Anda di halaman 1dari 6

1

KAJIAN TEMA DAN SUB TEMA PERSIDANGAN SINODE 38 GPM


DARI PERSPEKTIF PERJANJIAN BARU

Oleh Pdt. Monike Hukubun, D.Th1


Tema : “Beritakanlah Tahun Rahmat TUHAN telah datang dan Kerjakanlah
Keselamatanmu” (Yesaya 61:1-2[cc.Lukas 4:18-19]; Filipi 2:12-13).
Sub Tema : “ Menjadi Gereja yang menghamba kepada Allah demi Kesejahteraan Bersama
Di Tengah-Tengan Dunia”

1. KONTEKS SOSIAL TEKS: REALITAS KETIDAKADILAN


Lukas 4:18-19 dan Filipi 2:12-13 yang menjadi dasar sekaligus mengispirasi perumusan
tema Sidang Sinode ini menegaskan tentang dua hal mendasar yang saling terkait. Pertama,
imperatif untuk MEMBERITAKAN TAHUN RAHMAT TUHAN (Lukas 4:18-19). Kedua,
imperatif untuk MENGERJAKAN KESELAMATANMU (Filipi 2:13-14). Dua imperative itu
kemudian dijabarkan dalam Sub Tema (tehun 2021) dengan memberi aksentuasi pada spiritualitas
Gereja yang menghamba hanya kepada Allah demi kesejahteraan bersama.
Dalam Lukas 4:18-19, penulis Injil Lukas mengutip kembali proklamasi visi dan misi
Yesus. Proklamasi tersebut dilakukan ketika ia menghadiri ibadah Yahudi di Sinagoge dan
membacakan Kitab Suci. Ia membacakan Yesaya 61:1-2, dan menyatakan dengan lugas bahwa “
Pada hari ini genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya” (Luk.4:21). Dengan kata lain, Yesus
menyatakan secara tidak langsung, bahwa Ia adalah Mesias yang dinubuatkan oleh Yesaya.
Kehadiran-Nya, karya-karya-Nya ke depan adalah wujud dari datangnya TAHUN RAHMAT
TUHAN yang dinubuatkan Trito Yesaya. Konsep teologi tentang tahun Rahmat TUHAN mengacu
pada karya penyelamatan Allah yang bersumber pada nilai dan spiritualitas pembebasan dan
transformasi sosial, ekonomi, politik, budaya dan ekologi demi terwujudnya kehidupan yang adil,
sejahtera, dan bermartabat.
Dalam Filipi 2:13-14, Paulus menggunakan diksi “keselamatan” yang telah dikerjakan
Allah melalui Yesus Kristus, dan harus diwujudnyatakan (“dikerjakan”) secara konkrit dan
sungguh-sungguh dalam kehidupan jemaat/gereja di tengah-tengah dunia ini.
Mengapa Yesus, menurut Injil Lukas, memberi perhatian pada perwujudan Tahun Rahmat
TUHAN sebagai Visi dan Misi Yesus di zaman hidup-Nya (tahun 1-33M)? Mengapa penulis
Lukas mengutip ulang proklamasi Visi dan Misi Yesus itu bagi jemaat-Nya di era tahun 75-85M?
Mengapa Paulus di dalam Surat Filipi 2:12-13 menasehati jemaat Filipi yang hidup di era tahun
50-58 M untuk “mengerjakan” keselamatan dengan sungguh-sungguh? Pertanyaan-pertanyaan
teologis itu mengharuskan kita mengakaji dan memahami konteks sosial yang mendorong para
penulis teks untuk menulis teks tersebut. Hal ini dilakukan agar kita dapat memahami pikiran
teologis penulis di balik teks-teks tersebut yang disampaikan sebagai Firman TUHAN dalam
menyikapi konteks sosial tersebut. Dengan begitu, kita akan dibantu untuk memahami dan
merefleksikan maknanya bagi kita sebagai GPM di dalam konteks sosial bergereja kita 5 tahun ke
depan.

1.1. Konteks Sosial Injil Lukas.


Injil Lukas ditulis dan dialamatkan kepada komunitas Kristen berlatar belakang Yunani-
Helenistis yang hidup di luar Palestina.2 Penulis maupun pembaca Injil Lukas adalah generasi
Kristen ketiga (tahun 75-85M). Pada masa itu, orang-orang Kristen asal non Yahudi (Yunani-
Helenis) yang berasal dari kelas menengah yang kaya dan terkemuka sudah mulai menjadi bagian
dari persekutuan Jemaat (band. Kis.17:4;18:9). Sedangkan, sebagian besar warganya berasal dari
1
Dosen Tetap Fakultas Teologi UKIM Bidang Perjanjian Baru.
2
Para ahli masih sulit menentukan tempat penulis dan lokasi jemaatnya dengan pasti. Kemungkinan-kemungkina yang disebutkan:
di Akhaiya, atau di Kaisaria, bahkan di Roma. Walaupun sulit untuk dipastikan, namun ciri penulis dan warga jemaat penerima Injil
Lukas adalah orang Kristen asal non-Yahudi yang hidup di luar Palestina; lihat Samuel Benyamin Hakh, Perjanjian Baru: Sejarah,
Pengantar, dan Pokok-Pokok Teologisnya (Bandung: Bina Media Informasi, 201), h. 291-294.
2

kelas sosial yang rendah. Mereka adalah rakyat jelata yang bekerja sebagai petani di pedesaan,
para pengrajin, para pedagang kecil, dan para budak. Mereka adalah orang-orang yang miskin
yang hidupnya termarjinalisasi dan menderita. Hal itu juga diperlihatkan oleh penulis Injil Lukas
melalui proklamasi Visi dan Misi Yesus dalam Lukas 4:18-19. Yesus memfokuskan misi-Nya bagi
“orang-orang miskin” (ptokhos), “orang-orang tawanan” (aikhmalotos), “orang-orang buta”
(tuflos), dan orang-orang yang tertindas” (tethrausmenos). Realitas ini menegaskan, bahwa
komunitas jemaat Lukas mengalami kesenjangan sosial-ekonomi yang cukup besar, antara orang-
orang miskin dan orang-orang kaya. Kesenjangan sosial tersebut diperkokoh melalui cara pandang,
sikap etis, dan laku sosial “orang-orang kaya” yang egois dan tamak (band. Luk.12:13-15;16:14-
16), serta mengabaikan “orang miskin” (band.Luk.18:9).3 Kesenjangan sosial tersebut telah
menjadi fakta sosial yang tersebar luas dan dialami oleh masyarakat kecil di wilayah-wilayah
jajahan Romawi pada abad pertama Masehi.
1.2. Konteks Sosial Surat Filipi.
Surat Filipi adalah surat asli Paulus yang ditulis pada tahun 54/55 setelah ia mendirikan
jemaat Filipi tahun 49/50 M sebagai jemaat Kristen pertama di benua Eropa sebelum ia ke
Tesalonika, Athena, dan Korintus.4 Warga Jemaat Filipi terdiri dari mayoritas orang-orang Kristen
non-Yahudi (band. Kis.16:33b), dan sebagian kecil saja adalah orang-orang Kristen asal Yahudi
(band. Kis.16:3). Mereka hidup dan berkembang di tengah-tengah kota Filipi yang menjadi koloni
(jajahan) Romawi.5 Menurut Peter Oakes, mayoritas populasi orang-orang di kota Filipi bukan
orang-orang Romawi, bukan juga warga negara Romawi. Mereka adalah orang-orang Yunani
(Greek), dengan komposisi sosial masyarakat kota dan warga jemaat Filipi: 3 % elite Romawi
(Jemaat: 1 %); 20 % Petani yang memiliki lahan dan atau menyewa lahan pertanian (Jemaat:
15%), 37 % service groups (Jemaat: 43 %), 30 % Budak (Jemaat: 25 %), 20 % orang miskin
(Jemaat: 25%).6 Dari pemetaan Oaks ini, terlihat bahwa warga kota Filipi sebagian besar adalah
service groups (kasir, manager, dokter, dll), budak dan orang miskin, dan para petani. Walaupun
para elite Romawi di Kota dan Jemaat tersebut sangat kecil (3%/1%) namun pengaruh dan otoritas
yang dimiliki mereka dari penguasa politik dan ekonomi imperium Romawi sangat besar. Mereka
yang menentukan aksesibilitas dari para pekerja (petani, service group, para budak, dan orang
miskin) di kota itu. Karena itu, menurut Oaks, salah satu masalah yang serius di Filipi dan yang
berdampak pada persatuan dan kesatuan hidup sebagai Gereja/Jemaat Kristen di Filipi yakni status
kewarganegaraan. Mereka yang memiliki kewarganagaraan Romawi memiliki akses sosial,
ekonomi, dan politik yang lebih baik, daripada mereka yang tidak memiliki kewarganegaan
Romawi, dalam hal ini orang Yunani. Selain masalah status, banyak penduduk asli di pinggiran
kota dan atau pedesaan yang kehilangan hak kepemilikannya atas tanah-tanah pertaniannya, karena
terlilit hutang akibat pajak yang tinggi dan memberatkan.7
Dengan demikian, tetap terlihat konteks sosial surat Filipi yang didominasi juga oleh
masalah ketidakadilan berupa diskriminasi, eksploitasi, dan dominasi dari system sosial (politik,
ekonomi) yang dialami sebagai kota jajahan imperium Romawi. Sebuah gambaran yang
mencerminkan juga konteks sosial imperium Romawi pada abad pertama.
1.3. Konteks Sosial Imperium Romawi di Abad Pertama Masehi.
Pada abad pertama Masehi, wilayah Palestina dan wilayah-wilayah di luar Palestina pada zaman
Yesus (tahun 1-33M) sampai pada zaman Injil Lukas (tahun 75-85M) berada di bawah kekuasaan
imperium Romawi yang menjajah mereka. Sebagai wilayah jajahan Roma, kehidupan masyarakat
di wilayah-wilayah tersebut secara sosial, politik, ekonomi, budaya dan agama diatur, didominasi,
dan dikendalikan sepenuhnya oleh Kaisar dan para elit imperium Romawi. Sistem sosial, politik,
dan ekonomi yang dipraktikkan berpihak pada kepentingan para elit politik dan ekonomi sebagai
kaum bangsawan. Mereka terdiri dari Kaisar dan para wakilnya di wilayah-wilayah, para pemilik

3
Samuel Benyamin Hakh, Perjanjian Baru: Sejarah, Pengantar, dan Pokok-Pokok Teologisnya, h.293.
4
Norman Perrin & Dennis C. Dulling, The New Testament, An Introduction (London: Harcourt Brace Jovanovich, 1983), h. 173;
Samuel Benyamin Hakh, Perjanjian Baru: Sejarah, Pengantar, dan Pokok-Pokok Teologisnya, h.183.
5
Peter Oakes,Philipians: FromPeople to Letter(Cambridge: Cambridge Unversity Press, 2001), h.3.
6
Peter Oakes,Philipians: FromPeople to Letter, h.17.
7
Peter Oakes,Philipians: FromPeople to Letter, h. 42.
3

modal, dan para tuan-tuan tanah yang menguasai wilayah pertanian di pedesaan. Para bangsawan
ini tinggal di kota-kota Romawi. Kota merupakan centra kekuatan ekonomi imperium Romawi. Di
kota-kota tersebut, pemerintah Romawi membangun gedung-gedung yang mewah, faksilitas-
fasilitas public yang lengkap dan mewah, dan jaminan keamanan yang tinggi. Di kota-kota tersebut
para bangsawan Romawi tinggal dan menikmati kehidupan yang sejahtera. Menurut Osiek dan
Balch, jumlah kaum elite yang menikmati kesejahteraan atas nama negara (Romawi) hanya sekitar
7 % dari jumlah populasi di imperium itu. 8 Itu berarti, 93 % populasi di imperium Romawi adalah
masyarakat rural yang hidup di pinggiran kota dan di wilayah pedesaan. Mereka terdiri dari para
petani yang mengerjakan lahan pertanian, para pengrajin, dan para pedagang kecil, selain para
budak yang diperkerjakan oleh para penguasa ekonomi (elit politik, pemilik modal, dan para tuan
tanah). Dalam kelas sosial waktu itu, mereka termasuk dalam kelas orang-orang merdeka (di
bawah kelas para bangsawan), kelas bekas budak (di bawah kelas orang merdeka), dan kelas para
budak (kelas terendah dalam masyarakat).9
Osiek dan Balch juga menjelaskan, bahwa 93 % populasi imperium Romawi tersebut
dibebani dengan pajak yang tinggi dan dipaksa bekerja keras oleh pemerintah Romawi. Hasil kerja
keras mereka digunakan untuk memperkuat sistem militer imperium Romawi, dan kehidupan
mewah para bangsawan di kota-kota Romawi. 10 Sistem pajak yang tinggi tersebut kemudian
menciptakan realitas kemiskinan, kemelaratan, dan perbudakan yang semakin meluas dan
memprihatinkan di kerajaan Romawi zaman itu. Sistem tersebut membuat rakyat jelata menjadi
tidak berdaya. Untuk membayar pajak, mereka terpaksa menggadaikan tanah dan rumah, bahkan
diri mereka sendiri untuk menjadi budak yang mengabdi bagi para tuan mereka tanpa jaminan
hukum atas hak-hak azasi mereka. Mereka kehilangan tanah dan rumah yang menjadi satu-satunya
milik pusaka mereka; kehilangan harkat, martabat, dan identitas sebagai manusia yang merdeka;
terjadi peralihan profesi dari petani dan peternak menjadi “budak tani” yang bekerja di tanah
pertanian yang telah beralih hak kepemilikan oleh bangsawan.
Realitas sosial yang memprihatinkan ini merupakan konstruksi dari sebuah system sosial-
budaya yang diciptakan dan digunakan oleh penguasa Romawi bagi kepentingan para elit atas
nama negara (Romawi). Karena itu, banyak di antara mereka menjadi orang-orang miskin yang
tidak memiliki kekuatan ekonomi apapun (ptokhos); banyak di antara mereka terlilit hutang dan
dipenjarakan karena tidak bisa membayar hutangnya; banyak di antara mereka yang sakit dan
dikucilkan oleh keluarganya karena tidak mampu membiayai pengobatannya; banyak yang
menjadi pengemis untuk mempertahankan hidupnya, dst. Hak-hak azasi mereka benar-benar tidak
dijamin oleh negara maupun oleh agama pada masa itu. Sistem sosial yang diskriminatif seperti itu
diperkuat lagi dengan sistem sosial-keagamaan yang diskriminatif di kalangan orang-orang
Yunani-Ramawi maupun orang-orang Yahudi. Sistem ritus dalam agama-agama rakyat maupun
kultus-kultus imperial (penyembahan kepada Kaisar) selain difasilitasi oleh negara tetapi juga
mengharuskan ketaatan para penganutnya untuk menopang system sosial yang digunakan oleh
negara. Sedangkan di kalangan masyarakat Yahudi, ada juga kelompok-kelompok masyarakat yg
sengaja dipinggirkan dan disingkirkan dari komunitas karena alasan-alasan keagamaan, di
antaranya: para pekerja seks komersial, para perempuan, para pemungut cukai, orang miskin (para
pengemis, orang sakit, dll), penderita kusta, dll (band. Luk.7:34;15:1;19:1-10; Mat.20:29-33; dst).
Dengan demikian, agama turut mendukung dan melanggengkan system sosial yang tidak adil yang
digunakan oleh pihak penguasa Romawi.
Ini sebuah realitas ketidakadilan, diskriminasi, penindasan, dan eksploitasi yang
memiskinkan dan menyengsarakan masyarakat kecil. Realitas ini dibentuk oleh paradigma
kekuasaan yang korup, menindas, memiskinkan, dan menyengsarakan masyarakat demi
kepentingan para penguasa politik, ekonomi dan agama pada masa itu.

2. TAHUN RAHMAT TUHAN: MEWUJUDKAN KARYA PENYELAMATAN ALLAH YANG


HOLISTIK, KOMPREHENSIF, DAN AKTUAL.

Realitas ketidakadilan yang sangat tajam dialami oleh rakyat jelata di wilayah imperium
Romawi pada abad pertama Masehi, termasuk jemaat Filipi dan Jemaat pembaca Injil Lukas, maka
8
Carolyn Osiek dan David L. Balch, Families in the New Testament, Household and House Church (Louisville, Kentucky:
Westminster John Knox Press, 1997), h.37.
9
Samuel Benyamin Hakh, Perjanjian Baru: Sejarah, Pengantar, dan Pokok-Pokok Teologisnya, h.23,24.
10
Carolyn Osiek dan David L. Balch, Families in the New Testament, Household and House Church, h.37,38.
4

dibutuhkan gerakan pembebasan dan transformasi secara holistik, komprehensif, dan aktual.
Gerakan pembebasan dan pembaruan tersebut sejalan dengan Visi Yesus yang diproklamasikan
dalam Lukas 4:18-19, yakni TERWUJUDNYA TAHUN RAHMAT TUHAN, yang
diimplementasikan dalam Misi Yesus: “memberitakan Kabar Baik” (euanggelizo¯¯¯: to proclaim,
to preach Good News), dan “membebaskan”(aphesis: (aphesis: to release, pardon, forgiveness of
sin). Kata-kata kerja ini menegaskan tentang perjuangan untuk membebaskan, mentransformasi,
dan menegakkan keadilan di tengah-tengah masyarakat, khususnya bagi “orang-orang miskin”
(ptokhos), “orang-orang tawanan” (aikhmalotos), “orang-orang buta” (tuflos), dan orang-orang
yang tertindas” (tethrausmenos). Visi dan Misi Yesus menurut Versi Injil Lukas tersebut dikutip
oleh Yesus dari Kitab Trito Yesaya yakni Yesaya 61:1-2.
Dalam konsep Trito-Yesaya (TY), Tahun Rahmat TUHAN yang dimaksudkan yakni
Tahun Sabat (setiap tahun ke 7) yang puncak perayaanya pada Tahun Yobel (tahun ke 50, setelah
melewati 7 tahun Sabat).11 Inti dari perayaan Tahun Sabat maupun Tahun Yobel dalam tradisi
Israel yang ditulis dalam kitab-kitab Taurat (band. Keluaran 21; Ulangan 15; Imamat 25) terletak
pada Karya Penyelamatan Allah untuk membebaskan ciptaan-Nya yang mengalami penindasan
dan penderitaan. Pada tahun Sabat dan Tahun Yobel, Allah berkarya membebaskan tanah dari
kepentingan eksploitasi manusia (dimensi pembebasan ekologis), membebaskan para budak
(Ibrani) dari eksploitasi para tuannya (hukum), dan membebaskan orang-orang miskin yang
berhutang kepada pemilik modal (dimensi pembebasan ekonomi dan hukum). Melalui perayaan
Tahun Sabat dan Tahun Yobel yang ditetapkan oleh Allah, Allah berkarya bersama manusia
(orang Yahudi) untuk melakukan pembebasan dan transformasi relasi-relasi sosial antarmanusia
dengan sesamanya, dan relasi-relasi ekologis antarmanusia dengan tanah, rumah, kebun yang
menjadi hak miliknya, sebagai wujud relasi antarciptaan dengan Tuhan sebagai Pencipta.
Tujuannya adalah untuk terciptnya kehidupan yang adil, sejahtera dan bermartabat.
Dengan memmerhatikan Misi Yesus dalam Lukas 4:18-19 dan Misi Trito Yesaya dalam
Yesaya 61:1-2, maka terlihat jelas, bahwa konteks sosial kedua teks ini menentukan aksentuasi
Misi pembebasan dan transformasi yang dilakukan. Yesus, menurut Injil Lukas, memberi
perhatian pada orang-orang miskin yang jumlahnya sangat besar di abad pertama dalam wilayah
imperium Romawi. Orang-orang miskin terlilit di dalam struktur sosial yang menindas,
mendominasi, mengeksploitasi, memiskinkan mereka. Sistem yang membatasi bahkan menutup
akses mereka untuk mendapatkan hak-hak dasar mereka sebagai manusia: makanan, pakaian,
rumah, pendidikan, kesehatan, pekerjaan yang layak, dan jaminan masa depan. Karena itu, Allah
mengutus Yesus sebagai Mesias, Raja yang Diurapi-Nya, untuk mewujudkan Misi tersebut.
Melalui Yesus, Tahun Rahmat TUHAN sebagai era pembabasan dan transformasi itu
diwujudnyatakan. Melalui Yesus, karya-karya penyelamatan Allah untuk pembebasan dan
transformasi itu diberitakan dan diwujudkan. Sedangkan, Trito Yesaya yang menjalankan Misi
Allah pada konteks sosial pasca pembuangan Babel, memberi aksentuasi pada pembebasan dan
transformasi bagi orang-orang sengsara, remuk hati, para tawanan, orang-orang yang terkurung.
Visi dan Misi Yesus yang menegaskan keberpihakkan-Nya kepada orang-orang Miskin,
orang-orang yang dipenjarakan tanpa salah, orang-orang sakit (kaum disabilitas, penderita
penyakit tertentu, kerasukan roh jahat, dll), orang-orang yang tertindas (secara sosial, politik,
ekonomi, agama) mengandung beberapa visi teologis yang mendasar:
2.1. Tahun Rahmat TUHAN yang diwujudkan di dalam dan melalui Yesus Kristus adalah sebuah
era pembebasan dan transformasi dari sistem sosial, struktur sosial, dan pola-pola relasi sosial
yang diskriminatif, eksploitatif, menindas, memiskinkan, dan menyengsarakan kehidupan sesama
ciptaan (manusia dan non manusia). Melalui hukum dan pelaksanaan Tahun Rahmat TUHAN,
maka Allah mengutus Yesus untuk menghidupkan nilai-nilai keadilan, kesetaraan, cinta kasih,
persahabatan, dan penghargaan terhadap perbedaan, yang memungkinkan transformasi sistem
sosial, struktur sosial, dan pola-pola relasi sosial yang lebih adil, lebih bermartabat, dan lebih
menopang kesejahteraan hidup bersama. Yesus melakukan karya-karya tersebut melalui berbagai
cara: Ia mengajar para murid dan orang banyak tentang Kerajaan Allah dan nilai-nilai cinta kasih,
pengampunan, perdamaian, pengorbanan, penghargaan terhadap perempuan, anak-anak, dan para
11
Lihat Kajian Tema dan Sub Tema dari perspektif Perjanjian Lama oleh Pdt. DR. Margaretha M.A. Apituley, M.Th
5

budak sebagai kelompok masyarakat yang sering mengalami diskriminasi dan kekerasan, dan
seterusnya; Ia menunjukkan keteladanan dalam sikap dan laku hidup yang menghargai orang-
orang kecil dan termarginal. Ia bahkan mengidentifikasi diri-Nya dengan mereka (band. Matius
25). Ia secara kritis memahami realitas ketidakadilan yang terjadi, penuh empati yang dalam
dengan para korban ketidakadilan, menyuarakan dengan berani ketidakadilan tersebut, dan
berjuang mengadvokasi hak-hak para korban.; Penderitaan, kematian, dan kebangkitan-Nya adalah
puncak dari karya-Nya di dunia ini untuk membebaskan dan mentranformasi kehidupan ciptaan-
Nya. Dengan demikian, karya-karya pembebasan dan transformasi yang dikerjakan Allah di dalam
dan melalui Yesus adalah karya-karya penyelamatan Allah yang bersifat holistic (jasmani/rohani;
tubuh/jiwa/roh; manusia/ciptaan non manusia; material/spiritual), komprehensif (sosial, ekonomi,
politik, pendidikan, budaya, agama, dst), dan actual (karya nyata). Itulah “Kabar Baik”
(euanggelion) yang diberitakan oleh Yesus bagi orang-orang Miskin, baik dengan kata-kata
(pengajaran) maupun dalam bentuk sikap (kritis, jelas, tegas) dan laku sosial-Nya (karya-karya
advokasi, dll).
2.2. Karya-karya pembebasan dan transformasi Allah melalui Yesus sebagai perwujudan Tahun
Rahmat TUHAN menegaskan, bahwa Allah menentang ketidakadilan dengan cara apapun, oleh
sisapun, dan dengan alasan apapun. Ketidakadilan dalam berbagai wujud (diskriminasi,
eksploitasi, kekerasan, penindasan, perbudakan, dll) yang dilakukan oleh siapapun (penguasa
sosial, ekonomi, politik, agama) kepada siapapun (orang miskin, kaum yang
dimarginalkan[perempuan, anak, kaum LGBTIQ, kaum disabilitas, penderita sakit, dll]) dan
apapun (manusia, hewan, tumbuhan, tanah, laut, dst), atas nama apapun (negara, agama, Tuhan,
dll), dan dengan alasan apapun (kepentingan individu, kelompok, dll) ditentang oleh Allah. Allah
selalu berpihak pada keadilan, dan berkarya untuk menegakkan keadilan bagi semua ciptaan-Nya,
termasuk bumi.
2.3. Karya-karya pembebasan dan transformasi tersebut dapat dilakukan oleh Yesus sebagai
Mesias, karena Ia melakukan kehendak Allah, Bapa-Nya, dan Ia dengan rendah hati memberi diri
dikuasai dan dituntun oleh Roh Allah yang bekerja di dalam diri-Nya. Yesus mencontohkan
bagaimana menjalankan Misi tersebut di dalam Spiritualitas yang Menghamba hanya kepada
Allah, Bapa-Nya. Hal ini menjadi sumber otoritas, spiritualitas, dan kemampuan bagi Yesus untuk
mengahadapi tantangan bahkan ancaman yang datang dari pihak penguasa agama dan politik di
imperium Romawi yang kepentingannya terusik oleh Misi Yesus tersebut. Penderitaan dan
kematian-Nya di Salib adalah teladan yang ditinggalkan bagi para murid dan gereja-Nya untuk
menjalankan Misi Allah dengan spiritualitas yang Menghamba hanya kepada Allah, dan bukan
kepada siapapun dan apapun.

3. KONTEKS WILAYAH KEPULAUAN SEBAGAI KONTEKS GPM MENJALANKAN


MISINYA: “BERITAKANLAH TAHUN RAHMAT TUHAN TELAH DATANG” DAN
“KERJAKANLAH KESELAMATANMU”
Kristus Yesus telah merealisasikan Tahun Rahmat TUHAN melalui kehadiran-Nya,
pengajaran-Nya, dan karya-karya penyelamatan-Nya bagi seluruh ciptaan-Nya. Melalui Roh
Kudus, Ia mengutus dan memampukan para murid-Nya, gereja-Nya, termasuk GPM untuk terus
berkarya mewujudnyatakan Tahun Rahmat TUHAN itu di dalam Konteks bergereja dan
bermasyarakat kita di Maluku dan Maluku Utara. Konteks GPM tentu saja berbeda dengan konteks
Palestina di zaman Yesus, kota Filipi di zaman Paulus, dan salah satu kota di wilayah di luar
Palestina di zaman Injil Lukas. Konteks mereka adalah konteks wilayah Pulau( Island) dan
masyarakat Pulau (Island society), dan konteks kita di GPM adalah konteks kepulauan
(archipelago) dan masyarakat laut-pulau (archipelago society). Provinsi Maluku merupakan
provinsi kepulauan yang memiliki luas wilayah 712.479,5 Km 2, dengan luas wilayah laut atau
peraian 658.294,69 Km2, dan luas wilayah daratan 54,185 Km 2.12 Data ini menunjukkan, bahwa
bumi Maluku memiliki luas perairairan (lautan) 92,4% dan luas daratan hanya 7,6%. 13 Luas
daratan tersebut merupakan gabungan daratan dari 1.412 buah pulau-pulau besar dan kecil di
12
Tim Penyusun Naskah Lumbung Ikan Nasional, Maluku Lumbung Ikan Nasional 2015-2025: Reformasi Master Plan (Ambon:
Pemerintah Provonsi Maluku, 2014, viii.
13
Tim Penyusun Naskah Lumbung Ikan Nasional, Maluku Lumbung Ikan Nasional 2015-2025: Reformasi Master Plan, 4-6.
6

Maluku.14 Secara geografis dan ekologis, pulau-pulau Besar (P.Seram, P.Buru) dan ribuan pulau-
pulau kecil dengan keindahan dan kekayaan tanah, hutan, gunung, lembah yang mencirikannya,
dijembatani oleh lautan yang luas dengan kekayaan, keindahan, dan kekhasan musim, arus,
gelombang, ombak dan badainya. Secara sosial dan kultural, masyarakat laut-pulau memiliki
tingkat keragaman etnis/sub etnis, bahasa, budaya, agama, dan kebijaksanaan lokal yang sangat
majemuk dan tersebar di pulau-pulau maupun gugus-gugus pulau yang dimiliki.
Wilayah dan masyarakat kepulauan Maluku adalah Anugerah Allah bagi kita, dengan
segala potensi laut-pulaunya maupun tantangan dan ancamannya. Dalam konteks seperti itu, misi
GPM secara praksis untuk memberitakan Tahun Rahmat TUHAN dan mengerjakan Keselamatan
bersama seluruh ciptaan di bumi Seribu pulau ini:
3.1. Misi GPM untuk “memberitakan” (to proclaim, to preach, to announce) datangnya Tahun
Rahmat TUHAN, belajar dari cara Yesus, dapat dilakukan dengan lebih dahulu mengenal
dengan baik konteks ketidakadilan yang dialami oleh warga jemaat dan warga masyarakat laut-
pulau, terutama di pulau-pulau kecil yang jauh, tersegregasi dan terisolasi, dan di pegunungan
dan pedalaman pulau-pulau besar dengan gunungnya yang tinggi dan lembahnya yang curam.
Mereka: laki-laki dan perempuan, anak-anak dan pemuda, orang tua dan lansia, kaum
LGBTIQ, kaum Disabilitas, dll yang mengalami ketidakadilan ekonomi, sosial, budaya,
politik, ekologis, dll akibat tersegregasi dan terisolasi di wilayah laut-pulau. Mereka memiliki
kesulitan mengakses informasi, komunikasi, dan layanan-layanan public (kesehatan,
pendidikan, pasar, dll) yang disediakan negara di pusat-pusat kota Kecamatan,
Kabupaten/Kota, dan Provinsi. Misi “memberitakan” dapat dilakukan oleh GPM melalui
perumusan ajaran GPM, Regulasi GPM, Kebijakan GPM, Liturgi dan Musik gereja di GPM,
dan karya-karya pembebasan dan transformasi (advokasi hak-hak warga dan bumi yang
mengalami ketidakadilan, program pemberdayaan, pastoral transformatif, diakonia
transformatif, dst) menuju kehidupan bersama masyarakat laut-pulau yang adil, sejahtera dan
bermartabat secara holistik, komprehensif, dan aktual.
3.2. Misi GPM untuk “mengerjakan” Keselamatan, harus berorientasi pada keselamatan bersama,
bukan keselamatan individual. Keselamatan yang telah dikerjakan oleh Yesus Kristus, harus
diteruskan, dilakukan, diaktakan, diperjuangkan secara bersama-sama, secara holistic,
komprehensif, dan actual. Dalam kaitan itu, GPM membutuhkan spiritualitas kerjasama dan
bekerja bersama-sama dalam jejaring dengan semua elemen masyarakat, agama-agama,
pemerintah, dan stakeholder lainnya di semua aras dan di semua wilayah laut-pulau. Agar
Tahun Rahmat Tuhan itu diwujudkan bukan saja bagi Gereja tetapi bagi seluruh masyarakat
dan alam kepulauan Maluku.
3.3. Misi GPM tersebut dapat diwujudkan apabila GPM menjadi Gereja yang Menghamba hanya
kepada Allah di dalam Kristus, sang Kepala Gereja, sesuai Sub Tema tahun 2021 ini. Gereja
(individu, keluarga, persekutuan, institusi) yang Menghamba kepada Allah di dalam Kristus,
akan selalu menjadikan Allah sebagai satu-satunya TUHAN; Firman-Nya menjadi satu-satunya
dasar dan arah pelayanan Gereja; dan secara sadar dan terus-menerus menghidupi nilai-nilai
kebenaran, keadilan, cinta kasih, kesederajatan, persahabatan, perdamaian, dan kesejahteraan
bersama sebagai nilai-nilai kristiani yang dikehendaki oleh Allah. Dengan begitu, GPM secara
sadar dan tegas menghidupi komitmennya untuk menolak cara pandang, sikap, dan laku
bergereja dan bermasyarakat yang diskriminatif, eksploitatif, memiskinkan, menyengsarakan
dan melanggengkan ketidakadilan yang di alami oleh warga gereja dan warga masyarakat
laut-pulau maupun bumi “Seribu Pulau” anugerah Allah ini.

---------Eirene humin: Salam Sejahtera bagi anda semua-----


Rumah Lentera, 02/02/2021

14
www.dpmptsp-maluku.com, diakses 5 Januari 2021, jam 13.00.

Anda mungkin juga menyukai