Anda di halaman 1dari 75

1

BAB. I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara merupakan salah satu subyek hukum internasional, di antara
subyek hukum yang lainnya yaitu: Organisasi internasional, palang merah
internasional, tahta suci atau vatikan, organisasi pembebasan atau bangsa
bangsa yang sedang memperjuangkan hak-haknya, wilayah-wilayah
perwalian, kaum beliigerensi dan individu.
1
Negara merupakan subjek
hukum yang paling utama
2
. Pasal 1 Konvensi Montevideo 1933 mengatur
tentang Hak-hak dan Kewajiban Negara menyebutkan bahwa suatu negara
harus memiliki penduduk yang tetap, pada wilayah tertentu, memiliki
pemerintahan yang berdaulat dan yang ke-4 berupa kemampuan melakukan
hubungan dengan negara lain di luar negaranya.
3
Sebagai subjek hukum
internasional negara memiliki kemampuan untuk melakukan hubungan
internasional dalam berbagai kehidupan masyarakat internasional, baik
dengan sesama negara maupun dengan subjek-subjek hukum internasional
lainnya. Sebagai konsekuensinya maka negaralah yang paling banyak

1
Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional, Mandar Maju, Bandung, 1999, hlm. 59.
2
J. G. Starke, diterjemahkan oleh Bambang Iriana Djajaatmadja, Pengantar Hukum
Internasional Edisi Kesepuluh, Sinar Grafika, Jakarta, 1988, hlm 127-128.
3
Ibid.
2


memiliki, memikul dan memegang kewajiban-kewajiban berdasarkan hukum
internasional dibanding dengan subjek hukum intenasional lainnya.
4

Pasal 1 ayat (2) dan (3) Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa yang
memuat tujuan dari Organisasi Internasional Perserikatan Bangsa-bangsa itu
adalah :
2. Mengembangkan hubungan persahabatan antara bangsa-bangsa
berdasarkan penghargaan atas prinsip-prinsip persamaan hak dan
hak rakyat untuk menetukan nasib sendiri, dan mengambil
tindakan-tindakan lain yang wajar untuk memperteguh perdamaian
universal;
3. Mencapai kerjasama internasional dalam memecahkan persoalan-
persoalan internasional di lapangan ekonomi, sosial, kebudayaan,
atau yang bersifat kemanusiaan, demikian pula dalam usaha-usaha
memajukan dan mendorong penghormatan terhadap hak-hak asasi
manusia dan kebebasan-kebebasan dasar bagi semua umat manusia
tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahasa atau agama, dan..
Perwujudan dari Pasal 1 ayat (2) dan (3) Piagam PBB tersebut
direalisasikan dalam suatu hubungan antar-negara yang disebut dengan
hubungan diplomatik dengan aturan hukum internasional yaitu Konvensi
Wina 1961 yang mengatur tentang Hubungan Diplomatik. Pada pembukaan
Konvensi Wina 1961 disebutkan bahwa :
Having in mind the purposes and principles of the Charter of the
United Nations concerning the sovereign equality of States, the
maintenance of international peace and security, and the promotion of
friendly relations among nations

Disebutkan di atas bahwa pembentukan Konvensi Wina 1961 itu
sendiri ditujukan untuk menjalankan misi yang dimuat dalam Piagam PBB

4
Febi Hidayat, Pertanggungjawaban Negara Atas Pelanggaran Hak Kekebalan Diplomatik
Ditinjau dari Aspek Hukum Internasional (Studi Kasus Penyadapan KBRI di Myanmar Tahun
2004), Skripsi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Sumatera Barat, 2011, hlm.3
3


yang mengakui persamaan kedaulatan negara, untuk menjaga perdamaian dan
ketertiban dunia dan untuk mempromosikan hubungan pertemanan yang baik
antara negara-negara. Hal inilah yang menjadi landasan hukum dibukanya
suatu hubungan diplomatik.
Dengan kata lain, hukum diplomatik merujuk pada norma-norma
hukum internasional yang mengatur tentang kedudukan dan fungsi misi
diplomatik yang dipertukarkan oleh negara-negara yang telah membina
hubugan diplomatik.
5
Pada masa dinasti-dinasti besar dunia praktik
pengutusan perwakilan dari kerajaan untuk berkunjung ataupun melakukan
misi-misi tertentu di wilayah kerajaan lain sudah banyak terjadi. Utusan yang
merupakan kurir atau penyampai pesan dari raja. Baik itu di kerajaan-kerjaan
Romawi kuno, Siria, Byzantium, Mesir, Babilonia, India dan China
memberikan perlakuan khusus terhadap utusan raja walaupun utusan tersebut
hanyalah seorang kurir atau penyampai pesan dari raja. Utusan tersebut tidak
boleh dibunuh, disakiti, dilukai ataupun disandera.
6
Perlakuan khusus terhadap
utusan perwakilan diplomatik itu menjadi suatu kebiasaan dalam hukum
internasional. Seorang petugas perwakilan diplomatik memiliki imunitas dan
hak-hak istimewa tertentu dan diberlakukan sampai saat ini.
Pada masa pemrintahan Ratu Anne kerajaan Britania Raya (Inggris)
1706 Masehi yang memenjarakan Duta Besar Rusia dengan tuduhan penipuan,
kemudian Kaisar Russia mengirimkan ultimatum perang kepada kerajaan

5
Ibid.
6
Simon Szykman, Diplomacy An Historical Perspective. www.mellonuniversity.org diaakses
tanggal 21 Desember 2013
4


Inggris karena penangkapan atas Duta Besarnya tersebut. Semenjak itu
kerajaan Inggris menyatakan bahwa setiap perwakilan asing harus dianggap
suci, dan tidak dapat diganggu gugat (inviolability).
7

Pemberian kekebalan dan keistimewaan pada utusan perwakilan
diplomatik ini didasarkan pada teori Functional Necessity. Menurut teori ini
kekebalan dan hak-hak istimewa seorang wakil diplomatik diberikan agar
wakil-wakil diplomatik dapat menjalankan tugas dan misinya dengan leluasa
dan maksimal. Teori ini pula yang dianut oleh Konvensi Wina 1961.
Disebutkan dalam pembukaannya atau preamble-nya dalam alinea ketiga :
Realizing that the purpose of such privileges and immunities is not to
benefit individuals but to ensure the efficient performance of the functions of
diplomatic missions as representing States
( diartikan oleh penulis sebagai menyadari bahwa tujuan dari
keistimewaan dan kekebalan tersebut tidak untuk kepentingan pribadi
melainkan untuk memastikan efisiensi dari pelaksanaan fungsi dari
perwakilan misi diplomatik)
Pemberian kekebalan dan keistimewaan wakil-wakil diplomatik itu
untuk mengoptimalkan pelaksanaan tugas dan fungsi misi diplomatik. Tugas
dan fungsi diplomatik ini diatur oleh Konvensi Wina 1961. Berdasarkan Pasal
3 Konvensi Wina 1961 tugas dan fungsi perwakilan diplomatik dan konsuler
adalah;
1. Representasi
2. Proteksi

7
Setyo Widagdo dan Hanif Nur.S, Hukum Diplomatik dan Konsuler, Bayu Media, Malang,
2008, hlm 79
5


3. Negosiasi
4. Pelaporan
5. Peningkatan Hubungan Persahabatan Antarnegara
Pemberian imunitas dan hak-hak keistimewaan tersebut tentunya
berdasar atas prinsip reciprocity antarnegara.
8
Jadi dengan kata lain, jika
negara penerima memberikan perlakuan yang baik terhadap utusan dari negara
pengirim, maka kemungkinan besar negara pengirim juga akan memberi
perlakuan yang sama terhadap utusan dari negara penerima di negara pengirim
ataupun sebaliknya. Akan tetapi, perlakuan yang baik serta imunitas dan hak-
hak keistimewaan lainnya tersebut bukan berarti seorang petugas diplomatik
dapat berlaku di luar batas kewajaran dan kenormalan ataupun melanggar
aturan hukum dari negara penerima dengan sengaja. Para petugas diplomatik
juga harus menghormati kedaulatan negara penerima dengan cara tidak
melakukan tindakan-tindakan yang dapat menimbulkan kerugian ataupun
mengancam serta ikut campur dalam urusan dalam negeri negara penerima.
Dalam praktik hubungan diplomatik ini banyak sekali kepentingan-
kepentingan lain di luar dari misi diplomatik yang ditugaskan dari negara
pengirim. Misi diplomatik menjadi kamuflase dari misi spionase yakni
melakukan tindakan-tindakan yang bertujuan untuk mengetahui segala
aktivitas, tujuan, rencana, kapabilitas dan kelemahan-kelemahan musuh atau
negara yang dituju baik melalui cara penyadapan ataupun pengiriman agen-
agen intelejen yang berkedok diplomat serta kegiatan-kegiatan lain yang

8
Ibid, hlm. 80
6


bertentangan dengan hukum internasional.
9
Kekebalan dan keistimewaan-
keistimewaan lain yang diberikan kepada perwakilan asing tersebut seringkali
disalahgunakan. Contoh kasus adalah Ryan Fogle yaitu seorang agen CIA
(Central Intellegence Agency atau badan intelijen pemerintah federal Amerika
Serikat) yang didelegasikan oleh pemerintah Amerika untuk berperan ganda
sebagai petugas atau staf diplomatik di kedutaan Amerika di Negara Rusia
yang akhirnya dapat diketahui dan ditangkap oleh FSB (Federalnaya Sluzhba
Bezopasnosti Federal Security Service atau dinas kontra-intelijen Rusia).
10

Pada tahun 2006 di Venezuela seorang atase Angkatan Laut Kedutaan Besar
Amerika Serikat dituduh melakukan praktik mata-mata berkedok misi
diplomatik.
11
Langkah penyelesaian yang sering diambil oleh pemerintah dari
negara yang menjadi korban penyadapan dan spionase tersebut menggunakan
metode persona non grata dan kemudian melakukan pengusiran terhadap
petugas diplomatik tersebut dari wilayah negara penerima untuk kembali ke
negara pengirimnya dan ada juga negara yang memutuskan hubungan
diplomatiknya dengan negara yang melakukan praktik penyadapan dan
spionase tersebut.
Begitu juga kasus penyadapan yang dilakukan oleh Australia terhadap
Indonesia yang baru diketahui publik melalui pengakuan dari Edward
Snowden yaitu mantan kontraktor Badan Keamanan Nasional Amerika Serikat

9
Spionase, www.wikipedia.com diakses tanggal 8 Desember 2013
10
Spionase Fogle di Rusia: Keberhasilan FSB vs Kegagalan CIA, http://luar-
negeri.kompasiana.com, di upload tanggal 21 Mei 2013
11
Rita Uli Hutapea, AS-Venezuela Saling Usir Diplomat, http://news.detik.com, Sabtu,
04/02/2006 11:10 WIB
7


(NSA) yang membocorkan data rahasia NSA.
12
Tindakan penyadapan yang
dilakukan oleh Pemerintah Amerika Serikat dan Australia ini bertentangan
dengan Konvensi Wina 1961 tentang cara-cara yang dibenarkan untuk
mendapatkan informasi mengenai negara penerima dalam hubungan
diplomatik. Indonesia sebagai negara yang berdaulat tentunya merasa bahwa
perbuatan Australia tersebut merupakan suatu pelanggaran terhadap
kedaulatan negara Indonesia. Penyadapan ini pun sudah mengarah kepada aksi
spionase (mata-mata) yang dilakukan AS terhadap Indonesia. Aksi spionase
ini jelas-jelas termasuk tindakan illegal dan bisa dikategorikan sebagai
International Cyber Crime. Pelaku aksi ini sudah bisa dikatakan sebagai
negara pelanggar etika diplomasi. Perbuatan tersebut juga tidak sesuai dengan
prinsip umum dibentuknya suatu perjanjian termasuk perjanjian untuk
membuka hubungan diplomatik harus berdasarkan tujuan atau niat yang baik
dan tidak bertentangan dengan hukum serta tidak sesuai dengan prinsip
bertetangga yang baik antar-negara yang bertujuan untuk menjaga perdamaian
dunia. Atas perbuatan tersebut pemerintah Indonesia mengambil tindakan
yaitu memintakan konfirmasi dari Pemerintah Australia atas isu kasus
penyadapan tersebut serta meminta Pemerintah Australia untuk memberikan
permintaan maaf secara resmi kepada pemerintah Indonesia untuk menjaga
hubungan diplomatik yang baik antar kedua negara. Tidak hanya itu,
pemerintah Indonesia juga menarik kembali atau me-recall duta besar

12
Anonim, Australia Sadap Indonesia: Karena di Dalam Sadapan Itu Namaku
Disebuthttp://politik.kompasiana.com/2013/11/21/australia-sadap-indonesia-karena-di-
dalam-sadapan-itu-namaku-disebut-611904.html diakses tanggal 10 Maret 2014
8


Indonesia di Negara Australia serta menghentikan beberapa hubungan
kerjasama dengan Australia termasuk kegiatan rutin kemiliteran Indonesia dan
Australia.
Dengan kemajuan teknologi dan minimnya aturan hukum yang dapat
memberikan sanksi secara tegas terhadap tindakan penyadapan sangat
memudahkan praktek-praktek seperti ini. Terutama untuk negara-negara maju
seperti Amerika Serikat dan Australia yang memiliki teknologi yang lebih
tinggi dari teknologi Indonesia. Oleh Karena banyaknya kasus-kasus
penyelewengan fungsi dan misi diplomatik seperti yang telah dijelaskan di
atas. Termasuk penyelewengan yang berhubungan dengan praktik penyadapan
yang banyak dikecam oleh negara-negara, namun tetap saja terjadi dan
dilakukan oleh hampir setiap negara.Berdasarkan uraian di atas, maka penulis
tertarik untuk mengangkat judul skripsi IMPLIKASI DARI PRAKTIK
PENYADAPAN DALAM HUBUNGAN DIPLOMATIK TERHADAP
HUBUNGAN BILATERAL ANTARA NEGARA PENGIRIM DAN
NEGARA PENERIMA (Studi Kasus Penyadapan Australia atas Pejabat
Negara Indonesia 2013)
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana peranan hukum internasional khususnya Konvensi Wina 1961
tentang Hubungan Diplomatik dalam mengatur masalah penyadapan antar
negara?
9


2. Tindakan apakah yang dapat dilakukan oleh negara penerima terhadap
negara pengirim atas tindakan penyadapan dan penyalahgunaan misi
diplomatik?
3. Bagaimakah pengaturan hukum di Indonesia mengenai tindakan spionase
dari seorang perwakilan diplomatik?

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui aturan Hukum Internasional mengenai spionase dalam
hubungan diplomatik berdasarkan konvensi Wina 1961?
2. Untuk mengetahui tindakan-tindakan atau langkah-langkah yang dapat
ditempuh oleh negara penerima sebagai korban atas tindakan penyadapan
yang dilakukan oleh negara pengirim.
3. Untuk mengetahui sejauh apa hukum nasional Indonesia mengatur tentang
perlindungan terhadap hak asasi manusia tentang privasi dari tindakan
penyadapan ataupun spionase.
D. Manfaat Penelitian
Peniliti berharap penelitian ini memiliki manfaat praktis maupun manfaat
akademis bagi segenap civitas academica maupun masyarakat umum yang
berminat terhadap masalah-masalah spionase serta hukum diplomatik dan
konsuler :
1. Manfaat Teoritis
10


a. Agar menambah ilmu pengetahuan khususnya di bidang penguasaaan
tentang hukum internasional serta hukum diplomatik dan konsuler.
b. Agar mengetahui bagaimana pertanggungjawaban dari negara yang
yang melakukan tindakan spionase terhadap negara lain melalui misi
diplomatiknya.
c. Agar mengetahui bagaimana hukum internasional mengatur tentang
praktik spionase yang banyak terjadi hampir di setiap negara.
d. Agar dapat menerapkan pengetahuan tentang hukum internasional dan
hukum diplomatik dan konsuler yang didapat selama masa
perkuliahan.
2. Manfaat Praktis
a. Diharapkan dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu hukum
linternasional dan hukum diplomatik dan konsuler di Indonesia.
b. Dapat menjadi pertimbangan bagi negara-negara yang mengalami
kerugian berupa informasi penting yang disadap oleh negara lain di
wilayah negaranya sebagai akibat tindakan spionase yang dilakukan
oleh perwakilan diplomatik negara lain.
c. Menjadi bahan referensi bagi pembaca, baik mahasiswa, maupun
dosen ataupun masyarakat umum sehubungan dengan hukum
diplomatik dan konsuler.

11


E. Kerangka Pemikiran
Hubungan internasional yaitu hubungan antar bangsa dalam segenap
aspeknya yang dilakukan suatu negara yang meliputi aspek politik, ekonomi,
sosial budaya dan pertahanan dan kemanan dalam rangka mencapai tujuan
nasional bangsa itu. Hubungan antar bangsa itu timbul karena adanya
kebutuhan yang disebabkan oleh pembagian kekayaan alam dan
perkembangan industri yang tidak merata di dunia.
13
Oleh karena adanya
hubungan interaksi antarbangsa tersebut maka perlulah hukum yang
mengaturnya yaitu yang disebut dengan hukum internasional. Hukum
Internasional adalah keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas yang mengatur
hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas negara antara negara
dengan negara, negara dengan subjek hukum internasional lainnya.
14
Dengan
kata lain yaitu hukum yang mengatur hubungan internasional. Dalam
hubungan internasional masing-masing negara memiliki kekuasaan tertinggi
atas wilayahnya yang disebut sebagai kedaulatan. Dalam hukum internasional
kedaulatan memiliki pengertian sebagai kekuasaan tertinggi yang dimiliki oleh
suatu negara untuk secara kepentingannya dengan catatan bahwa kepentingan
tersebut tidak bertentangan dengan hukum internasional.
15
Sesuai dengan
konsep Hukum Internasional, kedaulatan memiliki tiga aspek, yaitu;

13
Mochtar Kusumaatmaja dan Etty.R Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Alumni,
Bandung, 2003, hlm. 2
14
Ibid.
15
Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika
Global, P.T. Alumni, Bandung, 2003 hlm 24
12


1. Aspek ekstern adalah hak bagi setiap negara untuk secara bebas
menentukan hubungannya dengan berbagai negara atau kelompok-
kelompok lain tanpa kekangan, tekanan atau pengawasan dari negara lain.
2. Aspek intern adalah hak atau wewenang ekslusif suatu negara untuk
menetukan bentuk lembaga-lembaganya, cara kerja lembaga-lembaga
tersebut dan hak untuk membuat undang-undang yang diinginkannya serta
tindakan-tindakan untuk mematuhi.
16

3. Aspek territorial kedaulatan adalah kekuasaan penuh dan eksklusif yang
dimiliki oleh negara atas individu-individu dan benda-benda yang terdapat
di wilayah tersebut.
17

Seperti kebanyakan orang ketahui bahwa selain adanya hukum
nasional yang mengatur dan berlaku di suatu Negara juga terdapat hukum lain
yang lebih tinggi yang mengatur hubungan antara negara-negara di dunia
maupun subjek hukum lainnya. Adanya hukum internasional dan hukum
nasional ini juga menjadi pokok bahasan yang menarik untuk di bahas yang
mana dalam kaitan antar keduanya ada sekelompok-sekelompok orang yang
mempertanyakan tentang keberadaan kedua hukum tersebut apakah keduanya
terpisah dan dapat dikatakan berdiri sendiri-sendiri atau keduanya merupakan
bagian dari suatu sub sistem yang lebih besar yaitu tatanan sistem hukum yang
lebih besar lagi.

16
Ibid.
17
Ibid, hlm 25
13


Dalam perkembangan teori-teori hukum, dikenal dua aliran besar
mengenai hubungan antara hukum nasional dengan hukum internasional.
Monisme dan dualisme, yaitu;
1. Teori Monisme
Teori mengatakan bahwa hukum internasional dan hukum nasional
merupakan dua aspek yang sama dari satu sistem, yaitu hukum pada
umumnya. Semua hukum dianggap sebagai suatu ketentuan tunggal yang
tersusun dari kaidah-kaidah hukum yang mengikat negara-negara,
individu-individu, atau kesatuan-kesatuan lain yang bukan negara.
18

Anggapan demikian didasarkan pada karakteristik isi dari hukum itu
sendiri. Hukum nasional dan hukum internasional merupakan bagian dari
himpunan peraturan yang universal, yang mengikat semua oknum, baik
secara kolektif maupun secara individual.
2. Teori Dualisme
Hukum nasional dan hukum internasional merupakan dua sistem
hukum yang berbeda sama sekali, hukum internasional dan hukum
nasional berbeda sama sekali secara instrinsik. Menurut Triepel, terdapat
perbedaan fundamental di antara kedua sistem hukum tersebut, yaitu :
a. Subyek-subyek hukum nasional adalah individu-individu,
sedangkan subyek-subyek hukum internasional adalah semata-mata
dan secara ekslusif hanya negara-negara.

18
J. G. Starke, Op. Cit, hlm 98
14


b. Sumber-sumber hukum keduanya berbeda : sumber hukum nasional
adalah kehendak negara itu sendiri, sumber hukum internasional
adalah kehendak bersama (gemenwille) dari negara-negara.
19

Menurut Anziloti hukum internasional dan hukum nasional berbeda
menurut prinsip-prinsip fundamental dengan mana masing-masing
sistem itu ditentukan. Pentaatan terhadap perundang-undangan
negara didasarkan pada prinsip atau norma fundamental, sedangkan
pentaatan terhadap hukum internasional didasarkan pada azas pacta
sunt servanda.
20

Salah satu bentuk hubungan antarnegara adalah hubungan diplomatik.
Diplomasi itu sendiri memiliki arti sebagai politik luar negeri. The Oxford
English Dictionary memberi makna diplomasi sebagai manajemen hubungan
internasional melalui negosiasi yang mana hubungan ini diselaraskan dan
diatur oleh duta besar dan para wakil, bisnis atau seni para pejabat.
Menurut Chambers Twentieth Century Dictionary, diplomasi adalahthe art
of negotiation, especially of treaties between state; political skill(seni
berunding, khususnya tentang perjanjian di antara negara-negara; keahlian
politik).
21
Dengan kata lain bahwa hubungan diplomatik adalah hubungan
internasional antarbangsa mengenai seni mengedepankan kepentingan suatu
negara melalui negosiasi dengan cara-cara damai apabila mungkin, dalam
berhubungan dengan negara lain. Dalam melakukan hubungan internasional

19
Triepel, dalam J.G. Starke. Op. Cit, hlm 97
20
Ibid.
21
Yuning, Pengertian, Tujuan, Metoda, dan Instrumen Diplomasi,
http://yuningnurasri.blogspot.com/ diunduh tanggal 8 Desember 2013
15


antar negara harus menghormati kedaulatan negara lain sesuai dengan prinsip
hubungan pertemanan (friendly relationship), prinsip layak dan umum
(reasonable and normal) serta prinsip-prinsip dan teori-teori lain dalam
hubungan diplomatik, antara lain ;
1. Azas Par Im Paren Non Habet Imperium
Maksudnya adalah negara tidak dapat menjalankan
yurisdiksinya terhadap negara berdaulat lainnya, yang dalam hal ini
kepala perwakilan diplomatik.
22
Artinya negara pengirim tudak dapat
menerapkan yursdiksi hukum negaranya di wilayah negara penerima.
Pemberian keistimewaan-keistimewaan seorang pejabat diplomatik itu
didasarkan pada hukum kebiasaan internasional guna memberikan
keleluasaan seorang pejabat diplomatik dalam menjalankan tugasnya.
Oleh karena itu, baik negara pengirim ataupun pejabat diplomatik tidak
dapat berlaku sewenang-wenang dengan mengenyampingkan hukum
negara penerima seperti melakukan penyadapan.
2. Azas Resiprositas
Teori ini didasarkan pada tindakan yang dilakukan atas dasar
hubungan timbal balik dan saling menguntungkan antara kedua belah
pihak negara, yakni dalam hal ini negara penerima maupun negara
pengirim. Jadi dengan adanya perwakilan diplomatik antar kedua
negara, menyebabkan terdapat adanya hubungan yang saling timbal

22
A. Mansyur Effendi, Hukum Konsuler, Hukum Diplomatik serta Hak dan Kewajiban Wakil-
Wakil Organisasi Internasional/Negara, IKIP, Malang, 1994, hlm. 44
16


balik dan tentunya saling menguntungkan antara masing-masing pihak.
Jadi, jika suatu negara menginginkan suatu perlakuan yang baik dari
negara lain, maka negara tersebut juga harus memberi perlakuan yang
baik terhadap negara yang bersangkutan.
23

Berdasarkan kepada azas di atas dapat diketahui hubungan diplomatik
dilaksanakan untuk tujuan-tujuan perdamaian dan harus menghormati
kedaulatan negara lain. Seorang petugas diplomatik dalam menjalankan
fungsinya diberikan hak kekebalan dan keistimewaan lain dari negara
penerima untuk memberikan kemudahan kepada petugas diplomatik dalam
melaksanakan tugasnya. Pemberian kekebalan dan keistimewan ini didasarkan
pada teori functional necessity. Functional Necessity Theory dalam bahasa
Indonesia disebut teori kebutuhan fungsional. Menurut teori ini, hak-hak
istimewa dan kekebalan diplomatik perlu diberikan kepada diplomat agar
dapat melaksanakan fungsinya secara optimal sehingga hasil pekerjaannya
memuaskan negara penerima dan negara pengirim.
24
Begitu juga yang
disebutkan dalam Pasal 25 Konvensi Wina 1961 yang mewajibkan negara
penerima untuk memfasilitasi atau memberikan kemudahan bagi perwakilan
asing dalam pelaksanaan misinya.
Hak-hak keistimewaan lainnya yang dimiliki oleh seorang pejabat
diplomatik sesuai dengan yang dimuat oleh Pasal 27 Konvensi Wina 1961
antara lain adalah freedom of communication kebebasan berkomunikasi.

23
Eddy O.S. Hiariej,Pengantar Hukum Pidana Internasional, Erlangga, Jakarta, 2009, hlm. 41
24
Rita Uli Hutapea, Op. Cit, hal. 120
17


Kebebasan berkomunikasi yang dimaksud adalah para pejabat diplomatik
dalam menjalankan tugasnya mempunyai kebebasan penuh dan dalam
kerahasian untuk berkomunikasi dengan pemerintahnya. Kebebasan
berkomunikasi ini juga berlaku bagi semua korespondensi resmi antara suatu
perwakilan dengan pemerintahnya dan kebebasan ini harus dilindungi oleh
negara penerima. Surat menyurat para pejabat diplomatik tidak boleh
digeledah, ditahan atau disensor oleh negara penerima. Suatu perwakilan asing
dapat menggunakan kode dan sandi rahasia dalam komunikasinya dengan
pusat sedangkan instalasi radio dan pemancar radio hanya dapat dilakukan
atas izin negara setempat.
25

Kemajuan teknologi seperti sekarang ini sangat memudahkan manusia
khususnya di bidang komunikasi. Sehingga dalam pelaksanaan hak
perwakilan diplomatik yaitu freedom of communication atau kebebasan
berkomunikasi dari petugas diplomatik kepada negara pengirimnya. Negara-
negara maju dengan mudah mendapatkan alat komunikasi berteknologi tinggi.
Penyimpangan seperti penyadapan juga dengan mudah dilakukan dengan
peralatan teknologi terhadap negara penerima. Negara penerima yang
kemampuan teknologi negaranya belum mampu menyaingi negara pelaku
penyadapan tentunya tidak dapat melacak praktik penyadapan tersebut.
Ditambah lagi dengan tidak dapatnya negara penerima untuk menerobos
masuk ke dalam gedung-gedung perwakilan diplomatik yang dicurigai
melakukan penyadapan karena adanya inviolabilitas terhadap gedung

25
Edy Suryono dan Moenir Arisoendha, Hukum Diplomatik: Kekebalan dan Keistimewaanya,
Angkasa, Bandung, 1991, hlm 39
18


perwakilan diplomatik. Disebutkan dalam Pasal 41 Ayat (3) Konvensi Wina
1961 yang berbunyi
Gedung (kantor) perwakilan diplomatik tidak boleh digunakan untuk
tujuan yang tidak sesuai dengan fungsi misi sebagaimana dituangkan di
dalam konvensi ini atau aturan umum hukum internasional atau oleh
perjanjian khusus yang berlaku diantara negara pengirim dan negara
penerima.
Dengan ketentuan yang terdapat pada pasal ini terlihat bahwa bisa
bertindaknya aparat keamanan terhadap perwakilan negara asing hanya
terbatas pada tindakan-tindakan yang dianggap membahayakan.
Mengenai fenomena penyadapan itu sendiri tentunya perlu memuat
definisi dari kata penyadapan itu sendiri. Penyadapan menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia adalah mendengarkan (merekam) informasi rahasia,
pembicaraan) orang lain dengan sengaja tanpa sepengetahuan orangnya.
26

Sedangkan menurut kamus Oxford didefinisikan sebagai to cut off from acces
or communication.
27
Menurut Undang-Undang Informasi dan Transaksi
Elektronik, pada Pasal 31 Ayat (1) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan
intersepsi atau penyadapan adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam,
membelokkan, mengubah, menghambat, dan atau dokumen elektronik yang

26
Arti Kata Penyadapan, www.pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php diakses tanggal 4
Januari 2014
27
Intercept, The Free Dictionary, www.thefreedictionary.com/intercept diakses tanggal 4
Januari 20014
19


tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan nirkabel, seperti pancaran
elektromagnetis atau radio frekuensi.
28

Spionase dapat dikategorikan sebagai praktik pengumpulan informasi
secara rahasia atas suatu hal yang sangat sensitif dari Negara penerima oleh
perwakilan diplomatik Negara pengirim dianggap sebagai cara yang tidak sah
dalam pengumpulan informasi dalam Hukum Diplmomatik, dan secara
Hukum dan Kebiasaan Internasional.
29

Dalam hal terjadinya suatu pelanggaran terhadap hukum internasional
dalam hal ini adalah kasus spionase dan penyadapan. Terdapat pelanggaran
terhadap wilayah kedaulatan negara lain yang dilakukan oleh utusan dari suatu
negara.
1. Pertanggungjawaban Negara
Hukum internasional merupakan hukum yang pada dasarnya
mengatur hubungan antar negara-negara. Kaitannya dengan hukum
pertanggungjawaban yaitu dengan ciri utamanya, menempatkan negara
sebagai subyek utama. Hal ini sesuai dengan yang terdapat dalam pasal
pertama mengenai tanggung jawab dalam hukum internasional oleh the
International Law Commission atau Komisi Hukum Internasional (yang
selanjutnya disingkat dengan ILC), yang menyatakan: setiap tindakan

28
Rizazmi, Penyadapan secara Sah Untuk Telekomunikasi Bergerak Seluler (Lawful
Interception for cellular Telecommunication), www.wordpress.com diunduh tanggal 5 Juni
2009
29
I Gusti Nugraha dan Ida Bagus, Tinjauan Hukum Diplomatik Tentang Penyelesaian Sengketa
Praktik Spionase yang Dilakukan Melalui Misi Diplomatik Diluar Penggunaan Persona Non-
Grata, Universitas Udayana, Bali, 2013, hal 4
20


negara yang salah secara internasional membebani kewajiban negara
bersangkutan (every internationally wrongfull act of a state entails the
international responsibility of that state).
30
Tanggung jawab muncul
diakibatkan oleh pelanggaran ataupun penyalahgunaan kewenangan yang
diatur oleh hukum internasional. Suatu negara tersebut melakukan
pelanggaran atas perjanjian internasional, yang mana dalam kasus tersebut
diatas yang terjadi adalah penyalahgunaan hak kebebasan berkomunikasi
yang dimiliki oleh perwakilan asing di wilayah negara penerima. Kegiatan
spionase yang dilakukan orang-perorangan ataupun suatu organisasi
tertentu yang di bawah perintah langsung dari negara ataupun negara
dianggap mengetahui perbuatan dari warga negaranya dapat dimintai
pertanggungjawaban atas perbuatan tersebut. Negara dianggap memiliki
kuasa penuh atas tindakan dari perangkat negaranya termasuk pada
perwakilan asing yang dikirimnya. Pertanggungjawaban negara berbeda-
beda kadarnya tergantung pada kewajiban yang diembannya atau besar
kerugian yang telah ditimbulkan. Semua hak yang berkarakter
internasional memiliki pertanggungjawaban internasional.
Negara pengirim telah melakukan penyalahgunaan dari hak freedom
of communication yang diatur dalam Konvensi Wina 1961 dan telah
melanggar hukum kebiasaan internasional tentang hubungan yang baik
antarnegara, serta telah melanggar perjanjian dari hubungan diplomatik yang

30
J. Thontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer, Refika Aditama,
Bandung, 2006, hlm.196
21


dibuka oleh kedua negara ini. Sesuai dengan prinsip hukum internasional
bahwa perjanjian internasional ataupun perjanjian yang dibuat oleh masing-
masing pihak mengikat pelakunya layaknya undang-undang (hard law).
Atas perbuatan tersebut langkah yang dapat dilakukan oleh negara
penerima adalah melakukan persona non-grata terhadap pejabat diplomatik
dari negara pengirim atau melakukan pengusiran terhadap petugas diplomatik
yang bersangkutan. Hal tersebut dikarenakan negara penerima tidak dapat
menerapkan yurisdiksinya terhadap pejabat diplomatik negara pengirim,
hanya hukum negara pengirimnya yang dapat berlaku. Kecuali jika negara
pengirim telah melakukan waiver of immunity atau penanggalan kekebalan
terhadap pejabat diplomatiknya dengan pernyataan resmi. Selain langkah-
langkah yang disebutkan di atas, masih banyak cara-cara damai lain dalam
menyelesaikan permasalahan dalam hubungan diplomatik. Namun Konvensi
Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik hanya menyebutkan persona non-
grata dan waiver of immunity.
1. Persona Non-Grata adalah penolakan terhadap utusan diplomatik suatu
negara dikarenakan latarbelakang atau sifat pribadi dari pejabat diplomatik
yang bersangkutan menurut negara penerima. Terhadap penolakan tersebut
Pasal 9 Konvensi Wina 1961 menegaskan bahwa negara penerima tidak
berkewajiban untuk menjelaskan alas an atas penolakan tersebut kepada
negara pengirim.
22


2. Waiver of Immunity adalah penanggalan kekebalan dari yurisdiksi hukum
negara penerima yang dilakukan oleh negara pengirim. Artinya seorang
agen diplomatik atau petugas diplomatik tidak lagi memiliki kekebalan
hukum layaknya petugas diplomatik umumnya dan menjadi seperti warga
negara asing lain yang mendiami negara penerima. Penanggalan kekebalan
ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain dikarenakan
perbuatan yang tidak menyenangkan yang dilakukan oleh petugas
diplomatik. Pasal 32 Konvensi Wina 1961 menegaskan bahwa
penanggalan kekebalan ini harus diumumkan secara tegas.

F. METODE PENELITIAN
1. Metode Pendekatan
Dalam penulisan karya tulis ini akan digunakan pendekatan
Yuridis Normatif, atau penelitian hukum kepustakaan yaitu penelitian
hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data
sekunder belaka.
31
Penelitian hukum normatif atau kepustakaan tersebut
mencakup:
32

a. Penelitian terhadap asas-asas hukum
b. Penelitian terhadap sistematik hukum
c. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal
d. Perbandingan hukum

31
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009, hlm. 13-14
32
Ibid, hal. 14
23


e. Sejarah hukum
2. Jenis Data
Dalam penelitian hukum normatif sumber datanya adalah data
sekunder. Data sekunder dalam penelitian ini dapat dibedakan menjadi 3
(tiga):
a. Bahan hukum primer
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat pokok
yang menjadi acuan dasar penulisan skripsi ini. Bahan hukum primer
terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi dan petusan-
putusan hakim.
b. Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder ini dapat
berupa buku-buku hukum termasuk skripsi, disertasi hukum, dan
jurnal-jurnal hukum.
c. Bahan hukum tersier
Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan yang memberikan
petunjuk maupun penjelasan tentang bahan hukum primer dan
sekunder, misalnya kamus hukum, Kamus Besar Bahasa Indonesia dan
lain sebagainya.
33




33
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cetakan Ke-3, UI Press, Jakarta, 2006, hlm
12.
24


3. Metode Pengumpulan Data
Agar didapat hasil yang baik, maka perlu didukung dengan
tersedianya data yang cukup dan akurat. Alat yang digunakan dalam
penelitian ini adalah studi kepustakaan. Sumber data diperoleh dari data
sekunder seperti Undang-undang, Peraturan Pemerintah, literatur hukum,
hasil-hasil penelitian, perjanjian internasional/konvensi, buku-buku,
majalah, tesis, makalah dan sebagainya, yang peneliti temukan pada:
a. Perpustakaan Universitas Negeri Padjajaran Bandung
b. Perpustakaan Universitas Islam Bandung
c. Buku-buku dan jurnal koleksi dosen
d. Buku-buku, majalah, dan literatur hukum koleksi pribadi penulis
4. Metode Pengolahan dan Analisis Data
Adapun pengolahan dan Analisis data yang digunkan adalah
Analisis Kualitatif, yaitu berupa uraian terhadap data yang terkumpul
dengan tidak menggunakan angka, tetapi berdasarkan peraturan
perundang-undangan, pandangan para pakar hukum, literature hukum,
hasil-hasil penelitian, perjanjian internasional/konvensi, dan sebagainya.
34







34
Sri Mamudji, et al,. Metode Penulisan dan Penelitian Hukum, Badan Penerbit Hukum
Universitas Indonesia, Jakarta, 2005, hlm 67.
25


DAFTAR PUSTAKA
BUKU-BUKU
A. Mansyur Effendi, Hukum Konsuler, Hukum Diplomatik serta Hak dan
Kewajiban Wakil-Wakil Organisasi Internasional/Negara, IKIP Malang, 1994
Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era
Dinamika Global, P.T. Alumni, Bandung, 2003
Eddy O.S. Hiariej,Pengantar Hukum Pidana Internasional, Erlangga, Jakarta,
2009
Edy Suryono dan Moenir Arisoendha, Hukum Diplomatik: Kekebalan dan
Keistimewaanya, Angkasa, Bandung, 1991
J. G. Starke, diterjemahkan oleh Bambang Iriana Djajaatmadja, Pengantar
Hukum Internasional Edisi Kesepuluh, Sinar Grafika, Jakarta, 1988
J. Thontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer, Refika
Aditama, Bandung, 2006
Mochtar Kusumaatmaja dan Etty.R Agoes, Pengantar Hukum Internasional,
Alumni, Bandung, 2003
Setyo Widagdo dan Hanif Nur.S, Hukum Diplomatik dan Konsuler, Bayu
Media, Malang, 2008
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cetakan Ke-3, UI Press,
Jakarta, 2006
26


Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009
Sri Mamudji, et al,. Metode Penulisan dan Penelitian Hukum, Badan Penerbit
Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2005
Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional, Mandar Maju, Bandung, 1999

JURNAL
Febi Hidayat, Pertanggungjawaban Negara Atas Pelanggaran Hak Kekebalan
Diplomatik Ditinjau dari Aspek Hukum Internasional (Studi Kasus Penyadapan
KBRI di Myanmar Tahun 2004), Skripsi Fakultas Hukum Universitas Andalas,
Sumatera Barat, 2011,
I Gusti Nugraha dan Ida Bagus, Tinjauan Hukum Diplomatik Tentang
Penyelesaian Sengketa Praktik Spionase yang Dilakukan Melalui Misi Diplomatik
Diluar Penggunaan Persona Non-Grata, Universitas Udayana, Bali, 2013
PERATURAN HUKUM
Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa 1973
Konvensi Montevideo 1933 tentang Hak-hak dan Kewajiban Negara
Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik
SUMBER LAINNYA
Anonim, Arti Kata, www.pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php
27


Anonim, Intercept, The Free Dictionary, www.thefreedictionary.com/intercept
Anonim, spionase, www.wikipedia.com
Kompasioner, Spionase Fogle di Rusia: Keberhasilan FSB vs Kegagalan CIA,
http://luar-negeri.kompasiana.com
Anonim, Australia Sadap Indonesia: Karena di Dalam Sadapan Itu Namaku
Disebuthttp://politik.kompasiana.com/2013/11/21/australia-sadap-indonesia-
karena-di-dalam-sadapan-itu-namaku-disebut-611904.html
Rita Uli Hutapea, AS-Venezuela Saling Usir Diplomat, http://news.detik.com
Rizazmi, Penyadapan secara Sah Untuk Telekomunikasi Bergerak Seluler
(Lawful Interception for cellular Telecommunication), www.wordpress.com
Szykman, Simon, Diplomacy An Historical Perspective.
www.mellonuniversity.org
Yuning, Pengertian, Tujuan, Metoda, dan Instrumen Diplomasi,
http://yuningnurasri.blogspot.com/








28


BAB. II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Hubungan Diplomatik
Negara merupakan subyek hukum utama hukum internasional, oleh karena
itu negara dapat melakukan tindakan hukum layaknya subyek hukum lainnya.
Salah satunya adalah membuka hubungan diplomatik dengan negara lain.
Namun, berdasarkan Pasal 1 Konvensi Montevideo 1933 mengenai Hak-hak
dan Kewajiban-kewajiban Negara mensyaratkan suatu negara yang dapat
dikatakan sebagai subyek hukum internasional harus memenuhi karateristik-
karakterstik sebagai berikut :
a. Memiliki penduduk tetap
Artinya dalam hal ini dalam suatu negara haruslah memiliki penduduk
yang tinggal, dan terdaftar tetap sebagai warga negara dari negara tersebut
dan bukan merupakan penduduk yang bersifat sementara kemudian
berpindah kepada negara lain.
b. Wilayah tertentu
Sebuah negara haruslah memiliki wilayah territorial yang jelas dan
permanen. Dimana negara itu nanti akan menjalankan yurisdiksi
hukumnya pada wilayah tersebut. Seperti halnya Negara Indonesia yang
memiliki ribuan pulau yang menyebar dari Sabang sampai Merauke serta
kepemilikan atas wilayah laut yang memisahkan pulau-pulau di Indonesia.
c. Pemerintahan yang berdaulat
29


Suatu negara harus dipimpin dan dijalankan oleh suatu rezim
pemerintahan. Baik itu bentuk negara monarki ataupun republik atau
dengan sistem pemerintahan presidensiil ataupun parlementer.
d. Kemampuan untuk melakukan hubungan dengan negara lain
Dalam hukum internasional, syarat (d) merupakan syarat yang paling
penting. Suatu negara harus memiliki kemampuan untuk
menyelenggarakan hubungan-hubungan ekstern dengan negara-negara
lain. Hal ini yang membedakan negara dalam arti sesungguhnya dari unit-
unit yang lebih kecil seperti anggota-anggota suatu federasi, atau
protektorat-protektorat, yang tidak mengurus hubungan-hubungan luar
negerinya sendiri, dan tidak diakui oleh negara-negara lain sebagai
anggota masyarakat internasional yang sepenuhnya mandiri.
35

Syarat (d) di atas dapat menjadi kewajiban yang harus dilakukan oleh
suatu negara yaitu berinteraksi dengan negara lain, salah satunya adalah
dengan melakukan hubungan kerjasama dan diplomatik. Hubungan
internasional atau lintas negara semacam ini harus dilandasi dengan maksud
dan tujuan-tujuan yang baik (good offices). Menurut Hugo de Groot, bahwa
dalam hubungan internasional asas persamaan derajat merupakan dasar yang
menjadi kemauan bebas dan persetujuan dari beberapa atau semua negara.
Tujuannya adalah untuk kepentingan bersama dari mereka yang menyatukan
diri di dalamnya.

35
J. G. Starke, Op.Cit, hlm 127-128.
30


Hubungan internasional ini memiliki banyak cabang, salah satunya
adalah hubungan diplomatik. Berasal dari kata diplomacy yang memiliki
arti yang berbeda-beda dari para ahli. Sir ernest Satow memberikan batasan
diplomasi sebagai berikut.
Application of intelligence and tact to conduct of official relations
between the Goverments of independent states, extending sometimes also
to their relations with vassal states or more briefly still, the conduct of
business between states by peaceful means.
36

(diterjemahkan oleh penulis yaitu cara-cara atau kemampuan dan
keahlian untuk mengadakan hubungan resmi antar-pemerintahan dari
suatu negara yang berdaulat, bahkan dengan negara-negara yang dijajah
atau sedang memperjuangkan kemerdekaannya, dengan cara dan tujuan
untuk perdamaian).
Kemudian Quency Wright dalam bukunya The study of International
Relaions memberikan batasan dalam dua hal.
1) The employment of tact, shrewdness and skill in any negotiation or
transaction (kemampuan dari kebijaksanaan, kelihaian dan
keterampilan dalam setiap negosiasi atau transaksi)
2) The art of negotiation in order to achieve the maximum of cost
within a system of politics in which war is a possibility.
37
( seni dari
negosiasi dalam usaha pencapaian nilai tertinggi dalam suatu sistem

36
Sir Ernest Sattow, A Guide to Diplomatic Practice Full Text,
http://archive.org/stream/guidetodiplomati00satouoft/guidetodiplomati00satouoft_djvu.txt
diakses tanggal 13 April 2014
37
Quincy Wright The Study of International Relations dalam Setyo Widagdo dan Hanif Nur,
Op.Cit, 2008, hlm. 5
31


politik di mana perang menjadi kemungkinan terbesar yang akan
terjadi).
38

B. Hukum Diplomatik
Hubungan diplomatik ini diatur oleh hukum diplomatik, hukum
diplomatik itu sendiri merupakan cabang hukum internasional yang terdiri dari
seperangkat aturan-aturan dan norma-norma hukum yang menetapkan
kedudukan dan fungsi para diplomat termasuk bentuk-bentuk organisasional
dari dinas diplomatik.
39
Pengertian hukum diplomatik pada hakekatnya
merupakan ketentuan-ketentuan atau prinsip-prinsip hukum internasional yang
mengatur hubungan diplomatik antar negara yang dilakukan atas dasar
permufakatan bersama dan ketentuan atau prinsip tersebut dituangkan dalam
instrumen-instrumen hukum sebagai hasil kodifikasi hukum kebiasaan
internasional dan pengembangan hukum internasional.
40
Sumber hukum dari
hukum diplomatik selain yang dimuat dalam Pasal 38 Statuta mahkamah
Internasional.
41


38
Ibid.
39
Jan Osmancyk, dalam Husni Syam, Op. Cit hlm 3
40
Sumaryo Suryokusumo. Hukum Dilomatik, Teori dan Kasus, Alumni, Bandung, 2005, hlm.5.
41
1. The Final Act of The Congress of Vienna (1815) on Diplomatic Ranks
2. Vienna Convention on Diplomatic Relations and Optional Protocol (1961), termasuk di
dalamnya:
a. Vienna Convention on Diplomatic Relations;
b. Optional Protocol Concerning Acquisition of Nationality
c. Optional Protocol Concerning the Compulsory Settlement of Disputes
3. Vienna Convention on Consular Relations and Optional Protocol 1963, yang memuat :
a. Vienna Convention on Consular Relations;
b. Optional Protocol Concerning Acquisition of Nationality;
c. Optional Protocol Concerning the Compulsory Settlement of Disputes
4. Convention on Special Mission and Optional Protocol (1969), yang di dalamnya memuat :
a. Convention on Special Mission;
b. Optional Protocol Concerning the Compulsory Settlement of Disputes
32


C. Prinsip-Prinsip Dalam Hukum Diplomatik
1. Mutual Consent/ Kesepakatan
Menurut Pasal 2 Konvensi Wina 1961 menyatakan bahwa :
The establishment of diplomatic relations between States, and of
permanent diplomatic missions, takes place by mutual consent.
(diterjemahkan oleh penulis sebagai syarat untuk membuka hubungan
diplomatik antar-negara dan melaksanakan misi-misi diplomatik yang
bersifat permanen (bukan misi khusus yang bersifat ad hoc) harus
berdasarkan kesepakatan bersama).
Untuk membuka suatu hubungan diplomatik harus berdasarkan
kesepakatan dari negara pengirim dan negara penerima misi dan pejabat
diplomatik. kedua belah pihak harus sepakat untuk mempertukarkan misi
diplomatik masing-masing. Layaknya perjanjian pada umumnya,
hubungan diplomatik juga didasari atas perjanjian pembukaan hubungan
antarnegara (bilateral) yaitu hubungan diplomatik. Dasar sebuah
perjanjian dapat mengikat para pihak adalah adanya kesepakatan.
42
Baik
negara pengirim maupun negara penerima sepakat mengenai status

5. Convention on the Prevention and Punishment of Crimes against Internatioally Protected
Persons, including Diplomtic Agents (1973)
6. Vienna Convention on the Reperesentation of State in their Relations with International
Organization of a Universal Character (1975).
42
Omri Ben Shahar, Contracts Without Consent: Exploring A New Basis For Contractual
Liability Vol. 152: 1829,
http://home.uchicago.edu/omri/pdf/articles/Contract_Without_Consent.pdf diakses tanggal 21
April 2014, hlm 1829-1830.
33


pejabat diplomatik, status pos perwakilan asing dan hal-hal lain mengenai
isi dari perjanjian diplomatik antar kedua negara tersebut.
43

2. Inviolabilitas
Pasal 29 Konvensi Wina 1961 menyatakan bahwa :
The person of a diplomatic agent shall be inviolable. He shall not
liable to any form of arrest or detention. The receiving state shall
treat him with due respect and shall take all appropriate steps to
pre-vent any attack on his person, freedom or dignity.
(Diterjemahkan oleh penulis sebagai seorang utusan diplomatik
harus tidak dapat diganggu gugat. Dia tidak dapat dikenakan
penahanan atau penghukuman dalam bentuk lainnya. Negara
penerima harus memperlakukan utusan perwakilan diplomatik
dengan hormat dan melakukan segala bentuk tindakan yang
diperlukan untuk mencegah tindakan kekerasan atau tindakan lain
yang dapat mengancam kebebasan dan kehormatannya)
Pengaturan mengenai inviolabilitas ini diatur dalam pasal 22-29
Konvensi Wina 1961. Inviolability diartikan sebagai kekebalan terhadap
alat-alat kekuasaan negara penerima dan kekebalan terhadap segala
gangguan yang merugikan sehingga di sini terkandung pengertian
memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan dari alat-alat kekuasaan
negara penerima. Sementara Immunity diartikan sebagai kekebalan
terhadap yurisdiksi dari negara penerima, baik hukum pidana maupun

43
Satows Edited By Sir Ivor Roberts, Diplomatic Practice (Sixth Editions), Oxford University
Press, New York, 2009, hlm 251.
34


perdata.
44
Inviolability diartikan juga sebagai kekebalan terhadap segala
gangguan yang merugikan. Hal ini juga merupakan kelanjutan dari
ketentuan pasal 29 Konvensi Wina 1961 yang menyatakan :
The receiving state shall take apropriate step to prevent any
attack on his person freedom. or dignity .
Jadi, seorang wakil diplomatik adalah mempunyai hak untuk
rnendapatkan perlindungan dari negara penerima, dengan adanya
pengambilan langkah yang dianggap perlu oleh negara penerima untuk
mencegah setiap serargan terhadap kehormatan, kebebasan dan diri
pribadi seorang wakil diplomatik tersebut. Jadi, seorang wakil diplomatik
adalah kebal terhadap segala gangguan yang merugikan.
3. Reasonable and Normal
Suatu negara yang akan membuka hubungan diplomatik dengan negara
lain sebelumnya harus memperhitungkan seberapa besar kepentingan
negaranya yang harus dilindungi di negara lain, kalau kepentingan itu
memang menghendaki adanya perwakilan diplomatik juga harus dilihat
kemudian adalah seberapa besar misi diplomatik yang akan dikirim
kesana sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 11 ayat (1) Konvensi Wina
1961 tentang Hubungan Diplomatik.
45


44
Ibid, hlm 100
45
Pasal 11 Ayat (1) Konvensi Wina 1961 :
(1) In the absence of specific agreement as to the size of the mission, the receiving State may
require that the size of a mission be kept within limits considered by it to be reasonable and
normal,having regard to circumstances and conditions in the receiving State and to the needs
of the particular mission.
35


4. Freedom of Communication
Dalam pelaksanaan tugas-tugas diplomatik, perwakilan asing
diberikan keleluasaan dalam bidang komunikasi. Komunikasi yang
bersifat privat dengan negara pengirimnya dalam rangka pelaksanaan
tugas-tugasnya. Kebebasan dalam bidang komunikasi tersebut tidak boleh
mendapatkan halangan seperti tindakan pemeriksaan atau tindakan
penggeledahan, penyadapan dan tindakan-tindakan lain yang dapat
menghambat kelancaran komunikasi perwakilan asing yang dilakukan
oleh negara-negara lainnya sesuai dengan yang telah disebutkan dalam
Pasal 27 Konvensi Wina 1961.
46

5. Resiprositas/ Timbal-Balik
Prinsip ini disebut juga dengan prinsip timbal balik, artinya negara
penerima harus memperlakukan perwakilan negara asing dengan baik,
dan sebaliknya negara penerima juga demikian. Prinsip ini kadangkala
juga diartikan dalam pengertian tindakan yang negatif, misalnya
perlakuan pengusiran terhadap staf diplomatik suatu negara asing karena
pelanggaran hukum di negara penerima, dibalas juga oleh negara
pengirim dengan mengusir staf diplomatik negara yang mengusir tadi,
meskipun tidak ada alasan pelanggaran hukum.
47




46
Setyo Widagdo, Op. Cit, hlm 121
47
Oden Ishmael, Reciprocity in International Relations,
http://odeenishmaeldiplomacy.wordpress.com/2013/08/19/41-reciprocity-in-international-
relations/ diakses taggal 13 April 2014
36


D. Tugas dan Fungsi Perwakilan Diplomatik
Konvensi Wina 1961 tentang hubungan diplomatik mengatur tugas dan
fungsi perwakilan diplomatik adalah sebagai berikut :
1. Mewakili negaranya di negara penerima.
2. Melindungi kepentingan negara pengirim di negara penerima dalam batas-
batas yang diperkenankan oleh hukum internasional.
3. Mengadakan perundingan-perundingan dengan pemerintah di mana
mereka diakredutasikan.
4. Memberikan laporan kepada negara pengirim mengenai keadaan-keadaan
dan perkembangan di negara penerima dengan cara-cara yang dapat
dibenarkan oleh hukum.
5. Meningkatkan hubungan persahabatan antarnegara terutama dengan
negara pengirim da negara penerima serta mengembangkan dan
memperluas hubungan ekonomi, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan
mereka.
Selain yang disebutkan di atas, perwakilan diplomatik juga dapat
menjalankan tugas dan fungsi konsuler, seperti pencatatan kelahiran,
perkawinan, perceraian, dan kematian sekaligus mengenai masalah warisan,
dari semua warga negaranya yang berada di negara penerima.
Oppenheim mengatakan bahwa pada pokoknya hanya terdapat tiga tugas
yang wajib dilakukan oleh perwakilan diplomatik, yaitu Negotiation,
Observation dan Protection.
48
Pendapat lain dari Baharuddin A. Ubani,

48
L. Oppenheim, International Law A Treaties, Vol 1 peace, 8th.ed, London, Longmans
37


menyatakan bahwa perwakilan diplomatik yang bertindak sebagai saluran
diplomasi negaranya adalah mempunyai fungsi ganda, yaitu:
49

1. Menyalurkan kepada pemerintah Negara penerima mengenai politik luar
negeri pemerintahnya serta penjelasan seperlunya tentang negaranya
pengertian yang baik dan mendalam.
2. Menyalurkan kepada pemerintah negaranya perihal politik luar negeri
Negara penerima dan melaporkan kejadian-kejadian serta perkembangan
setempat.
Untuk lebih jelasnya mengenai fungsi dari perwakilan diplomatik sesuai
dengan yang diatur dalam Konvensi Wina 1961 tentang hubungan diplomatik,
adalah sebagai berikut ;
1. Representasi
Fungsi yang utama seorang wakil diplomatik dalam mewakili
negara pengirim dan bertindak sebagai saluran penghubung resmi antar
pemerintah kedua negara. Bertujuan untuk memelihara hubungan
diplomatik antar negara yang menyangkut fasilitas penghubung kedua
negara. Pejabat diplomatik seringkali melaksanakan fungsi mengadakan
perundingan dan menyampaikan pandangan pemerintahnya di dalam
beberapa masalah penting kepada negara dimana ia diakreditasikan.
Pejabat diplomatik diumpamakan sebagai perwakilan serta corong dari
pimpinan negara pengirim, jadi dengan kata lain segala tindakan dan
pernyataan resmi yang dikeluarkan oleh kepala misi diplomatik adalah

Green & Company, 1960, hlm 785
49
Syahmin Ak, SH, Hukum Internasional Publik, Binacipta, Bandung, 1992, hlm 239
38


tindakan dan pernyataan resmi dari pimpinan negara pengirim. Melalui
letter of credential atau surat kepercayaan pendelegasian seorang pejabat
diplomatik membuktikan bahwa pejabat diplomatik tersebut membawa
serta kedaulatan dan nama negara pengirim dalam tugasnya. Pertukaran
misi diplomatik seperti ini merupakan cara yag dipilih oleh negara-negara
untuk mempermudah proses menghubungkan negara pengirim dengan
keterwakilkannya negara tersebut melalui pejabat diplomatik yang
diakreditasikan di negara penerima.
50

2. Proteksi
Pasal 3 Konvensi Wina 1961 mengatur bahwa salah satu tugas dari
diplomat adalah melindungi kepentingankepentingan negara pengirim
serta warga negaranya di dalam wilayah di mana ia diakreditasikan dalam
batas-batas yang diperkenannkan oleh hukum internasional.
3. Negosiasi
Menurut Pasal 3 Ayat (1,c) Konvensi WIna 1961, ditentukan
bahwa pejabat-pejabat diplomatik mengadakan perundingan dengan
pemerintah negara penerima (negotiating with the government the
receiving state. Von Glahn mengatakan sebagai berikut :
The original reason for the rise of diplomats the intention of having a
representative in a foreign capital compowered to negotiate agrrement
with the receiving State, wa to deal directly with the foreign
government
51





50
B. Sen Edited By Sir Gerald Fitzmaurice G.C.M.G; Q.C. A Diplomat's Handbook of
International Law And Practice, Martinus Nijhof, Hague, 1965, hlm 47-48
51
Von Glahn dalam Setyo Widagdo, Op. Cit, hlm 60
39


4. Pelaporan
Vohn Glahn mengatakan :
The basic duty of a diplomat is to report to his government on political
event, policies, and other related matters.
52


Salah satu tugas dari seorang diplomat yang dimuat dalam
Konvensi Wina 1961 adalah melaporkan perkembangan yang terjadi di
negara penerima baik itu dalam bidang politik, keamanan, kebudayaan,
ekonomi, sosial dan lainnya kepada negara pengirim dengan cara-cara
yang sah. Tugas pelaporan ini merupakan hal yang pokok bagi kewajiban
perwakilan diplomatik, tetapi harus didasarkan kepada hukum yang
berlaku, tugas observasi yang dilakukan tidak dibenarkan apabila sudah
mencapai tahap spionase terhadap segala kegiatan ataupun kejadian di
negara penerima, maka tugas pelaporan ini harus didasarkan kepada azas-
azas hukum yang berlaku. Contoh dari bentuk dan cara pelaporan yang sah
antara lain seperti melaporkan perkembangan politik di negara penerima
mengenai hasil perhitungan suara terbanyak dari sumber resmi seperti
KPU (Indonesia) kepada negara pengirim, melaporka mengenai survey
perkembangan dan peluang bisnis di wilayah negara pengirim dengan
melakukan kerjasama perekonomia, melaporkan perkembangan-
perkemangan lain di negara penerima berdaarkan hasil riset dan penelitian
dari pertukaran pelajar program beasiswa yang diadakan oleh negara
pengirim, dll.
5. Peningkatan Hubungan Persahabatan Antarnegara

52
Ibid, hlm 61
40


Pasal 3 ayat (d) menyebutkan bahwa fungsi dan tugas dari seorang
diplomat adalah memajukan hubungan bersahabat di antara negara
pengirim dan negara penerima, dan membangun hubungan-hubungan
ekonomi, kebudayaan dan ilmiah.
1. Keistimewaan dan Kekebalan Perwakilan Diplomatik
Pada abad ke-16 dan 17 (pada waktu pertukaran duta besar secara
permanen antara negara-negara Eropa sudah menjadi umum) pemberian
kekebalan dan keistimewaan diplomatik telah mulai diterima sebagai
praktik-praktik negara, bahkan telah diterima oleh para ahli hukum
internasional. Bahkan, jika seorang duta besar terbukti telah terlibat dalam
komplotan atau pengkhianatan melawan kedaulatan negara penerima.
Seorang Duta Besar dapat diusir, tetapi tidak dapat ditangkap, ditahan,
ataupun diadili di negara penerima.
53
7 Anne, Cap.12-2, 706 menjadi dasar
bagi pemberian kekebalan dan keistimewaan diplomat yang dikeluarkan
oleh Ratu Ane kerajaan Britania Raya Inggris atas kasus penangkapan
Duta Besar Russia di Inggris pada abad ke-17.
54

Pemberian kekebalan dan keistimewaan tersebut didasarkan pada
prinsip resiprositas antar negara dan prinsip-prinsip ini mutlak diperlukan
dalam rangka :
1. Mengembangkan hubungan persahabatan antarnegara tanpa
mempertimbangkan sistem ketatanegaraan dan sistem social mereka
yang berbeda.

53
Setyo Widagdo, Op. Cit, hlm 69
54
Sumaryo Suryokusumo, Hukum Diplomatik Teori dan Kasus, Alumni, Bandung, 1995, hlm
51
41


2. Bukan untuk kepentingan perseorangan tetapi untuk menjamin
terlaksananya tugas para pejabat diplomatik secara efisien terutama
dalam tugas dari negara yang diwakilinya.
Sedangkan alasan-alasannya :
1. Para diplomat adalah wakil negara.
2. Mereka tidak dapat menjalankan tugas secara bebas kecuali jika
mereka diberikan kekebalan-kekebalan tertentu.
3. Jika terjadi gangguan pada komunikasi mereka dengan negaranya,
tugas mereka tidak dapat berhasil.
55

Kekebalan para pejabat diplomatik adalah kebebasan dari
penangkapan atau penahanan. Namun seorang diplomat diwajibkan untuk
tetap menghormati peraturan-peraturan dan/atau UU dari negara penerima.
Secara tegas dijanjikan dalam pasal 9 Konvensi Wina 1961, yang
menyebutkan :
Di samping itu mereka juga diwajibkan untuk tidak mencampuri
urusan dalam negeri negara penerima. Kekebalan yang melekat pada
pejabat diplomatik :
a. Kekebalan terhadap jurisdiksi Pidana
b. Kekebalan terhadap jurisdiksi Perdata
c. Kekebalan terhadap perintah pengadilan setempat
d. Kekebalan dalam mengadakan komunikasi, dan
e. Pencabutan kekebalan diplomatik.

Menurut B. Sen terdapat beberapa bentuk pemberian kekebalan da
keistimewaan yang diberikan kepada pejabat diplomatik, yaitu :
1. Inviolability of the person, mission premises, archives and
residence.

55
Ibid.
42


2. Freedom of movement.
3. Freedom of communication.
4. Immunity from civil and criminal jurisdiction.
5. Exemption from taxation.
6. Other immunities and priveleges.
56

Di dalam Konvensi Wina 1961 ada beberapa pasal yang mengatur tentang
kekebalan perwakilan diplomatik. Kekebalan yang dimaksud adalah:
a. Kekebalan Mengenai Diri Pribadi
Ketentuan-ketentuan yang bermaksud melindungi diri pribadi
seorang wakil diplomatik atau kekebalan-kekebalan mengenai diri
pribadi seorang wakil diplomatik diatur di dalam pasal 29 Konvensi
Wina 1961 yang menyatakan :
The person of a diplomatic agent shall be inviolable. He shall
not be liable to any form of arrest or detention. The receiving state
shall treat him with due respect and shall take all appropriate
steps to prevent ant attack on his person, freedom or dignity
Kekebalan yang melekat pada pribadi pejabat diplomatik secara
garis besar juga mencakup segala macam peraturan hak-hak kekebalan
diplomatik yang membuatnya berada di luar ekuasaan hukum atau
yurisdiksi hukum (di luar hukum) pedata maupun pidana negara
setempat dimana ia diakreditasi atau ditugaskan. Jadi, dengan kata lain

56
B. Sen, A Diplomats Handbook of International Law and Practice, Martinus Nijhoff
Publishers, London, 1979, hlm 22-27
43


hak-hak istimewa yang melekat pada diri pribadi diplomat mencakup
kekebalan beberapa hal berikut :
57

1. Tuntutan dalam hal pengadilan mengenai :
a. Barang bergerak milik pribadi, bukan untuk perwakilan atau
negara yang mengirimkannya;
b. Soal warisan di mana ia terlibat dalam kedudukan resminya;
c. Soal-soal komersial dan professional yang bersifat pribadi.
2. Kekebalan terhadap penangkapan/pelaksanaan keputusan hakim
pengadilan setempat (kecuali dalam hal-hal yang disebut pada poin
a,b,c,d), kecuali jika negara pengirimnya melakukan waiver of
immunity (penanggalan kekebalan dan keistimewaan).
3. Kekebalan terhadap perintah pengadilan untuk bertindak sebagai
saksi dalam suatu perkara.
b. Kekebalan Keluarga Pejabat Diplomatik Termasuk Anggota Staf
Diplomatik dan Pelayan.
Semua anggota keluarga dari pejabat diplomatik juga turut
menikmati kekebalan dan hak-hak istimewa tersebut. Pasal 37 Ayat (1)
Konvensi Wina 1961 merumuskan sebagai berikut :
The members of family of a diplomatic agent forming part of his
household shall, if they are not nationals of the receiving state,
enjoy the priveleges and immuniies specified in articles 29 to 36.

57
Setyo widagdo dan Hanif Nur Widhyanti, Op. Cit, hlm 101.
44


Dengan demikian, agar seseorang dapat dianggap sebagai anggota
keluarga wakil diplomatik, tidak hanya adanya hubungan darah atau
perkawinan yang menetukan kedudukan anggota keluarga tetapi juga
harus bertempat tinggal bersama wakil diplomatik atau sebagai bagian
dari rumah tangganya dan bukan pula berwarga negara dari negara
penerima. Kekebalan dan keistimewaan ini berlaku juga untuk staf
administrasi dan staf teknik perwakilan diplomatik, staf pelayan
perwakilan dan bahkan pembantu rumah tangganya selama mereka
yang bekerja tersebut bukan berkewarganegaraan dari negara
pengirim.
c. Kekebalan Yurusdiksi Kriminal dan sipil
Pasal 38 Konvensi Wina 1961 tentang hubungan diplomatik
membatasi pemberian hak kekebalan hanya dalam peranan pejabat
diplomatik tersebut dalam melaksanakan fungsi diplomatisnya. Pejabat
diplomatik tersebut dapat menikmati kekebalan pengadilan dari negara
penerima hanya dalam rangka pelaksanaan kedinasannya dalam
diplomatik. dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa pejabat
diplomatik hanya tunduk pada pengadilan negara pengirim. Pasal 31
Ayat (1) Konvensi Wina 1961 merumuskan bahwa:
A diplomatic agent shall enjoy immunity from criminal
jurisdiction of the receiving state
45


Alat-alat dari suatu negara tidak boleh menangkap, menuntut,
ataupun mengadili seorang wakil diplomatik asing dalam suatu perkara
kejahatan. Bukan berarti bahwa seorang wakil diplomatik tidak harus
menghormati serta menghargai hukum pidana setempat. Salah satu
langkah yang dapat diambil oleh negara penerima jika seorang pejabat
diplomatik melanggar hukum negara penerima adalah dengan mem-
persona non grata pejabat diplomatik yang dimaksud. Di dalam
Konvensi Wina 1961 ditentukan bahwa negara penerima dapat
menyatakan persona non grata terhadap pejabat diplomatik yang tidak
dikehendaki oleh negara penerima tanpa harus memberikan
alasannya.
58

Selain kekebalan dari jurisdiksi kriminal, pejabat diplomatik juga
menikmati kekebalan dari jurisdiksi sipil. Pasal 31 ayat (1) Konvensi
Wina 1961 menyatakan :
He shall also enjoy immunity its civil and administrative
jurisdiction
Tuntuntan sipil dalam bentuk apapun juga tidak dapat dilakukan
terhadap seorang wakil diplomatik asing. Tidak ada tindakan sipil

58
Pasal 9 Konvensi Wina 1961 :
1. The receiving State may at any time and without having to explain its decision, notify the
sending State that the head of the mission or any member of the diplomatic staff of the mission
is persona non grata or that any other member of the staff of the mission is not acceptable. In
any such case, the sending State shall, as appropriate, either recall the person concerned or
terminate his functions with the mission. A person may be declared non grata or not acceptable
before arriving in the territory of the receiving State.
2. If the sending State refuses or fails within a reasonable period to carry out its obligations
under paragraph 1 of this article, the receiving State may refuse to recognize the person
concerned as a member of the mission.
46


apapun yang berhubungan dengan hutang-hutang, penyitaan barang-
barang dan semacamnya dapat diajukan terhadap wakil-wakil
diplomatik di depan pengadilan-pengadilan sipil dari negara
penerima.
59

d. Kekebalan dari Kewajiban Menjadi Saksi di Pengadilan
Dalam Pasal 31 Ayat (2) Konvensi WIna 1961 tentang hubungan
diplomatik mengatur bahwa :
A diplomatic agent is nit obliged to give evidence as a witness
Dengan demikian seorang wakil diplomatik tidak diwajibkan untuk
menjadi saksi di muka pengadilan negara setempat, baik yang
menyangkut perkara perdata maupun menyangkut perkara pidana.
Begitu juga para anggota keluarga dan pengikut-pengikutnya tidak
dapat dipaksa untuk bertindak sebagai saksi di depan pengadilan
sehubungan dengan yang mereka ketahui. Tidak diwajibkan dalam hal
ini artinya tidak mengharuskan pejabat diplomatik untuk memenuhu
surat panggilan sebagai saksi melainkan terserah dari kemauan dari
pejabat diplomatik itu sendiri.

59
Ibid, hlm 110.
47


Mengenai kekebalan diplomatik dari kewajiba untuk menjadi saksi
di depan pengadilan negara setempat maka beberapa sarjana
mengatakan sebagai berikut :
60

1. HALL, jika hukum negara setempat menetapkan bahwa
kesaksian itu harus diberikan secara lisan dan di depan
kehadirannya si terdakwa adalah layak apabila wakil
diplomatik itu atau anggota perwakilan yang kesaksiannya
dibutuhkan, membiarkan dirinya untuk tunduk kepada
pemeriksaan dalam cara yang lazim dilakukan.
2. CALVO, prinsip-prinsip hukum internasional tidak
mengizinkan seorang wakil diplomatik itu menolak
menghadap di depan terdakwa apabila hukum negara secara
mutlak memerlukannya.
3. ULMANN, seorang wakil diplomatik diperbolehkan, jika
memang diinstruksikan oleh pemerintahnya memberikan
kekuasaan kepada pengikut atau keluarganya untuk
menghadap di depan pengadilan sebagai saksi.
Dengan demikian, apabila memang dibutuhkan dan diperlukan
serta memungkinkan untuk pejabat diplomatik hadir dan tanpa
memberatkan adalah tindakan yang bijaksana untuk membantu
pengadilan negara penerima dalam memberikan putusan yang adil dan
benar.

60
Ibid. hlm 115.
48


e. Kekebalan Gedung Perwakilan Diplomatik dan Tempat Kediaman
Wakil Diplomatik Pembebasan Pajak
1. Gedung Perwakilan Diplomatik dan Tempat Kediaman
Pernyataan mengenai kekebalan diplomatik meliputi tempat
kediaman, tempat kerja atau kantor perwakilan diplomati secara
tegas terdapat dalam Pasal 22 dan 30 Konvensi Wina 1961.
61

Kantor perwakilan asing tidak dapat dimasuki oleh
siapapun termasuk badan-badan atau alat kekuasaan negara
penerima, kecuali dengan persetujuan kepala perwakilan. Dalam
hubungan dengan hak kekebalan dari gedung perwakilan asing
maka negara penerima dibebankan suatu kewajiban khusus untuk
mengambil tindakan-tindakan atau langkah-langkah yang dianggap
perlu untuk melindungi tempat kediaman dan tempat kerja
perwakilan itu terhadap setiap pemasukan tidak sah ataupun
pengacauan, pengerusakan dan perbuatan yang mengancam
ketentraman serta merugikan kehormatan dari perwakilan asing,
begitu pula dengan gedung perwakila beserta segala perabotannya
dan harta benda yang ada di dalam gedung perwakilan, barang-

61
Pasal 22 Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik :
(1) The premises of the mission shall be inviolable. They agents of the receiving state is under a
special duty to take all approhead of the mission.
(2) receiving state may not enter them, except with the consent of priate steps to protect the
premises of mission against any instrusion or damage and to prevent any disturbance of the
peace of the mission or impairment of its dignity.
(3) The premises of the mission, their furnishings and other property there on and the means of
transport of the mission shall be immune from search, requisition, attachment or execution.
Pasal 30 Ayat (1) Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Dplomatik :
(1) The private residence of a diplomatic agent shall enjoy the same inviolability and
protections and the premises of the mission.
49


barang transportasi kedutaan juga kebal terhadap pemeriksaan atau
penggeledahan, penyitaan, dan eksekusi.
Pembatasan dari kekebalan-kekebalan diplomatik terhadap
kantor perwakilan asing ini terdapat dalam Pasal 41 ayat (1)
Konvensi Wina 1961 bahwa kantor perwakilan tidak boleh
digunakan untuk tindakan-tindakan yang bertentangan dengan
pelaksanaan tugas dan fungsi perwakilan sebagaimana ditetapkan
dalam konvensi atau oleh peraturan-peraturan hukum internasional
lain, atau oleh perjanjian-perjanjian khusus yang berlaku antara
negara pengirim dan negara penerima. Disebutkan juga dalam
Pasal 41 ayat (1) tersebut bahwa seorang wakil diplomatik
diharapkan untuk menghormati dan memerhatikan undang-undang
dan peraturan-peraturan negara penerima.
Bukan hanya gedung perwakilan asing saja yang tidak dapat
digangu gugat, saluran komunikasi dan arsip diplomatik juga tidak
dapat diganggu gugat. Tidak diganggu gugatnya saluran komunikasi
perwakilan asing artinya bahwa pejabat diplomatik berhak untuk
mengadakan komunikasi dengan bebas guna kepentingan tujuan-tujuan
resmi (official purpose) dari perwakilan asing tersebut tanpa mendapat
halangan berupa tindakan pemeriksaan atau tindakan penggeledahan
yang dilakukan oleh negara-negara lainnya baik itu negara penerima
50


ataupun negara ke-3.
62
Pasal 27 Ayat (1) Konvensi Wina 1961
menetapkan sebagai berikut :
The Receiving State shall permit and protect free communication
on the part of the mission for all official purpose. In
communications then the government and the other missions and
consul sulates of the sending state, where ever situated, the
mission may employ all appropriate.
However, the mission, may install and use wireless transmitter
only with the consent of the receiving state.
Dapat dikatakan bahwa hak berkomunikasi secara bebas adalah
hak seorang pejabat diplomatik, dalam surat menyurat, mengirim
telegram, dan berbagai bentuk hubungan komunikasi. Kebebasan
komunikasi ini mencakup dengan siapa dia berkomunikasi, baik itu
dengan pemerintah negara pengirimnya, dengan perwakilan asing
lainnya ataupun dengan pihak lain yang berhubungan dengan
pelaksanaan tugas diplomatiknya.
63
Negara penerima harus
mengijinkan dan melindungi hak kebebasan untuk berkomunikasi dari
perwakilan asing selama hal tersebut untuk menunjang pelaksanaan
misi diplomatik. Negara penerima berkewajiban untuk melindungi
sifat kerahasiaan dari korespondensi tersebut. Dalam hal memasang
alat radio untuk berkomunikasi dan penggunaan sandi-sandi atau kode-
kode rahasia tertentu untuk menjaga kerahasiaan dalam berkomunikasi
harus mendapatkan persetujuan dari negara penerima sesuai dengan
yang diatur dalam Pasal 27 Ayat (1) Konvensi Wina 1961, yaitu :

62
Setyo Widagdo dan Hanif Nur Widhyanti, Op. Cit, hlm 120.
63
Ibid, hlm 121.
51


However the mission may install and use a wireless transmitter
only with the consent of the receiving state.
Segala bentuk penyadapan dan gangguan komunikasi dianggap
sebagai pelanggaran dan tindakan tidak menyenangkan dari negara
penerima, sehingga dalam hal ini akan berdampak pada buruknya
hubungan bilateral antara negara pengirim dan negara penerima.
Begitu juga halnya dengan Diplomatic bags dari suatu perwakilan
diplomatik negara asing tidak dapat dibuka dan ditahan, baik oleh
negara penerima maupun oleh negara ketiga. Namun, dengan syarat
bahwa diplomatic bags tersebut harus mempunyai tanda-tanda luar
yang terlihat (visible external marks) dan menunjukan sifat dari
bungkus-bungkusan itu sebagai diplomatic bags dan hanya boleh
memuat atau berisi barang-batang atau dokumen-dokumen diplomatik
untuk keperluan resmi. Hal ini ditentukan dalam Pasal 27 Ayat (3) dan
(4) Konvensi Wina 1961 tentang hubungan diplomatik.
64
Diplomatic

64
Pasal 27 Konvensi Wina 1961 :
1. The receiving State shall permit and protect free communication on the part of the mission for
all official purposes. In communicating with the Government and the other missions and
consulates of the sending State, wherever situated, the mission may employ all appropriate
means, including diplomatic couriers and messages in code or cipher. However, the mission
may install and use a wireless transmitter only with the consent of the receiving State.
2. The official correspondence of the mission shall be inviolable. Official correspondence means
all correspondence relating to the mission and its functions.
3. The diplomatic bag shall not be opened or detained.
4. The packages constituting the diplomatic bag must bear visible external marks of their
character
and may contain only diplomatic documents or articles intended for official use.
5. The diplomatic courier, who shall be provided with an official document indicating his status
and the number of packages constituting the diplomatic bag, shall be protected by the receiving
State in the performance of his functions. He shall enjoy person inviolability and shall not be
liable to any form of arrest or detention.
52


corier atau diplomatik kurir yang dilengkapi dengan suatu official
document (dokumen resmi) yang menunjukan statusnya dan
jumlah/nomor bungkusan yang merupakan diplomatic bags itu
dilindungi oleh negara penerima dalam melaksanakan tugas-tugas
perwakilan negitu juga di negara ke-3. Ia menikmati personal
inviolability menurut Pasal 27 ayat 5 Konvensi Wina 1961.
65
Segala
bentuk tindakan penahanan/penangkapan atau tindakan pengurungan
tidak dapat dikenakan pada diplomatik kurir selama ia sedang
bertugas.
Komisi hukum internasional dalam menanggapi masalah kekebalan
dan keistimewaan para pejabat diplomatik telah membaginya dalam
tiga bagian ;
1. Imunities relating to the premises of the mission and its
archives;
2. Those concerning the work of the missions;
3. Personal immunities and priveleges of the envoy.
Terdapat beberapa keistimewaan yang diberikan kepada pejabat
diplomatik yang terdapat dalam kebiasaan internasional (international

6. The sending State or the mission may designate diplomatic couriers ad hoc. In such cases the
provisions of paragraph 5 of this article shall also apply, except that the immunities therein
mentioned shall cease to apply when such a courier has delivered to the consignee the
diplomatic bag in his charge.
7. A diplomatic bag may be entrusted to the captain of a commercial aircraft scheduled to land at
an authorized port of entry. He shall be provided with an official document indicating the
number of packages constituting the bag but he shall not be considered to be a diplomatic
courier. The mission may send one of its members to take possession of the diplomatic bag
directly and freely from the captain of the aircraft.
65
Ibid.
53


comity) dan diatur juga dalam Konvensi Wina 1961 tentang hubungan
diplomatik, yaitu :
1. Hak-hak istimewa pembebasan bea-cukai.
2. Hak-hak istimewa pembebasan pajak.
3. Pembebasan dari kewajiban kemanan sosial.
4. Pembebasan dari pelayanan umum dan milioter
5. Pembebasan dari kewarganegaraan.
Segala bentuk kekebalan dan keistimewaan yang dijelaskan di atas
memberikan gambaran bahwa seolah-olah hukum negara penerima
tidak mempunyai wewenang untuk menyentuh perwakilan asing.
Segala bentuk kekebalan yang diberikan kepada pejabat diplomatik
merupakan perlakuan yang sangat istimewa. Namun, jika terjadi
indikasi penyalahgunaan kewenangan dari misi diplomatik sendiri
misalnya pemakaian gedung perwakilan asing untuk transaksi illegal
(senjata untuk pemberontak, narkoba, dll) serta pemasangan alat
bertekhnologi canggih di gedung perwakilan asing untuk melakukan
penyadapan terhadap negara penerima. Sedangkan menurut Konvensi
Wina 1961 tentang hubungan diplomatik gedung perwakilan asing
tidak dapat diganggu gugat dan tidak dapat dilakukan penggeledahan
atasnya kecuali atas seizing kepala misi. Lalu hal apa yang dapat
dilakukan oleh negara penerima terhadap jenis pelanggaran dari
kewenangan yang dilindungi oleh Konvensi Wina 1961 tersebut.
54


2. Teori Pemberian kekebalan dan Keistimewaan Perwakilan
Diplomatik
Pemberian kekebalan dan perlakuan istimewa lainnnya terhadap
petugas perwakilan asing sudah berlangsung sejak zaman kekaisaran kuno.
Utusan dari suatu kerajaan yang ditugaskan untuk menyampaikan pesan
kepada kerajaan lain tidak boleh dibunuh dan itu menjadi suatu hukum
kebiasaan yang berlaku di semua kerajaan. Jika terjadi sesuatu hal yang
buruk terhadap utusan kerajaan tersebut maka perang ataupun pembalasan
atau pemutusan hubungan baik antar kerajaan dapat terjadi.
Dalam hukum internasional, pemberian kekebalan dan keistimewaan
diplomatik dikenal beberapa teori yang diungkapkan oleh Connel dalam
bukunya International Law, Vol. II 1965. Teori yang dimaksud adalah
sebagai berikut :
66

1. Exterritoriality Theory
Berdasarkan teori ini seorang pejabat diplomatik dianggap
seolah-olah tidak meninggalkan negaranya dan berada diluar
wilayah negara penerima, dia dianggap seolah-olah berada dalam
wilayah negaranya, walaupun sebenarnya dia berada dalam
wilayah negara penerima dan melaksanakan tugas-tugasnya di
sana. Demikan juga halnya gedung perwakilan, jadi pemberian
hak-hak istimewa dan kekebalan-kekebalan itu disebabkan faktor

66
Setyo widagdo, Op. Cit, hlm 73
55


eksteritorialitas tersebut. Oleh karena seorang diplomat itu
dianggap tetap berada di negerinya maka ketentuan-ketentuan
negara penerima tidak berlaku kepadanya.
2. Representative Character Theory
Baik pejabat diplomatik maupun perwakilan diplomatik
mewakili negara pengirim dan kepala negaranya. Dalam kapasitas
itulah pejabat dan perwakilan diplomatik asing menikmati hak-hak
istimewa dan kekebalan di negara penerima. Memberikan hak-hak
istimewa dan kekebalan-kekebalan kepada pejabat-pejabat
diplomatik asing juga berarti bahwa negara penerima menghormati
negara pengirim, kebesaran, kedaulatan serta kepala negaranya.
Teori ini berasal dari era kerajaan masa lalu dimana negara
penerima memberikan semua hak, kebebasan dan perlindungan
kepada utusan-utusan raja sebagai penghormatan terhadap raja itu
sendiri. Tetapi seperti halnya dengan teori eksteritorialitas,
pemberian hak-hak istimewa dan kekebalan ini tidak mempunyai
batas yang jelas dan menimbulkan kebingungan hukum.
3. Functional Necessity Theory
Menurut teori ini, hak-hak istimewa dan kekebalan-
kekebalan dliplomatik dan misi diplomatik hanya didasarkan atas
kebutuhan-kebutuhan fungsional agar para pejabat diplomatik
tersebut dapat melaksanakan tugasnya dangan baik dan lancar.
Dengan memberikan tekanan pada kepentingan fungsi terbuka
56


jalan bagi pembatasan hak-hak istimewa dan kekebalan-kekebalan
sehingga dapat diciptakan keseimbangan antara kebutuhan negara
pengirim dan hak-hak negara penerima. Teori ini kemudian
didukung oleh Konvensi Wina 1961. Pembukaam Konvensi
tersebut dengan jelas menyatakan: Tujuan hak-hak istimewa dan
kekebalan-kekebalan tersebut bukan untuk menguntungkan orang
perorangan tetapi untuk membantu pelaksanaan yang efisien
fungsi-fungsi misi diplomatik sebagai wakil dan negara.
67

E. Berakhirnya Misi Diplomatik dan Penyalahgunaan Keistimewaan Serta
Kekebalan Diplomatik
Berakhirnya kekebalan dan keistimewaan yang diberikan kepada
pejabay diplomatik pada umunya jika petugas diplomatik telah habisa masa
jabatannya, bias juga karena telah terjadi recalled (ditarik untuk kembali ke
negara pengirim) oleh pemerintah negaranya, atau karena persona non-grata
(tidak disenangi lagi). Selain hal tersebut di atas, ada beberapa penyebab lain
yang dapat menjadikan berakhirnya misi diplomatik. Berakhirnya misi
diplomatik seorang staf perwakilan menurut pasal 43 Konvensi antara lain
karena:
1. Adanya pemberitahuan dari negara pengirim kepada negara penerima
bahwa tugas dan pejabat diplomatik itu telah berakhir.
2. Adanya pemberitahuan dari negara penerima kepada negara pengirim
bahwa, sesuai dengan ayat 2 dan pasal 9 Konvensi, negara tersebut

67
Jan Klabbers, An Introduction to International Institutional Law,Cambridge University,
Cambridge, 2002, hlm 36.
57


menolak untuk mengakui seorang pejabat diplomatik sebagai anggota
perwakilan.
Pasal 43 konvensi Wina 1961 ini belum lengkap dan belum berisikan
sebab-sebab lain yang dapat mengakhiri fungsi diplomatik seorang pejabat
perwakilan. Ada kategori lain yang dapat menyebabkan berakhirnya fungsi
tersebut, yaitu :
1. Putusnya hubungan diplomatik
Pemutusan huungan diplomatik ini merupakan suatu hal yang gawat dan
biasanya dilakukan sebagai jalan terakhir bila cara-cara lain yang
dilakukan tidak memberikan hasil. Pemutusan hubungan diplomatik terjadi
apabila sengketa antara kedua negara sudah tidak dapat lagi diselesaikan,
sehingga tindakan apapun yang diambil seperti pengusiran diplomat atau
pemanggilan kepala perwakilan masih belum cukup dan bila terjadi perang
hubungan diplomatik secara otomatis terputus.
Pemutusan hubungan diplomatik terjadi karena kebijakan suatu negara
yang sangat bertentangan dengan posisi negara lain ataupun kegiatan yang
tidak wajar dari personel diplomatik.
68
Dalam hal ini salah satunya adalah
penyalahgunaan dari tugas perwakilan diplomatik dalam melakukan
kegiatan reporting dengan menggunakan cara penyadapan percakapan
dengan maksud mengetahui rahasia negara secara tidak sah.
2. Hilangnya negara pengirim atau negara penerima

68
Boer Mauna, Op.citm hlm 498.
58


Keadaan ini terjadi sebagai akibat penggabungan dua negara atau aneksasi
oleh negara lain. hilangnya suatu negara bukan saja berarti hubungan
diplomatik. tetapi juga berakhirnya misi staf perwakilan diplomatik.
Berakhirnya misi diplomatik dapat juga terjadi jika dalam hal tersebut
terjadi pemutusan hubungan secara sepihak dikarenakan penyalahgunaan
ataupun penyimpangan dari misi diplomatik yang seharusnya yang dianggap
merugikan salah satu pihak atau negara. Menurut Ian Brownlie :
Waiver of immunity may occur, inter alia :
1. In a treaty;
2. In a diplomatic communication;
3. By actual submission;
To the proceedings in the local court.
69

Selain pendapat di atas, Starke juga menegaskan pandangannya bahwa
berakhirnya misi diplomatik disebabkan oleh beberapa hal, yaitu :
70

1. Pemanggilan kembali wakil itu oleh negaranya. Surat panggilan ini
wajib disampaikan kepada Kepala Negara atau Menteri Luar Negeri,
dan wakil yang bersangkutan kemudian diberikan surat Letters de
recreance yang menyetujui pemanggilannya. Seringkali pemanggilan
itu berisi bahwa hubungan kedua negara memburuk. Adanya tindakan
pemanggilan kembali ini hanya dilakukan apabila terjadi ketegangan
dan ketegangan tersebut tidak dapat diselesaikan dengan jalan lain.

69
Ian Brownlie, Principle of Public International Law, Lavendor Press, Oxford, 1998, hlm 324
70
J.G. Starke., Op. cit, hlm 241.
59


2. Permintaan negara penerima agar wakil yang bersangkutan dipanggil
kembali, ini juga berarti bahwa hubungan kedua negara mungkin
sedemikian tegangnya.
3. Penyerahan paspor kepada wakil dan staf serta para keluarganya pada
saat perang pecah anter kedua negara yang bersangkutan.
4. Selesainya tugas misi.
5. Berakhirnya surat-surat kepercayaan yang diberikan untuk jangka
waktu yang sudah ditetapkan.
Dalam praktik pelaksanaan tugas seorang diplomat banyak terjadi
penyalahgunaan dari tugas yang seharusnya. Diplomat yang dalam
pelaksanaan tugasnya mendapatkan kekebalan dan beberapa keistimewaan
lain dimanfaatkan untuk melakukan misi lain atau kepentingan lain diluar
kepentingan msi diplomatiknya seperti praktik spionase dan penyadapan yang
dilakukan oleh perwakilan asing Australia terhadap pejabat Negara Indonesia.
F. Spionase
Spionase seringkali disama artikan dengan intelijen tetapi sebenarnya
spionase dengan intelijen merupakan dua hal yang berbeda. Intelijen dapat
dibagi menjadi dua, yaitu mengumpulkan dan menganalisis data.
71
Kegiatan
Spionase atau tindakan memata-matai merupakan bagian kecil dari kegiatan
intelijen. Kegiatan spionase ini merupakan salah satu pelanggaran prinsip-
prinsip hukum internasional yaitu prinsip kedaulatan negara dan prinsip non-

71
A John Radsan, The Unresolved Equation of Espionage and International Law, Legal Studies
Research Paper Series Working Paper No. 75 July 2007,
http://papers.ssrn.com/Sd3/papers.cFm?abstract_id=1003225, diakses tanggal 15 Maret 2014
60


intervensi. Kedua prinsip tersebut merupakan prinsip umum hukum
internasional yang juga tercantum dalam Pasal 2 (1), 2(4) dan 2(7) Piagam
PBB.
Kegiatan spionase sudah ada sejak lahirnya hubungan antarnegara.
Secara umum kegiatan spionase adalah suatu bentuk pengintaian terhadap
keadaan atau kondisi-kondisi dan perkembangan di suatu tempat atau negara.
Kegiatan mata-mata dapat dilakukan dalam masa damai atau masa perang,
baik oleh penduduk sipil maupun oleh anggota angkatan perang suatu negara
untuk mendapatkan suatu informasi penting yang tidak mudah didapatkan
melalui jalur-jalur komunikasi resmi (radio, televisi, dll). Informasi-informasi
tersebut biasanya didapat melalui alat-alat komunikasi canggih seperti satelit
mata-mata, yang umumnya dipergunakan untuk mendapatkan informasi
mengenai foto udara (aerial photography), eksplorasi permukaan bumi
(surface exploration), dsb. Namun, disamping itu ada pula informasi yang
diperoleh tidak menggunakan alat berteknologi tinggi melainkan dengan
menggunakan agen-agen rahasia (secret agent).
72
.
Definisi dari spionase (espionage) itu sendiri adalah tindakan atau
kegiatan dalam memperoleh kerahasiaan atau hal-hal yang bersifat rahasia dari
suatu negara. Kegiatan tersebut dapat dilakukan baik padamasa perang
maupun damai. Secara umum, spionase dan perkembangan di suatu tempat
atau negara-negara.
73


72
Arlina Permanasari.et.al, Pengantar Hukum Humaniter, Mamita Print, Jakarta, 1999, hlm 89-
90
73
Lihat Blacks Law Dictionary
61


Spionase , umumnya dikenal sebagai mata-mata , adalah praktek diam-
diam mengumpulkan informasi tentang pemerintah asing atau industri
bersaing , untuk menguntungkan pemerintah sendiri atau korporasi. Undang-
undang Federal melarang spionase ketika membahayakan pertahanan nasional
atau manfaat bangsa asing.
74

Terdapat berbagai istilah yang dipergunakan untuk mengatakan
kegiatan seseorang sebagai mata-mata, yaitu:
1. Espionage
Espionage or spying, has represence to the crime of gathering,
transmitting pr losing information respecting the national defense
with intent or reason to believe that information is to be used to the
injury of...,or to advantage of any foreign nation.
75

Dari keterangan di atas dapat diketahui bahwa kegiatan mata-mata
adalah perbuatan yang bertujuan untuk mengumpulkan,
memindahkan, ataupun menghilangkan keterangan yang berkaitan
dengan pertahanan nasional dengan maksud keterangan itu dapat
dipergunakan untuk merugikan negara atau keuntungan bangsa
lain.
2. Spies
A person sent into an enemys camp to inspect their works,
ascertain their strength and their intentions, watch their
movements, and recently communicate intelligence to the proper
officer. By the laws of war among all civilized nations, a spy is
punished with death.





74
Anonim, Espionage, http://legal-dictionary.thefreedictionary.com/espionage diakses tanggal
14 Maret 2014
75
Arlina Permanasari, Op. Cit, hlm 95
62


3. Cland Destine
Secret, hidden, concealed; usually for some illegal or illicit
purpose.
4. Intellegence
News, information, especially with reference to important
events.
Spionase professional selalu menggunakan metode dan tekhnik canggih,
serta didukung dana yang besar dan tekhnologi mutakhir. Seperti satelit mata-
mata yang umumnya dipergunakan untuk mendapatkan informasi mengenai
foto udara (aerial photography) dan eksplorasi permukaan bumi (surface
exploration). Namun, disamping itu adapula berteknologi tinggi, melainkan
dengan menggunakan agen-agen rahasia (secret agent). Disinilah kegiatan
mata-mata dimulai.
76

Aturan hukum internasional yang berkaitan dengan spionase antara lain;
1. The Heague Relagulations of 1907 (Art. 29-31)
2. The Geneva Conventions
3. The Protocol Additional to the Geneva Conventions (Art. 46)
4. U.S Espionage Act 1917 (Art.1, 2)
5. U.S Diplomatic Relations Act 1978
Jadi, kegiatan spionase ini awalnya dilakukan untuk mendapatkan
informasi mengenai rahasia militer ataupun rahasia politik dan secret agent
(agen rahasia)pun tidak mendapatkan perlindungan dari hukum internasional

76
Ibid, hlm 89.
63


dan jika tertangkap dapat dihukum tetapi harus melalui proses peradilan
terlebih dahulu.
Dalam hubungannya dengan hubungan diplomatik. kegiatan spionase
merupakan pelanggaran yang sering terjadi dan banyak dilakukan oleh
perwakilan asing terutama mengenai keadaan negara penerima.
Kelanjutan dari berbagai kasus spionase yang terjadi tentu akan berakibat
pada hubungan bilateral antara kedua negara tersebut. Oleh karena itu, perlu
dibuat pengaturan internasional atau konvensi mengenai keberadaan praktek
spionase yang dilakukan oleh diplomat ataupun perwakilan asing. Pengaturan
tersebut harus dibuat lebih rinci dan tegas supaya dapat dibedakan antara
spionase dan tugas pelaporan dari misi diplomatik sehingga jika terjadi
penyalahgunaan kewenangan dari misi diplomatik dapat ditindak secara
hukum internasional ataupun perjanjian bilateral antara negara pengirim dan
negara penerima.
G. Prinsip Kedaulatan Negara
Kedaulatan ialah kekuasaan tertinggi yang dimiliki oleh suatu negara
untuk secara bebas melakukan kegiatan sesuai kepentingannya asal saja
kepentingan tersebut tidak bertentangan dengan hukum internasional.
77

Perserikatan Bangsa-Bangsa pun telah mengatur tentang penghormatan dan
persamaan atas kedaulatan negara yang dimuat dalam Pasal 2 (1) Piagam
PBB:

77
Boer Mauna, Loc.Cit
64


The organization is based on the principle of the sovereign equality of
all members.
Pasal 2 (4) Piagam PBB :
All Members shall refrain in their international relations from the
threat or use of force against the territorial integrity or political
independence of any state, or in any other manner inconsistent with the
Purposes of the United Nations.

Pasal 2 (7) Piagam PBB :
Nothing contained in the present Charter shall authorize the United
Nations to intervene in matters which are essentially within the
domestic jurisdiction of any state or shall require the Members to
submit such matters to settlement under the present Charter; but this
principle shall not prejudice the application of enforcement measures
under Chapter Vll.

Selain memiliki arti yang sama dengan kemerdekaan, kedaulatan juga
memiliki arti positif dan negatif :
78

Pengertian Negatif
1. Kedaulatan dapat berarti bahwa negara tidak tunduk pada ketentuan
hukum internasional yang mempunyai status lebih tinggi.
2. Kedaulatan berarti bahwa negara tidak tunduk pada kekuasaan apapun
dan dari maupun tanpa adanya persetujuan negara yang bersangkutan.
Pengertian Positif
1. Kedaulatan memberikan kepada titulernya yaitu negara pimpinan
tertinggi atau warga negaranya. Ini yang dinamakan wewenang penuh
dari suatu negara.

78
Ibid, hlm 25
65


2. Kedaulatan memberikan wewenang kepada negara untuk
mengeksploitasi sumber-sumber alam wilayah nasional bagi
kesejahteraan umum masyarakat banyak. Ini yang disebut kedaulatan
permanen atas sumber daya kekayaan alam.
Sesuai dengan konsep Hukum Internasional, kedaulatan memiliki tiga
aspek, yaitu;
79

1. Aspek ekstern adalah hak bagi setiap negara untuk secara bebas
menentukan hubungannya dengan berbagai negara atau kelompok-
kelompok lain tanpa kekangan, tekanan atau pengawasan dari negara
lain.
2. Aspek intern adalah hak atau wewenang ekslusif suatu negara untuk
menetukan bentuk lembaga-lembaganya, cara kerja lembaga-lembaga
tersebut dan hak untuk membuat undang-undang yang diinginkannya
serta tindakan-tindakan untuk mematuhi.
3. Aspek territorial kedaulatan adalah kekuasaan penuh dan eksklusif
yang dimiliki oleh negara atas individu-individu dan benda-benda yang
terdapat di wilayah tersebut.
Kedaulatan internal memiliki pengertian sebagai kedaulatan yang
ditujukan ke dalam wilayah hukum dari negara yang bersangkutan.
80


79
Ibid
80
Jawahir Thontawi dan Pranoto Iskandar, Op.Cit, hlm 152
66


Kedaulatan internal direalisasikan dalam bentuk kewenangan dan kemampuan
untuk :
81

1. Membentuk hukum.
2. Mendapatkan kedudukan.
3. Memutus persoalan-persoalan yang timbul dalam yurisdiksi
negaranya.
Dari penjelasan di atas dapat dilihat bahwa kedaulatan-kedaulatan
merupakan hak mutlak yang dimiliki oleh setiap negara dan tidak dapat
diganggu gugat ataupun dilangkahi dengan alasan apapun dan atas nama
siapapun baik itu negara lain ataupun organisasi internasional.
Kegiatan spionase yang dilakukan di dalam lingkup wilayah kedaulatan
negara penerima memiliki pengertian bahwa perwakilan diplomatik asing
Australia telah melanggar kedaulatan negara Indonesia. Dalam wilayah
kedaulatan suatu negara terdapat pelaksanaan jurisdiksi dari negara tersebut.
Dalam wilayah Indonesia maka akan berlaku jurisdiksi hukum Negara
Indonesia. Pelaksanaan jurisdiksi oleh suatu negara terhadap harta benda,
orang, tindakan atau peristiwa yang terjadi di dalam wilayahnya jelas diakui
oleh hukum internasional untuk semua negara anggota masyarakat
internasional. Prinsip tersebut telah dikemukakan dengan tepat oleh Lord
Macmillan :
82


81
John OBrien, International Law, Lavendish, London, 2001, hlm 227
82
J.G. Starke, Op. cit, hlm 288
67


adalah suatu cirri pokok dari kedaulatan dalam batas-batas ini, seperti
semua negara merdeka yang berdaulat, bahwa negara harus memiliki
jurisdiksi terhadap semua orang dan benda di dalam batas-batas
teritorialnya dan dalam semua perkara perdata dan pidana yang timbul di
dalam batas-batas territorial ini.
Dari penjelasan di atas jelas bahwa kegiatan spionase perwakilan asing
Australia menjadikan Indonesia sebagai negara yang memiliki jurisdiksi atas
tindakan pelanggaran hukum tersebut. Dengan kata lain, Indonesia dapat
menerapkan hukum negaranya atas perbuatan spionase tersebut. Namun jika
melihat pada kekebalan dan keistimewaan dari perwakilan asing, jurisdiksi
negara penerima ataupun negara ketiga akan tidak mempunyai kekuatan untuk
menghukum. Begitu juga menurut Lord Hewart C. J. yang mengatakan.
83

.wakil diplomatik tidak kebal dari tanggung jawab hukum terhadap
setiap kesalahannya meskipun mereka punya kekebalan dan
keistimewaan. Yang benar adalah bahwa mereka tidak
bertanggungjawab untuk diperkarakan di muka pengadilan lokal, kecuali
apabila mereka tunduk kepada jurisdiksi pengadilan tersebut. Kekebalan
dan keistimewaan diplomatik tidak berarti membawa serta merta
imunitas dari tanggung jawab hukum tetapi hanya pembebasan dari
jurisdiksi lokal.

Kegiatan spionase yang terjadi di dalam wilayah negara Indonesia tentu
saja menjadikan Indonesia memiliki kewenangan penuh untuk memutus
permasalahan tersebut, dengan kekebalan dan keistimewaan yang dimiliki
oleh perwakilan asing tersebut langkah-langkah yang dapat ditempuh oleh
Indonesia salah satunya adalah dengan melakukan pemutusan hubungan
kerjasama,dll. Dalam hukum internasional ada beberapa alternatif yang dapat

83
Lord Hewart C.J dalam Dickinson v. Del Solar, Diplomatic Immunity 1 KB 376, Kings Ben
Division, England, 1930, hlm 1
68


dilakukan Indonesia untuk menindak perbuatan penyadapan yang dilakukan
oleh perwakilan asing Australia atas pejabat Negara Indonesia, antara lain
adalah dengan mem-persona non grata pejabat diplomatik yang terlibat,
melakukan waiver of immunity terhadap pejabat diplomatik yang terlibat lalu
kemudian melakukan penyelidikan lebih lanjut ataupun melakukan recall
terhadap pejabat diplomatik negara Indonesia di Australia dan serta-merta
melakukan pemutusan hubungan diplomatik.
Banyak alasan yang dapat dipakai untuk mem-persona non grata,
recall, waiver of immunity seorang pejabat perwakilan diplomatik, apakah atas
dasar spionase, konspirasi, ancaman keamanan, penyalahgunaan hak-hak
istimewa, dan lain-lainnya. Keputusan apapun yang akan diterapkan negara
penerima harus diterima dan dihormati oleh negara pengirim.
Deklarasi persona non-grata yang dikenakan terhadap seorang duta
besar, termasuk anggota perwakilan misi diplomatik lainnya, khususnya
terhadap mereka yang sudah tiba atau berada di negara penerima, melibatkan
pada tiga kegiatan yang dinilai bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang
terdapat di dalam Konvensi Wina 1961 mengenai hubungan diplmatik.
Pertama, kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh para diplomat asing yang
dianggap bersifat politis maupun subversive, dan bukan saja dapat merugikan
kepentingan nasional tapi juga melanggar kadaulatan suatu negara penerima.
Kedua, kegiatan-kegiatan yang dilakukan itu jelas-jelas melanggar peraturan
hukum dan perundang-undangan negara penerima. Ketiga, kegiatan-kegiatan
yang dapat dianggap mengganggu baik stabilitas maupun keamanan nasional
69


negara penerima.
84
Hal tersebut tercantum secara tegas dalam Pasal 41
Konvensi Wina 1961 tentang hubungan diplomatik bahwa pejabat diplomatik
harus menghormati peraturan negara penerima dan tidak mencampuri urusan
dalam negerinya. Begitu juga dengan tugas dan fungsi perwakilan diplomatik
juga tidak boleh digunakan untuk kepentingan lain di luar ketentuan yang
tertuang dalam Konvensi Wina 1961, atau ketentuan lain dalam hukum
internasional, atau ketentuan khusus antara negara pengirim dan negara
penerima. Contoh kasus penarikan ataupun persona non-grata dari pejabat
diplomatik, antara lain :
- Pada tahun 1971, Pemerintah Inggris meminta penarikan seratus lima
(105) pejabat diplomatik Kedutaan Besar Uni Soviet di London karena
keterlibatan mereka dalam kegiatan spionase.
85
Ini menjadi bukti bahwa
dengan belum adanya instrument khusus yang mengatur mengenai
spionase, para mata-mata ini tidak mendapat sanksi yang memadai.
- Kasus Kolonel Rudolf Ivanovich Abel, seorang pejabat diplomatik Uni
Soviet di Amerika yang terbukti menjalankan kegiatan spionase dan
dikenai sanksi 30 tahun penjara dan denda sebesar tiga puluh ribu dolar.
86

- Kasus Cheri Leberknight yaitu pejabat diplomatik Amerika yang
merupakan sekretaris kedua kedutaan besar Amerika di Moscow Rusia
tertangkap di distrik Izmailovo Moskow sedang menunggu informan yaitu

84
Sumaryo Suryokusumo, Op. Cit, hlm 121
85
David Binder, Espionage, Too, Has rules of The Road,
http://www.nytimes.com/1983/04/10/weekinreview/espionage-too-has-rules-of-the-road.html
diakses tanggal 10 April 2014 jam 20:41 WIB
86
Anonim, Rudolf Ivanovich Abel (Hollow Nickel Case), http://www.fbi.gov/about-
us/history/famous-cases/hollow-nickel, diakses tanggal 10 April 2014 jam20:46 WIB
70


warga lokal Rusia yang akan memberikan informasi tentang dokumen
militer dan dokumen penting rahasia negara Rusia lainnya. Cheri
Leberknight akhirnya diberi waktu 10 hari oleh Pemerintah Rusia untuk
meninggalkan Rusia.
87

- Kasus Staislav Borisvich Gusev, seorang diplomat Rusia di Wahington.
Dia ditangkap setelah terbukti menanam peralatan penyadap di
departemen luar negeri Amerika Serikat. Menurut para pejabat Amerika
Serikat seperti dikutip di Washington Post, Gusev telah memonitor antara
lima puluh hingga seratus pertemuan yang terjadi di departemen itu.
88

Dari contoh kasus-kasus di atas, terdapat kesamaan dari bentuk tindakan
yang diambil oleh negara penerima. Negara penerima melakukan persona
non-grata kemudian memintakan pemanggilan oknum pejabat yag dimaksud
kepada negara pengirim ataupun langsung melakukan pengusiran.

H. Tanggung Jawab Negara
Negara merupakan salah satu subyek hukum internasional. Negara
pengemban hak dan kewajiban yang diatur oleh hukum internasional. Hak-hak
negara yang berhubungan dengan kedudukan negara terhadap negara lain yang
sering diutarakan ialah hak kemerdekaan, hak persamaan derajat dan hak
untuk mempertahankan diri. Adapun kewajiban negara yang berhubungan

87
BBC, U.S Spy Record, http://news.bbc.co.uk/2/hi/europe/546422.stm diakses tanggal 10 April
2014
88
Vernon Loeb and Steven Mufson, State Dept. Security Has been Lax, Audit Find,
http://www.washingtonpost.com/wp-srv/WPcap/2000-01/17/079r-011700-idx.html diakses
tanggal 13 April 2014
71


dengan kedudukan negara tersebut terhadap negara lain yang sering diutarakan
ialah tidak melakukan perang, melaksanakan perjanjian internasional dengan
itikad baik dan tidak mencampuri urusan negara lain.
89

Hak-hak yang diberikan kepada negara di bawah hukum internasional
akan menimbulkan tanggung jawab dari pemanfaatan hak tersebut. Negara
bertanggung jawab atas pelanggaran kewajiban mereka , jika pelanggaran
disebabkan oleh negara itu sendiri. Sebuah negara bertanggung jawab untuk
pelanggaran langsung dari hukum internasional misalnya, pelanggaran
perjanjian atau pelanggaran wilayah kedaulatan negara lain. Sebuah negara
juga bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukan oleh lembaga-
lembaga internal negaranya. Tanggung jawab ini berlaku bahkan jika organ
atau badan melampaui kewenangannya. Selanjutnya, negara secara
internasional bertanggung jawab untuk kegiatan pribadi warga negaranya
ataupun badan hukum nasional sejauh bahwa kegiatan tersebut atas perintah
dari negaranya ataupun kegiatan tersebut mengakibatkan kerugian pada negara
lain. Negara akan dianggap tahu dan bertanggung jawab atas perbuatan
tersebut. Pertanggungjawaban negara dalam Hukum Internasional pada
dasarnya dilatar belakangi pemikiran bahwa tidak ada satu pun negara yang
dapat menikmati hak-haknya tanpa menghormati hak-hak negara lain
The International Law Commision (ILC) telah mengeluarkan The ILC
Articles mengenai pertanggung jawaban negara. Artikel tersebut hanya terkait
dengan prinsip-prinsip umum dan pada tahum 1975. Dalam Draft ILC,

89
F. Sugeng Istanto, Hukum Internasional, Universitas Atmajaya, Yogyakarta, 1998, hlm 29.
72


dinyatakan tanggung jab negara timbul manakala terjadi pelanggaran yang
dikategorikan sebagai tindakan salah secara internasional. Hal tersebut
dirumuskan dalam Pasal 1 yang berbunyi :
Every internationally wrongful act of a stat, entails the international
responsibility of that state.
90

Berdasarkan hukum internasional, suatu negara bertanggung jawab
bilamana suatu perbuatan atau kelalaian yang dapat dipertautkan kepadanya
melahirkan pelanggaran terhadap suatu kewajiban internasional, baik yang
lahir dari suatu perjanjian internasional maupun dari sumber hukum
internasional lainnya. Dengan demikian, secara umum, unsur-unsur tanggung
jawab negara adalah :
1. Ada perbuatan atau kelalaian (act or omission) yang dapat dipertautkan
(imputable) kepada suatu negara;
2. Perbuatan atau kelalaian itu merupakan suatu pelanggaran terhadap
suatu kewajiban internasional, baik kewajiban itu lahir dari perjanjian
maupun dari sumber hukum internasional lainnya.
Hingga akhir Abad ke-20 masih dipegang pendapat bahwa untuk lahirnya
tanggung jawab negara tidak cukup dengan adanya dua unsur di atas
melainkan harus ada unsur kerusakan atau kerugian (damage or loss) pada
pihak atau negara lain. Namun, dalam perkembangannya hingga saat ini,
tampaknya unsur kerugian itu tidak lagi dianggap sebagai keharusan dalam
setiap kasus untuk lahirnya tanggung jawab negara. Contohnya, pelanggaran

90
Pasal 1 Draft Articles on Responsibility of State for Internationally Wrongful Acts, 2001
73


terhadap ketentuan hukum internasional yang berkenaan dengan hak asasi
manusia, jelas merupakan perbuatan yang dipersalahkan menurut hukum
internasional, walaupun tidak merugikan pihak atau negara lain. Kemudian
pasal 3 rancangan konvensi tentang tanggung jawab negara yang dibuat oleh
ILC (International Law Commission) menghapus/meniadakan syarat kerugian
dalam setiap definisinya mengenai perbuatan yang dapat dipersalahkan
menurut hukum internasional.
Dalam menjalankan tugas-tugasnya tentunya negara membutuhkan organ-
organ pendukung untuk berlangsungnya pencapaian tujuan negara dan organ-
organ tersebut diisi oleh individu-individu sebagai aparat negara.
91

Kewenangan dari organ-organ ataupun individu-individu yang mengemban
jabatan yang mewakili negara diatur dalam hukum nasional. Pada dasarnya
hukum nasional memberikan kewenangan kapan organ-organ atau individu-
individu tersebut bertindak mewakili negaranya atau luas kewenangannya dan
tindakan-tindakan yang dapat diatribusikan oleh negara.
92
Namun, dalam hal
tanggung jawab negara, hukum internasional menetukan kapan negara dapat
dikategorikan bertanggung jawab atas tingkah laku para aparatnya atau
seberapa jauh tindakan tersebut dapat dikatakan sebagai tindakan dari organ-
organ negara sehingga tanggung jawab dapat dilimpahkan kepada negara.
93


91
Andrey Sujatmoko, Tanggung Jawab Negara atas Pelanggaran HAM Berat di Timor Leste,
PT. Cikal Sakti, Jakarta, 2005, hlm 37.
92
Julio A. Barberis, Representative of All States in International Relations, dalam Bindshedler,
et.al,. Op. cit, hlm 353-354.
93
Audrey Sujatmiko,. Op. Cit, hlm 38.
74


Pelanggaran kewajiban oleh perwakilan negara dapat dipertalikan kepada
negara yang dituntut menurut hukum dapat dipertalikan dengan negara
tersebut.
94
Maka dari itu imputabilitas tergantung pada pemenuhan dua
kondisi, yaitu :
95

1. Perilaku suatu organ atau pejabat negara dalam pelanggaran suatu
kewajiban yang ditetapkan dalam suatu peraturan hukum internasional.
2. Bahwa menurut hukum internasional pelanggaran itu akan dipertalikan
kepada negara itu.
Kegiatan penyadapan yang dilakukan dengan melibatkan perwakilan asing
Australia untuk Indonesia merupakan jenis pelanggaran hukum internasional
yang dilakukan oleh organ negara. Dalam hal ini organ negara tersebut
merupakan organ yang mewakili negaranya dan jelas sudah disebutkan dalam
Pasal 9 Konvensi Wina 1961 tentang hubungan diplomatik yang mengatakan
bahwa pengusiran kepada duta besar bisa dilakukan jika wakil diplomatik itu
melanggar tiga hal. Pertama, duta besar melakukan kegiatan yang subversif
dan merugikan kepentingan nasional. Kedua, kegiatan yang dilakukan oleh
wakil diplomatik melanggar hukum atau perundang-undangan negara
penerima. Ketiga kegiatan yang digolongkan sebagai kegiatan mata-mata atau
spionase yang dapat mengganggu stabilitas keamanan negara penerima.
Dalam Pasal 3 ayat (1) Konvensi Wina 1961 tentang hubungan diplomatik
menyebutkan bahwa salah satu tugas dan fungsi dari perwakilan diplomatik

94
J.G Starke,. Op. Cit, hlm 286
95
Ibid.
75


adalah mewakili negara. Arti kata mewakili negaranya adalah bertindak
layaknya pemerintah negaranya di wilayah negara penerima. Sehingga tugas-
tugas perlindungan negara terhadap warga negaranya yang berada di negara
penerima dapat dilakukan oleh perwakilan asing tersebut, serta mewakili
negara dalam hal kerjasama, perundingan, dan lain-lainnya dengan negara
penerima. Jadi organ negara yaitu perwakilan diplomatik merupakan
perwakilan negara.

Anda mungkin juga menyukai