Anda di halaman 1dari 23

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hubungan Diplomatik adalah bentuk dari hubungan internasional

yang merupakan suatu kebijakan yang dapat dilakukan suatu negara untuk

meningkatkan hubungan dengan negara-negara lainnya. Adapun aturan

yang mengatur mengenai Hubungan Diplomatik diatur dalam Konvensi

Wina 1961, untuk Hubungan Konsuler diatur dengan Konvensi Wina 1963

mengenai hubungan diplomatik yang menjadi landasan dalam hubungan

diplomatik antar negara, Pasal 2 Konvensi Wina disebutkan bahwa

pembentukan suatu hubungan diplomatik antar suatu negara dan oleh misi

diplomatik yang permanen dibentuk berdasarkan kesepakatan bersama.

Untuk dapat dilaksanakannya suatu hubungan diplomatik, negara

membutuhkan perantara atau alat yang nantinya dapat menjadi

penghubung antar satu negara dengan negara yang lain. Alat penghubung

tersebut dapat diwujudkan dengan cara membuka hubungan diplomatik

dan menetapkan perwakilan atau Duta Diplomatik negara pengirim

(sending state) pada negara penerima (receiving state).1

Berdasarkan Konvensi Wina 1961 mengenai hubungan diplomatik,

pada Pasal 39 ayat (1) yang pada intinya bahwa setiap orang yang

mendapat hak istimewa dan kekebalan baru mulai berlaku atau mulai
1
Setyo Wodagdo dan Hanif Nur W, Hukum Diplomatik dan Konsuler, Bayu
Media Publishing, Malang. 2008. Hlm. 38.
2

dapat menikmatinya semenjak ia memasuki wilayah negara penerima

didalam perjalanannya untuk memangku jabatannya atau jika sudah berada

di negara penerima. Mulai menikmatinya pada saat pengangkatannya

diketahui oleh Kementerian Luar Negeri.2 Ketentuan- ketentuan yang

mengatur perlindungan pribadi pejabat diplomat atau kekebalan pribadi

para pejabat diplomat diatur pada Konvensi Wina tahun 1961 bahwa para

pejabat diplomat tidak dapat diganggu (inviolable) pejabat diplomat tidak

dapat dipertangggungjawabkan dalam bentuk apapun baik penahanan

ataupun penangkapan.

Negara penerima memperlakukan dengan hormat dan mengambil

semua langkah tepat untuk dapat mencegah tiap serangan terhadap

badannya, kebebasan atau martabatnya. Kekebalan diplomatik mencakup

dua pengertian yakni inviolability adalah kekebalan terhadap gangguan

yang merugikan, dimana terkandung pengertian bahwa pejabat diplomat

mempunyai hak untuk dapat perlindungan dari negara penerima, dan

immunity merupakan kekebalan terhadap juridiksi negara penerima, baik

hukum pidana maupun hukum perdata.3

Ketentuan-ketentuan Hukum Internasional yang mengatur tentang

hubungan diplomatik merupakan hasil praktek negara-negara yang telah

lama ada, kemudian dituangkan dalam satu instrument hukum yang

2
Edy Suryono dan Moenir Arisoendha, 1991. Hukum Diplomatik Kekebalan
dan Keistimewaan, Bandung. Hlm. 42.
3
Ali Sentosa, tinjauan Hukum Internasional terhadap Diplomat yang
Melakukan Tindakan Melawan Hukum di Hubungkan dengan Kekebalan Diplomatik,
Jurnal Universitas Sumatera Utara, Medan. Hlm. 2.
3

merupakan kodifikasi secara internasional, yaitu Konvensi Wina 1961

yang ditetapkan pada tanggal 18 April 1961. Fungsi misi Diplomatik

termuat dalam Pasal 3 Konvensi Wina 1961, antara lain adalah :

1. Mewakili negara pengirim didalam negara penerima.


2. Melindungi, didalam negara penerima kepentingan-
kepentingan negara pengirim dan warga negaranya didalam
batas-batas yang diijinkan oleh Hukum Internasional.
3. Berunding dengan pemerintah negara penerima.
4. Mengetahui menurut cara-cara yang sah, keadaan-keadaan dan
perkembangan di dalam negara penerima, dan melaporkan
kepada pemerintah negara pengirim.
5. Memajukan hubungan bersahabat di antara negara pengirim
dan negara penerima dan membangun hubungan-hubungan
ekonomi, kebudayaan dan ilmiah.

Mengingat pentingnya fungsi Diplomatik, maka Hukum

Internasional khususnya hukum diplomatik memberikan kekebalan dan

keistimewaan diplomatik, tetapi hal ini tidak bersifat mutlak melainkan

bersifat fungsional dengan tujuan agar anggota misi diplomatik itu dapat

menjalankan fungsinya dengan sebaik-baiknya dalam mewakili negara-

negara. Dengan demikian harus ada kewajiban timbal balik antara negara

penerima dan negara pengirim untuk mentaati Konvensi Wina.4

Perlindungan terhadap suatu wilayah kedutaan disuatu negara

adalah salah satu bagian dari kekebalan dan keistimewaan hukum

diplomatik. Kekebalan dan keistimewaan dan diplomatik ini tidak hanya

mengatur tentang perlindungan terhadap wilayah saja tetapi mencakup

kekebalan dan keistimewaan perwakilan diplomatik. Pemberian kekebalan

dan keistimewaan ini untuk memperlancar atau memudahkan pelaksanaan


4
Syahmin Ak, Hukum Diplomatik Suatu Pengantar, Armico, Bandung, 1988.
Hlm. 72.
4

kegiatan-kegiatan pejabat diplomatik dan bukan atas pertimbangan-

pertimbangan lain.5

Meskipun hak kekebalan dan hak-hak istimewa diplomatik telah

dikukuhkan didalam Konvensi Wina 1961 dan telah banyak negara

meratifikasinya. Namun ketentuan-ketentuan didalam konvensi tersebut

dapat dijamin untuk pelaksanaan kekebalan dan keistimewaan yang

dinikmati para diplomat dalam rangka menjalankan tugas diplomatik

mereka.

Pertanggungjawaban berarti kewajiban memberikan jawaban yang

merupakan perhitungan atas suatu hal yang terjadi dan kewajiban untuk

memberikan pemulihan atas kerugian yang mungkin ditimbulkannya.

Menurut hukum internasional pertanggungjawaban negara timbul dalam

hal negara itu merugikan negara lain.6 Pertanggungjawaban negara secara

internasional dapat dituntut, tetapi harus diketahui terlebih dahulu

perbuatan negara apa yang termasuk sebagai perbuatan melawan hukum

tersebut.

Tanggungjawab negara muncul sebagai akibat dari prinsip

persamaan dan kedaulatan negara yang terdapat dalam hukum

internasional. Prinsip ini kemudian memberikan kewenangan bagi suatu

negara yang terlanggar haknya untuk menuntut respirasi.7 Suatu negara

5
Boer Mauna Op.Cit. Hlm. 548.
6
Sugeng Istanto, Hukum Internasional, 2010. Hlm. 105.
7
Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer,
PT. Refika Adhitama, Bandung, 2006. Hlm. 193.
5

dapat dikatakan bertanggungjawab apabila negara tersebut melakukan

pelanggaran atas perjanjian internasional, melanggar kedaulatan negara

lain, menyerang negara lain, mencederai perwakilan diplomatik negara

lain serta memperlakukan warga asing dengan seenaknya.

Pertanggungjawaban negara (state Responsibilty) merupakan

seperangkat aturan internasional yang mengatur mengenai konsekuensi

hukum pelanggaran kewajiban internasional negara-negara. Kewajiban

internasional ini bersumber dari traktat, hukum kebiasaan internasional,

keputusan pengadilan, dan hal lainnya. Jadi pertanggungjawaban negara

disini adalah tindakan-tindakan yang dinyatakan salah secara

internasional. Maksudnya bahwa analisa terakhir pertanggungjawaban

negara ditentukan oleh norma-norma internasional dan tergantung pada

hukum internasional, sejauh mana tindakan atau kelalaian negara dianggap

melanggar hukum.8

Dengan kata lain, perbuatan melawan hukum internasional adalah

setiap perbuatan negara yang disengaja maupun tidak disengaja yang

melanggar hukum internasional atau melanggar kewajiban dan merugikan

hak negara lain. Menurut Shaw, yang menjadi karakteristik penting adanya

tanggungjawab negara ini bergantung kepada faktor-faktor dasar, sebagai

berikut:9

8
JG Strake, Introduction to International Law, butterworths, London, 1989.
Hlm. 293-294.
9
http://nizarfikkri.com/2011/12tinjauan-yuridis-terhadap-kekebalan.html,
Diakses Tanggal 20 Oktober 2020.
6

1. Adanya suatu kewajiban hukum internasional yang berlaku


antara dua negara tertentu.
2. Adanya suatu perbuatan atau kelalaian yang melanggar
kewajiban hukum internasional tersebut dan melahirkan
tanggungjawab negara.
3. Adanya kerusakan atau kerugian sebagai akibat adanya tindakan
yang melanggar hukum atau kelalaian.

Jadi secara tersirat Malcom N. Shaw menyatakan bahwa suatu

negara jika ingin dimintai pertanggungjawaban maka harus dapat 3 unsur

yang harus dilakukan. Pertama, yaitu harus terdapat kewajiban

internasional yang mengikat pada negara yang akan dimintakan

pertanggungjawaban. Kedua, adanya suatu perbuatan atau kelalaian yang

mengakibatkan dilarangnya suatu kewajiban internasional suatu negara

yang menimbulkan tanggungjawab bagi negara tersebut. Terakhir adalah

adanya kerusakan atau kerugian yang ditimbulkan karena perbuatan yang

merugikan yang diperbuat oleh negara tersebut. Kesimpulan dari ketiga

karakteristik di atas dapat di simpulkan suatu negara hendak dimintai

pertanggungjawaban harus memenuhi unsur tersebut dan apabila negara

tidak memenuhi unsur tersebut maka negara tersebut tidak dapat dimintai

pertanggungjawabannya.10

Bahwa setiap perbuatan melawan hukum internasional oleh negara

akan menimbulkan tanggungjawab negara secara internasional. 11 Brownlie

menyatakan bahwa yang dikatakan dengan perbuatan melawan hukum

adalah suatu perbuatan yang melanggar perjanjian internasional dan

10
Iblid. Hlm 82.
11
Article of Draft Articles: “Every Internationally Wrongful Act Of State Entails
The International Responsibility On That State.”
7

melanggar kewajiban hukum.12 Prinsip pertanggungjawaban negara

terdapat (subjective responsibility) atau (liability based on fault). Salah

satu kasus yang terjadi yaitu, pada tanggal 18 November 1991, di KBRI di

Canberra (Australia), terjadi demonstrasi yang dilakukan oleh Canberra

Trade Labour Council, organisasi buruh yang cukup berpengaruh di

Australia. Sekitar 20 orang aktivisnya, membuat pagar betis di depan

gedung kedutaan. Mereka memblokade semua makanan dan kebutuhan,

serta kiriman pos tidak bisa masuk ke KBRI. Dan dua hari sebelumnya,

tanggal 16 November 1991, Bendera Merah Putih di KBRI di Sydney dan

di tengah kota Adelaide diturunkan lalu dibakar, dikerumuni sekitar 200

demonstran yang tampak kalap. Para demonstran tersebut juga mendirikan

tenda-tenda didepan KBRI, serta mengibarkan bendera Fretillin, dan

memasang spanduk-spanduk yang menghina Indonesia. Tindakan

pemboikotan yang dilakukan oleh serikat buruh Australia itu ternyata

berlangsung sampai bulan Desember 1991.13 Pada hari kamis, 2 Januari

1992, pukul 17.40 waktu setempat, tindakan yang dilakukan oleh para

demonstran ternyata semakin keras, yaitu dengan menyerang tiga mobil

diplomat Indonesia ketika keluar dari KBRI di Canberra, yaitu dengan

melempari mobil-mobil tersebut yang dikendarai oleh tiga orang diplomat

Indonesia dan mengakibatkan kerusakan.14

12
Ian Brownlie, Principles Of Public International Law, 9th Editon Oxford:
Clarendom Press, 2008. Hlm. 434.
13
Tempo, Menunggu Hasil Komisi Djaelani, Jakarta, 30 November 1991. Hlm.
22.
14
Surya, Indonesia Protes Demonstrasi Di KBRI Canberra, Surabaya, 4 Januari
1992.
8

Unjuk rasa yang dilakukan oleh pemuda-pemuda tim telah

berlangsung di luar batas-batas kewajaran. Mereka meneriakkan yel-yel

yang menghujat Pemerintah RI, memasang poster-poster yang mencaci-

maki Indonesia serta yang tidak kalah menghinanya adalah tatkalah

mereka membakar Sang Merah Putih sebagai simbol Martabat dan

Kedaulatan Republik Indonesia di mata dunia. Selanjutnya mereka juga

menancapkan salib-salib sebanyak 102 buah di depan gedung Kedutaan

Besar RI sebagai simbol dari korban yang gugur dalam insiden Dilli

tersebut sebagai akibat keganasan tentara Indonesia, menurut versi

mereka.

Dengan adanya unjukrasa ini, Kedutaan Besar RI telah

mengajukan protes dan meminta agar Pemerintah Australia mencabut

salib-salib tersebut termasuk plakat, tanda-tanda dan kegiatan lainnya yang

dapat menggangu dan menurunkan harkat dan martabat misi Perwakilan

RI, kerana hal itu bertentangan dengan ketentuan dalam Pasal 22 (2)

Konvensi Wina 1961 mengenai Hubungan Diplomatik. 15 Protes yang

diajukan oleh Kedutaan Besar RI ini kiranya telah mendapatkan tanggapan

sewajarnya dari Kementerian Luar Negeri Australia. Menteri Luar Negeri

Australia Gareth Evans menyampaikan rasa penyesalannya atas peristiwa

unjuk rasa ini dan berjanji akan segera mengambil langkah-lamgkah

penting bagi terlindunginya misi diplomatik RI di Canberra.

15
Sumaryo Suryokusumo, Op.Cit. Hlm. 87.
9

Sebagai tindak lanjut atas pernyataan tersebut, Menteri Luar

Negeri Gareth Evans pada tanggal 16 Januari 1992 telah mengeluarkan

Certificate yang menyatakan perpindahan salib-salib yang berada dalam

kedekatan atau kejarakan 50 meter dari batas Gedung Kedutaan Besar RI

di Canberra merupakan langkah yang layak sesuai dengan ketentuan Pasal

22 dan 29 Konvensi Wina 1961. Adanya benda-benda yang berada di

lingkungan sekitar gedung Perwakilan Asing hakekatnya dapat

menurunkan harkat dan martbat atau gangguan terhadap ketenangan misi

perwakilan tersebut.16 Walaupun dalam hari-hari selanjutnya Certificate

yang dikeluarkan oleh Menteri Luar Negeri Australia ini digugat ke

Pengadilan Federal Melbourne, dan oleh Pengadilan Federal dinyatakan

bahwa Certificate ini memiliki Technical Defect namun demikian Polisi

Australia tetap memindahkan salib-salib tersebut tersebut hingga jarak

yang ditentukan dalam Certificate.

Melihat apa yang dilakukan oleh Pemerintah Australia terlihat

adanya keseriusan dan upaya yang sungguh-sungguh untuk melindungi

Gedung Perwakilan Asing di negaranya sebagai negara penerima. Hal ini

berbeda dengan sikap dan tindakan Pemerintah Iran dalam menangani

Kedudukan Gedung Perwakilan Diplomatik dan Konsuler serta

penyanderaan untuk kasus penyerangan Gedung Kedutaan Inggris di

Jakarta juga diperlihatkan adanya kehendak yang positif dari Pemerintah

16
Iblid. Hlm. 88.
10

Orde Baru berkuasa semua kerusakan yang terjadi diatas Gedung

Kedutaan Besar Inggris diganti berdasarkan prinsip Ex Gratia.

Demikianlah dengan melihat beberapa kejadian nyata yang terjadi

dalam praktek Hubungan Diplomatik, dapat disimpulkan bahwa tidak

semua negara mampu berbuat seperti yang diamanatkan oleh Konvensi

Wina 1961 tentang kewajiban negara penerima didalam memberikan

perlindungan terhadap Gedung Perwakilan Diplomatik. Disamping kasus

yang telah diuraikan itu, masih banyak kasus serupa yang dialami oleh

sebagai gedung atau bahkan tempat kediaman pejabat misi diplomatik

yang menjadi sasaran untuk melampiaskan ketidaksenangan secara politik.

Kekebalan para diplomatik dari yuridiksi baik administrasi, perdata

maupun pidana Pasal 31 Konvensi Wina 1961 menyatakan bahwa:

1. seorang agen diplomatik kebal dari yuridiksi criminal negara

penerima. Dia juga kebal dari yuridiksi sipil dan administrasi

kecuali dalam hal: suatu perkara yang berhubungan dengan

barang-barang tetap yang terletak di dalam wilayah negara

penerima, tanpa ia memegangnya itu untuk pihak negara

pengirim untuk tujuan-tujuan tertentu.

2. Seorang agen diplomatik tidak berkewajiban menjadi saksi

untuk memberikan bukti.


11

3. Tiada tindakan eksekusi boleh diambil terhadap agen

diplomatik kecuali di dalam hal-hal yang masuk di dalam sub

ayat (a), (b) dan (c) dari ayat 1 Pasal ini, dan dengan syarat

bahwa tindakan itu dapat diambil tanpa melanggar

inviolabilitas orangnya atau tempat kediamannya.

4. Kekebalan agen diplomatik dari yuridiksi negara penerima

tidak membebaskannya dari yuridiksi negara penerima.

(Konvensi Wina 1961)

Dalam pertanggungjawaban negara atau Responsibility of State for

Internationally Wrongful Acts 2001 menjelaskan dalam beberapa Pasalnya

tentang pertanggungjawaban negara atas apa yang sudah terjadi di negara

Yaman yang dilakukan oleh negara Arab Saudi atas pengebomman yang

terjadi pada tanggal 20 April 2015. Ada beberapa pasal yaitu Pasal 12

adanya pelanggaran kewajiban internasional, ada pelanggaran kewajiban

internasional oleh suatu negara ketika suatu tindakan negara itu sesuai

dengan apa yang diminta. Terlepas dari asal atau karakter Pasal 13

kewajiban internasional yang berlaku untuk suatu negara, suatu tindakan

negara tidak merupakan pelanggaran terhadap kewajiban internasional

karena jika negara terkait oleh kewajiban tersebut pada saat tindakan

tersebut terjadi (responsibility of State 2001).


12

Sebelum tahun 1960-an hampir tidak ada permasalahan mengenai

perlindungan terhadap para diplomat. Namun, setelah itu keadaan berubah

drastis. Hubungan diplomatik antar negara sering dirusak oleh tindakan-

tindakan penculikan, pembunuhan, dan serangan terhadap misi-misi

diplomatik. Dalam beberapa hal diplomat dijadikan sasaran karena

statusnya sebagai wakil dari negara-negara dengan kebijakan-kebijakan

tertentu atau sebagai tekanan terhadap pemerintah untuk mencapai tujuan-

tujuan politik ataupun juga untuk merusakan kredibilitas pemerintah yang

sah.17 Begitu juga dalam kasus kerusakan gedung konsulat yang

menyebabkan perwakilan diplomatik mengalami luka-luka.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan mengenai tanggung

jawab negara penerima dalam melindungi aset kedaulatan negara pengirim, maka

yang menjadi rumusan masalah dalam penulisan ini adalah :

1. Apakah perlindungan terhadap gedung negara penerima dalam wilayah

negara pengirim diatur dalam hukum doplomatik 1961?

2. Bagaiamana seharusnya tanggungjawab negara dalam melindungi

gedung negara pengirim?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan Penulisan

Memperhatikan rumusan masalah yang dikemukakan diatas, maka

tujuan penulisan ini adalah :

17
Satow’s guide to diplomatic practice, 5th, ed. London: longman group ltd,
1979. Hlm. 177 terkutip dalam Syahman, Ak, Op.Cit. Hlm. 122.
13

a. Untuk mengetahui apakah perlindungan terhadap aset negara

penerima dalam wilayah negara pengirim diatur dalam hukum

diplomatik 1961.

b. Untuk mengetahui bagaimana seharusnya tanggungjawab negara

dalam melindungi aset negara pengirim.

c. Sebagai salah satu persyaratan akademik untuk memperoleh gelar

sarjana pada Fakultas Hukum Univresitas Patimura.

2. Manfaat Penulisan

Memperhatikan tujuan penulisan, maka diharapkan penulisan ini

dapat bermanfaat bagi :

a. Diharapkan penulisan ini dapat mengetahui bagaimana

tanggungjawab negara dalam melindungi gedung kedutaan negara

pengirim.

b. Diharapkan penulisan ini dapat menjadi tambahan pengetahuan

dan referensi dalam fokus kajian Hukum Internasional, dan dapat

menjadi masukan sebagai bahan pertimbangan yang bermanfaat

bagi lembaga-lembaga terkait, dalam rangka penataan,

pengembangan dan peningkatan kinerja lembaga tersebut terkait

tanggung jawab negara penerima dalam melindungi aset

kedaulatan negara pengirim.

c. Dalam penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi

pengembangan ilmu hukum, khususnya di bidang Hukum

Internasional, dan menambah wawasan penulis dan pihak-pihak


14

yang membacanya, juga kiranya dapat menjadi bahan yang

berguna untuk penelitian-penelitian selanjutnya.

D. Kerangka Konseptual

1. Konsep Tanggungjawab Negara

Tanggungjawab negara (state responsibility) merupakan prinsip

fundamental dalam hukum internasional yang bersumber dari doktrin para

ahli hukum internasional. Tanggungjawab negara timbul bila terdapat

pelanggaran atas suatu kewajiban internasional untuk berbuat sesuatu, baik

kewajiban tersebut berdasarkan perjanjian internasional maupun

berdasarkan pada kebiasaan internasional.18 Di samping itu tanggungjawab

negara (state responsibility) muncul sebagai akibat dari adanya prinsip

persamaan dan kedaulatan negara (equality and sovereignty of state) yang

terdapat dalam hukum internasional.19

Prinsip ini kemudian memberikan kewenangan bagi suatu negara

yang terlanggar haknya untuk menuntut suatu hak yaitu berupa perbaikan

(reparation).20 Meskipun suatu negara mempunyai kedaulatan atas dirinya,

tidak lantas negara tersebut dapat menggunakan kedaulatannya tanpa

menghormati kedaulatan negara-negara lain. Didalam hukum internasional

telah diatur bahwa kedaulatan tersebut berkaitan dengan kewajiban untuk

tidak menyalahgunakan kedaulatan itu sendiri, karena apabila suatu negara


18
Andrey Sujatmoko, Tanggungjawab Negara atas Pelanggaran Berat HAM:
Indonesia, Timor Leste dan lainnya, Grasindo Gramedia Widiasarana Indonesia. Hlm. 28.
19
Hingorani, Modern International Law, Second Edition, Oceana Publications.
1984. Hlm. 241.
20
Iblid. Hlm. 92.
15

menyalahgunakan kedaulatannya, maka negara tersebut dapat diminta

suatu pertanggungjawaban atas tindakan dan kelalainnya.21

Istilah tanggungjawab negara hingga saat ini masih belum secara

tegas dinyatakan dan masih terus berkembang untuk menentukan

konsepnya yang mapan dan solid. Oleh karena masih dalam tahap

perkembangan ini, maka sebagai konsekuensinya, pembahasan

terhadapnya pun masih sangat membingungkan.22 Hingga saat ini belum

terdapat ketentuan hukum internasional yang mapan tentang

tanggungjawab negara. Umumnya yang dapat dikemukakan oleh para ahli

hukum internasional dalam menganalisa tanggungjawab negara hanya baru

pada tahap mengemukakan syarat-syarat atau karakteristik dari

pertanggunjawaban suatu negara. Meskipun demikian para ahli hukum

internasional telah banyak mengakui bahwa tanggungjawab negara ini

merupakan suatu prinsip yang fundamental dari hukum internasional.23

Dalam hukum internasional dikenal dua (2) macam aturan yakni:24

1. Primary rules seperangkat aturan yang mendefinisikan hak

dan kewajiban negara yang tertuang dalam bentuk traktat,

hukum kebiasaan atau instrument lainnya.

2. Secondary rules adalah seperangkat aturan yang

mendefinisikan bagaimana dan apa akibat hukum apabila

primary rules tersebut dilanggar oleh suatu negara.


21
Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional, CV Rajawali.
Jakarta, 1991. Hlm. 174.
22
Iblid. Hlm. 101.
23
Iblid. Hlm. 103.
24
Sefriani, Hukum Internasional: Suatu Pengantar, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta. 2010. Hlm. 266.
16

Secondary rules inilah yang disebutkan sebagai hukum

tanggungjawab negara (the law of state responsibility). Pasal 1 Draft

Articles International Law Comission 2001 menegaskan bahwa setiap

tindakan suatu negara yang tidak sah secara internasional melahirkan suatu

tanggungjawab.25 Prinsip dalam rancangan Pasal inilah yang dianut dengan

teguh oleh praktek negara dan keputusan-keputusan pengadilan serta telah

menjadi doktrin dalam hukum internasional.26

2. Konsep Hubungan Diplomatik

Hubungan Diplomatik merupakan hubungan yang dijalankan

antara negara satu dengan negara lainnya untuk saling memenuhi

kebutuhan masing-masing negara, hal ini sudah dilakukan sejak berabad-

abad yang lalu. Untuk dapat menjalankan hubungan diplomatik dengan

negara lain perlu adanya pengakuan (recognition) terlebih dahulu terhadap

negara tersebut, terutama oleh negara yang akan menerima perwakilan

diplomatik suatu negara (Receving State). Tanpa adanya pengakuan


25
Martin Dixon, Textbook On International Law Sixth Edition, Oxford
University Press, New York, 2007. Hlm. 244.
26
Huala Adolf I, Op.Cit. lm. 176.
17

terhadap negara tersebut, maka pembukaan hubungan dan perwakilan

diplomatik tidak bisa dilakukan. Misalnya, Indonesia tidak dapat

membuka perutusan diplomatiknya di Israel karena belum mengakui Israel

sebagai sebuah negara.27

Pada awalnya, pelaksanaan hubungan diplomatik itu sendiri hanya

dilaksanakan berdasarkan kebiasaan internasional yang ada diantara

masyarakat-masyarakat internasional terdahulu. Setelah mengalami

perkembangan, dan pada akhirnya negara-negara mengakomodasikan

kebiasaan-kebiasaan internasional yang berkaitan dengan perwakilan

diplomatik asing yang dianggap penting pelaksanaannya kedalan Vienna

Convention on Diplomatic Relations (Konvensi Vienna tentang Hubungan

Diplomatik) 1961, beserta protokol tambahan masing-masing.

Untuk menjalankan hubungan diplomatik diperlukan adanya

perwakilan diplomatik dari tiap-tiap negara. Perwakilan-perwakilan

tersebut akan dipilih oleh negara yang mengutusnya dan akan menjalankan

diplomasi sebagai salah satu cara komunikasi yang biasanya dilakukan

antara berbagi pihak termasuk negosiasi antara wakil-wakil yang sudah

diakui.28 Setelah adanya kesepakatan antara negara pengirim dengan

negara penerima, ke depannya para wakil yang menjadi pejabat

diplomatik, termasuk juga pejabat konsuler diberikan hak kekebalan dan

keistimewaan untuk dapat menjalankan tugas atau misinya dengan baik

27
Sumaryo Suryokusumo, 2013. Hukum diplomatik dan konsuler jilid I,
tatanusa, Jakarta. Hlm. 8.
28
Iblid, Hlm. 3.
18

dan tidak menghadapi halangan seperti adanya pencegahan masuknya

pejabat-pejabat dari negara penerima ke dalam gedung diplomatik, kecuali

disetujui kepala misi, karena dapat dianggap mencampuri urusan negara

pengirim begitu pula sebaliknya.29

Selain itu negara penerima harus menyediakan sarana yang pantas

kepada perwakilan diplomatik asing di negaranya, kemudian mengijinkan

dan melindungi kemerdekaan berkomunikasi pada pihak perwakilan

diplomatik asing tersebut agar tidak ada hambatan untuk bekomunikasi

dengan Pemerintah Negara pengirimnya untuk melaksanakan fungsi-

fungsinya.30 Pemberian kekebalan dan keistimewaan bagi para pejabat

diplomatik yang didasarkan pada prinsip timbal balik (Principle of

Reciprocity) antar negara seperti yang telah disebutkan sebelumnya sudah

lama menjadi bagian dari sejarah diplomasi, dan hal ini sudah dianggap

sebagai kebiasaan internasional.

3. Konsep Wilayah Ekstrateritorial

Suatu negara mempunyai kekuasaan sepenuhnya di wilayahnya untuk

melaksanakan yuridiksi terhadap warganegaranya dan sebaliknya negara itu tidak

dapat melaksanakan yudiksinya di wilayah negara lain. Namun ada beberapa

pengecualian dimana suatu negara dapat melaksanakan yuridiksinya di negara lain

(Yuridiksi Ekstrateritorial), walaupun dalam beberapa hal ada pembatas-

pembatasnya. Konvensi Wina 1963, mengenai Hubungan Diplomatik, dan

Konvensi Wina 1963, mengenai Hubungan Konsuler, merupakan instrumen-


29
Konvensi Wina 1961, Pasal 22 (1)
30
Iblid, Pasal 27 (1). Hlm. 72.
19

instrumen hukum internasional baru yang mengatur tentang yuridiksi

ekstrateritorial tersebut.

Yuridiksi Ekstrateritorial ini diartikan sebagai kepanjangan secara semu

(quasi extentio) dari yuridiksi suatu negara di eksteritorial atau ekstrateritorial

dalam kaitannya dengan premises (sebidang tanah dimana berdirinya gedung-

gedung perwakilan diplomatik maupun konsuler) di suatu negara. Lingkungan

wilayah di dalam premises itu dianggap seakan-akan merupakan wilayah

tambahan dari suatu negara. Premises tersebut didalam hukum diplomatik

dinyatakan tidak boleh diganggu gugat, tidak boleh dimasuki oleh aparat

keamanan setempat kecuali seizing Kepala Perwakilannya. 31 Karena itu

Perwakilan Diplomatik maupun Konsuler suatu negara dapat melaksanakan

yuridiksi ekstrateritorialnya di negara lain.

Yuridiksi Ekstrateritorial tersebut meliputi yuridiksi perwakilan diplomatik

dan perwakilan konsuler dari suatu negara khususnya yang menyangkut yuridiksi

suatu negara terhadap warganegaranya di negara lain. Yuridiksi ekstrateritorial ini

pada awalnya disebut sebagai yuridiksi konsuler karena yuridiksi semacam itu

sejak dahulu sudah dikenal dan telah dipraktekan oleh konsul-konsul di negara

lain.32 Bahkan yuridiksi ekstrateritorial ini juga telah dipraktekan semasa

Kekaisaran Ottoman dalam abad ke-16 oleh karena pada masa itu hukum Turki

yang didasarkan pada Qur’an tidak selayaknya dapat diberlakukan pada golongan

asing Kristen Barat yang berada di negara tersebut.

Dalam terjadinya musibah terhadap warga negara asing di suatu negara,

31
Pasal 22 (1) Konvensi Wina 1961 Mengenai Hubungan Diplomatik.
32
Hyde II, Op.Cit. hlm. 849-871.
20

khususnya keterlibatannya dalam tindak kejahatan, walaupun ia tetap harus

menghormati Peraturan Perundang-Undangan negara setempat dari penyelidikan,

penyidikan sampai kepada penuntutan di pengadilan, otorita setempat mempunyai

pembatas terhadap yuridiksinya dimana otoritas setempat berkewajiban untuk

memberitahukan kepada pemerintah negara dimana warganegara itu berasal baik

melalui perwakilan diplomatik maupun perwakilan konsulernya yang berada di

negara setempat mengenai musibah yang terjadi dan mengenai jalannya proses

peradilan yang akan diambil terhadap warganegara asing tersebut.33

Dengan demikian, baik perwakilan diplomati maupun perwakilan konsuler

yang mempunyai yuridiksi ekstrateritorial wajib memberikan perlindungan

warganegaranya termasuk kepentingannya di negara setempat, antara lain untuk

mengunjungi warganegaranya yang ada di dalam penjara, mempersiapkan

pengacara hukum yang diperlukan, mencarikan penerjemah dalam hal ia tidak

mengetahui bahasa setempat, sebelum diadili dalam setiap tingkatan di pengadilan

negara setempat.

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang disebut juga sebagai penilitian Yuridis Normatif dan

perpustakaan atau studi dokumen, karena penelitian ini dilakukan atau ditunjukan

hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan hukum lain.34

2. Sifat Penelitian

Sifat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini bersifat preskriptis

33
Pasal 36 (1) b. Konvensi Wina 1963 mengenai Hubungan Diplomatik.
34
Ibid, Hlm.142.
21

analisis. Penelitian ini dilakukan dimana pengetahuan tentang objek yang akan

diteliti telah ada lalu kemudian dipakai guna memberikan gambaran mengenai

objek penelitian secara lebih lengkap dan menyeluruh.

3. Pendekatan penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan kasus (the

case approach), pendekatan konseptual (conceptual approach),dan pendekatan

perundang-undangan (statute approach).

Pendekatan kasus adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara menelaah

kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapai yang telah menjadi putusan

pengadilan dan telah menjadi kekuatan hukum yang tetap. Pendekatan konseptual

beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang

didalam ilmu hukum. Pendekatan historis dilakukan dengan menelaah latar

belakang apa yang dipelajari dan perkembangan pengaturan mengenmai isu yang

dihadapi.

4. Sumber Bahan Hukum

Bahan hukum dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu bahan hukum

primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Dalam

penelitian ini, penulis menggunakan sumber bahan hukum sebagai

berikut :

a. Bahan Hukum Primer


22

Bahan hukum primer yang terdiri dari peraturan perundang-

undangan, catatan resmi, risalah dalam pembuatan perundangan-

undangan dan putusan hakim. Dalam penelitian ini bahan hukum

yang digunakan adalah sebagai berikut:

1. Konvensi Wina tahun 1963 tentang Hubungan Diplomatik.

2. Pasal 12 tentang Pelanggaran Kewajiban Internasional.

3. Pasal 13 tentang Kewajiban Internasional.

4. Pasal 31 Konvensi Wina 1961 tentang Hak dam Kekebalan

Diplomatik.

b. Bahan Hukum Sekunder

Dalam penelitian ini, bahan hukum sekunder yang

digunakan meliputi buku-buku hukum ilmiah dibidang hukum,

makalah-makalah, jurnal, artikel ilmiah.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang

memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadapo bahan hukum

primer dan sekunder. Dalam penelitian ini, bahkan hukum tersier

yang digunakan meliputi kamus besar bahasa Indonesia, kamus

hukum, Wikipedia, situs internet yang berkaitan dengan hukum

internasional.

5. prosedur Pengumpulan Bahan hukum

Dalam penelitian ini teknik pengumpulan bahan hukum yang

dilakukan adalah dengan studi kepustakaan, mempelajari dokumen


23

terkait masalah yang diteliti.

6. pengelolaan Bahan Hukum

Bahan hukum yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis secara

preskriptif, kualitatif, yakni metode analisis data yang mengelompokan

dan menyeleksi data yang diperoleh dari penelitian.

F. Sistematika Penulisan

BAB I : PENDAHULUAN dalam bab ini berisi latar belakang, rumusan

masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka konseptual,

metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : PERLINDUNGAN TERHADAP GEDUNG NEGARA

PENERIMA DALAM WILAYAH NEGARA PENGIRIM DALAM

HUKUM DIPLOMATIK 1961

BAB III : TANGGUNG JAWAB NEGARA DALAM MELINDUNGI

GEDUNG NEGARA PENGIRIM

BAB IV : PENUTUP

Pada bab ini diuraikan kesimpulan dan saran yang dapat ditarik

berdasarkan atas hasil pembahasan dari pemecahan masalah tersebut.

Anda mungkin juga menyukai