ditetapkan
dalam Anggaran Dasar Benediktus, untuk memilih abbasnya sendiri tanpa campur tangan dari
penguasa sekular manapun. Biara ini bebas tidak hanya dari awam, tetapi juga dari pengawasan
keuskupan. Sejaka awal biara ini diletakkan hanya di bawah jurisdiksi paus. Hal ini membuat
Cluny menjadi suatu pendirian yang sangat unik. Keunggulannya ditambah lagi oleh serangkaian
abbas yang terkenal: Odo (927-942), Maieul (943-994), Odilo (994-1049) dan Hugh the Great
(1049-1109). Biara ini adalah suatu biara yang diperbaharuai dan menajdi pembaharu yang
dibaktikan dalam tradisi Benediktus Aniane kepada kepenuhan kehidupan Benediktus. Para
abbasnya yang terkenal dengan semangat dan kebijaksanaannya secara teratur dikonsultasikan
dalam kaitan dengan urusan-urausan rumah monastik di seluruh Eropa. Ini menjadi jalan untuk
menyebarkan semangat reformasi mereka dari Inggris ke Roma. Yang dihadirkan oleh Cluny
ialah restorasi ideal selibat dan milik bersama, penghapusan kontrol awam terhadap jabatan
abbas dan dedikasi terpenuh atas waktu para rahib bagi doa dan penyembahan atas nama
dunia. Atas dasar ideal ini para pemimpinnya menjadi penasehat raja dan para paus. Pengaruh
gerakan pembaharuan ini sangat nyata di Inggris.
Penggerak paling kuat dari gerakan restorasi ini ialah raja-raja Jerman dari dinasti Saxon
yang mulai dari Henry I (919-936), yang disebut dengan “Pemburu burung.” Situasi di Jerman
berbeda. Feudalisme belum berakar di sana, tetapi kerajaan Carolingian menunjukkan tanda
akan melebur menjadi duke-duke suku yang menjadi pemilih dan penentu: Bavaria, Swabia,
Saxony, Franconia dan (setelah tahun 929) Lorraine. Tetapi hal ini tidak terjadi. Salah satu
penyebabnya ialah karena para klerikus tinggi Jerman dan para pemimpin yang disebut dengan
“stem” duchies memutuskan untuk memilih bagi mereka raja lain: Henry Fowler, duke Saxony
yang ternyata sangat cocok untuk tugas ini. Dia mengusir orang-orang Dane di Utara,
menundukkan orang Slavik di bagian Timur Elbe dan dalam pertempuran di Anstrutt pada tahun
933 dia mengalahkan orang Hungaria. Dia digantikan oleh puteranya yang lebih mampu, Otto I
(936-937), arsitek kerajaan Jerman.
Diurapi, seperti Karel Agung, oleh uskup agung Mainz, tahta primat di Jerman, Otto
memandang dirinya sebagai raja suci yang bertanggung jawab untuk melindungi dan
memelihara orang Kristen. Otto cukup bijak melihat bahwa pendirian monastik dan keuskupan
Jerman akan menjadi sumber sokongan bagi kekuatan ekonomis dan militernya. Sejak awal
raja ini memastikan bahwa dia mengontrol tanah-tanah keuskupan dan biara Jerman dengan
memenangkan hak-hak kepemilikian atas wilayah-wilayah mereka dan dengan menuntut hak

91
investiture.52 Otto menciptakan suatu kebijakan untuk tetap memegang kontrol atas gereja-
gereja Jerman, dan dia mengisi jabatan-jabatan tinggi, keuskupan dan abbas, dengan orang
kepercayaannya dalam tugas-tugas pastoral dan sebagai wakil otoritas kerajaan dalam urusan
sipil.
Kekacauan politik di Italia yang pada saat itu diwarisi oleh seorang wanita, Adelaide,
menjadi kesempatan bagi Otto untuk menegakkan otoritas raja Jerman dengan menyerang
Italia pada tahun 951. Dia mengambil Adelaide menjadi isterinya. Seperti Karel Agung dia
menjadikan dirinya raja Lombardus. Dia juga muncul di luar Roma dan meminta pemahkotaan
sebagai kaisar dari paus Agapetus II. Paus ini menolak karena dia berada di bawah kuasa raja
Alberic yang tidak menginginkan masuknya Jerman ke wilayahnya. Setelah mengalahkan orang
Hungaria pada tahun 955, Otto diserukan sebagai kaisar oleh pasukannya dan diakui secara
universal sebagai penyelamat kerajaan Kristen. Tetapi untuk menjadi kaisar dia harus mendapat
pemahkotaan dari paus.
Pada tahun 962 Otto dipanggil oleh putera Alberic, paus Yohannes XII, untuk
mempertahankan wilayah kepausan dari serangan Berengar. Sebagai imbalannya dia akan
dimahkotai oleh Yohannes. Dia menjalankan tugas ini dengan baik dan meneguhkan milik
kepausan di Italia, tetapi dia memaksa penduduk untuk berjanji setia kepadanya, dan bukan
kepada gereja Roma. Dia juga mendekritkan bahwa tidak ada paus yang ditakhtakan
selanjutnya tanpa janji setia kepada kaisar secara pribadi atau wakilnya. Isyarat yang
menyatakan bahwa Roma dan keuskupannya sebagai gereja akan menjadi hak milik kaisar ini
membuat Yohannes menarik kembali tawar-menawarnya dengan raja Jerman dan meminta
bantuan musuhnya sebelumnya untuk melawan Otto. Akibatnya kaisar mengundang sebuah
sinode di Roma dan pada tangal 6 Desember 963 menyatakan Yohannes dibuang. Dia
menghunjuk Leo VIII untuk menggantikan posisinya. Tetapi segera sesudah Otto meninggalkan
Roma, penduduk Roma mengusir Leo dan kembali merestorasi Yohannes. Setelah Yohannes
meninggal tahun 964, mereka memilih Benediktus V sebagai penggantinya tanpa persetujuan
kaisar. Otto kembali ke Roma, membuang Benediktus ke Jerman, dan merestorasi Leo VIII yang
kemudian digantikan oleh Yohannes XIII (965-972) pilihan kaisar.
Mimpi akan kerajaan Romawi dan Kristiani di Barat hidup kembali dalam diri Otto I yang
bertindak sedemikan jauh untuk merundingkan perkawinan putra sulungnya dengan puteri
mahkota Byzantine, Theophano. Tetapi mimpi tersebut berubah menjadi kejatuhan
keluarganya dan kejatuhan kerajaan Jerman yang telah didirikannya. Puteranya, Otto II (973-
983), wafat dalam perang melawan Saraceni di Italia. Cucunya, Otto III (983-1002) yang menjadi
raja pada usia tiga tahun dan memerintah secara efektif hanya delapan tahun adalah seorang
yang luar biasa dalam belajar, saleh dan idealisme. Seperti bapaknya, dia meninggalkan Jerman
untuk Italia dan bertempat tinggal di istana di Bukit Aventine di Roma, sambil menanti
52
The right, that is, to invest bishops and abbots with the symbols of their office in this character as a sacral king.
This meant that he could exercise control over the appointment of the higher clergy throughout his realm, since no
bishop or abbot could enter upon the duties of his office without investiture.

92
terjadinya pembaharuan Kekaisaran Romawi yang disimbolkan oleh Karel Agung. Dia kembali
mengambil kontrol kepausan dari tangan bangsawan lokal Romawi, dan dalam diri paus
Sylvester II (999-1003) dia memberikan seorang uskup yang unggul kepada Roma – satu-
satunya yang mengakui bahwa Donation of Constantine sebagai palsu. Namun pendirian
kerajaan Otto terletak di Jerman, dan sikapnya yang melalaikan Jerman memaksa para
pengantinya, Bavarian Henry II (1002-1024) dan count Franconium yang sebelumnya Conrad II
(1024-1039), harus menghabiskan energi untuk merekonstruksi dasar kekuatan kerajaan di
Jerman. Karena itu mereka meninggalkan Italia dan kepausan kepada bawahan mereka, dan
urusan gereja Roma jatuh ke dalam kontrol counts Tusculum yang memasukkan Benediktus IX
yang muda ke tahta kepausan.53

Ekspansi Kristen pada awal Abad Pertengahan

Abad ke-9 sampai 11 merupakan masa penyebaran kekristenan Britain, kerajaan Frankish
dan Byzantium untuk merangkul tidak hanya orang Northmen dan Skandinavia tetapi juga
orang-orang Slavik dan Eorpa sentral dan semenanjung Balkan. Hal ini sebagian terjadi melalui
ekspansi militer. Sebagian terbesar lain terkait erat dengan rekonstruksi politis dan sosial atas
masyarakat dari struktur kesukuan dan cara hidup nomaden. Karena itu substansi proses
kristianisasi masyarakat cenderung pada mengikuti daripada memulai “pertobatannya.”
Penyebaran kekristenan di antara penduduk Balkan dan di wilayah sepanjang sungai
Danubio dan selatan dari Bavaria diperumit oleh persaiangan antara Jerman, Byzantine dan
Thrace. Wilayah-wilayah ini sudah diduduki oleh orang kafir Slav sebagai hasil migrasi dan invasi
abad-abad enam dan tujuh. Pengkrisetanan mereka yang secara bertahap terjadi sebagai akibat
masuknya kembali kontrol politik Byzantine yang tampaknya mulai sejak kaisar Nicephorus I
(802-811). Ekspansi kekristenan Yunani dari Byzantine diparalelkan di Utara dengan penyebaran
kekristenan Latin dari Bavaria oleh bantuan kekuatan Perancis. Usaha ini berpusat dari takhta
keuskupan agung di Salzburg dan Aquileia dan disebarkan ke Carinthia dan Croatia, yang
meskipun sangat dipengaruhi oleh Byzantine, sejak awal abad ke sepuluh diresapi oleh
kekristenan latin.
Hasil misi abad ke sembilan ialah pertobatan kerajaan Bulgaria oleh invasi Byzantine dan
baptisan paksa terhadap kaisar Rusia Tsar Boris dan Moravia oleh tekanan kerajaan Frankish di
bawah Louis Jerman. Mereka menginginkan agar kerajaan Kristen ini tidak tergantung dari
dominasi politis dan gerejani luar. Untuk mencapai tujuan ini kedua raja ini memakai
persaingan antara otoritas Roma, Jerman dan Byzantine. Akhir dari situasi ini ialah bahwa Boris
mulai negosiasi dengan paus Nicholas I untuk mendapatkan seorang kepala independen bagi
gereja Bulgaria. Tindakan ini menuntun Byzantine untuk menahbiskan seorang uskup agung
pada tahun 870 bagi Bulgaria untuk mempertahankan agar bangsa itu tetap berada di bawah

53
W. Walker et. al., A History of the Christian Church, Edinburgh 1986, 251-258.

93
Ortodoksi Timur. Pada saat yang hampir bersamaan, Ratislav (pangeran Moravia yang menjadi
kristen pada saat invasi kerajaan Frankish) yang takut akan dominasi Jerman, menulis surat
kepada Kaisar Michael III untuk mengirimkan misionaris dari Byzantium. Patriarkh Pothius
langsung mengutus dua orang bersaudara Konstantin (atau Sirillus, nama yang dipakainya
ketika menjadi rahib di Roma pada tahun 868) dan Methodius. Sumbangan besar kedua
misionaris ini ialah memulai terjemahan Kitab Suci dan buku-buku liturgi ke dalam bahasa
Slovanic. Mereka menciptakan alfabet Glagolitik. Konstantinus sendiri menciptakan alfabet
pertama bagi bahasa itu54 – suatu usaha untuk meletakkan dasar kultur krsitiani Slovanic di
Balkans dan juga di Rusia. Proyek untuk mengembangkan versi bahasa daerah Kitab Suci dan
liturgi ditantang keras oleh para misionaris Jerman di Moravia, yang tidak biasa dengan bahasa
liturgis lain selain Latin. Karena itu Konstantinus dan Methodius berpaling kepada paus untuk
melawan kelompok Jerman, dan mereka menerima sambutan hangat dari Roma. Di sana
Konstantinus wafat (869), tetapi Methodius dikembalikan ke Moravia sebagai seorang uskup
agung dengan izin meneruskan pemakaian bahasa Slovanik. Akhirnya pemakaian bahasa
Slovanic dalam liturgi dilarang oleh kepausan, sesudah wafat Methodius. Meskipun demikian
kekristenan Moravia memasuki Bohemia ke bagian Utara dan para murid Cyrilus dan Methodius
membawa Kitab Suci dan liturgi Slovanic ke Bulgaria dan wilayah lain di Balkans.
Kekristenan Bohemia dan Polandia didirikan kurang lebih selama periode pengkristenan
Hungaria. Bohemia adalah bagian dari kerajaan Moravian pada abad ke sembilan dan karena itu
telah mengalami pengaruh misi Konstantinus dan Methodius yang berbahasa Slovanik, tetapi
kekafiran yang semakin bergabung dengan rasa anti-Jerman tetap kuat. Raja Wenceslas (sekitar
924-929), sekutu dari raja Saxon Henry I dan seorang pemipin dalam kristianisasi, dibunuh tidak
lama setelah memerintah. Hanya setelah Otto I menggabungkan Bohemia ke dalam wilayah
kekuasaan duke Jerman Boleslav II (967-999) bisa secara efektif mendirikan kekristenan dan
mendirikan tahkta Prague. Uskup kedua dari takhta ini bekerja sebagai misionaris di antara
orang Polandia. Polandia setelah tahun 965 juga menjadi sumber pemasukan bagi kerajaan
Saxon Otto I dan dengan itu memulai proses pertobatannya. Di bawah Boleslaus I (992-1025)
yang memperluas wilayah Polandia dengan biaya (at the expense) Russia, Jerman dan Hungaria
dan mengambil titel raja, kristianisasi berkembang. Polandai menerima sebuah tahkta
keuskupan agung yang menjadi propinsi gerejani independen di bawah Roma. Pertobatan

54
The Glagolitic alphabet (pronounced /ɡlæɡəˈlɪtɪk/), also known as Glagolitsa, is the oldest known Slavic
alphabet. The name was not coined until many centuries after its creation, and comes from the Old Slavic glagolъ
"utterance" (also the origin of the Slavic name for the letter G). The verb glagoliti means "to speak". It has been
conjectured that the name glagolitsa developed in Croatia around the 14th century and was derived from the word
glagolity, applied to adherents of the liturgy in Slavonic. The name Glagolitic in Belarusian is глаголіца
(hlaholitsa), in Bulgarian Глаголица (Glagolitza), in Macedonian Глаголица (glagolica), in Serbo-Croatian
glagoljica/глагољица, Czech hlaholice, Polish głagolica, Russian глаголица (glagólitsa), Slovene glagolica, Slovak
hlaholika, Ukrainian глаголиця (hlaholytsia). (http://en.wikipedia.org/wiki/Glagolitic_alphabet).

94
bangsa Rusia ke dalam kekristenan, orang-orang Skandinavia, Denmark dan Swedia menambah
jumlah hasil misi kekristenan selama abad ini.55

Pembaharuan Kepauasan

Para pengganti kaisar Otto III – termasuk Henry II dan Konrad II, pendiri garis Salian –
sama sekali tidak lupa akan peranan mereka sebagai pemimpin yang diurapi bagi dunia Kristen
Latin dan karena itu sebagai pelindung gereja. Juga mereka tidak berhenti melihat diri mereka
sebagai pemegang hak dan tanggung jawab untuk memilih dan menempatkan para uskup dan
dan abbas untuk menjamin baik kesejahteraan spiritual masyarakat maupun stabilitas politis
kerajaan mereka yang terus bergantung pada kepemilikan tanah-tanah gerejani oleh kerajaan.
Kaisar Henry II memandang dirinya sebagai “hamba dari hamba Kristus dan Kaisar orang Roma
sesuai dengan kehendak Allah dan Penyelamat dan Pembebas kita.”
Reformasi sedang berjalan pada peralihan ke abad ke sebelas. Ideal Cluny terus
menyebar. Inggris, Lorraine, Italia merupakan tempat munculnya reformasi berbagai aspek
kehidupan gerejani, terutama berkaitan dengan disiplin dan kesederhanaan hidup para pejabat
gerejani. Dua hal yang menjadi sasaran pendisiplinan ialah simoni 56 dan perkawinan klerikal
atau konkubinat, yang telah dilarang oleh kanon-kanon gereja barat. Larangan ini dikeluarkan
karena tidak sesuai dengan karakter sakral panggilan klerikal dan tidak sesuai dengan semangat
pembaktian diri yang sepenuhnya.
Hanya kepausanlah yang belum disentuh oleh pembaharuan. Alasan fundamental bagi
keterlambatan ini ialah karena kepausan pada awal abad ke sebelas adalah ciptaan kelompok-
kelompok lokal yang bersaing dalam politik Roma dan Italia. Setelah masa Otto I tidak
seorangpun paus yang bisa memasuki jabatannya tanpa persetujuan kaisar dan tak satupun
paus yang menentang maksud dan kebijakan kaisar.
Pada masa pemerintahan Kaisar Henry III (1039-1056) terjadi krisis yang menentukan
dalam kepausan. Benedictus IX, keponakan dari dua paus sebelumnya, dipilih menjadi uskup
Roma pada tahun 1032 dalam usianya yang masih sangat muda. Dia sama sekali tidak
menunjukkan kebijaksanaan selama masa pontifikatnya. Kesemena-menaan dan interesenya
yang berlebihan terhadap nafsu sex bahkan menimbulkan pemberontakan di Roma pada tahun
1044 yang diikuti oleh penggantiannya oleh Sylvester III (1045). Walaupun direstorasi oleh
saudaranya, Benediktus memutuskan bahwa kepausan tidak cocok buat dirinya. Dengan
tawaran pensiun dan rencana untuk menikah dia mengundurkan diri dan kemudian digantikan
oleh Gratianus, seorang pastor Gereja St. Yohannes, di depan gerbang Lateran, dengan nama
Gregorius VI (1045-1046). Tetapi paus yang memiliki banyak keutamaan ini tidak mendapatkan
imprimatur kaisar.
55
W. Walker et. al., A History of the Christian Church, Edinburgh 1986, 261-265.
56
Simoni secara singkat bisa dirumuskan sebagai praktek memberikan atau menuntut beberapa bentuk bayaran
bagi jabatan pastoral dan gerjani.

95
Ketika Henry III datang ke Italia pada musim gugur 1046 untuk kepentingan
pemahkotaannya, dia disambut oleh kekacauan situasi Roma. Oleh karena itu dia
memerintahkan agar dikumpulkan suatu sinode di Sutri untuk memperbaiki situasi tersebut.
Dia mengumumkan pemecatan Benediktus IX, Sylvester III dan Gregorius VI. Setelah
membersihkan semua pesaing ini dia menghunjuk seorang uskup Jerman di Bamberg menjadi
paus Klemens II (1046-1047). Klemens memahkotai Henry sebagai kaisar. Bersama dengan
kaisar dia memulai suatu usaha untuk menghentikan arus simoni dalam gereja, tetapi dia wafat
sembilan bulan kemudian. Dalam ketidakhadiran Henry, keluarga Tusculan dengan bantuan
para bagsawan kaya Italia lain, berusaha merestorasi Benediktus IX; tetapi otoritas kerajaan
mengangkat seorang paus Jerman lain, Damasus II (1048), yang segera meninggal setelah
menjabat sebagai paus selama 23 hari.
Henry mengangkat orang Jerman lain menggantikan Damasus menjadi Paus Leo IX (1049-
1054) yang memulai satu tahap baru dalam kepausan. Dia memiliki interse besar bagi
pembaharuan gereja dengan pendisiplinan dan pemurnian para imam. Dia berusaha
menghidupkan kembali ideologi yang sejak dahulu menjadi dasar otoritas kepausan. Kepausan
harus bebas dari pengaruh-pengaruh kelompok di Roma dan Italia dengan memenangkan
kembali kontrol politis atas tanah-tanah Gereja. Masalah utama dalam hal ini ialah otoritas dan
independensi tahta Roma yang menjadi syarat utama bagi kemampuan paus untuk
mengusahakan pembaharuan.
Langkah pertama yang diambilnya ialah memasukkan ke dalam barisan para imam
“kardinal”57 orang-orang yang bisa diharapkan mendukung rancangannya. Dengan bantuan
orang-orang yang mempunyai keahlian yang bisa diandalkan, Leo IX mulai membawa pesan
pembaharuannya ke luar Roma. Programnya menjadi jelas dalam sinode yang diadakan di
Lateran pada bulan April 1049. Dengan ancaman anathemasit, setiap anggota klerus, baik para
uskup atau yang lain, dilarang menarima uang untuk tahbisan, pemasukan ke dalam satu
jabatan, konsekrasi gereja dan sebagainya. Setiap kaum tertahbis yang telah menerima
tahbisan dari seorang uskup yang diketahunya menjalankan simoni diminta untuk melakukan
penitensi yang panjang. Uskup yang ternoda simoni harus disingkirkan dari jabatannya. Paus ini
menyelenggarakan tidak sedikit sinode untuk menghapuskan praktek simoni. Selain itu dalam
bidang kepemimpinan Paus ini memandang dirinya sebagai guru dan hakim iman serta moral.
Yang penting dicatat dari paus ini ialah kenyataan bahwa paus dilihat sebagai pemimpin dan
administrator efektif gereja dan bukan simbol kekuatan apostolik dan tradisi. Usaha
pembaharuan gereja diambilnya dari tangan kaisar.
Akan tetapi maksud paus untuk menegakkan otoritas Roma membawa karirnya kepada
akhir yang tragis dan menuntun pada langkah perpisahan kekristenan Latin dan Timur. Relasi
antara Roma dan Konstantinopel sudah menjadi sangat sensitif sejak masa Nicholas I dan
57
Cardinals were clergy of the Roman diocese who belonged to the immediate staff of the bishop: the priests who
were pastors of the papal or “titular” churches; and (since the eight century) the so-called “suburbicarian” bishops
– the pope’s assistents.

96
Photius. Terpisah dari kecemburuan yang sudah lama hidup antara kedua patriarkat ini,
perbedaan-perbedaan kebiasaan, kultur, dan persekutuan politis condong membawa mereka
untuk saling menjauhi. Lebih lagi, pada zaman Leo, Patriarkh Konstantinopel adalah Michael
Cerularius (1043-1048). Dia berambisi menanamkan otoritas takhtanya tidak hanya di atas
semua patriarkat Timur lain, tetapi juga ingin menegakkan kesamaannya dengan dan
ketidaktergantungannya dari Roma. Tetapi proyek ini terancam oleh fenomena persekutuan
antara Henry III dan paus di satu pihak, dan Kaisar Konstantinus IX (1042-1055) di pihak lain –
suatu persekutuan militer yang diakibatkan oleh ancaman penyerang Norman di Italia Selatan
terhadap paus dan wilayah-wilayah Byzantine. Di hadapan rekonsiliasi ini, Konstantinus
meminta agar Cerularius mengakui otoritas Roma dengan menulis “surat sinodal” tradisional
kepada paus. Surat ini menginformasikan kepada uskup Roma, patriarkh senior, mengenai
suatu pemilihan bagi takhta Konstantinopel dan memberikan jaminan bahwa pejabat baru akan
setia pada iman ortodox.
Cerularius tidak mau melakukan hal itu. Sebaliknya, tanggapannya yang pertama ialah
menutup semua gereja ritus Latin di Konstantinopel dengan harapan bahwa tindakan ini akan
menghapuskan aliansi baru itu. Pada tahun 1053, dia meyakinkan Leo dari Ochrida,
metropolitan Bulgaria, untuk mengirim surat kepada gereja-gereja Barat hukuman publik
Kekristenan “Frankish” atas praktek-praktek yang tidak halal yang, seperti ditegaskan oleh Leo,
menghalangi setiap bentuk persatuan kedua gereja ini. Praktek yang dimaksud antara lain ialah
penggunaan roti tak beragi pada ekaristi dan kebiasaan berpuasa pada hari Sabtu. Jawaban
paus, ditulis dengan emosi mendalam oleh Humbert Silva Candida, menyatakan dengan
eksplisit klaim tradisional gereja Romawi sebagaimana telah sejak lama dirumuskan dalam
Donation of Constantine. Tetapi sayang jawaban ini tidak tiba pada waktu yang seharusnya.
Sementara itu, Paus Leo IX dikalahkan dan ditawan di Civitate oleh kaum Norman pada tahun
1053. Setelah kemenangan Norman ini, yang membuat situasi di wilayah Byzantine di Italia
semakin parah, otoritas di Konstantinopel tidak cenderung meninggalkan aliansinya dengan
kaum Franks. Baik Konstantinus maupun Cerularius menulis kepada paus dengan nada kurang
keras dibandingkan dengan nada yang terdapat dalam pernyataan Leo Ochrida. Karena itu paus
Leo mengirim seorang utusan ke Konstantinopel – Humbert, Frederik dari Lorraine dan Petrus,
uskup agung Amalfi – untuk membuka percakapan yang diharapkan bisa menuntun pada
persatuan. Akan tetapi Humbert yang bertindak sebagai ketua delegasi ini, tidak terlalu
memiliki sikap diplomatis, dan bahkan surat paus yang dibawanya (yang ditulis oleh dia sendiri)
sungguh-sungguh tidak bisa berkompromi. Karena itu Cerularius, kendatipun kaisar ingin
berekonsiliasi, memilih untuk mengabaikan para utusan dan mempermasalahkan credentialnya
– ini terkait dengan pengumuman tiba-tiba mengenai wafatnya Leo IX. Sebelum Humbert dan
teman-temannya meninggalkan Konstantinople pada tanggal 16 Juli 1054, mereka pergi ke
Gereja santa Sofia untuk menyatakan secara umum protes terhadap tindakan Cerularius, dan
kemudian meletakkan surat hukuman ekskomunikasi bagi Cerularius di altar, yang

97
memasukkannya ke dalam “iblis dan para malaikatnya” dan diakhiri dengan tiga kali “Amin.”
Tindakan para utusan ini mendapat sambutan baik di Barat, dan Cerularius tampaknya berpikir
bahwa dia telah mendapatkan apa yang diinginkannya. Skisma yang telah dimulai secara
formal ini tidak bisa disembuhkan hingga saat ini.58

Dari Reformasi kepada Revolusi

Wafat Leo IX tidak mempengaruhi program baru kepausan. Henry III segera mengangkat
seorang reformator Jerman lain untuk menduduki takhta kepausan, Gebhardt, uskup Eichstadt,
yang mengenakan nama Victor II (1055-1057). Tampaknya kebijakan-kebijakan Leo IX
diteruskan tanpa masalah. Tetapi yang menciptakan krisis ialah wafat Henry III pada tahun 1056
yang membawa puteranya yang berusia enam tahun, Henry IV, ke kursi kerajaan di bawah
kepemimpinan ibunya, ratu Agnes. Peristiwa yang berarti pelonggaran kepemimpinan kerajaan
dalam hal-hal yang berkaitan dengan Roma dan Italia ini, langsung diikuti oleh wafat paus.
Masalah yang muncul ialah siapakah yang harus mengontrol pemilihan paus berikutnya dalam
situasi seperti ini?
Setelah semua ini berakhir, para pembaharu dalam kuria kepausan mampu merancang
pemilihan salah satu dari antara mereka, Frederick dari Lorraine, menjadi paus Stephanus IX
(1057-1058). Rancangan ini memenangkan persetujuan kerajaan walaupun pemilihan diadakan
tanpa konsultasi dengan raja Jerman. Selain itu rancangan ini juga memuaskan baik maksud-
maksud lokal dan Italia maupun kelompok reformis para kardinal. Tetapi menarik perhatian
masalah praktis yang diciptakan oleh ketergantungan gereja pada otoritas awam dalam
menetapkan pemimpinnya. Ketergantungan ini sama sekali tidak sesuai secara prinsipil dengan
kebebasan dan otonomi yang dituntut oleh imamat dalam melaksanakan kewajibannya.
Berkaitan dengan usaha pembebasan inilah Humbert Silva Candida menerbitkan
karyanya, Three Books against the Simoniacs selama masa pontifikat Stephanus IX. Karya ini
memuat serangan sistematis bagi peranan otoritas awam berkaitan dengan imamat. Bagi dia
raja hanyalah seorang awam yang memiliki otoritas terbatas pada urusan sekular. Campur
tangan awam dalam pemilihan klerus melanggar prinsip kuno tentang “pemilihan kanonis” para
uskup oleh imam dan umat. Prinsip tersebut dengan tegas menyatakan bahwa tindakan awam
menginves uskup dengan simbol cincin atau benda lain adalah pelanggaran hak-hak imamat.
Orang yang menginves tersebut bertindak di luar kompetensinya dan melanggar tatanan tugas
ilahi yang diberikan kepada gereja. Humbert bahkan berpendapat bahwa uskup yang menerima
jabatannya dengan cara demikian “tidak bisa dipandang sebagai uskup.”
Tidak semua setuju dengan ide Humbert. Tetapi opini mayoritas anggota kuria condong
mendukung ide Humbert. Ketika Stephanus IX meninggal dengan cepat bangsawan Roma
merancang pemilihan calon mereka sendiri, Benediktus X. Para kardinal reformis dipaksa

58
W. Walker et. al., A History of the Christian Church, Edinburgh 1986, 266-271.

98
meninggalkan Roma. Tetapi situasi mereka aman oleh kepemimpinan Hildebrand yang
mengumpulkan sebagian penduduk Roma dan kekuatan Godfrey Tuscana untuk membela
Gerhard, uskup Firenze. Persetujuan ratu Agnes diperoleh bagi pemilihan Gerhard, dan karena
itu dia dipilih menjadi paus di Siena. Dengan nama Nicholas II (1058-1061) dia dibawa masuk ke
Roma dengan dukungan pasukan duke Godfrey. Pemilihan Benediktus X dinyatakan tidak
kanonis. Dia dikurung dalam gereja St. Agnes di Roma di mana dia wafat beberapa waktu
setelah 1073.
Di bawah Nicholas, program yang diimplikasikan dalam serangan Humbert atas
investiture awam dengan cepat dijadikan hukum dan kepausan berusaha mengkonsolidasikan
kemerdekaan politisnya dari para pemimpin Jerman, Roma dan Italia juga. Langkah pertama
dan paling menarik muncul pada sinode Roma tahun 1059 yang menyetujui dekrit pemilihan
paus yang berlaku hingga saat ini. Sebenarnya yang dilakukan oleh konstitusi baru ini ialah
meletakkan hak pemilihan paus ke tangan klerus kardinal tanpa campur tangan pihak kerajaan.
Untuk memastikan bahwa pemilihan paus tidak disusupi oleh campur tangan pihak luar,
Nocholas masuk ke dalam persekutuan dengan pemimpin Norman, Robert Guiscard yang
membutuhkan pengakuan kepausan akan posisinya. Tawar menawar antara kedua belah pihak
akhirnya mencapakai kesepakatan. Guiscard menerima kekayaannya sebagai tanah yang
diberikan oleh gereja Roma. Dia berjanji melindungi paus untuk mempertahankan dan
mendapatkan kuasa temporal dan milik St Petrus di mana saja dan melawan siapa saja yang
mencoba merampasnya. Dia juga berjanji membantu pemilihan dan konsekrasi paus bagi
kehormatan St. Petrus menurut nasehat para kardinal yang memimpin dan klerus serta umat
Roma. Dengan kata lain, pasukan Norman yang menjamin pelaksanaan dekrit pemilihan tahun
1059, dan pasukan ini menjadi vassal, “hamba” paus.
Wafat Nicholas II tahun 1061 (pada waktu yang sama wafat juga Humbert Silva Candida)
mendatangkan bahaya baik dekrit konstitusional maupun rancangan politisnya. Di bawah
kepemimpinan Hildebrand, uskup Anselmus Lucca dipilih menjadi paus Alexander II (1061-
1073). Tetapi Para penantang aturan kepausan yang baru, terutama Jerman dan para uskup
Lombardus, merancang sebuah konsili di Basel pada tahun 1061. Konsili ini berhasil meyakinkan
ratu Agnes untuk mengangkat Caldalus dari Parma menjadi paus dengan nama Honorius II.
Yang menyelamatkan Alexander ialah revolusi di Jerman yang menempatkan penjagaan raja
Henry yang muda di tangan Anno, uskup agung Koln. Karena ingin berteman dengan kelompok
reformis, Anno memihak Alexander yang akhirnya dikonfirmasi posisinya oleh sinode di
Mantova tahun 1064. Kepemimpinan yang lemah dan terbagi di Jerman membuat para
reformis Roma tetap pada posisinya.
Dengan nasehat Hildebrand, Alexander II, mengikuti jejak Leo IX, menampakkan
otoritasnya di Eropa. Keberpihakan kepausan terhadap Normans diungkapkan dalam ketetapan
Alexander atas usaha para pemimpin Norman di bagian selatan Italia untuk mengambil kembali
Sicilia dari kaum Saraceni. Sementara itu Henry IV, raja Jerman, mencapai umur dewasa untuk

99
menduduki takhta kerajaan raja (1065) dan segera menyatakan dirinya sebagai penguasa
Jerman. Tidak bisa dihindarkan bahwa kebijakan kepausan mengenai investiture awam
bertabrakan dengan kepentingan dan kebijakan penting raja Jerman, dan karena itu bagi semua
pemimpin di Eropa. Situasi yang melahirkan konflik ialah debat mengenai pengganti uskup
agung Milano. Takhta ini penting secara historis dalam gereja karena sekarang merupakan milik
feudal yang mengontrol jalan masuk utama ke pengunguna Alpen. Untuk tahta ini Henry IV
menghunjuk Godfrey dari Castiglione yang sudah dituduh oleh Alexander sebagai yang ternodai
oleh simoni. Paus tidak mengakui Godfrey, sebaliknya mengakui calon dari Tanah Milan, Atto,
sebagai uskup agung yang sah. Walaupun demikian Henry memastikan pentahbisan Godfrey
bagi takhta itu pada tahun 1073. Tidak lama sesudahnya Alexander II wafat. Dia meninggalkan
masalah itu kepada penggantinya, Hildebrand, yang walaupun tidak suka, ditahtakan oleh
permintaan umat dengan nama Gregorius VII.59

Hildebrand dan Henry IV

Hildebrand memiliki antuasias besar terhadap usaha reformasi. Dia memiliki rasa hormat
yang besar terhadap kota dan gereja yang menjadi milik rasul Petrus dan karena itu juga
terhadap otoritas jabatan kepausan. Dengan yakin dia bertaruh bagi kehormatan Kristus dan St.
Petrus dan bagi penciptaan masyarakat Kristien sejati. Dasar masyarakat ini ialah kekuasaan
universal yang hanya menjadi milik jabatan kepausan. Pauslah, dan bukan kaisar, wakil sejati
Kristus. Dalam Dictatus Papae60 dirumuskan prinsip-prinsip pemikiran Hildebrand, “bahwa
gereja Roma didirikan oleh Allah sendiri.” “Bahwa pontifikal Roma sendiri yang dengan benar
bisa disebut universal.” “Bahwa dia sendiri yang bisa memberhentikan dan menempatkan
kembali para uskup.” “Bahwa hanya dialah yang bisa memakai bendera kerajaan” (karena dia
sendirilah penganti sejati Konstantinus). “Bahwa dia bisa membuang para Kaisar.” “Bahwa dia
tidak bisa diadili oleh siapa pun.” “Bahwa dia bisa melepaskan orang dari keterikatan feudal
dengan orang yang jahat.” Proposisi-proposisi ini bukanlah temuan Gregorius sendiri. Substansi
dari Dictatus Papae bisa ditemukan dalam Donation of Constantine dan Pseudo-Isidorian
Decretals. Yang baru dalam dictatus ini ialah klaim paus atas prinsip-prinsip ini sebagai program
praktis yang ingin dijalankan oleh Gregorius dan para penggantinya.
Konfrontasi yang tak terelakkan antara paus baru dengan Henry IV terjadi pada tahun
1075. Pendirian paus sendiri telah disederhanakan dengan membaharui larangan absolut atas
investitur awam dalam sebuah sinode Roma yang diadakan pada waktu Paska 1075. Karena itu
ketika kaisar sekali lagi melakukan pengangkatan bagi uskup agung Milan, Gregorius segera
menjawab dengan surat celaan yang keras. Jawaban Henry atas surat ini ialah memanggil
sebuah konsili di Worms (januari 1076) yang menghasilkan hukuman terhadap Hildebrand dan
59
W. Walker et. al., A History of the Christian Church, Edinburgh 1986, 271-274.
60
A collection of brief propositions that summarized the results of recent Roman researches into tradition canon
law

100
penolakan otoritasnya sebagai paus oleh sebagian besar uskup Jerman yang berkumpul dalam
konsili tersebut. Tindakan ini langsung mendapat dukungan dari para uskup Lombardus.
Tanggapan Gregorius VII tidak kalah mengejutkan. Pada sinode Roma tanggal 22 Februari
1076 dia mengkekskomunikasi Henry, melarang dia menjalankan otoritas kerajaan di Jerman
dan Italia, dan melepaskan semua bawahan Henry dari sumpah persekutuan mereka.
Pembelaan Henry diajukan dengan surat kasar yang menyebut Hildebrand “sekarang bukan
paus, tetapi seorang rahib palsu” dan meminta agar dia meninggalkan jabatannya, untuk
memberikan kesempatan kepada “orang lain yang tidak akan menutupi kekerasan dengan
agama” atau menghinakan orang yang telah “diurapi menjadi raja” oleh Allah.
Henry terpaksa menyerah dalam pertarungan ini. Untuk membebaskan dirinya dari
ekskomunikasi, Henry terpaksa menjalani masa penitensi dengan menyembah paus dan
berjalan dengan kaki telanjang. Pada 28 Januari 1077 Henry IV dibebaskan dari ekskomunikasi.
Kemenangan ini masih dibumbui oleh rekaman kegagalan Gregorius. Perang sipil meletus di
Jerman ketika para lawan Henry menyatakan Rudolf Swabia sebagai raja. Meskipun paus
mengeluarkan dekrit ekskomunikasi kedua dan pembuangan yang diarahkan langsung
kepadanya, Henry menang, dan pada sinode di Brixen (Juni 1080) raja balik membuang paus
dan mengangkat uskup agung Ravenna, Wilbert, sebagai paus Klemens II (+1100). Dengan
menyerang Italia pada tahun 1081, Henry mengambil kontrol atas Roma setelah tiga tahun
lamanya berperang. Dia mentakhtakan Wilbert sebagai paus dan kemudian dia memahkotai
Henry sebagai raja. Gregorius VII, masih menguasai Castle of Sant’Angelo, terus menolak untuk
kompromi. Pada Mei 1084, dia diselamatkan oleh tentar Norman, tetapi dia dia menghabiskan
tahun terakhir hidupnya di pembuangan.
Setelah kontroversi investiture, kepauasanlah, dan bukan kaisar Jerman, yang
memenangkan kepemimpinan Kerajaan Kristen Latin, meskipun tahun-tahun kontroversi
dibutuhkan sebelum kemenangan ini menjadi nyata.61

Akhir dari Perjuangan Investiture

Pada saat Hildebrand wafat, para kardinal yang setia kepadanya memilih abbas Monte
Casino yang mengambil nama Victor III (1086-1087) sebagai penggantinya. Bahkan di hadapan
dominasi militer Henry IV, para reformator ini tidak mau menyerah. Pada saat Victor meninggal,
dan meskipun Wilbert dan kekuatan kerajaan masih mengontrol kota Roma, mereka tetap
bertahan dan memilih Urbanus II (1088-1099) sebagai paus yang baru. Paus ini sangat ahli
dalam bidang politik. Sebagai mantan utusan paus Gregorius VII ke Jerman, dia mengumpulkan
dukungan bagi usaha Gregorian bukan saja dari kalangan para uskup Jerman tetapi juga dari
antara klerus kardinal Roma yang meninggalkan Gregorius VII pada hari-hari terakhirnya.
Setelah memasuki kota Roma dia mengangkat ide Hildebrand mengenai perang salib untuk

61
W. Walker et. al., A History of the Christian Church, Edinburgh 1986, 275-277.

101
mengambil kembali Yerusalem dari para pengikut islam. Ide ini diutarakan pertama sekali dalam
sebuah sinode di Piacenza pada tahun 1095. Ide ini diwujudkan dalam sinode di Clermont
Prancis pada tahun yang sama. Dengan mengumumkan Perang Salib yang pertama dibawah
pimpinan paus sendiri melalui utusannya, Urbanus sebenarnya menjadikan kepausan kepala
umat Kristen yang kelihatan dan aktual dengan meneguhkan otoritas administratif dan judisial
yang telah diterima sejak Leo IX.
Akan tetapi kontroversi investiture belum berakhir. Wafat Urbanus II pada tahun 1099
membawa Paskal II (1099-1118) ke takhta St. Petrus yang harus berhadapan dengan
pemberontakan Henry V (1106-1125) yang memaksa pengunduran diri bapaknya sendiri pada
tahun 1105. Raja yang baru ini memiliki ambisi yang sama untuk mempertahankan kontrol atas
keuskupan dan abbas Jerman. Paskal menyatakan, jika kerajaan mau menyerahkan semua sikap
untuk menginvest para uskup dengan simbol otoritas spiritual mereka, gereja akan
menyerahkan semua hak-hak temporalnya – tanah-tanah dan kuasa feudal yang dimiliki oleh
para abbas dan uskup - kepada raja. Proposisi ini sangat mengejutkan bagi mayoritas pejabat
gerejani baik di Roma maupun di Jerman. Paskal yakin bahwa kebebasan imamat yang
diinginkan oleh para reformator menuntut kemiskinan apostolik. Tetapi usul ini tidak diterima
oleh satu orangpun.
Namun distingsi yang secara diam-diam ditarik dalam kasus ini antara investiture
temporal dan spiritual berarti bahwa satu dasar bagi kompromi telah dihadirkan. Dua uskup
Perancis, Ivo dari Chartres dan Hugo dari Fleury, menulis antara 1099 dan 1106, berpendapat
bahwa gereja dan mahkota masing-masing memiliki hak investiture yang berbeda: gereja
memiliki otoritas spiritual dan mahkota mempunyai otoritas temporal. Solusi seperti itu telah
terjadi di Inggris. Konflik invesiture di Inggris yang melibatkan uskup agung Anselmus
Canterbury (1093-1109) dan raja Henry I (1100-1135) telah diselesaikan dengan prinsip bahwa
kerajaan mempertahankan hak untuk menginvest uskup baru dengan otoritas temporalnya,
sementara uskup agung metropolitan menginvest dia dengan cincin dan tongkat, simbol
otoritas imam. Penyelesaian ini sebenarnya diadopsi dalam Concordat Worms tahun 1122,
dirangkai antara Henry V dan paus Kalixtus (1119-1124). Dengan persetujuan ini, pemilihan
para uskup dan abbas di Jerman menjadi bebas dan sesuai dengan forma kanonik. Tetapi
kehadiran raja pada pemilihan diizinkan, dan bila pemilihan menjadi perdebatan, dia harus
berkonsultasi dengan uskup metropolitan dan uskup-uskup dari propinsi. Di bagian lain dari
kerajaan ini, seperti Burgundy dan Italia, tidak ada ketetapan mengenai kehadiran kerajaan
dalam pemilihan. Raja menyerahkan investiture dengan cincin dan tongkat, tetapi
mempertahankan hak untuk menginvest dengan temporalitas tahta dengan sebuah sentuhan
otoritas kerajaan.
Efek dari kesepakatan ini ialah bahwa secara prinsipil seorang uskup atau abbas harus
berterima baik bagi gereja mapun pemimpin sipil. Kompromi ini jelas mengecewakan

102
Hildebrand, tapi itu adalah syarat bagi peran baru kepausan dalam kehidupan Kerajaan Kristen
Eropa.62

Perang salib

Perang salib adalah satu fenomena Abad Pertengahan yang paling mendapat perhatian.
Ada banyak faktor penyebab munculnya fenomena ini. Para sejarawan yang menekankan
pengaruh ekonomis menunjuk pada pertumbuhan penduduk Eropa yang cepat sejak abad ke
sepuluh, bersama dengan serangkaian perbaikan teknis dalam alat-alat pertanian dan kultivasi
panen yang lebih efisien, yang sungguh memperbesar produktivitas tanah. Surplus penduduk
dan makanan memungkinkan pertumbuhan kota dan perdagangan. Pada akhir abad ke sebelas,
masyarakat Eropa digetarkan oleh suatu dinamisme baru, dan di mana-mana perbatasan
Kerajaan Kristen secara bertahap diperluas. Perang salib, yang berlangsung selama dua abad,
bisa dipandang sebagai manifestasi dari kemajuan umum Eropa ini, bukti kekuatan ekspansi
Eropa yang luar biasa. Kolonialisasi internal terhadap wilayah-wilayah yang tak berpenghuni
sebelumnya di Eropa sendiri dipadukan dengan kolonialisasi eksternal terhadap tanah-tanah
yang dihuni oleh Muslim atau oleh skismatik Yunani.
Tetapi pertimbangan spiritual juga tidak kalah berpangaruhnya daripada penilaian
material. Abad ke sebelas secara keseluruhan adalah suatu periode perasaan religius yang
mendalam, yang menemukan pengungkapannya dalam bentuk kesalehan asketis dan monastik
terutama di kalangan awam. Semangat religius yang semakin meningkat, dijiwai oleh gerakan
Cluny adalahkekuatan yang mereformasi gereja secara meluas dan menyemangati kepausan
dalam perjuangannya dengan kerajaan. Wilayah-wilayah yang telah masuk ke dalam relasi erat
dengan kepausan yang direformasi– Prancis, Loraine, dan bagian Selatan Italia – adalah lahan
perekrutan pasukan pemimpin perang salib. Membawa salib dalam perang, dan mengurbankan
diri, dipandang sebagai imitasi hidup monastik dan sebagai satu yang menyerupai
kesempurnaan spiritual rahib yang lebih tinggi.
Kesalehan pada waktu itu juga menekankan tingginya nilai peziarahan ke tempat-tempat
suci, terutama tanah yang dikuduskan oleh hidup, kematian dan kebangkitan Kristus. Tanah
Suci sudah menjadi objek peziarahan sejak zaman Konstantinus. Berziarah tidak hanya
dilakukan sebagai tindakan devosional; sejak abad ke tujuh, tindakan ini juga menjadi bagian
wajib dari penitensi atas dosa yang telah diakukan. Walaupun Yerusalem telah menjadi milik
Muslim sejak tahun 638, peziarahan secara praktis tidak putus. Tetapi situasi berubah ketika
pemimpin dari keluarga Seljuk Turki, mulai pada tahun 1071, menaklukkan banyak daerah Asia
Kecil. Mereka mengontrol Yerusalem, dan setelahnya peziarahan secara virtual tidak mungkin
lagi.

62
W. Walker et. al., A History of the Christian Church, Edinburgh 1986, 277-279.

103
Jadi kabar mengenai peristiwa ini datang pada sebuah masa yang ditandai dengan
keuntungan peziarahan spiritual secara mendalam. Lebih lagi, masa itu menyaksikan sukses
orang Kristen berhadapan dengan Islam, sekurang-kurangnya di Barat. Antara tahun 1060 dan
1090, suku Norman di Italia Selatan telah mengambil alih Sicilia dari kontrol Muslim. Di bawah
Ferdinand I dari Kastile (1035-1065), penaklukan Kristen atas Spanyol dari para Muslim telah
dimulai. Perasaan bahwa Kekristenan bisa menaklukkan Islam sedang menyebar. Cinta akan
petualangan, harapan untuk merampas, hasrat untuk memperoleh wilayah, dan kebencian
religius tentu saja sangat menjadi motivasi dan penggerak para pasukan perang salib. Mereka
percaya bahwa mereka sedang melakukan sesuatu yang sangat penting bagi jiwa mereka dan
bagi Kristus.
Pendorong pertama Perang salib datang dari permintaan bantuan kaisar Timur, Michael
VII (1071-1078), kepada paus Gregorius VII untuk menghadapi Seljuks. Kepada Gregorius
tampaknya dijanjikan penyatuan kembali kerajaan kristen Yunani dan Latin dan penetapan hak-
hak primatial Roma di Konstantinopel, dan karena itu dia menjanjikan pengiriman bantuan pda
tahun 1074. Pecahnya konflik investiture menggagalkan rencana ini. Rencana ini kemudian
dihidupkan kembali oleh Urbanus II (1088-1099) yang banyak mewarisi cara-cara Gregorius VII.
Alexius I (1081-1118), seorang pemimpin yang lebih kuat daripada pendahulunya di
Konstantinopel, melihat dalam pertengkaran yang memecah antara para kapten-kapten Seljuk
suatu kesempatan untuk menyerang. Karena itu dia meminta bantuan kepada Urbanus II untuk
membangkitkan pasukan Barat untuk mendapatkan kembali wilayah-wilayah propinsi Asia yang
hilang. Urbanus menerima para utusan kerajaan pada Konsili Piacenza, di bagian Utara Italia,
pada bulan Maret 1095, dan menjanjikan bantuan. Pada sebuah konsili yang diadakan pada
bulan November berikutnya di Clermont, di Perancis Timur, Urbanus mengumumkan Perang
Salib dalam satu ajakan dengan konsekuensi yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Rencananya sudah lebih luas daripada sekedar permintaan Alexius demi pembebasan
wilayahnya. Dia ingin membebaskan tempat-tempat suci dari tangan Muslim. Dia mengundang
semua kerajaan Kristen untuk ambil bagian dalam karya ini, dengan menjanjikan penghapusan
penuh atas dosa-dosa orang yang terlibat dalam perjalanan sulit ini. Dengan demikian Urbanus
mengkombinasikan ide kuno tentang pejiarahan ke Tanah Suci dengan ide perang suci melawan
orang yang tidak beriman.
Para pelaku perang salib adalah sekaligus pejiarah dan tentara. Mereka diikat oleh janji
untuk mengunjungi Makam Kudus dalam satu rangkaian utusan yang teroganisir dan
dipersenjatai. Janji ini, dibuktikan dengan memakai sebuah salib yang dijahitkan di pakaian,
adalah kewajiban menetap yang bisa dipaksakan dengan sanksi hukum. Ini berfungsi sebagai
peneguh barisan pasukan perang salib dari rintangan-rintangan serius dan penghalang yang
tidak diharapkan. Para pasukan ini adalah pemilik berbagai hak istimewa baik spiritual maupun
temporal. “Indulgensi,” yang biasanya dipahami untuk menghapuskan dosa-dosa orang yang
telah dilakukan sebelumnya dan untuk memasukkan seseorang pada status tidak berdosa

104
adalah salah satu hak yang paling istimewa. Janji, status, kewajiban dan hak-hak para pasukan
ini secara bertahap diformalkan oleh para pengacara Abad Pertengahan.
Pesan Urbanus segera mendapatkan jawaban langsung dan entusiastik. Pengumuman
perang salib ini kepada umat yang berkumpul di luar Clermont disambut dengan seruan Deus lo
volt, “Allah menghendakinya!” Dari antara para pengkhotbah perang ini yang paling terkenal
ialah Petrus Hermit, seorang rahib dari Amiens. Dorongan untuk Perang Salib berada pada
kepauasan, persis seperti organisasinya yang rumit pada akhirnya tergantung pada kesatuan
sistem administrasi paus. Demikianlah enthusiasme dibangkitkan, terutama di Perancis.
Sekelompok besar petani, bersama dengan sejumlah pasukan, berangkat pada musim semi
tahun 1096, antara lain di bawah pimpinan pasukan Walter Penniless dari Prancis dan Petrus
Hermit sendiri. Berjalan melalui Jerman, sejumlah kelompok liar ini membantai banyak Jahudi
di kota Rein. Mereka dirasuki oleh kepercayaan bahwa orang Yahudi di Yerusalem telah
membantu pengkhianatan kota itu kepada orang Turki. Perampasan-perampasan ini sering
dihadapi dengan balasan kejam di Hungary dan Balkan ketika mereka terpaska merampas
makanan. Dua kelompok yang relatif damai di bawah Walter dan Petrus berhasil mencapai
Konstantinopel, dan segera dibawa ke Asia Kecil. Meskipun diingatkan oleh Alexius untuk tidak
langsung menimbulkan konflik, mereka mencoba untuk menjangkau ibukota Seljuk sebelumnya
di Nicea dan hampir semuanya dihancurkan oleh orang Turki pada bulan Oktober 1096. Yang
disebut dengan Perang salib rakyat ini, yang terkenal dengan semangat religiusnya yang
membara, ternyata gagal total.
Karya nyata Perang Salib Pertama (1096-1099) diselesaikan oleh bangsawan feudal Eropa.
Empat kelompok pasukan besar dibentuk. Satu dipimpin oleh Godfrey Bouillon, duke Lower
Lorraine, dan saudaranya Baldwin dan Eustace Flanders. Pasukan lain dari Utara dan Barat
Perancis dipimpin oleh Robert, bangsawan dari Flander, dan oleh saudara-saudara para raja
Inggris dan Prancis – Robert, duke Normandy, dan Hugh, bangsawan Vermandois. Dari arah
Utara Perancis datang sekelompok pasukan di bawah Count Raymond Toulouse. Dari suku
Norman Italia ada sekelompok pasukan yang dipersentai lengkap dituntun oleh Bohemond
Taranto yang handal, ambisius dan kurang bermoral dan keponakannya Tancred. Tidak
seorangpun pemimpin ini yang dibiarkan menuntun kelompok pasukan ini. Urbanus II
menghunjuk uskup Adhemar dari Le Puy menjadi wakilnya; dan Adhemar menetapkan
Konstantinopel sebagai tempat berkumpul. Dengan menempuh tiga jalan yang berbeda,
pasukan ini tiba di Konstantinopel pada musim gugur dan musim semi tahun 1096-1097.
Kedatangan mereka menimbulkan kesulitan yang tidak kecil bagi Alexius oleh ketidakteraturan
mereka dan penolakan para pemimpin mereka pada awalnya untuk berjanji bersekutu dengan
dia.
Pada bulan Mei 1097, pasukan perang salib ini mulai mengepung Nicea yang kemudian
menyerah pada bulan Juni. Pada tanggal 1 Juli, sebuah kemenangan yang menentukan atas
Turki di dekat Dorylaeum membuka jalan untuk menyeberangi Asia Kecil, sehingga Iconium

105
dicapai, setelah kehilangan besar yang diakibatkan oleh lapar dan haus, pada pertengahan
bulan Agustus. Pada bulan Oktober, pasukan perang salib berada di depan tembok Antiokia.
Kota itu dikepung, hanya setelah pengepungan yang agak sulit pada tanggal 3 Juni 1098. Tiga
hari kemudian, para pasukan perang salib dikepung di kota itu oleh pemimpin Turki Kerbogha
Mosul. Saat krisis dan putus asa ini ditandai oleh krisis mendalam bagi para pasukan perang
salib; tetapi pada tanggal 28 Juni, Kerbogha ditakklukkan sepenuhnya. Tetapi Jerusalem bisa
dijangkau hanya pada bulan Juni 1099 dan dikepung pada tanggal 15 Juli. Para penduduknya,
Muslim dan Yahudi, semua dibantai dengan pedang. Penaklukan sepenuhnya di Mesir yang
meringankan pasukan di dekat Ascalon pada tanggal 12 Agustus 1099 memahkotai sukses
Perang Salib ini.
Pada saat menyelesaikan pekerjaan itu, Godfrey Bouillon dijuluki sebagai Pelindung
Makam Suci. Dia meninggal bulan Juli 1100 dan digantikan oleh saudaranya Baldwin yang lebih
piawai lagi. Dia sudah lebih dahulu mendirikan satu kabupaten Latin di Edessa dan kini
mengambil titel Raja Baldwin I (1100-1118). Wilayah yang ditaklukkan dibagi dan diorganisir
seturut model feudal barat. Di samping kerajaan Yerusalem, daerah ini mencakup wilayah-
wilayah yang dikuasai oleh pangeren Antiokia dan kabupaten-kabupaten Edessa dan Tripoli.
Wilayah feudal ini praktisnya bebas dari raja Yerusalem. Sebagian besar dari pasukan perang ini
adalah orang Perancis, tetapi kelompok perang salib ini juga menerima bantuan angkatan laut
yang tak ternilai dari Genoa, Venice dan Pisa, dan para pedagang Italia yang penting yang
bangkit di kota itu. Di bawah Patriark ritus Latin di Yerusalem dan Antiokia, seluruh wilayah itu
dibagi menjadi delapan keuskupan agung dan enam belas keuskupan suffragan. Banyak biara
didirikan di wilayah ini.
Sokongan kerajaan Latin yang terbesar datang dari ordo militer. Salah satu darinya,
Ksatria Temple, atau Templars, didirikan oleh oleh Hugo de Payens pada tahun 1119. Kepada
ordo ini diberikan wilayah dekat kuil – dari mana nama itu muncul - oleh raja Baldwin II (1118-
1131). Dengan bantuan tulus dari Bernard Clairvaux, yang menyiapkan sebuah anggaran dasar
bagi mereka berdasarkan peraturan hidup Cistercians, ordo ini mendapat persetujuan dari paus
pada tahun 1128. Begitu mendapat restu paus, ordo ini segera memenangkan popularitas luas
di Barat. Para anggotanya, walaupun secara teknis adalah awam, mengucapkan kaul-kaul
monastik dan juga berjanji untuk berjuang melawan orang tak beriman, untuk
mempertahankan Tanah Suci, dan melindungi para peziarah. Karena itu mereka adalah sebuah
ordo rahib yang bersenjata, yang menyimbolkan peleburan ideal Kristen dan martir yang
ditimbulkan oleh Perang Salib. Orang yang menyokong Perang salib, tetapi dikeluarkan karena
usia atau masalah sex, bisa masuk ke dalam ordo ini dengan jaminan pemberian tanah atau
uang. Karena itu ordo Templars ini segera menjadi pemilik tanah di Barat. Kebebasan dan
kekayaan mereka membuat mereka menjadi obyek kecemburuan kerajaan, terutama setelah
tujuan utama mereka dikacaukan pada akhir Perang Salib. Kekacauan ini bermuara pada
pembubaran mereka secara brutal di Perancis pada tahun 1307 oleh raja Philip IV (1285-1314).

106
Tetapi sementara Perang Salib berlangsung, Ordo Templars menjadi benteng utama kerajaan
Yerusalem.

107

Anda mungkin juga menyukai