Anda di halaman 1dari 37

BAB 1

DUNIA HELLENIS PADA AWAL SEJARAH GEREJA

1. Keadaannya secara lahiriah. Dunia tempat Gereja mulai timbul ialah kekaisaran Romawi. Luasnya
kekaisaran itu dari selat Gibraltar sampai sungai Efrat dan dari tanah Mesir sampai Inggris. Batasnya
di sebelah utara ialah sungai Rin dan Donau, akan tetapi kuasa tentara Romawi dirasai sampai jauh
di luar batas itu. Pusat kekaisaran yang besar itu ialah kota Roma, tempat kaisar-kaisar bersemayam.
Sungguhpun kaisar-kaisar itu nampaknya masih memberi hak kepada rakyat untuk turut memerintah
negara itu, seperti ketika Romawi masih suatu republik (sebelum kaisar pertama Augustus naik
takhta pada tahun 29 SM), tetapi sebenarnya kaisar sendiri sajalah yang memegang kuasa
(monarkhia mutlak).

Dunia barat tidak pernah mengalami persatuan yang besar itu. Hanya satu bahasa pergaulan dipakai,
yaitu bahasa Yunani, yang pada zaman itu disebut bahasa Koine, artinya bahasa umum (bandingkan
dengan bahasa Indonesia sekarang). Perjanjian Baru juga dikarang dalam bahasa Koine itu. Tak ada
batas-batas di dalam kekaisaran Romawi itu, yang mungkin merin tangi kesatuannya. Di mana-mana
terdapat jalan raya yang baik, yang bukan saja berguna bagi saudagar-saudagar dan pasukan-
pasukan kaisar, tetapi juga bagi rasul-rasul dan penginjil-penginjil yang perlu bepergian ke mana-
mana untuk mamasyhurkan Nama Tuhan.

Perdagangan dan lalu lintas di darat dan di laut mempererat hubungan antara semua bagian
kerajaan. Ketenteraman dan ketertiban terdapat di semua daerah. Perjalanan-perjalanan Paulus dan
perkembangan Gereja yang pesat itu akan sukar diartikan, jika tidak mengingat keadaan dunia
zaman itu, seperti yang diterangkan tadi.

2. Keadaannya secara batiniah. Sudah tentu kesemuanya itu belum ber arti suatu kesatuan batiniah.
Sekalipun bangsa-bangsa di daerah-daerah per batasan takluk kepada Roma secara politik
(umpamanya orang Kopt di Mesir, orang Siria atau Syam, orang Yahudi, dan sebagainya), tetapi
kebudayaan tinggi, yang menguasai hidup rohani pusat kekaisaran Romawi itu, kurang
mempengaruhi bangsa-bangsa itu. Mereka masih memelihara sifat dan adatnya sendiri. Sedangkan
negeri-negeri sekitar pusat kekaisaran itu pun kurang ber satu secara batiniah. Semangat Romawi di
bagian barat berbeda jauh dengan suasana Yunani, di bagian timur. Perbedaan itu juga nyata benar
dalam sejarah Gereja, hal mana akan sering kita lihat dalam kitab ini.

Akibat dari perhubungan dan pencampuran bangsa-bangsa pada zaman itu ialah bangsa-bangsa itu
kehilangan ketenteraman jiwa dan adat yang baik. Kesopanan telah sangat mundur (baca “Surat
Paulus kepada jemaat di Roma” 1.18 dyb). Dahulu penduduk hidup dengan senang sentosa menurut
adat istiadat dan agamanya masing-masing, tetapi keadaan itu kemudian berubah sama sekali.
Dewa-dewa kebangsaan rupanya sudah hilang kuasanya dalam dunia baru yang luas itu. Dasar-dasar
rohani dari kehidupan manusia ter guncang dan rubuh. Tak mengherankan bahwa pada masa
peralihan itu orang dengan bimbang bertanya pada diri sendiri: Apakah yang harus kuperbuat?
Apakah yang boleh kuharapkan supaya selamat di dunia ini dan di akhirat? Oleh karena soal-soal
yang demikian, maka minat orang terhadap perkara perkara rohani bertambah besar. Tetapi agama
Yunani dan Romawi yang menjadi agama negara yang resmi, tak sanggup memuaskan kebutuhan
rohani kebanyakan orang. Sebagai ganti agama yang kolot itu mereka asyik mem pelajari agama-
agama dari bagian timur kekaisaran, yang baru dikenal sesudah pasukan-pasukan Romawi
mengalahkan negeri-negeri di sebelah timur Laut Tengah (sejak tahun 150 s.M).

3. Pengaruh agama-agama timur. Apakah sebabnya timbul perhatian orang terhadap agama-agama
yang baru itu? Oleh sebab pokok-utama agama agama itu ialah kelepasan yang dijanjikan kepada
manusia, yakni kelepasan daripada segala kesukaran di dunia ini. Kehidupan yang penuh kesusahan
di bumi ini dipandang sebagai persediaan saja untuk kehidupan yang sempurna dan baka di akhirat
kelak. Tujuan yang indah dan mulia itu harus dikejar dengan beraskese, yakni bertarak, menahan
diri, mematikan hawa nafsu daging, dan dengan ambil bagian dalam bermacam-macam tahbisan dan
lain lain upacara rahasia (“misteri”), yang melukiskan dan mengusahakan keme nangan hidup atas
maut. Tambahan pula agama-agama ini memberi kepada manusia suatu ilmu kebajikan yang baru,
suatu perasaan keamanan dan per lindungan yang menghiburkan hati, serta pengharapan yang
sungguh akan dibebaskan kelak dari segala kesulitan dan kesengsaraan yang diderita oleh tubuh dan
jiwa dalam hidup yang fana ini.

Dari abad yang pertama sampai abad yang ketiga berkembanglah ibadat kepada dewa-dewa asing
itu di seluruh kekaisaran. Dewa-dewa itu antara lain: dewi Isis dan dewa Osiris di negeri Mesir, Baal
di Siria, dewa Mitras di Persia dan dewi Kybele di Asia Kecil. Ilmu nujum (astrologia) dari Babel tak
kurang pula diselidiki, dan agama-agama rahasia (misteri) dari Yunani pun bertambah besar
pengaruhnya.

Segala agama ini mengajarkan, bahwa dunia yang fana dan bersifat sementara ini berdasarkan dan
berbataskan suatu yang lain. Oleh berjenis-jenis latihan askese dan oleh rupa-rupa penahbisan
rohani yang bertingkat, maka jiwa dapat mengalahkan kefanaan sehingga akhirnya dipersatukan
dengan keadaan ilahi yang baka, yang sebetulnya menjadi dasar dan maksud hidup manusia. Tiap-
tiap agama membawa manusia kepada keselamatan itu, meski pun jalannya berbeda-beda. Sebab
itu mereka tak mau berbantah-bantah, melainkan harga-menghargai dan bersabar satu sama lain.
Tak mengheran kan bahwa dewa-dewa itu disamakan saja, karena dianggap berbagai nama saja dari
suatu zat ilahi yang am saja. Mencampur-adukkan agama-agama ini disebut sinkretisme.

Jenis agama ini dapat juga disebut pantheisme dan dualisme. Pantheisme ialah kepercayaan bahwa
semua (= pan), yakni alam dan segala isinya, ter masuk manusia juga, bersifat ilahi. Ilah (theos) itu
ada di dalam segala sesuatu dan tiap-tiap barang atau makhluk mengandung zat ilahi yang esa itu.
Dengan demikian sudah tentu bahwa ilah itu tidak berpribadi. Menurut dualisme, dunia ini terbagi
atas dua bagian yang bertentangan, yakni yang nampak dan yang tidak nampak, zat benda dan roh,
tubuh dan jiwa yang lahiriah yang jahat dan yang batiniah yang baik, dan sebagainya. Memang
pantheisme dan dualisme itu berlawanan sama sekali dengan Alkitab dan ajaran Gereja Kristen,
sungguhpun pandangan-pandangan kafir itu sangat mempengaruhi, bahkan memerosotkan hidup
dan theologia Gereja sepanjang segala abad.
4. Penyembahan kepada kaisar. Ibadat kepada kaisar adalah salah satu pernyataan yang sangat
penting dari hidup keagamaan pada permulaan tarikh Masehi. Kebiasaan ini timbul dari pandangan
umum di timur, yaitu bahwa kaisar mengandung khasiat yang mengatasi dunia kodrati (alamiah) ini,
bahkan ia berasal daripada dunia ilahi. Ia dianggap sebagai Anak Ilah dan Tuhan. Demikianlah
misalnya perasaan orang terhadap Alexander Agung (Iskandar Zulkarnain), raja Makedonia yang
membawa tentaranya sampai di India (325 s.M.), sehingga namanya masyhur di Asia Timur sampai
kini. Kaisar-kaisar ilahi itu menjadi lambang keesaan kekaisarannya yang sangat luas. Mula-mula
mereka hanya disembah sesudah mangkat, tetapi kemudian negara menuntut korban bagi kaisar
yang masih hidup, dari semua pen duduk negeri, sebagai tanda dan bukti bahwa mereka setia
kepada kepala negara dan orang-orang yang dapat dipercaya dalam politik. Siapa yang tak mau
berbakti kepada kaisar dianggap musuh negara. Kita dapat mengerti

Bahwa tuntutan negara ini menjadi pokok perselisihan yang besar antara pemerintah Romawi dan
Gereja Kristen.

5. Ilmu filsafat. Pada waktu Gereja memasuki dunia zaman Hellenisme itu ada juga beberapa
golongan ahli filsafat yang kenamaan, baik di Yunani (lihat Kis 17:18), maupun di Italia dan di lain-lain
negeri. Sungguhpun ajaran mereka kerapkali berlain-lainan (umpamanya golongan Stoa berbeda
filsafat nya dengan pengikut-pengikut Epicurus), tetapi pada umumnya tujuannya sama saja, yakni
mereka mau membaharui hidup kesusilaan, supaya manusia boleh mencapai bahagia dan
kesenangan batiniah yang diidam-idamkan itu, dengan mengusahakan kelakuan dan perbuatan yang
baik. Yang mengajarkan filsafat moralistis ini, antara lain ialah: Seneca (guru kaisar Nero), Epictetus
dan kaisar Marcus Aurelius (161-180).

Semenjak abad kedua, filasafat Plato, yang hidup di Yunani 400 tahun sebelum kelahiran Kristus,
asyik juga dipelajari di barat, sehingga pandangan pandangannya sangat mempengaruhi hidup
rohani banyak orang yang menaruh minat terhadap soal-soal agama. Filsafat kafir dari Plato yang
indah itu pun dipengaruhi oleh mistik timur, sehingga ia mengajarkan bahwa jiwa berasal dari dunia
ilahi yang terang dan murni, tetapi sekarang terkurung dalam zat benda yang gelap dan jahat.
Dengan beraskese dan berekstase (yaitu jiwa membubung dan meninggalkan tubuh seketika untuk
bernapas dan bersukaria dalam suasana ilahi; bandingkanlah Petrus “rohnya diliputi oleh kuasa ilahi”
Kis 10:10; 11:5; lagi 22:7 dan II Kor 12:24), hendaklah manusia berusaha mengembalikan rohnya
kepada asalnya itu. Jadi filsafat Plato ini juga bersifat moralistis dan dualistis-pantheistis, tak
ubahnya dengan kepercayaan rendah. Dan sederhana dari rakyat yang kurang terpelajar.

BAB 2

KAUM YAHUDI

Gereja Kristus mulai timbul di tengah bangsa Yahudi, dan pekabarannya pertama-tama ditujukan
kepada orang Yahudi dalam perserakan. Sebab itu baiklah kita lebih dahulu menguraikan keadaan
kaum Yahudi pada zaman itu.
1. Di tanah Palestina. Pada masa kelahiran Gereja, tanah Palestina takluk kepada pemerintahan
Romawi. Bagian Selatan Palestina (Yudea) dikepalai oleh seorang wali negeri Romawi, di
antaranya Pilatus, Festus, Felix, Raja bagian utara (Galilea) pada masa itu ialah Herodes
Antipas.

Di lapangan agama, kaum Yahudi adalah bebas, artinya mereka berhak menyembah Allahnya
menurut hukum-hukum tauratnya. Agamanya dipim pin oleh Majelis “Sanhedrin,” anggotanya terdiri
dari imam-imam dan ahli-ahli taurat, 70 orang banyaknya, dan diketuai oleh imam besar. Pusat
agama Yahudi adalah bait Allah di Yerusalem, tetapi kebanyakan orang Yahudi tak sempat berbakti
ke sana, sehingga dalam tiap-tiap jemaat Yahudi dibangunkan rumah ibadah (sinagoge), tempat
mereka berhimpun pada hari Sabat di bawah pimpinan ahli-ahli taurat. Lambat-laun golongan ahli-
ahli taurat itu lebih berkuasa daripada golongan imam.

2. Harapan akan kedatangan Mesias. Sungguhpun orang Yahudi tak di aniaya, tetapi secara
rohani mereka merasa dirinya tertindas. Hatinya sakit, sebab mereka yang dipilih Tuhan
untuk memerintah dunia, sekarang dikuasai oleh suatu bangsa kafir. Semangat kebangsaan
hidup berkobar dalam hati banyak orang, sehingga kadang-kadang ada yang memberontak
seperti orang Zelot (lihat Mrk 3:18; Luk 6:15). Biasanya para pemberontak itu akhirnya harus
mengakui kalah, tetapi hatinya senantiasa mengharapkan tibanya kesudahan alam yang
telah dekat, pada waktu mana Tuhan akan menghakimi semua bangsa kafir dan akan
memulihkan kedudukan umatNya. Kedatangan Mesias (Almasih) yang dijanjikan itu,
dinantikannya dengan kerinduan besar.

3. Hal melakukan taurat. Tengah mereka menanti itu timbullah soal dalam hati mereka: Apakah
yang harus kuperbuat supaya beroleh bagian dalam kerajaan Mesias? Soal itu mereka jawab
seperti berikut: Aku harus menggenapi segala tuntutan taurat! Terlebih-lebih golongan ahli-
ahli taurat yang berusaha mempelajari dan mengajarkan segala hukum dan larangan taurat
Musa. Kebanyakan mereka masuk golongan Farisi (artinya: yang ter asing), yang berusaha
untuk melakukan taurat secermat-cermatnya, umpama nya hal berpuasa, berdoa, memberi
sedekah, menguduskan hari Sabat, dan sebagainya. Pada hemat mereka, segala amal itu
membawa manusia kepada pintu sorga, bahkan kebajikannya wajib dibalas dan diganjar
oleh Tuhan. Tetapi sayang sekali kesalehan mereka secara lahiriah saja, bukan rohaniah,
sehingga mereka bersikap congkak dan munafik. Sebab itu orang Farisi mem benci Tuhan
Yesus, yang acapkali menegur mereka. Kendati pun demikian, sifat Farisi itu sering pula
menggoda kehidupan rohani Gereja Kristen.

Di samping golongan Farisi yang berkuasa itu ada juga partai imam, yang disebut orang Saduki.
Mereka itu menolak segala harapan akan kedatangan Mesias, yang bercorak apokaliptis (yaitu
disertai pelbagai mujizat dan sebagai nya), dan segala tambahan kepada taurat, yang dibuat dan
dipesankan oleh kaum Farisi. Lagipula mereka suka mempelajari segala ilmu dari barat dan beramah-
tamah dengan orang Romawi dan Yunani. Suatu mazhab yang lain lagi ialah orang Essena, yang
mementingkan askese; mereka hidup terutama di pesisir Laut Mati, jauh dari keramaian kota. Pada
umumnya kaum Yahudi berpegang teguh kepada Kitab Kudusnya, yaitu Perjanjian Lama; dengan itu
mereka sangat melawan segala pengaruh agama kafir, yang menguasai masyarakat pada zaman itu
seperti yang di terangkan dalam bab pertama. 4. Diaspora. Sesudah pembuangan di Babel, kaum
Yahudi hidup ber serak-serak atau "dalam diaspora" (= dalam perserakan). Yang tinggal di Palestina
sejuta saja, sedang di luarnya kira-kira enam juta orang. Sebagai saudagar, mereka berdagang di
segala kota besar di sekitar bagian timur Laut Tengah dan di kota Roma. Pada masa Tuhan Yesus di
Roma terdapat 10.000 orang Yahudi di antara 600.000 penduduk kota itu. Di Mesir jumlah orang
Yahudi sampai satu juta banyaknya. Di Alexandria sepertiga dari penduduk adalah orang Yahudi.
Sungguhpun berserak-serak, tetapi mereka tetap setia kepada agamanya. Mereka diberi hak
mempunyai pengadilan sendiri; pun mereka dibebaskan dari kewajiban mempersembahkan korban
kepada kaisar. Taurat Musa di turutinya sedapat mungkin dalam dunia persaingan itu. Di mana-mana
ter dapat rumah ibadah (sinagoge). Pajak untuk bait Allah di Yerusalem tetap dibayar, dan sedapat-
dapatnya sekali setahun mereka berziarah ke Yerusalem untuk turut merayakan hari pesta besar di
bait Allah. Kaum Yahudi dalam diaspora berbahasa Yunani (Koine), sebab sudah lupa bahasa Ibrani.
Sebab itu Perjanjian Lama perlu diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani itu, kira-kira 200 tahun s.M.
Terjemahan ini yang dikerjakan di Mesir, disebut Septuaginta (artinya tujuh puluh, biasa ditulis LXX),
karena menurut suatu dongeng ada 70 ahli bahasa yang mengarangnya. 5. Pengaruh Yahudi. Banyak
orang kafir sakit hati karena adat dan agama orang Yahudi serta sikap mereka yang sombong itu.
Tetapi banyak pula yang mulai menghargai agama itu, karena dilihatnya: kaum Yahudi sehati
sepakat, sebab merasa dirinya sebagai umat Allah, umat yang terpilih; mereka menyembah satu
Allah saja (jadi mereka "monotheis"); ibadatnya rohani dan tidak memakai patung-patung; kitab
kudusnya sangat tua dan indah, dan hidup amalnya sangat baik. Orang kafir yang sungguh-sungguh
telah masuk agama Yahudi dan takluk kepada taurat, disebut "proselit" (atau penganut agama
Yahudi, lihat KKis2:11; 6:5; 13:43). Selain daripada mereka itu ada pula "orang yang takut akan
Allah"; mereka ini percaya kepada Allah dan suka turut beribadah dalam sinagoge, tetapi belum
menganut agama Yahudi secara resmi (lihat Kis 13:16; 17:4). Orang proselit, yang menyambut
pekabaran Injil dari rasul rasul, menjadi orang-orang perantara bagi Gereja untuk memasuki dunia
Yunani-Romawi. 6. Philo dari Alexandria. Philo adalah seorang filsuf Yahudi yang ber usaha
menyesuaikan ajaran Perjanjian Lama dengan filsafat Yunani dari Plato dan Stoa. Ia mau
membuktikan bahwa segala hikmat Yunani sudah terdapat juga dalam taurat dan dalam surat-surat
nabi-nabi Israel. Sebab itu Philo terpaksa menafsirkan Alkitab secara alegoris (yaitu suatu cerita atau
perkara biasa ditafsirkan secara rohani, sehingga mendapat arti yang lebih dalam dan indah).
Dengan demikian nisbah/relasi/hubungan Allah dengan manusia selaku khalik dan makhluk
disamakannya saja dengan "roh dan zat benda" dari filsafat Plato, dan Firman Tuhan dijelaskannya
selaku "logos" Yunani, yaitu zat suci, yang menghubungkan dunia ilahi dengan dunia jasmani di
bumi. Metode Philo ini berpengaruh dalam sejarah Gereja, karena kemudian ditiru oleh para
pemimpin Kristen, yang juga mencoba membela agamanya dengan mencocokkan ajaran Injil dengan
filsafat kafir, sebagaimana akan diuraikan nanti (lihat Bab 10,1). BAB 3 JEMAAT KRISTEN YANG
MULA-MULA 1. Keadaan sidang itu. Hari kelahiran Gereja ialah hari keturunan Roh Kudus pada
pesta Pentakosta. Murid-murid dipenuhi dengan Roh Kristus, sehingga mereka berani bersaksi
tentang kelepasan yang dikaruniakan Tuhan kepada dunia. Di mana orang menyambut Injil dengan
percaya kepada Yesus Kristus, di sana terbentuklah jemaat-jemaat kecil. Keadaannya nampaknya
seperti mazhab Yahudi saja, karena mula-mula orang Kristen masih mengun jungi Bait Allah dan
rumah ibadat serta taat kepada taurat Musa. Walaupun demikian, nyata juga perbedaan besar
antara orang Kristen Yahudi ini dengan kawan sebangsanya, karena mereka percaya dan
mengajarkan bahwa Yesus dari Nazaret ialah Mesias yang dijanjikan itu. Dengan demikian taurat,
Bait Allah dan sinagoge lambat-laun kurang penting bagi kaum Kristen.
Permulaan sejarah Gereja dapat kita pelajari dari kitab Kisah Rasul-rasul yang melukiskan hidup
jemaat yang mula-mula itu, yang rukun dan dalam suasana gembira dan berbahagia. Sudah tentu,
kita boleh mengambil contoh dari cinta-kasih, kegiatan, kerajinan dan keberanian jemaat yang
pertama itu, tetapi janganlah kita lupa, bahwa mereka itu tak lain dari manusia yang lemah dan
berdosa juga. Ingat saja Ananias dan Safira (Kis 5), perselisihan tentang pembagian kepada janda-
janda dalam pelayanan sehari-hari (Kis 6) dan nasehat-nasehat Paulus dalam suratnya kepada
jemaat di Korintus. Kita maklum, bahwa kesucian/kekudusan jemaat Kristen tidak terdapat dalam
dirinya sendiri, melainkan dalam Tuhannya saja (1 Kor 1:30).

2. Sidang pertama bersifat komunis? Ada orang yang mengatakan bahwa jemaat yang mula-mula itu
bersifat komunis berhubung dengan penjualan harta benda yang hasilnya dibagi-bagikan di antara
semua saudara sesuai dengan keperluan masing-masing (Kis 2:44 dyb). Tetapi hal itu bukanlah
komunisme, karena pemberian itu tidak diatur dengan resmi, pun tidak di haruskan; tambahan lagi
hak masing-masing anggota untuk memiliki harta benda tidak diperkosa (Kis 5:4). Tiada berapa lama
maka pangkat syamas diadakan untuk melayani orang miskin, yakni semua anggota Gereja yang
membutuhkan bantuan.

4. Karunia-karunia. Pada masa itu tak sedikit orang Kristen yang diberi Tuhan rupa-rupa
“karunia Roh” atau “karunia oleh Roh Allah” seperti karunia menyembuhkan orang sakit,
mengadakan mujizat, bernubuat dan “karunia untuk berkata-kata dengan bahasa roh”
(glosolalia), yaitu menge luarkan bunyi dan bahasa yang tak dapat diartikan oleh orang
banyak, tetapi yang perlu diterangkan maknanya (1 Kor 12:10). Dalam sejarah Gereja dapat
kita lihat, bahwa pada abad-abad kemudian juga orang kadang-kadang di anugerahi karunia
semacam itu, tetapi rupanya bukan maksud Tuhan, supaya tiap-tiap orang yang percaya
dikaruniai demikian. Jangan kita lupa kete rangan Paulus tentang hal ini (1 Kor 14,
teristimewa ayat 19).

5. Gereja menjauhkan diri dari keyahudian. Mula-mula orang Kristen di Yerusalem belum sadar
akan panggilannya terhadap dunia, tetapi segala aniaya yang diderita dari pihak orang
Yahudi menjadi alat dalam tangan Tuhan untuk mencelikkan mata mereka guna melihat
tugasnya, yakni me nyebarkan Injil kepada semua bangsa. Supaya maksud itu tercapai
perlulah kaum Kristen memisahkan diri dari agama Yahudi. Pemisahan itu mulai

Sesudah pembunuhan Stefanus, yang menegaskan bahwa taurat dan korban agama Yahudi
tak berharga lagi oleh kedatangan Kristus. Lalu jemaat Kristen sangat dianiaya oleh
Sanhedrin, sehingga mereka lari ke mana-mana. Dengan. Jalan itu Injil mulai dikabarkan di
luar negeri, mula-mula kepada orang Yahudi saja, tetapi kemudian juga kepada orang kafir
(bangsa-bangsa lain) pertama-tama di kota Anthiokhia. Di sanalah pengikut-pengikut Yesus
mula mula digelar “orang Kristen” (Kis 11:26) dan dari Anthiokhia pulalah Paulus dan
Barnabas diutus, baik kepada orang Yahudi, maupun ke daerah kafir. Gereja tak terkurung
lagi dalam batas-batas adat dan agama Yahudi; Gereja sedunia mulai berkembang.

6. Pertikaian. Kemudian terbitlah perselisihan antara jemaat muda di antara orang kafir dengan
jemaat induk di Yerusalem. Paulus mengutus bahwa hanya iman kepada Yesus Kristus saja
yang membawa orang kepada kesela matan, sehingga orang kafir yang telah bertobat tak
usah lagi memenuhi segala tuntutan taurat, misalnya sunat. Banyak orang Kristen di antara
kaum Yahudi tak setuju dengan pendirian itu. Pada persidangan rasul-rasul di Yeru salem (Kis
15) hal ini diperbincangkan, sampai kedua pihak sepakat untuk membebaskan orang kafir
yang masuk Kristen dari syarat-syarat taurat, kecuali empat hal yang wajib diperhatikan
(lihat Kis 15:29).

6. Kemunduran jemaat di Yerusalem. Pada waktu kemudian kuasa jemaat di Yerusalem


makin surut. Jumlah anggota sedikit saja, jika dibanding dengan Gereja di luar negeri
yang bertambah-tambah besar. Menjelang ke musnahan Yerusalem pada tahun 70
oleh panglima Romawi Titus, maka orang Kristen asal Yahudi meninggalkan kota itu,
karena tak setuju dengan cita-cita dan maksud kaum pemberontak Yahudi. Mereka
pindah ke kota Pella di daerah sebelah timur sungai Yordan. Mereka digelar Ebionit
(ebion = miskin, bahasa Ibrani) dan kurang berhubungan dengan Gereja besar,
bahkan mereka dianggap penyesat-penyesat, karena mereka menolak ajaran Paulus,
dan tidak mengakui pula, bahwa Yesus dilahirkan oleh seorang perawan. Di samping
Perjanjian Lama mereka memakai “Injil orang Ibrani,” suatu kitab apokrif (lihat Bab
4.4). Lama-kelamaan orang Ebionit dilupakan orang, dan sejak Palestina ditaklukkan
dan diduduki oleh orang Arab pada abad ke VII tidak ada kedengaran lagi tentang
golongan Kristen bekas Yahudi yang kecil dan terpencil itu.
BAB 4

ZAMAN SESUDAH PARA RASUL

1. Perkembangan Gereja. Pada masa sesudah rasul-rasul (kira-kira 70 sampai 140


M) terjadilah perubahan-perubahan besar dalam Gereja Kristen yang muda itu,
baik secara lahiriah, maupun secara batiniah. Sangat cepat ia berkembang
kemana-mana. Selain daripada apa yang dapat kita baca dalam kitab Kisah Para
Rasul tentang pekerjaan Paulus yang mahaindah itu, sebenar nya bagaimana
cara berkembangnya Gereja itu kurang kita ketahui. Segera terdapat jemaat-
jemaat Kristen di tanah Siria, Asia Kecil, dan Yunani, tetapi juga di Mesir,
Mesopotamia, Italia dan di tempat-tempat yang lebih jauh lagi. Pada masa
Paulus jemaat di Roma sudah besar. Rasul Petrus pun pernah: bekerja di sana
dan di sana pulalah ia mati syahid. Pusat Gereja Kristen pada waktu itu masih di
negeri-negeri sekitar pantai Timur Laut Tengah. Perkem bangan Gereja yang
sepesat itu diakibatkan oleh rajinnya semua orang percaya dalam bersaksi
tentang Nama Tuhan Yesus Kristus.

Walaupun demikian, Gereja Masehi itu lama tinggal kecil dan lemah saja, kalau
melihat bilangannya di antara penduduk kafir yang banyak itu, tetapi meski kecil dan
hina sekalipun, dari permulaannya Gereja sadar akan ke dudukannya yang tinggi.
Jemaat-jemaat Kristen bukan memandang kepada kelompoknya sendiri saja,
melainkan mereka merasa dirinya terhisab kepada suatu persekutuan Kristen yang
luas dan am (“katolik”). Gereja menganggap dirinya sebagai tujuan ciptaan Allah,
alat Tuhan untuk menyelamatkan dunia, Israel yang rohani dan benar, yang
bertentangan dengan kaum Yahudi yang durhaka itu dan umat Tuhan yang baru dari
zaman akhir.
Pun secara batiniah tampak perubahan. Mula-mula kaum Kristen sungguh-sungguh
menanti-nantikan kedatangan Tuhan Yesus kembali yang pada sangka mereka akan
terjadi dengan segera. Akan tetapi lama-kelamaan mereka terpaksa melengkapi diri
untuk hidup terus-menerus di dunia ini, karena Tuhan belum juga datang. Oleh
sebab itu perlulah Gereja diberi susunan yang lebih teratur dan kukuh.

2. Organisasi. Mula-mula pimpinan Gereja diamanatkan kepada rasul rasul (yaitu


bukan saja saksi-saksi kebangkitan Yesus, tetapi juga utusan utusan Injil yang
mengedari semua negeri), pengajar-pengajar (guru-guru agama, yang
menafsirkan Alkitab, seperti ahli-ahli taurat dalam agama Yahudi) dan nabi-nabi
(yang menerima karunia Roh yang istimewa). Saudara saudara ini bukan dipilih,
melainkan dengan sendirinya mereka dihormati
Dan diakui kuasanya dalam jemaat karena karunianya yang luar biasa itu.
Mereka tidak terikat kepada satu jemaat saja.

Di samping pangkat-pangkat itu ada penatua-penatua (presbiter) dalam

Tiap-tiap jemaat; dari antaranya dipilih orang yang diberi tugas mengamat

Amati jemaat (episkopos atau uskup, artinya penilik). Pejabat-pejabat itu

Diserahi pimpinan harian jemaat mengenai keuangan, organisasi dan sebagai

Nya. Mereka dibantu oleh syamas (atau diakonos, artinya pelayan); tugasnya

Ialah melayani orang miskin, memungut uang derma dan menjaga rumah

Kebaktian.

Lama-kelamaan pengembalaan jemaat beralih dari golongan rasul, pengajar dan


nabi, yang meninggal dunia, kepada ketiga jabatan yang ter sebut tadi. Dengan
demikian pangkat uskup bertambah-tambah penting selaku gembala jemaat dan
pempimpin ibadah. Pada permulaan abad ke II jemaat di Asia Kecil dan Siria
dikepalai oleh seorang uskup saja. Kemudian peraturan ini diturut di mana-
mana, sehingga susunan Gereja menjadi epis kopal. Presbiter-presbiter
merupakan suatu badan tetap, yang memilih uskup serta membantunya dalam
kebaktian dan pemerintahan jemaat.

Sebetulnya Perjanjian Baru mengajarkan kepada tiap-tiap orang yang percaya


bahwa ia adalah seorang imam, sehingga untuk menghadap Allah, tak perlu
seorang pengantara, selain daripada Yesus Kristus. Inilah “imamat am dari
semua orang yang percaya”. Akan tetapi sekarang pangkat atau jabat an mulai
diutamakan dalam Gereja. Terbentuklah suatu kaum pejabat atau klerus,
segolongan imam yang mengetahui segala seluk-beluk agama Kristen, sehingga
dapat menguasai orang banyak, yaitu anggota Gereja yang biasa, yang bukan
klerus. Mereka itu takluk kepada pimpinan imam-imam. Pejabat pejabat
memerintahkan, jemaat menurut saja. Klerus itu berkuasa karena jabatannya
dipandang ilahi asalnya, bukan lagi karena pekabarannya dan pekerjaannya
sendiri. Inilah bibit “pemerintahan imam” atau hierarkhia dari Gereja Romawi di
kemudian hari.

3. Kebaktian. Oleh karena Tuhan Yesus bangkit pada hari pertama dari suatu
minggu, maka jemaat Kristen juga berkumpul pada hari Minggu (dari kata
Dominggo, artinya Tuhan, bahasa Portugis). Menurut kebiasaan zaman. Itu
selalu diadakan perjamuan bersama dalam perkumpulan itu (Kis 2:46). Jemaat
berdoa, menyanyi dan mendengarkan pembacaan dan penjelasan Alkitab. Mula-
mula belum ada tatacara kebaktian yang tetap, sehingga timbul kekacauan (1
Kor 14). Lambat-laun kebaktian dilangsungkan dengan memakai tatacara atau
liturgia yang lengkap. Bagian pertama terdiri atas doa, nyanyian, pembacaan
Firman Tuhan dan khotbah; sesudah itu jemaat duduk makan bersama-sama.
Sajian itu dibawa sendiri, masing-masing menurut kesanggupannya. Hidangan
itu dianggap sebagai lanjutan perjamuan Tuhan Yesus dengan murid-muridNya.
Jemaat yakin bahwa Tuhan Yesus hadir di dalam roti dan anggur itu, sesuai
dengan janjiNya pada perjamuan yang ter akhir. Pemimpin kebaktian itu
(kemudian uskup saja) mengucapkan syukur atas roti dan cawan; sebab itu
dalam Gereja Lama Perjamuan itu disebut "eukharistia" (yaitu pengucapan
syukur). Jemaat Kristen percaya bahwa Kristus sendiri sungguh-sungguh berada
di dalam roti dan air anggur itu, tetapi bagaimanakah beradanya Tuhan itu?
Kebanyakan orang Kristen tentu mengartikannya secara realistis dan magis.
Secara realistis itu berarti bahwa roti dan anggur bukanlah mengiaskan atau
melambangkan tubuh dan darah Kristus, melainkan ia benar-benar dan
sungguh-sungguh berada di dalamnya; anggapan secara magis ialah pandangan
orang kafir zaman itu, yakni bahwa benda-benda suci seperti itu mengandung
suatu khasiat alam-atas atau zat ilahi yang mengatasi alam-dunia ini, yang
dengan sendirinya memberi berkat rohani dan jasmani kepada seseorang yang
menerimanya. Dengan itu roti dan anggur dianggap membawa berkat dan
karunia Allah, bahkan sebagai obat untuk rupa-rupa penyakit, penawar maut
dan jaminan untuk mendapat hidup yang kekal. Kemudian timbul pula suatu
salah paham yang lain tentang Perjamuan. Eukharistia itu mulai dipandang
sejalan dengan dan selaku lanjutan dari per sembahan syukur dalam Perjanjian
Lama. Nama "korban" dan "mezbah" " ("altar") kedengaran pula. Berhubung
dengan pengertian yang salah itu tekan an berpindah dari karunia Allah kepada
usaha dan amal manusia. Akibat pandangan yang salah ini ialah ajaran Gereja
Romawi di waktu kemudian tentang "korban misa", yang dipandang selaku
ulangan yang tak berdarah dari korban Kristus di Golgota (lihat Bab 9.1).
Berhubung dengan sucinya eukharistia itu, tak mungkin lagi perayaan yang
kudus itu dihubungkan dengan makan bersama-sama. Hidangan belas kasihan
ini, di mana saudara-saudara yang miskin turut menikmati sajian anggota-
anggota yang berada, dipisahkan dari Perjamuan atau eukharistia yang suci dan
teratur itu. Sejak abad ke III maka makan beramai-ramai itu dihentikan. 4.
Ajaran dan kebajikan. Lebih besar dan berbahaya lagi tampaknya perbedaan
antara zaman rasul-rasul dengan zaman sesudahnya, jikalau kita menyelidiki
bagaimana berita Injil sendiri dipahami oleh jemaat. Menurut ajaran Perjanjian
Baru pada umumnya dan ajaran Paulus pada khususnya, maka keselamatan
manusia bergantung semata-mata pada rahmat Allah di dalam Yesus Kristus dan
bukan pada suatu perbuatan manusia. Segala kebajikan manusia hanya buah
dan akibat dari iman saja. Akan tetapi pada permulaan abad ke II pokok utama
Injil itu sudah kurang dimengerti orang. Jemaat Kristen tentulah masih tetap
percaya bahwa Allah saja yang dapat memberi keselamatan, tetapi yang
dipentingkan sebenarnya bukanlah lagi kebenaran yang dianugerahkan oleh
Tuhan, melainkan usaha dan perbuatan perbuatan manusia untuk mencapai
kebenarannya sendiri. Sesudah manusia menerima rahmat Tuhan dan
baptisannya, yang olehnya segala dosanya dihapuskan, maka wajiblah manusia
berdaya upaya untuk hidup berkebajikan sesuai dengan Firman Yesus. Injil
menjadi suatu taurat baru. Benar Yesus masih tetap diakui sebagai Anak Allah,
tetapi pekerjaanNya sebagai Pembebas berkurang artinya. la dianggap terutama
sebagai teladan dan pengajar yang sempurna. Segenap hidup Kristen menjadi
suatu perjuangan akan menggenapi segala tuntutan agama yang diajarkan oleh
Yesus, supaya amalan dan kebajikan itu kelak diganjari oleh Tuhan. Sampai
kebada ajalnya orang Kristen perlu membanting tulang untuk melakukan taurat
Injil itu, tetapi belum pasti juga bahwa ia akan dibenarkan di hadapan
mahkamah Tuhan. Dosanya yang kecil dapat diampuni di dunia ini sesudah ia
dibaptiskan, asal ia menyatakan penyesalan nya yang sungguh-sungguh. Dengan
demikian jemaat diajar berbuat amal kepada sesama manusia, menahan diri dari
beberapa macam makanan dan air anggur (hari Rabu dan Jumat menjadi hari
puasa), memberi sedekah dan berdoa, dan terutama ber tarak terhadap
syahwat (keberahian). Pertarakan badani ini dirasainya lebih disukai Tuhan.
Hidup lajang (tidak kawin) disangkanya lebih suci dan indah daripada hidup
nikah; pandangan yang salah itu adalah akibat pengaruh dualisme kafir pada
masa itu, yang mengajarkan segala hal ihwal yang ber kenaan dengan tubuh dan
najis dan cemar. Segala amal itu patut diganjar. Tak mengherankan, bahwa
jemaat mulai membedakan amal-amal itu menurut harga dan pentingnya. Dosa-
dosa pun dibeda-bedakan: ada yang dipandang berat, yang membawa kepada
maut kekal, karena orang yang melakukannya kehilangan rahmat, dan ada pula
yang disebut dosa ringan, yang dapat di ampuni jika orang yang bersalah itu
mengakui dan menyesal. Juga dipakai ukuran-ukuran lain bagi golongan pejabat-
pejabat (klerus) yang harus me menuhi tuntutan-tuntutan yang lebih tinggi
(teristimewa mengenai pertarakan badani), dan tuntutan kesusilaan dan
kewajiban-kweajiban yang lain bagi kaum awam, yang tak sanggup menanggung
beban yang berat itu. Kecen derungan untuk mengutamakan kebajikan dan amal
itu dinamai moralisme atau sifat moralistis. Untung terdengar juga suara yang
lain dari Gereja zaman permulaan abad ke II, misalnya kesaksian uskup Ignatius
dari Antiokhia di dalam surat-surat nya yang bersemangat, yang ditulisnya
tatkala ia diantar ke Roma untuk menghadap kepada pengadilan tinggi (± tahun
115). Ia ingin disiksa dan mati syahid/martir karena Tuhannya. Kebebasan yang
dikaruniakan Kristus, yang telah menjadi manusia dan menderita sengsara
karena kita, itulah pusat dan dasar agama Kristen bagi Ignatius. Berserulah ia:
"Yang kucari ialah Dia yang mati karena kita; yang kukehendaki ialah Dia yang
telah bangkit bagi kita!" Pendirian ini berbeda benar dengan sikap moralistis
tadi. Baik mistik yang mengutamakan persekutuan rohani seerat-eratnya dengan
Kristus dalam sorga, seperti yang diingini uskup Ignatius, baik moralisme
selamanya ter dapat dalam sejarah Gereja. Di kemudian hari ternyata bagian
timur dari Gereja Lama suka mementingkan mistik, sedangkan Gereja di barat,
yang bersifat lebih aktif, suka menekan kepada amalan dan kebajikan. Tetapi
pada abad ke II pada umumnya moralisme merajalela, baik di timur maupun di
barat. Memang keadaan itu sesuai dengan sikap hidup agama-agama kafir, yang
masih berpengaruh kuat di antara kaum Kristen. Lain pula perasaan orang
banyak yang kurang terpelajar. Mereka itu me mandang agamanya selaku suatu
hal yang elok dan menyenangkan alam pikirannya; yang dicarinya di dalam
Gereja ialah khasiat sakti dan sakramen, yang dengannya mereka berharap akan
mendapat pelbagai berkat dan untung buat jiwa dan tubuhnya. Perjamuan
Kudus dianggapnya sebagai suatu "obat penawar maut" yang mujarab. Sifat
orang banyak yang ternyata pula dalam kitab-kitab apokrif, yaitu kitab Injil dan
hikayat-hikayat tentang perbuatan rasul-rasul, yang ditambahkan kepada surat-
surat Perjanjian Baru yang diakui sah dan resmi di dalam Gereja (lihat Bab 8.2
tentang kanon). Kitab-kitab apokrif itu (seperti Injil orang Ibrani, Injil Petrus, Injil
Thomas, Kisah Paulus, Kisah Petrus, dan sebagainya) memuat rupa-rupa mujizat
yang sangat ajaib dan dongeng-dongeng tentang hidup Yesus di masa mudaNya
atau mengenai keluargaNya. 5. Kesimpulan. Dari uraian di atas itu nampak,
bahwa pada masa sesudah rasul-rasul, sudah tersedia lengkap dasar Gereja
Roma di kemudian hari, yakni hierarkhia, moralisme, salah paham tentang
sakramen, dan kepercaya an kepada mujizat. Barulah Gereja Protestan yang
menunjuk kepada jurang perbedaan yang dalam antara berita Perjanjian Baru
dengan segala pandangan yang pincang dan salah, yang diuraikan dalam bab ini.
BAB S PERTIKAIAN ANTARA GEREJA DAN DUNIA 1. Sebab-sebabnya pertikaian
itu. Mula-mula negara Romawi meng anggap kaum Kristen sebagai mazhab
Yahudi, sehingga mereka pun bebas melakukan agamanya. Akan tetapi segera
kemudian ternyata, bahwa sebetul nya agama Kristen itu bukan suatu agama
kebangsaan yang diizinkan, melain kan agama baru; apalagi yang
membentuknya ialah seorang yang mati tersalib oleh pengadilan Romawi
sendiri. Rupanya orang Kristen itu sangat berbahaya bagi negara. Kebanyakan
dari mereka itu adalah bangsa Yunani dan Romawi dan sesudah masuk agama
Kristen, mereka tidak turut lagi beribadat kepada dewa-dewa, seperti penganut-
penganut agama lain. Dewa-dewa itu semuanya disangkalnya, hanya satu Allah
saja diakuinya; itulah sebabnya mereka men dapat nama sindiran "orang yang
tidak berdewa." Pun di dalam pergaulan hidup biasa, kelakuan orang Kristen
sangat ber beda dengan orang kafir. Mereka itu menjauhkan diri dari
persundalan, sandi wara, arena (gelanggang tempat pertunjukan perkelahian
antara binatang atau pahlawan) dan tidak urung pula menjabat suatu pangkat
ketentaraan. Oleh karena sikap istimewa itu mereka dicurigai. Ada yang
menyangka bahwa orang Kristen membunuh dan memakan anak-anak kecil
dalam perkumpulan nya, karena pernah didengar bahwa mereka "makan daging
dan minum darah Anak Manusia" (Yoh 6:53). Ada pula yang berbisik-bisik bahwa
tentulah orang Kristen itu peracun, berhubung dengan "cawan" yang dipakainya.
Yang lain lagi menuduh jemaat Kristen melakukan pelacuran keluarga, sebab
mereka mendengar tentang "cium persaudaraan", yaitu semacam ucapan salam
satu sama lain dalam kebaktian. Dengan berkembangnya Gereja Kristen, maka
persembahan korban di rumah berhala makin berkurang. Pendeknya, kaum
Kristen dibenci karena berlainan dengan masyarakat umum. Sebab itu pada
sangka orang, segala bencana alam tak lain daripada tanda murka dewa-dewa
atas kedurhakaan kaum Kristen, sehingga rakyat berseru-seru: Lemparkanlah
orang Kristen itu ke depan Singa! supaya dengan demikian terhapus dosa
mereka terhadap dewa-dewa.
Pengusaha-pengusaha daerah dan mereka pun biasanya barulah menganiaya
kaum Kristen, apabila didesak dan diasut oleh rakyat.

4. Sikap jemaat dalam kesengsaraan. Pada masa itu muncullah suatu jenis
karangan yang melukiskan kepada kita keberanian dan iman orang percaya pada
zaman itu, yaitu riwayat-riwayat syahid (saksi) Kristen, yang sangat
mengharukan hati. Dari padanya kita ketahui jalannya acara-acara pengadilan
itu. Orang Kristen dituduh orang kafir, lalu ditangkap dan dibawa ke hadapan
hakim. Jikalau mereka mau membawa korban kepada kaisar dengan jalan
menaburkan segenggam kemenyan ke atas mezbah baginda, maka mereka terus
dilepaskan; apabila mereka tidak mau, mereka dinasehati dulu dengan
mengingatkan hukuman-hukuman keras yang akan dideritanya. Ada yang lemah
sampai murtad, tetapi kebanyakan mereka menunjukkan ketetapan hati yang
mengherankan pada saat penggodaan itu. Hukuman itu misalnya: dipancung
kepalanya, dibuang ke salah satu pulau yang jauh, atau dipekerja kan selaku
budak dalam tambang. Sering pula mereka dibakar hidup-hidup atau diterkam
binatang buas di dalam gelanggang arena, ditonton oleh beribu ribu orang.

Orang-orang syahid (saksi) yang terkenal dari masa penghambatan yang mula-
mula itu, yang ceritanya masih kita ketahui, ialah umpamanya Poly karpus,
uskup Smirna yang hampir seratus tahun umurnya (± 156); ia berkata kepada
hakim. Sudah delapan puluh enam tahun aku mengabdikan diri kepada Kristus,
dan belum pernah la berbuat salah kepadaku; bagaimanakah aku mungkin
mengutuk Raja dan Juruselamatku itu? Tuan hakim mengancam aku dengan api
yang seketika saja menyala, tetapi tuan tidak mengenal api yang kekal, tempat
orang-orang fasik akan dibuang kelak!" Selain dia, juga Yustinus Martyr (lihat 4),
Blandina, seorang budak perempuan muda di Lyon (tahun 177 di masa
pemerintahan kaisar Marcus Aurelius), Perpetua dan Felicitas di Kartago (tahun
202, di masa pemerintahan kaisar Septimius Severus), dan sebagainya.

Sikap yang gagah berani dari orang syahid itu sangat menarik hati. Maut yang
ngeri itu tidak menggentarkan mereka; malah sebaliknya, mereka ber gembira,
dan bersyukur kepada Tuhan, karena mereka itu dipandang layak menjadi
"martyr" atau saksi yang mati syahid untuk Yesus Kristus, dengan ambil bagian
dalam sengsara Tuhannya itu. Orang Kristen yang ingin disiksa akan dibunuh
karena imannya lebih banyak daripada yang menyangkal kepercayaannya. Kita
tidak heran, bahwa tiap-tiap penganiayaan menjadi propaganda besar bagi
kaum Kristen. Tak sedikit orang kafir yang mulai menginsafi kemuliaan dan
kebenaran agama itu; dan tak sedikit pula orang murtad, yang kemudian dengan
malu menyaksikan kegembiraan saudara saudaranya dalam menderita siksanya,
sehingga mereka bertobat lagi dan menyerahkan diri kepada hakim.
Demikianlah Gereja bertambah besar, justru karena pembaharuan itu. Benarlah
ucapan Tertullianus: "Darah orang syahid itulah benih Gereja." 4. Orang
apologet. Di hadapan mahkamah, orang Kristen yang terdakwa itu tidak diberi
kesempatan untuk membela agamanya dengan uraian yang jelas. Sebab itu
Gereja harus menempuh jalan yang lain untuk mempertahan kan diri terhadap
kebencian, umpat dan penghinaan oleh kaum kafir itu. Pada bagian pertama
abad ke II beberapa orang Kristen yang terpelajar mulai mengarang surat-surat
pembelaan atau apologia. Para penulis itu sendiri dinamai apologet. Yang paling
terkenal di antaranya ialah Yustinus Martyr, yang mati syahid di Roma pada
tahun 165. Sebelum bertobat masuk Kristen, ia seorang filsuf yang menurut
kebiasaan zaman itu menjelajahi negeri dengan mengajar dan berkhotbah. Cara
bekerjanya itu dilanjutkannya sebagai seorang pekabar Injil. Ada dua kitab yang
dikarangnya, yaitu "Apologia" dan "Per cakapan dengan Tryphon, orang Yahudi."
Pada akhir abad itu tampillah Ter tullianus, seorang ahli hukum yang alim,
dengan kitab apologianya dalam bahasa Latin. Pada abad-abad kemudian,
banyaklah ahli theologia Kristen yang berusaha untuk membela kebenaran
Gerejanya dengan karangan-karang an mereka. Maka kitab-kitab apologia itu
biasanya menguraikan tiga pokok. Pertama tama segala fitnah dan tuduhan
dibantah. Orang Kristen tidak menimbulkan bahaya bagi negara; mereka berdoa
untuk kaisar; segala umpat itu bohong semata-mata dan hidup mereka sopan
dan tidak bercela. Sesudah itu orang orang apologet mengemukakan pelbagai
dalil yang membuktikan kebenaran agama Kristen. Hidup dan kematian Yesus
telah dinubuatkan dalam Perjanji an Lama, kitab kudus yang tua dan mulia itu.
Tambahan lagi, ajaran Injil sesuai dengan pandangan-pandangan yang terindah
dalam filsafat kafir, bahkan lebih berharga lagi, karena hidup tinggi dan
kebebasan yang hanya. diangan-angankan oleh filsafat, telah terwujud dalam
kehidupan kaum Kristen. Akhirnya orang-orang apologet menyerang agama kafir
dengan me nunjuk kepada kebodohan politheisme dan percabulan yang
bersangkutan dengannya, yang tak lain dari tipu muslihat setan-setan saja.
Filsuf-silsuf Yunani juga belum bebas dari kepercayaan takhyul itu, dan segala
pikiran mereka yang lebih indah dipungut dari surat-surat Musa. Maksud yang
hendak dituju para apologet itu tidak tercapai, oleh karena seteru-seteru agama
Kristen tidak memperhatikannya. Tetapi walaupun demi kian, apologia itu
sangat berfaedah juga, karena orang-orang percaya asyik mempelajarinya serta
mempergunakan uraiannya dan pembuktiannya selaku senjata dalam menangkis
segala musuhnya, dan untuk membela diri, apabila disalahkan. Dan hasil yang
lebih penting lagi ialah bahwa orang apologetlah yang menjadi ahli theologia
Gereja yang pertama itu sesudah rasul Paulus dan Yohanes (lihat Bab 10.1).

5. Celsus. Perbantahan secara tertulis dari pihak kafir terhadap agama Kristen,
barulah kita temui pada tahun 180. Seorang filsuf yang pandai, Celcus namanya,
mengemukakan bermacam-macam tuduhan yang tajam terhadap Injil dan
pengikut-pengikut Kristus. Menurut dia, agama Kristen berasal dari tipu-daya
Yesus bersama murid-muridNya. Celsus sungguh sungguh menaruh syak akan
jalan keselamatan yang diajarkan oleh Perjanjian Baru. Mustahil Allah telah
menyatakan diri dalam Yesus Kristus, karena Allah yang tak berubah itu tak
dapat turun martabatNya menjadi manusia. Kemu dian Celsus dibantah oleh
Origenes (lihat Bab 10.5).

BAB 6

GODAAN DARI PIHAK GNOSTIK


1. Wujud gnostik. Salah satu sinkretisme yang dualistis-pantheistis (lihat Bab
1.3), yang berusaha menggabungkan filsafat barat dengan agama timur,
ialah gnostik, yakni ajaran tentang gnostis. Kata gnostik ini berarti “penge
tahuan”, tetapi di sini dimaksudkan suatu “hikmat tinggi” yang berahasia
dan tersembunyi tentang asal dan tujuan hidup manusia. Pada zaman itu
banyak orang terpelajar mengejar hikmat tinggi itu dengan giat, sebab akal
sanubarinya kurang dipuaskan oleh agama biasa yang mudah dipahami.

2. Gnostik Kristen. Semangat ini mencoba memasuki Gereja yang muda itu,
sebab pada hemat banyak anggota, berita Injil itu terlampau sederhana.
Hikayat-hikayat yang terang isinya dan ajaran Gereja yang mudah
dimengerti itu kurang digemari. Mereka mencari suatu hikmat yang lebih
dalam, lebih indah dan penuh rahasia. Oleh sebab itu mereka mulai
menafsirkan Injil secara alegoris, tetapi dengan demikian “kebodohan salib”
ditukarkannya dengan “hikmat dunia” (1 Kor 1:18-25). Ajaran gnostik Kristen
boleh diringkaskan sebagai berikut: 1. Allah yang tertinggi, yang keadaanNya
adalah Roh, tak ada hubunganNya dengan dunia ini. 2. Dunia diciptakan oleh
suatu ilah rendah (“demiurgos” namanya, artinya “pencipta dunia”) yang
dikenal dari Perjanjian Lama. 3. Manusia mengandung sebagian kecil dari
Roh Allah dengan tubuh maya (ajaran dose tisme) untuk membebaskan
bagian ilahi yang kecil itu. 5. Oleh pengajaran dan teladan Kristus, roh
manusia diajak untuk berusaha melepaskan dirinya dari zat benda dan
supaya kembali kepada Allah yang tinggi itu (ajaran dualisme). Dengan
perkataan lain: Kristus membawa kebebasan dengan menunjuk kepada jalan
askese dan membuka segala gnosis yang tersembunyi. Tetapi gnosis itu
hanya dapat dimengerti oleh “orang yang rohani” atau “orang yang
bergnosis,” yang tahu membaca Alkitab secara alegoris. Hanya mereka
itulah yang dapat membebaskan zat ilahi yang tertanam dalam jiwa manusia
dan yang terkurung oleh tubuh jasmani yang fana itu, sehingga akhirnya zat
rohani itu dapat dipersatukan pula dengan asalnya, yaitu zat Allah.
3.
4. 3. Sejarahnya. Paulus dan Yohanes telah mengingatkan pembacanya, supaya
jangan tertipu oleh pengajar-pengajar sesat, yang membanggakan diri nya
karena marifatnya yang istimewa, atau yang menyangkal bahwa Kristus
telah datang sebagai manusia (1 Tim 6:20, 1 Yoh 4:1-3). Tetapi baru pada
abad ke-II gnostik Kristen itu mulai terasa kuat pengaruhnya di dalam
Gereja. Di mana-mana terbentuklah kelompok-kelompok orang-orang
Kristen yang merasa dirinya lebih berhikmat dan rohani daripada jemaat
biasa. Kedudukan orang gnostik itu berbeda-beda di dalam Gereja. Ada yang
masih bergaul dengan jemaat yang lain, ada yang mengadakan
perkumpulannya sendiri, dan ada pula yang dikucilkan oleh pemimpin-
pemimpin Gereja, sehingga terpaksa mereka merupakan jemaat terpisah.
Puncak pengaruh gnostik terdapat kira kira pada tahun 150. Pusatnya ialah
kota Alexandria, tempat kerja Basilides, yang mengarang sebuah tafsiran
Perjanjian Baru secara gnostik, dan kota Roma tempat Valentinus mengajar
gnostiknya. Dialah ahli gnostik Kristen, yang paling masyhur dan ahli.
5.
6. 4. Sikap Gereja terhadap gnostik. Sungguh besar godaan aliran mistik yang
pantheistis ini kepada Gereja. Seandainya Gereja tidak menyadari bahaya ini
dan membiarkan dirinya dihanyutkan saja oleh arus gnostik yang menarik
hati itu, maka tak dapat tidak Gereja Kristen akan menjadi salah satu saja
dari segala agama rahasia yang banyak itu dan kelak akan hilang lenyap
seperti agama-agama yang lain itu. Akan tetapi syukurlah Gereja terpelihara
dari bahaya itu. Dengan jalan bagaimana? Karena Gereja tetap berpaut
kepada kuasa Perjanjian Lama. Dengan itu diakuinya bahwa Allah Pencipta
dunia tak lain daripada Allah-Bapa Yesus Kristus. Hal ini berarti bahwa dunia
tak dijadikan oleh seorang Demiurgos, dan segala dosa dan kejahatan adalah
kesalahan manusia sendiri, yang bangkit melawan Tuhannya dan
merusakkan ciptaanNya yang baik itu. Sebab itu kebebasan manusia hanya
berdasar pada mujizat rahmat Tuhan saja. Kebangkitan segala daging
(makhluk) pun diikrarkan Gereja, padahal gnostik menyangkalnya,
berhubung dengan zat benda dihinakannya sesuai dengan ajarannya yang
dualistis itu. Akan tetapi ada juga yang dipelajari Gereja dari gnostik itu.
Gereja mulai mengerti lagi bahwa maksud Injil yang terutama ialah
kebebasan dan bukan untuk mengemukakan suatu taurat baru. Tambahan
pula, ahli-ahli gnostik merupakan penunjuk jalan bagi Gereja, sebab mereka
mulai memakai istilah istilah theologia, suatu kanon Perjanjian Baru,
tafsiran-tafsiran dan pengakuan iman. Segala perkara itu mendorong Gereja
menangkis serangan gnostik dengan senjata yang serupa itu juga (lihat Bab
8). BAB 7 KRITIK TERHADAP GEREJA RESMI A. DARI PIHAK MARCION 1.
Hidup Marcion. Marcion ialah seorang kaya di bandar Sinope di pesisir Laut
Hitam, dan ada perusahaan perkapalannya di daerah itu. Tetapi ia me
ninggalkan kota itu untuk menyebarkan ke mana-mana di dalam Gereja
pandangan-pandangannya yang baru tentang Injil. Akan tetapi Gereja
menolak ajarannya; pada tahun 144 ia dikucilkan oleh jemaat Roma.
Marcion sangat bersemangat dan seorang organisator yang cakap. Ia
membentuk sebuah Gereja baru (Gerejanya sendiri), yang berkembang
dengan cepat, sehingga beberapa puluh tahun kemudian hampir sama
besarnya dengan Gereja "katolik". Barulah pada abad ke-V Gereja Marcion
berangsur-angsur lenyap, oleh karena perlawanan dari negara, yang
menghendaki satu Gereja Kristen (lihat Bab 13.1). Tokoh Marcion dengan
ajarannya dan pengaruhnya yang sungguh-sungguh mengancam Gereja
Lama itu perlu kita bicarakan lagi dengan jelas.
2. Alasannya. Bahwa Marcion menginsafi dan menunjukkan dasar-dasar
ajaran Paulus, ialah jasanya yang sangat berharga bagi Gereja. Ia mengerti
bahwa pembenaran manusia oleh iman, seperti yang diajarkan oleh Paulus,
adalah intisari Injil. Dengan kecewa dan penuh rasa kesal, Marcion melihat
bahwa Gereja pada zaman itu sudah melupakan satu-satunya jalan
keselamat an yang benar, sehingga terperosok ke dalam moralisme, yang
menukarkan rahmat Allah dengan amal dan usaha manusia. Sebab itu
Marcion berniat menghidupkan pula ajaran Paulus di dalam Gereja.

Selain dari penemuan ini theologianya pun ditentukan oleh pengalaman nya
sendiri. Hatinya terharu, karena keadaan dunia ini, yang jahat dan kurang
sempurna, dan yang menampilkan rupa-rupa soal yang sukar dijawab.
Masakan Allah yang mahakuasa, Bapak yang baik dari Yesus Kristus, telah
menciptakan suatu dunia yang demikian?! Barangkali pencipta dunia ini,
yaitu Allah Perjanjian Lama, adalah Allah yang lain yang kurang mulia dan
cakap. Kesimpulannya: Allah Perjanjian Lama yang kurang sempurna itu
ialah khalik dunia yang tak sempurna ini, tetapi Yesus telah menyatakan
suatu Allah yang baru, yang “asing.”

Agaknya Marcion dipengaruhi oleh gnostik yang juga membedakan Per


janjian Lama dari Baru, Allah-Khalik dan Allah-Penyelamat. Sungguhpun
demikian, Marcion bukanlah seorang gnostik, karena ia tidak mencari hikmat
rahasiawi selaku jalan kebebasan; keselamatan manusia diperoleh manusia
oleh iman kepada Yesus saja. Apalagi ajaran dan Gerejanya teruntuk bagi
segenap umat Kristen, bukan bagi segolongan kecil saja. Marcion
memikirkan dan merencanakan ajarannya sendiri. Maksudnya yang
terutama ialah untuk mengeritik tersesatnya jemaat Kristen di hadapan
umum, supaya berpaling dari moralismenya dan kembali kepada Injil Yesus
dan theologia Paulus.

3. Ajarannya. Menurut Marcion, dunia diciptakan oleh Allah yang me.


Nyatakan dirinya di dalam Perjanjian Lama. Allah itu tidak jahat, tetapi
rendah derajatnya. Ia mau berbuat baik, tetapi tak sanggup melangsungkan
nya. Maksudnya ialah untuk memerintah dengan adil, tetapi justru karena
itu ia menjadi keras dan bengis, karena taurat yang telah diberikannya
kepada manusia itu terlalu berat, sehingga mustahillah manusia dapat
melakukannya. Makhluk menjadi kurang sempurna, sebab khaliknya sendiri
kurang sempur na. Tetapi walaupun demikian, Allah Perjanjian Lama ini
menuntut kegenap an tauratnya seratus persen, sambil mengenakan
hukuman berat atas tiap-tiap pelanggaran, menurut aturan “mata ganti
mata, gigi ganti gigi.” Dengan itu Allah pertama ini tidak dapat tidak ia
menjadi seorang hakim yang lalim dan kurang adil terhadap dunia.
Kemudian Yesus datang. Di dalam "khotbah Nya-di-bukit" Yesus mem
beritakan suatu keadilan yang lebih indah, yang tidak berpokok pada pem
balasan, melainkan pada kemurahan dan keampunan. Oleh karena itu
menjadi nyata, bahwa tentulah Yesus tidak diutus oleh Allah Perjanjian
Lama, tetapi oleh Allah yang lain, yang asing bagi dunia ini dan belum
dikenal. Allah itu ialah Allah yang benar, yang mahatinggi. Meskipun Allah
yang kedua ini tak ada hubunganNya dengan dan tidak bertanggungjawab
atas nasib manusia, namun la menaruh belas kasihan, sehingga la mengutus
anakNya untuk mem bebaskan manusia dari tindasan khaliknya.
Demikianlah Yesus turun ke bumi pada tahun 28 dengan memakai tubuh
maya (dosetisme). Allah-Khalik merasa dirinya terancam; sebab itu Ia
mengikhtiarkan pembunuhan Yesus di kayu salib. Tetapi dengan demikian la
melanggar tauratnya sendiri, karena Yesus baik sama sekali. Sekarang Ia
dihukum menurut aturan pembalasannya sendiri: la harus menyerahkan
kepada Allah-Pembebas tiap-tiap orang yang percaya akan Yesus. Segala
orang itu dibenarkan oleh karena imannya dan mewarisi keselamatan yang
kekal. Dengan demikian percaya ialah: menyangkal Allah-Khalik dan me
nyerahkan diri kepada kasih Allah yang mahatinggi. Penyerahan itu berarti,
bahwa orang-orang Kristen patut menjauhkan diri dari dunia yang cemar ini
dengan jalan bertarak dan beraskese: menyiksa diri, menahan diri dari
daging, minuman keras, bersetubuh, dan sebagainya. Sudah barang tentu
bahwa Marcion menolak kedatangan Kristus kembali dan kebangkitan segala
daging/ makhluk. Kesimpulan kita sesudah memeriksa ajaran Marcion itu
ialah: sungguh pun Marcion berjasa kepada Gereja, sebab yang
ditekankannya ialah pem benaran oleh iman, namun sebenarnya ia kurang
mengerti theologia Paulus, karena bagi Paulus, Allah Perjanjian Lama yang
memberi taurat adalah sama saja dengan Allah Perjanjian Baru, yang
mengaruniakan rahmatNya di dalam Yesus Kristus. Siapa yang memisahkan
keduanya, ia merusakkan Injil. 4. Kanon Marcion. Hal merusakkan itu nyata
seterang-terangnya dari sikap Marcion terhadap Alkitab. Perjanjian Lama
ditolaknya mentah-mentah, dan sama seperti orang gnostik ia membagi
Surat-surat tentang Yesus atas kitab-kitab yang sah dan kitab-kitab yang
tidak sah, dengan memakai kanon nya (ukurannya) sendiri. Kebanyakan
surat-surat itu pun tidak diakuinya, karena tak sesuai dengan ajarannya. Dari
kitab-kitab Injil hanyalah Injil Lukas saja yang dipilihnya, sebab kurang
berbau Yahudi, tetapi riwayat kelahiran Yesus dicoretnya, oleh sebab
dosetismenya. Dan dari surat-surat rasuli hanya surat-surat Paulus saja yang
dipakainya (kecuali Timotius dan Titus). Sudah barang tentu surat kepada
orang Ibrani ditolaknya juga. Surat-surat yang sedikit, yang dipandang sah
oleh Marcion itu, kemudian dirasa perlu "dibersihkan" lagi dari segala cacat
Perjanjian Lama. Akan tetapi segala usahanya itu tak mungkin berhasil,
sebab memang tak mungkin me misahkan Perjanjian Baru dari dasarnya,
yakni Perjanjian Lama. 5. Marcion dan Gereja. Gereja katolik belajar dari
Marcion mengenai beberapa hal yang penting. Bukan saja Gereja mulai
menyusun kanonnya sendiri (lihat Bab 8.2) tetapi terlebih-lebih ahli-ahli
theologianya memper lihatkan dalam karangannya bahwa mereka
menginsafi lagi inti Injil, yakni bahwa bukan kebajikan dan usaha manusia,
melainkan rahmat dan keampun an dari Tuhan. Akan tetapi biarpun
demikian, Gereja terpaksa juga menolak pandangan-pandangan Marcion
sama sekali. Karena baik gnostik, maupun Marcion mengajarkan suatu jalan
kebebasan yang salah. Menurut Marcion, jiwa harus dibebaskan dari ciptaan
yang rendah dan juga daripada kuasa khaliknya. Menurut gnostik pula, api
ilahi yang terdapat di dalam manusia, perlu dibebaskan dari dunia jasmani
yang jahat. Bertentangan dengan kedua ajaran yang sesat itu, Gereja
mempertahankan kesatuan Perjanjian Lama dan Baru, seraya mengajarkan
bahwa dunia ini tak lain dari ciptaan Tuhan sendiri, yang akan diluputkan
dari dosa oleh Tuhan itu juga, baik bagian rohaninya maupun bagian
jasmaninya. B. DARI PIHAK MONTANISME 1. Timbulnya Montanisme.
Serangan yang ketiga, yang dialami Gereja pada abad ke-II, di samping
serangan-serangan gnostik dan Marcion, adalah. serangan dari pihak
Montanisme. Gerakan pembangunan rohani timbul di pedalaman Asia Kecil
kira-kira tahun 160. Banyak orang Kristem merasa kecewa, oleh karena
kuasa Roh Kudus tidak menyatakan dirinya lagi dengan hebat dan ajaib di
dalam Gereja seperti dahulu. Hal nubuat, ekstase dan glo solalia, sudah
hilang lenyap. Kaum Kristen hanya mementingkan jabatan yang tetap dan
organisasinya. Tambahan pula, jemaat tidak lagi merindukan kedatangan
Mempelai laki-laki itu. Gereja sudah turun derajatnya bagi banyak
anggotanya, karena merasa senang di dunia. Di manakah Roh, yang akan
menyertai jemaat Tuhan selaku Penolong dan Penghibur menurut janji
Yesus sendiri (Yoh 14:16)?
2. Ajaran dan riwayatnya. Lalu bangunlah Montanus bersama-sama dengan
dua orang nabiah: Priscilla dan Maximilla. Mereka itu berkata-kata dengan
bahasa roh (glosolalia) dan kadang-kadang berekstase sampai tak sadar lagi
bagaikan orang mati. Itulah tanda, katanya, bahwa Roh Penolong sekarang
telah datang, dan berkata-kata dengan mulut mereka. Kedatangan Yesus
Kristus kembali sudah hampir; semua orang percaya yang sejati dianjur. Kan
supaya menanggalkan segala ikatan bumi ini dengan berkumpul di Pepusa,
sebuah desa di Asia Kecil; maksudnya ialah untuk menantikan Tuhan di sana.
Wajiblah jemaat sejati itu memperhatikan penyataan yang tertinggi dan
akhir itu, yang disampaikan Roh kepada mereka dengan perantaraan
Montanus serta nabiahnya. Roh Penolong itu menuntut kelakuan yang suci:
seorang janda (balu perempuan) dilarang menikah untuk kedua kalinya;
jemaat disuruh menahan nafsu tubuh seboleh-bolehnya; puasa harus dilaku
kan dengan aturan yang keras; mati syahid (martir) dipandang sebagai suatu
keuntungan dan kehormatan: “Darahmu menjadi anak kunci Firdaus!”

Gerakan ini pun merambak dengan cepat. Kira-kira tahun 200 sudah
terdapat perkumpulan orang Montanis di Afrika Utara, yang di dalamnya
termasuk juga bapa-gereja Tertullianus. Barulah pada abad ke-IV, pengaruh
Montanisme mulai surut sampai akhirnya lenyap.

3. Gereja dan bidat (sekta). Mula-mula Gereja merasa sukar menentukan


pendiriannya terhadap sekta Montanus. Pada waktu itu untuk pertama kali
nya diadakan sidang uskup-uskup, yang disebut sinode, untuk merundingkan
baik-buruknya gerakan yang baru itu. Tak lama kemudian, kebanyakan
uskup menolak Montanisme, karena dianggap adalah ajaran yang sesat.

Montanisme itu hanyalah permulaan dari segala gerakan pembinaan rohani


yang banyak itu di dalam sejarah Gereja. Anjurannya supaya hidup di dalam
Roh dan kritiknya terhadap kesuaman kebanyakan anggota jemaat, tentulah
penting sekali dan selalu perlu diperhatikan. Tetapi sungguhpun demikian,
Gereja wajib melawan asas-asas sekta itu. Keberatannya ialah: 1. Salah
benar ajaran Montanus bahwa Roh Tuhan mengaruniakan penyataan baru
lagi, yang lebih tinggi dan sempurna daripada penyataan Tuhan dalam
Alkitab. Injil saja sudah cukup, sehingga tak perlu ditambah lagi. 2. Jikalau
jemaat Kristen mengasingkan diri supaya boleh mengarahkan pikirannya
kepada kedatangan Kristus saja, tak dapat tidak jemaat mengabaikan
tugasnya di dalam dan untuk dunia ini. Gereja tak boleh menjadi sekta, yang
hanya mengutamakn kesalehan dan keselamatannya sendiri saja, tetapi ia
terpanggil untuk memasyhurkan Injil kepada semua manusia di tengah-
tengah masya rakat yang berdosa ini. 3. Demi melihat moralisme yang
memuncak di dalam Montanisme, maka mata Gereja terbuka dan melihat
moralismenya sendiri, sehingga mulai sadar bahwa Gereja bukanlah
perkumpulan orang yang suci atau sempurna, melainkan adalah
perkumpulan orang yang berdosa; jemaat Kristen hidup di bawah rahmat,
bukan lagi di bawah taurat.

BAB 8

SENJATA-SENJATA GEREJA

1. Kemenangan Gereja. Oleh karena Tuhan tidak meninggalkan Gereja di


dalam bahaya yang mengancamnya, maka segala serangan terhadapnya
malah mendatangkan kebaikan baginya. Di antara tahun 150 dan 200 Gereja
sanggup menolak segala ajaran yang sesat, dan menginsafi wujud dan
tugasnya (lihat Pendahuluan).

Kemenangan ini barulah tercapai sesudah pergumulan yang hebat. Gereja


terpaksa melengkapi senjatanya untuk melawan sekta. Senjata itu pula
menjadi ciri dan pernyataan yang tegas dari wujud Gereja sendiri. Ketiga
senjata itu ialah: a. kanon dari kitab-kitab Perjanjian Baru, yang diakui sah di
samping Perjanjian Lama; b. pengakuan iman untuk menetapkan ajaran
Gereja, dan c. jabatan uskup, selaku pengganti rasul-rasul dan pembela kebe
naran. Demikianlah Gereja membedakan ajarannya yang Injili dari segala
ajaran yang sesat.

2. Kanon. Sampai waktu itu Gereja hanya mempunyai sebuah kitab saja,
yang menjadi kanon (yaitu ukuran atau kaidah) bagi kepercayaan dan ke
hidupan anggotanya, yaitu Perjanjian Lama. Sudah barang tentu bahwa
sabda Tuhannya, Yesus Kristus, dan segala cerita secara lisan dan tulisan
mengenai Tuhan, sangat berkuasa pula dalam Gereja. Hanya kuasa itu
belum dirumuskan dan ditentukan. Jikalau Gereja melawan sekta-sekta yang
telah mengumpulkan banyak (gnostik) atau sedikit (Marcion) surat-surat
kudus yang menjadi kanonnya, di antaranya banyak yang apokirif, maka
tugas Gereja yang pertama ialah menetapkan sendiri kitab-kitab manakah
memuat cerita-cerita yang benar tentang Tuhannya. Kaidah yang dipakainya
dalam menimbang dan memutuskan soal itu, ialah apakah kitab-kitab yang
ber sangkutan itu berasal dari rasul-rasul atau tidak? Karena hanyalah rasul-
rasul dengan murid-murid mereka sendiri saja yang dapat dianggap sebagai
saksi yang dapat dipercaya, dan pengarang yang diilhami Roh.
Beralaskan pendirian itu maka pada tahun 150 keempat kitab Injil yang kita
kenal, sudah umum diakui “kanonik” (yaitu selaras dengan kanon). Demikian
pula Surat-surat rasul Paulus, dan kitab Kisah Rasul-rasul, sebab ditulis oleh
murid dan sahabat Paulus, yakni Lukas. Di antara segala “kitab Wahyu”
(kitab apokaliptik) yang banyak itu, hanya Wahyu Yohanes saja yang
dipandang sah, meskipun ada juga yang berkeberatan terhadapnya.
Mengenai surat-surat kiriman, hanya secara berangsur-angsur tercapai per
setujuan, tetapi 1 Petrus dan 1 dan 2 Yohanes segera dianggap “rasuli”.
Surat kepada orang Ibrani lama disangsikan di barat, karena tidak dikarang
oleh seorang rasul.
Sebaliknya beberapa kitab yang lain dipandang kanonik oleh sejumlah
jemaat. Yang dimaksud ialah karangan-karangan “Bapa-bapa Rasuli”. Nama
ini dipergunakan bagi beberapa pengarang pada zaman kemudian sesudah
rasul-rasul, yakni Clemens, seorang presbiter di Roma (tahun 95). Ignatius
(bandingkan Bab 4.4), “Barnabas”, Polykarpus (lihat Bab 5.3), Papias,
Hermas, dan lain-lain. Tulisan-tulisan bapa-bapa rasuli itu, dan juga kitab
“Didache” (“Ajaran keduabelas rasul”) yang tersiar dan digemari di mana
mana, tidak dimasukkan ke dalam kanon, karena tidak memenuhi syarat
syarat yang terpapar di atas. Umumnya boleh dikatakan bahwa kanon Per
janjian Baru sudah ditetapkan kira-kira pada tahun 200 (secara definitif pada
tahun 380).

Penetapan kanon itu sangat penting, sebab dengan itu Gereja menyata kan
dengan berterus-terang, bahwa masa penyataan Tuhan telah diakhiri
dengan Perjanjian Baru. Sebab itu tiap-tiap gerakan atau aliran rohani yang
baru, wajib membuktikan bahwa ajarannya dan tujuannya sesuai dengan
kitab-kitab yang termasuk dalam kanon resmi. (Maklumlah, kata kanon di
pakai juga dalam daftar segala kitab yang diakui sah.) Gereja tunduk kepada
kuasa yang lebih tinggi dan lebih tua daripada kuasanya sendiri, yakni kuasa
Firman Tuhan yang terdapat dalam Alkitab. Dengan demikian sebenarnya
tradisi Gereja sekali-kali tidak boleh mempunyai kuasa sendiri. Di kemudian
hari hal itu dipegang teguh oleh Gereja Protestan, tetapi kurang diingat oleh
Gereja Katolik Roma.

3. Pengakuan. Selain dari senjatanya yang utama, yaitu kanon, Gereja


membutuhkan suatu senjata lain lagi untuk melawan sekta, karena tidak
cukup bahwa salah satu kitab dibubuhi nama seorang rasul saja. Sebab kitab
Injil dan kisah rasul dari kaum gnostik juga diberi nama rasul sebagai penga
rangnya. Jadi hanya isi kitab-kitab sajalah yang dapat menentukan apakah.
Kitab itu boleh dianggap sungguh-sungguh rasuli. Oleh sebab itu perlu suatu
ringkasan iman jemaat, yang akan menjadi kaidah supaya jangan “diombang
ambingkan oleh rupa-rupa angin pengajaran” (Ef 4:14).

Untunglah sudah terdapat kesimpulan percaya yang demikian. Pengakuan


yang tertua hanyalah mengenai Kristus: “Yesus adalah Tuhan” (1 Kor 12:3).
Pengakuan yang pendek ini kemudian ditambah dengan keterangan-
keterang an lain tentang Kristus, seperti yang nyata dalam Roma 1:3, 4 dan
Fil 2:5-11. Berikutnya ialah hal-hal mengenai keselamatan ditambahkan juga.
Akibat perkembangan ini ialah Keduabelas Pasal Iman, yang kita akuf
sekarang juga. Meskipun bentuknya yang akhir barulah ditetapkan dalam
abad ke-V, akan tetapi sebelum tahun 200 pengakuan itu sudah dipakai
jemaat di Roma sebagai pengakuan orang yang hendak dibaptiskan. Di barat
pengakuan baptisan itu segera dipakai di mana-mana. Kemudian pengakuan
baptisan pada khususnya dan pengakuan jemaat pada umumnya juga
disebut “simbol”. Di bagian timur lama barulah kemudian ditetapkan
pengalimatan pengakuan iman. Akhirnya Pengakuan Nicea, yang muncul
pada pertengahan abad ke-IV, umum diikrarkan di timur.
Pengakuan-pengakuan itu sangat berfaedah bagi Gereja dalam perlawan
annya terhadap gnostik dan Marcion. Umpamanya, pengakuan bahwa Allah
adalah “khalik langit dan bumi” sama sekali menolak pandangan sekta itu,
dan sudah tentu segala pokok yang mengenai Kristus sangatlah
bertentangan dengan ajaran sekta yang mengatakan bahwa Kristus datang
ke dunia ini dengan tubuh maya saja (ajaran dosetisme).

Pengakuan Keduabelas Pasal Iman itu erat hubungannya dengan Alkitab dan
selalu dijelaskan selaku ringkasan dari rasul-rasul sendiri. Sebab itu timbullah
nama “Pengakuan Rasuli” atau “Apostolicum”. Menurut kata pertama di
dalam bahasa Latin, yaitu “Credo”, artinya: “aku percaya,” maka nama Credo
itu pun lazim dipakai. Sungguh menakjubkan bahwa pengakuan itu
mengandung segala perkara iman masehi yang sungguh penting, sedang
yang tidak memuat hal-hal yang sebenarnya diutamakan oleh kebanyakan
anggota jemaat pada zaman itu, yakni: moralisme dan salah paham tentang
sakramen! Keheranan kita juga mengenai susunan kanon: tiada satu pun di
antara tulisan-tulisan yang mencerminkan roh masa itu termasuk ke dalam
nya; malah sebaliknya Paulus, yang hampir tidak dimengerti lagi waktu itu
dialah yang terbesar di dalam kanon! Inilah sesungguhnya suatu bukti yang
indah, bahwa Roh Kudus telah mengerjakan di dalam Gereja abad ke-II itu
sesuatu yang jauh mengatasi kesanggupannya sendiri. Dengan demikian
pengakuan Rasuli itu bukan saja menjadi senjata Gereja pada permulaan
sejarahnya, tetapi juga menjadi kesimpulan iman Kristen bagi segala abad
kemudian. 4. Pewarisan jabatan rasuli. Tetapi di samping kedua senjata tadi
masih perlu senjata yang ketiga. Apa sebab? Oleh karena kedua senjata tadi,
yaitu kanon dan pengakuan, barulah berkuasa dalam praktek, kalau ada
manusia yang melaksanakannya dan mempertahankannya. Itulah sebabnya
pemim pin-pemimpin Gereja menunjuk jemaat kepada uskupnya yang
dipilih dengan jalan yang sah. Dia sajalah yang sanggup memberi keputusan
tentang segala masalah yang muskil, yang mengharu-birukan jemaat karena
khotbah dan pengajaran semua guru sekta dan nabi palsu itu. Pada masa itu
segala jemaat dikepalai oleh seorang uskup saja, dan pada umumnya para
uskup tidak tersesat oleh sekta-sekta itu. Dengan demikian timbullah
semboyan: berpeganglah kepada uskupmu, karena dialah yang mengetahui
kebenaran! Akan tetapi lama-kelamaan semboyan ini, yang timbul dari
praktek pengembalaan jemaat, barubah menjadi suatu suruhan ilahi, oleh
karena pangkat uskup makin dijunjung tinggi. Demikianlah pada akhir abad
ke-II kita lihat keadaan berikut ini: rasul-rasul telah mengangkat uskup-uskup
sebagai gantinya, di mana-mana tempat, yaitu seorang uskup untuk tiap-tiap
jemaat. (Kita sudah maklum bahwa itu tidak benar!) Kemu dian uskup itu
diganti pula oleh seorang uskup lain, yang juga dipilih dan ditahbiskan
dengan jalan demikian dan seterusnya. Sekarang penggantian yang sah itu
menjamin penyerahan kebenaran Injili, yang mula-mula dipunyai rasul-rasul,
terus-menerus di dalam Gereja segala masa. Setiap kali apabila seorang
uskup ditahbiskan maka bersama dengan jabatan itu kebenaran Injili
diwarisi dan dimilikinya pula. Ajaran itu dinamai "dogma pewarisan atau
suksesi jabatan rasuli". Dengan demikian manusia, yaitu uskup, menerima
kuasa yang sama besar dengan kuasa kanon atau Alkitab, bahkan lebih besar
lagi, karena uskuplah yang dianggap berhak dan berkuasa menjelaskan
Alkitab dengan sempurna. Dengan demikian Kristus tidak lagi sempat
menguasai jemaatNya sendiri dengan FirmanNya, karena uskup telah
tersisip di antara Firman Tuhan dan GerejaNya itu. Yang dituntut dari jemaat
bukanlah lagi percaya kepada Kristus, melainkan taat kepada uskup. Mulai
pada waktu itu berlakulah dua macam kuasa di dalam Gereja: kuasa Kristus
di dalam FirmanNya dan kuasa Gereja sendiri di dalam uskupnya. Akhirnya
tak dapat tidak harus timbul pemecahan antara kedua kuasa itu. Pembaruan
Gereja (Reformasi) memilih kuasa Firman Tuhan, yang kepadanya segala
kuasa lain takluk, padahal Gereja Roma mengajarkan bahwa segenap kuasa
dan kebenaran di dalam Gereja diserahkan oleh Kristus kepada paus
semata-mata. BAB 9 GEREJA KATOLIK YANG LAMA Nama ini dipakai bagi
Gereja Kristen pada zaman sesudah segala godaan yang mengancam pada
abad ke-II dialahkan, sampai waktu Gereja terbagi dua pada tahun 1054,
menjadi Gereja Barat atau Katolik Roma dan Gereja Timur atau Gereja
Gerika-Katolik (lihat Bab 16). Menyambung pada apa yang diuraikan tentang
Gereja pada masa kemudian sesudah rasul-rasul (lihat Bab 4), maka kini
perlu diterangkan dasar dan keadaan Gereja yang lama, seperti yang mulai
nampak antara tahun 180 dan 300. Akan nyata bagi kita, bahwa bibit
pertentangan timur-barat di kemudian hari sudah terdapat pada abad ke-III.
1. Kebaktian. Jikalau kebaktian Gereja yang Lama dibandingkan dengan
kebaktian Kristen pada tahun 100, ternyatalah betapa Gereja sudah ber
tambah-tambah dipengaruhi oleh suasana kafir sekelilingnya. Apabila orang
kafir mempersembahkan korbannya kepada dewa-dewa atau kaisar, maka
pekerjaan itu dipandangnya sebagai pekerjaan yang baik, yang patut
diganjari oleh dewa-dewa itu dengan pelbagai berkat dan keuntungan. Lain
sekali pergaulan manusia dengan ilah-ilah dalam agama-agama misteri di
dunia timur (lihat Bab 1.3). Di sana manusia tak mau berdagang dengan
ilahnya, dewanya. Dalam segala upacara rahasia itu dewa atau dewi
memberi kepada manusia hidupnya yang kekal dan kekuatan sakti untuk
mengatasi segala bahaya dan malapetaka. Sebab ketika manusia bersatu
dengan dewa dalam segala upacara yang ganjil itu, maka zat dan khasiat
ilahi itu dicurahkan ke dalam tubuh dan jiwanya. Kedua pandangan kafir ini
menguasai kebaktian Kristen pada masa itu, terutama Perjamuan Kudus,
sehingga Perjamuan itu dipandang baik selaku suatu korban dari pihak
jemaat yang patut diganjari Tuhan, maupun sebagai suatu hadiah sorgawi
yang dikaruniakan Tuhan, jadi secara magis-realistis (bandingkan Bab 4.3).
Korban itu, yang dinaikkan oleh imam kepada Allah atas nama jemaat
dianggap sebagai suatu persembahan-ulang dari Kristus, selaku lanjutan dan
ulangan dari korbanNya di Golgota. Pandangan ini beralaskan kepercayaan
bahwa oleh doa (ucapan syukur) imam maka Roh Tuhan turun ke atas roti
dan air anggur, dan pada ketika itu juga roti dan air anggur itu berubah
menjadi tubuh dan darah Yesus Kristus. Penahbisan kedua benda Perjamuan
ini oleh imam, yang menyebabkan tercapainya mujizat yang suci itu, disebut
konsekrasi. Sebagaimana kematian Yesus di kayu salib mengada kan
kebebasan dan keampunan untuk manusia, demikianlah pula tiap-tiap
korban yang dipersembahkan oleh jemaat dengan perantaraan imam meng
hendaki keampunan dan mengharapkan berkat rohani dan jasmani bagi
manusia. Umumnya jemaat mulai berkeyakinan bahwa persembahan tubuh
dan darah Kristus, yang berulang-ulang dilakukannya dalam kebaktian
dengan tiada menumpahkan darah, sama saja hasilnya dengan
persembahan Kristus yang berdarah itu di bukit Golgota. Hal ini dapat
berlaku, oleh sebab Kristus sendiri mau berada dalam roti dan air anggur itu.
Dan bila jemaat makan dan minum benda-benda suci itu, yang sekarang tak
lain dari tubuh dan darah Mukhalis sendiri, maka segala kuasa sakti dan
berkat sorgawi, yang ada dalam roti dan anggur itu, mengalirlah ke dalam
batin tiap-tiap orang percaya. Dengan demikian kuasa jabatan dalam Gereja
makin bertambah besar, sebab klerus, teristimewa uskup, sekarang menjadi
"imam", yaitu pengantara antara jemaat dengan Allah. Sebagaimana imam
besar, para imam dan orang lewi memimpin kebaktian dalam bait Allah
dahulu kala, begitu pula sekarang uskup, presbiter dan diakonos mengurus
kebaktian Gereja atas nama dan untuk jemaat. Makanya di bagian timur
Perjanjian Kudus adalah terutama dipandang selaku pemberian Tuhan,
sedang di barat adalah sebagai korban dari pihak manusia. Baptisan Kristen
pun diartikan salah. Baptisan itu sebenarnya tak lain daripada suatu khotbah
yang kelihatan tentang keampunan dosa oleh rahmat Allah dalam Yesus
Kristus. Tetapi sekarang jemaat mulai percaya bahwa dalam air baptisan
terkandung suatu khasiat istimewa, sehingga air itu me nyucikan secara
magis-realistis; oleh kuasa ilahi itu setan dan pengaruhnya diusir dari badan
dan jiwa orang yang dibaptiskan itu. Dengan demikian orang yang baru
dilahirkan secara lahiriah-batiniah itu, berdiri suci-murni di hadap an Tuhan
pada hari baptisannya itu. Tetapi sesudah itu manusia harus ber sandar lagi
kepada kebajikan dan amalnya sendiri. Oleh karena itu timbullah dua jenis
reaksi di antara jemaat. Ada yang menunda baptisannya sampai menjelang
ajalnya, supaya kesucian yang diperolehnya daripada baptisan itu dapat
diperlihatkan lebih gampang sampai hari matinya. Orang lain pula yang
terdorong oleh pandangan yang magis itu lekas-lekas membawa anak-
anaknya,. Supaya dibaptisakan dalam Gereja, agar selekas mungkin mereka
ditarik keluar dari genggaman dosa dan iblis.

Dalam abad ke-II “tahun Gereja” juga mulai berkembang. Artinya ialah
peraturan perayaan segala hari raya Gerejani tiap-tiap tahun. Hari raya
Paskah dan Pentakosta sudah dirayakan dari permulaan sejarah Gereja,
menurut contoh agama Yahudi, hanya dengan isi dan arti yang lain, yaitu
kebangkitan Tuhan Yesus dan keturunan Roh Kudus. Sejak abad ke-IV di
timur dirayakan juga pesta Epiphanias pada tanggal 6 Januari. Epiphanias
berarti “menjadi nampak” (tampil); pada hari itu diingat kelahiran dan
baptisan Tuhan Yesus. Hari Natal Tuhan Yesus pada tanggal 25 Desember
berasal dari Roma pada abad ke-IV; hari raya ini menjadi pengganti pesta
yang umum dirayakan pada pertengahan musim dingin, oleh karena mulai
dari saat itu matahari bersinar kian hari kian lama dan panas. Lama-
kelamaan Hari Natal itu diterima dan dirayakan di segala Gereja Kristen.

2. Disiplin Gereja. Di lapangan penggembalaan jemaat timbullah suatu


masalah yang sangat sukar bagi Gereja, yaitu soal disiplin. Makin besar
pengaruh Gereja atas dunia, makin bertambah pula roh dunia mem.asuki
Gereja. Mula-mula jemaat Kristen menantikan kedatangan Tuhannya
kembali dengan segera, sehingga mereka mengasingkan diri selaku umat
pilihan Tuhan, dari dunia yang jahat dan yang nanti akan binasa itu. Akan
tetapi Kristus belum juga datang, sehingga jemaat terpaksa hidup terus di
dalam masyarakat yang berdosa ini. Banyak orang, yang baru masuk Kristen,
tetap menjabat pangkatnya yang dahulu, meskipun pangkat itu sebenarnya
dianggap tak ber padanan dengan roh Injil, umpamanya dinas militer (lihat
Bab 11.5). Tatkala orang-orang kaya juga masuk Gereja, kemewahan turut
pula. Hanya sedikit saja anggota jemaat yang meniru teladan Tertullianus
(200), yang menjauhkan dirinya sama sekali dari segala perkara duniawi.
Akan tetapi tuntutan kebajik an yang berlaku di masa dahulu masih
dipandang sebagai derajat yang lebih tinggi dan suci. Kaum awam biasanya
tak sanggup menggenapi tuntutan tuntutan yang keras itu, tetapi kaum
pejabat (klerus) dan orang asket dapat memenuhinya. Dengan jalan
demikian timbullah pendapat bahwa Injil menganjurkan dua macam moral
atau kebajikan: yang berat bagi golongan kecil dan yang lebih ringan bagi
orang banyak. Di timur kaum Kristen cenderung untuk mengundurkan diri
dari dunia yang ramai dengan jalan bertapa dan tepekur. Sedang orang
barat yang lebih praktis sifatnya men cari jawab atas soal bagaimana iman
dapat dilaksanakan dalam hidup sehari hari.Masalah disiplin dipecahkan di
barat. Kesimpulan Montanisme ditolak oleh Gereja. Kita ingat bahwa
Montanus hendak mengembalikan kemurnian asli dari jemaat Tuhan dengan
menyucikan tiap-tiap orang, yang hidupnya tidak suci dan saleh. Cita-citanya
itu ditolak oleh Gereja. Tetapi pada pihak lain Gereja perlu menentukan
batas antara apa yang boleh dan yang tidak boleh dibiarkan. Bukan
sembarang orang dan sembarang kelakuan dapat diterimanya. Karena
menurut pendapat umum, maka baptisan membasuh segala dosa yang telah
pernah dibuat sebelum itu, tetapi sesudah itu seorang Kristen tidak boleh
jatuh lagi ke dalam dosa yang berat, supaya jangan ia kehilangan rahmat
Tuhan yang diperolehnya dalam baptisannya itu. Dosa dosa yang ringan,
yaitu dosa yang dipandang kecil, sehingga dapat diampuni pula, boleh
ditebus dengan doa, puasa dan derma. Akan tetapi, siapa yang berbuat dosa
berat, yang mengantar kepada maut kekal, yaitu percabulan (persundalan,
zinah, dan sebagainya), pembunuhan dan murtad, harus di singkirkan dari
Gereja. Itulah pandangan yang keras dari dahulu. Tetapi ketika jemaat
Kristen bertambah besar, makin sukar pula baginya melaksana kan
peraturan itu. Jikalau seorang anggota jemaat yang berdosa berat dibuang
keluar dari Gereja, tentulah ia akan kembali lagi kepada agama kafir dan
dengan demikian ia tetap hilang bagi Gereja. Pengantar jemaat manakah
yang berani bertanggungjawab dalam hal seperti itu?

Keputusan tentang soal ini diambil pada tahun 217 oleh uskup Roma
Calixtus, yang memaklumkan bahwa ia selaku uskup berhak mengampuni
dosa percabulan, tetapi dengan mengenakan hukuman berat kepada yang
bersalah. Hak ini didasarkan kepada paham Gereja yang baru: Gereja itu
bukanlah jemaat yang kudus, melainkan suatu ladang di mana gandum dan
lalang tumbuh bersama-sama, atau suatu bahtera Nuh, yang memuat
binatang yang halal maupun yang haram. Dengan demikian maka pintu
Gereja terbuka luas untuk menyambut banyak orang yang lemah dan
berdosa, supaya jangan binasa, melainkan selamat kelak. Sudah barang
tentu bahwa sikap Gereja yang demikian itu mengakibatkan kedangkalan
juga. Sebagian besar dari anggota-anggota jemaat Roma tidak setuju dengan
ajaran dan praktek Calixtus itu. Di bawah presbiter Hippolytus mereka
memisahkan diri dari Gereja Calixtus, yang pada hemat mereka, telah
dinajiskan oleh dunia. Tetapi pendapat Calixtus kemudian menang di seluruh
Gereja. Dengan demikian kedudukan uskup sangat diperteguh dan kuasanya
bertambah besar. Karena – sekarang ia bukan saja pengajar yang benar oleh
karena pewarisan jabatan rasuli, dan pengantara antara Tuhan dengan
jemaat selaku imam dalam Per jamuan Kudus, tetapi wakil Kristus pula yang
oleh kuasa Roh Kudus, berhak. Mengampuni dosa atau menyatakan dosa itu
tetap ada menurut sabda Yesus kepada murid-muridNya (Yoh 20:23).

Sekali jalan ini ditempuh, sudah tentu harus diturut lebih jauh. Pada waktu
meletus penghambatan baru yang hebat, mulai tahun 250 (lihat Bab 12.2),
banyak anggota Gereja murtad karena sangat terkejut oleh penganiaya an-
penganiayaan, yang belum pernah dialaminya; tetapi segera juga banyak
orang murtad bertobat kembali dan minta diterima lagi di dalam jemaat.
Cyprianus, uskup Carthago dan Corenelius, uskup Roma, sama berpendapat
bahwa dosa murtad itu, yang sebenarnya adalah dosa berat yang mengantar
kepada maut, boleh diampuni juga. Keputusan ini mengakibatkan
perpisahan di dalam Gereja. Pada tahun 251 presbiter Novatianus di Roma
menceraikan diri dengan para pengikutnya. Gerejanya yang terpisah itu
berkembang dengan pesat. Mereka itu menamakan dirinya “orang suci
murni”, karena semua orang yang pernah berbuat dosa berat tidak diterima
dalam Gerejanya. Dengan tindakan itu mereka menghubungkan
pendiriannya dengan Monta nisme. Akan kita lihat nanti bahwa tiap-tiap
abad akan terbit gerakan sede mikian, yang melawan Gereja resmi, tetapi
kesucian yang dicita-citakan itu makin lama makin lemah.

Jikalau tuntutan kebajikan yang keras dari pihak sekta Hippolytus dan
Novatianus itu dipandang dari sudut pendapat umum orang-orang Kristen
zaman itu, yaitu bahwa sesudah baptisan, maka keselamatan seseorang ber
gantung kepada kesetiaan dan amalnya sendiri, maka pendirian sekta-sekta
itu tidak dapat disalahkan. Akan tetapi pemimpin-pemimpin Gereja Katolik
mengerti bahwa keampunan dosa yang diberitakan Injil adalah
bertentangan dengan moralisme yang keras itu. Keampunan dosa adalah
mengenai segenap hidup Kristen, juga hidup sesudah baptisan. Sungguhpun
Gereja mulai sadar pula akan kebenaran Injil itu, tetapi dengan itu
moralisme belum juga di alahkan. Keampunan dianggap hanya sebagai
tambahan saja kepada kebajikan dan amalan manusia; lagipula keampunan
itu tidak diperoleh langsung dari Kristus sendiri oleh Roh dan FirmanNya,
melainkan dengan perantaraan uskup dan berdasarkan pekerjaan
penjelasan, yang harus dilakukan oleh orang berdosa.

3. Organisasi. Pusat organisasi Gereja ialah oknum uskup, yang menge palai
jemaat, baik mengenai ajaran dan pengakuan, baik dalam kebaktian,
maupun dalam hal disiplin dan pemerintahan harian. Uskup-uskuplah yang
tampil ke muka dalam segala hal ihwal hidup Gereja. Seorang uskup yang
baru harus dipilih oleh uskup-uskup yang berdekatan, dan perlu ditahbiskan.
Oleh mereka supaya ia mewarisi segala hak dan kuasa rasuli. Jemaat wajib
mengaku dan menerima uskup baru itu. Makin banyak pula pejabat-pejabat
rendahan sekeliling wakil Kristus itu. Di samping presbiter dan diakonos ada
pula pangkat diakonos muda, eksorsis (yang membuang setan-setan, lihat
Bab 11.7), pembaca Alkitab, dan lain-lain. Dalam tiap-tiap kota, baik yang
kecil maupun yang besar, ada seorang uskup saja, yang memerintah jemaat
di kota itu dan sidang-sidang jemaat kecil di daerah sekitarnya.
Penggembalaan dan pimpinan kebaktian di dusun-dusun diserahkan kepada
presbiter dan diakonos.

Organisasi Gereja dalam hubungan yang lebih luas diatur perlahan-lahan.


Semenjak tahun 250 diadakan sinode-sinode daerah. Oleh sebab biasanya
agama Kristen berkembang dari ibukota (“metropolis”), maka tentulah
sinode berhimpun di sana dan sidang-sidangnya diketuai oleh uskup kota
itu, yang bergelar “metropolit”. Nama ini dipakai di bagian timur, sedang di
bagian barat uskup ini dinamai “uskup agung”. Mula-mula gelar itu hanya
menyatakan kehormatan yang lebih besar, bukan berarti bahwa ia berkuasa
atas uskup yang lain. Pun sinode belum mempunyai kuasa, yang harus
ditaati oleh uskup-uskup; sebab bukankah tiap-tiap uskup sah dikaruniai
pimpinan dan penerangan Roh Kudus? Sebab itu keputusan sinode yang
diambil dengan suara bulat memanglah besar kuasanya di dalam bagian
Gereja yang ber sangkutan, tetapi jikalau anggota sinode itu tidak setuju
dengan salah satu perkara, maka tidak ada badan yang berhak memberi
keputusan akhir. Baru lah di kemudian hari sinode-sinode Gereja berkuasa
secara hierarkhis.

Selain dari sinode dan metropolit, masih ada golongan uskup lain yang
dihormati secara luar biasa, yakni uskup dari kota-kota yang menjadi pusat
pekabaran Injil untuk suatu daerah besar, seperti Carthago untuk Afrika
Utara dan Lyon untuk Prancis Selatan dan Tengah; terlebih lagi uskup di
kota-kota tempat rasul-rasul atau murid-muridnya sendiri bekerja dahulu,
seperti Yerusalem, Antiokhia, Alexandria, Roma. Kota-kota itu tetap me
mimpin daerah yang luas di sekelilingnya mengenai hidup kerohanian.

4. Uskup Roma. Di antara jemaat-jemaat yang penting tadi Romalah


diutamakan, sebab dalam ibukota kekaisaran itu terdapat jemaat Kristen
yang terbesar dan terkaya. Tetapi alasannya yang istimewa ialah bahwa
rasul-rasul Petrus dan Paulus, yang paling dihormati di dalam Gereja, telah
bekerja dan mati syahid di situ. Oleh sebab itu para penggantinya, yaitu
uskup-uskup Roma, merasa dirinya lebih mulia dan berkuasa daripada segala
uskup-uskup yang lain. Memang banyak di antaranya yang sangat cakap
(trampil) dankeras kemauannya; mereka mempergunakan segala
kesempatan untuk mem perkokoh kedudukannya dalam Gereja sedunia.
Uskup Victor memutuskan hubungannya dengan jemaat-jemaat di Asia Kecil
pada akhir abad ke-II, karena mereka tak menerima keputusannya tentang
tanggal perayaan Hari Raya Kebangkitan, tetapi sikapnya itu tak disetujui
oleh uskup-uskup yang lain. Uskup Roma memang dianggap "yang pertama
di antara para uskup yang setara dengan dia;" tetapi ia belum diakui sebagai
satu-satunya hakim dan pengatur yang perintahnya wajib dipatuhi oleh
seluruh Gereja. Hal itu nyata pula dengan terang pada tahun 255, tatkala
uskup Stefanus menuntut supaya seluruh Gereja menuruti keputusannya
tentang pembaptisan orang sekta (lihat 5). Selaku dalil dipakainya Matius
16:18; tetapi teman-teman sejawatnya menolak tuntutan itu. Nyatalah
bahwa jemaat di Roma berkuasa secara rohani, tetapi baru di kemudian hari
uskup Roma menjadi paus, yang memerintah sebagian besar dari Gereja
Kristen, yaitu Gereja Katolik Roma. 5. Cyprianus. Pemimpin Gereja lama
yang terutama, teristimewa di barat, ialah Cyprianus, uskup Carthago di
Afrika Utara. Sebelum ia bertobat masuk Kristen pada umur dewasa, ia
seorang ahli pidato yang kaya. Tidak lama sesudah dibaptiskan, Cyprianus
dipilih menjadi uskup pada tahun 248. Sepuluh tahun kemudian, ia
meninggal dunia, tetapi waktu yang singkat itu sudah cukup baginya untuk
menjalankan beberapa keputusan dan peraturan yang sangat penting untuk
seluruh Gereja. Pada tahun 249 kaisar Decius memulai aksinya membasmi
semua pemimpin Gereja (lihat Bab 12.2). Cyprianus bersembunyi bukan
karena ia takut, melainkan supaya dari tempat perlindungannya itu ia dapat
terus menggembalakan jemaatnya yang dalam aniaya dan sengsara itu
dengan jalan surat-menyurat. Oleh karena penghambat an yang sangat
bengis itu banyak anggota jemaat yang belum pernah mengalami siksaan
sehebat itu menjadi murtad, tetapi banyak pula di antara nya lekas
menyesali penyangkalannya, sehingga mereka minta diterima lagi dalam
jemaat. Golongan "pengaku" ("confessores," yakni mereka yang telah
menahan segala siksaan dengan ketabahan hati, sehingga mereka sangat di
hormati dan dipandang berkarunia Roh) menjadi pembela orang-orang
murtad itu di hadapan uskup Cyprianus. Orang-orang pengaku itu meminta
supaya kelemahan dan dosa saudara-saudara yang telah memungkiri
imannya itu lekas diampuni dan dengan syarat-syarat enteng mereka
disambut kembali dalam Gereja. Cyprianus setuju dengan maksud itu secara
asas, yaitu Gereja berhak mengampuni semua orang yang jatuh dalam dosa
berat, tetapi tentang jalan penerimaan kembali itu ia mempertahankan
pendiriannya, bahwa hanya uskup saja selaku pengganti rasul-rasul berkuasa
mengucilkan dan menyambut kembali, dan pengampunan itu hanya boleh
diberikan sehabis waktu per cobaan yang lama, di mana orang-orang murtad
itu wajib menebus dosanya dengan menjalani hukuman Gereja yang berat,
supaya pertobatan dan pen jelasannya nyata dengan terang. Sungguhpun
peraturan penebusan dosa yang keras itu tidak disukai banyak orang, tetapi
pandangan dan tindakan-tindakan Cyprianus itu menang. Uskup Cornelius di
Roma pun setuju dengan dia (lihat 2). Kuasa Cyprianus bertambah besar di
barat. Dari Spanyol dan Gallia (Perancis) juga orang meminta nasehatnya
tentang pelbagai soal mengenai praktek pekerjaan Gereja. Pada tahun 255
Cyprianus menghadapi persoalan yang lain lagi. Uskup Stefanus dari Roma
melarang baptisan-ulang orang sekta, yang ingin masuk Gereja katolik.
Perkara ini adalah mengenai orang sekta yang telah pernah dibaptiskan
dalam salah satu sekta Kristen (umpamanya dari Marcion, Mon tanus, orang
gnostik Kristen, Hippolytus, dan sebagainya) selaku kanak-kanak atau
apabila mereka masuk sekta itu dari agama kafir sesudah dewasa. Jikalau
orang yang demikian mau pindah ke Gereja katolik, maka menurut Stefanus,
ia itu tak perlu dibaptis untuk kedua kalinya. Lain sekali pendirian Cyprianus,
"Di luar Gereja tak ada keselamatan," katanya. Pejabat-pejabat sekta tidak
mewarisi hak dan kuasa rasul-rasul; sebab itu segala sakramen yang
dilakukannya tidak berharga. Dengan demikian tentulah baptisan orang
sekta tak boleh diakui sah, sehingga perlu mereka dibaptiskan lagi. Stefanus
menuntut supaya Cyprianus takluk kepada keputusannya (lihat 4), tetapi
Cyprianus menolak. Pada hematnya, segala uskup sama derajatnya. Dan
Matius 16:18 ditolaknya selaku dalil Alkitab, bahwa uskup Roma sajalah yang
memusakai segala kuasa Petrus, karena oknum Petrus tidak menjadi dasar
bagi pemerintahan uskup Roma atas seluruh Gereja; Petrus tak lain dari
lambang saja dari persatuan semua uskup, kata Cyprianus. Inilah permulaan
perjuangan antara golongan kurialis dan episkopalis yang berabad-abad
lamanya selalu mengacaukan Gereja. Orang kurialis me ngemukakan bahwa
uskup Roma atau paus adalah satu-satunya kepala seluruh Gereja ("curia"
sebenarnya adalah nama gedung senat di Roma, tetapi kemudian dipakai
untuk istana paus, tempat ia bersemayam di atas takhta Petrus!), padahal
orang episkopalis membela hak para uskup untuk bersama sama
memerintah atas Gereja. Lama-kelamaan kuasa paus makin diakui dan
dijunjung, sampai akhirnya pendirian Stefanus mendapat kemenangan
definitif pada Konsili Vatikan (tahun 1870), di sana kuasa paus
mengenaisegala ajaran dan kesusilaan Gereja diresmikan menjadi dogma
Gereja Katolik Roma. Karena Cyprianus tetap melawan kehendaknya,
Stefanus memutuskan hubungan Gereja dengan dia, tetapi Cyprianus
dengan pengikutnya tidak peduli. Perselisihan itu baru selesai ketika
Stefanus meninggal pada tahun 256. Tidak lama kemudian pecahlah
penghambatan baru di Carthago. Sekarang Cyprianus tak bersembunyi lagi.
Ia ditangkap dan disiksa hebat, tetapi meskipun begitu, ia tetap tidak mau
memungkiri pendapatnya itu. Sesudah diputuskan bahwa ia harus mati
dipancung, jemaat mengikuti uskup nya ke tempat ia dibunuh seraya
berseru: Kami mau mati bersama dia! Demikianlah Cyprianus mati syahid
pada tahun 258. Ada beberapa kitab yang penting dikarang Cyprianus.
Dalam kitabnya "Tentang Orang Murtad" ia menguraikan tentang-disiplin
Gereja. Dalam kitabnya "Amal dan Derma" dinyatakannya moralisme yang
dangkal, yang merajalela dalam Gereja pada masa itu: pertapaan dan derma
perlu dalam hidup seorang Kristen, supaya amalan-amalan itu dapat dibalas
oleh Tuhan dengan mengaruniakan pengampunan dan pahala. Karangan
Cyprianus yang termasyhur ialah "Kesatuan Gereja". Di dalamnya ditegaskan
bahwa uskup lah pusat Gereja dan di dalam Gereja saja manusia dapat
beroleh keselamatan: "Allah tak dapat disebut Bapa kita, jikalau Gereja tidak
menjadi ibu kita;" kesatuan Gereja itu nampak di dalam para uskup, yang
menyampaikan keselamatan yang kekal kepada orang yang bukan pejabat
beralaskan kuasa nya, yang diterimanya dari rasul-rasul. 6. Kesimpulan.
Oknum dan pekerjaan Cyprianus mencerminkan sema ngat barat. Roh Roma
yang mengutamakan segala hal mengenai hidup sehari hari, seperti
organisasi, kehakiman, pemerintahan, kemiliteran, juga mem pengaruhi
Gereja bagian barat. Oleh sebab susunan, pimpinan dan disiplin Gereja
diatur teliti, Gereja cukup kuat untuk bertahan di waktu timbul peng
hambatan. Roh timur lebih suka berfilsafat dan bermistik, sehingga di
sanalah segala pokok theologia yang sukar-sulit akan dirundingkan dan
diputuskan pada abad-abad yang berikut. Tetapi ada juga persamaannya,
karena baik di barat maupun di timur Gereja Kristen bukanlah lagi suatu
persekutuan rohani yang berpusat pada Firman Tuhan sendiri. Di mana-
mana jemaat bersandar pada uskupnya, karena mereka itu saja dapat
memberi perlindungan dalam tofan ajaran-ajaran yang sesat. Kebenaran
Firman Alkitab ditukar dengan kuasa jabatan uskup yang selaku pengganti
rasul-rasul memelihara dan men jamin kebenaran Injili yang dimiliki Gereja
Katolik. Dengan tepat Tertullianus mengatakan. Gereja adalah jumlah para
uskupnya! BAB 10

THEOLOGIA GEREJA LAMA

1. Golongan Apologet. Kaum apologet berusaha untuk menyesuaikan Injil


dengan semangat zaman. Maksudnya ialah untuk membuktikan bahwa
hanya Injil saja yang menggenapi segala cita-cita filsafat Yunani.
Menurut pandangan Yunani, Allah bersemayam jauh di atas dunia ini di
tempat yang tidak terhampiri. Manusia hanya dapat berhubungan
dengan Allah itu oleh pertolongan roh-roh yang menjadi pengantara
antara sorga dengan bumi. Roh pengantara yang terutama ialah Firman
atau Logos. Logos adalah sesuatu yang bukan Allah dan bukan pula dari
dunia, melainkan suatu jabatan antara roh dan zat benda, bahkan
dengan Logos itulah Allah menciptakan dunia ini. Sekarang orang-orang
apologet mulai menyamakan logos, filsafat Yunani itu, dengan Logos
(Firman), yang disebut Yohanes dalam kitab Injilnya (1:1 dan
seterusnya). Maksud mereka itu tentulah baik, akan tetapi dengan
menyama kan kedua-duanya maka pintu terbuka bagi pandangan-
pandangan kafir untuk memasuki theologia Gereja; ini menjadi dasar
segala salah paham tentang ajaran Alkitab dalam Gereja Lama. Sebab
menurut Yoh 1:1 “Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu
adalah Allah,” padahal Logos Yunani hanya semacam setengah Allah
saja. Jikalau Yoh 1 diartikan demi kian, maka tentulah Yesus tidak lagi
dipandang sebagai Allah sendiri yang turun ke bumi, melainkan adalah
suatu zat yang setengah ilahi saja. Sejak timbulnya kaum apologet, maka
pandangan itu menjadi ajaran umum dari Gereja. Barulah di kemudian
hari paham Logos itu lama-kelamaan dibersihkan dari pengertian kafir
tadi (lihat Bab 14).

Theologia apologet tentang kebebasan dunia adalah seperti berikut: Allah


menciptakan Logos di dalam rangkaian waktu, sebagai suatu roh yang ber
pribadi, dan dengan Logos itu Allah menciptakan segala sesuatu yang ada.
Manusia telah digodai setan-setan, sehingga jatuh ke dalam jurang
kesesatan, percabulan dan politheisme. Sebab itu Logos sendiri turun ke
bumi dengan menjelma dalam tubuh manusia, yaitu Yesus, dengan maksud
untuk me mulangkan manusia kepada jalan yang baik. Demikianlah Yesus
membuka mata manusia terhadap segala tipu-muslihat setan-setan sambil
memberitakan ajaran yang benar tentang Allah dan dunia dan hari kiamat
yang akan datang. Lagipula ia mengajar mereka tentang hidup yang
berkenan kepada Tuhan, hidup mana dipraktekkan di dalam Gereja.
Manusia berkehendak bebas dan dapat meluputkan diri dari genggaman
setan-seten dengan pertolonganpengajaran dan teladan Kristus. Teranglah
bahwa dalam hal ini Kristus bukan lah lagi penebus dan juruselamat,
melainkan guru dan teladan saja. Peristiwa peristiwa yang mendatangkan
selamat (kematian dan kebangkitan Yesus dan sebagainya), kurang
dipentingkan dalam theologia apologet. Apa sebenarnya rahmat Allah itu
kurang dipahami. Nampaknya theologianya injili, tetapi isinya sangat
dipengaruhi oleh filsafat kafir yang moralistis dan rasionalistis. Walaupun
demikian, tidak pernah kaum apologet dipandang sebagai orang penyesat,
karena bukanlah mereka itu saja, tetapi jemaat pun kurang mengerti inti Injil
Yesus Kristus. Apalagi kaum apologet itu selalu membela Gereja resmi dan
tidak mengajarkan suatu hikmat yang lain, sebagaimana dibuat oleh
golongan gnostik. 2. Ireneus. Beberapa waktu kemudian sesudah. timbulnya
golongan apologet itu, bangkitlah seorang ahli theologia yang kembali lagi
kepada ajaran Alkitab tentang penebusan manusia oleh Yesus Kristus. Ahli
theologia itu ialah Ireneus. Ia berasal dari Asia Kecil, suatu daerah Gereja
yang lebih mengutamakan mistik (ingat Yohanes dan Ignatius). Irenius
menjadi uskup di kota Lyon di negeri Perancis pada tahun 178, karena
banyak orang Asia Kecil telah pindah ke sana. Ajaran yang dipakainya untuk
melawan gnostik, ber lainan sekali dengan theologia apologet. Secara garis
besar beginilah uraian nya: Adam serta segenap bangsa manusia diciptakan
untuk hidup yang baka, tetapi oleh karena jatuhnya ke dalam dosa maka
manusia diikuti dengan kefanaan. Untuk melepaskan manusia, Allah
mengutus AnakNya, yaitu Logos, yang masuk ke dalam daging manusia.
Dengan demikian Kristus meng hubungkan tabiat manusia dengan kuasa
Allah yang kekal. Kristus adalah Adam yang kedua, yang menggenapi segala
tuntutan Allah, yang dilalaikan Adam yang pertama. Di dalam
kebangkitanNya Kristus memberi suatu petaruh dan jaminan untuk hidup
yang baka kepada sekalian orang yang percaya kepada Dia. Sekarang Roh
Kudus memberikan hidup yang kekal itu kepada semua orang yang percaya,
di dalam baptisan dan perjamuan. Jadi pokok utama theologia Ireneus ialah
"mempersatukan di dalam Kristus sebagai Kepala segala sesuatu, baik yang
di sorga, maupun yang di bumi" (Ef 1:10). Sorga Allah dan dunia manusia
yang tercerai sekian lama oleh dosa, sekarang dihubungkan dan
dipersatukan kembali. Allah menjadi manusia, agar manusia mendapat
kembali keadaan yang baka. Segala pandangan ini sudah barang tentu jauh
lebih Injili daripada ajaran apologet, karena di sini oknum Yesus Kristus
diutamakan dan dijunjung selaku mukhalis dan penyelamat. Sungguhpun
demikian, pembenaran olehiman dan salib Kristus kurang tampil ke muka
dalam theologia Ireneus. karena pokoknya bukanlah pertentangan antara
dosa dan rahmat, melainkan pertentangan antara akibat dosa, yaitu
kefanaan, dan akibat rahmat, yakni hidup yang baka. Segala theologia timur
bercorak pandangan Ireneus ini. sehingga sampai kini Hari Raya Kebangkitan
Tuhan Yesus adalah pesta yang termulia di Gereja timur itu. 3. Tertullianus.
Ia seorang ahli hukum yang bekerja sebagai advokat di Carthago. Kita
mengenal Tertullianus dari kitabnya yang banyak itu, yang dikarangnya
antara tahun 195 dan 220. Theologianya, yang dalam banyak hal serupa
dengan orang apologet, menjadi dasar theologia barat. Tertullianus lah yang
pertama-tama memakai pelbagai istilah theologia yang menjadi lazim
semenjak masa itu, misalnya: dosa turunan, tebusan dosa, jasa, dan lagi
rumusan seperti: Allah berzat satu tetapi berpribadi tiga dan Kristus adalah
satu pribadi dengan dua tabiat dan sebagainya. Ia memandang relasi
manusia dengan Allah selaku seorang terdakwa di hadapan hakim. Sebagai
seorang apologet Tertullianus mengajar bahwa Logos adalah suatu zat ilahi
yang lebih rendah daripada Allah, padahal Ireneus berpendapat bahwa
Logos juga adalah Allah, sesuai dengan awal Injil Yohanes. 4. Clemens dari
Alexandria (200). Kita telah maklum bahwa filsafat Yunani dan gnostik
berkembang di kota Alexandria dan sudah lama kaum Kristen yang
terpelajar berusaha menyesuaikan filsafatnya dengan ajaran Alkibat.
Clemens ialah salah seorang ahli theologia. Gereja yang mencoba
melaksanakan penyesuaian itu, supaya agama Kristen juga disambut oleh
golongan kafir yang berpengetahuan tinggi. Muridnya yang tersohor
namanya sebagai ahli theologia yang terbesar di Gereja Lama bagian timur,
ialah Origenes. 5. Origenes (185-254). Ia lahir di Alexandria. Bapanya mati
syahid pada tahun 202, waktu Origenes berumur 17 tahun. Ketika itu sudah
nyata kepandaiannya yang luar biasa. Dengan rajin dan gembira ia menuntut
rupa rupa ilmu dan segera namanya termasyhur di mana-mana. Origenes
mengarang beratus-ratus kitab besar dan kecil (ada yang mengatakan
sampai 6000 karangan), teristimewa kitab tafsiran dan filsafat. Hidupnya
sangat sederhana dan beraskese, bahkan ia mengebiri dirinya menurut Mat
19:12, karena kata orang, asket daging itulah tempat dosa berdiam; sebab
itu lebih baik daging dimatikan supaya jiwa disucikan dari kejahatan.
Berhubung dengan perselisih an dengan uskupnya, Origenes pindah ke
Kaisarea di Palestina. Di sana ia. Membuka sebuah sekolah agama. Sebab
pengetahuannya, ia dihormati di seluruh kekaisaran Romawi, bukan saja di
dalam Gereja, tetapi juga oleh semua orang kafir yang berilmu. Akhirnya ia
meninggal dari sebab siksaan siksaan yang dideritanya ketika kaum Kristen
dihambat lagi oleh kaisar Decius.

Dari kitabnya yang sekarang masih ada, yang terkenal ialah sebuah kitab
apologia yang tersebut “Melawan Celsus” (lihat Bab 5.5) dan kitabnya
“Rukun-Rukun” (yaitu dari agama Kristen). Inilah “dogmatik” yang per tama.
Maksud Origenes ialah membina suatu ilmu Kristen yang setara dengan,
bahkan mengatasi filasafat kafir zaman itu. Akan tetapi orang percaya yang
sederhana, yang hanya tahu membaca Alkitab secara hurufiah, tak dapat
mengerti segala hikmat filsafat yang tersembunyi di dalam nas Alkitab itu.
Hanya “orang yang mengetahui,” orang yang bergnosis saja sanggup me
nyelidiki dan mempelajari segala hikmat Alkitab yang lebih dalam itu. Ber
dasarkan keyakinan ini Origenes menafsirkan Alkitab secara alegoris, artinya
ia merohanikan ceritera dan hikayat biasa. Umpamanya, bahtera Nuh
menjadi kiasan untuk jiwa orang saleh; tinggi, lebar, dan panjangnya ialah
kiasan untuk iman, pengharapan dan kasih; binatang halal ialah segala sifat
jiwa yang suci, tetapi binatang haram menjadi kiasan hawa nafsu manusia
yang jahat. Dengan contoh ini nyatalah bahwa penafsir alegoris suka
memasukkan pandangannya sendiri ke dalam Alkitab.

Ajaran Origenes adalah begini: Asal dan tujuan segala yang hidup ialah Allah,
Bapa abadi, yang dari kekal melahirkan segala sesuatu yang ada. Yang
pertama dilahirkan ialah Logos, yang ilahi tetapi yang lebih rendah daripada
Allah. Logos atau Anak melahirkan Roh Kudus. Dari Roh itu berpancar segala
roh atau jiwa yang lebih rendah, yang juga bertabiat ilahi, tetapi ber
kehendak bebas. Kehendak itu salah dipakainya, ketika mereka melawan
Allah. Cuma satu jiwa saja tetap setia kepada Tuhan. Selaku hukuman maka
roh yang jatuh dalam dosa sekarang dikurung dalam salah satu badan
jasmani. Malaikat-malaikat jatuh sedikit saja, sehingga mendapat badan
berupa bintang di langit. Di bawah malaikat ada dunia dan di bawah dunia
terdapat tempat setan-setan yang hidup dalam kegelapan. Malaikat dan
setan berjuang untuk merebut dunia dan manusia. Logos mau meluputkan
dunia; sebab itu ia menghubungkan dirinya dengan satu-satunya jiwa yang
tak jatuh itu, lalu ia menjelma di bumi ini dalam tokoh manusia, yakni Yesus.
Yesus membawa kelepasan bagi semua manusia. Orang sederhana hanya
perlu percaya kepada Yesus selaku Penebus, tetapi orang yang
berpengetahuan harus memperhati kan pengajaranNya yang mulia itu dan
perlu meniru teladanNya denganmengusahakan kebajikan dan askese,
sehingga lama-kelamaan jiwa manusia itu dipersatukan dengan Logos,
bahkan diilahikan. Siapa yang belum belajar mengikuti Logos selama
hidupnya di bumi, masuk ke dalam neraka, yang hanya suatu tempat
penyucian untuk sementara saja, karena segala makhluk pada hakekatnya
bertabiat ilahi juga, sehingga tak dapat binasa untuk selama lamanya.
Akhirnya segala sesuatu akan pulang kepada Allah. Setan-setan pun tidak
terkecuali. Inilah ajaran "kebangkitan segala yang ada", sehingga akhir nya
semuanya dipulihkan menjadi seperti semula. Sesudah itu sejarah tadi, yaitu
kejatuhan dan kebebasan, akan mulai pula dan begitulah terus-menerus
berulang-ulang sampai selama-lamanya. Sungguhpun theologia ini sangat
indah, tetapi sebetulnya tidak lain daripada campuran ajaran Alkitab dengan
filsafatnya Plato. Justru di masa Origenes, ajaran Plato yang lama itu
dipengaruhi oleh Plotinus (250 M) dan disebut Neo-Platonisme. Ajaran ini
berkembang menjadi suatu susunan filsafat agama yang besar, yang dapat
kita sebut puncak atau mahkota kekafiran Hellenisme (lihat juga
pengaruhnya atas Augustinus, Bab 17.3. 4). Dasar sistem Origenes, yaitu
tafsiran alegoris, terlalu lemah. Tetapi meskipun demikian, Gereja zaman itu
menghormati Origenes selaku seorang Bapa Gereja. Barulah pada tahun 399
Gereja sadar bahwa ajarannya tidaklah sesuai dengan Injil, sehingga
theologianya ditolak dengan resmi, tetapi bekas bekas pikirannya masih
terdapat sampai kini dalam theologia Gereja timur. Hasil pengaruh Origenes
yang terpenting ialah bahwa pengertian Logos sebagai suatu zat yang lebih
rendah daripada Allah, diterima oleh Gereja Lama selaku ajaran yang sah
dan baik. BAB 11 PERGAULAN HIDUP DI DALAM GEREJA LAMA Di dalam
uraian kita tentang keadaan Gereja Lama belum cukup kita memperhatikan
suatu pasal yang tak dapat tidak perlu juga diterangkan, yakni bagaimana
orang Kristen menyatakan imannya di dalam pergaulan mereka sendiri dan
dengan orang kafir. Jikalau kita hendak mengenal ke sungguhan dan
kekuatan yang sebenarnya dari agama Kristen pada abad abad pertama
tarikh Masehi itu, baiklah kita melayangkan pandangan kita kepada
pendirian kaum Kristen di dalam hidup sehari-hari di tengah-tengah
masyarakat zaman itu. Justru pada masa itu, ketika jemaat hanya
merupakansuatu kelompok kecil di tengah dunia yang bukan Kristen dan
agamanya masih dihina, nyatalah dengan terang betapa indah dan istimewa
hidupnya. Memang benar, bahwa mereka tidak luput dari pelbagai macam
kesesatan, dosa dan kelemahan, tetapi sekalipun demikian bolehlah kita
sebutkan per kataan Paulus, bahwa "di tengah-tengah angkatan yang
bengkok hatinya dan yang sesat ini, jemaat Kristen bercahaya seperti
bintang-bintang di dunia" (Fil 2:15). 1. Derajat kebajikan. Segala dosa
masyarakat Roma disebut rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat Roma,
pasal 1:24-32. Kebajikan kaum Kristen yang suci dan murni jujur berbeda
jauh dengan segala kejahatan itu. Berbuat zinah terlarang keras; begitu pun
hal menggugurkan buah kandungan, mem buang anak dan sebagainya.
Dalam perdagangan dan pergaulan umum dengan orang kafir, kaum Kristen
tidak menipu atau berdusta; suatu hal yang luar biasa pada zaman itu. Juga
ketika batas antara Gereja dengan dunia yang bukan Kristen makin kabur,
namun perbedaan derajat dan kebajikan itu tetap nampak. Tentu ada juga
orang kafir, yang berusaha ingin hidup dengan sopan, tetapi Gereja Kristen
ialah satu-satunya persekutuan hidup, yang dengan pekabaran Injil dan
teladannya lama-kelamaan mengangkat rakyat murba kepada tingkat
kesusilaan yang lebih tinggi. Hal ini diakui juga oleh beberapa pujangga kafir.
Tidak mengherankan, bahwa orang-orang apologet selamanya menunjuk
kepada kebajikan Kristen itu untuk membuktikan kesucian agama nya. 2.
Rumah tangga. Hal nikah dan rumah tangga dijunjung tinggi di dalam jemaat
Kristen, meskipun hidup lajang (tidak kawin) dianggap lebih suci oleh banyak
orang. Sebab itu suami-isteri diajak menahan diri seboleh-bolehnya. Nikah
kedua sesudah suami isteri meninggal, dipandang kurang patut. Per kawinan
seorang Kristen dengan seorang kafir tidak diperbolehkan, sungguh pun
sering berlaku. Kaum wanita dihormati; juga di dalam hidup jemaat,
kecakapan dan tenaga mereka dipergunakan untuk pelbagai tugas. Suami
isteri harus berkasih-kasihan dan tidak boleh bercerai. Maksud nikah ialah
melahirkan anak. Anak-anak harus dididik dalam iman Kristen dan wajib
menurut segala nasehat orangtuanya. Rumah tangga Kristen dipandang
sebagai suatu persekutuan agama yang erat pertaliannya. Jikalau seorang
yang baru masuk Kristen menemui perlawanan dalam rumah tangganya
yang masih kafir, perlulah ia memutuskan hubungan dengan keluarga, yang
mendatang kan bahaya bagi imannya itu menurut sabda Yesus dalam Mat
10:37.
2. Milik. Milik itu adalah pinjaman dari Allah. Sebab itu milik per seorangan
diakui baik, asalkan anggota jemaat sadar dan ingat, bahwa ia ber
tanggung jawab selaku hamba Tuhan atas miliknya itu. Dan sebagai
seorang Kristen ia tak boleh hidup mewah. Pakaian, makanan dan
perabot rumahnya hendaknya sederhana, supaya jangan harta benda itu
menjadi rintangan bagi hidup rohani. Segala kelebihan baiklah
diserahkan kepada yang berkekurang an. Jemaat merasa malu kalau
seorang anggotanya miskin atau lapar, tetapi sekalipun demikian Gereja
zaman itu belum insaf, bahwa jurang perbedaan yang mendalam antara
kemiskinan dan kekayaan di dalam masyarakatnya, harus dianggap
sebagai suatu keadaan sosial yang salah dan buruk benar di hadapan
Tuhan dan sesama manusia. Gereja belum mengerti panggilan dan
tugasnya untuk memberantas dan membasmi segala keadaan yang
kurang adil itu demi Injil pengasihan Tuhan.

3. Perbudakan. Apa yang dikatakan tadi tentang kemiskinan dan ke kayaan


adalah mengenai perbudakan juga. Orang Kristen pada masa itu me
mandang perbudakan sebagai suatu perkara yang biasa juga. Mereka itu
pun mempunyai budak, dan budak Kristen dinasehati, supaya melayani
tuannya dengan patuh, tulus-ikhlas dan sabar. Sebaliknya dituntut dari
tuan-tuan Kristen, supaya mereka memperlakukan budaknya dengan
peri kemanusiaan, sehingga nasib budak orang Kristen jauh lebih baik
daripada nasib kebanyak an budak orang kafir. Akan tetapi yang lebih
penting lagi ialah di dalam lingkungan jemaat sendiri tak ada perbedaan
antara tuan dan budak, melain kan semua bergaul selaku saudara-
bersaudara, menurut perkataan Paulus, bahwa di dalam jemaat “tidak
ada hamba atau orang merdeka,... karena kamu semua adalah satu di
dalam Kristus Yesus” (Gal 3:28). Sudah barang tentu bahwa suasana
kasih-sayang dan persaudaraan itu menarik banyak budak kepada Injil.
Ada yang dibebaskan oleh tuannya yang Kristen, ada pula yang ditebus
oleh anggota-anggota jemaat yang hartawan, jikalau tuan nya bukan
Kristen. Segala jabatan di dalam sidang jemaat terbuka bagi budak-
budak itu. Uskup Calixtus di Roma adalah seorang bekas budak. Tak
mengherankan bahwa di kemudian hari (pada abad XIX) Gereja angkat
suara supaya perbudakan itu dihapuskan sama sekali.

4. Pergaulan umum. Sukar sekali bagi seorang Kristen, yang ingin hidup
menurut Injil, untuk menentukan sikapnya terhadap segala hal dalam
per gaulan masyarakat, karena pergaulan itu sangat dipengaruhi oleh
agama kafir. Umpamanya tiap-tiap pesta resmi, juga tiap-tiap
pertemuan keluarga disertaipersembahan kepada dewa-dewa, yang
menyebabkan kaum Kristen tak mau ambil bagian dalam keramaian itu.
Bermacam-macam kesenangan tak dapat diturutinya, misalnya
pertandingan gladiator (orang yang berperang dengan pedang dan lain
senjata) di dalam sirkus, pertunjukan mengadu binatang, dansa,
sandiwara, rupa-rupa perlombaan dan sebagainya. Segala perkara itu
sungguh menghangatkan hawa nafsu penonton, lagipula tercampur
dengan penyembahan kepada berhala.. Demikian pula pelbagai
pekerjaan dan pangkat terlarang bagi orang Kristen, seperti gladiator,
ahli lakon, serdadu dan pegawai negeri. Dinas militer dilarang, bukan
saja karena jabatan itu berhubung dengan kekejaman, penumpahan
darah, perang dan sebagainya, tetapi juga karena laskar harus
bersumpah demi nama dewa dan terpaksa menurut upacara yang
berlawanan dengan imannya kepada Kristus. Sebab itu banyak militer,
yang masuk Gereja, memohon lepas dari tentara, tetapi ada juga yang
tinggal dalam dinas, malahan jumlah laskar Kristen di dalam tentara
akhirnya bertambah tambah banyak. Lama-kelamaan agama dan adat
Kristen mulai diperhatikan serta dihargai oleh panglima mereka. Juga
dalam lapangan masyarakat yang lain, sikap orang Kristen berbeda; ada
yang tetap menjauhkan diri sama sekali dari segala hal duniawi, tetapi
lebih banyak yang tidak begitu ber keberatan tentang pergaulan sehari-
hari dengan golongan-golongan yang bukan Kristen. Makin orang Kristen
mencampuri masyarakat umum, makin diperhatikan dan dihormati
oranglah adat mereka. 6. Pengamalan. Sidang Kristen zaman itu suka
memberi derma dan per tolongan dengan seluas-luas hatinya.
Pemberian jemaat diletakkan di atas meja Tuhan dalam tiap-tiap
kebaktian, lalu dibagi-bagikan oleh syamas syamas. Yang diberi bantuan
ialah golongan pejabat, orang miskin, janda, piatu, orang tua-tua dan
orang hukuman. Saudara-saudara yang datang dari tempat lain diberi
tumpangan. Siapa saja yang berkekurangan dikunjungi dan diberi
pertolongan. Pada tahun 250 jemaat di Roma, yang waktu itu belum
banyak anggotanya yang kaya, memberi sokongan kepada 1500 orang!
Pun kepada kaum kafir, Gereja beramal, umpamanya apabila rakyat
ditimpa oleh suatu bencana. Demikian pula jemaat lain diberi
pertolongan, kalau mereka mendapat kesukaran atau menderita
penghambatan. Pengamalan kaum Kristen itu umum disaksikan oleh
orang kafir, sehingga mereka mengucapkan: "Camkanlah betapa mereka
berkasih-kasihan!" 7. Perawatan orang sakit. Dalam masyarakat kafir
belum ada rumah sakit. Umat Kristenlah yang mulai memperhatikan
nasib orang sakit. Perawatan orang sakit yang sangat perlu itu
diserahkan kepada janda-janda (lihat 1 Tim 5), sedang pemeliharaan
hidup mereka menjadi tugas khusus syamas syamas. Ada pula saudara-
saudara yang mendapat karunia istimewa untuk membuang setan-setan
dengan nama Yesus, menurut janji Tuhan dalam Mat 16:17. Mereka
dinamai "eksorsis." Segala keadaan dan kelakuan jemaat Kristen yang
diuraikan tadi, menyebabkan banyak orang tertarik kepada Gereja,
sehingga mulai abad ke-III itu Gereja berkembang dengan cepat. Gereja
Lama memasyhurkan Injil Tuhan, terutama dengan jalan memper
lihatkan kasih Kristus di dalam perbuatannya dan hidupnya sehari-hari,
dan bukan dengan pengajaran dan kebaktiannya saja. BAB 12 GEREJA
DAN DUNIA: PENGHAMBATAN DAN PERDAMAIAN 1. Perkembangan.
Kira-kira tahun 180 jemaat Kristen sudah terdapat di mana-mana sekitar
Laut Tengah. Pada waktu itu Injil mulai dikabarkan di Germania, Britania,
Spanyol dan Armenia. Dalam abad ke-III Gereja me rambak sampai ke
daerah sungai Donau, tanah Persia dan India. Terutama rakyat murba di
kota-kota besarlah yang masuk Kristen. Bagian terpenting dari Gereja
masih terdapat di timur, terutama di Asia Kecil. Gereja Kristen yang
makin besar ini menjadi suatu masalah politik yang sulit bagi negara.
Kekaisaran Romawi itu bukanlah suatu kesatuan secara bangsa atau
kebudayaan; persatuan segala daerah dan warganegara hanya dapat
tercapai dalam satu agama yang umum, yang diakui oleh sekalian
penduduk: satu Ilah, satu Negara, satu Kaisar. Tetapi Gereja tak mau
turut mengakui suatu agama semacam itu, sebab katanya: hanyalah
Allah Bapa dari Yesus Kristus, itulah Allah yang benar, yang harus
disembah. Tatkala ke kaisaran makin lemah dengan terancam oleh
serangan-serangan musuhnya, orang pun menyangka bahwa dewa-
dewa menjadi murka karena kedurhakaan orang Kristen, yang tidak mau
turut berbakti kepadanya. 2. Penghambatan baru. Sebab itu kaisar-
kaisar mulai pula menganiaya orang-orang Kristen. Penghambatan ini
dimulai oleh Decius (249-251); sekarang bukan lagi dengan maksud
untuk menguji kesetiaan orang Kristen terhadap negara, melainkan
untuk mendapat kembali anugerah dewa-dewa dan untuk menjamin
ketenteraman negara untuk waktu yang akan datang. Penghambatan ini
dilakukan di seluruh kekaisaran. Pun segala orang yangbukan pejabat
diwajibkan membawa korban kepada dewa-dewa negara, di antaranya
juga kepada kaisar. Tidaklah mengherankan bahwa banyak orang Kristen
menjadi murtad atau mencoba memberi uang suap kepada imam imam
kafir, supaya mereka mendapat sepucuk surat kesaksian bahwa mereka
itu telah mempersembahkan korban dupa di atas mezbah kaisar. Tetapi
ada pula banyak saudara yang tetap setia, kendati pun mereka disiksa
sebengis bengisnya. Mereka dinamai "Confessores" (pengaku-pengaku).
Ingatlah jemaat Carthago di bawah pimpinan Cyprianus. Berkat
pertolongan Tuhan, maka Gereja tak kalah; sebaliknya segala ikhtiar
kaisar untuk membasmi umat Kristen gagal belaka. Begitu pun
penganiayaan di bawah Valerianus (257-258) tidak berhasil. Beribu-ribu
orang murtad, kemudian sangat menyesal, lalu mohon diterima pula
dalam jemaat. Gereja menjadi lebih kuat lagi, bahkan Injil mulai masuk
ke dalam istana kaisar, di kalangan tentara dan golongan orang
bangsawan. Sekarang negara harus memilih, atau membasmi Gereja
atau mengaku kalah dan masuk Kristen. Jalan pertama dicoba lagi oleh
Diocletianus, tetapi tak berhasil. Kaisar Constantinus Agung mengerti
bahwa jalan kedua itu lebih baik. 3. Puncak dan berakhirnya
penghambatan. Penghambatan yang terhebat dalam sejarah Gereja
dilakukan oleh kaisar Diocletianus dan penggantinya, Galerius, dari
tahun 303 sampai 311. Untuk mencapai persatuan agama dan politik
maka kaisar-kaisar ini mengambil tindakan-tindakan yang keras.
Perwira-perwira dan pegawai Kristen dipecat, semua penduduk Kristen
kehilangan haknya, budak-budak Kristen tidak diberi kemungkinan lagi
untuk mendapat kemerdekaannya kembali. Banyak gedung gereja
dirusakkan, milik dan harta jemaat disita, buku-buku Gereja dan Alkitab
banyak dibakar. Dengan janji yang muluk-muluk, ancaman dan siksaan
maka dicoba untuk menjatuhkan pemimpin-pemimpin Gereja, terutama
uskup-uskup. Akhirnya tak terhitung banyaknya orang Kristen yang
ditangkap, disiksa dan dibunuh. Namun Gereja tidak binasa juga.
Mengenai pengajaran dan kebaktian, Gereja memang banyak
dipengaruhi oleh dunia, tetapi untuk membawa korban kepada dewa-
dewa negara, ia sama sekali tidak mau. Dalam hal ini kita harus
menghormati Gereja itu. Akhirnya sewaktu menemui ajalnya, Galerius
memberi perintah untuk menghentikan penghambatan yang tak berhasil
itu. 4. Constantinus Agung. Akhirnya tibalah masa yang baik bagi Gereja,
ketika Constantinus merebut takhta sesudah mengalahkan lawannya
Maxen. Tius dekat Roma pada tahun 312, sehingga ia memerintah
kekaisaran Romawi bagian barat. Masyhurlah cerita bahwa sebelum ia
memulai pertempurannya, Constantinus mendapat suatu penglihatan,
yakni sebuah salib yang gemilang di udara dengan tulisan ini:
“Menanglah dengan perantaraan tanda ini”. Walaupun hikayat ini
barangkali tak benar, tetapi ada banyak bukti bahwa Constantinus telah
masuk Kristen kira-kira pada tahun 312 (dia baru di baptiskan menjelang
hari ajalnya tahun 337). Tiada lama kemudian iparnya, Licinius, merebut
kuasa di sebelah timur kekaisaran itu. Kedua-duanya mengeluarkan
“Edik (putusan) Milano” pada tahun 313, di mana ditetapkan, bahwa
Gereja mendapat kebebasan sepenuh-penuhnya, bahkan segala milik
yang telah dirampas oleh negara, harus dikembalikan atau dibayar.
5.
6. Mulai saat itu ada perdamaian antara Gereja dengan negara, bahkan
kaisar-kaisar mengharapkan bantuan dan berkat dari pihak Gereja untuk
keamanan dan kemajuan negara. Lama-kelamaan kedudukan Gereja ber
tambah kokoh dan penting lagi. Gereja bukan saja dibiarkan, bahkan
diberi berbagai-bagai hak dan keuntungan (umpamanya: hak menerima
warisan, sokongan uang untuk membangun gedung-gedung Gereja,
undang-undang mengenai penyucian Hari Minggu). Hal ini mulai setelah
Constantinus mengalahkan Licinius pada tahun 324 dan seluruh kuasa
ada dalam tangan nya. Tetapi barulah pada tahun 380 Gereja diresmikan
menjadi Gereja-negara oleh kaisar Theodosius.

Anda mungkin juga menyukai