Anda di halaman 1dari 34

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya kepada penulis sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan
makalah ini tepat pada waktunya. Makalah yang berjudul Manajemen Controlling yang
ditulis guna memenuhi salah satu tugas mata kuliah Manajemen Keperawatan.

Pada kesempatan yang baik ini, izinkanlah penulis menyampaikan rasa hormat dan
ucapan terima kasih kepada semua pihak yang dengan tulus ikhlas memberikan bantuan dan
dorongan kepada penulis dalam menyelesaikan masalah ini dengan sebaik-baiknya.

Jakarta, 4 November 2018

Penyusun

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................. … 1


DAFTAR ISI ................................................................................................................ … 2

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................................... …. . 3
B. Rumusan Masalah ........................................................................................ ….. . 3
C. Tujuan Penulisan .......................................................................................... …… 4

BAB II CONTROLLING (PENGENDALIAN)


A. Definisi Controlling ………………………………………………………………. 5
B. Prinsip – prinsip Controlling …………............................................................……. 6
C. Prinsip – prinsip Pokok Controlling …………………………………………....…. 6
D. Tujuan Controlling ……………………………………………………………….. 7
E. Sifat dan Waktu Controlling ………………………………...................................... 8
F. Tipe – tipe Controlling …………………………………………………....…. 9
G. Syarat – syarat Controlling ……………………………………………………...... 9
H. Pentingnya Controlling ..................................................................................... 10
I. Metode Controlling ..................................................................................................10
J. Karakteristik Controlling ......................................................................................11
K. Manfaat Controlling ..................................................................................................12
L. Proses dan Langkah – langkah Controlling ..............................................................12
M. Objek Controlling ..................................................................................................16
N. Alat atau Instrumen Controlling ..........................................................................16
O. Definisi Mutu Pelayanan ..........................................................................24

BAB III PENUTUP


A. Simpulan ......................................................................................................... ............ 32
B. Saran ........................................................................................................................... 33

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................. 34

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pengawasan merupakan salah satu fungsi dalam manajemen suatu organisasi.
Dimana memiliki arti suatu proses mengawasi dan mengevaluasi suatu kegiatan.
Suatu Pengawasan dikatakan penting karena tanpa adanya pengawasan yang baik
tentunya akan menghasilkan tujuan yang kurang memuaskan, baik bagi organisasinya
itu sendiri maupun bagi para pekerjanya. Di dalam suatu organisasi terdapat tipe-tipe
pengawasan yang digunakan, sepertipengawasan Pendahuluan (preliminary
control), Pengawasan pada saat kerja berlangsung (cocurrent control),Pengawasan
Feed Back (feed back control).
Di dalam proses pengawasan juga diperlukan Tahap-tahap pengawasan untuk
mencapai tujuan yang diinginkan. Tahap-tahap pengawasan tersebut terdiri dari
beberapa macam, yaitu Tahap Penetapan Standar, Tahap Penentuan Pengukuran
Pelaksanaan Kegiatan, Tahap Pengukuran Pelaksanaan Kegiatan, Tahap
Pembandingan Pelaksanaan dengan Standar dan Analisa Penyimpangan dan Tahap
Pengambilan Tindakan Koreksi.
Suatu Organisasi juga memiliki perancangan proses pengawasan, yang
berguna untuk merencanakan secara sistematis dan terstruktur agar proses
pengawasan berjalan sesuai dengan apa yang dibutuhkan atau direncanakan. Untuk
menjalankan proses pengawasan tersebut dibutuhkan alat bantu manajerial
dikarenakan jika terjadi kesalahan dalam suatu proses dapat langsung diperbaiki.
Selain itu, pada alat-alat bantu pengawasan ini dapat menunjang terwujudnya proses
pengawasan yang sesuai dengan kebutuhan. Pengawasan juga meliputi bidang-bidang
pengawasan yang menunjang keberhasilan dari suatu tujuan organisasi.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu definisi fungsi controlling ?
2. Apa saja prinsip – prinsip fungsi controlling ?
3. Apa prinsip pokok controlling ?
4. Apakah tujuan dari controlling ?
5. Apa saja sifat dan waktu controlling ?
6. Apa saja tipe- tipe controlling ?

3
7. Apa saja syarat controlling?
8. Apakah pentingnya controlling ?
9. Apa saja metode controlling ?
10. Apa saja karakteristik controlling ?
11. Apa manfaat dari controlling ?
12. Bagaimanakah proses controlling ?
13. Apa saja obyek controlling ?
14. Apa saja alat atau instrumen controlling ?
15. Bagaimana karakteristik – karakteristik controlling yang efektif itu ?
16. Apa itu mutu pelyanan ?

C. Tujuan
1. Mengetahui definisi fungsi controlling
2. Mengetahui prinsip – prinsip fungsi controlling
3. Mengetahui prinsip pokok controlling
4. Mengetahui tujuan controlling
5. Mengetahui sifat dan waktu controlling
6. Mengetahui tipe- tipe controlling
7. Mengetahui syarat – syarat controlling
8. Mengetahui pentingnya controlling
9. Mengetahui metode controlling
10. Mengetahui karakteristik – karakteristik controlling yang efektif
11. Mengetahui manfaat controlling
12. Mengetahui proses dan langkah – langkah controlling
13. Mengetahui obyek controlling
14. Mengetahui alat atau instrumen controlling
15. Mengetahui mutu pelayanan

4
BAB II

CONTROLLING (PENGENDALIAN)

A. Definisi Controlling
Menurut Robert J. Mockler pengawasan yaitu usaha sistematik menetapkan standar
pelaksanaan dengan tujuan perencanaan, merancang sistem informasi umpan balik,
membandingkan kegiatan nyata dengan standar, menentukan dan mengukur deviasi-
deviasi dan mengambil tindakan koreksi yang menjamin bahwa semua sumber daya yang
dimiliki telah dipergunakan dengan efektif dan efisien.
Pengendalian (controlling) adalah proses untuk mengamati secara terus menerus
pelaksanaan rencana kerja yang sudah disusun dan mengadakan koreksi terhadap
penyimpangan yang terjadi. Pengawasan (controlling) dapat dianggap sebagai aktivitas
untuk menemukan, mengoreksi penyimpangan-penyimpangan penting dalam hasil yang
dicapai dari aktivitas-aktivitas yang direncanakan. Wajar jika terjadi kekeliruan-
kekeliruan tertentu, kegagalan-kegagalan dan petunjuk-petunjuk yang tidak efektif
hingga terjadi penyimpangan yang tidak diinginkan dari pada tujuan yang ingin dicapai.
Pengawasan dalam arti manajemen yang diformalkan tidak akan eksis tanpa adanya
perencanaan, pengorganisasian dan penggerakan sebelumnya. Pengawasan bisa berjalan
secara efektif diperlukan beberapa kondisi yang harus diperhatikan yaitu:
1. Pengawasan harus dikaitkan dengan tujuan, dan kriteria yang dipergunakan dalam
sistem pelayanan kesehatan, yaitu relevansi, efektivitas, efisiensi dan produktivitas.
2. Agar standar pengawasan berfungsi efektif maka harus dipahami dan diterima oleh
setiap anggota organisasi sebagai bagian integral, misalnya sistem standar kendali
mutu harus dianggap normal dan perlu.
3. Sulit, tetapi standar yang masih dapat dicapai harus ditentukan
Ada dua tujuan pokok yaitu untuk memotivasi dan untuk dijadikan patokan guna
membandingkan dengan prestasi. Artinya jika pengawasan ini efektif akan dapat
memotivasi seluruh anggota untuk mencapai prestasi yang tingg. Karena tantangan
biasanya menimbulkan berbagai reaksi, maka daya upaya untuk mencapai standar
yang sulit mungkin dapat membangkitkan semangat yang lebih besar untuk
mencapainya daripada kalau harus dipenuhi itu hanya standar yang mudah. Namun
demikian, jika target terlampau tinggi atau terlalu sulit kemungkinan juga akan
menimbulkan patah semangat. Oleh karena itu tidak menetapkan standar yang
terlampau sulit sehingga bukan meningkatkan prestasi malah menurunkan prestasi.

5
4. Pengawasan hendaknya disesuaikan dengan sifat dan kebutuhan organisasi. Di sini
perlu diperhatikan pola dan tata organisasi, seperti susunan, peraturan, kewenangan
dan tugas-tugas yang telah digariskan dalam uraian tugas (job description).
5. Banyaknya pengawasan harus dibatasi. Artinya, jika pengawasan terhadap karyawan
terlampau sering, ada kecenderungan mereka kehilangan otonominya dan dapat
dipersepsi pengawasan itu sebagai pengekangan.
6. Setiap pengawasan harus dikemudi (steering controls) tanpa megorbankan otonomi
dan kehormatan manajerial tetapi fleksibel, artinya sistem pengawasan menunjukkan
kapan dan dimana tindakan korektif harus diambil.
7. Pengawasan hendaknya mengacu pada tindakan perbaikan, artinya tidak hanya
mengungkap penyimpangan dari standar, tetapi penyediaan alternatif perbaikan,
menentukan tindakan perbaikan.
8. Pengawasan hendaknya mengacu pada prosedur pemecahan masalah, yaitu
menemukan masalah, menemukan penyebab, membuat rancangan penanggulangan,
melakukan perbaikan, mengecek hasil perbaikan, mengecek timbulnya masalah yang
serupa.

B. Prinsip – prinsip Controlling


1. Pengawasan yang dilakukan oleh pimpinan harus dimengerti oleh staf dan hasilnya
mudah diukur. Misalnya tentang waktu dan tugas-tugas pokok yang harus
diselesaikan oleh staf.
2. Fungsi pengawasan harus difahami pimpinan sebagai suatu kegiatan yang sangat
penting dalam upaya mencapai tujuan organisasi.
3. Standar unjuk kerja harus dijelaskan kepada seluruh staf karena kinerja staf akan terus
dinilai oleh pimpinan sebagai pertimbangan untuk memberikan reward kepada
mereka yang dianggap mampu bekerja.

C. Prinsip Pokok Controlling


Fungsi pengawasan adalah aktivitas yang mengusahakan agar pekerjaan-pekerjaan
terlaksana sesuai dengan rencana yang ditetapkan atau hasil yang dikehendaki. Untuk
dapat menjalankan pengawasan, perlu diperhatikan 2 prinsip pokok, yaitu:
1. Adanya Rencana
2. Adanya instruksi-instruksi dan pemberian wewenang kepada bawahan.

6
Dalam fungsi pengawasan tidak kalah pentingnya adalah sosialisasi tentang perlunya
disiplin, mematuhi segala peraturan demi keselamatan kerja bersama. Sosialisasi perlu
dilakukan terus menerus, karena usaha pencegahan adalah penting untuk mendapat
perhatian.
Pengawasan dan pengendalian (controlling) sebagai fungsi manajemen bila diikerjakan
dengan baik, akan menjamin bahwa semua tujuan dari setiap orang atau kelompok
konsisten dengan tujuan jangka pendek maupun jangka panjang. Hal ini membantu
menyakinkan bahwa tujuan dan hasil tetap konsisten satu sama lain dengan dalam
organisasi. Controlling berperan juga dalam menjaga pemenuhan (kompliansi) aturan dan
kebijakan yang esensial.
Proses pengendalian mulai dengan perencanaan dan pembangunan tujuan penampilan
kerja. Tujuan penampilan didefinisikan dan standar-standar untuk mengukurnya disusun.
Ada 2 tipe standar:
1. Standar out-put (keluaran), yaitu mengukur hasil-hasil tampilan dalam istilah
kuantitas, kualitas, biaya atau waktu.
2. Standar in-put (masukan), yaitu mengukur usaha-usaha kerja yang masuk ke dalam
tugas penampilan.

D. Tujuan Controlling
Adapun tujuannya adalah:
1. Menghentikan atau meniadakan kesalahan, penyimpangan, penyelewengan,
pemborosan, hambatan, dan ketidakadilan
2. Mencegah terulangnya kembali kesalahan, penyimpangan, penyelewengan,
pemborosan, hambatan, dan ketidakadilan
3. Mendapatkan cara-cara yang lebih baik atau membina yang telah baik
4. Menciptakan suasana keterbukaan, kejujuran, partisipasi, dan akuntabilitas organisasi
5. Meningkatkan kelancaran operasi organisasi
6. Meningkatkan kinerja organisasi
7. Memberikan opini atas kinerja organisasi
8. Mengarahkan manajemen untuk melakukan koreksi atas masalah-masalah
pencapaian kerja yang ada
9. Menciptakan terwujudnya organisasi yang bersih

7
E. Sifat dan Waktu Controlling
Sifat dan waktu pengendalian/control dibedakan atas :
1. Preventive control, pengendalian yang dilakukan sebelum kegiatan dilakukan untuk
menghindari terjadinya penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaannya.
Cara melakukannya:
a. Menentukan proses pelaksanaan pekerjaan
b. Membuat peraturan dan pedoman pelaksanaan pekerjaan itu
c. Menjelaskan dan mendemonstrasikan cara pelaksanaan pekerjaan
d. Mengorganisasi segala macaam kegiatan
e. Menentukan jabatan, job description, authority, dan responsibility bagi setiap
karyawan
f. Menetapkan sistem koordinasi pelaporan dan pemeriksaan
g. Menetapkan sanksi bagi karyawan yang membuat kesalahan
preventive control ini adalah pengendalian yang terbaik karena dilakukan sebelum
terjadi kesalahan.
2. Repressive control, pengendalian yang dilakukan setelah terjadi kesalahan dalam
pelaksanaannya, agar kesalahan yang sama tidak terjadi lagi di waktu yang akan
datang. Cara melakukannya:
a. Membandingkan antara hasil dengan rencana
b. Menganalisis sebab-sebab yang menimbulkan kesalahan dan mencari tindakan
perbaikannya
c. Memberikan penilaian terhadap pelaksananya, jika perlu dikenakan sanksi
hukuman kepadanya
d. Menilai kembali prosedur-prosedur pelaksanaan yang ada
e. Mengecek kebenaran laporan yang dibuat oleh petugas pelaksana
f. Jika perlu meningkatkan keterampilan atau kemampuan pelaksana melalui
training atau education.
3. Pengendalian saat proses dilakukan, jika terjadi kesalahan segera diperbaiki.
4. Pengendalian berkala, pengendalian yang dilakukan secara berkala.
5. Pengendalian mendadak, pengawasan yang dilakukan secara mendadak untuk
mengetahui apa pelasakanaan atau peraturan-peraturan yang ada dilaksanakan dengan
baik.Pengendalian mendadak ini sekali-kali perlu dilakukan,supaya kedisiplinan
karyawan tetap terjaga dengan baik.

8
6. Pengamatan melekat, pengendalian yang dilakukan mulai dari sebelum, saat, dan
sesudah kegiatan dilakukan.

F. Tipe- tipe Controlling


Ada tiga tipe dasar dalam controlling (pengawasan) yaitu :
1. Pengawasan Pendahuluan (Feedforward Control)
Pengawasan ini sering disebut juga dengan Steering Control. Ini dirancang
untuk mengantisipasi masalah-masalah atau penyimpangan-penyimpangan dari
standar dan tujuan dan memungkinkan koreksi dibuat sebelum suatu tahap
diselesaikan (kegiatan belum dilaksanakan).
2. Pengawasan Concurrent
Pengawasan concurrent maksudnya pengawasan yang dilakukan bersamaan
dengan melakukan kegiatan. Pengawasan ini sering disebut pengawasan “ Ya-Tidak “,
screening control, “berhenti terus” dilakukan selama suatu kegiatan berlangsung.
3. Pengawasan Umpan Balik (Feedback Control)
Pengawasan ini bias juga dikenal sebagai “Past-Action Control” yang
mengukur hasil-hasil dari suatu kegiatan yang telah diselesaikan dan pengukuran ini
dilakukan setelah kegiatan terjadi.

Ketiga bentuk pengawasan ini sangat berguna bagi manajemen karena memungkinkan
manajemen membuat tindakan koreksi dan tetap dapat mencapai tujuan

G. Syarat Controlling
1. Pengawasan harus mendukung sifat dan kebutuhan kegiatan.
2. Pengawasan harus melaporkan setiap penyimpangan yang terjadi
3. Pengawasan harus mempunyai pandangan ke depan.
4. Pengawasan harus obyektif,teliti,dan sesuai dengan standar.
5. Pengawasan harus luwes atau fleksibel.
6. Pengawasan harus serasi dengan pola organisasi.
7. Pengawasan harus ekonomis.
8. Pengawasan harus mudah dimengerti.
9. Pengawasan harus diikuti dengan perbaikan atau koreksi.

9
H. Pentingnya Controlling
Suatu organisasi akan berjalan terus dan semakin komplek dari waktu ke waktu,
banyaknya orang yang berbuat kesalahan dan guna mengevaluasi atas hasil kegiatan yang
telah dilakukan, inilah yang membuat fungsi pengawasan semakin penting dalam setiap
organisasi. Ada beberapa alasan mengapa pengawasan itu penting, diantaranya :
1. Perubahan lingkungan organisasi
Berbagai perubahan lingkungan organisasi terjadi terus-menerus dan tak dapat
dihindari, seperti munculnya inovasi produk dan pesaing baru, diketemukannya
bahan baku baru dsb. Melalui fungsi pengawasannya manajer mendeteksi perubahan
yang berpengaruh pada barang dan jasa organisasi sehingga mampu menghadapi
tantangan atau memanfaatkan kesempatan yang diciptakan perubahan yang terjadi.
2. Peningkatan kompleksitas organisasi
Semakin besar organisasi, makin memerlukan pengawasan yang lebih formal
dan hati-hati. Berbagai jenis produk harus diawasi untuk menjamin kualitas dan
profitabilitas tetap terjaga. Semuanya memerlukan pelaksanaan fungsi pengawasan
dengan lebih efisien dan efektif.
3. Meminimalisasikan tingginya kesalahan-kesalahan
Bila para bawahan tidak membuat kesalahan, manajer dapat secara sederhana
melakukan fungsi pengawasan. Tetapi kebanyakan anggota organisasi sering
membuat kesalahan. Sistem pengawasan memungkinkan manajer mendeteksi
kesalahan tersebut sebelum menjadi kritis.
4. Kebutuhan manager untuk mendelegasikan wewenang
Bila manajer mendelegasikan wewenang kepada bawahannya tanggung jawab
atasan itu sendiri tidak berkurang. Satu-satunya cara manajer dapat menen-tukan
apakah bawahan telah melakukan tugasnya adalah dengan mengimplementasikan
sistem pengawasan
5. Komunikasi
6. Menilai informasi dan mengambil tindakan koreksi
7. Langkah terakhir adalah pembandingan penunjuk dengan standar, penentuan apakah
tindakan koreksi perlu diambil dan kemudian pengambilan tindakan

I. Metode Controlling
Metode controlling (pengawasan) terdiri atas dua kelompok, yaitu metode
bukan kuantitatif (non-quantitative) dan metode kuantitatif.
10
1. Metode Controlling Non-Kuantitatif
Metode ini adalah metode-metode pengawasan yang digunakan manajer dalam
pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen. Teknik-teknik yang sering digunakan meliputi
:
a. Pengamatan (control by observation),
b. Inspeksi teratur dan langsung (control by regular and spot inspection),
c. Pelaporan lisan dan tertulis (control by report),
d. Evaluasi pelaksanaan, dan
e. Diskusi antara manajer dan bawahan tentang pelaksanaan suatu kegiatan.
2. Metode Controlling Kuantitatif
Sebagian besar teknik-teknik pengawasan kuntitatif cenderung untuk
menggunakan data khusus dan metode kuantitatif untuk mengukur dan memeriksa
kuantitas dan kualitas keluaran (output). Metode-metode kuantitatif tersebut terdiri
dari :
a. Anggaran (budget) seperti :
1) Anggaran operasi, anggaran pembelanjaan modal, anggaran penjualan,
anggaran kas
2) Anggaran-anggaran khusus, seperti planning-programming-budgeting systems
(PPBS)
b. Audit, seperti
1) Internal audi
2) External audit
3) management audit.
c. Analisa break-even
d. Analisa Rasio
e. Bagan dan teknik yang berhubungan dengan waktu pelaksanaan kegiatan, seperti
Program Evaluation and ReviewTechnique, dll.

J. Karakteristik – karakteristik Controlling yang Efektif


Karakteristik-karakteristik controlling yang efektif dapat diperinci sebagai berikut :
1. Akurat
2. Tepat waktu
3. Obyektif dan menyeluruh
4. Terpusat pada titik-titik controlling yang strategik
11
5. Realistik secara ekonomis
6. Terkoordinasi dengan aliran kerja organisasi
7. Fleksibel
8. Bersifat sebagai petunjuk dan operasional
9. Realistik secara organisasional
10. Diterima para anggota organisasi

K. Manfaat Controlling
Bila fungsi dilaksanakan dengan tepat, organisasi akan memperoleh manfaat berupa:
1. Dapat mengetahui sejauh mana program sudah dilaukan oleh staf, apakah sesuai
dengan standar atau rencana kerja, apakah sumberdaya telah digunakan sesuai dengan
yang telah ditetapkan. Fungsi wasdal akan meningkatkan efisiensi kegiatan program.
2. Dapat mengetahui adanya penyimpangan pada pemahaman staf dalam melaksanakan
tugas-tugasnya.
3. Dapat mengetahui apakah waktu dan sumber daya lainnya mencukupi kebutuhan dan
telah dimanfaatkan secara efisien.
4. Dapat mengetahui sebab-sebab terjadinya penyimpangan.
5. Untuk memberikan ruang regular untuk superviesees untuk merenungkan isi dan
pekerjaan mereka
6. Untuk menerima informasi dan perspektif lain mengenai pekerjaan seseorang
7. Untuk menjadi dukungan baik segi pribadi ataupun pekerjaan
8. Untuk memastikan bahwa sebagai pribadi dan sebagai orang pekerja tidak
ditinggalkan tidak perlu membawa kesulitan, masalah dan proyeksi saja.
9. Untuk menjadi pro-aktif bukan re-aktif
10. Untuk memastikan kualitas pekerjaan

L. Proses dan Langkah – langkah Controlling

Dalam bidang keperawatan pengendalian merupakan upaya mempertahankan mutu,


kualitas atau standar. Output (hasil) dari suatu pekerjaan dikendalikan agar memenuhi
keinginan (standar) yang telah ditetapkan. Pengendalian difokuskan pada proses yaitu
pelaksanaan asuhan keperawatan dan pada output (hasil) yaitu kepuasan pelanggan,
keluarga, perawat, dan dokter. Indikator mutu yang merupakan output adalah BOR, LOS,
TOI, dan audit dokumentasi keperawatan. Kepala ruangan akan membuat laporan hasil

12
kerja bulanan tentang semua kegiatan yang dilakukan (proses evaluasi=audit proses)
terkait dengan MPKP. Data tentang indikator mutu dapat bekerjasama dengan tim rumah
sakit atau ruangan membuat sendiri. Audit dokumentasi keperawatan dilakukan pada
rekam medik yang pulang atau yang sedang dirawat lalu dibuat rekapitulasinya untuk
ruangan. Survey masalah pasien yang diambil dari pasien baru yang dirawat pada bulan
yang bersangkutan untuk menganalisa apakah ada masalah baru yang belum dibuat
standar asuhannya. Ketua tim akan memberi kontribusi data yang dibutuhkan standar
asuhannya. Ketua tim akan memberi kontribusi data yang dibutuhkan oleh kepala
ruangan dalam menilai pencapaian kegiatan MPKP.

Kegiatan pengawasan membuahkan hasil yang diharapkan, perhatian serius perlu


diberikan kepada berbagai dasar pemikiran yang sifatnya fundamental, beberapa
diantaranya dibahas berikut ini:

1. Orientasi kerja dalam setiap organisasi adalah efisiensi.

Bekerja secara efisien berarti menggunakan sumber-sumber yang tersedia seminimal


mungkin untuk membuahkan hasil tertentu yang telah ditetapkan dalam rencana. Sudah
umum diterima sebagai kebenaran ilmiah dan kenyataan dalam praktik menunjukkan
pula bahwa sumber-sumber yang tersedia atau mungkin disediakan oleh organisasi
apapun untuk mencapai tujuannya selalu terbatas, yaitu berupa dana, tenaga, sarana,
prasarana, dan waktu. Keterbatasan demikian menuntut penggunaan yang sehemat-
hematnya dari semua dana dan daya yang dimiliki dengan tetap menghasilkan hal-hal
yang ditargetkan untuk dihasilkan.

2. Adanya efektivitas kerja dalam organisasi.

Jika seseorang berbicara tentang efektivitas sebagai orientasi kerja, artinya yang
menjadi sorotan perhatiannya adalah tercapainya berbagai sasaran yang telah ditentukan
tepat pada waktunya dengan menggunakan sumber-sumber tertentu yang sudah
dialokasikan untuk melakukan berbagai kegiatan. Artinya, jumlah dan jenis sumber-
sumber yang akan digunakan sudah ditentukan sebelumnya dan dengan pemanfaatan
sumber-sumber itulah, hasil-hasil tertentu harus dicapai dalam batas waktu yang telah
ditetapkan pula. Efektivitas menyoroti tercapainya sasaran tepat pada waktunya untuk
disediakan sumber dan sarana kerja tertentu yang dianggap memadai.

13
3. Produktivitas-merupakan orientasi kerja.

Ide yang menonjol dalam membicarakan dan mengusahakan produktivitas maksimal


adalah optimalisasi hasil yang harus dicapai berdasarkan dan dengan memanfaatkan
sumber dana dan daya yang telah dialokasikan sebelumnya. Dalam praktik, ketiga
orientasi kerja tersebut diterapkan sekaligus dalam menjalankan roda organisasi.

4. Pengawasan dilakukan pada waktu berbagai kegiatan sedang berlangsung

Kegiatan ini untuk mencegah jangan sampai terjadi penyimpangan, penyelewengan,


dan pemborosan. Dengan perkataan lain pengawasan akan bersifat preventif untuk
mencegah berbagai hal negatif, manajer sebagai pelaksana fungsi pengawasan harus
mampu mendeteksi berbagai petunjuk kemungkinan timbulnya berbagai hal negatif
dalam menjalankan roda organisasi. Demikian pula halnya dengan setiap manajer yang
harus selalu mengamati segala sesuatu yang terjadi dalam organisasi sehingga apa yang
terjadi tidak lagi dipandang sebagai pendadakan.

5. Tidak ada manajer yang dapat mengelak dari tanggung jawabnya melakukan
pengawasan.

Para pelaksana adalah manusia yang tidak sempurna. Dengan sifat dasar
ketidaksempurnaan ini para pelaksana kegiatan tidak akan luput dari kemungkinan
berbuat khilaf bahkan juga berbuat kesalahan, sehingga setiap saat perlu pengawasan dan
bimbingan. Penyimpangan dan pemborosan belum tentu terjadi karena kesengajaan,
terjadi ada faktor lainnya yang menjadi penyebabnya antara lain kekurangan
keterampilan, kurang pengetahuan dan faktor lain yang sejenis, sehingga perlu bimbingan
serta pengawasan setiap saat.

Proses atau langkah – langkah yang harus dilakukan dalam pengendalian atau
pengontrolan meliputi:

1. Penetapan standart pelaksanaan (perencanaan).


Tahap pertama dalam pengendalian adalah penetapan standar pelaksanaan.
Standar mengandung arti sebagai suatu satuan pengukuran yang dapat digunakan
sebagai “patokan” untuk penilaian hasil-hasil. Standar adalah kriteria-kriteria untuk

14
mengukur pelaksanaan pekerjaan. Kriteria tersebut dapat dalam bentuk kuantitatif
ataupun kualitatif. Standar pelaksanaan (standard performance) adalah suatu
pernyataan mengenai kondisi-kondisi yang terjadi bila suatu pekerjaan dikerjakan
secara memuaskan.
Standar pelaksanaan pekerjaan bagi suatu aktifitas menyangkut kriteria
ongkos, waktu, kuantitas, dan kualitas. Tipe bentuk standar yang umum adalah:
a. Standar-standar fisik, meliputi kuantitas barang atau jasa, jumlah langganan,
atau kualitas produk.
b. Standar-standar moneter, yang ditunjukkan dalam rupiah dan mencakup biaya
tenaga kerja, biaya penjualan, laba kotor, pendapatan penjualan, dan lain-lain.
c. Standar-standar waktu, meliputi kecepatan produksi atau batas waktu suatu
pekerjaan harus diselesaikan.

2. Penentuan pengukuran pelaksanaan kegiatan.


Penentuan standar akan sia-sia bila tidak disertai berbagai cara untuk
mengukur pelaksanaan kegiatan nyata. Oleh karena itu, tahap kedua dalam
pengendalian adalah menentukan pengukuran pelaksanaan kegiatan secara tepat.

3. Pengukuran pelaksanaan kegiatan.


Setelah frekuensi pengukuran dan sistem monitoring ditentukan pengukuran
pelaksanaan dilakukan sebagai proses yang berulang-ulang dan terus-menerus. Ada
berbagai cara untuk melakukan pengukuran pelaksanaan yaitu pengamatan
(observasi), laporan-laporan (lisan dan tertulis), pengujian (tes), atau dengan
pengambilan sampel.
4. Pembandingan pelaksanaan dengan standar dan analisa penyimpangan
Tahap kritis dari proses pengawasan adalah pembandingan pelaksanaan nyata
dengan pelaksanaan yang direncanakan atau standar yang telah ditetapkan.
5. Pengambilan tindakan koreksi bila diperlukan
Bila hasil analisa menunjukkan perlunya tindakan koreksi, tindakan ini harus
diambil. Tindakan koreksi mungkin berupa:
a. Mengubah standar mulu-mulu (barangkali terlalu tinggi atau terlalu rendah)
b. Mengubah pengukuran pelaksanaan
c. Mengubah cara dalam menganalisa dan menginterpretasikan penyimpangan-
penyimpangan.
15
M. Objek Controlling
Dalam melaksanakan fungsi pengawasan manajerial, ada lima jenis obyek yang perlu
dijadikan sasaran pengawasan.
1. Obyek yang menyangkut kuantitas dan kualitas barang atau jasa. Pengawasan ini
bersifat fisik.
2. Keuangan
3. Pelaksanaan program dilapangan
4. Obyek yang bersifat strategis
5. Pelaksanaan kerja sama dengan sektor lain yang terkait.

N. Alat atau Instrumen Controlling

Peralatan atau instrument dipilih untuk mengumpulkan bukti dan untuk menunjukkan
standart yang telah ditetapkan atau tersedia. Audit merupakan penilaian pekerjaan yang
telah dilakukan. Terdapat tiga kategori audit keperawatan, yaitu:

1. Audit struktur

Berfokus pada sumber daya manusia, lingkungan perawatan, termasuk fasilitas


fisik, peralatan, organisasi, kebijakan, prosedur, standart, SOP dan rekam medik,
pelanggan (internal maupun external). Standart dan indikator diukur dengan
menggunakan cek list.

2. Audit proses

Merupakan pengukuran pelaksanaan pelayanan keperawatan apakah standar


keperawatan tercapai. Pemeriksaan dapat bersifat retrospektif, concurrent, atau peer
review. Retrospektif adalah audit dengan menelaah dokumen pelaksanaan asuhan
keperawatan melalui pemeriksaan dokumentasi. Concurrent adalah mengobservasi
saat kegiatan keperawatan sedang berlangsung. Peer review adalah umpan balik
sesama anggota tim terhadap pelaksanaan kegiatan.

3. Audit hasil

16
Audit hasil adalah produk kerja yang dapat berupa kondisi pasien , kondisi SDM,
atau indikator mutu. Kondisi pasien dapat berupa keberhasilan pasien dan kepuasan.
Kondisi SDM dapat berupa efektifitas dan efisiensi serta kepuasan. Untuk indikator
mutu berupa BOR, ALOS, TOI, angka infeksi nosokomial dan angka dekubitus.

Indikator pelayanan rumah sakit dapat dipakai untuk mengetahui tingkat pemanfaatan,
mutu, dan efisiensi pelayanan rumah sakit. Indikator pelayanan asuhan keperawatan dapat
bersumber dari sensus harian, mingguan, bulanan bahkan tahunan di ruang rawat inap.
Beberapa indikator mutu umum dalam bentuk BOR, ALOS, TOI, BTO, NDR, GDR dan
indikator mutu khusus dalam bentuk survey dan audit seperti kejadian infeksi
nosokomial, kejadian cedera, survey masalah pasien, audit dokumentasi asuhan
keperawatan, survey masalah baru, kepuasan pasien, keluarga, kepuasan tenaga kesehatan
yaitu perawat, dokter dan tenaga kesehatan lainnya. Berikut adalah beberapa indikator
mutu umum dalam controlling :

1. BOR (Bed Occupancy Ratio/Angka penggunaan tempat tidur)


BOR menurut Huffman adalah “the ratio of patient service days to inpatient
bed count days in a period under consideration”. Menurut Depkes RI (2005), BOR
adalah presentase pemakaian tempat tidur pada satuan waktu tertentu. Indikator ini
memberikan gambaran tinggi rendahnya tingkat pemanfaatan tempat tidur rumah
sakit. BOR sering disebut juga:
a. Percent of occupancy
b. Occupancy percent
c. Occupancy ratio
Periode perhitungan BOR ditentukan berdasarkan kebijakan internal rumah
sakit, bisa mingguan, bulanan, tribulan, semester, atau bahkan tahunan. Lingkup
perhitungan BOR juga ditentukan berdasarkan kebijakan internal rumah sakit,
misalnya BOR per bangsal atau BOR untuk lingkup rumah sakit (seluruh bangsal).
Standar internasional BOR dianggap baik adalah 80-90%. Standar BOR yang ideal
menurut Depkes RI (2005) adalah antara 60-85%. Angka-angka ini sebenarnya
tidak bisa langsung digunakan begitu saja untuk semua jenis rumah sakit, misalnya
rumah sakit penyakit khusus tentu beda polanya dengan rumah sakit umum, begitu
pula rumah sakit disuatu daerah tentu beda penilaian tingkat “kesuksesan BORnya
dengan daerah lain. Hal ini bisa dimungkinkan karena perbedaan sosial budaya dan

17
ekonomi setempat. Sebagai catatan bahwa semakin tinggi nilai BOR berarti
semakin tinggi pula penggunaan tempat tidur yang ada untuk perawatan pasien.
Namun perlu diperhatikan bahwa semakin banyak pasien yang dilayani berarti
semakin sibuk dan semakin berat pula beban kerja petugas di unit tersebut.
Akibatnya, pasien bisa kurang mendapat perhatian yang dibutuhkan (kepuasan
pasien menurun) dan kemungkinan infeksi nosokomial juga meningkat. Disisi
lain, semakin rendah BOR berarti semakin sedikit tempat tidur yang digunakan
untuk merawat pasien dibandingkan dengan tempat tidur yang telah disediakan.
Jumlah pasien yang sedikit ini bisa menimbulkan kesulitan pendapatan ekonomi
bagi pihak rumah sakit.

Rumus BOR :

BOR dihitung dengan cara membandingkan jumlah tempat tidur yang terpakai
(O) dengan jumlah TT yang tersedia (A) dan perbandingan ini ditunjukkan dalam
bentuk persentase (%). Jadi rumus dasar untuk menghitung BOR yaitu:
BOR=(O/A) x 100%

Keterangan :

 O : tempat tidur yang terpakai, adalah nilai rata-rata jumlah tempat tidur terpakai
dalam suatu periode atau jumlah HP (hari perawatan) dalam peridoe tersebut dibagi
dengan jumlah hari dalam periode yang bersangkutan (t).
 A : tempat tidur yang tersedia adalah jumlah tempat tidur dikali jumlah hari
persatuan waktu.

Jadi, secara rumus bakunya sebagai berikut:


𝐉𝐮𝐦𝐥𝐚𝐡 𝐡𝐚𝐫𝐢 𝐩𝐞𝐫𝐚𝐰𝐚𝐭𝐚𝐧
Rumus= x 100%
!𝐉𝐮𝐦𝐥𝐚𝐡 𝐭𝐞𝐦𝐩𝐚𝐭 𝐭𝐢𝐝𝐮𝐫 𝐱 𝐉𝐮𝐦𝐥𝐚𝐡 𝐡𝐚𝐫𝐢 𝐩𝐞𝐫𝐬𝐚𝐭𝐮𝐚𝐧 𝐰𝐚𝐤𝐭𝐮

Keterangan :

18
 Jumlah hari perawatan adalah jumlah total pasien dirawat dalam satu hari kali
jumlah hari dalam satu satuan waktu.
 Jumlah hari persatuan waktu, jika diukur persatu bulan maka jumlahnya 28-31 hari,
tergantung jumlah hari dalam bulan tersebut.

Contoh kasus :

Diketahui pasien yang dirawat tanggal 1 September = 97 pasien; 2 September


= 98 pasien; 3 September = 100 pasien; 4 September = 89 pasien. Maka:
Jumlah hari perawatan dari tanggal 1-4 September adalah 97+98+100+89= 384.
Selama 4 hari (periode) jumlah tempat tidur yang ada dan beroperasional di rumah
sakit sebanyak 200 TT.
Maka BORnya adalah:

Jumlah HP=384
BOR= (Jumlah TT=200) X (Periode=4 hari) x 100%

384
BOR= 200 X 4 x 100%

384
BOR= 800 x 100% = 48%

Jika terjadi perubahan jumlah TT dalam periode yang akan dihitung BORnya,
maka BOR dapat dihitung dengan cara seperti contoh berikut ini:

Contoh kasus :

Rumah Sakit setya Husada pada bulan Januari memiliki tempat tidur yang
beroperasional sejumlah 50 buah. Selama periode bulan Januari terdapat 700 pasien,
maka BOR bulan Januari adalah:

700
BOR= 50 X 31 x 100% = 45,2 %

Contoh kasus :

Rumah Sakit setya Husada pada bulan Januari memiliki tempat tidur yang
beroperasional sejumlah 50 buah. Pada tanggal 25 Januari 2015 terjadi penambahan 5
tempat tidur. Jumlah total HP hingga akhir periode Januari 2015=1250. Maka untuk
menghitung BOR periode Januari 2015 yaitu:

19
1250
BOR= (50 X 24)+(55 𝑋 7) x 100% = 78,9 %

2. ALOS (Average Length of Stay/ Rata-rata lamanya pasien dirawat)

ALOS menurut Huffman adalah “The average hospitalization stay of inpatient


discharged during the period under consideration”. ALOS menurut Depkes RI
(2005) adalah rata-rata lama rawat seorang pasien. Indikator ini disamping
memberikan gambaran tingkat efisiensi, juga dapat memberikan gambaran mutu
pelayanan, apabila diterapkan pada diagnosis tertentu dapat dijadikan hal yang perlu
pengamatan lebih lanjut. Secara umum nilai ALOS yang ideal antara 6-9 hari
(Depkes, 2005).

Rumus perhitungan ALOS :

𝐉𝐮𝐦𝐥𝐚𝐡 𝐡𝐚𝐫𝐢 𝐩𝐞𝐫𝐚𝐰𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐩𝐚𝐬𝐢𝐞𝐧 𝐤𝐞𝐥𝐮𝐚𝐫


Rumus= x 100%
𝐉𝐮𝐦𝐥𝐚𝐡 𝐩𝐚𝐬𝐢𝐞𝐧 𝐤𝐞𝐥𝐮𝐚𝐫 (𝐡𝐢𝐝𝐮𝐩+𝐦𝐚𝐭𝐢)

Keterangan :
 Jumlah hari perawatan pasien keluar = jumlah hari perawatan pasien keluar hidup
atau mati dalam satu periode waktu.
 Jumlah pasien keluar (hidup + mati) = jumlah pasien yang pulang atau meninggal
dalam satu periode tertentu.
 Lama dirawat = lamanya 1 orang pasien dirawat setelah pasien tersebut keluar
hidup (pulang atas izin dokter, pulang paksa, melarikan diri dan dirujuk) atau
meninggal.

Contoh kasus :

Pada tanggal 4 September ada 5 orang pasien pulang.


 Pasien A pulang dengan lama dirawat 4 hari
 Pasien B pulang paksa dengan lama dirawat 2 hari
 Pasien C meninggal dengan lama dirawat 10 hari
 Pasien D pulang dengan lama dirawat 3 hari
 Pasien E pulang dengan lama dirawat 6 hari

20
Jadi jumlah lama dirawat pada tanggal 4 September tersebut adalah 25 hari dan pasien
yang pulang (hidup atau meninggal) ada 5 orang. Maka pada tanggal 4 September
tersebut ALOSnya adalah :
 Jumlah lama dirawat = 4+2+10+3+6 = 25 hari
 Jumlah pasien keluar hidup dan meninggal = 5 orang
Jadi ALOSnya = 25 / 5 = 5

Untuk mendapatkan lama dirawat pada setiap pasien dihitung dari kapan
pasien pulang dan pasien tersebut masuk, misalnya pasien A masuk tanggal 31
Agustus dan pulang tanggal 4 September, maka lama dirawat pasien A adalah 4
hari.

3. TOI (Turn Over Interval/ Tenggang Perputaran)

TOI menurut Depkes RI (2005) adalah rata-rata hari dimana tempat tidur tidak
ditempati dari telah diisi ke saat terisi berikutnya. Indikator ini menunjukkan
gambaran tingkat efisiensi penggunaan tempat tidur. Idealnya tempat tidur kosong
tidak terisi pada kisaran 1-3 hari.

Rumus perhitungan TOI :

(𝐉𝐮𝐦𝐥𝐚𝐡 𝐓𝐓 𝐱 𝐡𝐚𝐫𝐢)−𝐡𝐚𝐫𝐢 𝐩𝐞𝐫𝐚𝐰𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐑𝐒


Rumus= x 100%
𝐉𝐮𝐦𝐥𝐚𝐡 𝐩𝐚𝐬𝐢𝐞𝐧 𝐤𝐞𝐥𝐮𝐚𝐫 (𝐡𝐢𝐝𝐮𝐩+𝐦𝐚𝐭𝐢)

Keterangan :
 Jumlah TT = jumlah total kapasitas tempat tidur yang dimiliki
 Hari perawatan = jumlah total hari perawatan pasien yang keluar hidup dan mati.
 Jumlah pasien keluar (hidup+mati) adalah jumlah pasien yang dimutasikan keluar
baik pulang, lari, atau meninggal.

Contoh kasus :

Rumah Sakit setya Husada memiliki tempat tidur 200 dengan periode 1 hari, jumlah
hari perawatan 90 jumlah pasien keluar hidup dan meninggal 5 orang, maka TOInya
adalah :

(Jumlah TT=200) x (jumlah periode=1)−(hari perawatan=90)


TOI= (Jumlah pasien keluar (hidup+mati)=5)

21
(200 x 1)−90 110
TOI= = = 22 hari
5 5

4. BTO (Bed Turn Over/ Angka perputaran tempat tidur)


BTO menurut Huffman adalah “...the next effect of changed in occupancy rate
and length of stay)”. BTO menurut Depkes RI (2005) adalah frekuensi pemakaian
tempat tidur pada satu periode, berapa kali tempat tidur dipakai dalam satu satuan
waktu tertentu. Idealnya dalam satu tahun, satu tempat tidur rata-rata dipakai 40-50
kali.
Rumus perhitungan BTO :

𝐉𝐮𝐦𝐥𝐚𝐡 𝐩𝐚𝐬𝐢𝐞𝐧 𝐤𝐞𝐥𝐮𝐚𝐫 (𝐡𝐢𝐝𝐮𝐩+𝐦𝐚𝐭𝐢)


Rumus= x 100%
𝐉𝐮𝐦𝐥𝐚𝐡 𝐭𝐞𝐦𝐩𝐚𝐭 𝐭𝐢𝐝𝐮𝐫

Keterangan:
 Jumlah TT = jumlah total kapasitas tempat tidur yang dimiliki
 Jumlah pasien keluar (hidup+mati) adalah jumlah pasien yang dimutasikan keluar
baik pulang, lari, atau meninggal.

Contoh kasus :

Pasien keluar hidup dan meninggal ada 5 orang pada tanggal 4 September 2014.
Jumlah tempat tidur ada 200 TT. Maka BTO nya adalah :

Jumlah pasien keluar (hidup+mati)=5


BTO= Jumlah tempat tidur=200

5
BTO= 200 = 0,025 kali = 2,5 %

5. NDR (Net Death Rate)


NDR menurut Depkes RI 2005 adalah angka kematian 48 jam setelah dirawat
untuk tiap-tiap 1000 penderita keluar. Indikator inimemberikan gambaran mutu
pelayanan di rumah sakit.
Rumus penghitungan NDR :

𝐉𝐮𝐦𝐥𝐚𝐡 𝐩𝐚𝐬𝐢𝐞𝐧 𝐦𝐚𝐭𝐢>𝟒𝟖 𝐣𝐚𝐦


NDR= x 100%
𝐉𝐮𝐦𝐥𝐚𝐡 𝐩𝐚𝐬𝐢𝐞𝐧 𝐤𝐞𝐥𝐮𝐚𝐫 (𝐡𝐢𝐝𝐮𝐩+𝐦𝐚𝐭𝐢)

Keterangan :
 Jumlah pasien meninggal >48 jam dirawat
22
 Jumlah pasien keluar (hidup+mati) adalah jumlah pasien yang dimutasikan keluar
baik pulang, lari, atau meninggal.
6. GDR (Gross Death Rate)
GDR menurut Depkes RI (2005) adalah angka kematian umum untuk setiap
1000 penderita keluar rumah sakit.
Rumus penghitungan GDR :

𝐉𝐮𝐦𝐥𝐚𝐡 𝐩𝐚𝐬𝐢𝐞𝐧 𝐦𝐚𝐭𝐢 𝐬𝐞𝐥𝐮𝐫𝐮𝐡𝐧𝐲𝐚


GDR= x 100%
𝐉𝐮𝐦𝐥𝐚𝐡 𝐩𝐚𝐬𝐢𝐞𝐧 𝐤𝐞𝐥𝐮𝐚𝐫 (𝐡𝐢𝐝𝐮𝐩+𝐦𝐚𝐭𝐢)

Selain indikator mutu umun, dalam manajemen keperawatan juga terdapat


Indikator Mutu Khusus, yaitu :

1. Kejadian infeksi nosokomial


Angka infeksi nosokomial adalah jumlah pasien infeksi yang didapat
atau muncul selama dalam perawatan di rumah sakit.
2. Kejadian cedera
Angka cedera adalah jumlah pasien yang mengalami luka selama
dalam perawatan yang disebabkan karena tindakan jatuh, fiksasi dan lainnya.
Indikator ini dapat menggambarkan mutu pelayanan yang diberikan pada
pasien. Idealnya tidak ada kasus pasien yang cedera.
3. Kondisi pasien
a. Audit dokumentasi asuhan keperawatan
Audit dokumentasi keperawatan dilakukan pada rekam medik yang
pulang atau yang sedang dirawat lalu dibuat rekapitulasinya untuk ruangan.
Survey masalah pasien yang diambil dari pasien baru yang dirawat pada
bulan yang bersangktan untuk menganalisa apakah ada masalah baru yang
belum dibuat standar asuhannya. Ketua tim akan memberi kontribusi data
yang dibutuhkan oleh kepala ruangan dalam menilai pencapaian kegiatan
MPKP.
b. Survey masalah baru

23
Survey masalah keperawatan adalah survey dengan standart NANDA
untuk pasien baru opname yang dilakukan untuk satu periode waktu
tertentu (satu bulan).
c. Kepuasan pasien dan keluarga
Kepuasan pelanggan adalah tingkat keadaan yang dirasakan seseorang
yang merupakan hasil dari membandingkan penampilan atau outcome
produk yang dirasakan dalam hubungannya dengan harapan seseorang.
Survey kepuasan yang dilakukan di ruang MPKP adalah kepuasan pasien,
keluarga, perawat dan tenaga kesehatan lain.

O. Definisi Mutu Pelayanan


1. Mutu
Definisi mengenai mutu telah banyak dijelaskan oleh para ahli. Azwar (1996)
menjelaskan bahwa mutu adalah tingkat kesempurnaan dari penampilan sesuatu yang
sedang diamati dan juga merupakan kepatuhan terhadap standar yang telah
ditetapkan, sedangkan Tappen (1995) menjelaskan bahwa mutu adalah penyesuaian
terhadap keinginan pelanggan dan sesuai dengan standar yang berlaku serta
tercapainya tujuan yang diharapkan. Berdasarkan uraian diatas, maka mutu dapat
dikatakan sebagai kondisi dimana hasil dari produk sesuai dengan kebutuhan
pelanggan, standar yang berlaku dan tercapainya tujuan. Mutu tidak hanya terbatas
pada produk yang menghasilkan barang tetapi juga untuk produk yang menghasilkan
jasa atau pelayanan termasuk pelayanan keperawatan.
2. Dimensi Mutu
Fedoroff dan Irawan (2006) merumuskan lima dimensi mutu yang menjadi dasar
untuk mengukur kepuasan, yaitu :
a. Tangible (bukti langsung), yang meliputi fasilitas fisik, peralatan, personil, dan
media komunikasi yang dapat dirasakan langsung oleh pelanggan. Dan untuk
mengukur dimensi mutu ini perlu menggunakan indera penglihatan.
b. Reliability (keandalan), yaitu kemampuan untuk memberikan pelayanan yang
tepat dan terpercaya. Pelayanan yang terpercaya artinya adalah konsisten.
Sehingga reliability mempunyai dua aspek penting yaitu kemampuan memberikan

24
pelayanan seperti yang dijanjikan dan seberapa jauh mampu memberikan
pelayanan yang tepat atau akurat.
c. Responsiveness (ketanggapan), yaitu kesediaan/kemauan untuk membantu
pelanggan dan memberikan pelayanan yang cepat. Dengan kata lain bahwa
pemberi pelayanan harus responsif terhadap kebutuhan pelanggan. Responsiveness
juga didasarkan pada persepsi pelanggan sehingga faktor komunikasi dan situasi
fisik disekitar pelanggan merupakan hal yang penting untuk diperhatikan.
d. Assurance (jaminan kepastian), yaitu pengetahuan dan kesopanan karyawan dan
kemampuannya untuk memberikan rasa percaya dan keyakinan atas pelayanan
yang diberikan kepada pelanggan. Dan komponen dari dimensi ini yaitu
keramahan, kompetensi, dan keamanan.
e. Emphaty (empati), yaitu membina hubungan dan memberikan pelayanan serta
perhatian secara individual pada pelanggannya. Pendapat lain mengenai dimensi
mutu juga dijelaskan oleh Oki (2000) dalam 7 dimensi diantaranya yaitu sebagai
berikut :
1) Time, yaitu seberapa lama customer anda harus menunggu layanan pelayanan
anda?
2) Timeliness yaitu apakah layanan pelayanan anda dapat diberikan sesuai janji
3) Completeness , yaitu apakah semua bagian atau item dari pelayanan anda,
dapat diberikan pada customer anda ?
4) Courtes, yaitu apakah karyawan yang berada di "garis depan" menyapa dan
melayani customer anda dengan ramah dan menyenangkan ?
5) Consistency, yaitu apakah layanan pelayanan anda selalu dilakukan dengan
cara yang sama untuk semua customer ?
6) Accessbility and convenience, yaitu apakah layanan pelayanan anda mudah
dijangkau dan dinikmati ?
7) Responsiveness,: yaitu apakah karyawan anda selalu tanggap dan dapat
memecahkan masalah yang tidak terduga ?
Selain pendapat-pendapat di atas mengenai dimensi mutu, Tjong (2004) juga
menjelaskan dimensi dari mutu pelayanan dalam lima dimensi, diantaranya yaitu
sebagai berikut :
a. Dapat Dipercaya (Reliability)
Dapat dipercaya artinya konsisten, dan pelayanan akan dapat diberikan jika
dapat dipercaya oleh pelanggan.

25
b. Responsif (Responsiveness)
Responsif secara sederhana dapat didefinisikan sebagai kecepatan dan
ketanggapan.
c. Buat Pelanggan Merasa Dihargai (Makes Customer Feel Valued)
Pelanggan mempunyai pikiran bahwa merekalah yang orang yang sangat
penting saat itu, sehingga perlu diperhatikan bagaimana menghargai pelanggan.
f. Empati (Empaty)
Empati merupakan keahlian yang sangat bermanfaat, karena melalui empati
dapat menjembatani pembicaraan kepada solusi. Dan melalui empati, pemberi
pelayanan akan berada di sisi yang sama dengan pelanggan sehingga dapat lebih
memahami kebutuhan pelanggan.
g. Kompetensi (Competency)
Kompetensi dalam hal ini lebih difokuskan pada staf yang langsung
berhubungan dengan pelanggan. Pelanggan cenderung tidak mau berhubungan
dengan manajer, tetapi mereka lebih menginginkan orang pertama yang bertemu
merekalah yang harus dapat menyelesaikan masalah mereka. Mempelajari
pendapat-pendapat di atas mengenai dimensi-dimensi mutu dalam pelayanan,
pada dasarnya semuanya hampir memiliki kesamaan makna. Oleh karena itu
dimensi mutu tersebut dapat dirumuskan secara sederhana yang dapat mencakup
keseluruhan arti dari dimensi mutu yang dikemukakan oleh para ahli di atas dan
dapat diaplikasikan dalam mutu pelayanan keperawatan. Dimensi mutu dalam
pelayanan keperawatan diantaranya yaitu :
1) Tangible (bukti langsung)
Merupakan hal-hal yang dapat dilihat dan dirasakan langsung oleh pasien
yang meliputi ‘fasilitas fisik, peralatan, dan penampilan staf keperawatan’.
Sehingga dalam pelayanan keperawatan, bukti langsung dapat dijabarkan
melalui : kebersihan, kerapian, dan kenyamanan ruang perawatan; penataaan
ruang perawatan; kelengkapan, kesiapan dan kebersihan peralatan perawatan
yang digunakan; dan kerapian serta kebersihan penampilan perawat.
2) Reliability (keandalan)
Keandalan dalam pelayanan keperawatan merupakan kemampuan untuk
memberikan ‘pelayanan keperawatan yang tepat dan dapat dipercaya’, dimana
‘dapat dipercaya’ dalam hal ini didefinisikan sebagai pelayanan keperawatan
yang ‘konsisten’. Oleh karena itu, penjabaran keandalan dalam pelayanan

26
keperawatan adalah : prosedur penerimaan pasien yang cepat dan tepat;
pemberian perawatan yang cepat dan tepat; jadwal pelayanan perawatan
dijalankan dengan tepat dan konsisten (pemberian makan, obat, istirahat, dan
lain-lain); dan prosedur perawatan tidak berbelat belit.
3) Responsiveness (ketanggapan)
Perawat yang tanggap adalah yang ‘bersedia atau mau membantu
pelanggan’ dan memberikan’pelayanan yang cepat/tanggap’. Ketanggapan
juga didasarkan pada persepsi pasien sehingga faktor komunikasi dan situasi
fisik disekitar pasien merupakan hal yang penting untuk diperhatikan. Oleh
karena itu ketanggapan dalam pelayanan keperawatan dapat dijabarkan
sebagai berikut : perawat memberikan informasi yang jelas dan mudah
dimengerti oleh pasien; kesediaan perawat membantu pasien dalam hal
beribadah; kemampuan perawat untuk cepat tanggap menyelesaikan keluhan
pasien; dan tindakan perawat cepat pada saat pasien membutuhkan.
4) Assurance (jaminan kepastian)
Jaminan kepastian dimaksudkan bagaimana perawat dapat menjamin
pelayanan keperawatan yang diberikan kepada pasien berkualitas sehingga
pasien menjadi yakin akan pelayanan keperawatan yang diterimanya. Untuk
mencapai jaminan kepastian dalam pelayanan keperawatan ditentukan oleh
komponen : ‘kompetensi’, yang berkaitan dengan pengetahuan dan
keterampilan perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan;
‘keramahan’, yang juga diartikan kesopanan perawat sebagai aspek dari sikap
perawat; dan ‘keamanan’, yaitu jaminan pelayanan yang menyeluruh sampai
tuntas sehingga tidak menimbulkan dampak yang negatif pada pasien dan
menjamin pelayanan yang diberikan kepada pasien aman.
5) Emphaty (empati)
Empati lebih merupakan ’perhatian dari perawat yang diberikan kepada
pasien secara individual’. Sehingga dalam pelayanan keperawatan, dimensi
empati dapat diaplikasikan melalui cara berikut, yaitu : memberikan perhatian
khusus kepada setiap pasien; perhatian terhadap keluhan pasien dan
keluarganya; perawatan diberikan kepada semua pasien tanpa memandang
status sosial dan lain-lain. Uraian mengenai dimensi mutu di atas akan
membantu kita untuk menentukan mutu pelayanan keperawatan. Mutu
pelayanan keperawatan jika dipandang sebagai suatu sistem yang terdiri dari

27
input, proses dan outcome, maka mutu pelayanan keperawatan merupakan
interaksi dan ketergantungan antara berbagai aspek, komponen atau unsur
pelayanan keperawatan. Dan untuk menjaga mutu pelayanan keperawatan
perlu dilakukan penilaian sebagai evaluasi dari mutu pelayanan tersebut. Oleh
karena itu perlu dipahami mengenai penilaian mutu yang akan dibahas pada
sub bab berikut ini.
3. Penilaian Mutu
Penilaian terhadap mutu dilakukan dengan menggunakan pendekatan-pendekatan
yang dikelompokkan dalam tiga komponen, yaitu:
a. Struktur (Input)
Donabedian (1987, dalam Wijono 2000) mengatakan bahwa struktur
merupakan masukan (input) yang meliputi sarana fisik perlengkapan/peralatan,
organisasi, manajemen, keuangan, sumber daya manusia dan sumber daya lainnya
dalam fasilitas keperawatan. Baik tidaknya struktur sebagai input dapat diukur
dari jumlah besarnya mutu, mutu struktur, besarnya anggaran atau biaya, dan
kewajaran. Penilaian juga dilakukan terhadap perlengkapan-perlengkapan dan
instrumen yang tersedia dan dipergunakan untuk pelayanan. Selain itu pada aspek
fisik, penilaian juga mencakup pada karakteristik dari administrasi organisasi dan
kualifikasi dari profesi kesehatan. Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh
Tappen (1995), yaitu bahwa struktur berhubungan dengan pengaturan pelayanan
keperawatan yang diberikan dan sumber daya yang memadai. Aspek dalam
komponen struktur dapat dilihat melalui:
1) fasilitas, yaitu kenyamanan, kemudahan mencapai pelayanan dan keamanan
2) peralatan, yaitu suplai yang adekuat, seni menempatkan peralatan
3) staf, meliputi pengalaman, tingkat absensi, ratarata turnover, dan rasio pasien-
perawat
4) Keuangan, yaitu meliputi gaji, kecukupan dan sumber keuangan.
Berdasarkan kedua pendapat di atas, maka pendekatan struktur lebih
difokuskan pada hal-hal yang menjadi masukan dalam pelaksanaan pelayanan
keperawatan, diantaranya yaitu:
1) fasilitas fisik, yang meliputi ruang perawatan yang bersih, nyaman dan aman,
serta penataan ruang perawatan yang indah
2) peralatan, peralatan keperawatan yang lengkap, bersih, rapih dan ditata dengan
baik

28
3) staf keperawatan sebagai sumber daya manusia, baik dari segi kualitas
maupun kuantitas
4) keuangan, yang meliputi bagaimana mendapatkan sumber dan alokasi dana.
Faktor-faktor yang menjadi masukan ini memerlukan manajemen yang baik,
baik manajemen sumber daya manusia, keuangan maupun logistik.
b. Proses (Process)
Donabedian (1987, dalam Wijono 2000) menjelaskan bahwa pendekatan ini
merupakan proses yang mentransformasi struktur (input) ke dalam hasil
(outcome). Proses adalah kegiatan yang dilaksanakan secara profesional oleh
tenaga kesehatan (perawat) dan interaksinya dengan pasien. Dalam kegiatan ini
mencakup diagnosa, rencana perawatan, indikasi tindakan, prosedur dan
penanganan kasus. Dengan kata lain penilaian dilakukan terhadap perawat dalam
merawat pasien. Dan baik tidaknya proses dapat diukur dari relevan tidaknya
proses bagi pasien, fleksibelitas/efektifitas, mutu proses itu sendiri sesuai dengan
standar pelayanan yang semestinya, dan kewajaran (tidak kurang dan tidak
berlebihan).
Tappen (1995) juga menjelaskan bahwa pendekatan pada proses dihubungkan
dengan aktivitas nyata yang ditampilkan oleh pemberi pelayanan keperawatan.
Hal ini termasuk perawatan fisik, intervensi psikologis seperti pendidikan dan
konseling, dan aktivitas kepemimpinan. Penilaian dapat melalui observasi atau
audit dari dokumentasi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pendekatan ini
difokuskan pada pelaksanaan pemberian pelayanan keperawatan oleh perawat
terhadap pasien dengan menjalankan tahap-tahap asuhan keperawatan. Dan dalam
penilaiannya dapat menggunakan teknik observasi maupun audit dari dokumentasi
keperawatan. Indikator baik tidaknya proses dapat dilihat dari kesesuaian
pelaksanaan dengan standar operasional prosedur, relevansi tidaknya dengan
pasien dan efektifitas pelaksanaannya.
c. Hasil (Outcome)
Pendekatan ini adalah hasil akhir kegiatan dan tindakan perawat terhadap
pasien. Dapat berarti adanya perubahan derajat kesehatan dan kepuasan baik
positif maupun negatif. Sehingga baik tidaknya hasil dapat diukur dari derajat
kesehatan pasien dan kepuasan pasien terhadap pelayanan perawatan yang telah
diberikan (Donabedian, 1987 dalam Wijono 2000). Sedangkan Tappen (1995)
menjelaskan bahwa outcome berkaitan dengan hasil dari aktivitas yang diberikan

29
oleh petugas kesehatan. Hasil ini dapat dinilai dari efektifitas dari aktivitas
pelayanan keperawatan yang ditentukan dengan tingkat kesembuhan dan
kemandirian. Sehingga dapat dikatakan bahwa fokus pendekatan ini yaitupada
hasil dari pelayanan keperawatan, dimana hasilnya adalah peningkatan derajat
kesehatan pasien dan kepuasan pasien. Sehingga kedua hal tersebut dapat
dijadikan indikator dalam menilai mutu pelayanan keperawatan. Pendekatan-
pendekatan di atas dapat digunakan sebagai indikator dalam melakukan penilaian
terhadap mutu. Namun sebagai suatu sistem penilaian mutu sebaiknya dilakukan
pada ketiga unsur dari sistem tersebut yang meliputi struktur, proses dan hasil.
Dan setelah didapatkan hasil penilaiannya, maka dapat dilakukan strategi yang
tepat untuk mengatasi kekurangan atau penilaian negatif dari mutu pelayanan
tersebut. Namun seiring berjalannya waktu, strategi peningkatan mutu mengalami
perkembangan yang dapat menjadi wacana kita mengenai strategi mana yang tepat
dalam melakukan upaya yang berkaitan dengan mutu pelayanan keperawatan.
Oleh karena itu pada sub bab berikutnya akan dibahas mengenai strategi dalam
mutu pelayanan keperawatan.
4. Strategi Mutu
a. Quality Assurance (Jaminan Mutu)
Quality Assurance mulai digunakan di rumah sakit sejak tahun 1960-an
implementasi pertama yaitu audit keperawatan. Strategi ini merupakan program
untuk mendesain standar pelayanan keperawatan dan mengevaluasi pelaksanaan
standar tersebut (Swansburg, 1999). Sedangkan menurut Wijono (2000), Quality
Assurance sering diartikan sebagai menjamin mutu atau memastikan mutu karena
Quality Assurance berasal dari kata to assure yang artinya meyakinkan orang,
mengusahakan sebaik-baiknya, mengamankan atau menjaga. Dimana dalam
pelaksanaannya menggunakan teknik-teknik seperti inspeksi, internal audit dan
surveilan untuk menjaga mutu yang mencakup dua tujuan yaitu : organisasi
mengikuti prosedur pegangan kualitas, dan efektifitas prosedur tersebut untuk
menghasilkan hasil yang diinginkan. Dengan demikian quality assurance dalam
pelayanan keperawatan adalah kegiatan menjamin mutu yang berfokus pada
proses agar mutu pelayanan keperawatan yang diberikan sesuai dengan standar.
Dimana metode yang digunakan adalah : audit internal dan surveilan untuk
memastikan apakah proses pengerjaannya (pelayanan keperawatan yang diberikan
kepada pasien) telah sesuai dengan standar operating procedure (SOP); evaluasi

30
proses; mengelola mutu; dan penyelesaian masalah. Sehingga sebagai suatu sistem
(input, proses, outcome), menjaga mutu pelayanan keperawatan difokuskan hanya
pada satu sisi yaitu pada proses pemberian pelayanan keperawatan untuk menjaga
mutu pelayanan keperawatan.
b. Continuous Quality Improvement (Peningkatan Mutu Berkelanjutan)
Continuous Quality Improvement dalam pelayanan kesehatan merupakan
perkembangan dari Quality Assurance yang dimulai sejak tahun 1980-an.
Continuous Quality Improvement (Peningkatan mutu berkelanjutan) sering
diartikan sama dengan Total Quality Management karena semuanya mengacu
pada kepuasan pasien dan perbaikan mutu menyeluruh. Namun menurut Loughlin
dan Kaluzny (1994, dalam Wijono 2000) bahwa ada perbedaan sedikit yaitu Total
Quality Management dimaksudkan pada program industri sedangkan Continuous
Quality Improvement mengacu pada klinis. Wijono (2000) mengatakan bahwa
Continuous Quality Improvement itu merupakan upaya peningkatan mutu secara
terus menerus yang dimotivasi oleh keinginan pasien. Tujuannya adalah untuk
meningkatkan mutu yang tinggi dalam pelayanan keperawatan yang komprehensif
dan baik, tidak hanya memenuhi harapan aturan yang ditetapkan standar yang
berlaku. Pendapat lain dikemukakan oleh Shortell dan Kaluzny (1994) bahwa
Quality Improvement merupakan manajemen filosofi untuk menghasilkan
pelayanan yang baik. Dan Continuous Quality Improvement sebagai filosofi
peningkatan mutu yang berkelanjutan yaitu proses yang dihubungkan dengan
memberikan pelayanan yang baik yaitu yang dapat menimbulkan kepuasan
pelanggan. Sehingga dapat dikatakan bahwa Continuous Quality Improvement
dalam pelayanan keperawatan adalah upaya untuk meningkatkan mutu pelayanan
keperawatan secara terus menerus yang memfokuskan mutu pada perbaikan mutu
secara keseluruhan dan kepuasan pasien. Oleh karena itu perlu dipahami
mengenai karakteristik-karakteristik yang dapat mempengaruhi mutu dari outcome
yang ditandai dengan kepuasan pasien.
c. Total quality manajemen (TQM)
Total Quality Manajemen (manajemen kualitas menyeluruh) adalah suatu cara
meningkatkan performansi secara terus menerus pada setiap level operasi atau
proses, dalam setiap area fungsional dari suatu organisasi, dengan menggunakan
semua sumber daya manusia dan modal yang tersedia dan berfokus pada kepuasan
pasien dan perbaikan mutu menyeluruh

31
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Pengawasan merupakan suatu usaha sistematik untuk menetapkan standar pelaksanaan
tujuan dengan tujuan-tujuan perencanaan, merancang sistem informasi umpan balik,
membandingkan kegiatan nyata dengan standar yang telah ditetapkan sebelumnya,
menentukan dan mengukur penyimpangan-penyimpangan serta mengambil tindakan koreksi
yang diperlukan.
Tipe-tipe pengawasan yaitu ; Pengawasan Pendahuluan (preliminary
control),Pengawasan pada saat kerja berlangsung(cocurrent control), Pengawasan Feed
Back (feed back control). Tahap Proses Pengawasan ; Menetapkan standar pelaksanaan
(perencanaan), Penentuan pengukuran pelaksanaan kegiatan, Pembandingan pelaksanaan
kegiatan dengan standard dan penganalisa penyimpangan –penyimpangan, Pengambilan
tindakan koreksi.
Pengawasan penting disebabkan karena Perubahan lingkungan organisasi, Peningkatan
kompleksitas organisasi, Meminimalisasikan tingginya kesalahan-kesalahan, Kebutuhan
manager untuk mendelegasikan wewenang, Komunikasi dan Menilai informasi dan
mengambil tindakan koreksi.

Tahap-tahap dalam proses controlling adalah :


1. Penetapan standar pelaksanaan
2. Penentuan pengukuran pelaksanaan kegiatan
3. Pengukuran pelaksanaan kegiatan
4. Pembanding pelaksanaan dengan standar dan analisa penyimpangan
5. Pengambilan tindakan koreksi bila diperlukan.

Karakteristik-karakteristik proses controlling yang efektif diantaranya adalah : akurat,


tepat waktu, obyektif dan menyeluruh, terpusat pada titik-titik controlling strategik, realistik
secara ekonomis, terkoordinasi dengan aliran kerja organisasi, fleksibel, bersifat sebagai
petunjuk dan operasional, realistic secara organisasional, serta diterima para anggota
organisasi.

32
B. Saran
Pengawasan dirasa sangat dibutuhkan dalam suatu organisasi. Karena jika tidak ada
pengawasan dalam suatu organisasi akan menimbulkan banyaknya kesalahan-kesalahan yang
terjadi baik yang berasal dari bawahan maupun lingkungan.
Pengawasan menjadi sangat dibutuhkan karena dapat membangun suatu komunikasi
yang baik antara pemimpin organisasi dengan anggota organisasi. Serta pengawasan dapat
memicu terjadinya tindak pengoreksian yang tepat dalam merumuskan suatu masalah.
Pengawasan lebih baik dilakukan secara langsung oleh pemimpin organisasi.
Disebabkan perlu adanya hak dan wewenang ketegasan seorang pemimpin dalam suatu
organisasi. Pengawasan disarankan dilakukan secara rutin karena dapat merubah suatu
lingkungan organisasi dari yang baik menjadi lebih baik lagi.

33
DAFTAR PUSTAKA

DepKesRI (2003), Indonesia sehat 2010. Jakarta : Departemen Kesehatan R.I

Rakhmawati, Windy. 2009. Pelatihan Manajemen Keperawatan. Kuningan

Setiadi. 2016. Manajemen & Kepemimpinan Dalam Keperawatan. Yogyakarta:

Indomedika Pustaka

Wijono, D. (2000). Manajemen mutu pelayanan kesehatan. Teori, Strategi dan Aplikasi.
Volume.1. Cetakan Kedua. Surabaya : Airlangga Unniversity Press

http://tugaskuliahku09.blogspot.com/2014/02/makalah-controlling-dalam-manajemen.html

34

Anda mungkin juga menyukai