HUKUM INTERNASIONAL
Kelompok 8:
Universitas Lampung
2021
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah
dan kekuatan lahir batin kepada kami sehingga makalah ini dapat kami selesaikan.
Shalawat dan salam semoga selalu dilimpahkan kepada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW.
Makalah ini berjudul “Instrumen Hukum Diplomatik ” yang menjadi tugas
bagi mahasiswa Semester 3 Universitas Lampung dalam mata Hukum Internasional.
Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih terdapat kekurangan dan kekhilafan.
Oleh karena itu kepada semua pembaca dan pakar dimohon saran dan kritik yang
bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Kepada semua pihak yang telah memberikan saran dan kritik demi
kesempurnaan makalah ini, kami ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat.
iii
DAFTAR ISI
BAB 1
PENDAHULUAN
Sejarah membuktikan bahwa sifat hubungan antar negara dengan negara lain
senantiasa berubah-ubah menurut perubahan masa dan keadaan, tetapi cara
memelihara dan menghidupkan perhubungan itu adalah satu, yaitu dengan
mempergunakan cara diplomasi. Dan dengan adanya perwakilan diplomatik
ataupun legasi-legasi, pos-pos yang tetap, menimbulkan kebutuhan untuk
menciptakan kelas satu golongan pegawai baru yang disebut diplomat. Tetapi
pemakaian istilah diplomat dan diplomasi baru menjadi umum pada kira-kira abad
ke-18. Pengertian “hukum diplomatik” masih belum banyak diungkapkan. Para
sarjana hukum internasional masih belum banyak menuliskan secara khusus,
karena pada hakikatnya hukum diplomatik merupakan bagian dari hukum
internasional yang mempunyai sebagian sumber hukum yang sama seperti
konvensi-konvensi internasional yang ada. Namun apa yang ditulis oleh Eileen
Denza mengenai “Diplomatic Law” pada hakikatnya hanya menyangkut komentar
terhadap Konvensi Wina mengenai hubungan diplomati. Ada pula yang
memberikan batasan bahwa hukum diplomatik merupakan cabang dari hukum
kebiasaan internasional yang terdiri dari seperangkat aturan-aturan dan
normanorma hukum yang menetapkan kedudukan dan fungsi para diplomat
termasuk bentuk-bentuk organisasional dari dinas diplomatik.
Diplomasi dapat berarti politik luar negeri, misalnya jika dikatakan diplomasi
Republik Indonesia di Afrika perlu ditingkatkan, dapat pula berarti perundingan,
misalnya jika dikatakan masalah timur tengah hanya dapat diselesaikan melalui
diplomasi, dan sebagainya. Bertolak dari itu semua, diplomasi merupakan cara
komunikasi yang dilakukan antara berbagai pihak termasuk negosiasi antara
2
wakil-wakil yang sudah diakui, di mana praktik-praktik semacam itu telah diakui
sejak dahulu. Diplomasi berarti menggunakan segala kebijaksanaan dan
kecendikiawanan dalam melaksanakan dan memelihara perhubungan-perhubungan
resmi antara pemerintah-pemerintah dan negara-negara yang merdeka.
Dengan demikian hukum diplomatik adalah ketentuan atau prinsip-prinsip
hukum internasional yang mengatur hubungan diplomatik antar negara yang
dilakukan atas dasar permufakatan bersama dan ketentuan atau prinsip-prinsip
yang dituangkan di dalam instrumen-instrumen hukum sebagai hasil kodifikasi
hukum kebiasaan internasional dan pengembangan kemajuan hukum internasional
3
BAB II
PEMBAHASAN
Awal hukum diplomatik dimulai dengan hukum kebiasaan yang telah berlaku
sebelumnya. Contohnya adalah sebuah kebiasaan yang telah menjadi ketentuan
mengenai keistimewaan dan kekebalan para duta besar. Hal ini dikarenakan duta
besar adalah dianggap orang suci, yang perlu diperlakukan dengan istimewa. Pada
zaman Mesir, India dan Cina kuno sudah ditemukan beberapa bukti tentang
adanya utusan diplomatik dan konsuler yang memiliki berbagai fungsi dan
keistimewaan. Sejarah telah mencatat dan membuktikan bahwa jauh sebelum
bangsa-bangsa di dunia mengenal dan menjalankan praktik hubungan diplomatik,
misi diplomatik secara tetap seperti yang ada dewasa ini, di zaman India kuno
telah dikenal ketentuan-ketentuan dan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan
antar raja maupun kerajaan, dimana hukum bangsa-bangsa pada waktu itu telah
mengenal pula apa yang dinamakan duta.
Pada tahun 1179 SM, sudah ada perjanjian perdamaian yang dibuat oleh
Ramses II dari Mesir dengan Hattusili II dari Kerajaan Kheta (Asia kecil) dengan
menggunakan bahasa Akkadi/Babylon. Raja Iskandar Agung juga pernah menjalin
hubungan diplomatik dengan Kerajaan Maurya di India. Di saat yang bersamaan,
beberapa duta besar dari Yunani ditempatkan atau dipercayakan pada Raja
Pataliputra. Kemudian, ada pula pertukaran utusan antara Maharaja Ashoka
dengan pemerintah di negara-negara lain, seperti Syria, Macedonia, Cyprus dan
juga Mesir. Kaidah-kaidah pokok hukum diplomatik dibentuk oleh negara-negara
seperti Romawi, Perancis, Yunani dan Turki. Selain itu, kerajaan-kerajaan di
wilayah Indonesia juga telah sejak lama melakukan hubungan diplomatik dan
perdagangan dengan Cina, India dan negara-negara kawasan Timur Tengah
4
lainnya.
Sejarah hukum diplomatik kemudian bergulir dengan adanya perjanjian
Whesphalia, yang merupakan awal perkembangan hukum diplomatik, sebab sejak
saat itu pula perwakilan-perwakilan diplomatik kemudian bersifat permanen,
utusan-utusan diplomatik kemudian mulai diangkat, dikirimkan dan dipercayakan
pada negara lain. Pengiriman duta-duta ke luar negeri sudah dikenal dan
dipraktikkan oleh indonesia, dan negara-negara asia serta arab sebelum negara-
negara barat mengenalnya. Di benua Eropa, baru pada abad ke-16 masalah
pengiriman duta-duta itu diatur menurut hukum kebiasaan, tetapi hukum kebiasaan
internasional menyangkut masalah itu menjadi jelas pada abad ke-19, dimana
pengaturan hubungan diplomatik dan perwakilan diplomatik mulai dibicarakan
pada Kongres Wina tahun 1815, yang diubah dan disempurnakan oleh Protocol
Aix-La-Chapelle 1818. Konvensi Wina tersebut pada hakikatnya merupakan
tonggak sejarah diplomasi modern karena telah berhasil mengatur dan membuat
prinsip-prinsip secara sistematis, termasuk klasifikasi jabatan kepala perwakilan
diplomatik dan mengatur prosedur dan mekanisme hubungan diplomatik. Dengan
demikian, sampai dengan 1815 ketentuanketentuan yang berkaitan dengan
hubungan diplomatik sebagian besar bersumber dari hukum kebiasaan. Pada
Konvensi Wina 1815, raja-raja yang ikut dalam konferensi itu sepakat untuk
mengodigikasikan hukum kebiasaan tersebut menjadi hukum tertulis.
Namun Sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
banyak mempunyai dampak terhadap perihubungan antar negara dan
perkembangan anggota masyarakat internasional dengan laju pertumbuhan negara
yang baru merdeka maka dirasakan adanya tantangan untuk mengembangkan lagi
kodifikasi Hukum Diplomatik secara luas. Pengembangan itu tidak saja ditujukan
untuk memperbaharui tetapi juga dalam rangka melengkapi prinsip-prinsip dan
ketentuan Hukum Diplomatik yang ada. Sebelum didirikannya badan Perserikatan
Bangsa-Bangsa perkembangan kodifikasi hukum diplomatik tidak begitu pesat.
Sejak Kongres Wina 1815, para anggota diplomatik telah diberikan
pengggolongan dan beberapa tata cara sementara yang telah pula dibicarakan,
5
namun tidak ada suatu usaha untuk merumuskan prinsip- prinsip hukum
diplomatik dalam suatu kodifikasi yang dapat diterima secara luas oleh masyarakat
internasional. Peraturan yang telah disetujui pada waktu itu oleh Kongres hanyalah
didasarkan oleh hukum kebiasaan internasional dan juga diambil dari praktek-
praktek yang kemudian diberlakukan di kalangan negara-negara. 5 Kongres Wina
tersebut pada hakekatnya telah merupakan tonggak sejarah dalam sejarah
diplomasi moderen, karena telah berhasil mengatur dan membuat prinsip- 5
G.V.G. Krishnamurty, Modern Diplomacy, Dialectic and Dimensions, First
Edition, Bhupender Sagar, New Delhi, 1980, hal. 89 6 prinsip secara sistematik
termasuk praktek-praktek atau cara-cara yang umum dibidang diplomasi.
diadakan dalam tahun 1930 untuk kodifikasi Hukum Internasional. Sementara itu
Konferensi Negara-Negara Amerika yang diadakan di Havana tahun 1928 tidak
saja telah menganggap bahwa masalah itu sangat penting, tetapi setelah dibahas
secara panjang lebar telah menetapkan dua konvensi, satu mengenai Pejabat
Diplomatk dan yang lainnya mengenai Pejabat Konsuler.
Dua Konvensi itu telah diratifikasi oleh 12 negara Amerika, dimana Amerika
Serikat cenderung untuk tidak meratifikasinya dengan alasan bahwa
dicantumkannya ketentuan mengenai pemberian suaka diplomatik dianggap tidak
tepat dan dapat menimbulkan keberatan. Namun demikian Konferensi Havana itu
kemudian tidak saja dapat merintis tetapi 6 Pasal 6 Protokol 7 Satow, A Guide to
Diplomatik Practice, 1979, hal. 162. 7 juga lebih dari itu telah berhasil untuk
pertama kalinya dalam usaha mengadakan kodifikasi Hukum Diplomatik. 8
Setelah PBB didirkan pada tahun 1945, dua tahun kemudian telah dibentuk Komisi
Hukum Internasional. 9 Selama tiga puluh tahun 1949 - 1979 komisi telah
menangani 27 topik dan sub topik Hukum Internasional, 7 diantaranya adalah
menyangkut Hukum Diplomatik yaitu :
1. Pergaulan dan kekebalan diplomatik.
2. Pergaulan dan kekebalan konsuler.
3. Misi-misi khusus.
4. Hubungan antar negara dengan organisasi internasional Bagian I.
5. Masalah perlindungan dan tidak diganggu gugatnya para pejabat diplomatik
dan orang-orang lainnya yang berhak memperoleh perlindungan khusus
menurut Hukum Internasional.
6. Status kurir diplomatik dan kantong diplomatik yang tidak diikutsertakan
pada kurir diplomatik.
7. Hubungan antar negara dengan organisasi internasional Bagian II. Dengan
kegiatan komisi Hukum Internasional selama ini khususnya dalam rangka
kodifikasi hukum diplomatik telah banyak permasalahan yang menyangkut
hukum diplomatik antara lain adanya ketentuan-ketentuan yang mengatur
pembentukan misi-misi diplomatik, konsuler, misi-misi khusus,
7
pengetahuan memadai
mengenai
perkembangan negara
lain di dunia sehingga
informasinya
cenderung terbatas.
Dan lain sebagainya.
Bentuk instrumen
hukum laut
internasional:
1. Den Haag
Convention 1930
2. Truman
Proclamation (28
September 1945)
3. Konferensi Hukum
Laut Jenewa Tahun
1958 (UNCLOS I)
4. Konferensi Hukum
Laut Jenewa Tahun
1960 (UNCLOS II)
5. United Nations
Seabed Committe
18 Desember 1967
(Komisi PBB
mengenai Seabed)
6. United Nations
Convention on the
Law of the Sea III
(UNCLOS III) 10
Desember 1982 di
Montego Bay,
Jamaika
7. LOS Convention
1982
11
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
https://www.kompas.com/skola/read/2021/02/13/182642469/faktor-internal-dan-
eksternal-dalam-hubungan-internasional
https://repositori.unud.ac.id/protected/storage/upload/repositori/ID51_197305281998
02100124091305920buku-ajar-hukum-diplomatik.pdf
https://bahasan.id/pada-hukum-internasional-dalam-hukum-nasional-indonesia-
monoisme-atau-dualisme/
https://text-id.123dok.com/document/wq20k69rz-sejarah-perkembangan-hukum-
diplomatik.html
https://zdocs.tips/doc/sejarah-hukum-diplomatik-y01rodmxre1g
https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/jatayu/article/download/28721/16201
https://ejurnalunsam.id/index.php/jhsk/article/download/116/83/
https://repositori.usu.ac.id/
Buku Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional karya PROF. DR. S.M. NOOR,
S.H, M.H.