Anda di halaman 1dari 7

MATERI PERTEMUAN 12 : (16 Nov)

PENGANTAR PERJANJIAN BARU: DUNIA


YAHUDI (Segi sosio-religius)
BAHAN KULIAH DARING PERTEMUAN KE-12 tgl 16 Nov 2020
Pada pertemuan-12 ini kita mulai membahas Pengantar Perjanjian Baru, khususnya
Dunia Yahudi segi dari segi sosio-religius

PENGANTAR PERJANJIAN BARU


1. DUNIA YAHUDI

d. Dari segi sosio-religius


Selanjutnya orang-orang Samaria tidak diuraikan lebih lanjut. Perhatian ditujukan
kepada masyarakat Yahudi, di daerah Yudea dan Galilea.

Masyarakat Yahudi yang serba majemuk


Masyarakat Yahudi yang beragama pada zaman Perjanjian Baru bukanlah suatu
masyarakat seragam. Agama Yahudi memang bukan agama ‘ajaran”. Pada pokoknya hanya ada
dua “ajaran” atau “dogma”. Yang utama ialah Tauhid. Hanya ada satu Allah yang Mahaesa, Allah
Israel. Dalam hal ini bangsa yahudi berbeda sekali dengan lingkungannya. Semua bangsa di
sekitarnya memuja pelbagai dewa-dewi, entahlah bagaimana dipikirkan. Pokok ajaran yang
kedua ialah kepilihan Israel. Keyakinan itu pada dasarnya membuat orang Yahudi merasa diri
“lebih” dari bangsa-bangsa lain.
Agama Yahudi terlebih suatu prakrek. Yang dipentingkan ialah upacara-upacara
keagamaan dan kelakuan sesuai dengan Hukum Taurat, Hukum Musa.
Tetapi di bawah payung yang satu itu bisa diterima perbedaan sikap dan kelakuan yang
berlainan. Dalam Perjanjian Baru ditemukan macam-macam golongan dan kelompok. Ada
“Farisi” dan “ahli-ahli Taurat/Kitab”. Ada “imam-imam”, yakni imam besar “Saduki” dan “Herodian”.
Di antara pengikut-pengikut Yesus sendiri terdapat seorang yang diberi gelar “Zelot” (Luk 6:15;
Kis 1”13). Tetapi Perjanjian Baru tidak menyebut semua golongan dan kelompok yang pada
zaman itu berperan. Sebab masih ada kelompok-kelompok yang tidak tampil dalam Perjanjian
Baru.

Para “rohaniwan”

Petugas Bait Allah


Sebelum th. 70 Mas. agama Yahudi berpusat pada Bait Allah di Yerusalem. Di sana saja
dapat diselenggarakan ibadat korban dan berbagai upacara lain. Ibadat itu meriah sekali dan
diselenggarakan oleh para rahoniwan. Maka mereka pada pokoknya petugas ibadat, meskipun
menangani juga berbagai tugas lain.
Bait Allah serta ibadatnya yang meriah yang ditangani oleh petugas tersebut merupakan
jantung bangsa dan agama Yahudi. Ke sana secara teratur semua laki-laki dewasa (berusia 12
th.) wajib berziarah. Dengan jalan itu persatuan bangsa terus diperkuat berdasarkan iman kepada
Allah Yang Mahaesa. Meskipun sana sini ada orang Yahudi, khususnya di luar negeri, yang
kurang menghargai gedung material, namun rakyat pada umumnya secara emosional sangat
terikat pada Bait Allah ( dan Yerusalem).
Bait Allah serta para petugasnya tidak hanya berperan sebagai tempat beribadat. Tempat
itu pun memegang peranan ekonomis yang kuat. Bait Allah mempunyai banyak dana dan milik-
milik lain yang perlu dikelola semestinya. Hanya perlu diperkirakan sebentar bahwa semua laki-
laki Yahudi di seluruh dunia mesti membayar semacam pajak tahunan bagi Bait Allah. Pajak itu
disetujui pemerintah Roma. Selebihnya para petugas Bait Allah itu memungut bagian
sepersepuluhan dari hasil bumi dan peternakan. Orang saleh tentu saja senang memberi hadiah
dan wakaf. Dengan demikian Bait Allah mempunyai kekayaan besar. Bait Allah berperan sebagai
semacam “bank tabungan” dan “bank kredit”. Dengan lain kata: Bait Allah menjadi pusat
keuangan.
Para petugas Bait Allah dibagi menjadi dua macam, yaitu: para imam dan kaum Lewi.
Para imam berwenang menyelenggarakan ibadat korban. Kaum Lewi menjadi pembantu mereka
dan menangani berbagai tugas lain. Mereka misalnya menjadi polisi Bait Allah, pemain musik
dan penyanyi. Jabatan imam dan Lewi berupa warisan yang dari ayah beralih kepada anak laki-
laki (perempuan tidak dapat menjabat imam atau Lewi). Tentu saja ada upacara pelantikan, tetapi
pada dasarnya jabatan itu warisan keluarga. Para imam mesti (dianggap) keturunan Harun
melalui Zadok. Jumlah imam dan kaum Lewi banyak sekali. Dikirakan bahwa pada zaman
Perjanjian Baru jumlahnya sekitar 18.000 di Palestina. Tidak semua menjalankan jabatannya.
Para imam terbagi atas 24 kelompok. Kelompok-kelompok itu bergiliran selama satu
pekan menyelenggarakan ibadat di Bait Allah. Mereka tidak semua tinggal di Yerusalem, tetapi
terserak-serak di seluruh negeri. Kalau tidak bertugas mereka menangani salah satu pekerjaan
lain untuk menambah nafkah. Kerap kali merekalah yang dalam sinagoga (rumah ibadat)
membacakan dan menerangkan Kitab Suci.

Imam Besar dan imam-imam kepala


Para imam membentuk suatu kelompok sosial tersendiri. Namun secara sosial tidak
setingkat. Ada kalangan atas dan ada kalangan bawah. Kalangan bawah itu kerap kali termasuk
kaum miskin, bahkan boleh jadi melarat. Antara kedua “kelas” itu ada ketegangan, malah
permusuhan. Kalangan atas para imam, katakan saja: aristokrasi, terbentuk oleh imam besar
(dan bekas imam-imam besar) serta “imam-imam kepala”.
Imam besar (hanya satu yang menjabat) menjadi kepala imam dan Bait Allah. Ia
mempunyai wewenang tertinggi. Dan tidak hanya di bidang ibadat dan agama. Di dalam bangsa
Yahudi sehubungan dengan urusan intern, imam besar menjadi jabatan tertinggi. Karenanya ia
memegang peranan politis juga. Mengingat kekayaan Bait Allah imam besar juga mempunyai
peranan ekonomis.
Karena kedudukannya itu imam besar pada zaman Perjanjian Baru diawasi dengan ketat
oleh penguasa politk, entah raja-raja (Herodes Agung serta keturunannya), entah wali negeri
Roma. Pada kenyataannya imam besar dipilih, diangkat dan, kalau dianggap perlu, dipecat oleh
penguasa negara. Dengan lain perkataan: jabatan imam besar pada zaman Perjanjian Baru
menjadi pertaruhan permainan politis dan boneka di tangan penguasa politis. Akibatnya ialah:
para pejabat imamat besar kerap kali agak korup. Jabatan suci itu menjadi sasaran keserakahan.
Tampil dalam Perjanjian Baru sebagai imam besar: Anas ( Luk 3:2; Yoh 18:13-14; Kis 4:6);
Kayafas (Mat 26:3. 57 dsj; Yoh 11:49; 18:13 dst; Kis 4:6).
Di samping imam besar ada “imam-imam kepala”. Begitu kata Yunani diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia. Imam-imam kepala itu ialah: bekas imam-imam besar, anggota
keluarga-keluarga imam yang darinya imam besar dipilih. Termasuk pula petugas-petugas utama
di Bait Allah. Imam-imam kepala bersama dengan imam besar yang menjabat membentuk
“aristokrasi” suatu kelompok tetutup yang ada pada kenyataanya mempunyai segala kuasa yang
berarti.

Orang-orang Saduki
Para imam besar dan imam kepala itu biasanya termasuk dalam aliran yang disebut
“orang-orang Saduki”. Berulang kali mereka tampil dalam Perjanjian Baru (Mat 3:7; 16:1 dst ; 22:
23-24; Mrk 12:18; Luk 20:27; Kis 4:1; 5:17 23:6 dst). Namun itu diturunkan dari nenek moyang
mereka, yaitu Sadok.
Di bidang sosio-ekonomis para Saduki itu termasuk golongan orang yang berada. Mereka
mengelola harta benda Bait Allah, menerima bagian tertentu dari korban-korban yang
dipersembahkan di Bait Allah dan bagian sepersepuluhan yang teruntuk bagi kaum Lewi.
Akibatnya ialah para imam kalangan atas itu kerap kali juga tuan tanah, yang tanahnya dikerjakan
oleh buruh petani atau penyewa. Maka mereka nyatanya menjadi beban rakyat bagi rakyat jelata.
Kendati itu mereka dihormati oleh rakyat, yang merasa sangat terikat pada upacara-upacara yang
diselenggarakan para imam. Apa yang dikatakan Luk 2:21-24 + 39.41-42 tentang Yusuf dan
Maria serta Yesus yang beziarah ke Yerusalem untuk menjalankan segala upacara menurut
hukum Taurat, boleh dilihat sebagai gambaran rakyat jelata di Galilea. Demikian pun apa yang
diceriterakan tentang janda miskin yang memberi sumbangannya bagi pemeliharaan Bait Allah (
Mrk 12:41-44 dsj).
Di bidang agama para imam-saduki boleh dikatakan “konservatif”. Mereka hanya
menerima Taurat Musa (Pentateukh) sebagai berwibawa. Bagian-bagian lain dari Alkitab sejauh
pada zaman itu sudah umum diterima, dianggap kurang berwibawa. Khususnya kaum Saduki
menolak tradisi lisan yang disalurkan dan diperkembangkan oleh ahli-ahli Kitab dari kalangan
orang Farisi. Oleh karena hanya menerima Taurat Musa sebagai berwibawa, maka kaum Saduki
menolak kebangkitan orang mati dan adanya malaekat dan roh-roh (bdk . Mrk 12:18-27dsj; Kis
23:6-8).
Sikap politis para imam kalangan atas, kaum Saduki, agak mendua. Sebagai orang
Yahudi sejati tentu saja mereka setuju dengan adanya penguasa-penguasa asing di negeri. Di
lain pihak mereka insaf bahwa bangsa Yahudi tidak berdaya terhadap kekuasaan Roma dan raja-
raja yang didukung Roma. Maka mereka mencari suatu “modus vivendi” dengan penguasa-
penguasa negara. Keyataanya diterima saja. Oleh karena kaum Saduki mempunyai wewenang
sehubungan dengan urusan-urusan intern Yahudi, maka mereka kerap terlibat dalam catur politis.
Dan itu pun guna mempertahankan kedudukan dan wewenang mereka. Pokoknya para imam
saduki condong mempertahankan “status quo”, keadaan seadanya. Sikap “realis” itu disuarakan
dalam Injil Yohanes (Yoh 11: 49-50).
Dalam hidup sehari-hari para imam-saduki condong menyesuaikan diri dengan
kebudayaan Yunani. Tentu saja dalam rangka agamaYahudi seperti diatur oleh Hukum Musa.
Kecenderungan kepada kebudayaan Yunani itu berasal dari kedudukan sosio-ekonomis serta
politis para imam kalangan atas. Mereka pun penduduk ibukota Yerusalem yang terbuka untuk
pengaruh asing. Jadi kalau para imam-saduki di bidang agama “konservatif”, di bidang sosio-
budaya mereka “progresif”. Dalam hal ini mereka tidak terhalang oleh macam-macam tambahan
dan tafsiran atas Hukum Taurat.
Lain halnya dengan imam kalangan bawah. Mereka hidup tersebar di seluruh negeri.
Mereka kurang terhanyut oleh kebudayaan Yunani dan kebih kerakyatan serta Yahudi tradisional.

Kaum Farisi
Dalam masyarakat Yahudi aliran yang paling lebih daripada kaum Saduki ialah yang
disalurkan oleh kaum Farisi. Lingkup kaum Saduki sangat terbatas. Hanya di ibukota Yerusalem.
Pada tingkat politik paling atas saja mereka berperan. Sebaliknya, kaum Farisi pada dasarnya
termasuk kaum awam. Kalaupun ada rohaniwan tingkat rendahan yang menganut aliran mereka.
Kaum Farisi itu bukan semacam “partai” yang terorganisir. Mereka terlebih segolongan orang
yang mempunyai sikap dan pendapat sama dan pada kesempatan tertentu bisa sepakat dan
bertindak bersama. Begitu mereka juga dapat menjadi suatu kekuatan politis. Ternyata kaum
Farisi berperan dalam sejarah politis bangsa Yahudi. Namun demikian kaum Farisi terlebih wakil
dan penyalur suatu gaya hidup sosio-religius.
Dalam tradisi Kristen kaum Farisi mendapat nama jelek. Nama jelek itu terutama datang
dari Injil-injil, tetapi tidak seluruhnya sesuai dengan kenyataanya. Dalam Injil-injil kaum Farisi
tampil sebagai lawan Yesus nomor wahid. Tetapi menurut Kis 5:34 dst ; 23:9 kaum Farisi
memihak orang Kristen. Dan dari kaum Farisi juga datang tokoh seperti Paulus (Flp 3:4-6). Dan
Paulus, juga sebelum masuk Kristen, seorang yang berwatak serius, luhur dan beragama sejati.
Kecuali Paulus masih ada tokoh-tokoh lain yang pantas dikagumi dan yang dihasilkan oleh
kalangan kaum Farisi. Tokoh-tokoh yang hanya dapat dipuji karena keseriusan religiusnya. Jadi
siapa sebenarnya kaum Farisi?
Kaum Farisi dalam masyarakat Yahudi menjadi wakil sejati ke-Yahudian. Mereka taat dan
setia kepada agama. Mereka mencoba dengan jujur dan setia melaksanakan Hukum Musa.
Pada zaman Perjanjian Baru orang-orang Farisi pada umumnya tidak turun tangan di
bidang politik secara langsung. Sudah barang tentu mereka tidak menyetujui bahwa umat Allah
yang terpilih dikuasai orang asing yang kafir atau setengah kafir. Mereka hanya menerima
keadaan nyata, sebab demikian kehendak Allah. Pada saat-Nya sendiri Allah akan turun tangan.
Tidak pantas mencoba menolong Tuhan. Keadaan nyata merupakan hukum atas dosa. Saat
Allah mungkin dapat dipercepat dengan menjadi setia kepada hukum-Nya dan kepada aturan-
aturan tradisi. Untuk sementara waktu kaum Farisi tidak terlalu merepotkan diri dengan
keselamatan seluruh bangsa, tetapi terlebih dengan keselamatan tiap-tiap orang.
Maka kaum Farisi tinggal di bidang agama. Tetapi mengingat perpaduan antara
kebangsaan dan agama, maka kaum Farisi menjadi pendukung rasa nasional yang gigih.
Nyatanya identitas Yahudi sesudah th. 70 Mas. tidak diselamatkan oleh para imam dan kaum
Saduki, tetapi justru oleh kaum Farisi. Kaum Farisi tidak pernah menghasut rakyat Yahudi untuk
mengangkat senjata sebagai jalan keselamatan, namun menyelamatkannya.
Antara kaum Farisi dan Saduki ada ketegangan. Ini tidak hanya disebabkan kenyataan
bahwa kaum Farisi termasuk kaum awam. Ketegangan tersebut terlebih dikarenakan sikap yang
berbeda terhadap Alkitab, tegasnya Hukum Taurat. Kaum Saduki hanya menerima hukum tertulis
(dalam Alkitab.). Sebaliknya kaum Farisi menerima juga penerapan dan tafsiran atas Hukum
Taurat seperti yang terdapat dalam tradisi lisan yang disalurkan oleh para “penulis”, ahli-ahli Kitab
di masa lampau. Tradisi itu diterima sebagai berwibawa di samping hukum tertulis. Kaum Farisi
adalah “realis”. Mereka ingin bahwa aturan-aturan agama tetap dapat dihayati dan meresap ke
dalam kehidupan nyata dalam keadaan yang berubah-ubah. Ini tidak mungkin kalau hukum yang
tertulis sekian ratus tahun yang lampau tidak ditafsirkan dan diterapkan kembali pada situasi yang
baru. Justru itulah yang terus diusahakan kaum Farisi dengan serius, terdorong oleh rasa
keagamaan sejati.
Jadi kaum Farisi menerima Hukum Taurat tertulis dan HukumTaurat tak tertulis. Kedua itu
dianggap sebagai setingkat dan sama berwibawa. Hukum Taurat tidak tertulis dikembalikan juga
kepada Musa. Dengan jalan itu mereka menyatakan bahwa mau tetap setia kepada tradisi nenek
moyang yang berpangkal pada Musa di gunung Sinai. Sekaligus kaum Farisi menerima
beberapa pokok iman kepercayaan (a.l. kebangkitan orang mati, adanya malaikat-malaikat) yang
tidak terdapat dalam Taurat Musa.
Oleh karena mau teliti dalam melaksanakan, menerapkan dan menafsirkan Hukum Taurat
dan aturan-aturan agama lainnya, maka kaum Farisi juga “ahli-ahli Kitab”. Kedua istilah itu (Farisi-
ahli Kitab/Taurat) dalam Perjanjian Baru kerap kali menunjuk kepada orang-orang yang sama.
Namun demikian agaknya kalangan kaum Farisi lebih luas daripada kalangan ahli-ahli
Kitab/Taurat. Dalam Mat 22:16 disebutkan “murid-murid orang Farisi” (bdk. Mrk 2:18). Kalaupun
banyak orang Farisi ahli Kitab/Taurat, namun tidak semua sama ahli di bidang Alkitab dan tradisi
lisan di sekitarnya. Mereka yang memperoleh keahlian kurang biasa di beri gelar kehormatan
“rabbi”. Pada zaman Perjanjian Baru gelar itu menunjuk kepada suatu jabatan khusus yang
mengadaikan pelantikan resmi. Rabbi sebagai gelar jabatan dengan pelantikan resmi baru
muncul sesudah zaman Perjanjian Baru. Setelah Bait Allah hilang para imam tidak berperan lagi
sebagai pemimpin bangsa Yahudi. Peranan mereka diambil alih oleh ahli-ahli Kitab (dari kalangan
Farisi) yang secara khusus diangkat dan dilantik.
Oleh karena tidak terikat pada Bait Allah di Yerusalem, seperti halnya dengan kaum
Saduki, maka pengaruh kaum Farisi pada rakyat luas sekali. Tentu saja pengaruh itu tidak di
mana-mana sama kuatnya. Keadaan nyata sukar diketahui dengan cara terperinci. Namun
rupanya pengaruh kaum Farisi di pedalaman (desa-desa) Galilea terlalu besar. Pengaruh kaum
Farisi terutama disalurkan melalui “sinagoga” atau “rumah ibadat”. Setiap kota dan desa yang
berarti mempunyai “sinagoga” entah hebat entah sederhana sekali. Malah di Yerusalem, dekat
pada Bait Allah, terdapat sinagoga-sinagoga. Sinagoga adalah tempat rakyat berkumpul untuk
macam-macam keperluan, tetapi terutama untuk bersembahyang dan mendengarkan Kitab Suci
serta penafsirannya. Dalam rangka sinagoga itu kaum Farisi mendapat keleluasaan guna
memberi bimbingan kepada rakyat.
Di kalangan kaum Farisi sendiri pada zaman Perjanjian Baru terdapat dua aliran besar.
Yang satu berasal dari ahli kitab bernama Hillel dan yang lain dari ahli Kitab yang tidak kurang
besar ialah Syammai. Adapun mazhab Syammai “konservatif”, agak keras dalam hal menerapkan
dan menafsirkan Hukum Taurat dan tradisi. Sebaliknya Hillel lebih “progresif” dan “liberal”. Tetapi
perbedaan antara kedua mazhab itu tidak terlalu penting. Dua-duanya tinggal dalam batas
pendirian kaum Farisi. Orang boleh memilih antara kedua mazhab itu dan dalam soal yang satu
mengikuti Hillel dan dalam soal yang lain menganut Syammai. Kaum Farisi, ahli-ahli Kitab,
dihormati oleh rakyat. Berbeda dengan kaum Saduki mereka juga tetap dekat dengan rakyat.
Kedudukan ekonomis umumnya tidak menyolok dan dapat sama-sama miskin dengan rakyat
jelata. Kewibawaan mereka dalam masalah-masalah agama umum diakui (bdk. Mat 23:2).

Para Eseni
Kaum Saduki dan kaum Farisi bukan satu-satunya aliran dalam masyarakat Yahudi pada
zaman Perjanjian Baru. Masih ada aliran-aliran lain dan kelompok.
Ada aliran yang disebut sebagai “apokaliptik”. Dalam aliran itu harapan yang dikobarkan
para nabi dahulu diperuncing. Aliran itu sudah tampil dalam Kitab Daniel yang tercantum dalam
Perjanjian Lama. Pada zaman Perjanjian Baru Kitab Daniel belum umum diterima sebagai Kitab
Suci.
Para ahli yang menyebut aliran tertentu sebagai “apokaliptik” belum seluruhnya sepakat
sehubungan dengan ciri-cirnya. Tetapi dalam beberapa hal ada kesepakatan cukup besar.
Salah satu ciri aliran itu ialah: Para penganut aliran itu yakin bahwa dunia seperti sekarang
terlalu jahat untuk diperbaiki. Dunia malahan akan semakin jahat. Tetapi pada saat-Nya Allah
akan turun tangan. Ia akan mengadakan penghakiman, entah langsung sendiri entah melalui
seorang tokoh yang kadang-kadang digelari “Anak Manusia”. Kaum jahat, termasuk para fasik di
Israel, akan dihukum dengan keras. Sebaliknya orang setia dan benar yang banyak menderita
akan selamat. Dunia akan diubah sama sekali. Allah akan memerintah di dunia yang diperbaharui
dan orang-orang Israel yang setia beserta dengan-Nya. Itulah zaman keselamatan dan
kebahagiaan.
Pada sementara penganut aliran macam itu diyakini bahwa nanti, pada zaman bahagia,
seorang raja, keturunan Daud akan menjadi raja atas umat Israel. Bahkan seluruh dunia akan
takhluk kepadanya. Kaum kafir, bangsa-bangsa lain akan dibinasakan atau menghamba kepada
raja itu serta rakyatnya. Raja itu diberi gelar “Mesias”, Al-Masih, Yunaninya: Kristus. Arti gelar itu
ialah: “Orang yang diurapi” (oleh Tuhan). Sebab upacara pelantikan raja (dahulu) mencakup juga
pengurapan dengan minyak suci.
Baiklah diingat bahwa batas-batas aliran apokaliptik itu tidak jelas. Cara berpikir dan
memandang dunia itu, sebagian atau seluruhnya, dapat masuk ke dalam alliran-aliran lain.
Kadang-kadang pikiran dan harapan itu kuat dan hangat; lain kali menjadi lesu dan lunak. Unsur-
unsur cara berpikir itu bisa bersatu padu, tetapi bisa juga terselepas-lepas. Pokoknya apokaliptik
itu bukan suatu “ajaran” atau “kelompok” jelas dan tegas.
Kaum Farisi dan kaum Saduki pada umumnya tidak mendukung aliran apokaliptik itu.
Sebaliknya tidak jarang mereka melawan cara berpikir itu dan menganggapnya berbahaya.
Sebab aliran itu dapat menimbulkan kekacauan, kerusuhan dan penyelewengan dari tradisi.
Sebaliknya semangat apokaliptik itu gampang menghanyutkan rakyat jelata. Terutama
apabila rakyat secara sosial dan ekonomis menderita dan sekaligus tampil seorang pemimpin
(karismatik). Rakyat dalam keadaan tertekan mengharapkan seorang juru selamat. Lalu gerakan
masal macam itu mudah dibelokkan ke arah politik. Pada zaman Perjanjian Baru berulang kali di
Palestina tampil tokoh-tokoh “apokaliptis-karismatik” yang berhasil menarik rakyat jelata.
Suatu kelompok “apokaliptik” yang agak jelas ciri-cirinya ialah jemaat Yahudi pada zaman
Perjanjian Baru, sejak th. 102 seb. Mas., berpusat di tepi Laut Asin, digurun Yudea. Nama tempat
itu sekarang ialah Qumran. Di sana pada th. 1947 dan tahun-tahun ditemukan kembali dan digali
puing-puing sebuah kompleks bangunan yang cukup luas dalam gua-gua di sekitar tempat itu
ditemukan sejumlah besar naskah, entah hampir utuh entah berkeping-keping. Ternyata naskah-
naskah itu pada zaman Perjanjian Baru, sekitar th. 70 Mas., disembunyikan di sana oleh penghuni
kompleks bangunan tersebut. Gedung-gedung itu dihancurkan dan dibakar oleh tentara Roma
yang pada th. 68-70 Mas., mengepung kota Yerusalem. Sebagian naskah-naksah itu berisikan
Alkitab Perjanjian Lama, dan sebagian lain berisikan karangan-karangan lain yang justru
mengenai jemaat yang bertempat tinggal di Qumran.
Berkat naskah-naskah itu kita mengetahui cukup banyak mengenai kelompok orang
Yahudi yang berpusat di Qumran selama l.k. 200 tahun. Banyak ahli condong menyamakan
kelompok itu dengan kaum Eseni. Kelompok Eseni itu disebut oleh beberapa penulis kuno,
seperti Yosefus Flavius dan Plinius. Tetapi bagaimana juga duduknya perkara, kelompok Yahudi
yang berpusat di Qumran sangat berdekatan dengan kaum Eseni itu. Mungkin sekali jemaat yang
berdiaman di Qumran berperan sebagai pusat kelompok-kelompok lain yang terpencar-pencar di
Palestina dan di luarnya.
Jelaslah jemaat di Qumran yang sedikit menyerupai rahib-rahib Kristen, bergerak dalam
alam pikiran apokaliptik. Dengan hangat mereka mengharapkan berakhirnya “zaman ini” dan
dimulainya zaman baru, zaman kebahagiaan justru bagi jemaat sendiri. Mereka menantikan
tampilnya seorang Mesias ketururnan Daud dan seorang imam besar di sampingnya. Mereka
mengharapkan perubahan dasariah itu, tetapi tidak ingin mempercepatnya dengan mengangkat
senjata. Mereka malah yakin bahwa dalam jemaat mereka sendiri, jemaat orang yang bertobat,
jemaat perjanjian baru, jemaat orang miskin, zaman bahagia itu sebenarnya sudah dimulai.
Akibat pengharapan yang hangat tersebut, jemaat di Qumran hidup menyendiri di gurun.
Mereka hidup sesuai aturan-aturan yang ketat sekali dan oraganisasi yang khas. Paling tidak
sebagian mereka tidak kawin, agaknya guna mempertahankan ketahiran dan mempersiapkan
diri bagi zaman terakhir. Maka mereka memisahkan diri secara total dari masyarakat umum.
Sebagian dari mereka datang dari kalangan para imam, tingkat rendahan yang, entah karena
apa, tidak diizinkan menyelenggarakan ibadat dalam Bait Allah. Memang pendiri jemaat itu sendiri
seorang imam dan di beri gelar “Guru Kelurusan”. Ia bentrok dengan imam kalangan atas di
Yerusalem, malah dianiaya oleh mereka. Bersama dengan sejumlah rekan dan kaum awam yang
bergabung juga, pendiri serta jemaatnya tidak mengakui imam-imam di Yerusalem sebagai imam
yang sah, tetapi menganggap mereka gadungan. Karena itu jemaat di Qumran tidak ikut serta
dalam ibadat Bait Allah. Ini tidak berarti bahwa pada dasarnya Bait Allah dihina oleh mereka.
Mereka hanya menunggu saatnya Bait Allah yang najis dan ibadatnya yang tidak halal itu
dibersihkan, dipugar dan pulihkan, seluruhnya menurut Hukum Taurat. Sebagai pengganti
sementara jemaat itu merayakan ibadatnya sendiri yang berpusatkan pada suatu perjamuan suci.
Semua perayaan yang tercantum dalam Hukum Taurat mereka selenggarakan, tetapi menurut
penanggalan yang berbeda dengan penanggalan yang berlaku pada zaman itu. Para imam
menjadi anggota utama jemaat itu dibantu kaum Lewi, tetapi juga sejumlah awam termasuk
sebagai anggota penuh.
Jemaat yang menyendiri di Qumran itu menganggap dirinya sebagai satu-satunya umat
Israel sejati untuk zaman keselamatan nanti. Merekalah orang-orang pilihan Allah yang
diperintahkan oleh Tuhan, sedangkan bangsa Israel lainnya dan seluruh dunia dalam
genggaman Iblis serta pembantu-pembantunya. Jemaat merekalah yang diperkenankan Tuhan
sebagai “orang miskin”. Karena itu anggota-anggota penuh jemaat itu, yang mesti melalui masa
percobaan keras, tidak mempunyai milik pribadi lagi. Segala sesuatu menjadi milik bersama.
Jemaat di Qumran di bidang ekonomi swa-sembada. Mereka bertani, beternak dan bertukang.
Jadi mereka mempraktekkan semacam “komunisme” di bawah sebuah dewan yang diketuai
seorang imam.
Dengan teliti sekali jemaat di Qumran melaksanakan Hukum Taurat, khususnya macam-
macam upacara pembasuhan. Kesetiaan pada Hukum Taurat menjadi syarat ikut serta dalam
jemaat itu dan dalam zaman keselamatan nanti. Jemaat itu malah lebih keras daripada kaum
Farisi dalam hal mematuhi Hukum Taurat. Meskipun kaum Farisi dan jemaat di Qumran
barangkali mempunyai asal usul yang sama (kaum “mursyid” yang tampil dalam 1 Mak 2:42; 1
Mak 7:9-16), namun jemaat di Qumran membenci kaum Farisi. Orang-orang Farisi dianggap
“munafik”. Sebab dengan keterangan dan tafsirannya yang disalurkan oleh tradisi lisan kaum
Farisi, menurut jemaat itu, menjadi tidak setia. Mereka sendiri memang tidak menerima tradisi
lisan macam itu. Mereka berpegang pada Hukum Taurat dan Alkitab seperti diartikan oleh pendiri
mereka, satu-satunya yang berwewenang mengartikan Kitab Suci. Seluruh Alkitab diterapkan
kepada jemaat itu saja, sehingga jelaslah mereka umat Israel sejati.
Dalam rangka masyarakat religius Yahudi, jemaat di Qumran tampil sebagai suatu
“ibadah”, sekte benar. Payung agama Yahudi pada zaman Perjanjian Baru dapat menutupi
banyak pendapat dan aliran.tetapi jemaat di Qumran itu mengganggap dirinya sebagai satu-
satunya penerus agama sejati pada zaman terakhir, satu-satunya ahli waris Musa dan para nabi.
Hanya mereka saja yang termasuk “perjanjian baru” yang dinubuatkan nabi Yesaya, Yeremia,
dan Yehezkiel. Mereka yang, entah di Qumran entah di tempat lain, tidak termasuk kelompok
mereka terkucil. Semuanya itu merupakan ciri-ciri sebuah sekte dan bidah.
Apa yang sangat menarik perhatian para ahli ialah: Antara isi naskah-naskah dari Qumran
dan isi karangan-karangan Perjanjian Baru cukup banyak kesamaan. Tentu saja juga ada
perbedaan dasariah. Dan sudah barang tentu tidak mustahil bahwa antara umat Kristen perdana
di Yerusalem dan jemaat Yahudi di Qumran ada hubungan. Tetapi sejauh mana hubungan itu
sampai sekarang sukar dipastikan. Lebih sukar lagi memastikan sejauh ada hubungan antara
Yohanes Pembabtis dan Yesus di satu pihak dan jemaat di Qumran di lain pihak. Mengingat
dekatnya agama Kristen dengan jemaat di Qumran, baik sehubungan dengan waktu maupun
sehubungan dengan tempat, tidak mengherankan bahwa ada suatu hubungan. Yohanes
Pembabtis, Yesus dan jemaat perdana memang tidak jatuh dari langitt, tetapi berurat berakar
dalam masyarakat Yahudi yang sertba majemuk.

Anda mungkin juga menyukai