Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

HUKUM INTERNASIONAL

INSTRUMEN HUKUM DIPLOMATIK

Dosen Pengampu: Ria Wierma Putri, S.H., M.HUM.

Kelompok 8:

1. Guntur Rangga Saputra 2012011359


2. Rima Amelia Hardi 2012011017
3. Selvi Andira Robzi 2012011254
4. Siti Rahmadita Putri 2012011248
5. Yolanda septiani 2012011016

Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Universitas Lampung

2021
ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah
dan kekuatan lahir batin kepada kami sehingga makalah ini dapat kami selesaikan.
Shalawat dan salam semoga selalu dilimpahkan kepada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW.
Makalah ini berjudul “Instrumen Hukum Diplomatik ” yang menjadi tugas
bagi mahasiswa Semester 3 Universitas Lampung dalam mata Hukum Internasional.
Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih terdapat kekurangan dan kekhilafan.
Oleh karena itu kepada semua pembaca dan pakar dimohon saran dan kritik yang
bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Kepada semua pihak yang telah memberikan saran dan kritik demi
kesempurnaan makalah ini, kami ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat.
iii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……………………………………………………………. i


DAFTAR ISI ……………………………………………………………………… ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Pengertian Hukum Diplomatik …………………………………………………….... .1
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Sejarah Perkembangan Hukum Diplomatik……………………………………3
2.2. Matriks perbandingan bentuk-bentuk hubungan diplomatik dengan bentuk
instrumen hukum lain beserta akibat hukumnya ………………………………8
2.3. Hubungan Instrumen Hukum Dipomatik Dengan Hukum Internasional
Dan Hukum Nasional ………………………………………………………….11
BAB III. PENUTUP
3.1 KESIMPULAN …………………………………………………………………13
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………14
1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Pengertian Hukum Diplomatik

Sejarah membuktikan bahwa sifat hubungan antar negara dengan negara lain
senantiasa berubah-ubah menurut perubahan masa dan keadaan, tetapi cara
memelihara dan menghidupkan perhubungan itu adalah satu, yaitu dengan
mempergunakan cara diplomasi. Dan dengan adanya perwakilan diplomatik
ataupun legasi-legasi, pos-pos yang tetap, menimbulkan kebutuhan untuk
menciptakan kelas satu golongan pegawai baru yang disebut diplomat. Tetapi
pemakaian istilah diplomat dan diplomasi baru menjadi umum pada kira-kira abad
ke-18. Pengertian “hukum diplomatik” masih belum banyak diungkapkan. Para
sarjana hukum internasional masih belum banyak menuliskan secara khusus,
karena pada hakikatnya hukum diplomatik merupakan bagian dari hukum
internasional yang mempunyai sebagian sumber hukum yang sama seperti
konvensi-konvensi internasional yang ada. Namun apa yang ditulis oleh Eileen
Denza mengenai “Diplomatic Law” pada hakikatnya hanya menyangkut komentar
terhadap Konvensi Wina mengenai hubungan diplomati. Ada pula yang
memberikan batasan bahwa hukum diplomatik merupakan cabang dari hukum
kebiasaan internasional yang terdiri dari seperangkat aturan-aturan dan
normanorma hukum yang menetapkan kedudukan dan fungsi para diplomat
termasuk bentuk-bentuk organisasional dari dinas diplomatik.
Diplomasi dapat berarti politik luar negeri, misalnya jika dikatakan diplomasi
Republik Indonesia di Afrika perlu ditingkatkan, dapat pula berarti perundingan,
misalnya jika dikatakan masalah timur tengah hanya dapat diselesaikan melalui
diplomasi, dan sebagainya. Bertolak dari itu semua, diplomasi merupakan cara
komunikasi yang dilakukan antara berbagai pihak termasuk negosiasi antara
2

wakil-wakil yang sudah diakui, di mana praktik-praktik semacam itu telah diakui
sejak dahulu. Diplomasi berarti menggunakan segala kebijaksanaan dan
kecendikiawanan dalam melaksanakan dan memelihara perhubungan-perhubungan
resmi antara pemerintah-pemerintah dan negara-negara yang merdeka.
Dengan demikian hukum diplomatik adalah ketentuan atau prinsip-prinsip
hukum internasional yang mengatur hubungan diplomatik antar negara yang
dilakukan atas dasar permufakatan bersama dan ketentuan atau prinsip-prinsip
yang dituangkan di dalam instrumen-instrumen hukum sebagai hasil kodifikasi
hukum kebiasaan internasional dan pengembangan kemajuan hukum internasional
3

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Perkembangan Hukum Diplomatik

Awal hukum diplomatik dimulai dengan hukum kebiasaan yang telah berlaku
sebelumnya. Contohnya adalah sebuah kebiasaan yang telah menjadi ketentuan
mengenai keistimewaan dan kekebalan para duta besar. Hal ini dikarenakan duta
besar adalah dianggap orang suci, yang perlu diperlakukan dengan istimewa. Pada
zaman Mesir, India dan Cina kuno sudah ditemukan beberapa bukti tentang
adanya utusan diplomatik dan konsuler yang memiliki berbagai fungsi dan
keistimewaan. Sejarah telah mencatat dan membuktikan bahwa jauh sebelum
bangsa-bangsa di dunia mengenal dan menjalankan praktik hubungan diplomatik,
misi diplomatik secara tetap seperti yang ada dewasa ini, di zaman India kuno
telah dikenal ketentuan-ketentuan dan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan
antar raja maupun kerajaan, dimana hukum bangsa-bangsa pada waktu itu telah
mengenal pula apa yang dinamakan duta.
Pada tahun 1179 SM, sudah ada perjanjian perdamaian yang dibuat oleh
Ramses II dari Mesir dengan Hattusili II dari Kerajaan Kheta (Asia kecil) dengan
menggunakan bahasa Akkadi/Babylon. Raja Iskandar Agung juga pernah menjalin
hubungan diplomatik dengan Kerajaan Maurya di India. Di saat yang bersamaan,
beberapa duta besar dari Yunani ditempatkan atau dipercayakan pada Raja
Pataliputra. Kemudian, ada pula pertukaran utusan antara Maharaja Ashoka
dengan pemerintah di negara-negara lain, seperti Syria, Macedonia, Cyprus dan
juga Mesir. Kaidah-kaidah pokok hukum diplomatik dibentuk oleh negara-negara
seperti Romawi, Perancis, Yunani dan Turki. Selain itu, kerajaan-kerajaan di
wilayah Indonesia juga telah sejak lama melakukan hubungan diplomatik dan
perdagangan dengan Cina, India dan negara-negara kawasan Timur Tengah
4

lainnya.
Sejarah hukum diplomatik kemudian bergulir dengan adanya perjanjian
Whesphalia, yang merupakan awal perkembangan hukum diplomatik, sebab sejak
saat itu pula perwakilan-perwakilan diplomatik kemudian bersifat permanen,
utusan-utusan diplomatik kemudian mulai diangkat, dikirimkan dan dipercayakan
pada negara lain. Pengiriman duta-duta ke luar negeri sudah dikenal dan
dipraktikkan oleh indonesia, dan negara-negara asia serta arab sebelum negara-
negara barat mengenalnya. Di benua Eropa, baru pada abad ke-16 masalah
pengiriman duta-duta itu diatur menurut hukum kebiasaan, tetapi hukum kebiasaan
internasional menyangkut masalah itu menjadi jelas pada abad ke-19, dimana
pengaturan hubungan diplomatik dan perwakilan diplomatik mulai dibicarakan
pada Kongres Wina tahun 1815, yang diubah dan disempurnakan oleh Protocol
Aix-La-Chapelle 1818. Konvensi Wina tersebut pada hakikatnya merupakan
tonggak sejarah diplomasi modern karena telah berhasil mengatur dan membuat
prinsip-prinsip secara sistematis, termasuk klasifikasi jabatan kepala perwakilan
diplomatik dan mengatur prosedur dan mekanisme hubungan diplomatik. Dengan
demikian, sampai dengan 1815 ketentuanketentuan yang berkaitan dengan
hubungan diplomatik sebagian besar bersumber dari hukum kebiasaan. Pada
Konvensi Wina 1815, raja-raja yang ikut dalam konferensi itu sepakat untuk
mengodigikasikan hukum kebiasaan tersebut menjadi hukum tertulis.
Namun Sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
banyak mempunyai dampak terhadap perihubungan antar negara dan
perkembangan anggota masyarakat internasional dengan laju pertumbuhan negara
yang baru merdeka maka dirasakan adanya tantangan untuk mengembangkan lagi
kodifikasi Hukum Diplomatik secara luas. Pengembangan itu tidak saja ditujukan
untuk memperbaharui tetapi juga dalam rangka melengkapi prinsip-prinsip dan
ketentuan Hukum Diplomatik yang ada. Sebelum didirikannya badan Perserikatan
Bangsa-Bangsa perkembangan kodifikasi hukum diplomatik tidak begitu pesat.
Sejak Kongres Wina 1815, para anggota diplomatik telah diberikan
pengggolongan dan beberapa tata cara sementara yang telah pula dibicarakan,
5

namun tidak ada suatu usaha untuk merumuskan prinsip- prinsip hukum
diplomatik dalam suatu kodifikasi yang dapat diterima secara luas oleh masyarakat
internasional. Peraturan yang telah disetujui pada waktu itu oleh Kongres hanyalah
didasarkan oleh hukum kebiasaan internasional dan juga diambil dari praktek-
praktek yang kemudian diberlakukan di kalangan negara-negara. 5 Kongres Wina
tersebut pada hakekatnya telah merupakan tonggak sejarah dalam sejarah
diplomasi moderen, karena telah berhasil mengatur dan membuat prinsip- 5
G.V.G. Krishnamurty, Modern Diplomacy, Dialectic and Dimensions, First
Edition, Bhupender Sagar, New Delhi, 1980, hal. 89 6 prinsip secara sistematik
termasuk praktek-praktek atau cara-cara yang umum dibidang diplomasi.

Kongres Wina 1815 telah menetapkan tingkatan secara umum mengenai


penggolongan kepala-kepala perwakilan diplomatik secara mutakhir. Menurut
Protokol Wina, 19 Maret 1815: “diplomatik agens are devided into there clases :
that are ambassadors, legates, or nuncios; that of envoys, ministers, or other
persons accredited to sovereigns; that of charges d’ affaires accredited to ministers
of foreign affairs” 6 Kemudian penggolongan itu diperluas lagi dalam Kongres
Aix la Chapelle pada tanggal 12 Nopember 1818 dimana telah ditetapkan lagi
pangkat lainnya yaitu “minister resident”, yang merupakan pangkat diantara
“ministers” dan “charge d’ affaires”. Sedangkan “Legates” dan “Nuncios”
sebagaimana ditetapkan dalam Protokol Wina merupakan wakil-wakil dari Pope. 7
Usaha untuk mengadakan kodifikasi terhadap prinsip-prinsip diplomasi
selanjutnya dipandang cukup berarti adalah dalam tahun 1927, pada masa Liga
Bangsa-Bangsa. Sesuai dengan resolusi Dewan Liga Bangsa-Bangsa telah
dibentuk Komite Ahli untuk membahas perkembangan kodifikasi perkembangan
Hukum Internasional dimana telah dilaporkan bahwa dalam subyek hukum
diplomatik yang meliputi dari cabang-cabang pergaulan diplomatik antar bangsa
haruslah diatur secara internasional. Dewan Liga Bangsa-Bangsa tidak menerima
rekomendasi Komite Ahli tersebut dan karena itu memutuskan untuk tidak
memasukkan masalah yang sama dalam agenda Konferensi Den Haag yang
6

diadakan dalam tahun 1930 untuk kodifikasi Hukum Internasional. Sementara itu
Konferensi Negara-Negara Amerika yang diadakan di Havana tahun 1928 tidak
saja telah menganggap bahwa masalah itu sangat penting, tetapi setelah dibahas
secara panjang lebar telah menetapkan dua konvensi, satu mengenai Pejabat
Diplomatk dan yang lainnya mengenai Pejabat Konsuler.
Dua Konvensi itu telah diratifikasi oleh 12 negara Amerika, dimana Amerika
Serikat cenderung untuk tidak meratifikasinya dengan alasan bahwa
dicantumkannya ketentuan mengenai pemberian suaka diplomatik dianggap tidak
tepat dan dapat menimbulkan keberatan. Namun demikian Konferensi Havana itu
kemudian tidak saja dapat merintis tetapi 6 Pasal 6 Protokol 7 Satow, A Guide to
Diplomatik Practice, 1979, hal. 162. 7 juga lebih dari itu telah berhasil untuk
pertama kalinya dalam usaha mengadakan kodifikasi Hukum Diplomatik. 8
Setelah PBB didirkan pada tahun 1945, dua tahun kemudian telah dibentuk Komisi
Hukum Internasional. 9 Selama tiga puluh tahun 1949 - 1979 komisi telah
menangani 27 topik dan sub topik Hukum Internasional, 7 diantaranya adalah
menyangkut Hukum Diplomatik yaitu :
1. Pergaulan dan kekebalan diplomatik.
2. Pergaulan dan kekebalan konsuler.
3. Misi-misi khusus.
4. Hubungan antar negara dengan organisasi internasional Bagian I.
5. Masalah perlindungan dan tidak diganggu gugatnya para pejabat diplomatik
dan orang-orang lainnya yang berhak memperoleh perlindungan khusus
menurut Hukum Internasional.
6. Status kurir diplomatik dan kantong diplomatik yang tidak diikutsertakan
pada kurir diplomatik.
7. Hubungan antar negara dengan organisasi internasional Bagian II. Dengan
kegiatan komisi Hukum Internasional selama ini khususnya dalam rangka
kodifikasi hukum diplomatik telah banyak permasalahan yang menyangkut
hukum diplomatik antara lain adanya ketentuan-ketentuan yang mengatur
pembentukan misi-misi diplomatik, konsuler, misi-misi khusus,
7

pencegahan dan penghukuman kejahatan terhadap orang-orang yang secara


internasional perlu dilindungi, termasuk para pejabat diplomatik dan lain
sebagainya. Sebagaimana tersebut diatas, Komisi Hukum Internasional
bertujuan untuk tidak saja meningkatkan pengembangan kemajuan hukum
internasional, tetapi juga kodifikasinya, termasuk didalamnya hukum
diplomatik. Pengembangan kemajuan hukum internasional diartikan
sebagai “persiapan rancangan konvensi mengenai masalah-masalah yang
belum diatur oleh hukum internasional atau mengenai hukum yang belum
cukup berkembang dalam praktek negara-negara”.
8. Sedangkan Khrisnamurty, hal. 90 9 Pembentukan Komisis Hukum
Internasional ini pada hakekatnya untuk memenuhi Pasal 13 ayat 1, Piagam
PBB yang antara lain “Majelis Umum diminta untuk memprakarsai studi-
studi dan memberikan rekomendasi dalam rangka mendorong
perkembangan kemajuan internasional beserta kodifikasinya”.
9. diartikan dengan kodifikasi hukum internasional adalah “perumusan yang
lebih tepat dan sistematisasi dari peraturan hukum internasional di berbagai
bidang yang sudah secara luas menjadi praktek, teladan dan doktrin
negara”.
10. Rancangan-rancangan yang dihasilkan oleh Komisi Hukum Internasional
itu merupakan paduan antara kenyataan-kenyataan yang ada di dalam
hukum internasional de lege-ferenda dan saran untuk pengembangannya.
Dalam praktek, baik kodifikasi maupun pengembangan kemajuan pada
hakekatnya saling berhubungan dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
11. Jika rancangan tersebut diperiksa oleh suatu konferensi internasional,
biasanya mengalami perubahan yang kadang-kadang perubahan itu bersifat
substansial. Namun sebelumnya rancangan itu disampaikan kepada semua
pemerintah negara anggota untuk memperoleh tanggapan baik selama
dibahas didalam Komisi Hukum Internasional maupun sebelum
disampaikan ke Majelis Umum PBB.
8

2.2. Matriks perbandingan bentuk-bentuk hubungan diplomatik dengan


bentuk instrumen hukum lain beserta akibat hukumnya:

Bentuk Hubungan Akibat Hukum


Instrumen Hukum
diplomatik
Lain
1. Akreditasi Rangkap.Yang Bentuk instrumen Pemutusan hubungan
dimaksud dengan HAM: diplomatik antara negara
akreditasi rangkap adalah Intrumen hak asasi dapat menimbulkan akibat
bilamana suatunegara manusia dalam hukum yang dimana
pengirimmenempatkan Konstitusi (Undang- tertera pada pasal 45
ataumenugaskan seorang Undang Dasar 1945), Konvensi Wina 1961 yang
wakilnya untuk lebihdari Instrumen HAM dalam berbunyi: Keputusan dari
satu negarapenerima. Hal ketetapan MPR RI kedua negarauntuk
inidiatur dalam Pasal 5 dapat dilihat dalam memutuskan hubungan
Konvensi Wina 1961. Tap. MPR No. XVII/ diplomatik menjadi
Misalnya : setelah 1996 tentang mengikat pada negara
berakhirnya PerangDunia Pandangan dan Sikap lainnya apabila keputusan
II, Cina pernah BangsaIndonesia itu secara resmi
menempatkan seorang terhadap HAM dan dinyatakan dalam apapun
wakilnyauntuk Jerman, Piagam HAM juga.
Rusia,Inggris, Perancis Nasional, Instrumen
danItali. Demikian pula HAM dalam UU yang
Costa Rica jugapernah pernah dikeluarkan
menempatkanwakilnya pemerintah.
untuk Jerman, Belgia, Bentuk instrumen Akibat jika suatu negara
Spanyol danPerancis. perjanjian melanggar perjanjian
internasional: internasional :
2. Akreditasi Bersama. Perjanjian Negara tersebut akan
Akreditasi bersamaterjadi internasional yang mendapat suatu masalah
bilamanabeberapa negara dituangkan dalam darinegara lain,
menempatkan orangyang instrumen-instrumen mengalami kesulitan saat
sama sebagai kepala pembentuk perjanjian melakukan perdagangan
perwakilan mereka di tertulis dan formal. luar negeri , akan
suatu negara lain. Jadi, Instrumen-instrumen dimusuhi oleh negara lain,
bisadikatakan sebagai tertulis itu, antara lain dan kesulitan saat akan
kebalikan dariakreditasi treaty,convention, mengadakan perjanjian
rangkap. Hal ini diatur agreement, atau pertemuan dengan
dalam Pasal 6 Konvensi arrangement, charter, negara lain.
Wina 1961. Demikian covenant, statute,
pula Pasal 5 ayat 2 constitution, protocol,
KonvensiHavana 1928 dan declaration.
9

yang menyatakan bahwa Bentuk instrumen Adapula akibat hukum


beberapa negara dapat hukum lingkungan yang terjadi ketika
diwakili olehseorang internasional: hubungan diplomatik
diplomat di suatu negara. Dari aspek putus. Selain berpengaruh
3. Diplomasi ad hoc. instrumentarirum kepada masing-masing
Diplomasi Ad hoc juga hukum lingkungan negaranya, putusnya
sering disebut “Misi menyediakan hubungan diplomatik juga
Khusus” diatur dalam instrumen- instrumen mempunyai akibat hukum
Pasal 2 Konvensi Misi- hukum lingkungan terhadap para warga
misiKhusus 1969 (New sebagai sarana negara di negara penerima
York Convention on pencegahan serta perjanjian
Special Missions (1969) pencemaran internasional yang telah
yang menyatakan bahwa lingkungan, yaitu: disepakati oleh para pihak.
suatu negara dapat baku mutu lingkungan, Terdapat penjelasan
mengirim satu misikhusus analisis mengenai terhadap akibat hukum
ke negara lain, atas dampak lingkungan, yang terjadi berdasarkan
perseujuansebelumnya izin lingkungan, KonvensiWina 1961
darinegara lain itu, instruemen ekonomik tentang Hubungan
dimana persetujuan itu dan audit lingkungan. Diplomatik, Konvensi
diberikan melalui saluran Wina 1963 tentang
diplomatikmaupun cara- Hubungan Konsuler serta
caralain yang disepakati Konvensi Wina 1969
bersama. tentang Perjanjian
Internasional.

Berikut adalah akibat-


akibat yang terjadi apabila
suatu negara tidak
melakukan hubungan
internasional:
● Dikucilkan dari
pergaulan internasional
● Sulit memenuhi semua
kebutuhannyasendiri
● Lebih sulit untuk
berkembang dan
memajukan bangsanya
selayaknya negaralain
di dunia
● Tidak mendapatkan
bantuan internasional
jika terkena bencana
alam dan semacamnya
● Tidak memiliki
10

pengetahuan memadai
mengenai
perkembangan negara
lain di dunia sehingga
informasinya
cenderung terbatas.
Dan lain sebagainya.

Bentuk instrumen
hukum laut
internasional:
1. Den Haag
Convention 1930
2. Truman
Proclamation (28
September 1945)
3. Konferensi Hukum
Laut Jenewa Tahun
1958 (UNCLOS I)
4. Konferensi Hukum
Laut Jenewa Tahun
1960 (UNCLOS II)
5. United Nations
Seabed Committe
18 Desember 1967
(Komisi PBB
mengenai Seabed)
6. United Nations
Convention on the
Law of the Sea III
(UNCLOS III) 10
Desember 1982 di
Montego Bay,
Jamaika
7. LOS Convention
1982
11

2.3 Hubungan Instrumen Hukum Dipomatik Dengan Hukum Internasional Dan


Hukum Nasional
Menurut pendapat kami hukum internasional dan hukum nasional saling
berkaitan satu sama lainnya, hukum nasional tunduk dan harus sesuai
dengan hukum internasional. Keberadaan hukum internasional menjadi kontrol
masyarakat. hukum internasional dalam menjalankan hukum nasional demi
tercapainya ketertiban dunia. Instrument hukum diplomatik berkaitan dengan HI
dan HN karena pengertian Hukum Diplomatik pada hakekatnya merupakan
ketentuan atau prinsip-prinsip Hukum Internasional yang mengatur hubungan
diplomatik antar negara yang dilakukan atas dasar permufakatan bersama dan
ketentuan atau prinsip-prinsip tersebut dituangkan di dalam instrumen-instrumen
hukum sebagai hasil dari kodifikasi hukum kebiasaan internasional dan
pengembangan kemajuan Hukum Internasional. Hubungan antar bangsa untuk
merintis kerjasama dan persahabatan, hubungan tersebut dilakukan melalui
pertukaran misi diplomatik termasuk para pejabatnya, para pejabat tersebut harus
diakui statusnya sebagai pejabat diplomatik dan agar para pejabat itu dapat
melakukan tugas diplomatik-nya dengan efisien mereka perlu diberikan hak-hak
istimewa dan kekebalan yang didasarkan atas aturan-aturan dalam hukum
kebiasaan internasional serta perjanjian-perjanjian lainnya yang menyangkut
hubungan diplomatik antar negara.
Adapun penerapan instrument hukum diplomatik Indonesia yaitu masih
terdapat adanya ketidaktegasan apakah Indonesia menganut aliran monoisme atau
dualisme. Sejauh ini, menurut Duta besar Eddy menganggap bahwa Indonesia
menganut doktrin gabungan, yaitu inkorporasi (monoisme) untuk perjanjian-
perjanjian internasional yang menyangkut keterikatan negara sebagai faktor
hukum internasional secara eksternal, Faktor nya yaitu :
1. Ketergantungan antar negara Dalam menjalankan kehidupan, negara tidak
bisa bertumpu hanya pada kemampuan nasionalnya sendiri. Contohnya dalam
penyelesaian masalah ekonomi, hukum dan politik, atas kesadaran inilah antar
negara akhirnya memutuskan untuk menjalin hubungan internasional.
12

2. Membangun komunikasi dan persahabatan antar negara


Hubungan internasional dilakukan sebagai upaya untuk menjalin hubungan
komunikasi dan persabahatan antar negara, sehingga bisa memunculkan
kerjasama yang produktif dan menguntungkan.
3. Ingin mewujudkan tatanan dunia
Negara menjalin hubungan internasional karena ingin member manfaat untuk
kesejahteraan seta perdamaian masyarakat dunia. Dan menganut doktrin
transformasi (dualisme) untuk perjanjian internasional yang menciptakan hak
dan kewajiban bagi seluruh rakyat Indonesia.
Namun apabila ditinjau lebih jauh melalui Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,
maka berdasarkan hierarki peraturan perundang-undangan dapat disimpulkan
bahwa Indonesia menganut aliran dualisme dimana perlu dilakukan transformasi
hukum internasional ke dalam produk hukum nasional. Dan juga menurut Wisnu
Aryo Dewanto berpendapat bahwa pada saat pemerintah Indonesia mengeluarkan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 (Pasal 7) mengenai Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan sebenarnya menegaskan posisi Indonesia sebagai
negara dualisme dengan metode transformasi dalam memasukkan perjanjian
internasional kedalam sistem hukum nasional.
13

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Pengertian Hukum Diplomatik pada hakekatnya merupakan ketentuan atau


prinsip-prinsip Hukum Internasional yang mengatur hubungan diplomatik antar
negara yang dilakukan atas dasar permufakatan bersama dan ketentuan atau
prinsip-prinsip tersebut dituangkan di dalam instrumen-instrumen hukum sebagai
hasil dari kodifikasi hukum kebiasaan internasional dan pengembangan
kemajuan Hukum Internasional.
Hubungan diplomatik diatur dalam sebuah perjanjian internasional yang
berbentuk sebuah konvensi yakni Vienna Convention On Diplomatic Relations
1961 atau Konvensi Wina 1961 mengenai Hubungan Diplomatik. Namun,
sebelum dibentuknya Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik ini
oleh negara peserta, sumber hukum diplomatik itu sendiri berasal dari hukum
kebiasaan internasional.
Awal hukum diplomatik dimulai dengan hukum kebiasaan yang telah berlaku
sebelumnya. Contohnya adalah sebuah kebiasaan yang telah menjadi ketentuan
mengenai keistimewaan dan kekebalan para duta besar. Hal ini dikarenakan duta
besar adalah dianggap orang suci, yang perlu diperlakukan dengan istimewa.
Pada zaman Mesir, India dan Cina kuno sudah ditemukan beberapa bukti tentang
adanya utusan diplomatik dan konsuler yang memiliki berbagai fungsi dan
keistimewaan.
14

DAFTAR PUSTAKA

https://www.kompas.com/skola/read/2021/02/13/182642469/faktor-internal-dan-
eksternal-dalam-hubungan-internasional

https://repositori.unud.ac.id/protected/storage/upload/repositori/ID51_197305281998
02100124091305920buku-ajar-hukum-diplomatik.pdf

https://bahasan.id/pada-hukum-internasional-dalam-hukum-nasional-indonesia-
monoisme-atau-dualisme/

https://text-id.123dok.com/document/wq20k69rz-sejarah-perkembangan-hukum-
diplomatik.html

https://zdocs.tips/doc/sejarah-hukum-diplomatik-y01rodmxre1g

https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/jatayu/article/download/28721/16201

https://ejurnalunsam.id/index.php/jhsk/article/download/116/83/

https://repositori.usu.ac.id/

Buku Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional karya PROF. DR. S.M. NOOR,
S.H, M.H.

BIRKAH LATIF, S.H,, M.H, LL.M.

KADARUDIN, S.H, M.H.

Anda mungkin juga menyukai