Anda di halaman 1dari 2

Nama

NIM
Mata Kuliah

: Helga Yohana Simatupang


: 13/355781/PSP/4788
: Bina Damai dan Rekonstruksi Masyarakat

Critical Review
Ang Rolatnd Paris Saving Liberal Peacebuilding & Peacebuilding and the Limits of
Liberal Internationalism
Liberal internasionalisme muncul sebagai paradigma yang digunakan sebagai
pedoman hampir semua organisasi internasional dalam melakukan proses peacebuilding di
suatu negara. Dengan asumsi bahwa untuk mewujudkan perdamaian, baik di dalam negara itu
sendiri, maupun antara negara yang satu dengan yang lainnya, dasar yang dipakai adalah
demokrasi pasar, yaitu politik demokrasi liberal dan ekonomi yang berorientasikan pasar.
Namun, pada kenyataannya, paradigma ini bukanlah suatu model yang efektif untuk
menciptakan perdamaian yang stabil. Sesungguhnya, proses liberalisasi politik dan ekonomi
telah menimbulkan ketidakstabilan pada aspek-aspek lainnya di dalam negara yang hancur
akibat perang, malahan semakin menghalangi proses penciptaan perdamaian, bahkan dalam
beberapa kasus menimbulkan bentuk perlawanan baru. Pendekatan liberal internasionalisme
dalam peacebuilding justru menghasilkan masalah-masalah baru yang tidak terduga, bahkan
pada tingkat yang paling parah, pelaksanaan misi peacebuilding ini telah menimbulkan akibat
yang bertentangan, dengan menghalangi perdamaian yang sesungguhnya ingin mereka
ciptakan.
Dalam melakukan pendekatan terhadap peacebuilding, organisasi internasional telah
menentukan bahwa demokrasi pasar sebagai obat bagi konflik sipil tanpa secara cermat
mengantisipasinya, atau mengambil tindakan atas batasan-batasan tertentu, terhadap efekefek ketidakstabilan yang ditimbulkan obat tersebut. Praktek peacebuilding di era sekarang
tampaknya berakar dari kesalahan yang sama dari teori modernisasi di tahun 1950-an dan
1960-an, yang dinamakan kepercayaan atas evolusi alami dari negara-negara berkembang
untuk menuju sistem demokrasi pasar, dan ketika evolusi ini, sekalinya teriniasiasi, akan
abadi untuk selama-lamanya dengan sendirinya. Namun sebenarnya, untuk menciptakan
sebuah demokrasi pasar yang stabil adalah sebuah kekacauan, penuh konflik, dan akan
menjadi proses yang sangat panjang, terutama di lingkungan politik yang rapuh dari sebuah
negara yang hancur akibat perang. Peacebuilding menyingkap karaktek konfliktual yang tak
dapat dipisahkan antara demokrasi dan kapitalisme, yang keduanya bertentangan dalam
mendorong kompetisi masyarakat yang bertujuan untuk menciptakan kestabilan politik dan
kemakmuran ekonomi. Negara-negara yang hancur akibat perang pastinya tidak mampu
memperlengkapi untuk mengatur kompetisi di dalam masyarakat melalui liberalisasi politik
dan ekonomi, bukan hanya akibat negara negara-negara ini mempunyai sejarah baru dalam
kekerasan, tetapi juga dikarenkana mereka mengalami ketiadaan kemampuan struktur
institusi untuk menyelesaikan permasalahan internal secara damai. Dalam lingkungan dan
situasi seperti ini, upaya untuk mentransformasi negara yang hancur akibat perang menjadi
yang negara demokrasi pasar akan membuat keadaan menjadi lebih buruk daripada upaya
untuk mengatasi konflik-konflik di dalam masyarakat.
Artikel ini sebenarnya bukan ingin mengatakan bahwa operasi peacebuilding telah
melakukan banyak hal yang lebih berbahaya daripada hal-hal yang baik. Sebaliknya, banyak
dari negara-negara tuan rumah dari operasi ini yang kemungkinan akan tetap dalam situasi
perang apabila bukan karena bantuan yang mereka terima dari aktor-aktor internasional yang
membantu proses negosiasi dan pengimplementasian perjanjian damai. Namun,
bagaimanapun, tujuan dari peacebuilding bukanlah menghentikan perselisihan semata, tetapi
untuk menciptakan kondisi yang mengizinkan terciptanya perdamaian jangka panjang setelah
pasukan pencipta perdamaian meninggalkan daerah tersebut, dalam kata lain untuk
menciptakan sebuah perdamaian yang berkelanjutan dengan sendirinya. Hal lain yang ingin
diklarifikasi penulis adalah bahwa proses liberalisasi politik dan ekonomi tidak seutuhnya

bertanggung jawab dalam menciptakan ketidakstabilan di dalam negara-negara yang hancur


akibat perang ini. Saya setuju dengan pendapat penulis karena mekanisme pelaksanaan
operasi perdamaian di berbagai negara terlalu kompleks,di mana kondisi lokal di satu negara
pastilah berbeda dengan negara lain, dan akibat perbedaan kondisi ini, pastilah setiap misi
yang dilakukan melibatkan kumpulan badan-badan internasional yang khusus pula.
Kekuatan penulis di dalam artikel ini adalah kemampuan menawarkan ide baru,
yaitu merekomendasikan liberalisasi strategik sebagai alternatif bagi aktor-aktor
internasional untuk melaksanakan upaya peacebuilding dalam prakteknya. Liberalisasi
strategi ini dianggap mampu mencapai tujuan para liberal internasionalis dalam
melaksanakan operasi perdamaiannya melalui liberalisasi politik dan ekonomi-tetapi juga
secara sadar bermaksud untuk meminimalisir efek ketidakstabilan yang mungkin ditimbulkan
oleh liberal internasionalisme.
Liberal internasionalisme berpendapat bahwa natural order telah dirusak oleh para
pemimpin negara yang tidak demokratis dan masih mengutamakan kebijakan-kebijakan
kunonya seperti balance of power ataupun military forces. Para pemikir liberal internasionalis
percaya bahwa kontrak di antara masyarakat di dunia, melalui perdagangan, akan
memfasilitasi bentuk hubungan internasional yang lebih damai. Namun yang menjadi kritik
saya adalah apakah dengan menciptakan liberalisasi internasionalisme melalui liberalisasi di
bidang politik dengan demokrasi dan di bidang ekonomi dengan sistem pasar akan
menjamin bahwa konflik di dalam negeri akan selesai begitu saja? Bisa saja, hal ini dianggap
sebagai bentuk neo-kolonialisme barat terhadap negara-negara berkembang dalam bentuk
ideologi.
Dan apakah ada jaminan bahwa negara-negara liberal ini tidak akan berperang satu
sama lain? Pada kenyataannya, sampai sekarang negara-negara dunia masih hidup dalam
kondisi dunia yang anarkis, di mana tidak ada kedaulatan suatu negara yang berada di atas
negara lain. Hal ini semakin memperjelas bahwa realisme masih berlaku di jaman sekarang,
di mana setiap negara akan berlomba-lomba untuk memenuhi kepentingan nasionalnya
sendiri. Apalagi dikaitkan dengan kenyataan bahwa dalam menjalankan pola perdagangan
internasional, tetap saja pihak-pihak yang mempunyai kekuatan ekonomi yang lebih besar,
akan mempunyai suara yang lebih banyak dan didengar dalam perdagangan internasional.
Kita berangkat dari kenyataan bahwa resources di setiap negara adalah berbeda-beda, dapat
dipastikan hal ini akan menimbulkan permasalahan baru di negara-negara yang lemah secara
ekonomi, namun terpaksa masuk ke dalam sistem pasar yang memaksanya akibat kontrak
atas bantuan asing yang telah diterima negara tersebut.
Permasalahan yang kompleks di setiap negara akan mengakibatkan
pengimplementasian sistem liberal internasionalisme ini berbeda-beda pula di negara-negara
tersebut. Ada yang berhasil, namun pada kenyataannya lebih banyak yang gagal.

Anda mungkin juga menyukai