Anda di halaman 1dari 6

MATERI PERTEMUAN 14 : (30 Nov)

PENGANTAR PERJANJIAN BARU:


DUNIA YUNANI-ROMAWI
(Segi sosio-keagamaan dan orang-orang
Yahudi di dunia Yunani-Romawi)
Materi kuliah ini terdiri dari dua nomor yakni e dan f. Mengapa demikian? Karena pertemuan
sebelumnya (pertemuan 13) berbicara tentang dunia Yunani Rromawi no a-d. Maka e dan f
adalah kelanjutannya.

DUNIA YUNANI-ROMAWI
e. Dari segi sosio-keagamaan

Di bawah satu payung, negara Roma tidak hanya mempersatukan berbagai bangsa dan
kebudayaan, tetapi juga macam-macam dan aliran kepercayaan. Di bidang ini pun situasinya
serba majemuk.
Masyarakat Yunani-Romawi merupakan suatu masyarakat beragama. Paling-paling
suatu gelintir intelektual yang skeptis dan agak ateis. Tentu saja bukan ateisme modern.
Intelektual yang skeptis terhadap agama-agama, toh l.k. religius juga. Hanya pada zaman
Perjanjian Baru pada umumnya ada tendensi kuat untuk mencampuradukan segala sesuatu.
Kebudayaan Yunani membawa serta suatu sinkretisme religius.
Sebab di bidang agama masyarakat dan juga negara sangat toleran. Negara dapat
meyerap segala sesuatu, asal tidak mengancam kesatuan politis kultural negara. Ciri religius
masyarakat pada zaman Perjanjian Baru terbukti oleh banyaknya kuil yang terdapat di setiap
kota dan dibangun oleh kota, penguasa ataupun swasta. Para penguasa seolah-olah di bidang
ini berlomba-lomba, tentu saja juga dengan maksud mengabdikan diri dan memperindah kota.
Kuil-kuil itu didirikan untuk memuja segala macam dewa-dewi dari seluruh pelosok dunia. Dewa-
dewi di lain tempat, seolah-olah hanya satu dewa atau dewi dengan macam-macam nama.
Selain dari itu agama kerap kali tercampur takhyul, ilmu sihir, astrologi dan kedudukan. Pokoknya:
semuanya serba kabut, tanpa pandangan atau ajaran jelas tegas. Setiap orang atau kelompok
orang atau kota oleh memilih dan nyatanya memilih dewa-dewi sendiri yang paling dipuja. Kalau
dikecualikn agama Yahudi (dan kristen) tidak satu pun agama yang menyatakan dirinya satu-
satunya yang tepat, apalagi satu-satunya yang “benar”.
Ada agama negara. Berarti sejumlah dewa-dewi khusus secara resmi dipuja oleh negara.
Berarti utamanya, kepala dunia kedewataan, ialah Yupiter yang disamakan dengan dewa utama
Yunani, Zeus. Dewa-dewi lain yang secara resmi dihormati a.l. Mars, Neptunus, Mercurius, Yuno,
Vespa d.l.l. Bagi tiap-tiap dewa-dewi, kecuali Yupiter, ada bidang hidup khusus yang menjadi
urusannya. Ibadat (upacara korban) diselenggarakan secara teratur oleh negara dan dibiayai oleh
negara. Kaisar sendiri menjadi Pontifex Maximus, Imam Agung tertinggi. Ia dibantu/diwakili oleh
imam-imam besar lain dan sejumlah imam biasa dan petugas-petugas lain. Semua menjadi
pegawai negeri. Tetapi agama negara yang pada zaman Perjanjian Baru menjadi semakin
penting ialah pemujaan kaisar dan ibukota Roma yang didewakan. Berarti: negara sendiri
didewakan. Pemujaan kaisar (dan Roma) tentu saja tidak asli Romawi. Cukup lama malah
dilawan. Sebaliknya di kawasan timur negara para raja sudah lama dianggap dan dipuja sebagai
dewa atau penjelmaan dewa atau keturunan dewa. Paling tidak setelah meninggal dipuja dan
dihormati sebagai dewa atau setengah dewa.
Setelah kawasan timur itu deserap oleh negara Roma, maka pemujaan dan pendewaan
raja-raja dipindahkan kepada kaisar Roma. Mula-mula kaisar-kaisar itu sendiri tidak condong ke
arah itu, malah menertawakan pemujaan itu. Tetapi mereka membiarkan saja dirinya dipuja
sebagai dewa di kawasan timur atas dasar pertimbangan politik.
Langkah berikut ialah: kaisar-kaisar setelah mangkat secara resmi dinyatakan (oleh senat
di Roma) sebagai termasuk kalangan para dewa dan patut dipuja. Jarang sekali seorang kaisar
yang masih hidup menuntut dirinya dipuja sebagai dewa (Caligula yang setengah gila,
Domitianus). Umumnya mereka membiarkan rakyat (dan pegawai-pegawai) memuja mereka
sebgai dewa. Biasanya mereka hanya menganjurkan supaya kaisar-kaisar dari zaman dahulu
dipuja.
Pegawai-pegawai setempat, terutama di kawasan timur, kerap kali lebih rajin daripada
pusat. Mereka condong mengartikan pemujaan kepada kaisar yang hidup dan ibukota Roma,
sebagai tanda bukti kesetiaan kepada negara.
Sudah barang tentu boleh dipertanyakan sejauh mana kaisar benar-benar lebih dianggap
“dewa” oleh orang yang terdidik. Gelar “Tuhan” dan “Allah” yang memang diberi, tidak terlalu jelas
isinya. Boleh jadi pemujaan itu pada dasarnya hanya mau menonjolkan kaisar sebagai kepala
negara, sehingga ibadat kepadanya lebih bersifat sipil kenegaraan daripada religius/keagamaan.
Kaisar diakui sebagai instansi tertinggi dalam rangka negara. Negara itu sendiri dianggap sebagai
semacam cerminan dari dunia ilahi. Kuasa negara itu seolah-olah menjelma dalam kepala
negara. Atas dasar itulah kuasa kepala negara menjadi semacam penjelmaan dari kekuasaan
ilahi dan wewenang tertinggi. Semuanya itu tentu saja bukan asli Romawi, tetapi akibat dari
pengyunanian.
Pemujaan kaisar dan Roma sebenarnya diajukan terutama atas dasar pertimbangan
politis. Berarti: demi persatuan dan kemantapan negara. Dewa-dewi Roma dulu semakin
kehilangan dampaknya. Pemujaan kaisar dan Roma menjadi pengganinya. Di bagian timur
negara juga menjadi cukup populer. Akhirnya pemujaan itu menjadi tanda bukti kesetiaan kepada
negara. Menolaknya berarti: mengkhianati negara. Karena itu pemujaan kaisar akhirnya menjadi
batu ujian dalam bentrokan antara umat Yahudi dahulu dan kemudian juga umat Kriten dengan
negara Roma. Konflik itu dari segi negara sebenarnya suatu konflik politis.
Sebab asal orang secara formal mau beribadat kepada kaisar dan Roma, negara di
bidang religius toleran sekali. Jarang sekali negara campur tangan dalam urusan agama-agama
setempat, meskipun agama itu biasanya paling populer. Agama-agama itu sungguh berkerumun.
Untuk segala macam keperluan hidup sehari-hari tersedia dewa-dewi pelindung yang khusus. Di
mana-mana terbentuk kumpulan dan serikat yang secara khusus memuja salah seorang dewa
atau dewi. Dewa yang pada zaman Perjanjian Baru paling merakyat ialah Dionysos, yang oleh
orang-orang Roma disebut Bacchus. Ibadat kepadanya disertai arak-arakan yang agak tidak
keruan dan beragai macam keterlaluan. Ibadat itu kadang-kadang menjengkelkan orang terdidik,
tetapi didukung oleh orang-orang terkemuka (termasuk kaisar) juga. Mereka hanya mencoba
memperhalus ibadat yang cukup kasar dan liar itu. Pementasan drama pada pemujaan Dianysos.
Perayaan keagamaan kerap kali disertai pesta olah raga pula, perlombaan dan pertandingan.
Negara hanya mengadakan semacam pengawasan atas agama-agama untuk mencegah
keterlaluan dan kerusuhan. Kalangan para cedekiawan pada zaman Perjanjian Baru kerap kali
tidak amat beragama lagi. Mereka menghina dan menertawakan agama rakyat yang dinilai
sebagai takhayul belaka. Mereka malah condong menolak adanya dewa-dewi, meskipun rela
menerima bahwa ada sesuatu yang ilahi, yang hanya satu saja. Entahlah bagaimana yang ilahi
dipikirkan.
Pada zaman Perjanjian Baru kawasan negara Roma mulai dimasuki macam-macam
agama baru. Dunia Yunani-Romawi seolah-olah dilanda pembaharuan semangat keagaman
yang hebat sekali. Ada semacam kerinduan umum akan pembaharuan religius yang mencari
bentuk baru dan segar. Agama-agama yang menawarkan diri itu melayani kebutuhan dan
kerinduan yang tidak menentu itu. Karenanya agama-agama baru itu mendapat tanggapan luas.
Agama-agama baru itu biasanya disebut “misteri”. Masing-masing mempunyai upacara-
upacara khusus dan sebagian besar datang dari bagian timur negara dan dari negeri Mesir.
Pengikut agama-agama itu membentuk kelompok-kelompok kecil yang rahasia dan agak
tertutup. Tetapi pada prinsipnya orang dari segala lapisan masyarakat dapat masuk, asal
memenuhi syarat. Namun agama yang satu lebih laku di kalangan ini dan agama lain di kalangan
itu. Untuk masuk kelompok-kelompok itu dan menjadi peserta dalam hal ihwal dewa atau dewi
yang dipuja, orang mesti menempuh upacara pemasukan khusus. “Agama-agama misteri” itu
sebenarnya banyak sekali dan kurang diketahui. Biasanya agama-agama itu tidak lain kecuali
agama rakyat kuno yang sedikit diyunanikan. Agama itu mempunyai ciri emosional, hangat dan
mistik. Itulah sebabnya mengapa agama-agama itu dapat menarik banyak orang yang tidak
merasa puas dengan agama-agama resmi serta ibadatnya yang formal, kurang berisi dan kurang
berbobot. Kecuali itu agama-agam baru itu kadang-kadang menjanjikan semacam keselamatan
dan hidup kekal, entah bagaimana itu dipikirkan.
Meski masyarakat Yunani-Romawi enar-benar masyarakat beragama, namun demikian
suasana umum pada zaman Perjanjian Baru agak pesimis dan fatalis. Sebab kekuasaan yang
sungguh tertingi bukan kaisar atau negara atau dewa-dewi, melainkan suatu kuasa tak berpribadi
dan buta. Kuasa itu oleh orang-orang Roma disebut “Fatum”, dan oleh orang Yunani “moire”,
ialah “nasib”. Nasib itulah akhirnya menentukan segala sesuatu, ada di luar jangakauan manusia
dan dewa-dewi. Nasib itu tidak dapat diatur atau dimanipulasikan.
Hidup moral, tata susila, tidak mendapat banyak dukungan dari berbagai macam agama.
Hanya beberapa agama “misteri” dapat dikecualikan, sebab mengajak para peserta untuk hidup
baik. Umumnya agama-agama berciri “amoral”. Cetera-ceritera di sekitar dewa-dewi serta ulah-
ulahnya bukanlah ceritera-certiera yang membina moral yang sehat. Meskipun pada rakyat tetap
banyak orang yang rasa susila serta kelakuannya sehat, namun terutama di kalangan atas dan
di kota moral pada zaman Perjanjian Baru merosot sekali dan bejat. Hukum-hukum negara tidak
berhasil membendung kemersotan itu. Hanya keburukan itu tidak begitu saja dapat diratakan atas
seluruh masyarakat. Seperti ada cukup banyak orang yang benar-benar saleh, demikian tetap
ada orang-orang, juga di kalangan atas, yang mempertahankan norma-norma moral yang sehat.
Tidak boleh dikatakan bahwa moralitas masyarakat Yunani-Romawi rata-rata lebih rendah
daripada moral masyarakat moderen masa kini.
Penegak dan pendukung tata susila yang agak luhur dan tinggi ialah beberapa aliran
filsafat (sekaligus seni sastra). Aliran yang paling tersebar pada zaman Perjanjian Bari ialah
mazhab Stoa. Cita-cita moral mazhab ini ialah: manusia dapat dan perlu membebaskan diri dari
segala hawa nafsu yan tidak teratur, sehingga benar-benar merdeka dan kebal terhadap segala
pengaruh buruk dari luar. Orang bisa merdeka benar, bagaimanapun keadaan ekonomi atau
sosialnya. Seorang budak dapat secara batiniah bebas seluruhnya. Keadaan lahiriah memang
tidak perlu diperhitungkan. Menurut mazhab Stoa semua manusia seharga dan senilai dan
sesama saudara. Perlulah manusia mengatur hidup dan kelakuannya sesuai dengan akal sehat,
sesuai dengan jagat raya yang serba teratur dibimbing oleh akal ilahi.
Manusia dengan akal budinya menjadi peserta dalam akal ilahi itu. Maka manusia
seharusnya menjadi orang yang baik dan bijaksana dan begitulah menjadi bahagia dan berkenan
pada yang ilahi. Penganut-penganut mazhab Stoa dan mazhab yang berdekatan (Sinisme)
berkeliling ke mana-mana menyebarkan ajarannya, mendidik dan membina rakyat. Pikiran
mazhab Stoa dengan jalan itu dan dengan bentuk populer yang sangat praktis tersebar di mana-
mana.

f. Orang-orang Yahudi di dunia Yunani-Romawi

Sudah barang tentu di dalam negara Roma yang raksasa dan serba majemuk itu bangsa
Yahudi hanya suatu minoritas kecil. Tetapi dalam Perjanjian Baru justeru merekalah yang
memagang peranan penting. Dan demikian halnya tidak hanya di tanah Palestina (yang melatar-
belakangi Injil), tetapi juga di luar daerah itu. Sudah dikatakan semua bahwa agama dan umat
Kristen berpangkal pada masyarakat dan agama Yahudi. Maka selayaknya bangsa Yahudi pada
zaman Perjanjian baru diperhatikan secara khusus.
Pada zaman itu bagian terbesar bangsa Yahudi tinggal di luar negerinya sendiri. Itu
biasanya disebut “perantauan”, atau “diaspora”. Secara emosional Palestina tetap dianggap
“tanah air”, meskipun orang-orang Yahudi sudah lama tinggal di negeri-negeri lain, turun-
temurun. Diperkirakan bahwa pada zaman Perjanjian Baru sekitar 5.000.000 orang Yahudi
tinggal di perantauan, padahal di Palestina sendiri paling-paling 3.000.000. Mereka berkelompok
terserak-serak di seluruh negeri Roma, tetapi terutama di kawasan timur. Di setiap kota yang
penting terdapat sekelompok orang Yahudi. Sebagian terpaksa menetap di situ. Palestina, negeri
yang kecil sekali, agak sempit dan kerap kali dilanda perang. Banyak orang mencari nafkahnya
di luar negeri dan banyak pula yang sebagai tawanan perang dijual di luar negeri menjadi budak.
Kemudian boleh jadi mereka dimerdekakan, namun tetap tinggal di tempat. Maka orang-orang
Yahudi di luar negeri tinggal di situ sebagai tukang, usahawan, pedagang, budak dan prajurit
serta pegawai kecil. Sekelompok besar tinggal di Mesir, khususnya di kota Alexandria. Kota itu
malah menjadi semacam pusat kedua bagi bangsa Yahudi. Juga di kota Roma tinggal
sekelompok yan agak besar.
Orang-orang Yahudi di luar negeri biasanya tinggal bersama-sama membentuk jemaat-
jemaat agak besar. Meskipun cukup banyak ketegangan dan perkelahian intern, namun mereka
terhadap orang luar saling mendukung. Kelompok-kelompok itu mempunyai sebuah gedung
khusus yang disebut “sinagoga”. Gedung itu tempat beribadat, tetapi juga tempat di mana
macam-macam masalah dibicarakandan diputuskan. Oleh negara Roma biasanya mereka
diizinkan mengurus dirinya sendiri dalam soal-soal khusus Yahudi. Karena itu kelompok-
kelompok Yahudi itu mempunyai “badan pengurus” sendiri, dengan ketua dan suatu dewan orang
terkemuka. Dalam batas tertentu badan pengurus itu dapat memutuskan perkara pidana dan
perdata yang hanya menyangkut orang-orang Yahudi. Perkara-perkara macam itu ditangani oleh
suatu pengadilan Yahudi.
Tentu saja kedudukan jemaat-jemaat Yahudi dalam tata hukum negara tidak menentu.
Secara dasariah tidak teratur. Banyak tergantung pada sikap dan perasaan pejabat yang
berkuasa. Terutama kaisar yang sedang menjabat menentukan. Maka kedudukan itu terus
berubah. Tetapi pada umumnya sikap penguasa cukup lunak dan toleran terhadap segala macam
kelompok minoritas. Kelompok-kelompok Yahudi malah kadang-kadang mendapat pelbagai hak
istimewa dan pengecualian dari hukum umum.
Hubungan atnara kelompok-kelompok Yahudi dengan Yerusalem tetap erat dan lancar.
Setiap laki-laki dewasa harus membayar pajak tahunan bagi keperluan Bait Alah. Pemerintah
biasanya menyetujui pajak itu. Dan kebanyakan orang Yahudi rela membayar pajak itu, meskipun
tidak semua kaya raya. Selebihnya laki-laki (dan juga orang-orang lain dari keluarga) secara
teratur berziarah ke Yerusalem, ke kota suci utuk beribadat. Amat banyak orang taat kepada
kewajiban itu. Di muka sudah dikatakan bahwa orang-orang Yahudi dalam hal agama di bawah
wewenang Sanhedrin di Yerusalem. Hanya di kalangan orang-orang Yahudi di luar negeri muncul
juga suatu tendendis untuk mengurangi nilai dan pentingnya Bait Alah serta ibadatnya.
Kelompok-kelompok orang Yahudi di luar negeri umumnya menerima kebudayaan dan
bahasa Yunani dan menyesuaikan diri. Tentu saja sejauh diizinkan agama Yahudi. Sebab
umumnya mereka tetap setia pada agama nenek moyangnya dan Hukum Taurat. Sedikit saja
yang murtad seluruhnya. Orang Yahudi yang menerima kebudayaan Yunani serentak menyerap
alam pikiran Yunani. Tentu saja pengyunanian itu tidak di mana-mana sama luasnya dan
mendalam. Yang paling jauh dalam penyesuaian itu ialah kelompok besar orang Yahudi di
Alexandria. Di sana mereka membentuk semacam “kota” di dalam kota dan rajin mengalihkan
kepercayaan Yahudinya ke dalam alam pikiran dan filsafat Yunani. Mereka malah turut
mengembangkan kebudayaan Yunani melalui misalnya karya sastra yang berbobot. Di tempat-
tempat lain penyesuaian tidak maju sejauh itu. Tetapi hampir di mana-mana orang-orang Yahudi
menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Ini paling nampak dalam kenyataan bahwa hampir
tidak ada yang tahu bahasa Ibrani atau Aram. Semua berbahasa Yunani.
Akibat hubungan erat dengan kebudayaan Yunani yang diserap, pengahayatan agama
Yahudi di perantauan cukup berbeda dengan penghayatan yan paling menonjol di Palestina.
Orang Yahudi di perantauan tidak begitu merepotkan diri dengan tradisi nenek moyangnya
seperti yang dipertahankan kaum Farisi di Palestina. Meskipun kaum Farisi menyebarkan
pandangannya juga di perantuan, namun mereka tidak mendapat banyak angin. Orang-orang
Yahudi di luar negeri jauh lebih terbuka daripada yang di Palestina. Meskipun tetap setia kepada
agamanya, namun orang-orang di perantauan bermentalitas Yunani. Sana-sini mereka malah
mencampukan unsur-unsur asing dari agama-agama dan pikiran-pikiran lain dengan agamanya
sendiri. Dengan lain perkataan: tendensi sinkretis juga menyusup ke dalam kelompok-kelompok
Yahudi di perantuan. Tetapi kalau masyarakat Yahudi di Palestina sudah tidak seragam, apalagi
masyarakat Yahudi di luar negeri.
Di lain pihak orang-orang Yahudi di perantauan umumnya tidak pernah seluruh-nya
diserap oleh lingkunganya. Berdasarkan agamanya mereka berhasil mempertahankan
identitasnya sendiri. Meskipun suatu minoritas kecil, namun mereka sekali-kali tidak merasa
“minder”. Sebaliknya, karena iman kepercayaan dan moralitas yang tinggi mereka merasa
superior terhadap “kaum kafir” di sekitarnya.
Pada zaman Perjanjian Baru mereka malah rajin menyebarkan agamanya di kalangan
kaum kafir. Usaha itu mendapat tanggapan yang cukup positif. Sejumlah orang bukan Yahudi
mengagumi Tauhid Yahudi dan tata susila yang luhur. Tidak sedikit malah menggabungkan diri
dan ikut serta dalam ibadat di sinagoga-sinagoga Yahudi. Hanya banyak laki-laki segan terhadap
sunat yang menjadi syarat seluruhnya masuk Yahudi.
Karena itu hanya sedikit yang seluruhnya masuk. Mereka disebut “proselytes” (penganut
agama Yahudi). Kebanyakan tinggal “simpatisan” saja (yang takut akan Allah). Mereka menerima
Tauhid, ikut serta dalam ibadat di sinagoga dan melaksanakan sebagian dari Hukum Taurat.
Khususnya perempuan-perempuan tertarik dan mereka tidak terahalang oleh sunat sebagai
syarat.
Tetapi hubungan kelompok-kelompok Yahudi di perantauan dengan linkungannya tidak
selalu lancar. Malah hubungan itu dapat tegang. Kelompok-kelompok Yahudi meskipun
bekebudayaan Yunani, toh tetap tinggal kelompok-kelompok yang agak tertutup dan eksklusf,
menempuh jalannya sendiri. Oleh negara kedudukan itu diterima dan umumnya dilindungi hukum.
Orang-orang Yahudi kerap kali diberi berbagai hak istimewa dan pengecualian dari hukum umum.
Pengecualian utama ialah: Orang-orang Yahudi tidak perlu ikut serta dalam ibadat kepada dewa-
dewi negara dan kota dan kepada kaisar. Itu berarti bahwa mereka tidak ikut serta dalam upacara-
upacara nasional. Mereka pun dibebaskan dari wajib milter. Hanya mereka tidak diberi hak
kewarganegaraan (ada kekecualian) dan hak warga kota. Mereka tetap orang asing. Beberapa
kali orang-orang Yahudi memperjuangkan kewarganegaraan, tetapi tidak berhasil.
Karena kedudukannya yang khas tersebut, kelompok,kelompok Yahudi di perantauan
berulang kali menimbulkan rasa jengkel kepada orang-orang bukan Yahudi di sekitarnya. Macam-
macam hak istimewa dan pengecualian yang diberikan kepada mereka menimbulkan rasa iri hati
dan dengki. Selebihnya karena gaya hidup menurut aturan agamanya mereka dirasakan “aneh”,
menyimpang dari tata cara umum. Aturan-aturan agama mereka (Hukum Taurat) tidak dipahami.
Dengan tidak ikut serta dalam upacara-upaca umum mereka nampaknya menyendiri. Mereka
dianggap penuh takhayul, kotor, bodoh, terbelakang dan bermusuhan dengan umat manusia,
malah makan daging manusia. Mereka dituduh sebagai “ateis” (oleh karena tidak memuja dewa-
dewi dan kaisar dan sebagainya). Untuk orang-orang banyak kelompok-kelompok orang Yahudi
nampak sebagai kelompok yang beragama asing dan aneh, di samping sekian banyak agama
aneh dan takhayul yang datang dari sebelah timur.
Perasaan anti Yahudi yang tersebar luas kadang kala meledak. Berulang kali mereka
menjadi sasaran kekerasan dan penganiayaan. Tetap karena rasa superiornya orang-orang
Yahudi sendiri juga kadang-kadang bertindak dengan cara menimbulkan dan membakar
kebencian dari pihak orang-orang di sekitarnya. Habis pemberontakan pada tahun 66-70 M,
bangsa Yahudi menjadi juga sasaran rasa curiga dari pihak pemerintah.
Karena kaitannya yang erat dengan masyarakat Yahudi, orang-orang dan jemaat-jemaat
Kristen kena juga rasa anti Yahudi. Macam-macam prasangka, tuduhan, fitnah dan ceritera
tenang orang Yahudi yang beredar dalam masyarakat luas begitu saja dipindahkan kepada
orang-orang Kristen juga. Rasa anti Yahudi Kristen itu sangat diperkuat oleh perang Yahudi
tersebut.
Sudah barang tentu merambatnya agama Kristen di dunia Yunani-Romawi sangat
ditunjang oleh adanya kelompok-kelompok orang Yahudi. Di sekitar kelompok-kelompok itu
masih ada sejumlah orang yang bersimpati dengan keyakinan Yahudi. Hanya banyak orang
terhalang aturan-aturan Hukum Taurat. Agama Kristen, yang berdekatan dengan keyakinan
Yahudi itu, tidak lama setelah memasuki dunia Yunani-Romawi itu justru mencabut halangan
terbesar itu. Begitu pintu terbuka bagi apa yang diharapkan orang-orang Yunani dari iman
kepercayaan Yahudi.
Jemaat-jemaat Kristen mula-mula terutama menarik orang-orang yang bersimpati dengan
agama Yahudi itu, dan jemaat-jemaat itu berpangkal pada kelompok-kelompo Yahudi. Tetapi
kemudian jemaat-jemaat Kristen itu semakin melepaskan diri. Unsur-unsur Yahudi semakin
berkurang, sampai jemaat-jemaat itu menjadi jemaat orang Yunani saja. Ciri Yahudi praktis hilang
jemaat-jemaat itu. ***

Anda mungkin juga menyukai