Anda di halaman 1dari 8

REVIEW BUKU

BERISLAM SECARA MODERAT

Karya : Khoirul Anwar, M.Ag.

TUGAS MATA KULIAH

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

Dosen : Drs. Daryono, M.S.I.

Oleh :

Nama : Putri Devi Rahmawati

NIM : B.231.21.0061

Prodi :

Hari / Jam :

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS SEMARANG
2021

Pengertian Moderasi Beragam

Dalam buku Moderasi Secara Moderat, istilah moderasi dan beragama menunjukkan makna
“cara berpikir, sikap, dan praktik menjalankan ajaran agama yang tidak mengandung kekerasan
serta menghindari sikap kasar dan berlebihan”. Sedangkan menurut KBBI, kata “moderat” yang
menjadi asal kata dari “moderasi” diartikam dengan “selalu menghindarkan perilaku atau
pengungkapan yang ekstrem” dan “berkecenderungan ke arah dimensi atau jalan tengah”.

Kata moderat bukan semata – mata berarti “tengah” dalam pengartian bebas nilai,
melainkam mensyaratkan adanya kebaikan di dalamnya. Misalnya saja dalam musyawarah atau
diskusi, orang yang moderat adalah orang yang tidak akan memaksakan pendapatnya, melainkan
orang yang mendengarkan dan mempertimbangkan pendapat dari orang lain. Memaksakan
pendapat tanpa menghiraukan pendapat orang lain adalah sikap yang berlebiha dan ekstrem. Begitu
juga sebaliknya, tidak menyampaikan pendapat sama sekali padahal ia dituntut menyampaikan
pendapat juga bukan sikap yang tepat.

Dalam Al-Quran dan hadits kata “wasat” digunakan untuk menunjukkan makna
sebagaimana penggunaan di dalam bahasanya (lughatan), yaitu "tengah", "utama", "adil" dan
"balk". Kata wasat dengan arti "tengah", "baik", "utama", dan "adil" juga digunakan Nabi
Muhammad SAW dalam hadisnya. Diinformasikan oleh Jābir bin Abdullah (w. 697 M), suatu
ketika Rasulullah SAW duduk bersama sahabat-sahabatnya, lalu Rasul SAW membuat lima garis,
dua garis berada di sebelah kanan, satu garis di tengah (al-khat al-ausat), dua garis lagi berada di
sebelah kiri. Sembari menunjuk ke dua garis sebelah kanan dan kiri, Rasulullah bersabda bahwa
garis-garis tersebut menjadi jalan setan (hazihi sabīl al-syaitān). Sedangkan untuk garis yang berada
di tengah (al-ausat) Rasulullah mengatakan "ini jalan Allah" (hažā sabīlullah), lalu Rasul membaca
QS. Al-An'ām 153:

“Sesungguhnya (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka
ikutilah dia, dan janganlah kamumengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-
jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu
diperintahkan Allah agar kamu bertakwa.”
Kata ausat (derivasi dari kata wasat) dalam hadis di atas memiliki arti baik, yakni Rasulullah
SAW mengumpamakan garis yang berada di tengah sebagai jalan kebenaran yang harus ditempuh
umat Islam. Jalan yang benar sudah pasti baik dan utama. Dalam hadis lain diinformasikan, Nabi
Muhammad SAW bersabda: "Sebaik-baik perbuatan adalah yang sedang – sedang saja” (Khairu al-
a’mal ausatuhã).

Lawan kata dari moderasi beragama adalah ekstrem atau dalam bahasa Arab disebut dengan
ghuluww (melampaui batas), tasyaddud (keras), atau taţarruf (ekstrem). Ekstrem dalam beragama
digunakan untuk menunjukkan makna "cara beragama yang melampaui ketentuan syariat atau
bertentangan dengan prinsip ajaran Islam". Dalam al-Quran maupun hadis terdapat banyak larangan
menjalankan agama dengan melampaui batas, seperti dalam QS. Al-Nisā 171:

"Wahai Ahli Kitab, janganlah kalian melampaui batasdalam agama kalian dan
janganlah kalian mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya
Al-Masīḥ, Isa putera Maryam itu adalah utusan Allah dan (yang diciptakan
dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam dan (dengan
tiupan) roh dari-Nya."

Lebih lanjut, Ibnu 'Asyūr menegaskan, larangan berlebihan dalam beragama yang
dikehendaki di sini maksudnya perbuatan yang bertentangan dengan kebenaran, sehingga aktivitas
keagamaan yang dilakukannya menjadi kesalahan (bātil). Kendati demikian, ada berlebihan dalam
beragama yang diperbolehkan, yaitu berlebihan yang tidak sampai keluar dari perintah agama,
seperti memuji perbuatan yang baik (al-sanā alā al-'amal al-șālih), juga ada berlebihan yang hanya
dihukumi makruh atau dibenci agama seperti dalam berwudu membasuh anggota tubuh melebihi
tiga kali basuhan."

Saya setuju dengan pendapat tersebut, karena menurut Saya perbuatan yang berlebihan atau
ekstrem itu tidak menguntungkan diri sendiri maupun orang lain dan efeknya sangatlah dahsyat
untuk umat yang ada. Hal demikian juga didorong oleh hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbās
(w.687 M) bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda :
"Wahai umat manusia sekalian, waspadalah berlebihandalam beragama.
Sesungguhnya ekstrem atau keterlaluandalam beragama telah membinasakan
umat sebelum kalian."

Prinsip Moderasi Beragama

Moderasi dalam beragama yang meniscayakan mengandung kebaikan bagi semua umat
manusia di dalamnya terdapat prinsip yang menjadi standar dan pembeda dari cara-cara beragama
lainnya yang melampaui batas atau ekstrem (ghuluww fi al-dīn). Prinsip ini dapat dikatakan sebagai
ajaran universal Islam yang selalu relevan di sepanjang masa dan di mana saja.

1. Kemanusiaan
Dalam bahasa Arab disebut al-insāniyyah memiliki arti cukup luas, yakni rasa cinta
kasih dan memperlakukan dengan baik kepada sesama manusia apapun agama, budaya, ras,
suku, warna kulit, asal kebangsaan maupun jenis kelaminnya. Dalam Islam , manusia,
bahkan semua makhluk memiliki hak yang sama untuk dimuliakan (lahu huquq wājibah al-
iņtirām).
Dalam hadis diinformasikan, ada perempuan masuk neraka sebab mengurung kucing
tanpa diberi makan dan minum. Sebaliknya, ada perempuan masuk surga karena memberi
minum kepada anjing yang kehausan. Suatu ketika Nabi Muhammad SAW ditanya
sahabatnya:

"Wahai Rasulullah, apakah kami mendapatkan pahala dalam menolong


binatang?" Nabi SAW menjawab: "Dalam setiap liver (hati) yang basah
atau makhluk hidup terdapat pahala."

Dalam hadis juga banyak informasi tentang praktik keberislaman Nabi Muhammad
SAW yang sangat menjunjung tinggi kemanusiaan, yakni menghormati dan menghargai
manusia tanpa melihat latar belakang agama, warna kulit, suku, dan lain-lain. Diceritakan,
suatu ketika Nabi SAW sedang duduk bersama para sahabatnya. Lalu ada sekelompok orang
menggotong jenazah untuk dimakamkan. Begitu jenazah itu lewat di hadapan Nabi SAW,
Nabi SAW bersama para sahabatnya berdiri sebagai bentuk penghormatan kepadanya. Salah
satu sahabat memprotes, "Nabi, itu jenazah Yahudi.” Nabi SAW membalas: "Bukankah
Yahudi juga manusia (Alaisat nafsan)?".

Mengutamakan sisi kemanusiaan dalam berinteraksi dengan sesama manusia seperti


praktik keberislaman Nabi Muhammad SAW di atas menjadi prinsip terpenting bagi
lahirnya sikap moderat dalam beragama. Tanpa ada kesadaran bahwa setiap manusia
memiliki kemuliaan sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi kehormatannya, niscaya
seseorang akan memandang rendah atau mendiskriminasi orang lain, baik disebabkan
perbedaan agama, suku, warna kulit, maupun jenis kelaminnya.

2. Persaudaraan
Mewujudkan persaudaraan antarumat menjadi hal yang mudah dilakukan. Dengan
adanya kesadaran persaudaraan sesama manusia, maka moderasi beragama dapat terlaksana.
Persaudaraan antarumat manusia (ukhuwwah al-insāniyyah) meniscayakan perdamaian
abadi, bukan konflik dan perang. Hukum asal hubungan antarmanusia dalam Islam yaitu
damai (al-silm). Adapun perang (al-qitāl) dilakukan semata-mata untuk mempertahankan
diri dari orang - orang yang menyerang ketika tidak ada lagi cara yang bisa
menghentikannya (al-difā'). Itu pun dilakukan tidak boleh melampaui batas, seperti tidak
boleh membunuh orang yang menyerang terlebih dahulu ketika bisa dikalahkan dengan cara
lain selain membunuh. Kalau terpaksa harus membunuh, maka tubuh orang yang sudah mati
tidak boleh dimutilasi, karena tubuh manusia dalam Islam baik hidup sudah mati sama-sama
memiliki kemuliaan. Seruan menjalin persaudaraan antarumat manusia dalam Islam menjadi
ajaran yang sangat penting mengingat agama ini melarang keras permusuhan.
Dalam QS. Ali 'Imrān 103 dikatakan :

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan


janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu
ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah
mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang -
orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu
Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.”
Dalam hadis diinformasikan, Nabi Muhammad SAW bersabda, "orang Islam tidak
boleh bermusuhan dengan saudaranya melebihi tiga hari. Ketika bertemu saudaranya tidak
boleh saling berpaling, tapi harus saling menyapa, dan yang paling baik adalah orang yang
mengawali memberi sapaan atau salam”.21 Saudara yang dimaksud di sini bukan semata-
mata saudara karena hubungan darah, agama, suku, atau bangsa, tapi saudara dalam arti
luas, yakni persaudaraan sesama manusia.

Melalui kesadaran akan pentingnya persaudaraan antarumat manusia, kehidupan di


dalam masyarakat yang plural akan tercipta kedamaian dan rasa tidak saling curiga, bisa
saling tolong menolong dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, dan dapat bersama-sama
membangun peradaban. Karena pentingnya persaudaraan ini, Ali bin Abi Thalib ketika
menjadi pemimpin pemerintahan Islam mengirimkan surat kepada gubernur Mesir yang
berada di bawah kekuasaannya untuk senantiasa memiliki rasa belas kasih, cinta, dan
penduduknya. Semua manusia pada dasarnya saling bersaudara, saudara karena seagama,
atau saudara sesama makhluk Allah (immā akhun bersikap lemah lembut kepada semua laka
fi al-dīn auw nažīrun laka fi al-khalq).

3. Keadilan
Adil yang dimaksud di sini yaitu memperlakukan manusia apapun agama, suku, ras,
dan jenis kelaminnya secara setara (al-musāwah). Dalam QS. Al-Ma'idah ayat 8 Allah
berfirman:

"Janganlah sekali-kali kebencian kalian terhadap suatu kaum mendorong


kalian untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat
kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kalian kerjakan."

Berbuat adil adalah kebaikan, dan berbuat baik adalah keadilan. Artinya, seseorang
tidak boleh memperlakukan baik kepada penganut agama atau orang dari suku tertentu, tapi
mendiskriminasi pemeluk agama atau suku lain. Dalam QS. Al-Mumtahanah 8 dinyatakan:

"Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap
orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula)
mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang berlaku adil."

Al-Tabari dalam menafsirkan ayat di atas menyatakan, ayat ini sebagai ajaran Islam
yang memperbolehkan seorang muslim berbuat baik, menyambung persaudaraan, dan
berlaku adil kepada semua penganut agama (jami așnāf al-milal wa al-adyān). Berbuat baik
kepada non muslim hukumnya tidak haram, baik non muslim yang memiliki ikatan keluarga
(qarābah) maupun bukan.

Diinformasikan, ketika Nabi Muhammad SAW mengangkat Bilāl bin Abi Rabbāḥ,
mantan budak kulit hitam yang dimerdekakan Abu Bakar sebagai tukang azan (muazin), ada
banyak sahabat dari kalangan bangsawan atau suku dari kelas sosial tinggi memprotesnya.
Menyikapi hal itu, Nabi SAW menjelaskan, bahwa dalam Islam tidak ada perbedaan antara
orang berkulit hitam, merah, atau putih. Juga tidak boleh ada diskriminasi terhadap semua
orang, mantan budak, maupun orang-orang dari suku terhormat.

Penjelasan di atas hendak menegaskan, bahwa ke-manusiaan, persaudaraan dan


keadilan, merupakan ajaran mendasar di dalam Islam. Pesan ini disampaikan Nabi
Muhammad SAW berulangkali, bahkan dalam pidato di Padang Arafah ketika beliau
menjalankan ibadah haji yang dilakukan hanya sekali dalam seumur hidupnya atau dikenal
dengan hajjah al-wadā' (haji perpisahan) pada tanggal 9 Dzulhijjah tahun ke 10 H atau
bertepatan pada tahun 632 M, dan dalam khutbah Idul Adha, sehari setelahnya pada tanggal
10 Dzulhijjah pada tahun yang sama. Nabi SAW menegaskan, bahwa jiwa, harta, dan harga
diri manusia memiliki kemuliaan yang tidak boleh dihilangkan siapapun.

Saya setuju dengan adanya ketiga prinsip tersebut, hal ini diperkuat dengan sabda
Nabi Muhammad SAW :

"Wahai sekalian manusia, dengarkanlah perkataanku. Sesungguhnya aku


tidak tahu, barangkali setelah tahun ini aku tidak bisa lagi berjumpa
dengan kalian selama-lamanya. Wahai umat manusia, sesungguhnya darah
kalian, harta, dan harga diri kalian itu mulia sebagaimana mulianya hari
ini dan bulan ini. Kalian kelak akan bertemu Tuhan, dan ia akan bertanya
kepada kalian tentang perbuatan kalian lakukan. Ingatlah, setelah aku
wafat janganlah kalian kembali ke dalam kesesatan, di mana sebagian di
antara kalian memukul atau membunuh sebagian yang lain”
Dan

"Wahai umat manusia, sesungguhnya Tuhan kalian satu,leluhur kalian


juga satu. Kalian berasal dari Adam, dan Adam berasal dari tanah.
Sesungguhnya paling mulianya kalian di sisi Allah adalah yang paling
bertakwa. Orang Arab tidak lebih utama daripada non Arab (ajam), non
Arab tidak lebih utama daripada orang Arab. Orang kulit merah tidak
lebih utama daripada yang berkulit putih, orang kulit putih tidak lebih
utama dari yang berkulit merah, kecuali (disebabkan) tingkat
ketakwaannya. Ingatlah, apakah saya sudah menyampaikan (tentang hal
ini)? Ya Allah, saksikanlah (bahwa saya sudah menyampaikan ajaran ini).
Para sahabat menjawab: Sudah Nabi SAW berpesan: Orang yang
menyaksikan (khutbah saya ini) nanti harus menyampaikan kepada orang-
orang yang tidak menyaksikan atau tidak hadir.

Tiga dasar ajaran Islam di atas, yakni kemanusiaan (al-insôniyyah), persaudaraan (al-
ukhuwwah), dan keadilan (al-cadâlah) menjadi prinsip dalam moderasi beragama. Tanpa
ada ketiganya, maka praktik keberislaman akan terjatuh ke dalam tindakan yang ekstrem
atau berlebihan, keras, kasar, dan zalim dalam berinteraksi dengan sesama, terlebih di dalam
masyarakat yang beragam suku, agama, budaya, dan bahasanya. Tiga prinsip ini juga dapat
menjadi standar dan pembeda antara menjalankan ajaran Islam secara moderat (tawassut)
atau tidak (tasyaddud).

Anda mungkin juga menyukai