Anda di halaman 1dari 5

Masa dan Lingkungan Berlakunya Asas Legalitas

Nama : Annur Purnomo Sya’ban


Nim : 23020560074
Kelas : Ilmu Hukum 2B

A. Asas Pemberlakuan-Legalitas Berdasarkan Waktu


Asas legalitas berdasarkan waktu, bisa kita lihat dari pengertian asas legalitas itu
sendiri. Secara terminologi, asas legalitas dibagi menjadi dua yaitu kata asas dan kata
legalitas. Kata asas berasal dari bahasa Arab yaitu asasun mempunyai pengertian sebagai
yaitu dasar atau prinsip, lalu kata legalitas berasal dari bahasa latin yaitu lex berarti undang-
undang. Maka dalam segi terminologis asas legalitas dapat dikatakan sebagai sesuatu yang
sah menurut undang-undang. Asas legalitas adalah asas yang menyatakan bahwa tidak ada
pelanggaran dan tidak ada hukuman sebelum ada undang-undang yang mengaturnya.

Asas legalitas ini berlaku di mana saja, Asas legalitas berdasarkan waktu/masa
merupakan asas penting dalam hukum pidana, yang menjamin keadilan dan persyaratan yang
sesuai dengan undang-undang. Syarat pertama untuk menindak terhadap suatu perbuatan
yang tercela, yaitu adanya suatu ketentuan dalam undang-undang pidana yang merumuskan
perbuatan tercela itu dan memberikan suatu sanksi terhadapnya. Kalau, misalnya seseorang
suami yang menganiaya atau mengancam akan menganiaya istrinya untuk memaksa
bersetubuh tidak dapat dipidana menurut KUHP yang berlaku. Sebab Pasal 285 KUHP (Pasal
242 Wetboek van Strafrecht/Sr) hanya mengancam perkosaan “di luar pernikahan”. Syarat
tersebut di atas bersumber dari asas legalitas.

B. Asas raj’iyah (retroaktif) dan macam-macam jarimah yang dapat berlaku surut
(Pengecualian asas legalitas)

Asas raj’iyah bisa disebut dengan asas berlaku surut adalah pemberlakuan peraturan
perundang-undangan lebih awal daripada saat pengundangganny. Yang dimaksud adalah
bahwa undang-undang hanya mengikat untuk masa depan dan tidak berlaku akan tetapi jika
terjadi perubahan undang-undang itu belum diputus maka undang-undang yang baru bisa
berlaku surut jika perubahannya membawa keberuntungan bagi si dakwa, tetapi tidak jika
yang terjadi justru sebaliknya.
Pemberlakuan asas raj’iyah yang diperbolehkan dalam hukum pidana islam seperti
yang dikemukakan oleh Abdul Qadir Audah paling tidak ada jenis perbuatan hukum yang
memaki asas retroaktif yakni hirabat, qadzaf atau lian, dan zhihar. Asas ini bisa digunakan
dalam dua kondisi, kondisi pertama hukuman lebih mengguntungkan bagi pelaku dan kondisi
kedua kejahatan yang membahayakan publik dan negara. Macam-macam jarimah, menurut
buku Ahmad Hanafi jarimah pengecualian asas raj’iyah dibagi menjadi dua yaitu:

 Jarimah yang sangat berbahaya

Pengecualian jarimah yang sangat berbahay didasarkan pada peristiwa sejarah,


dimana terhadap jarimah tertentu yaitu qadzaf dan hirabah dikenakan hukuman atas
peristiwa-peristiwa yang telah terjadi sebelum turunnya nas yang melarangnya ketika kita
mengambil riwayat yang kuat

 Qadzaf

Merupakan sebuah tuduhan untuk orang lain yang dituduh berbuat zina baik
melalui pernyataan yang jelas maupun menyatakan anak seorang bukan keturunan
ayahnya. Qadzaf ini pernah terjadi pada diri Aisyah r.a istri nabi SAW yang dimana ia
dituduh berbuat zina (asas ini berlandasan pada QS. An-Nur ayat 4)

 Hiraba

Hiraba adalah tindakan pencegatan orang yang melewati sebuah jalan dengan
sengaja mengancam nyawa, atau mengambil hartanya, dan atau untuk menakuti-
nakutinya. Asas ini berlandaskan QS. Al-Maidah ayat 33, menurut riwayat yang kuat dan
yang dipegang oleh kebanyakan fuquha ayat tersebut turut berkenaan dengan peristiwa
orang-orang dari “urainah” yang tidak betah tinggal di madinah.

 Ketika menguntungkan bagi tersangka

Apabila keluar suatu nas (aturan) pidana baru yang lebih mengguntungkan bagi
pembuat, maka nas inilah yang diterapkan padanya meskipun ketika mengerjakan
perbuatannya nas yang berlaku berisi hukuman yang lebih berat. Alasan pemakaian nas
yang lebih menguntungkan bagi pembuat ialah bahwa tujuan menjatuhkan hukuman ialah
memberantas perbuatan jarimah dan melindungi masyarakat dari keburukan-
keburukannya. Jadi penjatuhan hukuman bersifat sosial untuk kepentingan masyarakat
dan juga kebutuhan, kebutuhan bisa diukur dengan kepentingan tersebut. Jika
kepentingan masyarakat menghendaki peringanan hukuman, maka pembuat yang belum
dijatuhi putusan sudah sepantasnya memperoleh keuntungan dari nas baru yang berisi
hukuman yang lebih ringan. Pemeliharaan kepentingan masyarakat tidak terletak pada
penjatuhan hukuman yang berat dan suatu keadilan pula ketika hukuman yang dijatuhkan
itu tidak melebihi dari keperluan masyarakat.

 Zhihar

Adalah ucapan suami kepada istri yang menyamakan punggung istri dengan
punggung ibunya. Ucapan zhihar ini digunakan oleh suami yang bermaksud
mengharamkan untuk menyetubuhi istri sehingga berakibat istri menjadi haram bagi
suami untuk selamanya.

C. Asas pemberlakuan asas legalitas berdasarkan tempat

Asas legalitas berdasarkan tempat bisa di ambil dari asas territorial. Menurut konsepsi
hukum Islam, asas teritorial ini adalah hukum pidana Islam yang pemberlakukannya berada
di wilayah di mana hukum Islam tersebut diberlakukan. Kemudian dari Abu Hanifah
berpendapat bahwa penerapan hukum Islam yang dilakukan atas tindak pidana di dar as-
salam, yakni tempat-tempat yang termasuk dalam kekuasaan pemerintahan Islam tanpa
melihat dari sisi jenis tindak pidana atau pun pelaku, apakah muslim atau pun non-muslim.
Setiap aturan pidana Islam hanya diberlakukan benar-benar penuh pada wilayah yang
memang masuk dalam negara Muslim.

D. Negeri Islam (dar al-Islam) dan Negeri non Islam (dar Al-harb)

Para ahli fiqh Islam membagi kawasan dunia ini menjadi dua bagian ya’ni dar al-
Islam dan dar al-harb.

 Dar al-Islam

secara harfiah berarti “kawasan Islam”, meliputi semua negara yang ditegakkan di
dalamnya hukum-hukum Islam atau yang penduduk muslimnya bisa melahirkan hukum-
hukum Islam. Jadi termasuk ke dalam dar aslam negara yang semua atau sebagian besar
penduduknya terdiri dari kaum Muslimin, juga semua wilayah yang dikuasai dan
diperintah oleh kaum Muslimin walaupun sebagian besar penduduknya tidak terdiri dari
kaum Muslimin. Demikian juga termasuk kalangan dar al-Islam, negeri yang diperintah
dan dikuasai oleh non-Muslim selama kaum Muslimin yang berada di dalamnya bisa
melaksanakan hukum-hukum Islam dengan bebas.

 Dar al-harb

yang secara harfiah berarti “kawasan perang”, mencakup semua negeri yang
bukan negeri Islam, yang tidak berada di bawah kekuasaan kaum Muslimin atau tidak
tampak di dalamnya hukum- hukum Islam, baik di antara penduduknya terdapat orang
Islam ataupun tidak, selama penduduknya yang beragama Islam tidak bisa melaksanakan
hukum Islam.

Makna harfiah dari dar al-Islam dan dar al-harb dalam bahasa Indonesia adalah
“negeri damai” dan “negeri perang”, atau “kawasan Islam” dan “kawasan perang”. Mungkin
pembagian dunia secara binair (“serba bagi dua”) yang dibuat oleh para fuqaha’ seperti itu
menimbulkan kesan negatif bagi sementara pihak, terutama jika diperhatikan istilah “negeri
perang”. Mungkin akan terbayang gambaran yang menyeramkan tentang sikap negeri Islam
(kaum Muslimin) terhadap negara non-Islam tatkala diketahui bahwa istilah itu
diperuntukkan bagi negara-negara non-Islam. Jadi seakan-akan dunia hanya dan selalu
dibelah menjadi dua kekuatan yang saling bermusuhan.

E. Pendapat dan teori pemberlakuan asas legalitas berdasarkan tempat

Teori ini dikemukakakan oleh Imam Abu Yusuf, murid imam Abu Hanifah. Ia
mengatakan bhawa Syari’at Islam berlaku untuk setiap orang muslim di negeri Islam, baik
uang penduduk tetap maupun yang bukan. Alasannya berlakunya Syari’at Islam atas orang-
orang muslim dan dzimmi sama dengan alasan imam Abu Hanifah, tentang orang musta’min
maka alasannya ialah bahwa janji keamanan yang memberikan kepadanya hak bertenmpat
tinggal di negeri Islam untuk semesntara waktu, diperolehnya berdasar kesanggupannya
untuk menjalankan. Perbedaan yang ada pada orang dzimmi dengan orang musta’mi adalah
bahwa keamanan untuk orang musta’mi dengan orang dzimmi bersifat semenara, sedangkan
keamana orang dzimmi bersifat untuk selama-lamanya.

Perbedaan pendapat antara imam Abu Yusuf dengan imam Abu hanifah terbatas pada
penerapan Syari’at Islam untuk orang musta’mi Dimana menurut imam Abu Yusuf berlaku
dalam semua keadaan, sedangkan menurut imam Abu Hanfah hanya berlaku untuk jarimah-
jarimah yang menyinggung hak perseorangan. Pada dasarnya pendapat imam Abu Yusuf
tentang jarimah yang diperbuat di negeri bukan Islam, sama pendapatnya imam Abu Hanifah,
yaitu tidak dituntut, meskipun pembuatny adalah penduduk negeri Islam.

Menurut imam Abu Yusuf Pertama: Tentang orang muslim dan orang dzimmi yang
mengadakan perjanjian riba dengan penduduk negeri-bukan-Islam, baik orang Islam atau
orang harbi. Perbuatan tersebut tidak diper- bolehkan, sebab meskipun perbuatan itu bukan
merupakan la- rangan buat negeri-bukan-Islam, namun Islam melarangnya, se- dang
pembuatnya terikat dengan hukum Islam, di mana pun ia berada.menurut imam Abu Hanifah,
perbuatan tersebut selama perbuatan itu dilarang, di mana pun juga tempatnya.

Akan tetapi menurut imam-imam Malik dan Syafi’i, terha dap jarimah yang diperbuat
oleh prajurit-prajurit Islam di luar negeri Islam dikenakan hukuman tanpa menunggu sampai
kembalinya, kecuali kalau ada pertimbangan-pertimbangan lain. Menurut imam Ahmad,
hukuman dapat dijatuhkan sesudah si pembuat kembali ke negeri Islam. Pendapat ini sama
dengan pendapat imam Abu Hanifah.

Anda mungkin juga menyukai