NIM
Mata Kuliah
Critical Review
Ang Rolatnd Paris Saving Liberal Peacebuilding & Peacebuilding and the Limits of
Liberal Internationalism
Liberal internasionalisme muncul sebagai paradigma yang digunakan sebagai
pedoman hampir semua organisasi internasional dalam melakukan proses peacebuilding di
suatu negara. Dengan asumsi bahwa untuk mewujudkan perdamaian, baik di dalam negara itu
sendiri, maupun antara negara yang satu dengan yang lainnya, dasar yang dipakai adalah
demokrasi pasar, yaitu politik demokrasi liberal dan ekonomi yang berorientasikan pasar.
Namun, pada kenyataannya, paradigma ini bukanlah suatu model yang efektif untuk
menciptakan perdamaian yang stabil. Sesungguhnya, proses liberalisasi politik dan ekonomi
telah menimbulkan ketidakstabilan pada aspek-aspek lainnya di dalam negara yang hancur
akibat perang, malahan semakin menghalangi proses penciptaan perdamaian, bahkan dalam
beberapa kasus menimbulkan bentuk perlawanan baru. Pendekatan liberal internasionalisme
dalam peacebuilding justru menghasilkan masalah-masalah baru yang tidak terduga, bahkan
pada tingkat yang paling parah, pelaksanaan misi peacebuilding ini telah menimbulkan akibat
yang bertentangan, dengan menghalangi perdamaian yang sesungguhnya ingin mereka
ciptakan.
Dalam melakukan pendekatan terhadap peacebuilding, organisasi internasional telah
menentukan bahwa demokrasi pasar sebagai obat bagi konflik sipil tanpa secara cermat
mengantisipasinya, atau mengambil tindakan atas batasan-batasan tertentu, terhadap efekefek ketidakstabilan yang ditimbulkan obat tersebut. Praktek peacebuilding di era sekarang
tampaknya berakar dari kesalahan yang sama dari teori modernisasi di tahun 1950-an dan
1960-an, yang dinamakan kepercayaan atas evolusi alami dari negara-negara berkembang
untuk menuju sistem demokrasi pasar, dan ketika evolusi ini, sekalinya teriniasiasi, akan
abadi untuk selama-lamanya dengan sendirinya. Namun sebenarnya, untuk menciptakan
sebuah demokrasi pasar yang stabil adalah sebuah kekacauan, penuh konflik, dan akan
menjadi proses yang sangat panjang, terutama di lingkungan politik yang rapuh dari sebuah
negara yang hancur akibat perang. Peacebuilding menyingkap karaktek konfliktual yang tak
dapat dipisahkan antara demokrasi dan kapitalisme, yang keduanya bertentangan dalam
mendorong kompetisi masyarakat yang bertujuan untuk menciptakan kestabilan politik dan
kemakmuran ekonomi. Negara-negara yang hancur akibat perang pastinya tidak mampu
memperlengkapi untuk mengatur kompetisi di dalam masyarakat melalui liberalisasi politik
dan ekonomi, bukan hanya akibat negara negara-negara ini mempunyai sejarah baru dalam
kekerasan, tetapi juga dikarenkana mereka mengalami ketiadaan kemampuan struktur
institusi untuk menyelesaikan permasalahan internal secara damai. Dalam lingkungan dan
situasi seperti ini, upaya untuk mentransformasi negara yang hancur akibat perang menjadi
yang negara demokrasi pasar akan membuat keadaan menjadi lebih buruk daripada upaya
untuk mengatasi konflik-konflik di dalam masyarakat.
Artikel ini sebenarnya bukan ingin mengatakan bahwa operasi peacebuilding telah
melakukan banyak hal yang lebih berbahaya daripada hal-hal yang baik. Sebaliknya, banyak
dari negara-negara tuan rumah dari operasi ini yang kemungkinan akan tetap dalam situasi
perang apabila bukan karena bantuan yang mereka terima dari aktor-aktor internasional yang
membantu proses negosiasi dan pengimplementasian perjanjian damai. Namun,
bagaimanapun, tujuan dari peacebuilding bukanlah menghentikan perselisihan semata, tetapi
untuk menciptakan kondisi yang mengizinkan terciptanya perdamaian jangka panjang setelah
pasukan pencipta perdamaian meninggalkan daerah tersebut, dalam kata lain untuk
menciptakan sebuah perdamaian yang berkelanjutan dengan sendirinya. Hal lain yang ingin
diklarifikasi penulis adalah bahwa proses liberalisasi politik dan ekonomi tidak seutuhnya