Anda di halaman 1dari 5

No.

1
Arti Penting Perjanjian Internasional Sebagai Sumber Hukum Internasional Utama
bagi Negara berkaitan dengan hubungan internasional.

Praktik perjanjian internasional telah ada sebelum Konvensi Wina 69 terbentuk, yakni
pada zaman Yunani kuno dan Romawai kuno yang mengirim utusannya untuk mengadakan
musyawarah dengan utusan wilayah lain. Berbeda dengan perjanjian internasional, kebiasaan
internasional ada tanpa melalui kesepakatan, dimana ada pengulangan perbuatan yang
dianggap baik dan diikuti Sebagian maupun seluruh orang yang dijadikan hukum. Kebiasaan
internasional memicu multitafsir atas suatu perbuatan serta kekuatan mengikat yang rancu.
Maka, perjanjian internasional dianggap sebagai sumber hukum internasional yang utama
yang pertama kali diatur dalam Vienna Convention on the Law of Treaties 1969. Keutamaan
ini tampak dari ketegasan hak, kewajiban, serta sanksi yang ada dalam perjanjian
internasional, sehingga kepastian hukum lebih terjamin. Untuk itu, perjanjian internasional
lebih menguntungkan dan bermanfaat bagi negara ditinjau dari beberapa bidang.
Manfaat utama ada dalam aspek politik atas pengadaan perjanjian yang dibuat bagi
para pihak. Sebagai entitas hukum internasional yang utama, Negara dapat melakukan
hubungan internasional demi memenuhi kepentingan dan visi misinya, dengan melakukan
tarik-menarik dengan negara lain untuk mencapai kesepakatan. Untuk menegaskan hak dan
kewajiban para pihak dalam hubungan internasional, maka perlu dituangkan dalam perjanjian
internasional sebagai hukum positif bagi para negara terikat. Selain itu, perjanjian
internasional dapat menjadi acuan bagi negara lain untuk mengatur hal yang sama, bila
sifatnya umum. Tunduknya negara terhadap isi dan akibat hukum dari perjanjian akan
mendapat pengakuan dan penghormatan oleh negara lain yang terikat, kecuali bila negara
menyampaikan reservasi. dpengakuan dan penghormatan dari negara lain meningkatkan citra
suatu negara yang dapat memberi peluang lebih dalam hubungan diplomatic dengan negara
lain. Sebagai contoh, UNCLOS 1982 tentang hukum laut yang mengakui Batasan daerah laut
negara yang berdaulat.
Kedua, aspek ideologi. Suatu negara memiliki kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi
untuk dapat mengadakan atau tidak mengadakan perjanjian dengan negara lain serta
mengajukan reservasi. Keputusan ini berdasarkan pertimbangan internal negara, bahwa suatu
perjanjian tidak boleh bertentangan dengan ideologi yang bangsa. Penghormatan atas
kedaulatan merupakan aplikasi sifat subordinatif antar negara yang sejajar, sehingga yang
punya daya memaksa. Sebaliknya, bila negara menyetujui perjanjian dan melakukan
ratifikasi, maka isi perjanjian yang dianggap bermanfaat juga berlaku bagi masyarat negara
tersebut. sebagai contoh, indonesia meratifikasi Convention on the Elmination of
Discrimination againts Women dalam Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 1984 sebagai
bentuk kepedulian dan meminimalisir tindak kekerasan terhadap perempuan.
Ketiga, aspek ekonomi. Perjanjian internasional guna meningkatkan kesejahteraan
ekonomi negara. Sebagai contoh, ASEAN Framework Agreement on Visa Exemption
menghendaki bebas visa antar warga negara asean. agreement ini memberikan peluan besar
bagi para warga untuk melakukan perpindahan antar negara asean dengan mudah, sehingga
menarik perhatian turis untuk berlibur dan memudahkan dalam kegiatan penanaman modal
asing.
Manfaat perjanjian internasional sederhana dapat dilihat dari aspek ekonomi, sosial
budaya, politik, dan ideologi. Sudah menjadi kebutuhan suatu negara untuk terlibat dalam
suatu perjanjian, baik mulai dari tahap perundingan maupun pihak ke 3.
No.2 ESSAY

Pemberlakuan full powers dalam Konvensi Wina 69 dan UU no. 24 tahun 2000

Pasal 7 Konvensi Wina 1969 mendefinisikan full powers sebagai dokumen yang
menghendaki delegasi untuk terlibat dalam tahap perundingan, adopsi naskah (adoption),
hingga otentikasi (authentication), sebagai batasan atau ruang lingkup kewenangan delegasi
suatu negara untuk mewakili negaranya. Sahnya full powers bila surat dikeluarkan oleh
pejabat berwenang ditingkat pusat yang mengatasnamakan negara, yakni Presiden atau
Menteri luar negeri. Perjanjian yang penting dan bersifat universal biasanya harus melibatkan
persetujuan (consent to be bound) lembaga berwenang. Sebaliknya, consent to be bound
dapat dilakukan oleh delegasi terhadap perjanjian yang teknis.
Prinsipnya, Pada tahap perundingan tiap delegasi menukarkan dokumen Full powers
untuk memverifikasi keabsahan dokumen. Proses ini tidak efisien dan sulit diaplikasikan
dalam perjanjian yang bersifat multilateral terbuka karena banyak partisipasi yang terlibat,
sehingga dapat dibentuk full powers committee. Kewajiban membawa full powers yang sah
dapat disampangi dalam pasal 7 ayat 1 dan pasal 8, bila negara yang diwakili oleh delegasi
tersebut secara tersirat melalui prilaku atau sikap bahwa wakil tersebut merupakan delegasi
yang sah. Pasal ini menimbulkan kerancuan atas ukuran sikap negara yang secara tersirat
mengakui sahnya delegasi. Dalam praktik, urgensi full powers tidak lagi relevan dengan
perkembangan zaman. Kecanggihan teknologi menghendaki negara menunjukan delegasi
sahnya melalui teknologi, seperti telegram maupun secara lisan melalui telpon.
Kewajiban penunjukan full powers dikecualikan bagi jabatan yang disebutkan dalam
pasal 7 ayat 2. Pertama, kepala negara, kepala pemerintahan dan Menteri luar negeri
dianggap sudah merepresentasikan kedudukannya dalam hubungan internasional dan secara
tersirat mewakili negaranya. dalam hal ini presiden dapat merangkap sebagai kelapa
pemerintah atau kepala pemerintah diduduki oleh Menteri. Kedua, kepala misi diplomatic
dibebakan dari kewajiban penunjukan full powers terbatas sampai tahap menerima /
meratifikasi naskah dan dilanjutkan lembaga berwenang. Sebagai contoh, diplomat Indonesia
yang ditugaskan di Jerman tidak perlu full powers dalam mengadakan perjanjian dengan
Jerman. Biasanya, sifat perjanjian teknis dan kurang penting. Ketiga, kepala perwakilan
negara yang ditugaskan dalam konverensi internasional atau organisasi internasional atau
salah satu organnya dalam rangka meratifikasi perjanjian internasional. seperti WHO, ILO,
UNESCO sebagai organ PBB.
Ratifikasi konvensi Wina 69 dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2000
membedakan terminology full powers dan credencials. Definisi full powers dalam Pasal 1
ayat (3) adalah dokumen pernyatan kewenangan delegasi yang secara tegas hingga
pernyataan persetujuan mengikat, yang dikeluarkan oleh presiden atau menteri. Sementara,
credentials adalah dokumen yang tegas memberi kewenangan delegasi untuk menghadiri,
merundingkan, dan/atau menerima hasil akhir. Pemisahan termonologi menimbang bahwa
dalam praktik dimungkinkan delegasi bukan orang yang jabatannya merepresentasikan dan
bertanggung jawab atas nama negara sehingga perlu Batasan kewenangan. Sehingga,
penggunaan full powers kurang tepat karena secara etimologi artinya kekuasaan secara
penuh. Untuk itu, diberlakukan credensial bagi delegasi dengan kewenangan terbatas dalam
suatu pengambilan keputusan dalam perjanjian.
NO. 3 ESSAY

Mekanisme Pernyataan Terikat negara dalam Perjanjian Internasional dan Arti


Pentingnya

Negara dapat menyatakan perstujuan mengikat setelah pengesahan atau otentifikasi naskah
yang bersifat final dan definitive. Prosedur persetujuan mengikat terhadap perjanjian
internasional merupakan kebabasan para pihak, baik dicantumkan dalam kalusul perjanjian
maupun disepakati saat tahap perundingan. Prosedur pernyataan terikat sesuai dengan cara
yang diatur dalam Konvensi Wina 69.
Pertama, tanda tangan, cara ini diatur dalam pasal 12 dan diberlakukan bagi
perjanjian yang bersifat teknis dan kurang penting, sehingga delegasinya dapat menyetujui
tanpa melibatkan lembaga berwenang. Penandatangan dilakukan serentak oleh negara, maka
idealnya negara yang menyatakan setuju harus ikut dalam tahap perundingan. Artinya, cara
ini menerapkan asas pacta tertiis noc nocent nec prosunt dengan tidak menghendaki pihak
ke-3 untuk terikat Sebagai contoh, perjanjian antara Indonesia dan Malaysia mengenai
perlindungan tenaga kerja pada 2004.
Kedua, pertukaran instrument yang membentuk perjanjian internasional. cara ini
biasa dilakukan dalam perjanjian multilateral terbatas atau bilateral, setelah melalui tahapan
pengesahan. Akan tidak efisien bila dilakukan terhadap perjanjian multilateral karena harus
dilakukan dengan pertukaran memakan cukup banyak waktu. Cara ini diatur dalam pasal 13,
dimana harus dilakukan oleh organ yang berwenang seperti presiden dan Menteri.
Ketiga, ratifikasi, akseptasi, atau persetujuan. Prosedur ini diatur dalam pasal 14
Konvensi Wina 69, dimana diberlakukan bagi perjanjian yang sifatnya penting, baik
perjanjian terbuka maupun tertutup. Cara ini dapat diterapkan bagi perjanjian bilateral,
multilateral terbatas, hingga multilateral. Ratifikasi adalah pengesahan suatu dokumen negara
oleh parlemen. artinya, naskah yang cara persetujuannya melalui ratifikasi juga melibatkan
hukum nasionalnya masing-masing. Naskah yang sudah otentifikasi dibawa pulang oleh
delegasi dan diperiksa oleh Menteri dan presiden. Bila naskah tidak bertentangan dengan
hukum nasional dan alasan lainnya, DPR mengizinkan untuk adopsi perjanjian
internasionaol.
Keempat, aksesi. Cara ini diatur dalam pasal 15, dimana berlaku bagi negara yang
tidak ikut dalam proses perundingan. Logis bila negara yang tidak berunding tidak
melakukan ratifikasi terhadap perjanjian yang telah berlaku. Cara ini biasanya berlaku bagi
perjanjian yang umum, dimana pernyataan terikatnya tidak serentak
Prinsipnya, Sudah merupakan kebebasan pembentuk perjanjian untuk menggunakan
salah satu ataupun semua prosedur pernyataan persetujuan karena tidak dijelaskan lebih
lanjut dalam Konvensi Wina 69. Ada kebiasaan negara untuk melakukan penandatanganan
terlebih dahulu sebelum masuk ke prosedur pernyataan mengikat.
Arti penting pernyataan mengikat negara terhadap perjanjian intrnasional untuk
mengetahui akibat hukum terhadap negara suatu. Negara yang menyatakan terikat, dengan
etikat baik akan tunduk terhadap kewajiban dan hak nya. Selain itu, adanya pengakuan dari
tiap negara untuk mengakui hubungan hukum dengan sesame peserta. pengakuan dan
penghormatan dari negara lain meningkatkan citra suatu negara yang dapat memberi peluang
lebih dalam hubungan diplomatic dengan negara lain. Lebih konkrit, Arti penting terikat
melalui ratifikasi juga mempengaruhi hubungan internal tiap negara. Ratifikasi melibatkan
rakyat untuk ikut terikat pada hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian internasional.
Keterlibatan masyarakat untuk mengetahui lebih lanjut apakah perjanjian itu sesuai dengan
kebutuhan dan kepentingan negara dan masyarakat.
NO. 4 ESSAY
Mekanisme Pensyaratan dan Batasannya
Pensyaratan diatur dalam pasal 2 ayat 1 Konvensi Wina 69, bahwa negara berhak untuk
menerima atau menolak klausul dalam perjanjian dan menginterpretasikan sendiri klausul
sesuai dengan kebutuhan negara. Pemberlakuan reservasi/pensyaratan dilatarbelakangi asas
kedaulatan negara sebagai hak tertinggi, dimana negara tidak mau suatu klausul merugikan
atau bertentangan dengan hukum nasional negaranya. Untuk menjamin keselarasan
kepentingan negara sebagai negara berdaulat dengan negara sebagai peserta perjanjian, maka
diberlakukan reservasi.
Pasal 17 Konvensi Wina 69 menyatakan bahwa negara dapat mengajukan reservasi
dengan 2 cara, yakni dibolehkan dalam perjanjian atau disepakati oleh para peserta
perjanjian. Artinya, pasal ini menghendaki negara untuk mengajukan reservasi secara umum.
Namun, pengajuan reservasi tidaklah mutlak dibolehkan. Pasal 19 menegaskan 3 batasan
terhadap reservasi. Pertama, bila perjanjian itu melarangnya. Terlebih bagi pihak ke 3 yang
ingin mengikat, konsep ini seperti perjanjian baku dalam UUPK bahwa calon peserta hanya
memiliki 2 pilihan, yakni menolak atau menerima. Kedua, pensyaratan yang secara tegas
dibolehkan terhadap klausul tertentu. Situasi ini harus diartikan bahwa negara hanya boleh
mengajukan reservasi yang secara tegas dibolehkan dalam perjanjian. Sementara, klausul lain
ditafsirkan secara argumentum a contrario bahwa tidak boleh diajukan reservasi. Pembuat
perjanjian tidak mungkin membolehkan reservasi terhadap klausul tertentu tanpa maksud,
maka harus ditafsirkan demikian. Ketiga, pensyaratan tidak boleh bertentangan dengan
maksud dan tujuan perjanjian. Diadakannya perjanjian tentu saja untuk merealisasikan
maksud dan tujuan bagi negara yang memiliki kepentingan yang sama. Bila maksud dan
tujuan dicemari, maka esensi perjanjian tidak ada urgensinya lagi. Negara yang sudah jelas
bertentangan dengan maksud dan tujuan perjanjian, sebaiknya tidak usah menjadi peserta
perjanjian.
Pasal 20 Konvensi Wina memaparkan mengenai akibat hukum adanya respon negara
lain terhadap reservasi. Meski sudah secara tegas dibolehkan reservasi, namun negara berhak
menyatakan penolakan. ini karena hukum internasional mengedepankan asas kedaulatan
negara ketika reservasi itu merugikan kepentingannya. Artinya, hubungan hukum antara
negara yang reservasi dengan negara yang menerima reservasi. Terlebih, bila perjanjian
menggunakan sistem suara bulat, maka tidak bisa reservasi. Bagi negara yang menolak
reservasi, maka berlaku ketentuan awal dalam hubungan hukum dengan pengaju reservasi
dan berlaku Sebaliknya. Respon negara 12 bulan sejak pengajuan reservasi.
Pasal 22 Konvensi Wina mengatur penarikan kembali atas diperbolahkan, kecuali
dilarang dalam perjanjian. Penarikan dapat dilakukan kapanpun dan harus diberikahukan
kepada negara yang menolak reservasi. Pun, negara respon negara atas penarikan tidak
menimbulkan akibat hukum apapun. Ini logis karena berlaku perjanjian yang awal, dimana
semua negara tentu telah mengetahui dan mengikatkan diri.
Pasal 23 mengatur rosedur pengajuan pensyaratan, penolakan, maupun penerimaan.
Ketiganya harus pernyataan sepihak secara tertulis. Bentuk tertulis tentu akan memberikan
ketegasan dan kejelasan, sehingga akan memberikan kepastian bagi semua pihak.
Resevervasi dilakukan bersamaan dengan pernyataan mengikat suatu negara. Pensyaratan
tidak boleh dilakukan sebelum persetujuan mengikat karena negara masih berkedudukan
sebagai pihak ke3 yang belum memiliki hak untuk reservasi. Pensyaratan juga tidak boleh
dilakukan setelah menyatakan persetujuan. Negara yang menarik persetujuannya dan
mengajukan reservasi tidak dibenarkan karena akan menimbulkan ketidak pastian hukum,
seolah-olah melepaskan tanggung jawabnya bergitu saja.
Daftar pustaka
Wayan, I. 2018. Hukum Perjanjian Internasional. Bandung: Mandar Mau
UU no. 4 tahun 2000 tentang perjanajian internasional
Konvensi Wina 1969
Konvensi Wina 1986

Anda mungkin juga menyukai