Anda di halaman 1dari 5

Siapakah Negarawan Kita?

Luthfi Assyaukanie

Setiap kali berbicara tentang negarawan, umumnya kita membayangkan seorang tokoh politik yang berjasa bagi negara, cakap dalam bekerja, serta memiliki watak kepemimpinan yang tegas. Umumnya, kita juga membedakan antara negarawan dan politisi dengan memberikan penghargaan yang lebih besar pada yang pertama dan mengecilkan yang kedua. Negarawan adalah tokoh politik yang ideal, sementara politisi adalah tokoh yang kurang ideal. Negarawan umumnya dipandang secara positif sementara politisi ada yang dipandang negatif dan ada yang dipandang positif. Politisi yang baik dan memiliki integritas kadang disebut sebagai negarawan, sementara politisi yang buruk tetap saja disebut sebagai politisi dan tak dianggap sebagai negarawan. Biasanya orang merujuk tokoh-tokoh pendiri bangsa seperti Soekarno, Soepomo, Hatta, dan Syahrir sebagai negarawan dan menyebut para pengurus partai yang ada sekarang baik di Golkar, Partai Demokrat, PDIP, dan lainnya, sebagai politisi. Setidaknya itulah konsep negarawan yang saya pahami dari membaca pandanganpandangan orang di media massa. Pemahaman itu pula yang saya tangkap dari judul tema diskusi kita dalam Dies Natalis Paramadina ke-14 ini: Mencari Negarawan: Antara Cita dan Fakta. Negarawan dipahami seluruhnya sebagai sesuatu yang positif. Tapi, benarkah begitu? Apakah negarawan selalu berarti pemimpin sukses dan melulu berkonotasi positif? Mari kita telisik lebih dalam. Dalam bahasa Inggris, negarawan disebut statesman. Menurut kamus MerriamWebster, negarawan adalah orang yang aktif mengelola pemerintahan dan membuat kebijakan-kebijakan.1 Lebih spesifik lagi, Merriam-Webster mendefinisikan negarawan sebagai seorang pemimpin politik yang bijak, cakap, dan terhormat.2 Pengertian pertama mengacu kepada pemimpin di pemerintahan, sementara pengertian kedua mengacu kepada pemimpin politik (politisi) yang memiliki sifat-sifat terpuji seperti bijaksana, cakap, dan terhormat. Negarawan adalah orang yang tengah menjalani pemerintahan, baik itu presiden, menteri, maupun gubernur, atau pemimpin politik yang berada di luar pemerintahan. Tipe-Tipe Negarawan Perbincangan tentang negarawan masuk dalam wilayah Filsafat Politik. Para filsuf umumnya berbicara tentang kriteria-kriteria pemimpin politik. Plato pernah menulis

Disampaikan dalam acara Dies Natalis Paramadina ke-14, Selasa 24 Januari 2012. One actively engaged in conducting the business of a government or in shaping its policies. A wise, skillful, and respected political leader.

1 2

sebuah buku dialog berjudul Negarawan (Statesman) di mana dia menguraikan syaratsyarat yang harus dimiliki seorang pemimpin untuk mengelola suatu negara.3 Menurutnya, negarawan harus memiliki kecakapan khusus dalam mengolah negara, sehingga bisa berlaku adil dan mengetahui apa yang diinginkan rakyatnya. Jelas, ini adalah kriteria umum yang bersifat truistik; pemimpin tentu saja harus memiliki kecakapan dalam memimpin. Semua orang tahu itu, meski tidak semua orang memilikinya. Tidak banyak gunanya membincangkan kriteria dan syarat-syarat pemimpin. Tema ini sudah dibicarakan panjang-lebar sejak Abu Hasan al-Mawardi pada abad ke-104 hingga Zainal Abidin Ahmad pada abad ke-20.5 Kriteria dan syarat-syarat kepemimpinan adalah tema klasik Filsafat Politik. Para ilmuwan politik modern lebih suka membicarakan tentang tipologi atau tipe-tipe kepemimpinan tokoh politik ketimbang syarat-syarat yang harus dipenuhi seorang tokoh politik. Herbert Feith, sarjana politik asal Australia, misalnya, meneliti tentang politik Indonesia dan menemukan dua tipe kepemimpinan politik, yakni apa yang dia sebut sebagai tipe pengelola (administrator) dan tipe pemersatu (solidarity maker). Pemimpin dengan tipe pengelola adalah mereka yang memiliki kemampuan teknis dalam mengatur negara. Tipe ini umumnya diwakili oleh tokoh-tokoh terdidik yang menguasai suatu bidang tertentu. Sementara pemimpin dengan tipe pemersatu adalah orang-orang yang mampu mendekati massa, mempengaruhi mereka, serta mendapatkan simpati dan dukungan dari mereka.6 Feith menganggap pemimpin seperti Muhammad Hatta sebagai tipe pengelola, sementara pemimpin seperti Soekarno sebagai tipe pemersatu. Dua karakter kepemimpinan ini jarang bercampur pada diri satu orang. Para pemimpin dengan tipe pemersatu biasanya mampu mengumpulkan dukungan rakyat serta berhasil mempengaruhi mereka, tetapi ketika harus mengelola pemerintahan, dia gagal dan kerap mengecewakan. Sebaliknya, para pemimpin dengan tipe pengelola umumnya cakap dalam mengelola pemerintahan tapi kurang mendapat dukungan dari rakyat. Karena kurang menguasai retorika atau tak memiliki kecakapan yang cukup untuk mendekati massa, tipe pemimpin pengelola biasanya sering disalahpahami orang. Tentu saja, yang ideal adalah jika kedua karakter ini bersatu dalam satu tokoh. Tapi, seperti saya sebut di atas, jarang sekali ada negarawan yang mengkombinasikan dua karakter kepemimpinan itu. Ilmuwan politik lain yang membicarakan tentang tipe-tipe kepemimpinan adalah William Liddle, ilmuwan politik asal Ohio State University yang juga ahli tentang Indonesia. Liddle memperkenalkan dua tipe kepemimpinan yang dimiliki para pemimpin Indonesia sejak
3

Plato. Statesman. 1st ed. Jackson Hole, WY: Akasha Pub., LLC, 2009. Abu Hasan al-Mawardi. Al-Ahkam al-Sultaniyah wa al-Wilayat al-Diniyah. Kuwait: Dar al-Wafa, Zainal Abidin Ahmad. Membentuk Negara Islam. Djakarta: Widjaya, 1956.

1989.
5 6

Herbert Feith. The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia . Ithaca: Cornell University Press, 1962.

awal kemerdekaan hingga kini, yakni tipe transformasional (transforming leader) dan tipe transaksional (transactional). Tipe transformasional adalah pemimpin yang mampu membentuk ulang situasi politik Indonesia dari satu keadaan kepada keadaan lain. Sementara tipe transaksional adalah model kepemimpinan yang mempergunakan kekuasaannya untuk menukarnya (barter) dengan posisi-posisi yang dapat menguntungkan dirinya dan kelompoknya.7 Tokoh seperti Soekarno, menurut Liddle, adalah jenis pemimpin transformasional yang mengubah Indonesia dari satu fase (penjajahan) kepada fase lain (kemerdekaan). Namun demikian, Liddle membatasi bahwa karakter transformasional Soekarno hanya terjadi sejak awal kemerdekaan hingga tahun 1949. Setelah tahun itu, Soekarno menjadi pemimpin yang tak lagi punya visi transformatif. Dalam tingkat tertentu, Soeharto juga merupakan tipe pemimpin transformatif yang berusaha mengubah kondisi Indonesia lewat proyek pembangunan dan modernisasi yang dipimpinnya. Sementara itu, pemimpin transaksional adalah tipe yang paling banyak dijumpai di Indonesia. Sejak Abdurrahman Wahid hingga Soesilo Bambang Yudhoyono, menurut Liddle, semuanya adalah jenis pemimpin transaksional yang mempertukarkan kekuasaannya dengan posisi-posisi yang dapat menguntungkan dirinya dan kelompoknya. Habibie adalah pengecualian. Dengan masa kepemimpinan yang cukup singkat, dia berusaha memperlihatkan dirinya sebagai pemimpin transformatif. Dengan kekuasaan yang tiba-tiba didapatkannya (setelah mundurnya Soeharto), dia tidak tampak berusaha mempertukarkannya dengan imbalan yang dapat memperpanjang usia kekuasaannya. Di mata Liddle, Habibie seperti sebuah lilin yang kebijakan-kebijakannya memberikan jalan buat demokrasi dan kebebasan di Indonesia tapi kebijakan-kebijakannya itu membakar dirinya. Setelah masa jabatannya selesai, Habibie tak dipilih lagi, tapi Indonesia menjadi negara yang demokratis. Siapa Negarawan Kita? Jika kita melihat tipologi-tipologi yang dibuat baik oleh Feith maupun Liddle, tipe negarawan atau pemimpin politik terbanyak di Indonesia agaknya adalah tipe pengelola dan tipe transaksional. Inilah tipe pemimpin yang memenuhi posisi-posisi di kementrian dan birokrasi, juga di parlemen-parlemen dan partai-partai politik. Dengan kata lain, kita memiliki stok yang cukup banyak tipe pemimpin administrator dan transacsional tapi jarang yang menunjukkan karakter solidarity maker dan transformational. Lebih jarang lagi pemimpin yang mengkombinasikan dua karakter itu. Setidaknya, itu yang saya perhatikan dari tokoh-tokoh politik nasional yang kita miliki sekarang. Mungkin kita akan menemukan nama-nama baru jika kita perluas skop pencarian caloncalon negarawan itu ke level yang lebih rendah, maksud saya level provinsi atau kabupaten/kotamadya. Atau mungkin kita akan menemukan calon negarawan itu jika kita memperluas definisi negarawan dari sekadar pemimpin politik kepada pemimpin7

R. William Liddle, "Marx atau Machiavelli: Menuju Demokrasi yang Bermutu di Indonesia dan Amerika", Nurcholish Madjid Memorial Lecture, di Aula Universitas Paramadina, Jakarta, 8 Desember 2011.

pemimpin lain di dunia profesional. Alternatif pertama lebih masuk akal ketimbang yang kedua. Alternatif kedua umumnya hanya terjadi jika suatu negara benar-benar kekurangan stok pemimpin di dunia politik. Di negara-negara yang demokrasinya sudah stabil, seperti di Amerika Serikat, calon pemimpin nasional biasanya diambil dari pemimpin lokal, seperti gubernur atau senator. Barack Obama, misalnya, sebelum menjadi Presiden, dia adalah senator di negara bagian Illinois. Begitu juga, George Bush, sebelum menjadi presiden, dia adalah gubernur Texas. Bill Clinton, pendahulu Bush, juga seorang gubernur, yakni gubernur negara bagian Arkansas. Pola ini juga berlaku bagi politisi yang datang dari dunia profesional. Ronald Reagan, misalnya, tidak serta-merta menjadi Presiden karena ketenarannya sebagai bintang film. Sebelum menduduki posisi sebagai orang nomor satu di negeri adidaya itu, Reagan adalah gubernur California. Saya kira, pola rekrutmen kepemimpinan nasional semacam ini cukup ideal. Orang yang ingin memimpin suatu negara, apalagi negara yang besar, haruslah memiliki pengalaman sebagai pemimpin di sebuah pemerintahan kecil. Dan pemerintahan kecil yang paling mencerminkan negara adalah pemerintahan lokal (negara bagian atau provinsi). Sekarang, tinggal kita lihat, dari 33 provinsi yang kita miliki, apakah ada gubernur yang kira-kira bisa dicalonkan menjadi pemimpin nasional? Atau adakah dari wakil-wakil rakyat (DPR/DPD) yang memiliki kapasitas kepemimpinan nasional? Jika dari dua wilayah yang dekat dengan pemerintahan ini tak kita temukan, artinya kita tengah menghadapi krisis kepemimpinan. Mungkin wilayah profesional, baik dunia pendidikan, dunia usaha, maupun sektor lainnya, bisa dijajaki dan dieksplorasi. Tentu saja kita selalu dihadapkan pada sebuah dilema, antara menginginkan seorang calon pemimpin yang ideal yang memenuhi kriteria negarawan dan stok yang tersedia. Dalam banyak kasus, sosok yang ideal biasanya tak pernah muncul. Kalaupun muncul, biasanya tak didukung oleh popularitas dan elektabilitas yang cukup yang membuatnya mampu memenangkan pemilihan umum. Demokrasi memerlukan orang-orang yang punya hasrat berkuasa. Jika tak ada orang yang punya hasrat berkuasa, demokrasi tak akan jalan. Di sinilah dilema lain dari demokrasi. Orang-orang baik atau calon-calon pemimpin ideal, biasanya kurang memiliki hasrat berkuasa. Jika mereka tak memompa hasrat kekuasaannya, maka meraka tak akan pernah naik kelas. Politik adalah seni memenangkan kekuasaan. Orang yang tak mau turun tangan dan terlibat dalam pertarungan politik tak akan mendapatkan kekuasaan. Kekuasaan bukanlah sesuatu yang diberikan, tapi ia harus diraih dan diperjuangkan. Penutup Agar kita tak terus-menerus terperangkap dalam istilah yang kita bayangkan sendiri, saya ingin mendefinisikan ulang kata negarawan berdasarkan kamus dan penggunaannya di negara lain, khususnya di Amerika Serikat. Negarawan adalah seorang pemimpin yang pernah menjabat cukup lama suatu jabatan politik, baik di pemerintahan, birokrasi, 4

maupun parlemen. Negarawan umumnya adalah orang yang berkiprah cukup lama dalam dunia politik atau memegang jabatan tertentu di pemerintahan. Orang yang tidak pernah bergelut di dunia politik atau tidak pernah menjabat suatu posisi tertentu di pemerintahan bukanlah seorang negarawan. Dia bisa disebut sebagai profesional, ahli, atau praktisi. Dia bisa disebut negarawan jika bersedia bergelut dalam politik dan pemerintahan. Dengan demikian, jika kita ingin Mencari Negarawan (sesuai tema diskusi ini) kita harus memfokuskan perhatian kita ke pemerintahan, birokrasi, parlemen, dan dunia politik. Di sanalah kita bisa menemukan negarawan. Di luar itu, kita tidak bisa bicara tentang negarawan.

Anda mungkin juga menyukai