Anda di halaman 1dari 14

AWAS TAKFIRI EKSTRIM!

Resensi:
Ar-Risalah Ats-Tsalatsiniyah fi At-Tahdzir min Al- Ghuluw fi
At-Takfir
Di saat menjamurnya pemikiran irja`, yakni paham yang sangat
berlebihan dalam menganggap seseorang sebagai orang muslim
meski syarat-syarat keislaman tidak ia penuhi, ternyata ada
sekelompok orang yang sama sekali berpaham kebalikan; mereka
sangat ektrim dalam mengeluarkan seseorang dari lingkup Islam.
Mereka adalah orang-orang Ghulatut takfir (Takfiri ekstrim).
Menurut orang-orang berpaham irja`, selama seseorang itu
masih membenarkan Allah dalam hatinya, ia adalah orang
muslim, meskipun ia sujud kepada berhala, menyembah patung,
berloyal kepada orang-orang kafir atau mengganti syariat Allah
dengan undang-undang buatan manusia. Sebaliknya, takfiri
ekstrim mudah sekali mengkafirkan seorang muslim hanya
karena hal yang mereka anggap sebagai kekafiran, padahal
sebenarnya tidak seperti itu. Mereka bersikap seperti itu karena
kurangnya ilmu, hawa nafsu, atau sebab-sebab lain.
Ada golongan tertentu yang mengkafirkan orang yang tidak mau
berbaiat kepada imam mereka. Ada juga kelompok yang
memukul rata dengan vonis kafir terhadap semua orang yang ikut
pemilu serta orang-orang yang belajar di majlis-majlis pengajian
milik orang-orang Murji`ah berbaju salafi antek pemerintah yang
saat ini sedang menggurita di tanah air. Di antaranya adalah
Ustadz Halawi Mamun. Beliau berijtihad bahwa tidak ada mani
(penghalang) apapun untuk mengkafirkan mereka semua.
Ada lagi yang mengkafirkan seluruh pegawai pemerintah. Mereka
dianggap memberikan loyalitas kepada thaghut. Tanpa disadari
pula sebagian kita kadang mengkafirkan orang yang mati dalam
keadaan melakukan dosa besar. Mungkin, mereka tidak secara
langsung menganggapnya kafir. Namun, vonis bahwa ia adalah
penghuni neraka dan kekal di dalamnya tidak lain adalah
pengkafiran.

Itulah contoh pengkafiran yang menyelisihi syariat. Karena itu,


dalam rangka menjelaskan kesalahan paham takfir yang dianut
takfiri ekstrim itu, Asy-Syaikh Abu Muhammad Al-Maqdisi
menulis kitab berjudul Ar-Risalah Ats-Tsalatsiniyah fi AtTahdzir min Ghuluw fi At-Takfir. Kitab ini juga beliau namakan
dengan Risalah Al-Jafr fi Anna al-Ghuluw fi At-Takfir Yu`addi
ila Al-Kufr.
Dalam buku Ar-Risalah Ats-Tsalatsiniyah ini, Asy-Syaikh Abu
Muhammad menjelaskan kaedah-kaedah dan langkah-langkah
untuk menentukan kafirnya seseorang. Setelah itu, beliau
menyebutkan dengan panjang lebar tiga puluh lebih kesalahan
dalam soal takfir dengan memaparkan dalil dan argumentasi
yang sangat kuat. Di antara paham-paham salah dalam soal
takfir yang beliau jelaskan adalah:
01 Tidak membedakan antara takfir muthlaq dengan takfir
muayyan.
02 Mengkafirkan semua orang yang tinggal di darul kufr atau
negeri yang pemerintahnya kafir atau murtad.
03 Mengkafirkan semua orang yang memuji orang kafir atau
mendoakan kebaikan untuknya, tanpa adanya perincian.
04 Mengkafirkan orang yang tidak berbaiat kepada imam
tertentu.
05

Mengkafirkan orang dengan dasar nash yang tidak qathie.

06 Mengkafirkan orang karena perbuatan atau ucapan yang


masih mengandung kemungkinan selain kekafiran.
07 Mengkafirkan semua orang yang tidak mengkafirkan orang
kafir, tanpa ada perincian.
08 Mengkafirkan pelaku dosa dan belum bertaubat sampai
matinya.
09 Tidak membedakan antara sikap loyal dengan orang-orang
kafir dengan berinteraksi dengan baik kepada mereka.
10 Mengkafirkan orang yang mendiamkan kemungkaran dan
kekafiran pemerintah.

11 Mengkafirkan setiap orang yang bekerja di instansi-instansi


pemerintah kafir, tanpa adanya perincian.
12 Mengkafirkan setiap orang yang meminta tolong kepada
thaghut dan antek-anteknya, atau berlindung ke pengadilanpengadilan mereka di saat tidak adanya kekuasaan Islam.
13 Tidak membedakan antara mematuhi peraturan
administrasi dengan tunduk kepada undang-undang kufur.
14 Mengkafirkan semua orang yang ikut dalam pemilu tanpa
adanya perincian.
15 Mengkafiran semua orang yang menyelisihi ijma tanpa
perincian.
16 Mengkafiran semua orang yang tidak mau mengkafirkan
pemerintah thaghut.
17 Mengkafirkan orang hanya karena bergabung dengan
jamaah-jamaah Murji`ah.
Di akhir kitab Ar-Risalah Ats-Tsalatsiniyah, Asy-Syaikh Abu
Muhammad membahas secara khusus tentang orang-orang
Khawarij, ciri-ciri mereka dan bagaimana sikap ahlussunnah
terhadap mereka. Yang jelas, orang-orang beriman, yang
berjuang menegakkan Tauhid serta menghancurkan kesyirikan,
termasuk kesyirikan dalam bidang hukum dan perundangundangan saat ini, bukanlah orang-orang Khawarij sebagaimana
yang ditudukan golongan Murji`ah yang mengaku-ngaku sebagai
orang-orang salafi.
Pada bab-bab berikut ini, akan dipaparkan dengan ringkas
beberapa pembahasan yang dipandang penting pada kitab ArRisalah Ats-Tsulatsiniyah. Namun, alangkah baiknya, apabila
pembaca langsung merujuk kepada kitab tersebut, apalagi setelah
diterjemahkan sebagai ikhwah serta dipublikasikan webblog yang
telah disebutkan di atas.
(1)
Kafirkah semua warga negara yang pemerintahnya kafir
atau murtad?

Indonesia adalah negara yang dikuasai pemerintah kafir murtad.


Penyebab kekafiran pemerintah itu banyak dan jelas. Di
antaranya adalah sebagaimana yang telah disinggung, bahwa
konstitusi dan undang-undang yang mereka berlakukan adalah
hukum jahiliyah buatan setan berwujud manusia atau warisan
thaghut belanda, bertentangan dengan syariat Islam.
Dengan kata lain, Indonesia adalah darul kufr. Namun, apakah
status Indonesia sebagai darul kufr berarti kekafiran seluruh
penduduk yang tinggal di wilayah itu? Dengan kata lain, apakah
kekafiran pemerintah Indonesia berarti kekafiran seluruh warga
Indonesia? Tentu saja tidak. Hanya orang-orang Khawarij saja
yang berpendapat bahwa orang yang tinggal di negeri kafir adalah
orang kafir. Menurut mereka, apabila negara berstatus
sebagai darul kufr, maka seluruh rakyatnya dihukumi kafir
sampai mereka hijrah ke negeri Islam.
Asy-Syaikh Maqdisi menjelaskan kesalahan paham ini. Banyak
dalil yang menunjukkan bahwa sekedar tinggal di negeri kafir
atau bahkan negeri kafir harbi tidaklah menyebabkan seseorang
menjadi kafir. Di antara dalil-dalilnya adalah:

Di masa kehidupan Rasulullah Saw., Yaman pernah dikuasai


orang-orang murtad pengikut Al-Aswad Al-Anasi yang
mengaku-ngaku sebagai nabi. Mereka berhasil memerintah
Yaman dan membunuh Syahr bin Badzan yang ditugasi
Rasulullah Saw. sebagai wali untuk wilayah tersebut. Sebagian
kaum muslimin lari ke Madinah. Sisanya, yaitu Fairuz AdDailamie dan teman-temannya tetap tinggal di daerah itu,
bahkan membuat makar sehingga berhasil membunuh Al-Aswad
dan mengembalikan Yaman ke pangkuan kekuasaan kaum
muslimin. Nabi Saw. tidak mengkafirkan para shahabat yang
tetap tinggal di Yaman, meski wilayah itu dikuasai orang-orang
murtad.

Mesir dan beberapa daerah sekitarnya pernah diperintah


orang-orang kafir dari kalangan Bani Ubaid. Mesir yang
sebelumnya adalah darul Islam (negeri Islam) menjadi darul
kufr(negeri kafir). Namun, banyak kaum muslimin, bahkan para
ulama dan fuqaha tetap tinggal di wilayah itu. Tidak ada seorang
ulama pun yang mengkafirkan mereka.

Dalam surat Al-Fath, ayat 25, Allah masih menganggap


orang-orang muslim yang tinggal di Makkah, yang saat itu
masih berstatus darul kufr, sebagai orang-orang mukmin dan
mukminah, bukan orang-orang munafik atau kafir.

Dari surat An-Nisa`, ayat 92 dapat dipahami bahwa orang


muslim yang tinggal di negeri harbi, tidak dianggap sebagai
orang kafir.

Pada surat Al-Araf, ayat 72 Allah masih menganggap orangorang muslim yang tidak berhijrah ke darul Islam sebagai
saudara. Mereka berhak ditolong ketika terjadi pendhaliman
orang-orang kafir terhadap mereka.
Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa sekedar tinggal di darul
kufr tidak menyebabkan seseorang menjadi kafir. Kaum
muslimin yang tinggal di Yaman yang dikuasai Al-Aswad dan
pengikutnya, atau di Mesir yang dikuasai Bani Ubaid, atau di
Makkah yang dikuasa orang-orang musyrik Quraisy, tidaklah
dikafirkan, padahal darul Islam ketika itu masih tegak dan
menunjukkan eksistensinya. Lantas, bagaimana jika tidak
ada darul Islam sebagaimana yang terjadi selama beberapa tahun
di abad 20 21 saat ini sebelum tegaknya daulah Islamiyah di
Irak? Masuk akalkah jika seluruh orang di dunia dianggap kafir
karena seluruh negara dikuasai orang-orang kafir atau murtad?
Masih banyak dalil lain yang menunjukkan bahwa status
sebagai darul kufr tidak menyebabkan penduduknya dihukumi
sebagai orang kafir. Penamaan wilayah apakah ia darul
Islam atau darul kufr, sama sekali tidak berpengaruh pada islam
tidaknya warga yang tinggal di daerah itu.
Tanpa menafikan kewajiban hijrah, perlu ditegaskan bahwa yang
disebut orang Islam tidaklah terbatas pada orang yang tinggal
di darul Islam, sebagaimana orang yang tinggal di darul
kufrtidak mesti orang kafir. Kadang suatu wilayah karena
dikuasai kaum muslimin- disebut darul Islam, namun mayoritas
penduduknya adalah orang-orang kafir (dzimmi). Demikian juga,
kadang suatu wilayah disebut darul kufr sebagaimana
kebanyakan negeri-negeri saat ini-, namun mayoritas
penduduknya adalah kaum muslimin.

Orang Islam adalah orang yang memenuhi syarat-syarat


keislaman sebagaimana yang sudah ditetapkan dalam syariat,
meski ia tinggal di negeri kafir. Sedang orang kafir adalah orang
yang menjalani satu atau lebih kekafiran, meski ia tinggal di
negeri Islam.
(2)
Kafirkah Para Pegawai Pemerintah Thaghut?
Di antara pendapat keliru yang dipegang golongan takfiri ekstrim
adalah seluruh pegawai yang bekerja di pemerintah yang tidak
berhukum kepada hukum Allah adalah kafir. Mereka mempunyai
kaidah bahwa bekerja di bawah pemerintah jahiliyah adalah
kekafiran. Konsekwensinya, menjadi PNS adalah kekafiran
selama negeri ini masih dipimpin hukum jahiliyah.
Asy-Syaikh Abu Muhammad menjelaskan kesalahan pendapat
tersebut. Menurut beliau, hukum menjadi pegawai pemerintah
thaghut atau bekerja di lembaga-lembaga mereka ditinjau dari
jenis pekerjaan yang dilakukan.
Bila pekerjaan itu secara dzatnya termasuk kekafiran, seperti
menjadi anggota legislatif, hakim yang memutuskan dengan
undang-undang buatan manusia, polisi atau tentara yang
mengawal dan melindungi undang-undang jahiliyah, atau
terdapat unsur kekafiran seperti bersumpah untuk setia dan loyal
kepada konstitusi dan undang-undang negara (pancasial dan
UUD 45 misalnya), maka pegawai untuk pekerjaan seperti itu
dihukumi sebagai orang kafir.
Bila pekerjaan itu termasuk keharaman, namun tidak sampai
pada kekafiran, seperti menjadi penarik pajak, pegawai bank riba,
maka pegawai untuk pekerjaan seperti ini tidak dapat dikafirkan
hanya dengan pekerjaan haram tersebut. Ia hanya disebut
sebagai orang fasik, kecuali jika ada sebab kekafiran di luar
pekerjaan itu.
Bila pekerjaan itu termasuk hal yang mubah, seperti menjadi
guru bahasa Inggris, matematika, petugas kebersihan, petugas
lalu lintas, maka menjadi pegawai untuk pekerjaan ini berhukum
makruh. Kemakruhan ini bukan berasal dari dzat pekerjaan

tersebut, tapi karena statusnya sebagai buruh atau pegawai milik


thaghut kafir. Sebab, menjadi pegawai orang kafir, atau bahkan
thaghut yang memerangi Allah dan Rasul-Nya, berarti
menghinakan dirinya sendiri di hadapan orang kafir, bahkan
terkadang dapat memperkuat posisi mereka.
Dengan demikian, menjadi pegawai pemerintah kafir dalam
pekerjaan yang halal, bukanlah kekafiran. Ia baru dihukumi kafir
bila ada unsur kekafiran dalam pekerjaan itu seperti bersumpah
untuk patuh kepada konstitusi atau undang-undang jahiliyah.
Dalil tidak kafirnya menjadi pegawai orang kafir dalam pekerjaan
yang dzatnya boleh dilakukan selama tidak terdapat unsur
kekafiran- adalah hadits Khabbab bin Arat yang diriwayatkan
Imam Bukhari dalam kitab Al-Ijarah, bab Hal Yu`ajiru ArRajulu Nafahu min Musyrikin fi Ardhi Al-Harb (bab bolehkah
seseorang memperkerjakan dirinya kepada orang musyik di
negeri harbi?)
:
: :
: : ! : .
(( )) :
Artinya:
Dari Khabbab semoga Allah meridhainya- ia berkata: Aku
adalah tukang pandai besi, lantas aku bekerja di tempat Ash bin
Wa`il. Terkumpullah gajiku di tangannya. Lalu aku datang
menagihnya. Lantas ia berkata, Tidak, demi Allah, aku tidak
menunaikan (gajimu) sampai kau kafir kepada Muhammad .
Aku pun berkata, Ketahuilah, demi Allah, sampai kau mati lalu
dibangkitkan, aku tidak (akan kafir). Ia bertanya, Apakah aku
mati lalu dibangkitkan?! Aku menjawab, Ya. Ia berkata, Nanti
aku akan punya harta dan anak, lalu akan aku tunaikan
(gajimu). Lantas Allah Tabaraka wa Taala menurunkan firmanNya ((Apakah kau melihat orang yang kafir dengan ayat-ayat
Kami dan ia mengatakan sungguh benar-benar aku akan diberi
harta dan anak)).
Khabbab menjadi pegawai Ash bin Wail yang notabene termasuk
pembesar orang-orang kafir Quraisy saat ia masih di Makkah,

padahal Makkah saat itu masih berstatus sebagai negeri kafir.


Nabi pun tahu apa yang dilakukan Khabbab, dan beliau tidak
mengkafirkannya.
Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari:


Al-Mushannif (Imam Bukhari) tidak menetapkan hukum
(menjadi pegawai orang musyrik), karena ada kemungkinan
bolehnya hal itu terbatas pada saat darurat, atau bolehnya hal itu
sebelum adanya izin untuk memerangi orang-orang musyrik dan
membabat mereka, dan sebelum adanya perintah agar seorang
mukmin tidak merendahkan dirinya sendiri.
Kemudian Ibnu hajar menukil ucapan Mihlab:
: :
.
Para ulama menganggap makruh hal itu yakni bekerja di tempat
orang-orang musyrik- kecuali karena keterpaksaan dengan dua
syarat:
Pertama: pekerjaan itu halal dilakukan orang muslim
Kedua: pekerjaan tersebut bukanlah sesuatu yang membantu
orang musyik itu (untuk suatu hal) yang kemadharatannyanya
kembali kepada orang muslim.
(3)
Kafirkah Orang Yang Minta tolong kepada Thaghut dan
Pengadilan-Pengadilan mereka untuk Mengembalikan
Haknya yang hilang?
Ketika terjadi kedhaliman yang menimpa seorang muslim,
hartanya dirampok, atau isterinya diperkosa misalnya, atau ia
kehilangan sesuatu yang berharga atau menjadi korban
kekerasan rumah tangga tanpa ada kerabat yang bisa
mengatasinya, sementara hukum Islam tidak tegak dan kaum
muslimin tidak memiliki kekuasaan, apakah yang akan ia
lakukan? Kafirkah ia bila datang ke pengadilan-pengadilan

jahiliyah atau lembaga-lembaga milik pemerintah thaghut untuk


mengadukan perkara yang menimpanya? Kafirkah ia jika
meminta tolong kepada polisi (antek thaghut) untuk
mendapatkan kembali haknya yang diambil atau kehormatannya
yang direnggut orang lain?
Bagi golongan takfiri ekstrim, orang semacam itu dihukumi kafir.
Mereka menganggapnya berhukum kepada hukum jahiliyah.
Sampai-sampai, sebagian mereka mengkafirkan orang muslim
hanya karena tampil di depan pengadilan-pengadilan jahiliyah,
atau di kantor-kantor polisi thaghut dalam rangka
menyampaikan pembelaan terhadap dirinya atau memberikan
penjelasan dan persaksian yang meringankan saudaranya sesama
muslim. Bahkan, sekedar datang ke kantor-kantor polisi untuk
memberitahukan tentang anaknya atau barangnya yang hilang,
dengan harapan barangkali petugas kepolisian mampu
menemukannya, juga mereka anggap sebagai kekafiran.
Golongan takfiri ekstrim itu mewajibkan setiap muslim untuk
menolak datang di pengadilan dan kantor-kantor thaghut serta
lari dari tempat-tempat itu. Jika tidak, ia termasuk orang-orang
kafir.
Padahal, seringkali keengganan seseorang untuk tampil
memberikan persaksikan di pengadilan-pengadilan jahiliyah itu
atau menyampaikan pembelaan diri dari tuduhan-tuduhan dusta
yang diarahkan kepadanya, justru menyebabkan dirinya atau
orang lain menjadi korban kedhaliman para thaghut melalui
undang-undang kufur mereka, atau mendapatkan sanksi yang
berlipat ganda, atau jatuh pada kesulitan yang lebih besar dan
rumit.
Di samping itu, di antara para aparat thaghut dan penegak
undang-undang jahiliyah, kadang-kadang ada bahkan secara
realita memang ada- orang-orang yang tidak senang terjadi
kedhaliman serta berusaha sebisa mungkin membantu orangorang lemah yang teraniaya. Sehingga, keberadaan orang-orang
itu cukup membantu mengembalikan hak-hak kaum muslimin
yang dirampas orang-orang dhalim.
Sebagai contoh, saat terjadi penganiayaan yang dilakukan para
penegak hukum thaghut terhadap Ustadz Abu Bakar Baasyir,

ternyata yang memberikan jasa terbesar dalam membebaskan


beliau di antaranya adalah Adnan Buyung Nasution melalui
TPABB (Tim Pengacara Abu Bakar Baasyir) yang ia pimpin.
Adnan Buyung Nasution adalah sosok liberal tokoh AKKBB, yang
sangat anti terhadap syariat Islam.
Asy-Syaikh Abu Muhammad menjelaskan kekeliruan paham
takfiri ekstrim tersebut, meski beliau sendiri mengaku tidak mau
berlindung atau mengadukan kasus kedhaliman yang
menimpanya kepada para thaghut, lembaga atau pengadilanpengadilan mereka, termasuk dalam urusan lalu lintas sekalipun,
walaupun untuk itu beliau kehilangan semua barangnya; bahkan
beliau juga menganjurkan kaum muslimin untuk bersikap seperti
itu sebagai bentuk menjauhi thaghut dan undang-undang buatan
mereka.
Namun bagi beliau, menvonis kafir secara rata orang-orang yang
datang ke pengadilan-pengadilan jahiliyah dan lembaga-lembaga
thaghut adalah tindakan serampangan. Apalagi jika masalah yang
mendorong mereka untuk berurusan dengan thaghut dan
lembaga-lembaga peradilan mereka itu tidak sebatas urusan
kecil, namun sudah berkaitan dengan masalah kehormatan dan
jiwa yang tidak boleh dibiarkan atau didiamkan.
Di antara alasan-alasan beliau untuk membantah paham takfiri
ekstrim tersebut adalah:

Celaan yang Allah sebutkan pada surat An-Nisa ayat 60,


hanya ditujukan kepada orang-orang yang berhukum kepada
thaghut padahal hukum Allah (syariat Islam) sudah tegak dan
mereka diberi kemudahan untuk berhukum kepadanya.
Sebaliknya, jika kaum muslimin tidak berkuasa dan hukum
Allah tidak dapat dijalankan sebagaimana yang terjadi pada
saat ini-, sementara tidak ada jalan untuk melindungi hak, jiwa
dan kehormatan selain meminta perlindungan kepada para
thaghut dan pengadilan-pengadilan mereka, maka tidak
semestinya vonis kafir dilekatkan pada orang yang
melakukannya karena faktor keterpaksaan itu, kecuali jika ia
memang ridha dengan hukum jahiliyah itu.

Ketika orang-orang kafir Mekkah meminta Raja Najasyi


agar memulangkan kaum muslimin yang hijrah di wilayahnya

untuk kembali ke kampung halaman mereka (Mekkah), Jafar


dan kawan-kawannya datang kepada sang raja itu yang saat itu
masih kafir- untuk menyampaikan pembelaan diri dari tuduhantuduhan yang diberikan orang-orang kafir itu. Begita juga,
banyak kaum muslimin yang bernaung di bawah perlindungan
orang kafir demi menjaga jiwa dan harta mereka. Tidak ada dalil
bahwa Rasulullah mengkafirkan mereka.

Saat di penjara, Nabi Yusuf as. menyampaikan perihal


dirinya yang didhalimi kepada raja Mesir saat itu, padahal beliau
tahu kekafiran raja tersebut serta undang-undang dan agama
sang raja yang bertentangan dengan apa yang Allah turunkan.
Beliau pun menyampaikan pembelaan untuk dirinya di hadapan
raja kafir itu dari tuduhan keji yang dialamatkan kepadanya.
Dengan demikian, bila ada orang lemah dari kalangan muslimin
yang membela diri di hadapan thaghut atau mengadukan
kedhaliman yang menimpanya di pengadilan-pengadilan mereka,
ia belum bisa divonis sebagai orang kafir. Kecuali jika terbukti ia
ridha dan senang dengan undang-undang jahiliyah yang mereka
buat.
(4)
Kafirkah Para Peserta Pemilu?
Tidak diragukan bahwa orang yang secara sadar mengangkat
manusia sebagai musyarri (legislator), mengangkatnya sebagai
orang yang berhak membuat hukum dan perundanganundangan, atau memberinya wewenang untuk menciptakan
hukum halal-haram, maka orang seperti itu kafir murtad dari
Islam. Sebab, ia sama saja mengangkat manusia sebagai tuhan
selain Allah. Sebagaimana yang kita tahu, hak membuat undangundang hanya dimiliki Allah saja.
Lantas, apakah semua yang ikut serta dalam pemilu, baik
pemilihan kepala daerah atau anggota legistatif, adalah orangorang kafir?
Badan legistatif adalah badan yang bertugas membuat undangundang dalam harta, jiwa dan kehormatan manusia. Sehingga,
hakekat pemilu legislatif adalah mengangkat manusia sebagai

musyarri (legislator), atau memberikan wewenang kepadanya


untuk membuat undang-undang. Memberi seseorang hak atau
wewenang untuk membuat undang-undang berarti
mengangkatnya sebagai tuhan. Hal ini jelas kekafiran nyata
berdasarkan nash-nash qathie.
Namun, secara fakta tidak semua peserta pemilu tahu hakekat
tersebut. Banyak di antara mereka yang ikut serta dalam pemilu
dengan tujuan yang keluar dari hakekat pemilihan itu. Mereka
memilih calon tertentu bukan dengan maksud mengangkatnya
sebagai musyarri (legislator), atau sebagai orang yang akan
menjalankan kekafiran seperti menjalankan undang-undang
jahiliyah, melainkan untuk tujuan-tujuan lain yang bukan
termasuk kekafiran.
Di antara mereka ada yang memilih calon tertentu karena
berharap ia dapat memakmurkan daerah mereka.
Ada juga yang memilih sosok tertentu karena berharap ia dapat
memberantas KKN di negerinya
Bahkan ada juga yang memilih orang tertentu dengan harapan ia
dapat meminimalisir kerusakan atau paling tidak menegakkan
sebagian syariat Islam. Ia memilihnya karena ingin
memperjuangkan Islam.
Artinya, mereka melakukan sesuatu yang tidak mereka ketahui
hakekatnya. Mereka memilih calon legistatif, namun mereka
tidak tahu bahwa hal itu sama halnya mengangkat seseorang
sebagai pembuat hukum, perbuatan yang tidak diragukan lagi
termasuk kekafiran besar!.
Karena itulah, Asy-Syaikh Maqdisi menjelaskan
bahwa jahalah (ketidak tahuan) itulah menjadi mani
(penghalang) jatuhnya vonis kafir terhadap pelakunya.
Ia seperti orang yang mengatakan ucapan kufur namun tidak
tahu bahwa ucapan itu adalah ucapan kufur.
Ia seperti suami yang mengatakan kepada isterinya hai thaliq,
namun tidak tahu bahwa arti thaliq adalah wanita yang dicerai
dan ia memang tidak bermaksud menceraikannya. Tidak
diragukan, sang isteri tidak jatuh talak atasnya karena ucapan
suami itu, karena ada unsur ketidak tahuan tersebut.

Seperti halnya seorang tuan berkata kepada budaknya kau


adalah hurr, sementara ia tidak tahu bahwa hurr artinya
merdeka dan ia memang tidak berniat memerdekakannya. Si
budak tidak dapat dihukumi merdeka karena ucapan sang tuan
itu, karena ada unsur ketidak tahuan tersebut.
Asy-Syaikh Maqdisi menukil ucapan Al-Izz bin Abdussalam
dalam kitab Qawaidul Ahkam fi Mashalihul Anam, sebagai
berikut:

. .
Apabila orang ajam (bukan orang Arab) mengucapkan kalimat
kekafiran, atau keimanan, atau talak, atau pemerdekaan, jualbeli, perjanjian, atau pelepasan hak, maka ia tidak dihukumi
apapun, sebab ia tidak melakukan konsekwensinya dan tidak
bermaksud melakukannya.
Maksud ucapan Al-Izz bin Abdussalam di atas adalah bahwa
orang ajam yang mengatakan suatu kalimat arab, namun tidak
mengerti maknanya dan tidak bermaksud melakukan apa yang ia
katakan, ia tidak dapat dihukumi apapun. Misalnya, orang
mengucapkan kalimat kekafiran, namun ia tidak tahu bahwa
kalimat itu adalah kalimat kekafiran, dan ia memang tidak
berniat melakukannya, maka ia tidak dapat dihukumi sebagai
orang kafir.
Karena itu, memukul rata dengan vonis kafir terhadap semua
yang ikut terlibat dalam pemilihan anggota legistatif adalah
kesalahan fatal.
Dengan demikian, kesimpulannya adalah:

Peserta pemilihan anggota legislatif yang tidak tahu hakekat


pemilihan itu, dan tidak punya maksud mengangkatnya sebagai
orang yang berhak membuat undang-undang, tidak dapat
dikafirkan.

Peserta pemilihan anggota legislatif yang tahu hakekat


pemilihan itu yaitu pelimpahan hak membuat hukum atau
undang-undang kepada manusia-, ia tahu hakekat tugas anggota
legistatif, atau memang bermaksud mengangkatnya sebagai
legislator, maka ia dihukumi sebagai orang kafir murtad.

Hal itu juga berlaku pada pemilihan kepala daerah. Orang yang
memilih kepala daerah namun tidak mengerti bahwa pemilihan
itu pada hakekatnya adalah mengangkatnya sebagai orang yang
akan menjalankan undang-undang kufur, tidak dapat dikafirkan.
Yang dihukumi kafir hanyalah orang yang tahu hal itu, namun
tetap ikut serta dalam pemilihan tersebut tanpa pemaksaan.

Anda mungkin juga menyukai