KUNCI KERUKUNAN
A. Toleransi (Tasāmuḥ)
1. Pengertian Toleransi (Tasāmuḥ)
Kata tasāmuḥ diambil dari kata samaḥa berarti tenggang rasa atau toleransi.
Dalam bahasa Arab sendiri tasāmuḥ berarti sama-sama berlaku baik, lemah lembut
dan saling pemaaf. Dalam pengertian secara istilah, tasāmuḥ adalah sikap akhlak
terpuji dalam pergaulan, di mana terdapat rasa saling menghargai antara sesama
manusia dalam batas-batas yang digariskan oleh agama Islam.
Maksud dari tasāmuḥ ialah bersikap menerima dan damai terhadap keadaan
yang dihadapi, misalnya toleransi dalam agama ialah sikap saling menghormati hak
dan kewajiban antar agama. Tasāmuḥ dalam agama bukanlah mencampuradukkan
keimanan dan ritual dalam agama, melainkan menghargai eksistensi agama yang
dianut orang lain.
“Hai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya
kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah ialah
orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui,
Maha mengenal” (QS. al-Hujurāt [49]: 13)
Konsep tasāmuḥ yang ditawarkan Islam sangatlah rasional dan praktis serta
tidak berbelit-belit. Yaitu dengan mengenali, menghargai, dan terbuka dengan
perbedaan. Namun, apabila hubungannya dengan keyakinan dan ritual, agama Islam
tidak mengenal kata kompromi. Keyakinan umat Islam kepada Allah tidak sama
dengan keyakinan para penganut agama lain begitu pula dengan ritualnya.
Sebagai bukti bahwa tasāmuḥ merupakan salah satu ajaran Islam adalah
Allah melarang penganutnya mencela tuhan-tuhan dalam agama manapun. Tanpa
larangan tersebut, manusia akan saling memperolok jika berbeda keyakinan. Allah
Swt. berfirman:
“Dan janganlah kalian mencela orang-orang yang berdo'a kepada selain Allah,
yang menyebabkan mereka mencela Allah dengan permusuhan dengan tanpa ilmu.
Demikianlah Kami menghiasi untuk setiap umat amalan mereka, lalu Dia
mengabarkan kepada apa yang mereka lakukan" (QS. al-An’am [6]:108)
Rasulullah Saw. pernah ditanya tentang agama yang paling dicintai oleh
Allah, maka beliau menjawab, “al-Hanafiyyah as-Samhah (agama yang lurus yang
penuh toleransi), itulah agama Islam”
Dalam Islam, tasāmuḥ berlaku bagi semua orang tanpa mengenal perbedaan.
Akan tetapi setiap orang memiliki perbedaan penerapan tasāmuḥ, ada yang masih
belum terlatih melakukannya dan ada yang sudah terlatih melakukannya. Untuk itu
Syaikh Yusuf Qardhawi menjelaskan adanya empat faktor yang mendorong sikap
tasāmuḥ, yaitu:
C. Moderat (Tawasuth)
1. Pengertian Moderat (Tawasuth)
Kata tawasuth berasal dari kata wasatha berarti tengah atau pertengahan.
Kata tawasuth secara bahasa berarti moderat. Secara istilah tawasuth ialah sikap
terpuji di mana menghindarkan perilaku atau pengungkapan yang ekstrem dan
memilih sikap dengan berkecenderungan ke arah jalan tengah. Allah Swt.
berfirman:
“Dan demikian pula kami telah menjadikan kamu (umat Islam) ‘umat pertengahan’
agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad)
menjadi saksi atas (perbuatan) kamu” (QS. al-Baqarah [2]: 143)
Sikap tawasuth merupakan sikap yang paling esensial karena sikap ini tegak
lurus, tidak condong ke kanan atau ke kiri. Hal itu membentuk sikap bijaksana dalam
mengambil keputusan.
“Dan sebaik baik amal perbuatan adalah yang pertengahan, dan agama Allah itu
berada di antara yang beku (konstan) dan mendidih (relatif).”
Dalam Islam, tawasuth terbagi menjadi tiga dimensi yaitu akidah, akhlak, dan
syariat.
1. Dimensi akidah
Dalam dimensi akidah, ada setidaknya dua persoalan yaitu, 1) Ketuhanan
antara atheisme dan politheisme. Islam ada di antara atheisme yang mengingkari
adanya Tuhan dan poletheisme yang memercayai adanya banyak Tuhan. Islam
adalah Monotheisme, yakni paham yang memercayai Tuhan Yang Esa. 2)
Manusia di antara jabr dan ikhtiyār. Beberapa aliran mengatakan bahwa
perbuatan manusia adalah paksaan dari Allah, dan aliran lain mengatakan
perbuatan manusia adalah mutlak dari diri sendiri. Dalam Islam, tidak ada
keterpaksaan mutlak dan tidak ada kebebasan mutlak.
2. Dimensi akhlak
Salah satu persoalan dalam akhlak tasawuf ialah peribadatan antara syariat
dan hakikat. Dalam ibadah, Islam menggunakan kacamata syariat dan hakikat.
Karena syariat tanpa hakikat adalah kepalsuan dan hakikat tanpa syariat
merupakan omong kosong.
3. Dimensi syariat
Persoalan yang muncul pada dimensi syariat adalah antara kemaslahatan
individu dan kolektif. Dalam hal ini, Islam berorientasi pada terwujudnya
kemaslahatan induktif dan kolektif secara bersama sama. Akan tetapi, kalau
terjadi pertentangan maka didahulukan kepentingan kolektif