Resensi:
Ar-Risalah Ats-Tsalatsiniyah fi At-Tahdzir min Al- Ghuluw fi
At-Takfir
Di saat menjamurnya pemikiran irja`, yakni paham yang sangat
berlebihan dalam menganggap seseorang sebagai orang muslim
meski syarat-syarat keislaman tidak ia penuhi, ternyata ada
sekelompok orang yang sama sekali berpaham kebalikan; mereka
sangat ektrim dalam mengeluarkan seseorang dari lingkup Islam.
Mereka adalah orang-orang Ghulatut takfir (Takfiri ekstrim).
Menurut orang-orang berpaham irja`, selama seseorang itu
masih membenarkan Allah dalam hatinya, ia adalah orang
muslim, meskipun ia sujud kepada berhala, menyembah patung,
berloyal kepada orang-orang kafir atau mengganti syariat Allah
dengan undang-undang buatan manusia. Sebaliknya, takfiri
ekstrim mudah sekali mengkafirkan seorang muslim hanya
karena hal yang mereka anggap sebagai kekafiran, padahal
sebenarnya tidak seperti itu. Mereka bersikap seperti itu karena
kurangnya ilmu, hawa nafsu, atau sebab-sebab lain.
Ada golongan tertentu yang mengkafirkan orang yang tidak mau
berbaiat kepada imam mereka. Ada juga kelompok yang
memukul rata dengan vonis kafir terhadap semua orang yang ikut
pemilu serta orang-orang yang belajar di majlis-majlis pengajian
milik orang-orang Murji`ah berbaju salafi antek pemerintah yang
saat ini sedang menggurita di tanah air. Di antaranya adalah
Ustadz Halawi Mamun. Beliau berijtihad bahwa tidak ada mani
(penghalang) apapun untuk mengkafirkan mereka semua.
Ada lagi yang mengkafirkan seluruh pegawai pemerintah. Mereka
dianggap memberikan loyalitas kepada thaghut. Tanpa disadari
pula sebagian kita kadang mengkafirkan orang yang mati dalam
keadaan melakukan dosa besar. Mungkin, mereka tidak secara
langsung menganggapnya kafir. Namun, vonis bahwa ia adalah
penghuni neraka dan kekal di dalamnya tidak lain adalah
pengkafiran.
Pada surat Al-Araf, ayat 72 Allah masih menganggap orangorang muslim yang tidak berhijrah ke darul Islam sebagai
saudara. Mereka berhak ditolong ketika terjadi pendhaliman
orang-orang kafir terhadap mereka.
Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa sekedar tinggal di darul
kufr tidak menyebabkan seseorang menjadi kafir. Kaum
muslimin yang tinggal di Yaman yang dikuasai Al-Aswad dan
pengikutnya, atau di Mesir yang dikuasai Bani Ubaid, atau di
Makkah yang dikuasa orang-orang musyrik Quraisy, tidaklah
dikafirkan, padahal darul Islam ketika itu masih tegak dan
menunjukkan eksistensinya. Lantas, bagaimana jika tidak
ada darul Islam sebagaimana yang terjadi selama beberapa tahun
di abad 20 21 saat ini sebelum tegaknya daulah Islamiyah di
Irak? Masuk akalkah jika seluruh orang di dunia dianggap kafir
karena seluruh negara dikuasai orang-orang kafir atau murtad?
Masih banyak dalil lain yang menunjukkan bahwa status
sebagai darul kufr tidak menyebabkan penduduknya dihukumi
sebagai orang kafir. Penamaan wilayah apakah ia darul
Islam atau darul kufr, sama sekali tidak berpengaruh pada islam
tidaknya warga yang tinggal di daerah itu.
Tanpa menafikan kewajiban hijrah, perlu ditegaskan bahwa yang
disebut orang Islam tidaklah terbatas pada orang yang tinggal
di darul Islam, sebagaimana orang yang tinggal di darul
kufrtidak mesti orang kafir. Kadang suatu wilayah karena
dikuasai kaum muslimin- disebut darul Islam, namun mayoritas
penduduknya adalah orang-orang kafir (dzimmi). Demikian juga,
kadang suatu wilayah disebut darul kufr sebagaimana
kebanyakan negeri-negeri saat ini-, namun mayoritas
penduduknya adalah kaum muslimin.
Hal itu juga berlaku pada pemilihan kepala daerah. Orang yang
memilih kepala daerah namun tidak mengerti bahwa pemilihan
itu pada hakekatnya adalah mengangkatnya sebagai orang yang
akan menjalankan undang-undang kufur, tidak dapat dikafirkan.
Yang dihukumi kafir hanyalah orang yang tahu hal itu, namun
tetap ikut serta dalam pemilihan tersebut tanpa pemaksaan.