T
ahun 2017 adalah tahun dimana pilkada serentak jilid ke 2 akan dilaksanakan. Menurut
KPU ada 101 daerah yang akan mengikuti Pilkada serentak yang terdiri dari 7 Provinsi,
18 Kota dan 76 Kabupaten. Ketujuh provinsi tersebut yaitu Aceh, Bangka Belitung, DKI
Jakarta, Banten, Gorontalo, Sulawesi Barat, dan Papua Barat.3 Dari ketujuh provinsi tersebut,
kondisi politik DKI Jakarta yang paling disoroti dan panas. Sebagaimana diketahui, kondisi
politik DKI Jakarta bisa menjadi barometer politik nasional. Selain itu Pilkada 2017 DKI akan
diikuti oleh calon incumbent sekarang yaitu Basuki Tjahaja Purnama/Ahok yang notabene Kafir
yang melakukan berbagai manuver, salah satunya gonjang ganjing kontroversi kasus Teman
Ahok. Berbagai isu-isu penting pun mulai dimainkan di media sosial, dan yang tak kalah menarik
perhatian adalah terkait kepemimpinan4 orang kafir terhadap kaum Muslim.
”Dan di antara hal yang sejalan dengan al-Qur’an dan al-Sunnah dan pemikiran kaum muslimin
dan mereka semua bersepakat atasnya bahwa yang halal di Dar al-Islam maka halal pula di
negeri-negeri kufur (Dar al-Kufr), dan yang haram di negeri-negeri Islam (Dar al-Islam) maka
haram pula di negeri-negeri kufur (Dar al-Kufr).”5
Konteks halal dan haram dalam maqâlah di atas maksudnya tak terbatas pada hukum benda
semata, sebagaimana Prof. Dr. Wahbah Al-Zuhaili (w. 1436 H) pun menukil perkataan Imam al-
Syafi’i di atas untuk menegaskan keharaman bertransaksi riba di zaman ini –sama seperti
dahulu- dan ia mengatakan: ”Dan poin ini menjadi jelas bahwa suatu negara atau tempat tidak
bisa mengubah sifat keharaman perbuatan-perbuatan.”6
serentak-2017
4 Maksud kepemimpinan/pemimpin disini adalah kepemimpinan terkait jabatan pemerintahan bukan
jabatan administratif, seperti kepala negara, pembantu kepala negara (wazir) juga termasuk kepala daerah.
5 Muhammad bin Idris al-Syafi’i, Al-Umm, Ed: Rafa’at Fauzi ’Abdul Muthallib, Dar al-Wafa’ al-
“Dan sekali-kali Allah tidak akan pernah memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk
menguasai orang-orang mukmin.” (QS. Al-Nisâ’ [4]: 141)
Dan jalan kekuasaan merupakan jalan paling kuat bagi penguasa menguasai rakyat, dan
ungkapan dengan kata lan berfaidah li al-ta'bîd (untuk menunjukkan selama-lamanya) jelas
merupakan indikasi atas larangan yang tegas (qarînah jâzimah) menjadikan kaum kafir
menguasai orang-orang beriman secara mutlak, sama saja apakah kedudukan sebagai khalifah
atau yang selainnya. Dan sebagaimana Allah telah mengharamkan memberikan jalan bagi orang-
orang kafir atas orang-orang beriman, maka hal itu menunjukkan haram hukumnya bagi kaum
muslimin menjadikan orang kafir sebagai penguasa bagi mereka.7
Para ulama pun menjadikan ayat ini sebagai salah satu dalil larangan menjadikan orang kafir
sebagai penguasa. Termasuk Imam Ibnu Hazm al-Andalusi (w. 456 H) dimana ia menyatakan
bahwa kekhilafahan merupakan sebesar-besarnya jalan kekuasaan.8 Yakni dalam urusan negara
dan pemerintahan. Atas dasar itu, memberikan hak kepada orang kafir menduduki jabatan
kepala negara –termasuk kepala daerah--, sama artinya dengan memberikan jalan kepada
mereka untuk menguasai kaum Muslim. Padahal hal ini jelas-jelas dilarang syariat.
Kedua, Allah melarang kaum muslimin menjadikan orang kafir memimpin mereka:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang Kafir sebagai
pelindung [pemimpin] selain orang Mukmin.” (QS. Al-Nisâ’ [4]: 144)
Lihat pula: QS. Ali ‘Imrân [3]: 118, QS. Al-Mâ’idah [5]: 57.
Al-Hafizh Ibn Katsir (w. 774 H) menafsirkan QS. Al-Nisâ’: 144 di atas berkata, “Allah SWT.
melarang hamba-Nya yang beriman untuk menjadikan orang-orang Kafir sebagai pelindung
[pemimpin], selain orang Mukmin. Artinya, Allah melarang mereka untuk dijadikan sahabat,
teman dekat, penasehat, dicintai serta tempat menyampaikan rahasia orang Mukmin.”9
Ketiga, Allah SWT mewajibkan ta’at kepada ulil Amri dari kalangan orang-orang beriman
sebagaimana teruang dalam QS. Al-Nisâ’: 59:
”Wahai orang-orang yang beriman ta’atilah Allah, ta’atilah Rasul dan ulil Amri di antara kalian.”
(QS. Al-Nisâ’ [4]: 59)
Dan frasa, “minkum” [di antara kalian], sebagaimana ditegaskan KH. Hafidz Abdurrahman, MA,
menunjukkan bahwa pemimpin tersebut wajib dari kalangan umat Islam yang beriman. Karena
seruannya dari permulaan ayat tersebut diarahkan kepada mereka.
7 Hizbut Tahrir, Ajhizah fî Dawlat al-Khilâfah fî al-Hukm wa al-Idârah, Beirut: Dâr al-Ummah, cet. I, 1426
H, hlm. 22.
8 ‘Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm al-Andalusi, Al-Fashl fî al-Milal wa al-Ahwâ’ wa al-Nihal, Kairo:
“Nabi –shallallâhu ’alayhi wa sallam- mengundang kami, lalu kami mengucapkan baiat kepada
beliau, beliau –shallallâhu ’alayhi wa sallam- bersabda yakni dalam segala hal yang diwajibkan
kepada kami bahwa kami berbaiat kepada beliau untuk selalu mendengarkan dan taat (kepada
Allah dan Rasul-NYA), baik dalam kesenangan dan kebencian kami, kesulitan dan kemudahan
kami dan beliau juga menandaskan kepada kami untuk tidak mencabut suatu urusan dari
ahlinya kecuali jika kalian (kita) melihat kekufuran secara nyata (dan) memiliki bukti yang kuat
dari Allah.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya, hadits no. 7055-7056 & Muslim dalam Shahih-
nya no. 4799. Lafazh al-Bukhari)
Al-Qadhi ‘Iyadh sebagaimana dinukil al-Hafizh al-Nawawi (w. 676 H) menjelaskan: “Ulama’
kaum muslim sepakat, bahwa kepemimpinan tidak akan diberikan kepada orang Kafir. Jika
kemudian tampak kekufuran padanya, maka dengan sendirinya diberhentikan. Begitu juga kalau
meninggalkan kewajiban mendirikan shalat dan mengajak untuk mendirikan shalat.”10
Artinya jika pemimpin muslim dalam Dar al-Islam murtad atau menegakkan kekufuran di
tengah-tengah kaum muslim saja wajib dilengserkan, maka perkara kekufuran seseorang
merupakan penghalang mutlak baginya untuk menjadi penguasa.
Hal yang juga mesti di waspadai adalah upaya untuk merusak pemikiran dan pemahaman kaum
muslimin agar tidak menjadikan isu agama sebagai hal yang sensitif dalam memilih pemimpin,
dengan kata lain merusak standar, pola pikir. Al-’Allamah Taqiyuddin bin Ibrahim al-Nabhani
memperingatkan: “Tsaqafah asing (termasuk liberalisme-pen.) memiliki pengaruh yang besar
dalam menyebarkan kekufuran dan imperialisme, tidak adanya keberhasilan dalam meraih
kebangkitan, kegagalan gerakan-gerakan terorganisir, sama saja apakah gerakan sosial maupun
politik, karena tsaqafah memiliki pengaruh yang besar terhadap pemikiran manusia, yang
berpengaruh terhadap jalannya kehidupan.”12
10 Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syarf al-Nawawi, Al-Minhâj Syarh Shahîh Muslim, Beirut: Dar Ihya’
besar-di.html
12 Taqiyuddin bin Ibrahim al-Nabhani, Al-Takattul Al-Hizbiy, Beirut: Dâr al-Ummah, cet. IV, hlm. 5
Harus diketahui bahwa muslim yang zhalim (fasik) atau kafir yang adil dua-duanya tidak
memenuhi syarat sebagai pemimpin. Bahkan dalam Islam syarat muslim dan adil menjadi syarat
legal bagi seseorang yang akan diangkat menjadi seorang pemimpin/penguasa.14 Seorang yang
zhalim (fasik) tidak bisa menjadi pemimpin negara ataupun kepala daerah, begitu pula orang
kafir tidak boleh diangkat sebagai penguasa atas kaum muslimin.
Dan poin ini kian membuktikan bahwa sistem politik Demokrasi yang menghalalkan apa-apa
yang dilarang oleh Islam menjadi salah satu bukti mendasar bahwa sistem Demokrasi
bertentangan dengan sistem politik dalam Islam (al-siyâsah al-syar’iyyah), dimana boleh
tidaknya sesuatu pun ditentukan oleh manusia –diantaranya atas nama wakil rakyat-,
sedangkan dalam sistem politik Islam, boleh tidaknya sesuatu wajib sejalan dengan prinsip halal
dan haram dalam syari’ah. Dan dalam sistem demokrasi, para penguasa itu memerintah tidak
terikat dengan aturan agama dan menjunjung tinggi konstitusi hukum positif meski itu
menyalahi hukum syari’ah yang agung.
Selama kaum muslimin ridha atas sistem kufur Demokrasi, bermaksiat dengan mengabaikan
perjuangan penegakkan syari’at Islam dalam kehidupan, maka selama itu pula kaum kafir
memiliki peluang menguasai orang-orang beriman. Al-Hafizh al-Qurthubi (w. 671 H) ketika
memaparkan perincian penafsiran QS. Al-Nisâ’: 144, di antaranya beliau mengingatkan bahwa
sesungguhnya Allah SWT tidak akan memberikan jalan bagi kaum kafir untuk menguasai orang-
orang beriman kecuali jika mereka saling mendorong kepada kebatilan, tidak melarang dari
kemungkaran dan menolak bertaubat maka terjadilah penguasaan musuh.15 Berdasarkan ’ibrah
dari firman-Nya:
35 dan 39.
15 Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr Syamsuddin al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, Riyadh:
Menafsirkan ayat ini dan menggunakan dalil yang sama, Imam Muhammad bin ’Ali al-Syawkani
(w. 1250 H) pun menyampaikan peringatan senada: ”Sesungguhnya Allah SWT tidak memberikan
jalan bagi orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang beriman, selama orang-orang beriman
mengemban kebenaran, tidak ridha terhadap kebatilan dan tidak meninggalkan perbuatan
melarang dari kemungkaran.”17
Mencampakkan Demokrasi dan menggantinya dengan sistem Islam, yakni sistem khilafah
merupakan cara secara sistemik mampu menutup rapat-rapat penguasaan orang-orang kafir atas
kaum muslimin. Sistem Islam juga melahirkan pemimpin muslim yang adil dan amanah. Karena
dalam Islam, seorang pemimpin terikat dengan aturan-aturan syari’ah dan dituntut untuk
menunaikan amanah dalam hadits-hadits Rasulullah –shallallâhu ’alayhi wa sallam-:
“Ketahuilah setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai
pertanggungjawaban atas pihak yang dipimpinnya, penguasa yang memimpin rakyat banyak dia
akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR. Muttafaqun ‘Alayh, dll)
Dan dengan tuntutan keterikatan terhadap syari’ah Islam, dimana seorang penguasa (khalifah)
dibai’at untuk menegakkan hukum Islam, seorang penguasa tidak akan menjadi kepanjangan
tangan para pemilik modal sebagaimana terjadi dalam sistem kufur Demokrasi. Dalam konteks
kepala daerah dalam sistem Islam, bila mereka melanggar sedikit saja dari aturan syariah,
mereka bisa di makzulkan oleh Khalifah.
16 Ibid.
17 Muhammad bin ‘Ali al-Syawkani al-Yamani, Fat-h al-Qadîr, Damaskus: Dâr Ibn Katsîr, cet. I, 1414 H,
hlm. 609.
Halqah Syahriyyah DPD II HTI Kab. Sukabumi | 5