Anda di halaman 1dari 7

1

SEKILAS AKUNTANSI SYARIAH DI INDONESIA

A. Pengertian Akuntansi
Komite Terminologi AICPA (The Commitee on Terminology of the

American Institute of Certified Public Accountants) mendefinisikan akuntansi sebagai

berikut: Akuntansi adalah seni pencatatan, penggolongan, dan peringkasan transaksi

dan kejadian yang bersifat keuangan dengan cara yang berdayaguna dan dalam bentuk

satuan uang, dan penginterpretasian hasil proses tersebut.1

Cakupan akuntansi dari definisi di atas nampak terbatas. Perspektif yang

lebih luas ditawarkan oleh definisi akuntansi berikut ini: Proses pengindentifikasian,

pengukuran, dan pengkomunikasian informasi ekonomik untuk memungkinkan

pembuatan pertimbangan dan keputusan berinformasi oleh pengguna informasi.

Yang terbaru, akuntansi telah didefinisikan dengan mengacu pada konsep

informasi kuantitatif: Akuntansi adalah aktivitas jasa. Fungsinya adalah menyediakan

informasi kuantitatif, terutama yang bersifat keuangan tentang entitas ekonomik yang

diperkirakan bermanfaat dalam pembuatan keputusan keputusan ekonomis dalam

membuat pilihan di antara alternatif tindakan yang ada.

Definisi tersebut merujuk akuntansi sebagai “seni” atau sebagai “aktivitas

jasa” dan implikasinya adalah bahwa akuntansi mempunyai seperangkat tehnik yang

dianggap berguna bagi bidang bidang tertentu. Akuntansi syariah antara lain

berhubungan dengan pengakuan, pengukuran dan pencatatan transaksi dan

pengungkapan hak hak dan kewajiban kewajiban secara adil. Allah SWT berfirman:

“Hai orang orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk

1
Wiroso, Akuntansi Transaksi Syariah, (Jakarta: Ikatan Akuntan Indonesia, 2011), 15.
2

waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang

penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar”. ( Q.S. Al-Baqarah ayat 282).

Allah SWT berfirman: “Wahai orang orang yang beriman, jadilah kamu

orang yang benar benar penegak keadilan”. (Q.S. Al-Nisa` ayat 135). Allah SWT juga

berfirman: “Kecelakaan besarlah bagi orang orang (yaitu) orang orang yang apabila

menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka

menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi”. (Q.S. Al-

Muthaffifin ayat 1 – 3).

Tidak diragukan bahwa berkurang atau berlebihnya hak hak dan kewajiban

adalah tidak adil dan tidak bisa diterima di dalam Islam. Allah SWT telah menyatakan

bahwa seorang Muslim harus adil dan jujur di dalam urusan urusannya. Dia

berfirman: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat

kebajikan (Q.S. A;-Nahl ayat 90).

Khalifah Umar Bin Al-Khattab R.a meminta kepada para pedagang di pasar

untuk mengetahui halal dan haram. Dia mengatakan, “Tidak seorangpun yang

diperbolehkan berjualan di pasar kami kecuali dia mempunyai pengetahuan agama,

jika tidak mau dia akan melakukan transaksi yang ribawi”. Sehingga, oleh karena itu,

orang orang yang bertugas harus menetapkan bagi akuntansi keuangan aturan aturan

yang diperlukan yang melindungi hak hak dan kewajiban perorangan, dan menjamin

pengungkapan yang memadai.

B. Perkembangan Akuntansi Syariah di Indonesia

Perkembangan Akuntansi Syariah di Indonesia tidak lepas dari

perkembangan Lembaga Keuangan Syariah yang tumbuh di Indonesia. Untuk

mengetahui perjalanan akuntansi perbankan syariah dapat dilihat dari beberapa


3

periode yaitu (a) sebelum tahun 2002, (b) tahun 2002 sampai dengan tahun 2007 dan

(c) setelah tahun 2007.

1. Periode sebelum tahun 2002

Pada periode ini Lembaga Keuangn Syariah, khususnya Bank Umum

Syariah, cabang syariah, Bank Konvensional maupun BPR Syariah, tidak memiliki

acuan akuntansi. Pada periode ini Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK),

sebagai otoritas bidang akuntansi belum mengeluarkan ketentuan (PSAK) Akuntansi

Syariah. Pada periode ini masih mempergunakan acuan PSAK 31 tentang Akuntansi

Perbankan, namun PSAK tersebut tidak sepenuhnya dapat dipergunakan terutama

paragraf paragraf yang bertentangan dengan prinsip syariah misalnya paragraf tentang

pengakuan, pengukuran dan penyajian kredit.

Perkembangan Akuntansi Bank Syariah secara konkrit baru dikembangkan

pada tahun 1999, Bank Indonesia sebagai pemakrasa, membentuk tim penyusunan

PSAK Bank Syariah, yang tertuang dalam Surat Keputusan Gubernur Bank Indonesia

Nomor 1/16/KEP/DGB/1999, yang meliputi unsur unsur komponen dari Bank

Indonesia, Ikatan Akuntan Indonesia, Bank Muamalah Indonesia dan Departemen

Keuangan, hal ini sering dengan pesatnya perkembangan Perbankan Syariah yang

merupakan implementasi dari Undang Undang Nomor 10 tahun 1998. Pembahasan

draft PSAK dilakukan oleh Tim Penyusun PSAK di bawah tanggung jawab Ikatan

Akuntan Indonesia (Dewan Standar Akuntansi Keuangan) namun jika terkait dengan

masalah syariah dikonsultasikan dengan Dewan Syariah Nasional karena sangat

disadari kedua bidang ini dimiliki oleh masing masing. Ikatan Akuntan Indonesia

(IAI) memiliki keahlian terhadap pengukuran, pengakuan dan penyajian atau hal hal

lain yang berkaitan dengan akuntansi, dengan memperhatikan fatwa dari Dewan
4

Syariah Nasional, sedangkan Dewan Syariah Nasional memiliki keahlian terhadap

syariah.

Tim Penyusun PSAK telah membuahkan hasil sebagaimana telah

diterbitkan Exposure Draft Kerangka Dasar Penyusunan Laporan keuangan

Perbankan Syariah dan Exposure Draft tentang PSAK No. 59 tentang Akuntansi

Perbankan Syariah pada bulan Maret 2000. Dewan Syariah Nasional juga

memberikan opini bahwa PSAK Bank Syariah tersebut secara umum tidak

bertentangan dengan aspek Syariah. PSAK 59 tentang Akuntansi Perbankan Syariah

disahkan pada tanggal 01 Mei 2002 dan secara efektif mulai berlaku tanggal 01

Januari 2003.

2. Periode tahun 2002 sampai dengan tahun 2007

Pada periode ini, Akuntansi Syariah di Indonesia telah memiliki acuan yaitu

PSAK 59 tentang Akuntansi Perbankan Syariah. Sebagaimana tercantum dalam ruang

lingkup PSAK 59 hanya ditarapkan untuk Bank Umum Syariah (BUS), Bank

Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS), dan kantor cabang syariah Bank Konvensional.

Jadi PSAK 59 tentang Akuntansi Perbankan Syariah hanya untuk Bank Syariah,

sehingga Lembaga Keuangan Syariah Non Bank yang didirikan seperti Asuransi

Syariah, Pegadaian Syariah, Lembaga Pembiayaan Syariah dan sebagainya, tidak

mengikat dan tunduk pada Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Nomor 59

(PSAK 59).

3. Periode Setelah tahun 2008

Oleh karena PSAK 59 hanya untuk Perbankan Syariah saja sedangkan

Lembaga Keuangan Syariah NonBank banyak berkembang maka Dewan Standar

Akuntansi Keuangan –Ikatan Akuntansi Indonesia (DSAK –IAI), merasa perlu untuk
5

menerbitkan PSAK Syariah yang dapat dipergunakan oleh Entitas Syariah atau entitas

yang melaksanakan transaksi syariah.

Dalam pertemuan DSAK di Malang, maka Dewan Standar Akuntansi

Keuangan (DSAK) Ikatan Akuntan Indonesia merasa perlu membentuk “Komite

Akuntansi Syariah” (KAS) yaitu tim khusus yang melakukan pembahasan akuntansi

syariah dan membahas tanggung jawab DSAK. Organisasi Komite Akuntansi Syariah

adalah sebagai berikut:

Komponen anggota KAS:

a. DSAK (Dewan Standar Akuntansi Keuangan).

b. DSN (Dewan Syariah Nasional)

c. Regulator (Bank Indonesia, Pasar Modal)

d. Unsur Industri (Perbankan, Asuransi)

e. Praktisi dan akedemisi.

Pada periode ini, PSAK Syariah yang merupakan perubahan PSAK 59

tentang Akuntansi Perbankan Syariah sudah dapat disahkan oleh DSAK dan dapat

diterapkan suatu keharusan melaksanakan mulai tahun buku 2008. PSAK Syariah

yang disahkan tahun 2007 dan berlaku tahun buku 2008:

PSAK 101 – Penyajian Penyusunan Laporan Keuangan Syariah

PSAK 102 – Akuntansi Murabahah

PSAK 103 – Akuntansi Salam

PSAK 104 – Akuntansi Istisna`

PSAK 105 – Akuntansi Mudharabah

PSAK 106 – Akuntansi Musyarakah.


6

C. Asumsi Dasar Akuntansi Syariah


Asumsi dasar yang dipergunakan dalam akuntansi syariah tidak beda dengan asumsi
dasar pada akuntansi umum yaitu asumsi kelangsungan usaha (going concern) dan
dasar akrual (accrual basis).
1. Kelangsungan Usaha
Laporan keuangan biasanya disusun atas dasar kelangsungan usaha entitas syariah
dan akan melanjutkan usahanya di masa depan. Karena itu, entitas syariah
diasumsikan tidak bermaksud atau berkeinginan melikuidasi atau mengurangi
secara material skala usahanya. Jika maksud atau keinginan tersebut timbul,
laporan keuangan mungkin harus disusun dengan dasar yang berbeda dan dasar
yang digunakan harus diungkapkan.
Manajemen bertanggung jawab untuk mempertimbangkan apakah asumsi
kelangsungan usaha masih layak dipergunakan dalam menyiapkan laporan
keuangan. Dalam mempertimbangkan apakah asumsi dasar kelangsungan usaha
dapat digunakan, manajemen mempertimbangkan semua informasi masa depan
yang relevan paling sedikit untuk jangka waktu 12 bulan dari tanggal Neraca.

2. Dasar Akrual
Dalam asumsi dasar akrual asset, kewajiban, ekuitas, penghasilan, dan beban
diakui pada saat kejadian bukan saat kas atau setara kas diterima dan dicatat serta
disajikan dalam laporan keuangan pada periode terjadinya. Beban diakui dalam
laporan Laba Rugi atas dasar hubungan langsung antara biaya yang timbul dengan
pos penghasilan tertentu yang diperoleh. Proses yang biasanya disebutkan
pengaitan biaya dengan pendapatan (matching concept) melibatkan secara
bersamaan atau gabungan penghasilan dan beban yang dihasilkan secara langsung
dan bersama sama dari transaksi atau peristiwa lain yang sama.
Untuk mencapai tujuannya, laporan keuangan disusun atas dasar akrual.
Dengan dasar ini, pengaruh transaksi dan peristiwa lain diakui pada saat kejadian
(dan bukan pada saat kas atau setara kas diterima atau dibayar) dan diungkapkan
dalam catatan akuntansi serta dilaporkan dalam laporan keuangan pada periode
yang bersangkutan. Laporan keuangan yang disusun atas dasar akrual memberikan
informasi kepada pemakai tidak hanya transaksi masa lalu yang melibatkan
penerimaan dan pembayaran kas tetapi juga kewajiban pembayaran kas di masa
depan serta sumber daya yang merepresentasikan kas yang akan diterima di masa
depan. Oleh karena itu, laporan keuangan menyediakan jenis informasi transaksi
masa lalu dan peristiwa lainnya yang paling berguna bagi pemakai dalam
pengambilan keputusan ekonomi.
7

D. Asas Transaksi Syariah


Transaksi yang dilakukan oleh Entitas Syariah berasaskan pada prinsip paradigm
sebagai berikut:
1. Persaudaraan
2. Keadilan
Prinsip keadilan esensinya menempatkan sesuatu hanya pada tempatnya dan
memberikan sesuatu hanya pada yang berhak serta memperlakukan sesuatu sesuai
posisinya. Implementasi keadilan dalam kegiatan usaha berupa aturan prinsip
muamalah yang melarang adanya unsur: riba, kezaliman, maysir, gharar.
3. Kemaslahatan
4. Keseimbangan
5. Universalisme.

Anda mungkin juga menyukai