Anda di halaman 1dari 2

HUKUM KONVENSI WINA 1963

Konvensi Wina tahun 1963 menjadi dasar bagi negara-negara dalam melaksanakan
hubungannya dengan negara lainnya di dunia. Adanya konvensi ini menjadi sebuah
kebanggaan tersendiri bagi perkembangan hukum internasional khususnya mengenai
hubungan konsuler. Pengaturan hukum diplomatik dibidang hubungan konsuler yang diatur
dalam Konvensi Wina 1963 merupakan ketentuan-ketentuan atau prinsip-prinsip hukum
internasional yang mengatur diplomatik antar negara yang dimana hal tersebut dilakukan atas
dasar pemufakatan bersama, serta adanya ketentuan dan prinsip-prinsip tersebut dituangkan
dalam instrument hukum sebagai kodifikasi hukum kebiasaan internasional dan
pengembangan kemajuan hukum internasional.

Pembukaan hubungan konsuler berpedoman pada acuan normatif, yaitu pada pasal 2
Konvensi Wina 1963 tentang hubungan konsuler yang berbunyi :

- Pembukaan hubungan-hubungan konsuler antara negara-negara berlangsung atas


dasar persetujuan bersama.
- Persetujuan yang diberikan untuk pembukaan hubungan diplomatik antara dua negara
berarti juga persetujuan pembukaan hubungan konsuler, kecuali dinyatakan lain.
- Pemutusan hubungan diplomatik tidak ipso facto berakibat pada pemutusan hubungan
konsuler.

Di Indonesia sendiri dalam hal membuka hubungan konsuler dengan negara lain, hal
tersebut ditetapkan oleh Presiden dangan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan
rakyat, sedangkan pembukaan kantor konsuler di negara lain ditetapkan dengan keputusan
presiden. Keduanya terdapat dalam Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No.37
Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri.1

Pembukaan hubungan konsuler merupakan kajian dari hukum diplomatik. Hukum


diplomatik merupakan bagian dari hukum Internasional yang mempunyai sumber hukum
sama, seperto Konvensi-konvensi Internasional yang ada. Hukum diplomatik digunakan
untuk merujuk pada norma-norma hukum internasional yang mengatur tentang kedudukan
dan fungsi misi diplomatik dan konsuler yang dipertukarkan oleh negara-negara yang telah
membina hubungan diplomatik maupun hubungan konsuler. Hukum diplomatik pada

1
Tambaritji, 2019. Aspek Hukum Kedudukan Perwakilan Konsuler Dalam Pelaksanaan Hubungan Kerjasama
Antar Negara Menurut Konvensi Wina Tahun 1963. Hal 150 Vol 7 No.3. diakses melalui
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexetsocietatis/article/view/24687.
hakikatnya merupakan ketentuan atau prinsip-prinsip hukum internasional yang ada untuk
mengatur hubungan konsuler yang dibahas dalam Konvensi Wina 1963.

Hak kekebalan dan keistimewaan perwakilan konsuler yang secara umum telah diatur
dalam Konvensi Wina 1963 tentang hubungan konsuler yang bukan merupakan satu-satunya
pengaturan hubungan konsuler, khususnya mengenai keistimewaan dapat juga ditentukan
oleh perjanjian bilateral antara negara penerima dengan negara pengirim. Adanya
pelanggaran terhadap hak kekebalan maupun hak istimewa perwakilan negara pengirim di
negara penerima dapat menimbulkan tanggung jawab negara dan hubungan yang tidak baik
karena anggapannya bahwa negara penerima tidak dapat memberikan perlindungan yang
cukup untuk mencegah tindakan-tindakan yang dapat mengancam para perwakilan negara
sebagaimana diatur dalam Konvensi Internasional. Adapun hak-hak istimewa, kekebalan, dan
kemudahan yang diberikan dalam Konvensi Wina 1963 kepada para konsulat dengan tujuan
melancarkan serta mempermudah kegiatan-kegiatan yang dilakukan di negara penerima,
antara lain :

a. Kekebalan terhadap kantor konsuler yang tidak boleh diganggu gugat dan para
petugas negara setempat tidak boleh masuk kecuali dengan izin kepala perwakilan,
b. Kekebalan alat komunikasi yang bebas digunakan untuk kegiatan resmi konsuler,
c. Kebebasan berkomunikasi antara konsulat dengan negara pengirimnya,
d. Kekebalan pribadi pejabat konsuler, namun dalam kedaan tertentu pejabat konsuler
tidak kebal terhadap yurisdiksi kriminal,
e. Kekebalan fiscal yang membebaskan kantor-kantor konsuler dari pajak nasional dan
lokal di negara penerima,
f. Pembebasan dari pajak pribadi,
g. Pembebasan bea masuk terhadap barang-barang yang diimpor oleh perwakilan
konsuler untuk keperluan resmi konsuler.2

2
Fauziah Khairani, “IMPLEMENTASI KONVENSI WINA 1963 DALAM MENDIRIKAN KANTOR PERWAKILAN
KONSULER DI KOTA MEDAN” (Skripsi, Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara Medan, 2017), hlmn. 24

Anda mungkin juga menyukai