Anda di halaman 1dari 31

Kesesatan Sururiyah

DAKWAH SURURIYYAH DAKWAH SIYASIYYAH

Al Ustadz Muhammad Umar As Sewed Hafizhahullah


Jika kita berbicara tentang sururiyah tentunya kita harus berbicara tentang ikhwaniyah, karena
sesungguhnya sururiyah hanyalah metamorfosis dari ikhwaniyah. Jika kita ringkas, ada beberapa
pokok fikrah (pemikiran) ikhwaniyah diantaranya:
1. Dakwah Ikhwaniyah adalah dakwah politik
Dilihat dari asal terbentuknya, Ikhwanul Muslimin (IM) adalah sebuah partai politik yang
berkembang menjadi sebuah pergerakan. Maka ciri khas dakwah mereka adalah bagaimana
mengumpulkan massa, memperbanyak pengikut untuk memperbanyak suara mereka di
parlemen. Akhirnya bagi mereka kuantitas lebih dipentingkan daripada kualitas. Inilah ciri khas
“Dakwah Siyasiyyah”.
2. Mengkaburkan perbedaan
Untuk mewujudkan tujuan di atas, mereka berupaya untuk mengkaburkan perbedaan antara
Ahlus Sunnah dengan ahlul bid’ah, antara Sunnah dan Syi’ah dan lain-lainnya. Dengan istilah
mereka yang terkenal '()*+,‫' ا‬. /0 '123 '(123 ‫ر‬5+26‫(' و‬8)9‫' ا‬. /: ‫;ا‬6‫'و‬2+6(kita bekerja sama pada apa-
apa yang kita sepakati, dan saling toleransi pada apa yang kita berbeda). Dengan slogan ini,
mereka berupaya menyatukan antara Ahlus Sunnah dengan ahlul bid’ah dan sekaligus mengubur
prinsip yang sangat penting dalam Islam yaitu inkarul munkar (membantah kemungkaran).
3. Melampaui batas dalam mementingkan “wawasan politik”
Dalam upaya meremehkan kebid’ahan-kebid’ahan, penyimpangan-penyimpangan dan kesesatan-
kesesatan dari ahlul bid’ah, mereka menyibukkan para pemuda dengan apa yang mereka
namakan ‘tsaqafah islamiyah’, mengetahui sikon (situasi-kondisi, red) atau wawasan politik.
Mereka anggap bahwa ilmu ini sebagai ilmu yang terpenting daripada menerangkan kesesatan
dan kebid’ahan yang dilakukan oleh ahlul bid’ah. Akhirnya ‘tsaqafah’ yang sesungguhnya
adalah kliping berita dari koran-koran, majalah dan lain-lain sebagai perkara yang lebih penting
daripada memperdalam dan mendakwahkan ilmu tauhid dan dan memberantas syirik, ataupun
mempelajari Sunnah dan bahayanya bid’ah.
4. Mengangkat dan membesarkan tokoh-tokoh ahlul bid’ah
Dengan barometer yang rusak di atas, mereka mulai menjadikan tokoh-tokoh sesat dari kalangan
Syi’ah, Khawarij, Sufi dan ahlul bid’ah lainnya sebagai sosok ulama mereka, karena memiliki
ilmu “yang sangat penting” yaitu ‘tsaqafah islamiyah’. Sebaliknya, mereka justru menjatuhkan
dan merendahkan para ulama rabbaniyyah yaitu Ahlul Hadits, karena mereka anggap tidak
mengerti tentang ‘tsaqafah’ atau wawasan politik.
5. Memusuhi salafiyyin Ahlus Sunnah wal jama’ah
Dengan prinsip “persatuan bid’ah1” tersebut, mereka menganggap orang yang mendakwahkan
tauhid dan membantah kesyirikan-kesyirikan yang terjadi di kalangan umat Islam seperti
merajalelanya praktek-praktek penyembahan terhadap kuburan orang-orang shalih dan lain-lain
atau orang yang membantah kebid’ahan-kebid’ahan seperti menerangkan kesesatan Syi’ah
Rafidlah, Khawarij, Sufi dan lain-lain dianggap oleh mereka sebagai pemecah-belah umat. Maka
jelaslah musuh besar yang mereka anggap pemecah belah ummat adalah yang paling getol
mendakwahkan Tauhid dan Sunnah dan memberantas syirik dan bid’ah. Nah, siapa lagi yang
dimaksud musuh besar kalau bukan salafiyyin ?
1-Fase Quthbiyyah dan Sururiyyah
Demikianlah beberapa kesesatan yang merupakan prinsip-prinsip dasar gerakan IM, namun –al-
hamdulillah– Untuk membentengi umat dari kesesatan-kesesatan mereka, para ulama
menjelaskan dan membantah prinsip-prinsip mereka yang batil tsb seperti disebut di atas.
Setelah tampak jelas kesesatan pemahaman persatuan ala ikhwaniyyah dengan bantahan-
bantahan para ulama, baik dengan fatwa-fatwa maupun dengan buku-buku para ulama, gerakan
IM ini merubah wujudnya agar gerakan mereka tetap laku di pasaran. Dan karena ketidak-
mampuan mereka menghadapi hujjah-hujjah yang dipaparkan para ulama, sebagian tokoh-tokoh
mereka akhirnya mengaku sebagai Ahlussunnah pengikut Salaf, meski pemikiran ikhwaniyyah
masih saja bercokol di kepalanya.
Sebut saja salah satu tokoh yang paling menonjol dari mereka, yaitu Muhammad Surur bin
Nayef Zainal Abidin yang hingga aliran ikhwaniyah model baru ini dinisbatkan dengan
namanya yaitu sururiyah (pengikut Surur). Tokoh yang tinggal di negeri kafir –London, UK —
ini mengaku sebagai Ahlus Sunnah dan menamakan dakwahnya dengan “Dakwah Suniyyah”
atau dakwah Sunnah, lantas menerbitkan majalah as-Sunnah. Semula dakwahnya diawali
dengan menyebarkan tulisan-tulisan Ahlus Sunnah yang bersifat umum, kemudian mulai dia
menyisipkan pemikiran ikhwaniyyah – yang sudah kami ringkaskan di atas – dalam majalah
tersebut.
Dia mengkritik sikap para ulama terhadap ahlul bid’ah, menganggap mereka tidak mengerti
wawasan politik serta tidak tatsabut dalam menghukumi kelompok-kelompok dakwah –yang dia
maksud adalah IM dan sejenisnya–. Pada puncaknya, dia mencerca para ulama dan menuduhnya
sebagai ulama bayaran, munafik, penjilat pemerintah dan seterusnya.
Ada baiknya kita lihat sebentar bagaimana pemikiran ekstrim Muhammad Surur ini sebagai
berikut:
Surur mengkafirkan para penguasa muslim
Dalam majalah As-Sunnah no. 26 th. 1413 H hal. 2-3, ia berkata: “Penyembahan terhadap
berhala pada hari ini memiliki banyak tingkatan. Yang pertama, duduk bersila di atas
singgasananya penguasa negara sekutu George Bush -bisa jadi besok Clinton-. Kedua,
tingkatan para penguasa negara-negara Arab yang meyakini bahwa manfaat dan madlarat
mereka ada di tangan Bush. Oleh karena itu mereka pergi haji ke sana (Gedung Putih) dan
memberikan sesajen dan kurban-kurban. Ketiga, jajaran pemerintahan Arab, menteri-menteri,
wakil-wakilnya, pimpinan-pimpinan tentara, dewan legislatif dan lain-lain. Mereka berbuat
kemunafikan dengan menjilat atasannya. Menganggap baik kebatilan-kebatilan yang mereka
lakukan tanpa ada rasa malu dan kewibawaan. Sedangkan tingkatan yang ke-empat dan kelima
adalah para pegawai-pegawai yang berada di kementerian. Mereka semua meyakini
bahwasanya syarat untuk dapat naik ke pangkat yang lebih tinggi adalah kemunafikan, menjilat
dan menuruti semua perintah atasannya“.
Lihatlah! Muhammad Surur mengkafirkan semua jajaran pemerintahan di negara-negara Arab
dan menganggapnya sebagai penyembah berhala.
Bahkan Surur menyebut para penguasa tersebut lebih jelek daripada orang kafir.
Dalam majalahnya no. 43, Jumadil Tsani th. 1415 H, Muhammad Surur menyebut-kan: “Berkata
sahabatku: “Bagaimana pendapatmu kalau ada orang yang berkata: jika anak cucu Abdul Aziz
(Penguasa Saudi Arabia saat itu –pent.) selamat dari teman-teman dekatnya dari kalangan
orientalis Barat yang mengelilinginya, niscaya perkara-perkara yang jelek ini tidak terjadi.”
Maka saya jawab: “Wahai aba fulan….. mereka lebih jelek daripada teman-teman dekatnya.
Mengapa mereka memilih orang-orang yang rusak, orientalis, dan para munafik? Oleh karena
itu saya katakan bahwa anak cucu Abdul Aziz lebih jelek dari teman-teman dekatnya. Karena
aqidah mereka sama, ditambah lagi anak cucu Abdul Aziz mewajibkan kepada umat hukum-
hukum yang jahat dan berserikat dengan kaum orientalis barat dalam strategi dan
perencanaannya“.”.
Lihatlah! Muhammad Surur menyatakan dengan tegas bahwa aqidah para penguasa muslim di
Saudi Arabia sama dengan aqidah orang-orang kafir barat yang –katanya- menjadi teman
dekatnya.
Kalau penguasa Arab Saudi dikatakan kafir, padahal telah tegas dan jelas dasar negara mereka
adalah Al-Qur’an dan Sunnah, bagaimana kira-kira dengan para penguasa muslim di negeri lain
serta di negeri Indonesia ini? Tentunya para pengikut Muhammad Surur lebih berani
mengkafirkan kaum muslimin di Indonesia baik yang ada di jajaran pemerintahan sipil maupun
militernya.
Surur mengkafirkan para ulama
Ia menyatakan selanjutnya: “Jenis berikutnya adalah golongan yang mengambil keuntungan
dengan tidak punya rasa malu mengikuti sikap tuan-tuannya. Jika tuannya meminta bantuan
kepada Amerika, maka para hamba sahaya tadi mulai mengumpulkan dalil-dalil untuk
membolehkan perbuatan itu. Jika tuannya bertikai dengan Iran rafidlah, maka para budak tadi
mengumpulkan dalil-dalil tentang jeleknya rafidlah…” (as-Sunnah, no. 23, hal. 29-30)
Siapakah yang dimaksud oleh Surur dalam ucapannya di atas? Siapa lagi kalau bukan para ulama
yang memberikan dalil-dalil dan fatwa. Lebih tegas lagi ketika kita membaca ucapan
Muhammad Surur pada edisi 26, setelah menukil ucapan seperti di atas, ia berkata: “Sungguh
perbudakan zaman dahulu sangat sederhana, karena ia memiliki tuan yang langsung. Adapun
pada hari ini, maka perbudakan sangat rumit dan berantai. Dan aku tidak habis pikir, orang-
orang yang berbicara tentang tauhid, ternyata dia ada-lah budak dari budak dari budak dari
budak dari budak. Dan tuannya yang paling akhir adalah Nashrani“.
Perhatikanlah pengkafiran Muhammad Surur terhadap para ulama yang di-istilahkan dengan
“orang yang berbicara tentang tauhid“! Ia menyatakan sebagai budak yang kesekian dari
George Bush.
Surur menyeret dakwah tauhid para Nabi kepada “dakwah politik”
Dalam kitabnya Manhajul Anbiya’ (“Manhaj Para Nabi”), Muhammad Surur menggambarkan
para Nabi seakan-akan adalah para politikus yang melawan rezim-rezim dan para penguasa yang
dhalim. Ia menyebutkan bahwa para Nabi adalah para pejuang yang memberontak kepada para
penguasa yang kafir dan lalim seperti Fir’aun, Namrud dan lain-lain. Setelah itu ia menyebutkan
bahwa para penguasa muslim sekarang yang tidak berhukum dengan hukum Allah adalah
“Fir’aun-Fir’aun” dan “Namrud-Namrud” yang juga harus ditumbangkan.
Ia sama sekali melupakan bahwa dakwah para nabi adalah dakwah tauhid yang mengajak semua
manusia, termasuk raja-rajanya untuk beribadah kepada Allah dan tidak beribadah kepada yang
selainNya.
Allah BCDEF‫ و‬HIDJKL berfirman:
‫ُوا ﱠ‬cُKlْ ُ‫ً أَ ِن ا‬RSُL‫ َر‬Wٍ Y‫ ^ِ] ُ\[ﱢ أُ ﱠ‬Dَ_aْ Eَ َb cْ َdَC‫) َو‬
36 :[J_C‫تَ … )ا‬Sfُ D‫ﱠ‬gC‫ا ا‬SُKِ_َi ْj‫ﷲَ َوا‬
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan):
“Beribadahlah kepada Allah (saja), dan jauhilah Thaghut (sesembahan lain)…!”. (an-Nahl: 36)
Surur menganggap penguasa muslim sebagai thaghut yang lebih dahsyat dari Namrud
Ketika menceritakan kisah nabi Ibrahim, Surur menyamakan Namrud dengan para penguasa
muslim hari ini yang dianggap tidak berhukum dengan hukum Allah. Ia berkata: “Thaghut pada
zaman Ibrahim menyatakan: “Aku menghidupkan dan mematikan”, yakni membunuh siapa yang
dikehendakinya dan membebaskan siapa yang dikehendakinya. Adapun thaghut pada zaman kita
sekarang ini disamping mereka membunuh siapa yang dikehendakinya dan memaafkan siapa
yang dikehendakinya, mereka menganggap diri-diri mereka sebagai tandingan terhadap Allah.
Mereka menentukan undang-undang hukum sekehendaknya dan menganggap yang demikian
adalah hak mereka dan bukan hak Allah”. (Manhajul Anbiya’ 1/114)
Masih di halaman yang sama, bahkan ia menyatakan kalau mereka merupakan thaghut yang
lebih dahysat dari-pada Namrud. Ia berkata: “Dari sini kita ketahui bahwa thaghut pada zaman
kita lebih dahsyat dan lebih dhalim daripada thaghut pada zaman Ibrahim ‫م‬pqC‫ ا‬Hrsl. (Manhajul
Anbiya’ 1/114).
Setelah itu ia mencemooh ulama dan para dai yang tidak mau mengkafirkan mereka dan tidak
mau menganggap mereka sebagai thaghut. Ia berkata: “Maka bagaimanakah sejumlah besar
para penulis dan penasehat, menulis berlembar-lembar dan berjilid-jilid dalam kitab-kitab
mereka dan menghabis-kan waktu berjam-jam dan waktu yang panjang dalam ceramah-
ceramah mereka di radio, televisi dan lain-lain untuk membicarakan tentang thaghut pada
zaman Ibrahim, tetapi tidak satu kalimat pun menyinggung tentang thaghut pada zaman kita.
Allahumma, kecuali jika pembicaraan mereka adalah bagian dari misi-misi propaganda yang
direncanakan oleh thaghut untuk menyerang thaghut lain”. (Manhajul Anbiya’, 1/139)
Seorang muslim yang paling sedikit ilmunya pun mengetahui bagaimana Fir’aun dan Namrud
menyiksa orang-orang yang bertauhid, lantas bagaimankah para penguasa hari ini? Sungguh
tepat apa yang dinasehatkan oleh Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan ketika ditanya tentang
sikap kita terhadap buku Manhajul Anbiya’ tersebut, beliau menjawab: “Jauhilah penyakit-
penyakit yang ada dalam kitab tersebut dan hendaknya buku itu ditarik dari toko-toko buku dan
laranglah buku tersebut untuk masuk ke negeri ini“. (Al-Ajwibal Mufidah, Syaikh Shalih
Fauzan, hal. 50)
Surur melecehkan kitab-kitab aqidah Ahlus Sunnah
Dengan pemikiran di atas, Muhammad Surur menganggap kitab-kitab aqidah dan tauhid yang
ditulis oleh para ulama tidak penting, bahkan ia menganggap buku-buku tersebut kaku dan
kering, tidak bermanfaat dalam menyelesaikan problem dakwah masa kini.
Ia berkata: “Aku melihat buku-buku aqidah dan aku dapati buku-buku tersebut berbicara tentang
masa lalu bukan pada masa kita, menyelesaikan problem-problem dan masalah yang terjadi
pada masanya. Sedangkan pada masa kita, banyak problem baru yang membutuhkan
penyelesaian baru pula. Di samping itu, metode yang dipakai dalam buku-buku aqidah tersebut
sangat kaku dan kering, karena hanya merupakan kumpulan dalil dan hukum. Oleh karena itu
kebanyakan para pemuda lari dari padanya”. (Manhajul Anbiya’, Juz I, hal 08)
Inilah ciri khas sururiyyun, yaitu melecehkan kitab-kitab aqidah para ulama dan
mengajak manusia untuk membaca buku-buku para tokoh pergerakan masa kini, seperti
karya Sayyid Quthb dan lain-lain.
Oleh karena itu -meskipun mereka mengaku Ahlus Sunnah dan terkadang mengaku Salafi-
Muhammad Surur dan para pengikutnya tetap memberikan pembelaan kepada Sayyid Quthb dan
ke-lompok-kelompok sejenisnya dengan ucapan-ucapan seperti: “Mereka pun masih mempunyai
kebaikan” atau “Bagaimana pun juga mereka adalah se-orang mujtahid” dan lain-lain.
Pemikiran Sururiyyah lebih bahaya dari pada Quthbiyyah
Bahaya pemikiran sururiyyah ini lebih dahsyat daripada bahaya pemikiran Sayyid Quthb. Karena
Muhammad Surur dengan majalahnya As-Sunnah -yang kemudian diganti dengan Al-Bayan-
selalu mengatas-namakan Ahlus Sunnah dan pada terbitan perdananya selalu meminta
rekomendasi dari para ulama Ahlus Sunnah. Hingga banyak kaum muslimin yang terperdaya
dengannya.
Hingga muncullah salafi gadungan yang berbaju Ahlus Sunnah, namun berpemikiran
Quthbiyyah. Kita katakan pada para sururiyyin: “Kalian hanya memiliki pegangan “Al-Bayan”
dan “As-Sunnah“, sedangkan kami berpegang dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah”.
Kaidah-kaidah pemikiran Sururiyyah
Jika kita perhatikan gerakan sururiyyah ini, maka prinsip-prinsip dasar dalam dakwahnya persis
sama dengan gerakan IM. Hanya saya dia membedakan istilah-istilahnya dengan istilah-istilah
baru, diantaranya:
1. Al-Inshaf (bijaksana)
Al-Inshaf menurut gerakan ini adalah bersikap bijaksana dalam mengkritik seseorang atau
kelompok-kelompok dakwah dengan cara menyebutkan kebaikan-kebaikan mereka ketika kita
mengingatkan umat dari kesesatan-kesesatan mereka. Ini adalah upaya taqrib (melakukan
pendekatan dan menyatukan) antara Ahlus Sunnah dan berbagai macam kelompok bid’ah.
Prinsip ini sama persis tujuannya dengan slogan IM yang sangat terkenal ‫ر‬5+26‫(' و‬8)9‫' ا‬. /: ‫'ون‬2+6
'()*+,‫' ا‬. /0 '123 '(123.
2. Fiqhul Waqi’ (memahami situasi dan kondisi)
Istilah inipun sama maknanya dengan istilah yang dipakai oleh IM dengan istilah tsaqafah
(wawasan). Hal ini mereka lakukan karena banyak diantara tokoh-tokoh yang mereka banggakan
bukanlah Ahlul Hadits, bukan ahlul fiqh, bukan ahli tafsir dan seterusnya. Sehingga satu-satunya
ilmu yang mereka punyai adalah mengetahui sikon maka sebutan ulama bagi mereka adalah
seseorang yang mengerti fiqhul waqi’ (situasi dan kondisi) dan wawasan politik (tsaqafah) dan
sejenisnya. Kemudian dengan ilmu inilah mereka mengunggulkan tokoh-tokohnya di atas para
ulama.
Sebagai contoh mereka mengangkat Sayyid Quthb sebagai ulama yang mengerti fiqhul waqi’,
menguasai tsaqafah islamiyah atau istilah-istilah lainnya. Mereka tidak dapat menyejajarkannya
di jajaran para Ahlul Hadits, karena mereka mengetahui bahwa Sayyid Quthb tidak memiliki
ilmu tentangnya. Mereka juga tidak bisa memasukkan Sayyid ke dalam jajaran ahlut tafsir.
Demikianlah seterusnya, mereka tidak dapat mengangkat tokoh-tokohnya dengan latar belakang
ilmu hadits, fiqh atau tafsir. Satu-satunya gelar yang mereka banggakan adalah bahwa Sayyid
mengerti sikon, tsaqafah, fiqhul waqi’ dan lain-lainnya. Sebaliknya para ulama yang ahli di
bidang hadits, fiqh atau tafsir seperti Syaikh bin Bazz, Syaikh al-Albani, Syaikh Muqbil bin Hadi
al-Madkhali, Syaikh Muhammad bin Shalih bin Utsaimin dan lain-lain dianggap tidak berguna
fatwanya, karena dianggap tidak mengetahui sikon, tsaqafah atau fiqhul waqi’.
3. Tatsabbut (memastikan bukti-bukti)
Untuk memastikan shahih atau tidaknya suatu riwayat, tatsabbut merupakan hal yang harus
dilakukan guna meneliti keshahihan riwayat dengan melihat ketsiqahan rawi-rawinya,
bersambungnya sanad dan lain-lain. Masalah ini dibahas dalam ilmu hadits. Akan tetapi yang
mereka maksudkan tentang perlunya tatsabbut bukan seperti yang dimaksudkan oleh para ulama.
Tatsabbut menurut mereka adalah menanyakan kebenaran berita kepada orang yang
tertuduh (yang dikritik). Sebagai contoh, jika kita menyatakan bahwa Hasan al-Banna adalah
sesat, maka kita harus tatsabbut dan menanyakannya kepadanya, apakah dia benar-benar sesat.
Tatsabbut jenis ini mereka gunakan untuk pembelaan diri sehingga ketika ada beberapa orang
datang bertatsabbut kepada mereka: “Apakah kalian sururi, ikhwani atau quthbi?”, jelas saja
mereka dengan mudahnya menepisnya dengan berbagai macam syubhat, agar dapat
memperdayai orang-orang ‘lugu’ tadi.
Hizbiyyah Sururiyyah
Demikianlah, dengan ketiga syubhat di atas, mereka berupaya untuk mempersatukan dan
mengkompromikan seluruh kelompok dakwah dengan beragam manhaj ke dalam satu partai
(kelompok hizbiyyah) yang mereka namakan dengan istilah “Ahlus Sunnah wal jama’ah”. Nama
ini sekedar nama kelompok mereka yang baru bukan bermakna jalan Ahlus Sunnah wal jama’ah.
Kita lihat sebagi buktinya ucapan ‘Aid al-Qarni dalam kasetnya Firr Minal Hizbiyyah…..:
“Bahkan kita adalah kelompok Ahlus Sunnah, tidak ada nama lain kecuali Ahlus Sunnah. Tidak
perlu kita menguji manusia apakah dia ikhwani, sururi, tablighi atau menanyakan apa jama’ah
yang mereka ikuti. Bahkan jama’ah kita adalah jama’ah Ahlus Sunnah”.
Sangat jelas sekali tujuan A’idh dalam ucapannya diatas, yaitu menyatukan ikhwani, tablighi
sururi atau kelompok-kelompok hizbiyyah lainnya dalam satu kelompok besar yang dinamakan
“Ahlus Sunnah”.
Agar lebih jelas lagi, dengarkan pula ucapan Muhammad Muhammad Badry dalam majalah
al-Bayan no. 28, bulan Syawal tahun 1410 H hal. 15. Dia berkata: “Jama’ah ini adalah yang
mengajak seluruh kelompok pergerakan Islam untuk bergabung di dalamnya yaitu jama’ah
Ahlus Sunnah wal jama’ah yang umum dan luas”.
Jika masih ada yang ragu dalam memahami ucapan di atas yaitu mengajak seluruh kelompok
pergerakan Islam untuk bergabung dalam satu partai yaitu “partai Ahlus Sunnah”, maka kita
katakan kepada mereka: lihatlah lebih jelas lagi pada ucapan tokoh mereka yang lain, dalam
buletin mereka Buhuts Tatbiq asy-Syari’ah al-Islamiyah, no. 12 ia berkata: “Dan prinsip dasar
dari semua itu adalah bahwa seluruh kelompok pergerakan Islam pada hari ini merupakan
tentara yang semestinya tergabung di dalamnya seluruh umat walaupun berbeda-beda
mandzhab dan latar belakangnya untuk bersama-sama menghadapi fitnah kekafiran”.
Kalimat Bersayap
Kalimat politis atau kalimat bersayap biasa digunakan untuk dapat diterima di pihak yang satu
dan dapat disambut oleh pihak yang lain, tentunya hal ini dilakukan agar dapat menguntungkan
di kedua pihak tersebut. Namun seorang mukmin yang sungguh-sungguh akan mengikuti Al
Qur’an dan As Sunnah sesuai dengan apa yang dimaukan oleh Allah dan Rasulnya. Sedangkan
orang kafir terang-terangan akan menentang Al Qur’an, As Sunnah dan apa yang dimaukan oleh
Allah dan Rasul-Nya. Perbedaan keduanya sangat tampak dan jelas.
Memang benar-benar ada kelompok ketiga yang samar-samar dan tidak jelas, mereka tidak mau
mengikuti apa yang dimaukan oleh Allah dan Rasul-Nya tetapi tidak mau pula dikatakan
menentang Al-Qur’an dan As Sunnah. Mereka adalah ahlul bid’ah (aliran sesat), mereka
mengaku sebagai muslim yang berpegang dengan Al Qur’an dan As Sunnah namun tidak mau
menerima maknanya seperti apa yang dimaukan oleh Allah dan Rasul-Nya. Sehingga mereka
menarik-narik ayat dan hadits sesuai selera hawa nafsunya. Maka sesungguhnya yang mereka
ikuti adalah hawa nafsu, hanya saja mereka mencari dukungan dengan ayat dan hadits yang
diselewengkan maknanya, sehingga terlihat seakan-akan mereka mengikuti dalil.
Allah berfirman tentang orang-orang sejenis ini -yaitu orang yang di hatinya ada penyakit-
sebagai berikut :
Hِ ِsy‫ْ ِو‬€َF ‫ َء‬Dَ‚ِibْ ‫ َوا‬Wِ َ_iْ ِƒC‫ َء ْا‬Dَ‚ِibْ ‫ُ ا‬H_ْ Yِ َHَbDَvَF DYَ َ‫ن‬SُEKِ ‫ﱠ‬iَrَ^ xٌ yْ َ‫ِ ِ| ْ{ ز‬bSُsُ} ]ِ^ َ~y•ِ ‫ﱠ‬C‫ ا‬DY‫ َ ﱠ‬€َ^
“Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti
sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari
ta’wilnya.” (QS Ali ‘Imran: 7). Aisyah radiyallahu ‘anha berkata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wa Sallam bersabda : “Apabila engkau lihat orang-orang yang mengikuti ayat-ayat mutasyabihat
maka mereka itulah orang yang telah Allah sebutkan (pada ayat di atas) dan berhati-hatilah kamu
sekalian terhadap mereka.” (HR. Bukhari Muslim).
Dengan cara seperti inilah muncul aliran-aliran sempalan dan pemahaman-pemahaman sesat
yang kesemuanya mengaku muslim yang berpegang dengan dalil seperti: Syiah Rafidhah,
Khawarij, Qadariyyah, Jabariyyah, Mu’tazilah, Hululiyyah, Wihdatul Wujud, tarikat-tarikat sufi
dan lain-lain. Setelah mereka menarik ayat dan hadits sesuai dengan apa yang mereka mau,
langkah selanjutnya adalah mecari-cari ucapan siapapun yang kira-kira cocok dengan seleranya
sebagai pendukungnya, mencari zallah(ketergelinciran) ulama, atau pendapat-pendapat ulama
yang Syadz (karena para ulama adalah manusia, yang ada saja kealpaannya) kemudian
mengambilnya sebagai kamuflase, seakan-akan mereka mengikuti para ulama.
Senjata mereka yang paling ampuh adalah “kalimat bersayap” atau syubhat. Yakni ucapan yang
memiliki dua makna atau lebih, yang sebagian haq dan sebagian lain batil. Sehingga mereka bisa
bermain dengan kalimat tersebut. Jika diterima oleh para pendengarnya mereka akan
mengarahkan kepada makna batil yang mereka maukan. Namun jika pendengarnya tanggap dan
membantah kebatilan tersebut maka mereka akan segera mengatakan bahwa yang kami
maksudkan adalah makna yang hak.
Seperti ucapan Khawarij yang membawakan ucapan Allah: ”Tidak ada hukum kecuali milik
Allah”.
Ucapan ini dimaksudkan bahwasanya tidak perlu mengambil dua orang penengah atau
menentukan seorang hakim. Kemudian mengkafirkan Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyyah, dua
hakim penengah : Amru bin Al-Ash dan Abu Musa Al-Asy’ari dan seluruh para sahabat yang
ridha dengan mereka.
Maka berkatalah Ali bin Abi Thalib terkait ucapan Khawarij di atas : ”kalimatu hakkin arodu
bihal batil”, “kalimat yang hak, tapi yang mereka maukan adalah kebathilan”. ( Lihat as-Syariah
oleh Al-Ajurri).
Demikian pula halnya Gerakan Sururiyyah, untuk memasukan fiqrah-fiqrah (pemikiran-
pemikiran) ikhwaniyah tersebut diatas mereka selalu menggunakan “kalimat bersayap”. Dan
inilah kata kunci mereka untuk dapat memasukkan pemikiran-pemikiran mereka ke dalam hati
kaum muslimin.
Disaat mereka berbicara tentang inshaf, mereka membawa ayat-ayat dan hadits-hadits tentang
perlunya keadilan, menerangkan tentang keharusan tatsabut, mereka membawakan ayat-ayat dan
hadits yang memerintahkan untuk tabayyun. Di samping itu ketika mereka menerangkan tentang
perlunya fiqhul waqi’, merekapun menyertakan dalil-dalil dan ucapan para ulama yang
menyatakan bahwa hukum terhadap sesuatu adalah tergantung gambaran (fiqhul waqi) yang
diterima.
Jika diperhatikan secara sepintas, mereka seakan-akan ahlul ilmi yang berbicara dengan dalil-
dalil syar’i baik dari al-Qur’an maupun hadits-hadits. Namun jika kita teliti lebih lanjut ternyata
ayat-ayat dan hadits-hadits tersebut, mereka tafsirkan sesuai dengan hawa nafsu dan misi
mereka.
Sebagai contoh, mereka menafsirkan tentang perlunya keadilan dalam mengkritik ahlul bid’ah
dengan tafsirkan wajibnya menyebut kebaikan ahlul bid’ah ketika kita menerangkan kebatilan
ahlul bid’ah.
Seorang ulama besar yang bernama Hasan Al Bashri rahimahullah, beliau pernah berkata :
“Apakah kamu benci untuk menyebutkan (keburukan-keburukan) orang yang jahat? Sebutkanlah
(keburukan-keburukan) itu oleh kamu sekalian agar manusia berhati-hati daripadanya.” Dan
telah diriwayatkan pula yang seperti ini secara marfu’. (Lihat Tafsir Suratun Nuur karangan
Ibnu Taimiyyah tahqiq syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid).
Kemudian Al Hafidz Ibnu Rajab berbicara pula di dalam Syarah Ilalut Turmudzi 1/50, berkata
Ibnu Abi Dunya, menceritakan kepada kami Abu Shalih Al Mawardzi, aku mendengar Rafi’ bin
Asyras berkata : “Pernah ada orang yang mengatakan termasuk daripada hukuman pendusta
adalah tidak diterima kejujurannya dan aku katakan termasuk daripada hukuman orang yang
fasik yang mubtadi’ adalah jangan disebutkan kebaikan-kebaikannya.”
Al Muhaqqiq berkata, Al Kankauhi berkata dalam kitab Al Kawkabud Durri 1/347 : “…maka
ketahuilah bahwa boleh bahkan wajib bagi para ulama untuk menjelaskan kepada manusia
aibnya (ahlul bid’ah) dan mencegah mereka dari mengambil ilmu darinya (ahlul bid’ah). Ini
adalah madzhab Salaf dan hukum-hukum mereka serta muamalah mereka terhadap kitab-kitab
dan pengarangnya serta ahlul bida’. Sebagaimana bisa engkau lihat pada perkataan Ibnu
Taimiyyah, Imam Al Baghawi, Imam As Syathibi, Ibnu Abdil Barr dari Imam Malik dan murid-
muridnya, Imam Khatib Al Baghdadi, Ibnu Qudamah dari Imam Ahmad dan para Salaf
seluruhnya. [Lihat Kitab Manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah fi Naqdir Rijal halaman 127-149.]
Dan sikap ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah mutaqadimin yang seperti ini dijelaskan dengan
panjang lebar oleh Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali dalam kitabnya Manhaj Ahlus
Sunnah wal Jamaah fi Naqdir Rijal wal Kutub wat Thawaif.
Namun banyak sekali ucapan yang dilontarkan oleh tokoh-tokoh mereka seperti Hisyam bin
Ismail asy-Syini dalam buku kecilnya yang berjudul Manhaj Ahlus Sunah wal Jama’ah fii
Naqdi wal Hukum ‘alal Akharin (‘Manhaj Ahlus Sunnah dalam mengkritik dan menghukumi
orang lain’), Salman Audah dalam kasetnya Min Akhlaaq Ad Daa’iyah (‘Diantara akhlak para
da’i’), Zaid al-Zaid dalam tulisannya Dlawabith Raisiyah Fi Taqwimil Jama’at al-Islamiyah
(‘Patokan-patokan dalam meluruskan jama’ah-jama’ah Islam), Ahmad bin Abdurrahman as-
Suwayyan dalam risalahnya Manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah Fi Taqwimi ar-Rijal wa
Muallafatihim (Manhaj Ahlus Sunnah wal jama’ah dalam mengkritik seseorang atau tulisan-
tulisannya), dan tokoh-tokoh lainnya.
Fase Turatsiyyah
Sengaja kita bedakan turatsiyyah (diambil dari nama Jum’iyyah Ihyaut Turats Al Islami,
Kuwait) dengan Abdurrahman Abdul Khaliqnya dari sururiyyah walaupun pada intinya sama,
karena istilah-istilah mereka berbeda.
Dakwah Salafiyyah memanggil seluruh kaum Muslimin untuk kembali kepada Al Qur’an dan As
Sunnah dengan pemahaman Salaful Ummah. Mengajak untuk memurnikan tauhid, mengikuti
sunnah, dan sebaliknya memberantas syirik dan bid’ah.
Dakwah Salafiyyah ini tidak pernah berhenti dan tidak akan mati sejak Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam sampai hari ini. Dunia tidak pernah kosong dari ulama Ahlus Sunnah dengan
dakwah sunnahnya ini sejak jaman para shahabat sampai hari ini, hingga mereka diberi julukan :
“Penegak sunnah penghancur bid’ah, pedang sunnah dan ular bagi ahlul bid’ah, pembela sunnah
dan pemberantas bid’ah dan lain-lain.” Kebencian terhadap ahlul bid’ah adalah merupakan ciri
khas bagi Ahlus Sunnah, sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Bakar bin Ayyasy ketika dia
ditanya : “Siapakah seorang sunni (Ahlus Sunnah)?” Beliau menjawab : “Seorang yang jika
disebut Al Ahwa’ (aliran-aliran bid’ah), dia tidak marah (seperti marahnya) karena itu!” (Al
I’tisham 1/118 oleh Imam Asy Syathibi). Untuk lebih jelasnya kita simak ucapan Abu Utsman
Ash Shabuni, murid Imam Hakim yang dijuluki dengan “Pedang sunnah dan ular bagi ahlul
bid’ah” oleh Syaikh Abdul Ghafir Al Farisy, juga mendapatkan pujian dari Imam Dzahabi dan
Baihaqi. Beliau berkata : “Salah satu ciri Ahlus Sunnah adalah kecintaan mereka kepada para
imam sunnah, ulamanya, para penolong, serta wali-walinya, dan kebencian mereka kepada para
tokoh ahli bid’ah.” (Baca Majalah Salafy edisi IV rubrik Nasehati). Kemudian setelah dia
memberi contoh ulama yang mengatakan : “Barangsiapa cinta kepada fulan dan fulan, maka dia
Ahlus Sunnah.” Beliau menambahkan beberapa ulama Ahlul Hadits di jamannya dan berkata :
“Yang mencintai mereka adalah Ahlus Sunnah.” Setelah itu dalam point ke 175 berkata :
“Mereka bersepakat bersama dengan itu semua atas ucapan untuk keras terhadap ahlul bid’ah,
merendahkan, menghinakan, menjauhkan, memutuskan hubungan dengan mereka, menjauhi
mereka, tidak berteman dan bergaul dengan mereka dan mendekatkan diri kepada Allah dengan
menghindar dan memboikot mereka.” (Aqidatus Salaf Ash Haabil Hadits halaman 123)
Sebaliknya Syaikh Ash Shabuni sebelumnya telah menulis bab khusus tentang ciri yang paling
menonjol dari ahlu bid’ah yaitu kebencian mereka kepada ulama Ahlul Hadits (halaman 31.
Lihat Majalah Salafy edisi IV rubrik Nasihati)
Demikianlah sedikit mukadimah sebelum kita membahas tentang pemikiran Abdur Rahman bin
Abdul Khaliq pada risalah ini dalam rangka menegakkan kebenaran dan menjelaskan
penyelewengannya agar kaum Muslimin berhati-hati.
Teguran Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baaz
Bantahan Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz kepada Abdurrahman Abdul khaliq atas
pendapatnya meliputi point-point berikut :

• Celaan dan tuduhan yang berlebihan kepada orang-orang yang dianggap sebagai pengikut
Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah (wahabi).
• Tuduhan bahwa ulama-ulama Saudi dan Salafiyin dalam keadaan buta dan bodoh sama
sekali tentang permasalahan-permasalahan baru dan Salafiyah mereka adalah Salafiyah
taqlid yang tidak berarti sama sekali.
• Pernyataan bahwa seluruh negeri -tidak terkecuali- telah mengikuti Barat dan Timur
dalam hukum-hukum politik dan Undang-Undang.
• Pernyataan tentang tidak perlunya ditegakkan hukuman atas suatu dosa sebelum
dihilangkan sebab-sebab yang mengajak kepada perbuatan itu.
• Ajakan untuk memecah belah kaum Muslimin dalam berbagai jama’ah-jama’ah hizbiyah.
• Anggapan bahwa demonstrasi adalah salah satu bentuk jihad yang syar’i.

(Dinukil dari Tanbihat wa Ta’qibat halaman 31-41)


Taubatkah Abdurahman Abdul Khaliq ?
Setelah mendapatkan teguran-teguran di atas dari Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz,
dikabarkan bahwa Abdurrahman Abdul Khaliq telah mengumumkan taubatnya, mencabut enam
perkara tadi dan ia rujuk kepada Al Haq dalam bukunya At Tanbihat wa Ta’qibat.
Jika hal itu benar, maka sudah semestinya dia berhenti dari celaan-celaannya terhadap Salafiyin
dan pembelaannya terhadap jama’ah-jama’ah hizbiyah serta menyesali ucapan-ucapannya.
Namun benarkah pernyataan taubatnya itu? Lihatlah buku taubatnya, pada mukadimah buku
tersebut dia mengatakan celaannya kembali kepada Salafiyin : “Disamping itu telah bangkit
kelompok lain yang mengambil suatu manhaj dalam mengumpulkan apa yang mereka anggap
kesalahan bagi setiap ulama, da’i, atau penuntut ilmu, kemudian menyebarkannya di kalangan
manusia untuk membuat mereka lari darinya. Mereka berusaha mencari-cari sejak sekitar 7
tahun yang lalu untuk mengumpulkan apa yang mereka anggap kesalahan dariku. Beberapa
kelompok penuntut ilmu, menghabiskan waktunya untuk tujuan memeriksa ratusan, bahkan
ribuan kaset serta semua buku dan tulisanku, tetapi Alhamdulillah mereka tidak mendapatkan
kesalahan yang mereka cari dalam aqidah atau penyelewenganku dalam manhaj. Meskipun
demikian, mereka tetap memberikan apa-apa yang mereka anggap sebagai kesalahanku
kepada para masyaikh (ulama) untuk membuat marah, mengkaburkan, dan merusakkan
hubungan baik.” (At Tanbihat halaman 11)
Menanggapi ucapan ini Syaikh Rabi’ berkata : “Di sini dia keluar dari keadilan, manhaj, dan
akhlak dalam mengkritik. Bukankah yang bertanya kepada masyaikh adalah satu orang tentang
dua atau tiga masalah dari kekeliruan dan kesalahan Abdur Rahman? Kalau dia orang yang
bijaksana tentunya ia berterima kasih pada si penanya tersebut dan menutup pintu fitnah.”
(Jama’ah Wahidah halaman 08)
Selain itu pada akhir ucapannya : “Meskipun demikian, mereka tetap memberikan apa-apa yang
mereka anggap sebagai kesalahanku… .” Menunjukkan bahwa dia masih belum menyadari
kesalahannya. Namun seakan-akan dia mencabut ucapannya, karena yang menegur adalah
Syaikh bin Baaz dan dia marah kepada yang melaporkan. Subhanallah!
Kisah selengkapnya adalah sebagai berikut : Berkata Syaikh Rabi’ : “Allah telah memberikan
taufiq kepada seorang pemuda Salafy untuk menyimak kaset ini (Al Madrasah As Salafiyah),
kemudian mengambil sebagian darinya dan sebagian lain dari kitab Ushul ‘Amal Jama’i tulisan
Abdur Rahman Abdul Khaliq yang pada keduanya ada celaan yang sangat keras terhadap para
ulama kerajaan Arab Saudi, kedhaliman yang besar dan tuduhan-tuduhan dengan kejelekan.
Kemudian pemuda tersebut menghubungi beberapa ulama dengan telepon, diantaranya Syaikh
Shalih bin Ghushhun dan Syaikh Shalih Al Fauzan. Dia bertanya kepada mereka tentang
hukum mencela terhadap ulama kerajaan Arab Saudi dan ke-Salafiyah-an mereka. Mereka
menjawab dengan jawaban-jawaban yang sangat merendahkan diri Abdur Rahman. Ketika
jawaban para ulama tersebut sampai kepadanya (Abdur Rahman Abdul Khaliq), dia merasa berat
dan goncang. Lalu dia mengutus seorang atau beberapa orang utusan untuk membuat ridla para
ulama tersebut, menenangkan, dan membuat mereka puas dengan mendustakan dan mendhalimi
si penanya. Ia kemudian menyampaikan ceramah dalam kaset yang diberi nama Kasyfu
Syubuhat, membela diri dan menuduh si penanya dan yang ada di belakangnya. Diantara
perkataannya : “Kita berada di depan suatu bahaya yang berwujud kebangkitan para penuntut
ilmu tingkat rendah yang mengira bahwa kewajiban syar’i yang mengikat mereka adalah
mengenal kesalahan seluruh ulama dan para da’i serta jama’ah-jama’ah dakwah yang menyeru
kepada Allah di setiap tempat, kemudian berseru tentang mereka dan memperingatkan manusia
dari mereka.”
Kaset tersebut (Kasyfus Syubuhat) direkam dan diperbanyak setelah pengumuman taubatnya.
Maka berkata Syaikh Rabi’ : “Kalau benar dia bertaubat (ruju’), mengapa dia mencetak dan
menyebarkannya, padahal di dalamnya masih ada israr (tetap mencela ulama) berupa
pernyataannya bahwa celaannya terhadap ulama Saudi pada waktu itu adalah haq dan tsabit,
tidak menolaknya kecuali orang yang sombong.” Adapun yang dimaksudkan adalah ucapan
Abdur Rahman di dalam kaset tersebut yang berbunyi :
“Apa yang saya sebutkan pada waktu itu (20 tahun yang lalu, pent.) adalah haq. Hal itu adalah
perkara yang jelas, tidak menolaknya kecuali orang yang sombong. Barangsiapa yang ingin –
misalnya– untuk mengetahui yang haq, silakan sekarang memeriksa satu kitab saja yang ditulis
pada masa itu ketika aku menyampaikan ceramah tersebut oleh pengikut madrasah Salafiyah
untuk membantah paham-paham atheisme modern” (Rekaman kaset ‘Kasyfus Syubuhat’)
Pernyataan ini persis dengan apa yang pernah kita dengar sendiri di Ma’had Ali Al Irsyad
Tengaran, Boyolali, ketika dia datang ke Indonesia dan menyatakan bahwa enam kesalahan
tersebut terjadi pada 20 tahun yang lalu dan cocok pada waktunya. Kalau begitu bisa jadi pada
waktu yang lain akan cocok kembali. Lalu apa makna ruju’-nya?
Di samping itu dia juga berkata bahwa para pencari ilmu (pelajar) berusaha mencari
kesalahannya selama 7 tahun dan menghabiskan ribuan kaset serta buku-bukunya, tetapi mereka
tidak mendapatklan penyelewengan baik dalam aqidah ataupun manhaj (seperti yang sudah
dikutip di awal). Demikian juga pujian yang berlebihan dari Jami’iyyah Ihya At Turats, Kuwait
hampir sama dengan ucapan di atas : “Cukup baginya sebagai kebanggaan, Syaikh Al Walid Al
Kabir Abdul Aziz bin Baaz hanya mengkritik enam perkara ini. Padahal dia seorang yang
memiliki tulisan-tulisan, ceramah-ceramah, beribu-ribu pelajaran dan puluhan kitab-kitab …
yang dia menghabiskan waktu sekitar 30 tahun untuk berdakwah kepada manhaj Salaf … .” (At
Tanbihat halaman 5)
Dari ucapan-ucapan di atas, jelas yang dimaksud adalah bahwa dia tidak memiliki kesalahan,
kecuali dalam enam perkara saja dan kesalahan itu bukan dalam aqidah dan manhaj. Kemudian
mereka dan Abdur Rahman sendiri merasa bangga dengan itu.
Lihatlah cara mereka bertaubat! Apakah mereka mengira bahwa kesalahan-kesalahan itu adalah
hanya masalah kecil ? Demi Allah, kaum Muslimin berpecah di mana-mana, Salafiyun berpecah
di banyak negara karena adanya jama’ah-jama’ah hizbiyah yang dia seru dalam bukunya.
Apakah dia tidak tahu bahwa buku-bukunya telah memecah-belah Salafiyun di Indonesia dan
negara-negara lain ? Apakah ini yang dibanggakan oleh Ihya’ At Turats? Juga perlu ditanyakan
kembali apakah memang kesalahannya hanya dalam enam perkara tersebut dan tidak
menyangkut masalah manhaj?
Dinukil dari Syaikh Rabi’ bahwa ketika sampai kepada Dr. Shalih Al Fauzan surat dari Abdur
Rahman Abdul Khaliq tentang pembersihan dirinya dari perkataan tentangnya, beliau mengirim
surat kepadanya dengan puluhan kesalahan – yang berhubungan dengan haq para ulama – yang
muncul dari buku-buku dan kaset-kasetnya. Ia juga meminta kepadanya untuk menjawab hal itu,
namun dia tidak menjawabnya, sekalipun menjawab salam dari surat tersebut. Hal itu
menunjukkan atas israr-nya pada sebagian besar kesalahannya.” Syaikh Rabi’ berkata : “Syaikh
Shalih Al Fauzan menyampaikan hal ini kepadaku secara langsung.” (Jama’ah Wahidah
halaman 30)
Dengan kejadian ini kita mengetahui apakah kesalahan-kesalahan dia hanya dalam enam perkara
itu atau lebih? Dan kapan dia bersedia ruju’ dengan kesalahan-kesalahan sisanya? Apakah
menunggu para pemuda Salafiyin melaporkannya kepada Syaikh bin Baaz?!
Apakah Kesalahannya merupakan Zallah (ketergelinciran) atau Dalam Manhaj?
Zallah adalah kesalahan manusiawi yang mungkin saja terjadi pada setiap manusia kecuali
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam yang ma’shum. Tetapi ada pula kesalahan yang
munculnya dari manhaj, pemahaman atau aqidah yang bid’ah.
Maka untuk melihat apakah kesalahan-kesalahannya menyangkut masalah manhaj atau sekedar
zallah, kita kembali melihat nukilan ucapan-ucapannya dalam kaset dan buku-bukunya.

1. Kaset Al Madrasah As Salafiyah

Abdurrahman Abdul Khaliq berkata : “Sifat keempat bagi Madrasah Salafiyah ini –jika kita
menginginkan kehidupan bagi Islam– adalah Shifatul ‘Ashr (mengenal jaman) yaitu hendaklah
tokoh-tokoh madrasah ini memiliki sifat : Mengenal jaman di mana mereka hidup. Bukan orang-
orang yang berbicara (sesuatu) pada jaman yang telah lewat!
Kita dapati –misalnya– sebagian orang yang menamakan dirinya Salafi atau Salafiyin tidak
mengerti aqidah Salaf, kecuali permasalahan-permasalahan yang terjadi pada enam, tujuh, atau
sepuluh tahun yang lalu. Mereka (hanya tahu) bagaimana menyelesaikan masalah tersebut,
maka ini adalah Salafi taqlidi yaitu yang hanya berbicara dengan taqlid semata bukan dengan
ijtihad. Yang dimaksud –misalnya– adalah masalah “Al Qur’an adalah makhluk” dan
“bagaimana membantah orang yang mengatakan demikian … dan begini dan begini.” Kita
sekarang menghadapi masalah baru. Permasalahan tentang pendapat “Al Qur’an adalah
makhluk” sudah selesai! Kita sekarang menghadapi orang yang mengatakan “Al Qur’an bukan
Ucapan Allah, Tidak ada Rabb! Dan Muhammad bukan Rasul.”
Lihatlah! Betapa mirip ucapannya itu dengan ucapan Ikhwanul Muslimin (IM) yang tidak lain
berisi ajakan untuk tidak membantah ahlul bid’ah yang mengatakan, “Al Qur’an adalah
makhluk”, tetapi bantahlah orang-orang kafir yang tidak percaya kepada Al Qur’an dan
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam! Adapun orang-orang yang membantah ahlul bid’ah
yang mengatakan “Al Qur’an adalah makhluk” dikatakannya sebagai muqallid. Apakah
kesalahan ini hanya merupakan zallah (ketidaksengajaan atau kesalahan manhaj?
Disamping itu ucapannya di atas memiliki dua keanehan :
Pertama : Dia mengatakan bahwa masalah “Al Qur’an adalah makhluk” sudah selesai.
Kedua : Menyatakan bahwa pengingkaran terhadap Al Qur’an dan Nabi adalah masalah baru.
Sungguh aneh! Apakah hal ini tidak terbalik?
Masalah pengingkaran terhadap Al Qur’an dan Nabi sejak awal risalah kenabian sudah ada,
sedangkan permasalahan “Al Qur’an adalah makhluk” baru muncul setelah muncul bid’ah
jahmiyah dan mu’tazilah. Namun apakah sekarang permasalahan itu sudah selesai? Sungguh
pemikiran mu’tazilah dan jahmiyah masih banyak muncul dan harus terus dibantah, khususnya
di kalangan kita di Indonesia.
Mana Shifatul ‘Ashr yang dia serukan? Perlu diketahui bahwa dia menganggap taqlid kepada
para ulama terdahulu dalam masalah-masalah tadi lebih jelek daripada taqlid kepada madzhab
yang empat, dengan ucapannya : “Salafiyah taqlidiyah adalah seorang Salafi yang taqlid dan
hanya mengatakan ‘saya Salafi’, tetapi dia taqlid dalam aqidah dan dalam fiqh bukan kepada
imam yang empat, melainkan kepada selain mereka … Ini adalah pengkaburan terhadap nama
tersebut …”
Kalau ada yang mengatakan : “Belum tentu yang dimaksud adalah ulama-ulama yang
membantah pemikiran bid’ah di jazirah Arab secara umum atau di Saudi secara khusus.” Untuk
menjawabnya kita cukup menukil ucapan berikutnya agar menjadi jelas siapa yang dimaksud.
Dia berkata : “Diantara perkara taqlid yang paling besar dalam dakwah Salafiyah adalah taqlid
aqidah. Taqlid aqidah yang dimaksud yaitu bahwa kita memahami permasalahan-permasalahan
aqidah yang terjadi pada manusia dahulu, kemudian datang dengan tanpa memahami selainnya
dan kemudian menerapkannya di jaman sekarang –misalnya– saya berikan untuk kalian
beberapa contoh : Ketika engkau pergi ke Saudi sekarang ini, engkau tidak akan mendapatkan
kuburan, jarang sekali kau dapati manusia –misalnya– yang menyeru kepada selain Allah.
Namun bersamaan dengan itu ada sekelompok ulama yang tidak mengerti masalah aqidah,
melainkan apa-apa yang diucapkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah yaitu
perkara tauhid uluhiyah dan larangan terhadap peribadatan dan berdoa kepada kuburan atau
ber-tawasul dengannya dan begini serta begini. Padahal perlu diketahui bahwa lingkungan dan
desa-desa tempat mereka berbicara dengan ucapan itu tidak terdapat manusia yang
mengucapkan seperti itu (syirik uluhiyah). Tetapi telah terbentuk di sana pemikiran-pemikiran
baru yaitu seperti Atheisme, kelompok yang membuat keragu-raguan pada dien, partai Ba’ts
(Saddam Hussein, Iraq, red) dan komunis serta yang lainnya. Tetapi mereka sama sekali buta
dan bodoh tentang masalah-masalah yang baru ini. Kalau begitu ini adalah Salafiyah
taqlidiyah yang tidak ada nilainya sedikitpun … .” (kaset Al Madrasah As Salafiyah,
Abdurahman Abdul Khaliq).
Mudah-mudahan semakin jelas dengan keterangan dia sendiri siapa yang dimaksud Salaf taqlidi
yang bodoh dan buta tentang lingkungannya dan tidak ada nilainya sedikitpun.
Dikatakan dalam Hasyiyah (catatan kaki) kitab Jama’ah Wahidah : “Keadaan mereka
memperingatkan manusia dari kesyirikan, walaupun negeri mereka terbebas dari kesyirikan
merupakan pencegahan dan penjagaan. Mereka mengikuti contoh teladan pada diri Nabi Ibrahim
‘Alaihis Salam pada saat beliau berdo’a :
‫ َم‬Dَ_ ْŒَ•‫ ْا‬cَ ُKEْ َI ‫َ_ِ ﱠ] أَ ْن‬b‫_ِ] َو‬Kْ ُ_ ْj‫َوا‬
“ … dan jauhkanlah aku dan keturunanku dari menyembah berhala.” (Ibrahim : 35)
Juga contoh teladan pada Luqman pada saat dia berkata :
ِ l {ٌ sْ ُŽَC َ‫•ْ ك‬v‫ ﱢ‬C‫’ِ إِ ﱠن ا‬D
{ٌ rŽَ ‫ِ ﱠ‬b ‫ ِ• ْك‬vْ ُF Rَ ]‫ُ_َ ﱠ‬b Dَy
“ … Wahai anakku, janganlah engkau mempersekutukan Allah. Sesungguhnya kesyirikan adalah
kedhaliman yang besar.” (Luqman : 13)
Maka hal ini (pencegahan ulama terhadap syirik) adalah merupakan keutamaan mereka, bukan
kejelekan mereka.
Sedangkan tentang tuduhan Abdurrahman terhadap para ulama tersebut dengan istilah ‘Salafi
taqlidi’ kepada ulama-ulama Islam, padahal dia bertaqlid buta kepada musuh-musuh Islam dalam
hal demonstrasi, demokrasi, ajakan untuk masuk parlemen dan taqlidnya dalam memperbolehkan
berbilangnya jama’ah-jama’ah hizbiyah.” (Jama’ah Wahidah halaman 28)
Jika Anda ingin lebih jelas bagaimana pandangan Abdurrahman dalam masalah demokrasi dapat
dibaca dalam bukunya Masru’iyyatud Dukhuli ila Majlis Tasyri’iyyah halaman 90-91. Diantara
perkataannya adalah sebagai berikut : “Telah disebutkan oleh beberapa ikhwan tentang
kejelekan-kejelekan demokrasi yang mencapai lima puluh kejelekan, dan kami sanggup
menambahkan lima puluh bahkan seratus lagi di atasnya. Tetapi tidaklah hal itu menunjukkan
haramnya masuk parlemen. Karena orang yang masuk tersebut aman dari kerusakan atau
kejelekan aturan tersebut. Dan tidaklah dia masuk kecuali untuk merubahnya.”
Sabar! Jangan terburu-buru Anda mengatakan bahwa dia adalah penjahat dakwah! Kita baru
melihat satu kaset. Kita akan melihat kitab dan kaset yang lain, agar lebih jelas apakah
kesalahannya hanya merupakan zallah (ketergelinciran) atau karena manhaj dan pemikirannya
yang bathil.

2. Kitab Khuthuth Raisiyah Li Ba’tsil Umah Islamiyah

Dia berkata di halaman 73 : “Sesungguhnya kewajiban para pembuat kurikulum di universitas-


universitas Islam yang hanya mengajarkan dien saja untuk memasukkan pengajaran undang-
undang, hubungan kenegaraan Islam secara luas berupa penjelasan perbandingan (agama)
antara Islam dengan kufur. Dan agar mengurangi sekecil mungkin pengajaran kepada para
mahasiswa tentang pelajaran adab buang air, syarat-syarat air dan madzhab para ulama
terhadap orang yang mengatakan kepada istrinya : ‘Engkau aku cerai talaq satu atau talaq dua,
apakah dianggap talaq tiga atau talaq satu?’ Sudah cukup bagi kita tenggelam dalam tidur,
berjalan di atas kekacauan dan kebutaan serta kebodohan! Ajarkanlah kepada anak-anak
kaum Muslimin di universitas-universitas tentang hukum-hukum Islam, hukum-hukum had dalam
masalah pembunuhan, zina, minum khamr, pencurian dan rampasan! Kemudian bandingkan
bersihnya Islam dengan kekotoran musuh-musuhnya! Ajarkanlah hukum-hukum perdamaian dan
peperangan, perjanjian-perjanjian damai dan undang-undang politik, syariat antara pemerintah
dengan rakyat, antara negara Islam dengan negara kafir! Tinggalkanlah pengajaran adab
buang air bagi para pelajar, agar ibu-ibu merekalah yang mengajari anak-anaknya (adab-adab
tersebut) ketika mereka berumur 3 atau 4 tahun! Buanglah pengajaran bab-bab haid dan nifas
di universitas bagi laki-laki, dan cukup pengajarannya bagi wanita!”
Demikianlah ucapan Abdur Rahman Abdul Khaliq tentang ‘idenya’ untuk lebih mementingkan
politik di atas hukum-hukum syariat (fiqh).
Lihatlah! Di dalam kaset Madrasah Salafiyah para ulama dicela karena lebih
mementingkan tauhid uluhiyah dan tidak memiliki shifatul ‘ashr. Mereka –dalam buku
ini– dianggap tidur dan tenggelam pada fiqh dalam kebutaan dan kebodohan. Dengarlah
apa yang dikatakan dalam buku ini tentang para ulama : “ … dan pada hari ini –sayang sekali–
kita memiliki syaikh-syaikh yang hanya mengerti qusyur (kulit) Islam yang setingkat dengan
masa-masa lalu, yang berubah setelahnya aturan-aturan kehidupan manusia dan cara-cara
hubungan mereka.”
Subhanallah! Apakah yang diajarkan di universitas-universitas Islam seperti tauhid dan
macam-macamnya, tafsir dan ilmu-ilmunya, hadits dan musthalah-nya dianggap qusyur?
Apakah dalam Islam terdapat istilah qusyur? Syaikh Al Albani menjelaskan tentang bid’ah
pembagian agama ini menjadi qusyur dan lubab (kulit dan inti) dalam kasetnya yang berjudul La
Qushura fil Islam. Syaikhul Islam juga menganggap bid’ah pembagian ushul dan furu’ (pokok
dan cabang) diantara perkataan beliau : “Adapun pembagian antara suatu macam dengan
penamaan masalah ushul, dan masalah lainnya dengan penamaannya masalah furu’ maka ini
tidak ada asalnya. Tidaklah hal ini berasal dari shahabat, tidak dari pengikut mereka dengan
ihsan (tabi’in) dan tidak pula dari para imam kaum Muslimin. Pembagian yang demikian ini
hanya diambil dari mu’tazilah dan ahlul bid’ah yang semodel dengan mereka (Masail
Mardiniyah halaman 788. Lihat Dharuratul Ihtimam bi As Sunnah halaman 111)
Berkata Ibnul Qayyim tentang pembagian ini : “Setiap pembagian yang tidak dipersaksikan oleh
Al Kitab dan As Sunnah serta dasar-dasar syariat yang diakui, maka ia adalah pembagian yang
bathil dan wajib dibuang. Pembagian ini adalah dasar dari dasar-dasar kesesatan suatu kaum!
(Mukhtashar Shawaiq Mursalah 2/415. Juga melalui nukilan Syaikh Abdus Salam bin Barjis
dalam bukunya Dharuratul Ihtimam bi As Sunnah halaman 112)
Yang dimaksud dengan pembagian bid’ah oleh para ulama di atas adalah apa yang diinginkan
oleh mu’tazilah dan aqlaniyyun yaitu “Aqidah sebagai ushul” dan “Syariat sebagai furu’ ” atau
“Perkara i’tiqadiyyah (keyakinan) merupakan ushul dan perkara amaliyah adalah furu’.”
Bagaimanakah pendapat Anda dengan apa yang dikatakan oleh Abdur Rahman bahwa tauhid,
fiqh, perkara aqidah dan amaliah itu hanya sekedar qusyur? Kalau begitu mana yang merupakan
inti Islam? Dari ucapan-ucapan di atas dapat dipahami bahwa inti Islam yang paling penting
menururt dia adalah “wawasan politik”.
Betapa mirip pemikirannya dengan Ikhwanul Muslimin dengan istilah mereka tsaqafah!
Betapa miripnya dengan sururiyah dengan istilah mereka fiqhul waqi’!
Hanya saja dia menyebutnya dengan istilah lain yaitu shifatul ‘ashr!
Lihatlah ucapan lain dari kitab tersebut : “Apa nilainya seorang ulama yang mengerti syariat
ketika diseru kepadanya panggilan jihad dan mengangkat senjata, dia hanya berkata : ‘Perkara
ini bukan urusan tokoh-tokoh syariat, kita hanya mampu memberikan fatwa-fatwa halal dan
haram atau haid dan nifas serta thalaq saja!’ Kita membutuhkan ulama yang sesuai dengan
jaman : Ilmu, wawasan, adab, akhlaq, keberanian, kemajuan, serta pemahamannya terhadap
upaya-upaya tipu daya dan penginjakan terhadap Islam. Kita tidak membutuhkan barisan para
ulama muannathin (mummi atau istilah untuk mayat yang diawetkan dengan balsem) yang
hidup di jaman kita dengan badan-badan mereka, tetapi mereka hidup dengan akal-akal dan
fatwa-fatwa mereka bukan di jaman kita.”
Sebelum ada pembaca yang berkata : “Bukankah kita tidak tahu siapa yang dimaksud dengan
ulama tersebut? Mengapa tidak kita tafsirkan bahwa ulama tersebut adalah ahlul bid’ah dari
kalangan sufi yang tidak mau berjihad?
Kita katakan :
Pertama : Sudah sering dia berkata dengan perkataan yang senada dengan ini dan memberikan
contoh-contohnya (sebagaimana tersebut di atas) yaitu pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab,
Salafiyyin dan ulama-ulama Arab Saudi.
Kedua : Dia sendiri melanjutkan ucapannya seakan-akan menjawab pertanyaan Anda sebagai
berikut :
“Agar tidak ditafsirkan ucapanku tadi kepada selain yang saya maksudkan sebenarnya, maka aku
akan memberikan contoh hidup yang aku saksikan sendiri dan ini bukanlah satu-satunya contoh.
Waktu itu yang mengajar kami tafsir dan ushul fiqh adalah seorang ulama yang tinggi
keilmuannya, dia benar-benar alim, tidaklah dia mendatangkan suatu ayat melainkan
menjelaskan dari lafadz-lafadznya secara bahasa, kemudian memberi pendukung-pendukung
dengan puluhan bait-bait syair untuk satu lafadh saja. Lalu definisi kalimat-kalimatnya,
maknanya secara global, tafsir Salaf tentangnya dengan membawakan dalil-dalil dari hadits dan
atsar, kemudian faidah-faidah hukum fiqh yang diambil darinya serta ber-istinbath darinya
kaidah-kaidah ushul, selanjutnya menerangkan ayat-ayat lain yang mirip dengannya. Dia
memberikan semua itu sementara kami dalam keadaan bingung dengan keluasan ilmu dan
bacaannya, akan tetapi orang ini tidak mempunyai nilai sedikitpun pada jamannya, karena
tidak memiliki kemampuan untuk menjawab syubhat yang muncul dari musuh-musuh
Allah dan tidak siap sama sekali untuk mendengarkan syubhat-syubhat itu … .”
Kalimat terakhir ini yang membuat para ulama marah, karena mereka kenal betul siapa yang
dimaksud, yaitu Syaikh Al Imam Muhammad Amin As Syinqithi rahimahullah.
Kemudian setelah itu dia (Abdurrahman) membantah penolakan Syaikh ini terhadap sampainya
orang ke Bulan sebagai dasar atas apa yang dia ucapkan di atas setelah itu dia berkata :
“Sesungguhnya di mataku tidak ada orang yang lebih alim darinya tentang Kitab Allah. Dia
adalah perpustakaan berjalan, tetapi sayang dia adalah ‘cetakan lama’ yang butuh revisi dan
koreksi. Inilah salah satu contoh dari puluhan ulama yang mengajar ilmu-ilmu syariat setingkat
itu, sementara mereka berada dalam keadaan bodoh tentang kehidupan dan berilmu
dengan ilmu agama.” (Selesai ucapannya).
Subhanallah! Ini adalah ucapan yang sama sekali tidak pantas keluar dari mulut seorang Salafi
terhadap ulama Ahlus Sunnah, bahkan terhadap orang yang paling alim di jamannya yaitu
Syaikh Al Imam Muhammad Amin Asy Syinqithi rahimahullah. Bahkan dia juga mengatakan
seperti itu terhadap ulama yang bersamanya.
Mengomentari hal ini, Syaikh Rabi’ berkata : “Ini adalah pandangan Abdurrahman Abdul Khaliq
terhadap para ulama Islam secara umum, dan khususnya ulama tauhid dan sunnah di Saudi. Dan
(lebih khusus lagi) ulama di Universitas Islam yang dipimpin oleh Syaikh Al Imam Muhammad
Amin Asy Syinqithi. (Menurutnya) mereka adalah :

1. Para Syaikh yang tidak mengerti, kecuali kulit Islam yang hanya sesuai dengan masa-
masa silam.
2. Mereka adalah barisan muhannathin (mummi, mayat yang diawetkan, pent.) yang hidup
dengan jasad-jasad mereka di jaman kita, tetapi akal dan fatwa-fatwa mereka bukan di
jaman kita dan kita tidak membutuhkan mereka.
3. Mencontohkan dengan Imam Asy Syinqithi dan menganggap bahwa beliau tidak mampu
menjawab syubhat yang muncul dari musuh-musuh Allah, walaupun dia menyaksikan
bahwa tidak ada di matanya seorang yang lebih alim dari beliau tentang Kitab Allah.
Beliau adalah perpustakaan yang berjalan, tetapi (menurut Abdurrahman, pent.) adalah
‘cetakan lama’ yang butuh revisi dan koreksi.
4. Bahwasanya mengajar pada waktu itu selain dia, terdapat puluhan orang dengan
tingkatan model seperti ini yang berilmu agama, tetapi bodoh dengan kehidupan

Lihatlah! Siapakah sesungguhnya para pencela ulama Ahlus Sunnah? Dia dan pengikutnya
ataukah para pemuda Salafiyyin yang melaporkan ucapannya kepada para ulama, yang justru
menyebabkan dia mengetahui kesalahannya ?
Sesungguhnya sikap para penganjur fiqhul waqi’ atau shifatul ‘ashr terhadap para ulama Ahlus
Sunnah sangat mirip dengan ahlul kalam dan mantiq yang mengatakan bahwa ulama Ahlul
Hadits adalah hasyawiyyah (dangkal ilmu)-nya dan orang-orang rendahan.
Sangat mirip pula dengan kaum sufi yang mengatakan bahwa ulama Ahlus Sunnah tidak
mengetahui kecuali qusyur (syariat), sementara kaum sufi sudah mencapai tingkat hakikat atau
ma’rifat.
Sangat mirip pula dengan kaum nasionalis dan tokoh-tokoh modernis yang mengatakan bahwa
ulama Ahlus Sunnah adalah raj’iyyah (terkebelakang).
Kemudian Syaikh Rabi’ berkata dalam masalah ini : “Dan pada hari ini datang ulama waqi’ yang
meninggikan fiqhul waqi’ dan melingkupi diri mereka sendiri dengan kebesaran fiqh ini.
Sebagian mereka menamakan ilmu para ulama Ahlus Sunnah dengan qusyur, sebagian yang lain
menggelari mereka dengan al ‘almanah dan sebagian yang lain menjuluki mereka dengan
mummi serta yang lain menamakan mereka sebagai para pegawai atau spionase.
Oleh sebab itu fitnah mereka lebih berbahaya bagi Islam dan kaum Muslimin daripada ahlul
kalam dan mantiq, sufi dan nasionalis.
Jika para penganjur fiqhul waqi’ itu menginginkan kebaikan bagi umat, hendaklah mereka
mengumumkan taubat mereka dari ghuluw atau berlebih-lebihan pada fiqhul waqi’ yang mereka
anggap sebagai fardhu ‘ain, yang terpenting, dan sebesar-besar ilmu. Dan hendaklah mereka
mengangkat kedudukan ulama syariat tersebut yang dipuji oleh Allah dan Rasul-Nya. (Jama’ah
Wahidah halaman 47)

3. Kitab Masyru’iyyatul ‘Amal Jama’i

Buku ini secara global mencakup tiga pembahasan sebagai berikut :

• Disyariatkannya ‘amal jama’i


• Pembelaan terhadap jama’ah-jama’ah hizbiyah
• Ucapan dusta terhadap ulama Ahlus Sunnah dan Salafiyin

Disyariatkannya ‘amal jama’i


Tentang masalah disyariatkannya ‘amal jama’i, kita tidak mengingkarinya. Kita tidak pernah
mendapati seorang pun dari kalangan Salafiyyin yang mengharamkan ‘amal jama’i yang
memang disyariatkan. Namun kita lebih mengenalnya dengan sebutan ta’awun syar’i. Hal ini
terbukti dengan adanya organisasi-organisasi, yayasan-yayasan, universitas-universitas, rumah-
rumah sakit, yang dibentuk dan dikelola oleh Salafiyyin yang semuanya merupakan ‘amal jama’i
yang disyariatkan. Tetapi kalau yang dimaksud adalah jama’ah-jama’ah hizbiyah dengan
membaiat seorang imam dan sebagainya tentu hal tersebut tidak disyariatkan sama sekali.Ini
merupakan contoh berikutnya dari metode dakwah Sururiyyah Ikhwaniyyah yaitu menggunakan
dalil-dalil tentang disyariatkannya ta’awun syar’i, namun dibelokkan kepada bolehnya
membentuk aliran atau jamaah-jamaah hizbiyyah.
Pembelaan Terhadap Jama’ah-Jama’ah Hizbiyah
Sedangkan tentang perkara kedua yaitu pembelaan terhadap jama’ah-jama’ah hizbiyah terutama
Jamaah Tabligh dan Ikhwanul Muslimin, dia (Abdurrahman Abdul Khaliq) menjelaskan
keutamaan mereka secara berlebihan dengan perkataannya : “Tidaklah setiap kita merasa bangga
pada hari ini dengan pemuda-pemuda Muslim yang kembali kepada kita dari negeri-negeri Barat
seperti Amerika dan Eropa dengan menyandang ilmu pengetahuan umum, disamping juga telah
mengambil ilmu dien berlipat kali lebih banyak daripada apa yang dibawa oleh seorang
yang keluar dari universitas Islam di pusat negeri Islam. Bahkan mereka membawa
akhlak dan pemahaman yang berlipat kali lebih baik daripada apa yang dibawa oleh
orang yang dididik di tempat kita. Tidakkah kita merasa bangga dengan pemuda-pemuda
seperti mereka yang kembali dari negeri-negeri kafir dan telah melewati fitnah (ujian) berupa
kerusakan dan pengrusakan. Mereka telah menang terhadap fitnah dengan segala bentuknya.
Saya bertanya kepada ‘orang-orang yang berfatwa tanpa ilmu’ : ‘Bukankah para pemuda
tersebut merupakan buah dari usaha jama’ah-jama’ah dakwah yang teratur rapi yang
memiliki amir (pemimpin), pembimbing, peraturan, pendanaan, serta aktifitas yang terlatih?”
(Masru’iyyatul ‘Amal Jama’i, halaman 29). Syaikh Rabi’ berkata : “Ucapan ini sangat perlu
ditinjau kembali : Dimana mereka (pemuda-pemuda tadi)? Kami ingin belajar dari mereka
tentang agama kami dan belajar akhlak Islam. Di mana mereka bersuara? Kami tidak melihat
pengaruhnya terhadap kemajuan teknologi di negeri Islam! Mengapa tidak cukup (belajar)
dengan mereka saja daripada harus mengirim ribuan orang ke Eropa dan Amerika? (Jama’ah
Wahidah halaman 74)
Abdurrahman Abdul Khaliq berkata pula : “ … Kalau saja urusan Allah diserahkan kepada
‘mereka’, tentu tidaklah akan tersisa pada Dien kita satu urat pun yang hidup, tidak pula ada satu
pelita yang menerangi. Akan tetapi Allah telah memilih dan selalu akan memilih bagi setiap
masa orang-orang yang menegakkan dien-Nya dan tidak takut terhadap celaan orang-orang yang
mencela. Merekalah yang telah dipilih oleh Allah karena hasil usaha yang ikhlas dan ‘amal yang
terus-menerus ditegakkan oleh jama’ah-jama’ah dakwah di setiap tempat di seluruh penjuru
alam.” Berkata Syaikh Rabi’ : “Sesungguhnya ucapan ini memberikan pengertian bahwa
Jama’ah Tabligh dan Ikhwanul Muslimin adalah thaifah manshurah dan firqah najiyah. Dan juga
memberikan pengertian bahwa aqidah dan pengamalan mereka yang sudah kita singgung tadi
adalah haq. Hal ini sangat berbahaya!” (Jama’ah Wahidah halaman 75)
Adapun ucapan beliau (Syaikh Rabi’) sebelumnya tentang Jama’ah Tabligh dan Ikhwanul
Muslimin adalah ketika Abdurrahman mengingkari bahwa kedua kelompok tadi adalah firqah
yang memecah belah umat dalam bukunya Masru’iyatul ‘Amal Jama’i halaman 5-6. Syaikh
Rabi’ berkata kepadanya : “Kami menanyakan kepadanya apakah Jama’ah Tabligh tegak di atas
apa yang telah dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan para shahabatnya dan
sesuai dengan apa yang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam batasi sebagai firqah yang
selamat diantara firqah-firqah yang binasa…”
Apakah Jama’ah Tabligh dengan thariqat Ad Diyabandi-nya mengajarkan di Madrasah
(halaqah) mereka tauhid dengan manhaj Salafus Shalih, seperti kitab As Sunnah oleh Al Lalikai,
Al Ibanah oleh Ibnu Bathah, Aqidah Wasithiyah, Al Hamawiyah ataupun At Tadmuriyah ?
Apakah mereka mencintai buku-buku tersebut dan para penulisnya, menasehatkan manusia
untuk mempelajarinya? Atau sebaliknya mereka justru memerangi buku-buku tersebut dan
penulisnya, membuangnya, serta menuduh para penulisnya dengan tuduhan kesesatan, kemudian
menetapkan buku-buku bid’ah seperti An Nisfiyyah, Al Muyasirah, buku-buku Ar Razi dan
buku-buku aqidah lainnya seperti Maturidiyah, Asy’ariyah, dan Jahmiyah?
Apakah dalam masalah tauhid ibadah mereka menetapkan kitab tauhid dan syarah-syarahnya?
Kitab tawassul dan wasilah, bantahan kepada Al Bakri, Ighatsatul Lahfan dan yang semisalnya?
Atau apakah mereka justru memerangi buku-buku tersebut dan para penulisnya, kemudian
mengajarkan buku-buku ilmu kalam, mantiq, filsafat, dan buku-buku tasawwuf yang syirik?!
Apakah mereka mencintai Ahlul Hadits, para muwahhidin (yang bertauhid) karena mereka
bertauhid, memerangi syirik, dan menolak sikap ta’thil (penolakan sifat bagi Allah)?!
Apakah mereka mencintai Ahlus Sunnah yang berpegang dengan Kitabullah dan Sunnah
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam atau membencinya?!
Terakhir, disamping bencana-bencana di atas mereka juga berbaiat kepada empat thariqat sufi
yaitu : An Naqsyabandiyah, As Sahrurdiyah, Al Jistiyah, dan Al Qadiriyah. Padahal di
dalam thariqat-thariqat tersebut terdapat aqidah al hulul (seluruh makhluk merupakan
penjelmaan Allah) dan wihdatul wujud (keyakinan bersatunya Allah dengan hamba-Nya) dan
juga keyakinan bahwa para wali (yang sudah mati) dapat berpengaruh pada alam ini. Pegangan
mereka adalah kitab Tablighi Nishab (manhaj Tabligh) yang penuh dengan aqidah sesat dan
hadits-hadits palsu. Bersamaan dengan ini semua mereka berpaham Murji’ah. Semua perkara-
perkara di atas telah melebihi mutawatir. (Jamaah Wahidah halaman 56. Untuk lebih jelasnya
lihat buku Al Qaulul Baligh oleh Syaikh At Tuwaijiri)
Apakah kelompok seperti mereka dapat dikatakan Ahlus Sunnah?
Kemudian Syaikh Rabi’ mengatakan tentang Ikhwanul Muslimin : “Adapun tentang Ikhwanul
Muslimin, mereka sama halnya dengan Jamaah Tabligh dalam seluruh bencana-bencana di atas
ditambah lagi masuknya Rafidlah, Khawarij, bahkan Nashara dalam jamaah mereka. Juga
ucapan mereka tentang berbilangnya agama dan persaudaraan antar agama.
Doktor At Turabi –penentu kebijaksanaan mereka– telah mengajak dalam salah satu muktamar
yang diadakan di Sudan kepada persatuan agama. (Lihat Shahifah As Sudan Al Hadits nomor
1202 tanggal 29 April 1993)
Hasan Makky, salah satu tokoh Ikhwanul Muslimin yang paling menonjol, juga mengajak untuk
menegakkan partai Ibrahimy yang merupakan partai gabungan antara Yahudi, Nashara, dan
Muslimin. (Lihat Majalah Al Multaqa nomor 4)
Berkata pula Qardlawi tentang kebolehan berbilangnya agama dan bahwasanya kehidupan ini
memungkinkan untuk lebih dari satu agama. Setelah dia mengkaburkan perselisihan antar firqah-
firqah termasuk di dalamnya Rafidlah dengan kaidah mereka yang sesat : “Kita tolong-menolong
dalam hal yang kita sepakati, dan saling toleransi pada apa yang kita perselisihkan.” Inilah sikap
tengah (menurutnya, pent.). Sependapat dengannya dalam hal ini adalah Ghazali, At Turabi, dan
Huwaidi. Mereka menamakan pandangan ini dengan ruh Islam. (Lihat Majalah Al Mujtama’
nomor 1118 tanggal 21 Rabi’ul Akhir 1415 H)
Pada syubhat yang dilontarkan oleh Ikhwanul Muslimin, mereka menetapkan sikap terhadap
selain kaum Muslimin. Mereka berbicara tentangnya dengan nama Islam dan berlepas diri dari
kelompok yang menyelisihi mereka. Mereka menjelaskan dengan ucapan mereka : “Ikhwanul
Muslimin berpendapat bahwa manusia seluruhnya adalah pembawa-pembawa kebaikan yang
mampu memikul amanat. Sikap kita terhadap saudara-saudara kita dari kalangan Masihiyin
(Kristen) di Mesir dan dunia Arab adalah sikap yang jelas, terdahulu, dan ma’ruf yaitu : ‘Bagi
mereka apa yang bagi kita, dan atas mereka apa yang atas kita.’ Mereka adalah sekutu-sekutu
dan saudara dalam pembelaan negara yang panjang. Untuk mereka semua hak-hak warga negara,
baik segi materiil maupun moril, budaya maupun politik. Berbuat baik dan bekerja sama dengan
mereka dalam kebaikan merupakan kewajiban-kewajiban Islam. Seorang Muslim tidak boleh
meremehkan dan menyepelekan untuk menempatkan dirinya dalam hukum-hukum tersebut.
Barangsiapa yang mengucapkan selain ini atau berbuat selain ini, maka kami berlepas diri dari
ucapan dan perbuatan mereka.” (Lihat Majalah Al Mujtama’ nomor 1149 tanggal 9 Dzulhijjah
1415 H)
Pembicaraan tentang muktamar-muktamar persatuan agama dan diskusi antar agama yang sangat
panjang merupakan perkara-perkara yang sangat jelas dan mutawatir. Mereka secara terang-
terangan menjelaskan hal tersebut di dakam buku-buku, buletin-buletin, majalah-majalah
mereka, dan di dalam press rilis mereka.
Apakah boleh bagi seorang yang memberikan nasehat bagi dirinya dan bagi Islam untuk
membela mereka, dan senantiasa menggolongkan mereka pada Ahlus Sunnah wal Jamaah !?

4. Ucapan Abdurrahman Abdul Khaliq Terhadap Ulama dan Salafiyyin

Kalau kita perhatikan ucapan Abdurrahman Abdul Khaliq di atas terdapat ucapan : “ … saya
bertanya kepada ‘orang-orang yang berfatwa tanpa ilmu’ … .” dan kalimat “ … kalau saja
urusan Allah diserahkan kepada ‘mereka’, tentu tidaklah akan tersisa pada dien kita satu urat
pun yang hidup, tidak pula ada satu pelita yang menerangi … .” Siapakah yang dimaksud
sesungguhnya?
Akan tampak dengan jelas siapa yang dimaksudkan oleh Abdurrahman, jika kita menukil ucapan
sebelumnya di halaman 5 dalam Muqadimah : “Wa Ba’du, sesungguhnya aku mendengar
beberapa saudara dari para pencari ilmu dan ulama, demikian pula beberapa orang yang
menasabkan kepada ilmu dan mengaku ulama –padahal tidak demikian, bahwa jihad jama’i
tidak boleh kecuali dengan imam ‘am (imam bagi seluruh kaum Muslimin). Dan sesungguhnya
setiap jamaah yang didirikan dalam rangka jihad, dakwah, atau amalan dari amal-amal
kebaikan dengan dorongan pribadi dari masing-masing mereka, maka itu bukan jamaah yang
disyariatkan. Mereka juga mengatakan : “Sesungguhnya jamaah dakwah Islam yang tegak di
dunia ini, timur dan baratnya seperti Jamaah Salafiyah, Jamaah Tabligh, Jamaah Ikhwanunl
Muslimin, dan lain-lain itu adalah jamaah firqah dan memecah belah dan tidak boleh
mendirikannya dan akhirnya amalnya tidak disyari’atkan ….”
Dan terus dia mengucapkan tuduhan-tuduhan pada ulama-ulama dan para pelajar tersebut,
sampai dia mengatakan : “Ketika aku melihat kebanyakan dari anak-anak kaum Muslimin dan
pemuda-pemuda mereka tertipu dengan fatwa-fatwa yang bathil ini dan ucapan yang
sembarangan yang tidak bersandarkan dengan ilmu dan akal. Maka aku suka dengan apa yang
Allah wajibkan atasku untuk menjelaskan dan tidak menyembunyikan ilmu untuk menulis
risalah ini … .” (Masyru’iyatul ‘Amal Jama’i halaman 5-6)
Dari ucapannya di atas terkandung dua tuduhan terhadap para ulama dan pelajar :
1. Mereka dianggap tidak membolehkan jihad jama’i, kecuali dengan imam ‘am. Yang berarti
dia menuduh mereka melarang segala bentuk jihad karena belum ada imam.
2. Mereka menganggap jamaah-jamaah tersebut jamaah firqah dan pemecah belah.
Adapun yang pertama, kita menuntut di atas ucapan dan tuduhannya, apalagi terhadap para
ulama secara umum, siapakah yang dimaksud !?
Adapun yang kedua, dia telah mengakui kesalahannya dan ruju’ daripadanya serta mengucapkan
apa yang diucapkan oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz pada point ke-5 yaitu
melarang kaum Muslimin untuk berpecah-belah dalam jamaah-jamaah hizbiyyah.
Kita kembali kepada pertanyaan di atas : “Siapakah yang dimaksud dengan kata-kata
Abdurrahman : ‘Orang-orang yang berfatwa tanpa ilmu’?”
Dengan ucapan Abdur Rahman Abdul Khaliq dalam mukadimahnya bisa kita pahami bahwa
mereka tidak lain adalah para ulama Ahlus Sunnah yang membantah jamaah-jamaah
hizbiyyah. Yang mana Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz pun membantahnya.

5. Buku “Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah wal ‘Amal Jama’i”

Buku ini dia tulis untuk menjadikan perbuatan Ibnu Taimiyah sebagai dalil bolehnya membentuk
jamaah-jamaah hizbiyyah. Padahal tidak ada pada buku ini hujjah apapun bagi Abdurrahman
Abdul Khaliq menetapkan perkara ini, karena sama sekali tidak benar pendalilannya dengan
perbuatan Ibnu Taimiyah dan perannya dalam jihad, kecuali kalau didapati secara tsabit bahwa
Ibnu Taimiyah mengajak untuk memecah-belah umat menjadi berpartai-partai dan jamaah-
jamaah hizbiyyah.
Diantara ucapannya adalah ketika mengisahkan ajakan Syaikhul Islam untuk memerangi bangsa
Tartar : “Pada kejadian ini terdapat pelajaran besar dan tinggi terhadap orang-orang yang
berjalan di atas manhaj khawarij di setiap jamannya yang menjadikan permusuhan mereka
seluruhnya kepada Ahlus Sunnah wal Jamaah, mereka mengambil dari Ahlus Sunnah kesalahan
kecil atau ketergelinciran, kemudian mengerahkan pasukan berkuda kepada mereka (Ahlus
Sunnah) dan membiarkan orang-orang kafir dan munafik. Benarlah ucapan Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam ketika berkata :
“Membunuh kaum Muslimin dan membiarkan penyembah-penyembah berhala.”
Apakah mereka para pencela, pencaci, orang-orang yang memusuhi para ulama umat Islam yang
kurang ajar kepada mereka dengan tangan dan mulutnya tidak mengetahui dan tidak mengambil
pelajaran dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan siapa-siapa di atas jalannya dari Ahlus Sunnah
wal Jamaah yang sebenar-benarnya, yang mereka itu berwala’ kepada Ahlul Islam dan
menjadikan permusuhannya hanya kepada orang-orang kafir?”
Berkata Syaikh Rabi’ hafidhahullah mengomentari hal ini : “Pada siapa yang engkau maksudkan
nasehat ini? Apakah kepada orang-orang yang memerangi manhaj Salaf dan pengikut-pengikut
Salaf dengan kedustaan-kedustaan yang dibuat-buat?!
Kalau yang engkau maksudkan mereka, maka sesungguhnya mereka memang memusuhi Ahlus
Sunnah dan berarti kita tidak mendhalimi mereka. Memang permusuhan mereka seluruhnya
adalah kepada Ahlus Sunnah wal Jamaah dan juga kepada orang-orang kafir. Akan tetapi
permusuhan mereka kepada Ahlus Sunnah adalah lebih besar dibandingkan permusuhannya
kepada orang-orang kafir. Kedustaan mereka atas Ahlus Sunnah dan manhaj mereka kadang-
kadang lebih daripada kedustaan mereka terhadap orang-orang kafir.
Kebanyakan dari jamaah-jamaah tersebut adalah golongan takfiri (yang mengkafirkan kaum
Muslimin) dan berjalan di atas jalan Khawarij, mengkafirkan kaum Muslimin dan membunuh
mereka, khususnya Salafiyin, sebagaimana yang terjadi di Kunar dan yang terjadi hari ini di
beberapa negeri kaum Muslimin.
Kalau yang engkau maksudkan adalah mereka itu, maka kita menerima. Tapi kalau yang engkau
maksudkan adalah Salafiyyin Ahlus Sunnah wal Jamaah, maka ini adalah perkara yang sangat
berbahaya dan dhalim, karena berarti dia telah meletakkan sesuatu yang besar tidak pada
tempatnya dan melarikan dari tempatnya yang semestinya.
Yang rajih (lebih kuat) adalah bahwa yang engkau maksudkan adalah Salafiyyin secara dhalim
sesuai dengan tujuan engkau menulis buku ini dan sesuai dengan pembahasan-pembahasan yang
lain dari buku-buku dan sikapmu. (Sebagaimana telah dibahas pada buku-buku sebelumnya -
pent., lihat Jamaah Wahidah halaman 78)
Sedangkan ucapanmu : “Apakah mereka para pencela, pencaci, yang memusuhi ulama-ulama
umat Islam yang kurang ajar pada mereka dengan tangan lisannya … .” Siapakah yang
dimaksud?
Apakah yang mencela ulama-ulama Madinah dengan pimpinanya Syaikh Al Imam Muhammad
Amin Asy Syinqithi dengan julukan ‘cetakan lama’, ‘Salafi taqlid’, ‘muhannathin yang
hidup dengan jasad-jasad mereka di jaman ini, tapi hidup dengan akal-akal mereka di
masa lampau’, dan lain-lain dari julukan yang dituduhkan kepada para ulama Ahlus Sunnah
yang mendakwahkan tauhid dan sunnah?
Apakah harakiyyun yang menamakan Syaikh bin Baaz dan para ulama di Saudi dengan
‘pegawai’, ‘spionase’, ‘yang hanya mengerti qusyur (kulit) Islam’, ‘ulama haid dan nifas’
atau seperti yang diucapkan oleh Muhammad Surur : “Budak dari budak dari budak dari
budak dan tuan mereka yang terakhir Nashrani.”
Atau apakah yang dimaksud adalah buku-buku ‘Al Kautsariyyin’ yang penuh celaan terhadap
Ahlus Sunnah.
Berkata Syaikh Rabi’ : “Jangan engkau berpura-pura bodoh dengan apa yang ditulis oleh
Muhammad Al Ghazali dalam beberapa kitabnya dari celaan dan pengkaburan terhadap Ahlus
Sunnah dan Ahlul Hadits yang dulu dan sekarang. Jangan pula kau lupa dengan apa yang ditulis
oleh At Tilmitsani terhadap Ahlus Sunnah dengan menjelekkan dan mencela mereka.
Jangan lupa dengan apa yang ditulis oleh Said Ramadhan Al Buthi, Said Hawwa, Abu
Ghaddah, ‘Izzudin Ibrahim, dan seluruh tokoh-tokoh ikhwani yang memuji Rafidlah (Syi’ah)
dan apa yang ditebarkan oleh tokoh-tokoh Quthbiyyah dari fitnah-fitnah dan gerakan-gerakan
pencelaan yang dhalim dan kebohongan-kebohongan yang dibuat-buat terhadap Ahlus Sunnah.
Jangan lupa pula apa yang ditulis oleh Sayyid Quthub dan celaannya terhadap para shahabat
serta pengkafirannya terhadap Bani Umayyah, khususnya atas khalifah yang lurus Utsman bin
Affan radhiyallahu ‘anhu dengan menjatuhkan kekhilafahannya dan anggapannya bahwa ruh
dan dasar-dasar Islam telah runtuh di jamannya serta pengunggulannya bagi murid-murid Ibnu
Saba’ atasnya (Utsman bin Affan).
Jangan lupa pula terhadap tulisan mufti Oman dan celaannya terhadap Ahlus Sunnah yang
sebenarnya, dan celaannya terhadap shahabat bersama persaksiannya terhadap celaan Sayyid
Quthub dan Maududi (dalam bukunya Khilafah dan Kerajaan, pent.).
Terakhir, jangan lupa dengan serangan Muhammad Alwi Al Maliki, Abdullah Shiddiq Al
Gumari dan As Saqqaf terhadap Ahlus Sunnah. Dan juga serangan Ad Diobandiyyin tokoh-
tokoh jamaah (terhadap Ahlus Sunnah).
Kalau engkau merasa sakit dan gelisah dengan celaan-celaan yang dhalim dan jahat terhadap
Ahlus Sunnah tersebut, maka berarti engkau berada di atas kebenaran. (Lihat ciri-ciri Ahlus
Sunnah dalam Mukadimah halaman 19)
Tetapi sangat disayangkan, engkau jauh dari apa yang saya sebutkan tadi. Dan sesungguhnya
yang engkau inginkan (dengan ucapanmu) adalah Salafiyin. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un.
(Jamaah Wahidah halaman 80)
Kalau Abdurrahman Abdul Khaliq memaksudkan dengan ucapannya adalah Salafiyin, maka
siapakah yang dia maksudkan dengan ulama yang mereka cela? Ulama Ahlus Sunnah atau ahlul
bid’ah? Jawabannya kita serahkan kepada Abdurahman Abdul Khaliq, para muridnya dan para
pembaca.
Perhatikan ucapan di atas : “Apakah mereka tidak mengambil pelajaran dari Syaikhul Islam dan
orang-orang yang di atas jalannya dari Ahlus Sunnah wal Jamaah yang benar, yang mereka ber-
wala’ kepada Ahlul Islam dan menjadikan permusuhan mereka hanya kepada orang-orang
kafir?”
Kita tidak yakin kalau dia sedang menasehati jamaah-jamaah hizbiyyah yang memerangi kaum
Muslimin di Kunar dan mempersaudarakan agama-agama samawi, karena dia menulis buku-
bukunya justru dalam rangka membelanya dari bantahan dan nasehat Salafiyun kepada mereka.
Adapun Salafiyun, mereka menyambut gembira manhaj Salaf dan Syaikhul Islam serta orang-
orang yang berada di atas jalannya dari kalangan Ahlus Sunnah. Tetapi … apakah berarti dengan
berhenti membantah ahlul bid’ah?!
Kita dengar jawaban Syaikh Rabi’ tentang hal ini : “Salafiyun akan berkata : ‘Marhaban (selamat
datang) manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah yang sebenarnya. Karena sesungguhnya mereka tidak
menginginkan pengganti selain itu. Diantara dasar-dasar manhaj ini adalah sabda Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
“Tidak seorang nabi pun yang Allah utus pada satu umat sebelumku, kecuali memiliki dari
umatnya para penolong shahabat-shahabat yang mengambil sunnahnya dan mengikuti
perintahnya. Kemudian sesungguhnya akan datang setelah mereka generasi yang mengucapkan
apa-apa yang tidak mereka kerjakan dan mengerjakan apa-apa yang tidak diperintahkan.
Barangsiapa memerangi (jihad) mereka dengan tangannya maka dia mukmin, barangsiapa
memerangi mereka dengan lisannya maka dia mukmin, dan barangsiapa memerangi mereka
dengan hatinya maka dia mukmin … .” (HR. Muslim dalam Kitab Al Iman hadits nomor 80
juz I halaman 69-70)
Dan firman Allah :
ِ •Eْ —َ CDْ ِb َ‫•ُون‬Yُ ْ€َF ‫س‬D
ِ ‫ِ ﱠ‬b َ‫ن‬Sُ_Yِ •ْ ُF‫ ُ— ْ_ َ– ِ• َو‬C‫ َِ~ ْا‬l َ‫ْ ن‬Sَ|_ْ Fَ ‫ُوف َو‬
’D ْ jَ •ِ ›ْ ُ‫ أ‬Wٍ Y‫ َْ• أُ ﱠ‬r َ› {ْ ُi_ْ \ُ
ِ ‫_ﱠ‬sِC š
“Kalian adalah umat terbaik yang dikeluarkan untuk manusia. Kalian memerintahkan yang
ma’ruf dan melarang yang mungkar dan kalian beriman kepada Allah … .” (Ali Imran : 110)
Sedangkan bid’ah, apalagi syirik dan kekufuran termasuk dalam kemungkaran tersebut. Adapun
ma’ruf yang paling puncak adalah tauhid. Akan tetapi Salafiyin tidak mengkafirkan seseorang
kecuali setelah ditegakkan hujjah.
Ingatlah bagaimana Umar memukul Shabiegh dan mengasingkannya.
Ingatlah bagaimana Ibnu Umar berlepas diri dari Qadariyyah.
Ingatlah pembunuhan yang dilakukan Ali dan para shahabat terhadap khawarij dengan perintah
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Banyak hadits-hadits dalam masalah ini yang diriwayatkan
oleh para imam diantaranya Imam Bukhari dan Muslim.
Ingatlah pula sikap Ibnu Mas’ud dan Abu Musa terhadap halaqah-halaqah dzikir dan orang-
orang yang bertasbih dengan kerikil.
Bacalah kitab Khalqu Af’ali ‘Ibad oleh Bukhari, kitab As Sunnah oleh Abdullah bin Ahmad, As
Sunnah oleh Al Khallal yang disusun di dalamnya ucapan-ucapan Imam Ahmad dan ulama
Salaf.
Baca pula Asy Syari’ah oleh Al Ajurri, Syarah Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah oleh Al Lalikai, dua
kitab Ibanah oleh Ibnu Baththah (Kubra dan Shugra), Ushul I’tiqad oleh Abu Hatim dan Abu
Zur’ah dan kitab Tauhid oleh Ibnu Khuzaimah, Mukadimah Syarhus Sunnah oleh Al Baghawi
dan banyak lagi yang lainnya.
Baca pula kitab-kitab Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim dan Ibnu Abdul Wahhab dengan tolok
ukur Salafi jangan dengan tolok ukur keuntungan politik dan perasaan semata.
Engkau akan dapatkan bahwa Salafiyun telah mengambil manhaj sunni Salafi yang hakiki ini.
Aku ingin memberikan untukmu hadiah yang berharga yang dimiliki oleh Ahlus Sunnah yang
merupakan ‘petir’ bagi ahlul bid’ah dan para pembelanya.
Al Baghawi dalam Mukadimah Syarhus Sunnah bab Mujanabatu Ahlil Ahwa’ (Menjauhkan
Ahlul Ahwa/Ahlul Bid’ah) membawakan ayat-ayat, hadits-hadits, dan atsar-atsar di dalam bab
ini tentang celaan terhadap ahlul bid’ah. Didalamnya terhadap banyak nukilan diantaranya
pengkafiran dan penyesatan (menganggap sesat) terhadap beberapa ahlul bid’ah (seperti Rafidlah
dan Jahmiyah, pent.) … hingga dia berkata :
“Telah berlalu para shahabat, tabi’in, para pengikut mereka, dan ulama-ulama sunnah atas
yang demikian, bersatu dan bersepakat atas permusuhan dan pemboikotan terhadap ahlul
bid’ah.” (Syarhus Sunnah juz I halaman 227)
Demikianlah Al Baghawi menyebutkan kepada kita bahwa para shahabat, tabi’in, dan tabi’ut
tabi’in bersatu dan sepakat atas permusuhan terhadap ahlul bid’ah dan pemboikotan mereka.
Maka apakah engkau (wahai Abdurrahman Abdul Khaliq) menerima nasehat ini dan percaya
dengan nukilan ini sebagaimana Salafiyin menerima dan membenarkannya?!” (Jamaah
Wahidah halaman 80-82)
Dia (Abdurrahman Abdul Khaliq) juga menyandarkan pendapatnya kepada Syaikhul Islam
bahwa kita hanya memusuhi orang-orang kafir.
Maka bandingkanlah dengan ucapan Syaikhul Islam berikut :
“Seorang yang membantah ahlul bid’ah adalah mujahid, hingga Yahya bin Yahya berkata :
‘Pembelaan terhadap sunnah lebih baik daripada jihad’.” (Naqdul Mantiq halaman 12)
Kita katakan layakkah para pembela Ahlus Sunnah yang membantah ahlul bid’ah dijuluki
dengan pencela, pencaci, kotor mulutnya dan lain-lain?! Atau apakah mereka pantas dikatakan
mencela para ulama?!
Lihatlah pula ucapan Syaikhul Islam yang lain, yaitu beliau rahimahullah berkata setelah
menjelaskan secara ringkas siapa yang boleh di-jarh (dicela) dan yang boleh diterangkan
keadaannya, bahkan dianggap sebagai nasehat : “Nasehat wajib dalam maslahat-maslahat dien
yang khusus dan yang umum, seperti :
Para penukil-penukil hadits yang keliru atau berdusta. Sebagaimana dikatakan oleh Yahya bin
Said : “Saya bertanya kepada Imam Malik, Ats Tsauri, Al Laits Ibnu Sa’ad, dan aku kira juga Al
Auza’i tentang seseorang yang tertuduh dalam masalah hadits dan tidak hapal? Mereka semua
menjawab : “Terangkan keadaannya!”
Berkata sebagian mereka kepada Imam Ahmad Ibnu Hambal : “Berat atasku untuk
mengatakan fulan seperti ini, fulan seperti itu?” Maka berkata Imam Ahmad : “Kalau engkau
diam dan aku diam, maka kapan seorang bodoh akan tahu yang shahih.”
Para tokoh ahlul bid’ah dari golongan yang memiliki ucapan-ucapa yang menyelisihi Al Kitab
dan As Sunnah, juga ahlul ibadah yang menyelisihi Al Kitab dan As Sunnah.
Maka sesungguhnya menjelaskan keadaan mereka dan memperingatkan umat dari mereka adalah
wajib dengan kesepakatan kaum Muslimin. Hingga dikatakan kepada Imam Ahmad : “(Apakah)
seseorang berpuasa , shalat, i’tikaf, maka hanya untuk dirinya, sedangkan jika dia berbicara
terhadap ahlul bid’ah, maka itu untuk kaum Muslimin. Inilah yang lebih afdhal.”
Maka ketika manfaatnya umum bagi kaum Muslimin dalam dien mereka, dia termasuk jihad fi
sabilillah. Karena pembersihan jalan Allah, dien, manhaj, dan Syari’at-Nya serta penolakan
terhadap penyelewengan mereka (ahlul bid’ah) dan permusuhan terhadap mereka adalah wajib
kifayah dengan kesepakatan kaum Muslimin.
Kalaulah tidak ada orang-orang yang Allah tegakkan untuk menolak kejelekan-kejelekan
mereka, maka akan rusaklah dien dan kerusakan ini lebih besar daripada rusaknya penjajahan
musuh yang memerangi. Karena jika mereka menguasai/menjajah tidak akan merusak hati dan
apa yang ada di dalamnya dari dien secara langsung, tetapi tunduk (lahiriahnya). Adapun mereka
(ahlul bid’ah) merusak hati secara langsung. (Majmu’ur Rasail wal Masail 5/110)
Adapun masalah jihad Syaikhul Islam terhadap Tartar, sesungguhnya Ibnu Taimiyah dalam
memerangi Tartar bertitik-tolak dari tauhid dan yang membawa benderanya adalah ahli tauhid.
Lain halnya ketika bendera jihad berada di tangan quburiyyin (para penyembah kubur), maka
tidak mereka mendapatkan bagian kecuali kekalahan.
Berkata Syaikhul Islam rahimahullah ketika membantah istighatsah (mengadu), isti’anah
(meminta pertoloongan), dan isti’adzah (meminta perlindungan) kepada selain Allah, serta
menjelaskan bahwasannya perbuatan itu syirik sebagai berikut :
“ … hingga ketika musuh yang keluar dari syari’at Islam datang ke Damaskus mereka ber-
istighatsah dengan orang-orang mati di kuburan-kuburan, yang mereka mengharapkan dari
sisinya agar hilangnya bahaya. Berkatalah beberapa penyair :
Wahai orang-orang yang takut dari Tartar
Berlindunglah dengan kubur Abi Umar
Atau berkata :
Berlindunglah kalian dengan kubur Abi Umar
Dia akan menyelamatkan kalian dari setiap dlarar
Aku (Syaikhul Islam) katakan kepada mereka : “Mereka yang kalian ber-istighatsah (mengadu)
kepadanya kalaupun mereka bersama kalian dalam peperangan, mereka pun akan kalah
sebagaimana kalahnya kaum Muslimin di perang Uhud. Karena sesungguhnya telah ditetapkan
(oleh Allah) bahwa tentara akan terpecah (kalah) karena sebab-sebab yang mengharuskan
demikian. Dan ini karena hikmah Allah padanya.
Oleh karena itu, orang-orang yang memiliki pemahaman dan pengertian terhadap dien yang baik
tidak mau ikut berperang pada saat itu karena tidak adanya peperangan yang syar’i yang Allah
dan Rasul-Nya perintahkan dan karena peperangan (semacam itu) hanya akan menghasilkan
fasad (kerusakan) dan tidak turunnya pertolongan yang dibutuhkan. Maka tidak ada padanya
balasan dunia, tidak pula pahala akhirat, bagi siapa yang mengerti ini dan itu (mengerti kesesatan
kedua belah pihak, pent.). Walaupun kebanyakan orang meyakini bahwa itu adalah jihad syar’i,
adapun niatnya diserahkan pada hati mereka.
Ketika setelah itu mulailah kami mengajak manusia untuk mengikhlaskan dien hanya untuk
Allah Azza wa Jalla dan beristighatsah kepada-Nya dan agar tidak ber-istighatsah kepada selain-
Nya. Tidak beristighatsah kepada Malaikat yang didekatkan, tidak pula kepada Nabi yang diutus.
Sebagaimana ucapan Allah Subhanahu wa Ta’ala pada saat peperangan Badr.
َ •ََ iLْ Dَ^ {ْ –ُ ‫ﱠ‬b‫نَ َر‬Sُar‚ِ َiqْ َF ‫إِ ْذ‬
{ْ –ُ Cَ ‫ب‬D
“Dan ingatlah ketika kalian ber-istighatsah kepada Rabb kalian, lalu diperkenankan-Nya
bagimu … .” (Al Anfal : 9)
Ketika manusia sudah memperbaiki keadaan mereka dan jujur, beristighatsah kepada Rabb-nya,
Allah menolong dari musuh-musuh mereka dengan pertolongan yang besar, sehingga kalahlah
Tartar dengan kekalahan yang tidak pernah terjadi pada saat itu.
Hal demikian dikarenakan benarnya perwujudan tauhidullah dan ketaatan kepada Rasulullah,
yang sebelumnya mereka tidak seperti itu. Sesungguhnya Allah menolong Rasul-Nya dan orang-
orang yang beriman di kehidupan dunia dan pada hari persaksian.” (Kitab Radd Alal Bakri
halaman 377-379. Lihat Jamaah Wahidah halaman 88)
Setelah menukil ucapan Syaikhul Islam di atas, Syaikh Rabi’ berkata : “Semoga Syaikh
Abdurrahman Abdul Khaliq masih ingat dan belum lupa sikap jamaah-jamaah Islamiyah
(hizbiyyah, pent.) terhadap serangan ‘Tartar modern’ yaitu Saddam Hussein yang mulhid dan
tentaranya terhadap Kuwait dan menggiring mereka para pasukan liar dan biadab ke batas
Kerajaan Saudi Arabia, negeri Tauhid dan Sunnah. Apakah jamaah-jamaah itu bangkit untuk
membela negeri tauhid dan dua tempat suci (Makkah dan Madinah) ?!
Atau apakah mereka bangkit untuk menolong penguasa ‘Tartar modern’ dengan demonstrasi-
demonstrasi, muktamar-muktamar, dan dengan menggerakkan ahlul bid’ah dan partai-partai
kafir terhadap negeri tauhid untuk membela ‘Tartar modern’, dan dengan mempersaksikan
bahwa jihad mereka adalah jihad Islam, serta Saddam adalah pahlawan Islam … ?! (Jamaah
Wahidah halaman 88)
Kesimpulan
Kami cukupkan pembahasan ini dengan beberapa nukilan dari kaset dan buku-buku
Abdurrahman Abdul Khaliq agar menjadi jelas apakah kesalahan-kesalahannya hanya
merupakan zallah (ketergelinciran) atau memang karena akibat dari penyelewengan manhaj.
Telah dibantah oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz dalam enam masalah.
Telah dibantah oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, Shalih Ibnu Ghushhun dan lain-
lain.
Telah diberikan surat bantahan yang memuat puluhan kesalahan kepadanya oleh Syaikh Shalih
Al Fauzan.
Dan telah dijelaskan penyelewengan manhajnya oleh Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhaly.
Oleh karenanya tidak terlalu jauh kalau Syaikh Al Muhaddits Muqbil bin Hadi Al Wadi’i
ketika ditanya tentang Abdur Rahman Abdul Khaliq apakah dia mubtadi’ (ahlul bid’ah), beliau
mengatakan : “Ya, dia adalah mubtadi’. Hendaklah yang hadir menyampaikan kepada yang
tidak hadir.”
Maka kini kami memanggil Abdurrahman Abdul Khaliq dan pengikut-pengikutnya untuk
bertaubat dan meninggalkan semua ucapan-ucapannya dan kembali kepada manhaj As Salafus
Shalih.
Kami juga memanggil kaum Muslimin untuk berhati-hati dari penyelewengan Abdur Rahman
Abdul khaliq, kaset, dan buku-bukunya serta pengikut-pengikutnya.
Kalau mereka mengatakan : “Bukankah itu kaset-kaset dan buku-buku lama, yang sekarang dia
sudah bertaubat daripadanya?”
Kita katakan : “Alhamdulillah kalau memang dia telah bertaubat dari kaset dan buku-buku
tersebut.”
Namun karena kaset dan buku-bukunya tetap tersebar di seluruh penjuru dunia dan
bahkan sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, maka kita tetap berkewajiban
untuk memperingatkan dari bahaya dan penyelewengannya. Hal itu sebagaimana para
ulama memperingatkan dari manhaj Asy’ariyah, meskipun Abul Hasan Al Asy’ari sendiri telah
bertaubat dari paham-pahamnya dan memperingatkan dari buku-buku karya Ghazali, padahal
beliau telah bertaubat di akhir hayatnya. Semoga Allah mengampuni dan merahmati mereka.
Apalagi ternyata kita dapati beberapa tanda kalau dia belum bertaubat dengan sebenar-benarnya,
diantaranya :
Dia merasa bangga dengan ribuan kaset dan buku-buku selama dia berdakwah 30 tahun yang
hanya jatuh pada enam kesalahan.
Marahnya dia kepada Salafiyin yang menyampaikan ucapannya kepada para ulama, yang
semestinya dia berterima kasih.
Ucapannya dalam kaset Kasyfus Syubuhat yang diucapkan setelah pengumuman taubatnya
bahwa kesalahan-kesalahannya 20 tahun yang lalu pada masanya adalah haq.
Kembali mengucapkan perkataan-perkataan sinis kepada para ulama tauhid dan membela ahlul
bid’ah dari jamaah-jamaah hizbiyyah.
Dia masih belum menyadari bahwa penyelewengannya adalah pada masalah manhaj, bukan
sekedar zallah (ketergelinciran) saja.
Akhirnya kami memanggil kepada seluruh kaum Muslimin untuk bertaubat kepada Allah dan
kembali kepada manhaj Salafus Shalih Ahlus Sunnah wal Jamaah dan berdoa kepada Allah agar
memberi petunjuk kepada kita dan mereka serta mengampuni kesalahan-kesalahan kita dan
mereka. Amin.
Duta-duta Sururiyyah di Indonesia
Seluruh bentuk-bentuk metamorfosis yang asal-muasalnya dari sikap toleran ala sufi terhadap
kebid’ahan-kebid’ahan dan kesesatan sudah tersebar pula di Indonesia. Setelah keberadaan IM,
baik di luar negeri maupun di dalam negeri kita, sudah tidak laku di pasaran, maka mereka
mencari bentuk baru hingga tampak menarik minat masyarakat awam. Manusia menjulukinya
dengan berbagai macam istilah-istilah seperti: Salafy haraki, Salafi moderat, harakah sunniyyah
dan lain-lain. Penamaan-penamaan tersebut muncul karena keanehan mereka pada satu hal yaitu:
sikap lunaknya pada ahlul bid’ah, selalu membela dan mencarikan dalih, bahkan menyanjung
mereka.
Tentunya sikap seperti ini sangat berbeda dengan ketegasan para ulama dalam menyikapi ahlul
bid’ah. Mereka terpaksa memberikan embel-embel tambahan pada jenis “salafy baru” ini dengan
istilah: salafy tapi moderat, salafy tetapi lunak, salafi yang mau bergabung dengan harakah-
harakah bid’ah dan seterusnya.
Yayasan Al Sofwa
Pemikiran sururiyyah ini telah di import masuk ke Indonesia oleh yayasan-yayasan tertentu
seperti ash-Shofwa –yang awal berdirinya bernama al-Muntada persis sama dengan nama
yayasan Muhammad surur di London–. Mereka berkiblat kepada Muhammad Surur Naif Zainal
Abidin, yang menerbitkan dua majalahnya as-Sunnah, kemudian al-Bayan. Yayasan ini turut
andil dalam menyebar-luaskan majalah tersebut di Indonesia. Untuk lebih jelasnya lihat
persaksian-persaksian berikut:
I. Persaksian Penulis (Muhammad Umar as-Sewed) Tentang Yayasan Al-Sofwah
Untuk Allah dan karena Allah kami menulis persaksian ini. Dengan harapan agar kaum muslimin
khususnya ahlussunnah Salafiyyin menyadari bahaya yang sedang mengancamnya.
Saya (Muhammad Umar as-Sewed) masih ingat ucapan Syaikh Rabi’ kepada saya, ketika saya
bertanya tentang al-Muntada (yang kemudian berganti nama dengan Al-Sofwa). “Kalau
memang yayasan tersebut sama dengan al-Muntada yang berada di London, maka kita
lihat saja , ia akan menjadi musuh paling utama Dakwah Salafiyyah di Indonesia”, kata
Syaikh Rabi’.
Dengan cara yang persis sama dengan al-Muntada, London mereka mulai membuat gerakan
makarnya, mendekati para Ulama. Mereka meminta rekomendasi dan legitimasi bahwa yayasan
ini adalah yayasan Salafiyah, mendekati salafiyyin Indonesia dan menampilkan diri sebagai
gerakan dakwah Salafiyah, dengan menyebarkan karya-karya Syaikh ‘Utsaimin dan Syaikh Bin
Baaz yang sifatnya umum yang tidak berkaitan dengan manhaj mereka… dan seterusnya. Setelah
itu dengan halusnya mereka menyusupkan pemikiran-pemikiran Sururiyah-Ikhwaniyah melalui
berbagai macam cara.
Pemikiran khas Sururiyah-Ikhwaniyah yang paling jelas adalah menyatukan berbagai firqoh ahli
bid’ah dan berusaha mengakurkan mereka sekaligus membawanya kepada satu “jama’ah” yang
tidak saling bermusuhan.
Tentunya kelompok yang paling mereka takuti adalah Ahlussunnah Salafiyyun. Karena mereka
tetap pada jalan generasi pendahulunya, mengajak kepada Sunnah dan memberantas bid’ah,
berwala’ (loyal) kepada Ahlussunnah dan bara’ (benci dan antipati) dari para ahli bid’ah. Dan
mereka terkenal keras dan tegas kepada ahli bid’ah.
Ternyata apa yang telah diucapkan Syaikh Rabi’ kini menjadi kenyataan. Karena apa yang
dibawa al-Muntada/As-Sofwa di Indonesia sama dengan apa yang dibawa Al-Muntada di
London. Yang demikian itu bisa dilihat dari beberapa bukti yang saya saksikan atau yang saya
dengar dengan yakin yaitu :
1. Mereka menyebarkan majalah Al-Bayan yang diterbitkan oleh Al Muntada Al Islami (yang
didirikan Muhammad Surur, sehingga sebutan bagi pengikutnya disebut sururi, red), London
Menyebarkan buku-buku terbitan Al Muntada dan lain-lain dari tulisan tokoh-tokoh sururi
seperti Salman ‘Audah, Aidl Al-Qarni dan sebagainya
Bahkan lebih jelas lagi bahwa pendirinya, Muhammad Ibn Ibrahim al-Khalaf (namanya sesuai
dengan manhajnya) menulis buku “Petunjuk bagi Wanita Pelajar” yang dalam bahasa aslinya
(Arab) adalah Dalilut Thalibah. Dibawakan olehnya fatwa-fatwa fiqih dari syaikh Ibnu Utsaimin
hafidhahullah. Sedangkan patokan-patokan dalam masalah dakwah diambil dari pemikiran
Salman Al Audah.
(Dilaporkan oleh website Al Sofwa,
http://www.alsofwah.or.id/index.php?pilih=lihatkegiatan&id=41&id_layanan=26 bahwa Yazid
Abdul Qadir Jawwas (mudir Yayasan Minhajus Sunnah), Bogor; Abu Nida’ Khomsaha Sofwan,
Lc. (Mudir Yayasan Majelis At-Turats, Yogyakarta), Khalid Syamhudi, Lc (Ustadz di Ma’had
Imam Bukhari), Nizar Sa’ad Jabal, Lc. (Mudir Ma’had Al-Irsyad Tengaran-Salatiga); Abu
Haidar Al-Sundawy (Mudir Yayasan Ihya’u Al-Sunnah, Bandung), Asmuji Muhayyat, Lc. (Mudir
Ma’had Imam Syafi’i); Ali Nur Abu Ihsan Al-Medani, Lc., MA. (Ustadz di Jazirah Sumatera
Utara), Ust. Fariq Qashim Anuz (Ustadz di Jeddah Da’wah Center-Jeddah-KSA), Ust. Abu
Hamzah A. Hasan Bashari, Lc.,M.Ag. (Da’i di Jawa Timur), Ust. Muhammad Dahri
Qomaruddin, Lc (LIPIA Jakarta), Ust. Geis ibn Umar Bawazir (Al-Irsyad-Pemalang), .
Masruhin Sahal (Mudir Ma’had Al-Tha’ifah Al-Manshurah, Kediri), Ust. Hasyim Rifa’i (Mudir
Ma’had Baitus Shalihat, Kediri), Ust. Ade Hermansyah ibn Bunyamin, Lc. (Mudir Ma’had Al-
Ma’tuq, Sukabumi), mereka semuanya hadir di acara tanggal 25 Rabi’ul Awwal – 01 Rabi’ul
Akhir 1421H) yang menghadirkan ‘Syaikh’ Muhammad ibn Ibrahim Al-Kholaf dari Unaizah-
KSA, red)
4. Membantu program-program ahli bid’ah baik dari kalangan pengikut tarekat sufiyyah,
Ikhwanul Muslimin, ataupun Negara Islam Indonesia (NII) atau disebut JI akhir-akhir ini
(diantaranya Ponpes Al Mukmin Ngruki, red)
5. Memperkerjakan orang-orang yang tidak jelas manhajnya di dalam yayasan Al-Sofwa
(diantaranya Aman Abdurrahman Lc menjadi dai dan imam tetap masjid Al Sofwa yang
berpaham teroris belakangan setelah bom rakitannya meledak di rumahnya, Cimanggis, maka dia
divonis dipenjara di Sukamiskin, Bandung, red)
6. Yang lebih jelas dari itu adalah hubungannya dengan Muhammad Anis Matta, Lc (sekarang
sekjen PK Al Ikhwani, red) yang jelas-jelas tokoh Ikhwanul Muslimin Indonesia.
Saya pribadi pernah memergokinya bersama Muhammad Anis Matta (tokoh PKS, red) di Hotel
Karya II, Jakarta. Maka saya menegurnya. Kemudian dia beralasan hanya membantu program
khusus bahasa Arabnya.
7. Hubungan eratnya dengan Ikhwanul Muslimin (IM) bertambah jelas ketika ia menitipkan
istrinya bersama akhowat IM di Madrasah IM yaitu Al-Hikmah, yang pernah melarang murid-
murid wanitanya memakai cadar. Dan kami pernah menegur mereka dengan mendatangi guru-
gurunya. Jawaban mereka: “Ini hasil kesepakatan guru-guru”
8. Mengadakan daurah para Da’i di Bogor. Dengan mendatangkan tokoh Sururi Dr. Ibrahim ad-
Duwaisy yang jelas prototypenya Salman (Nama Dr Ibrahim Ad Duwaisy dipropagandakan oleh
website Al Sofwa karena kasetnya direkomendasikan oleh yayasan Al Sofwa)
9. Mengadakan dakwah untuk para da’i dengan menampilkan Farid Okbah (aktifis DPP Al
Irsyad /L-Data, Jakarta, red) yang menjelaskan bahwa fitnah Sururiyah Indonesia tidak ada. Dan
itu hanyalah problem politik Saudi.
II. Kesaksian Syaikh Abdullah bin Umar bin Mar’i (Yaman) Tentang Muhammad Kholaf
Mengenai pendiri Yayasan Al-Sofwa, Muhammad Kholaf, silakan dengarkan kesaksian Syaikh
Abu Abdirrahman bin Umar bin Mar’i yang pernah mengenalinya langsung dari dekat di
‘Unaizah, Al-Qosim, King Saudi Arabia. Persaksian itu sebagai berikut :
Beliau berkata :
Segala pujian hanya milik Allah Ta’ala Rabb sekalian alam. Shalawat dan salam semoga
tercurah kepada Nabi kita Muhammad dan keluarganya.
Amma ba’du,
Seorang al-akh (saudara) meminta saya agar menulis tentang Muhammad Kholaf tentunya sesuai
dengan apa yang saya ketahui. Semoga Allah menunjukinya. Maka dari itu dengan memohon
pertolongan-Nya, saya akan memulainya. Saya katakan (Abdullah Mar’i, red).
Saya mengetahuinya di ‘Unaizah dan ketika itu saya berjumpa dengannya di perpustakaan
Maktabatul Ummah. Saya pernah mendengar tentang dirinya dari pembicaraan ikhwah Indonesia
dan dari seorang yang mengetahuinya disana. Tak lama kemudian saya menanyakan tentang
dirinya (juga) kepada beberapa ikhwan yang tinggal di ‘Unaizah. (Ternyata) lebih dari satu
ikhwan kita yang salafy di kota Qosim memberitahukan bahwa ia adalah termasuk salah seorang
yang mempunyai hubungan sangat dekat dengan Salman al-‘Audah. Hubungan dekatnya dengan
Salman membuatnya (mudah) mendapatkan bantuan-bantuan (dana) darinya. Mayoritas bantuan
tersebut ia peroleh dari Al-Jam’iyah Ihyaut Turats, sebagian bantuan lainnya ia kumpulkan dari
para syaikh Kerajaan Saudi dengan rekomendasi dari Salman. Hubungan dekatnya dengan
Syaikh ‘Utsaimin beberapa waktu lamanya (nampaknya juga) merupakan faktor yang membuat
ia mudah mengumpulkan bantuan (dana) dari Jam’iyah Ihya’ut Turots. Ditambah lagi dia
seorang penduduk Qosim dan seorang guru di Riyadl. Saya pikir banyak yang mengetahui hal
itu.
Adapun manhajnya maka ia adalah seorang Sururi. Karena ia sangat kental hubungannya dengan
Salman al-‘Audah dan orang-orang yang sejalan dengannya. Terdapat beberapa hal yang
menunjukkan demikian antara lain:
1. Hubungan sangat kental dengan Salman Al-Audah dan orang-orang yang sejalan dengannya
di negeri Saudi ataupun di luar negeri tersebut.
2. Beberapa risalahnya yang telah dicetak semisal Dalilit Thalibah al Mukminah (Petunjuk
Bagi Wanita Pelajar) dan selainnya.
3. Ia mempunyai perpustakaan bernama Maktabatul Ummah yang berada di ‘Unaizah, terdapat
padanya kitab dan majalah.(yang bermanhaj sururi-pent)
4. Kitab-kitab yang ia bagikan, sebarkan dan cetak mayoritas memuat keinginan pencetak dan
pemikirannya (yakni Muhammad Kholaf, red)
5. Warga salafiyyin yang sedaerah dengannya yang berdomisili di ‘Unaizah menyaksikan
keadaannya yang demikian. Dan merekalah orang-orang yang tahu tentang dirinya dan
aktivitasnya. Dr.Abdullah al-Musallam, seorang dosen pada mata kuliah Syar’iyah dan
Ushuluddin di Universitas Al-Imam, Qosim, mengatakan bahwa ia seorang sururi bahkan
termasuk tokohnya. Al-Ustadz Umar al-Harakan, seorang pengajar di Ma’had Ali di kota
Buraidah, banyak dari kalangan ikhwan salafiyin seperti al-Akh Muhammad at-Turki,
Abdurrahman al-‘Amir, Umar al-Hathlani, Rafiq Zaki dan selain mereka menyaksikannya
berbuat demikian. Merekalah saksi-saksi hidup. Datang dan mintalah keterangan tentang
masalah ini pada mereka.
Salman Al-‘Audah, Jam’iyah At-Turats dan beberapa orang yang berdomisili di Riyadh adalah
pendukung-pendukungnya. Hal ini menunjukkan apa yang telah disebutkan di muka dan inilah
perkara-perkara yang dapat dipersaksikan dari kejauhan sebelum mendekatinya.
Mudah-mudahan yang telah saya sebutkan (insya Allah –pent) di atas sudah mencukupi. Allahu
a’lam. Jika tidak demikian maka disana masih terdapat banyak hal lain (yang masih belum
disebutkan). Namun tidak sepantasnya semua yang diketahui disebutkan. Allahu a’lam.
Adapun mengenai akhlak dan pergaulannya dengan teman-temannya, maka inilah perkara yang
sudah jelas.
Sungguh saya pernah bergaul langsung dengannya. Akan tetapi saya belum pernah duduk-duduk
bersamanya selain beberapa saat saja. Padanya ada perkara-perkara yang tidak sepantasnya
seorang muslim yang mengamalkan keislamannya, terlebih bagi seorang thalibul ilmi dan da’i,
(untuk mengorek semua kejelekannya). Semoga Allah menunjukinya.
Terakhir, inilah catatan yang saya tuangkan di sini mengenai al-akh tersebut. Saya katakan dan
saya ingatkan (kepada semua pihak yang berkepentingan) bahwa haruslah bagi seorang Salafy
Sunni mempunyai hubungan (kenal) dengan para Ulama Sunnah Salafiyah. (Saya perhatikan) ia
bukanlah orang yang mempunyai sifat demikian sekalipun dengan ulama negeri Saudi, yang
mana orang-orang dari segenap penjuru dunia, dari berbagai macam manhaj dan madzhab
berhubungan dengan mereka dengan ramah dan dekat. Hal tersebut tidak terjadi pada dirinya.
Menunjukkan padamu jauhnya ia dari ilmu dan ahlinya (ulama). Allahul musta’an.
Kita memohon kepada Allah ‘Azza wa Jalla agar mengokohkan agama kita dan memberikan
ilmu tentang syariat kita ini. Dan segala pujian hanyalah milik Allah semata.
Dammaj, Sha’dah, pagi hari, 3/2/1420 H
Diterjemahkan di Degolan pada pagi hari 17 Juni 1999 M.
III. Kesaksian Ustadz Muhammad as-Sewed tentang Muhammad Khalaf
Kemudian saya (Ustadz Muhammad Umar as-Sewed) menambahkan apa yang saya ketahui
tentang dirinya di ‘Unaizah, Qosim yaitu :
1. Saya selama kira-kira satu tahun hampir tidak pernah absen duduk di majelis Syaikh Ibnu
‘Utsaimin, tidak pernah sekalipun Saya melihat Muhammad Khalaf di majelis tersebut. Saya
hanya sekali melihatnya dalam ceramah umum yang disampaikan Syaikh ‘Utsaimin
2. Ia memiliki toko buku Al-Ummah yang khusus menjual buku-buku kecil (kutaib) dan semua
buku-buku tokoh-tokoh sururi terdapat disini, sedangkan buku-buku yang membantahnya dari
tulisan Syaikh Rabi’ dan selain beliau susah didapat.
3. Pernah toko tersebut dititipi majalah oleh sales dari distributor majalah Al-Ashalah dan
Salafiyah yang jelas pengasuh dan penulisnya adalah Salafiyun dan Ulama Ahlussunnah.
Disinilah saya pertama kalinya mengenal majalah tersebut. Ternyata setelah saya baca, saya
sangat mengaguminya. Maka saya kembali ke toko tersebut untuk memiliki lebih banyak lagi
untuk dikirim ke beberapa kawan di Indonesia. Ternyata apa yang terjadi? Majalah tersebut
lenyap dari etalase, saya menanyakan kepada penjaganya (waktu itu Ahmad Bahrudin) ternyata
majalah tersebut disimpan dan tidak boleh dijual (dicekal). Bahkan beberapa temannya mencela
(menurut persaksian dia) majalah tersebut dengan ucapan-ucapan jelek : ”Pengasuh majalah ini
(Assalafiyah) adalah munafiqun”. “Ini bukan majalah Salafiyah tapi Thalafiyah (kerusakan)”
diganti huruf sin-nya dengan huruf ta”. Bahkan saya sendiri mendengar dari seorang yang juga
merupakan groupnya (memang ternyata toko itu milik “group”) mengatakan, sambil menunjuk
majalah al-Bayan,”Ini yang namanya majalah, bukan itu !” Yakni bukan majalah al-Ashalah
4. Dengan data-data yang lengkap, makin jelaslah, saya berusaha untuk bertanya kepada syaikh
Rabi’ tentang al-Sofwah dan Muhammad Khalaf serta al-Muntada yang ada di London. Dengan
demikian lengkaplah sudah gambaran Muhammad Khalaf dan al-Sofwa. (Lihat ucapan Syaikh
Rabi’ di Mukadimah)
5. Terakhir saya menemui Muhammad Khalaf sepulang dari Madinah dengan maksud menegur
dan memperingatkan sekaligus melihat apakah dia bergabung dengan sururiyin dan menyebarkan
paham sururiyah itu dengan sadar atau tertipu.
Saya mendapatkan beberapa catatan penting yaitu :
a. Dia mengakui memang orang-orang Al Muntada adalah teman-temannya. Sehingga dia selalu
berkonsultasi dengan mereka dalam dakwahnya di Indonesia, sedangkan kita tahu adanya hadits
Rasulullah yang berbunyi : Al mar’u ‘ala dini kholilihi “Agama seseorang itu bersama teman-
teman dekatnya”.
b. Dia tidak suka dengan mahasiswa Madinah sehingga dia meminta saya mencarikan da’i untuk
as-Sofwa dari mahasiswa Indonesia yang ada di Jamiatul Imam, Riyadl. Dan menjadi rahasia
umum kalau Jami’atul Imam Riyadl dikuasai orang-orang hizbi, IM. Maka saya katakan, Saya
memiliki banyak teman-teman salafy di Jamiah Islamiyah Madinah yang kita tahu banyak
didominasi Salafiyun. Dia menjawab dengan tegas dan jelas :” Saya tidak suka dengan anak-
anak (mahasiswa) Madinah”
Demikianlah apa yang saya ingat dengan yakin tentang Muhammad al-Khalaf.
Sedangkan yang tidak jelas dan saya masih ragu tidak perlu dituliskan disini. Wallahu a’lam.
Yogyakarta, 3 Juli 1999
Disusun oleh Ustadz Muhammad Umar as-Sewed (Cirebon).
A’lamus Sunnah
Sebagian yang lain berkiblat ke sururiyyin di Riyadl dengan mengirim da’i-da’inya untuk
membikin daurah-daurah di pondok Aunur Rafiq, Gresik dengan mediator ash-Shafwa atau
A’lamus Sunnah Leuwiliang Bogor, dimana dana dan pemikirannya dipasok oleh grup
Sururiyyah di Riyadl yaitu Dr. Adnan ‘Ar’ur dan Abdul Karim al-Katiri, kemudian mereka
membentuk Harakah Sunniyyah (gerakan sunni). Adnan ‘Ar’uur adalah sosok yang
berpemikiran sama dgn Surur.
Majelis At Turats Al Islamy Yogya
Seperti tertera dalam situsnya versi lama (atturots.or.id), bahwa dalam Majelis At Turats Al
Islamy ada nama-nama seperti Arif Syarifuddin, Abu Sa’ad Muhammad Nur Huda (LBI Al
Atsary), Kholid Syamhudi, Lc, Tri Madiyono. Alamatnya di Wirokerten, Banguntapan, Bantul,
DIY.
Pihak yang masih berkiblat kepada Abdurrahman Abdul Khaliq dengan yayasan Ihya at-Turats-
nya, yaitu Yusuf bin Utsman Baisa (Lajnah Dakwah DPP Al Irsyad) dengan ponpes Ma’had
Ali al-Irsyadnya (Tengaran, Boyolali, red). Bahkan dia mendatangkan ‘bigbos’nya,
Abdurrahman Abdul Khaliq, mengadakan ceramah di Indonesia guna menyebarkan syubhat-
syubhat kepada para da’i di Indonesia dan didukung oleh semua da’i Majelis grup At-Turats.
Meskipun kiblat kelompok-kelompok di atas berbeda-beda, namun mereka memiliki satu
kesamaan misi, yaitu: “Membela hizbiyyin, memuji mereka atau berkerja sama dengan
mereka”. Sebaliknya mereka sinis, dengki dan tidak suka terhadap salafiyyin yang mentahdzir
ahlul bid’ah. Mereka membenci dan mengingkari adanya tahdzir yang dilakukan oleh salafiyyin
dengan kalimat-kalimat seperti: “Gak ada tahdzir-tahdziran”, “tahdzir itu hanya haknya ulama”,
“di Indonesia belum waktunya ditegakkan manhaj tahdzir”, dan lain-lain.
Maka sungguh picik apa yang dikatakan oleh ‘jagoan-jagoan’ baru yang berkolaborasi dengan
Majelis Turats Al Islami, seperti Firanda Abu Abdil Muhsin ibnu Abidin dalam bukunya
Lerai Pertikaian Akhiri Permusuhan dan Abdullah Taslim dalam banyak tulisannya di
www.muslim.or.id yang menyatakan bahwa perseteruan para ustadz hanya dikarenakan
“kedekatan”nya dengan yayasan-yayasan tersebut (Ihya at-Turats dan Ash-Shofwa) atau hanya
karena mereka mendapatkan dana dari mereka. Semoga Allah memberikan hidayah dan taufik
kepada mereka berdua. Wallahu a’lam bish showab. (Draft diedit terakhir tanggal 20
November 2006)

Anda mungkin juga menyukai