• Celaan dan tuduhan yang berlebihan kepada orang-orang yang dianggap sebagai pengikut
Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah (wahabi).
• Tuduhan bahwa ulama-ulama Saudi dan Salafiyin dalam keadaan buta dan bodoh sama
sekali tentang permasalahan-permasalahan baru dan Salafiyah mereka adalah Salafiyah
taqlid yang tidak berarti sama sekali.
• Pernyataan bahwa seluruh negeri -tidak terkecuali- telah mengikuti Barat dan Timur
dalam hukum-hukum politik dan Undang-Undang.
• Pernyataan tentang tidak perlunya ditegakkan hukuman atas suatu dosa sebelum
dihilangkan sebab-sebab yang mengajak kepada perbuatan itu.
• Ajakan untuk memecah belah kaum Muslimin dalam berbagai jama’ah-jama’ah hizbiyah.
• Anggapan bahwa demonstrasi adalah salah satu bentuk jihad yang syar’i.
Abdurrahman Abdul Khaliq berkata : “Sifat keempat bagi Madrasah Salafiyah ini –jika kita
menginginkan kehidupan bagi Islam– adalah Shifatul ‘Ashr (mengenal jaman) yaitu hendaklah
tokoh-tokoh madrasah ini memiliki sifat : Mengenal jaman di mana mereka hidup. Bukan orang-
orang yang berbicara (sesuatu) pada jaman yang telah lewat!
Kita dapati –misalnya– sebagian orang yang menamakan dirinya Salafi atau Salafiyin tidak
mengerti aqidah Salaf, kecuali permasalahan-permasalahan yang terjadi pada enam, tujuh, atau
sepuluh tahun yang lalu. Mereka (hanya tahu) bagaimana menyelesaikan masalah tersebut,
maka ini adalah Salafi taqlidi yaitu yang hanya berbicara dengan taqlid semata bukan dengan
ijtihad. Yang dimaksud –misalnya– adalah masalah “Al Qur’an adalah makhluk” dan
“bagaimana membantah orang yang mengatakan demikian … dan begini dan begini.” Kita
sekarang menghadapi masalah baru. Permasalahan tentang pendapat “Al Qur’an adalah
makhluk” sudah selesai! Kita sekarang menghadapi orang yang mengatakan “Al Qur’an bukan
Ucapan Allah, Tidak ada Rabb! Dan Muhammad bukan Rasul.”
Lihatlah! Betapa mirip ucapannya itu dengan ucapan Ikhwanul Muslimin (IM) yang tidak lain
berisi ajakan untuk tidak membantah ahlul bid’ah yang mengatakan, “Al Qur’an adalah
makhluk”, tetapi bantahlah orang-orang kafir yang tidak percaya kepada Al Qur’an dan
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam! Adapun orang-orang yang membantah ahlul bid’ah
yang mengatakan “Al Qur’an adalah makhluk” dikatakannya sebagai muqallid. Apakah
kesalahan ini hanya merupakan zallah (ketidaksengajaan atau kesalahan manhaj?
Disamping itu ucapannya di atas memiliki dua keanehan :
Pertama : Dia mengatakan bahwa masalah “Al Qur’an adalah makhluk” sudah selesai.
Kedua : Menyatakan bahwa pengingkaran terhadap Al Qur’an dan Nabi adalah masalah baru.
Sungguh aneh! Apakah hal ini tidak terbalik?
Masalah pengingkaran terhadap Al Qur’an dan Nabi sejak awal risalah kenabian sudah ada,
sedangkan permasalahan “Al Qur’an adalah makhluk” baru muncul setelah muncul bid’ah
jahmiyah dan mu’tazilah. Namun apakah sekarang permasalahan itu sudah selesai? Sungguh
pemikiran mu’tazilah dan jahmiyah masih banyak muncul dan harus terus dibantah, khususnya
di kalangan kita di Indonesia.
Mana Shifatul ‘Ashr yang dia serukan? Perlu diketahui bahwa dia menganggap taqlid kepada
para ulama terdahulu dalam masalah-masalah tadi lebih jelek daripada taqlid kepada madzhab
yang empat, dengan ucapannya : “Salafiyah taqlidiyah adalah seorang Salafi yang taqlid dan
hanya mengatakan ‘saya Salafi’, tetapi dia taqlid dalam aqidah dan dalam fiqh bukan kepada
imam yang empat, melainkan kepada selain mereka … Ini adalah pengkaburan terhadap nama
tersebut …”
Kalau ada yang mengatakan : “Belum tentu yang dimaksud adalah ulama-ulama yang
membantah pemikiran bid’ah di jazirah Arab secara umum atau di Saudi secara khusus.” Untuk
menjawabnya kita cukup menukil ucapan berikutnya agar menjadi jelas siapa yang dimaksud.
Dia berkata : “Diantara perkara taqlid yang paling besar dalam dakwah Salafiyah adalah taqlid
aqidah. Taqlid aqidah yang dimaksud yaitu bahwa kita memahami permasalahan-permasalahan
aqidah yang terjadi pada manusia dahulu, kemudian datang dengan tanpa memahami selainnya
dan kemudian menerapkannya di jaman sekarang –misalnya– saya berikan untuk kalian
beberapa contoh : Ketika engkau pergi ke Saudi sekarang ini, engkau tidak akan mendapatkan
kuburan, jarang sekali kau dapati manusia –misalnya– yang menyeru kepada selain Allah.
Namun bersamaan dengan itu ada sekelompok ulama yang tidak mengerti masalah aqidah,
melainkan apa-apa yang diucapkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah yaitu
perkara tauhid uluhiyah dan larangan terhadap peribadatan dan berdoa kepada kuburan atau
ber-tawasul dengannya dan begini serta begini. Padahal perlu diketahui bahwa lingkungan dan
desa-desa tempat mereka berbicara dengan ucapan itu tidak terdapat manusia yang
mengucapkan seperti itu (syirik uluhiyah). Tetapi telah terbentuk di sana pemikiran-pemikiran
baru yaitu seperti Atheisme, kelompok yang membuat keragu-raguan pada dien, partai Ba’ts
(Saddam Hussein, Iraq, red) dan komunis serta yang lainnya. Tetapi mereka sama sekali buta
dan bodoh tentang masalah-masalah yang baru ini. Kalau begitu ini adalah Salafiyah
taqlidiyah yang tidak ada nilainya sedikitpun … .” (kaset Al Madrasah As Salafiyah,
Abdurahman Abdul Khaliq).
Mudah-mudahan semakin jelas dengan keterangan dia sendiri siapa yang dimaksud Salaf taqlidi
yang bodoh dan buta tentang lingkungannya dan tidak ada nilainya sedikitpun.
Dikatakan dalam Hasyiyah (catatan kaki) kitab Jama’ah Wahidah : “Keadaan mereka
memperingatkan manusia dari kesyirikan, walaupun negeri mereka terbebas dari kesyirikan
merupakan pencegahan dan penjagaan. Mereka mengikuti contoh teladan pada diri Nabi Ibrahim
‘Alaihis Salam pada saat beliau berdo’a :
َمDَ_ ْŒَ• ْاcَ ُKEْ َI َ_ِ ﱠ] أَ ْنb_ِ] َوKْ ُ_ ْjَوا
“ … dan jauhkanlah aku dan keturunanku dari menyembah berhala.” (Ibrahim : 35)
Juga contoh teladan pada Luqman pada saat dia berkata :
ِ l {ٌ sْ ُŽَC َ•ْ كv ﱢC’ِ إِ ﱠن اD
{ٌ rŽَ ِ ﱠb ِ• ْكvْ ُF Rَ ]ُ_َ ﱠb Dَy
“ … Wahai anakku, janganlah engkau mempersekutukan Allah. Sesungguhnya kesyirikan adalah
kedhaliman yang besar.” (Luqman : 13)
Maka hal ini (pencegahan ulama terhadap syirik) adalah merupakan keutamaan mereka, bukan
kejelekan mereka.
Sedangkan tentang tuduhan Abdurrahman terhadap para ulama tersebut dengan istilah ‘Salafi
taqlidi’ kepada ulama-ulama Islam, padahal dia bertaqlid buta kepada musuh-musuh Islam dalam
hal demonstrasi, demokrasi, ajakan untuk masuk parlemen dan taqlidnya dalam memperbolehkan
berbilangnya jama’ah-jama’ah hizbiyah.” (Jama’ah Wahidah halaman 28)
Jika Anda ingin lebih jelas bagaimana pandangan Abdurrahman dalam masalah demokrasi dapat
dibaca dalam bukunya Masru’iyyatud Dukhuli ila Majlis Tasyri’iyyah halaman 90-91. Diantara
perkataannya adalah sebagai berikut : “Telah disebutkan oleh beberapa ikhwan tentang
kejelekan-kejelekan demokrasi yang mencapai lima puluh kejelekan, dan kami sanggup
menambahkan lima puluh bahkan seratus lagi di atasnya. Tetapi tidaklah hal itu menunjukkan
haramnya masuk parlemen. Karena orang yang masuk tersebut aman dari kerusakan atau
kejelekan aturan tersebut. Dan tidaklah dia masuk kecuali untuk merubahnya.”
Sabar! Jangan terburu-buru Anda mengatakan bahwa dia adalah penjahat dakwah! Kita baru
melihat satu kaset. Kita akan melihat kitab dan kaset yang lain, agar lebih jelas apakah
kesalahannya hanya merupakan zallah (ketergelinciran) atau karena manhaj dan pemikirannya
yang bathil.
1. Para Syaikh yang tidak mengerti, kecuali kulit Islam yang hanya sesuai dengan masa-
masa silam.
2. Mereka adalah barisan muhannathin (mummi, mayat yang diawetkan, pent.) yang hidup
dengan jasad-jasad mereka di jaman kita, tetapi akal dan fatwa-fatwa mereka bukan di
jaman kita dan kita tidak membutuhkan mereka.
3. Mencontohkan dengan Imam Asy Syinqithi dan menganggap bahwa beliau tidak mampu
menjawab syubhat yang muncul dari musuh-musuh Allah, walaupun dia menyaksikan
bahwa tidak ada di matanya seorang yang lebih alim dari beliau tentang Kitab Allah.
Beliau adalah perpustakaan yang berjalan, tetapi (menurut Abdurrahman, pent.) adalah
‘cetakan lama’ yang butuh revisi dan koreksi.
4. Bahwasanya mengajar pada waktu itu selain dia, terdapat puluhan orang dengan
tingkatan model seperti ini yang berilmu agama, tetapi bodoh dengan kehidupan
Lihatlah! Siapakah sesungguhnya para pencela ulama Ahlus Sunnah? Dia dan pengikutnya
ataukah para pemuda Salafiyyin yang melaporkan ucapannya kepada para ulama, yang justru
menyebabkan dia mengetahui kesalahannya ?
Sesungguhnya sikap para penganjur fiqhul waqi’ atau shifatul ‘ashr terhadap para ulama Ahlus
Sunnah sangat mirip dengan ahlul kalam dan mantiq yang mengatakan bahwa ulama Ahlul
Hadits adalah hasyawiyyah (dangkal ilmu)-nya dan orang-orang rendahan.
Sangat mirip pula dengan kaum sufi yang mengatakan bahwa ulama Ahlus Sunnah tidak
mengetahui kecuali qusyur (syariat), sementara kaum sufi sudah mencapai tingkat hakikat atau
ma’rifat.
Sangat mirip pula dengan kaum nasionalis dan tokoh-tokoh modernis yang mengatakan bahwa
ulama Ahlus Sunnah adalah raj’iyyah (terkebelakang).
Kemudian Syaikh Rabi’ berkata dalam masalah ini : “Dan pada hari ini datang ulama waqi’ yang
meninggikan fiqhul waqi’ dan melingkupi diri mereka sendiri dengan kebesaran fiqh ini.
Sebagian mereka menamakan ilmu para ulama Ahlus Sunnah dengan qusyur, sebagian yang lain
menggelari mereka dengan al ‘almanah dan sebagian yang lain menjuluki mereka dengan
mummi serta yang lain menamakan mereka sebagai para pegawai atau spionase.
Oleh sebab itu fitnah mereka lebih berbahaya bagi Islam dan kaum Muslimin daripada ahlul
kalam dan mantiq, sufi dan nasionalis.
Jika para penganjur fiqhul waqi’ itu menginginkan kebaikan bagi umat, hendaklah mereka
mengumumkan taubat mereka dari ghuluw atau berlebih-lebihan pada fiqhul waqi’ yang mereka
anggap sebagai fardhu ‘ain, yang terpenting, dan sebesar-besar ilmu. Dan hendaklah mereka
mengangkat kedudukan ulama syariat tersebut yang dipuji oleh Allah dan Rasul-Nya. (Jama’ah
Wahidah halaman 47)
Kalau kita perhatikan ucapan Abdurrahman Abdul Khaliq di atas terdapat ucapan : “ … saya
bertanya kepada ‘orang-orang yang berfatwa tanpa ilmu’ … .” dan kalimat “ … kalau saja
urusan Allah diserahkan kepada ‘mereka’, tentu tidaklah akan tersisa pada dien kita satu urat
pun yang hidup, tidak pula ada satu pelita yang menerangi … .” Siapakah yang dimaksud
sesungguhnya?
Akan tampak dengan jelas siapa yang dimaksudkan oleh Abdurrahman, jika kita menukil ucapan
sebelumnya di halaman 5 dalam Muqadimah : “Wa Ba’du, sesungguhnya aku mendengar
beberapa saudara dari para pencari ilmu dan ulama, demikian pula beberapa orang yang
menasabkan kepada ilmu dan mengaku ulama –padahal tidak demikian, bahwa jihad jama’i
tidak boleh kecuali dengan imam ‘am (imam bagi seluruh kaum Muslimin). Dan sesungguhnya
setiap jamaah yang didirikan dalam rangka jihad, dakwah, atau amalan dari amal-amal
kebaikan dengan dorongan pribadi dari masing-masing mereka, maka itu bukan jamaah yang
disyariatkan. Mereka juga mengatakan : “Sesungguhnya jamaah dakwah Islam yang tegak di
dunia ini, timur dan baratnya seperti Jamaah Salafiyah, Jamaah Tabligh, Jamaah Ikhwanunl
Muslimin, dan lain-lain itu adalah jamaah firqah dan memecah belah dan tidak boleh
mendirikannya dan akhirnya amalnya tidak disyari’atkan ….”
Dan terus dia mengucapkan tuduhan-tuduhan pada ulama-ulama dan para pelajar tersebut,
sampai dia mengatakan : “Ketika aku melihat kebanyakan dari anak-anak kaum Muslimin dan
pemuda-pemuda mereka tertipu dengan fatwa-fatwa yang bathil ini dan ucapan yang
sembarangan yang tidak bersandarkan dengan ilmu dan akal. Maka aku suka dengan apa yang
Allah wajibkan atasku untuk menjelaskan dan tidak menyembunyikan ilmu untuk menulis
risalah ini … .” (Masyru’iyatul ‘Amal Jama’i halaman 5-6)
Dari ucapannya di atas terkandung dua tuduhan terhadap para ulama dan pelajar :
1. Mereka dianggap tidak membolehkan jihad jama’i, kecuali dengan imam ‘am. Yang berarti
dia menuduh mereka melarang segala bentuk jihad karena belum ada imam.
2. Mereka menganggap jamaah-jamaah tersebut jamaah firqah dan pemecah belah.
Adapun yang pertama, kita menuntut di atas ucapan dan tuduhannya, apalagi terhadap para
ulama secara umum, siapakah yang dimaksud !?
Adapun yang kedua, dia telah mengakui kesalahannya dan ruju’ daripadanya serta mengucapkan
apa yang diucapkan oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz pada point ke-5 yaitu
melarang kaum Muslimin untuk berpecah-belah dalam jamaah-jamaah hizbiyyah.
Kita kembali kepada pertanyaan di atas : “Siapakah yang dimaksud dengan kata-kata
Abdurrahman : ‘Orang-orang yang berfatwa tanpa ilmu’?”
Dengan ucapan Abdur Rahman Abdul Khaliq dalam mukadimahnya bisa kita pahami bahwa
mereka tidak lain adalah para ulama Ahlus Sunnah yang membantah jamaah-jamaah
hizbiyyah. Yang mana Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz pun membantahnya.
Buku ini dia tulis untuk menjadikan perbuatan Ibnu Taimiyah sebagai dalil bolehnya membentuk
jamaah-jamaah hizbiyyah. Padahal tidak ada pada buku ini hujjah apapun bagi Abdurrahman
Abdul Khaliq menetapkan perkara ini, karena sama sekali tidak benar pendalilannya dengan
perbuatan Ibnu Taimiyah dan perannya dalam jihad, kecuali kalau didapati secara tsabit bahwa
Ibnu Taimiyah mengajak untuk memecah-belah umat menjadi berpartai-partai dan jamaah-
jamaah hizbiyyah.
Diantara ucapannya adalah ketika mengisahkan ajakan Syaikhul Islam untuk memerangi bangsa
Tartar : “Pada kejadian ini terdapat pelajaran besar dan tinggi terhadap orang-orang yang
berjalan di atas manhaj khawarij di setiap jamannya yang menjadikan permusuhan mereka
seluruhnya kepada Ahlus Sunnah wal Jamaah, mereka mengambil dari Ahlus Sunnah kesalahan
kecil atau ketergelinciran, kemudian mengerahkan pasukan berkuda kepada mereka (Ahlus
Sunnah) dan membiarkan orang-orang kafir dan munafik. Benarlah ucapan Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam ketika berkata :
“Membunuh kaum Muslimin dan membiarkan penyembah-penyembah berhala.”
Apakah mereka para pencela, pencaci, orang-orang yang memusuhi para ulama umat Islam yang
kurang ajar kepada mereka dengan tangan dan mulutnya tidak mengetahui dan tidak mengambil
pelajaran dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan siapa-siapa di atas jalannya dari Ahlus Sunnah
wal Jamaah yang sebenar-benarnya, yang mereka itu berwala’ kepada Ahlul Islam dan
menjadikan permusuhannya hanya kepada orang-orang kafir?”
Berkata Syaikh Rabi’ hafidhahullah mengomentari hal ini : “Pada siapa yang engkau maksudkan
nasehat ini? Apakah kepada orang-orang yang memerangi manhaj Salaf dan pengikut-pengikut
Salaf dengan kedustaan-kedustaan yang dibuat-buat?!
Kalau yang engkau maksudkan mereka, maka sesungguhnya mereka memang memusuhi Ahlus
Sunnah dan berarti kita tidak mendhalimi mereka. Memang permusuhan mereka seluruhnya
adalah kepada Ahlus Sunnah wal Jamaah dan juga kepada orang-orang kafir. Akan tetapi
permusuhan mereka kepada Ahlus Sunnah adalah lebih besar dibandingkan permusuhannya
kepada orang-orang kafir. Kedustaan mereka atas Ahlus Sunnah dan manhaj mereka kadang-
kadang lebih daripada kedustaan mereka terhadap orang-orang kafir.
Kebanyakan dari jamaah-jamaah tersebut adalah golongan takfiri (yang mengkafirkan kaum
Muslimin) dan berjalan di atas jalan Khawarij, mengkafirkan kaum Muslimin dan membunuh
mereka, khususnya Salafiyin, sebagaimana yang terjadi di Kunar dan yang terjadi hari ini di
beberapa negeri kaum Muslimin.
Kalau yang engkau maksudkan adalah mereka itu, maka kita menerima. Tapi kalau yang engkau
maksudkan adalah Salafiyyin Ahlus Sunnah wal Jamaah, maka ini adalah perkara yang sangat
berbahaya dan dhalim, karena berarti dia telah meletakkan sesuatu yang besar tidak pada
tempatnya dan melarikan dari tempatnya yang semestinya.
Yang rajih (lebih kuat) adalah bahwa yang engkau maksudkan adalah Salafiyyin secara dhalim
sesuai dengan tujuan engkau menulis buku ini dan sesuai dengan pembahasan-pembahasan yang
lain dari buku-buku dan sikapmu. (Sebagaimana telah dibahas pada buku-buku sebelumnya -
pent., lihat Jamaah Wahidah halaman 78)
Sedangkan ucapanmu : “Apakah mereka para pencela, pencaci, yang memusuhi ulama-ulama
umat Islam yang kurang ajar pada mereka dengan tangan lisannya … .” Siapakah yang
dimaksud?
Apakah yang mencela ulama-ulama Madinah dengan pimpinanya Syaikh Al Imam Muhammad
Amin Asy Syinqithi dengan julukan ‘cetakan lama’, ‘Salafi taqlid’, ‘muhannathin yang
hidup dengan jasad-jasad mereka di jaman ini, tapi hidup dengan akal-akal mereka di
masa lampau’, dan lain-lain dari julukan yang dituduhkan kepada para ulama Ahlus Sunnah
yang mendakwahkan tauhid dan sunnah?
Apakah harakiyyun yang menamakan Syaikh bin Baaz dan para ulama di Saudi dengan
‘pegawai’, ‘spionase’, ‘yang hanya mengerti qusyur (kulit) Islam’, ‘ulama haid dan nifas’
atau seperti yang diucapkan oleh Muhammad Surur : “Budak dari budak dari budak dari
budak dan tuan mereka yang terakhir Nashrani.”
Atau apakah yang dimaksud adalah buku-buku ‘Al Kautsariyyin’ yang penuh celaan terhadap
Ahlus Sunnah.
Berkata Syaikh Rabi’ : “Jangan engkau berpura-pura bodoh dengan apa yang ditulis oleh
Muhammad Al Ghazali dalam beberapa kitabnya dari celaan dan pengkaburan terhadap Ahlus
Sunnah dan Ahlul Hadits yang dulu dan sekarang. Jangan pula kau lupa dengan apa yang ditulis
oleh At Tilmitsani terhadap Ahlus Sunnah dengan menjelekkan dan mencela mereka.
Jangan lupa dengan apa yang ditulis oleh Said Ramadhan Al Buthi, Said Hawwa, Abu
Ghaddah, ‘Izzudin Ibrahim, dan seluruh tokoh-tokoh ikhwani yang memuji Rafidlah (Syi’ah)
dan apa yang ditebarkan oleh tokoh-tokoh Quthbiyyah dari fitnah-fitnah dan gerakan-gerakan
pencelaan yang dhalim dan kebohongan-kebohongan yang dibuat-buat terhadap Ahlus Sunnah.
Jangan lupa pula apa yang ditulis oleh Sayyid Quthub dan celaannya terhadap para shahabat
serta pengkafirannya terhadap Bani Umayyah, khususnya atas khalifah yang lurus Utsman bin
Affan radhiyallahu ‘anhu dengan menjatuhkan kekhilafahannya dan anggapannya bahwa ruh
dan dasar-dasar Islam telah runtuh di jamannya serta pengunggulannya bagi murid-murid Ibnu
Saba’ atasnya (Utsman bin Affan).
Jangan lupa pula terhadap tulisan mufti Oman dan celaannya terhadap Ahlus Sunnah yang
sebenarnya, dan celaannya terhadap shahabat bersama persaksiannya terhadap celaan Sayyid
Quthub dan Maududi (dalam bukunya Khilafah dan Kerajaan, pent.).
Terakhir, jangan lupa dengan serangan Muhammad Alwi Al Maliki, Abdullah Shiddiq Al
Gumari dan As Saqqaf terhadap Ahlus Sunnah. Dan juga serangan Ad Diobandiyyin tokoh-
tokoh jamaah (terhadap Ahlus Sunnah).
Kalau engkau merasa sakit dan gelisah dengan celaan-celaan yang dhalim dan jahat terhadap
Ahlus Sunnah tersebut, maka berarti engkau berada di atas kebenaran. (Lihat ciri-ciri Ahlus
Sunnah dalam Mukadimah halaman 19)
Tetapi sangat disayangkan, engkau jauh dari apa yang saya sebutkan tadi. Dan sesungguhnya
yang engkau inginkan (dengan ucapanmu) adalah Salafiyin. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un.
(Jamaah Wahidah halaman 80)
Kalau Abdurrahman Abdul Khaliq memaksudkan dengan ucapannya adalah Salafiyin, maka
siapakah yang dia maksudkan dengan ulama yang mereka cela? Ulama Ahlus Sunnah atau ahlul
bid’ah? Jawabannya kita serahkan kepada Abdurahman Abdul Khaliq, para muridnya dan para
pembaca.
Perhatikan ucapan di atas : “Apakah mereka tidak mengambil pelajaran dari Syaikhul Islam dan
orang-orang yang di atas jalannya dari Ahlus Sunnah wal Jamaah yang benar, yang mereka ber-
wala’ kepada Ahlul Islam dan menjadikan permusuhan mereka hanya kepada orang-orang
kafir?”
Kita tidak yakin kalau dia sedang menasehati jamaah-jamaah hizbiyyah yang memerangi kaum
Muslimin di Kunar dan mempersaudarakan agama-agama samawi, karena dia menulis buku-
bukunya justru dalam rangka membelanya dari bantahan dan nasehat Salafiyun kepada mereka.
Adapun Salafiyun, mereka menyambut gembira manhaj Salaf dan Syaikhul Islam serta orang-
orang yang berada di atas jalannya dari kalangan Ahlus Sunnah. Tetapi … apakah berarti dengan
berhenti membantah ahlul bid’ah?!
Kita dengar jawaban Syaikh Rabi’ tentang hal ini : “Salafiyun akan berkata : ‘Marhaban (selamat
datang) manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah yang sebenarnya. Karena sesungguhnya mereka tidak
menginginkan pengganti selain itu. Diantara dasar-dasar manhaj ini adalah sabda Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
“Tidak seorang nabi pun yang Allah utus pada satu umat sebelumku, kecuali memiliki dari
umatnya para penolong shahabat-shahabat yang mengambil sunnahnya dan mengikuti
perintahnya. Kemudian sesungguhnya akan datang setelah mereka generasi yang mengucapkan
apa-apa yang tidak mereka kerjakan dan mengerjakan apa-apa yang tidak diperintahkan.
Barangsiapa memerangi (jihad) mereka dengan tangannya maka dia mukmin, barangsiapa
memerangi mereka dengan lisannya maka dia mukmin, dan barangsiapa memerangi mereka
dengan hatinya maka dia mukmin … .” (HR. Muslim dalam Kitab Al Iman hadits nomor 80
juz I halaman 69-70)
Dan firman Allah :
ِ •Eْ —َ CDْ ِb َ•ُونYُ ْ€َF سD
ِ ِ ﱠb َنSُ_Yِ •ْ ُF ُ— ْ_ َ– ِ• َوC َِ~ ْاl َْ نSَ|_ْ Fَ ُوف َو
’D ْ jَ •ِ ›ْ ُ أWٍ Y َْ• أُ ﱠr َ› {ْ ُi_ْ \ُ
ِ _ﱠsِC š
“Kalian adalah umat terbaik yang dikeluarkan untuk manusia. Kalian memerintahkan yang
ma’ruf dan melarang yang mungkar dan kalian beriman kepada Allah … .” (Ali Imran : 110)
Sedangkan bid’ah, apalagi syirik dan kekufuran termasuk dalam kemungkaran tersebut. Adapun
ma’ruf yang paling puncak adalah tauhid. Akan tetapi Salafiyin tidak mengkafirkan seseorang
kecuali setelah ditegakkan hujjah.
Ingatlah bagaimana Umar memukul Shabiegh dan mengasingkannya.
Ingatlah bagaimana Ibnu Umar berlepas diri dari Qadariyyah.
Ingatlah pembunuhan yang dilakukan Ali dan para shahabat terhadap khawarij dengan perintah
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Banyak hadits-hadits dalam masalah ini yang diriwayatkan
oleh para imam diantaranya Imam Bukhari dan Muslim.
Ingatlah pula sikap Ibnu Mas’ud dan Abu Musa terhadap halaqah-halaqah dzikir dan orang-
orang yang bertasbih dengan kerikil.
Bacalah kitab Khalqu Af’ali ‘Ibad oleh Bukhari, kitab As Sunnah oleh Abdullah bin Ahmad, As
Sunnah oleh Al Khallal yang disusun di dalamnya ucapan-ucapan Imam Ahmad dan ulama
Salaf.
Baca pula Asy Syari’ah oleh Al Ajurri, Syarah Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah oleh Al Lalikai, dua
kitab Ibanah oleh Ibnu Baththah (Kubra dan Shugra), Ushul I’tiqad oleh Abu Hatim dan Abu
Zur’ah dan kitab Tauhid oleh Ibnu Khuzaimah, Mukadimah Syarhus Sunnah oleh Al Baghawi
dan banyak lagi yang lainnya.
Baca pula kitab-kitab Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim dan Ibnu Abdul Wahhab dengan tolok
ukur Salafi jangan dengan tolok ukur keuntungan politik dan perasaan semata.
Engkau akan dapatkan bahwa Salafiyun telah mengambil manhaj sunni Salafi yang hakiki ini.
Aku ingin memberikan untukmu hadiah yang berharga yang dimiliki oleh Ahlus Sunnah yang
merupakan ‘petir’ bagi ahlul bid’ah dan para pembelanya.
Al Baghawi dalam Mukadimah Syarhus Sunnah bab Mujanabatu Ahlil Ahwa’ (Menjauhkan
Ahlul Ahwa/Ahlul Bid’ah) membawakan ayat-ayat, hadits-hadits, dan atsar-atsar di dalam bab
ini tentang celaan terhadap ahlul bid’ah. Didalamnya terhadap banyak nukilan diantaranya
pengkafiran dan penyesatan (menganggap sesat) terhadap beberapa ahlul bid’ah (seperti Rafidlah
dan Jahmiyah, pent.) … hingga dia berkata :
“Telah berlalu para shahabat, tabi’in, para pengikut mereka, dan ulama-ulama sunnah atas
yang demikian, bersatu dan bersepakat atas permusuhan dan pemboikotan terhadap ahlul
bid’ah.” (Syarhus Sunnah juz I halaman 227)
Demikianlah Al Baghawi menyebutkan kepada kita bahwa para shahabat, tabi’in, dan tabi’ut
tabi’in bersatu dan sepakat atas permusuhan terhadap ahlul bid’ah dan pemboikotan mereka.
Maka apakah engkau (wahai Abdurrahman Abdul Khaliq) menerima nasehat ini dan percaya
dengan nukilan ini sebagaimana Salafiyin menerima dan membenarkannya?!” (Jamaah
Wahidah halaman 80-82)
Dia (Abdurrahman Abdul Khaliq) juga menyandarkan pendapatnya kepada Syaikhul Islam
bahwa kita hanya memusuhi orang-orang kafir.
Maka bandingkanlah dengan ucapan Syaikhul Islam berikut :
“Seorang yang membantah ahlul bid’ah adalah mujahid, hingga Yahya bin Yahya berkata :
‘Pembelaan terhadap sunnah lebih baik daripada jihad’.” (Naqdul Mantiq halaman 12)
Kita katakan layakkah para pembela Ahlus Sunnah yang membantah ahlul bid’ah dijuluki
dengan pencela, pencaci, kotor mulutnya dan lain-lain?! Atau apakah mereka pantas dikatakan
mencela para ulama?!
Lihatlah pula ucapan Syaikhul Islam yang lain, yaitu beliau rahimahullah berkata setelah
menjelaskan secara ringkas siapa yang boleh di-jarh (dicela) dan yang boleh diterangkan
keadaannya, bahkan dianggap sebagai nasehat : “Nasehat wajib dalam maslahat-maslahat dien
yang khusus dan yang umum, seperti :
Para penukil-penukil hadits yang keliru atau berdusta. Sebagaimana dikatakan oleh Yahya bin
Said : “Saya bertanya kepada Imam Malik, Ats Tsauri, Al Laits Ibnu Sa’ad, dan aku kira juga Al
Auza’i tentang seseorang yang tertuduh dalam masalah hadits dan tidak hapal? Mereka semua
menjawab : “Terangkan keadaannya!”
Berkata sebagian mereka kepada Imam Ahmad Ibnu Hambal : “Berat atasku untuk
mengatakan fulan seperti ini, fulan seperti itu?” Maka berkata Imam Ahmad : “Kalau engkau
diam dan aku diam, maka kapan seorang bodoh akan tahu yang shahih.”
Para tokoh ahlul bid’ah dari golongan yang memiliki ucapan-ucapa yang menyelisihi Al Kitab
dan As Sunnah, juga ahlul ibadah yang menyelisihi Al Kitab dan As Sunnah.
Maka sesungguhnya menjelaskan keadaan mereka dan memperingatkan umat dari mereka adalah
wajib dengan kesepakatan kaum Muslimin. Hingga dikatakan kepada Imam Ahmad : “(Apakah)
seseorang berpuasa , shalat, i’tikaf, maka hanya untuk dirinya, sedangkan jika dia berbicara
terhadap ahlul bid’ah, maka itu untuk kaum Muslimin. Inilah yang lebih afdhal.”
Maka ketika manfaatnya umum bagi kaum Muslimin dalam dien mereka, dia termasuk jihad fi
sabilillah. Karena pembersihan jalan Allah, dien, manhaj, dan Syari’at-Nya serta penolakan
terhadap penyelewengan mereka (ahlul bid’ah) dan permusuhan terhadap mereka adalah wajib
kifayah dengan kesepakatan kaum Muslimin.
Kalaulah tidak ada orang-orang yang Allah tegakkan untuk menolak kejelekan-kejelekan
mereka, maka akan rusaklah dien dan kerusakan ini lebih besar daripada rusaknya penjajahan
musuh yang memerangi. Karena jika mereka menguasai/menjajah tidak akan merusak hati dan
apa yang ada di dalamnya dari dien secara langsung, tetapi tunduk (lahiriahnya). Adapun mereka
(ahlul bid’ah) merusak hati secara langsung. (Majmu’ur Rasail wal Masail 5/110)
Adapun masalah jihad Syaikhul Islam terhadap Tartar, sesungguhnya Ibnu Taimiyah dalam
memerangi Tartar bertitik-tolak dari tauhid dan yang membawa benderanya adalah ahli tauhid.
Lain halnya ketika bendera jihad berada di tangan quburiyyin (para penyembah kubur), maka
tidak mereka mendapatkan bagian kecuali kekalahan.
Berkata Syaikhul Islam rahimahullah ketika membantah istighatsah (mengadu), isti’anah
(meminta pertoloongan), dan isti’adzah (meminta perlindungan) kepada selain Allah, serta
menjelaskan bahwasannya perbuatan itu syirik sebagai berikut :
“ … hingga ketika musuh yang keluar dari syari’at Islam datang ke Damaskus mereka ber-
istighatsah dengan orang-orang mati di kuburan-kuburan, yang mereka mengharapkan dari
sisinya agar hilangnya bahaya. Berkatalah beberapa penyair :
Wahai orang-orang yang takut dari Tartar
Berlindunglah dengan kubur Abi Umar
Atau berkata :
Berlindunglah kalian dengan kubur Abi Umar
Dia akan menyelamatkan kalian dari setiap dlarar
Aku (Syaikhul Islam) katakan kepada mereka : “Mereka yang kalian ber-istighatsah (mengadu)
kepadanya kalaupun mereka bersama kalian dalam peperangan, mereka pun akan kalah
sebagaimana kalahnya kaum Muslimin di perang Uhud. Karena sesungguhnya telah ditetapkan
(oleh Allah) bahwa tentara akan terpecah (kalah) karena sebab-sebab yang mengharuskan
demikian. Dan ini karena hikmah Allah padanya.
Oleh karena itu, orang-orang yang memiliki pemahaman dan pengertian terhadap dien yang baik
tidak mau ikut berperang pada saat itu karena tidak adanya peperangan yang syar’i yang Allah
dan Rasul-Nya perintahkan dan karena peperangan (semacam itu) hanya akan menghasilkan
fasad (kerusakan) dan tidak turunnya pertolongan yang dibutuhkan. Maka tidak ada padanya
balasan dunia, tidak pula pahala akhirat, bagi siapa yang mengerti ini dan itu (mengerti kesesatan
kedua belah pihak, pent.). Walaupun kebanyakan orang meyakini bahwa itu adalah jihad syar’i,
adapun niatnya diserahkan pada hati mereka.
Ketika setelah itu mulailah kami mengajak manusia untuk mengikhlaskan dien hanya untuk
Allah Azza wa Jalla dan beristighatsah kepada-Nya dan agar tidak ber-istighatsah kepada selain-
Nya. Tidak beristighatsah kepada Malaikat yang didekatkan, tidak pula kepada Nabi yang diutus.
Sebagaimana ucapan Allah Subhanahu wa Ta’ala pada saat peperangan Badr.
َ •ََ iLْ Dَ^ {ْ –ُ ﱠbنَ َرSُar‚ِ َiqْ َF إِ ْذ
{ْ –ُ Cَ بD
“Dan ingatlah ketika kalian ber-istighatsah kepada Rabb kalian, lalu diperkenankan-Nya
bagimu … .” (Al Anfal : 9)
Ketika manusia sudah memperbaiki keadaan mereka dan jujur, beristighatsah kepada Rabb-nya,
Allah menolong dari musuh-musuh mereka dengan pertolongan yang besar, sehingga kalahlah
Tartar dengan kekalahan yang tidak pernah terjadi pada saat itu.
Hal demikian dikarenakan benarnya perwujudan tauhidullah dan ketaatan kepada Rasulullah,
yang sebelumnya mereka tidak seperti itu. Sesungguhnya Allah menolong Rasul-Nya dan orang-
orang yang beriman di kehidupan dunia dan pada hari persaksian.” (Kitab Radd Alal Bakri
halaman 377-379. Lihat Jamaah Wahidah halaman 88)
Setelah menukil ucapan Syaikhul Islam di atas, Syaikh Rabi’ berkata : “Semoga Syaikh
Abdurrahman Abdul Khaliq masih ingat dan belum lupa sikap jamaah-jamaah Islamiyah
(hizbiyyah, pent.) terhadap serangan ‘Tartar modern’ yaitu Saddam Hussein yang mulhid dan
tentaranya terhadap Kuwait dan menggiring mereka para pasukan liar dan biadab ke batas
Kerajaan Saudi Arabia, negeri Tauhid dan Sunnah. Apakah jamaah-jamaah itu bangkit untuk
membela negeri tauhid dan dua tempat suci (Makkah dan Madinah) ?!
Atau apakah mereka bangkit untuk menolong penguasa ‘Tartar modern’ dengan demonstrasi-
demonstrasi, muktamar-muktamar, dan dengan menggerakkan ahlul bid’ah dan partai-partai
kafir terhadap negeri tauhid untuk membela ‘Tartar modern’, dan dengan mempersaksikan
bahwa jihad mereka adalah jihad Islam, serta Saddam adalah pahlawan Islam … ?! (Jamaah
Wahidah halaman 88)
Kesimpulan
Kami cukupkan pembahasan ini dengan beberapa nukilan dari kaset dan buku-buku
Abdurrahman Abdul Khaliq agar menjadi jelas apakah kesalahan-kesalahannya hanya
merupakan zallah (ketergelinciran) atau memang karena akibat dari penyelewengan manhaj.
Telah dibantah oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz dalam enam masalah.
Telah dibantah oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, Shalih Ibnu Ghushhun dan lain-
lain.
Telah diberikan surat bantahan yang memuat puluhan kesalahan kepadanya oleh Syaikh Shalih
Al Fauzan.
Dan telah dijelaskan penyelewengan manhajnya oleh Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhaly.
Oleh karenanya tidak terlalu jauh kalau Syaikh Al Muhaddits Muqbil bin Hadi Al Wadi’i
ketika ditanya tentang Abdur Rahman Abdul Khaliq apakah dia mubtadi’ (ahlul bid’ah), beliau
mengatakan : “Ya, dia adalah mubtadi’. Hendaklah yang hadir menyampaikan kepada yang
tidak hadir.”
Maka kini kami memanggil Abdurrahman Abdul Khaliq dan pengikut-pengikutnya untuk
bertaubat dan meninggalkan semua ucapan-ucapannya dan kembali kepada manhaj As Salafus
Shalih.
Kami juga memanggil kaum Muslimin untuk berhati-hati dari penyelewengan Abdur Rahman
Abdul khaliq, kaset, dan buku-bukunya serta pengikut-pengikutnya.
Kalau mereka mengatakan : “Bukankah itu kaset-kaset dan buku-buku lama, yang sekarang dia
sudah bertaubat daripadanya?”
Kita katakan : “Alhamdulillah kalau memang dia telah bertaubat dari kaset dan buku-buku
tersebut.”
Namun karena kaset dan buku-bukunya tetap tersebar di seluruh penjuru dunia dan
bahkan sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, maka kita tetap berkewajiban
untuk memperingatkan dari bahaya dan penyelewengannya. Hal itu sebagaimana para
ulama memperingatkan dari manhaj Asy’ariyah, meskipun Abul Hasan Al Asy’ari sendiri telah
bertaubat dari paham-pahamnya dan memperingatkan dari buku-buku karya Ghazali, padahal
beliau telah bertaubat di akhir hayatnya. Semoga Allah mengampuni dan merahmati mereka.
Apalagi ternyata kita dapati beberapa tanda kalau dia belum bertaubat dengan sebenar-benarnya,
diantaranya :
Dia merasa bangga dengan ribuan kaset dan buku-buku selama dia berdakwah 30 tahun yang
hanya jatuh pada enam kesalahan.
Marahnya dia kepada Salafiyin yang menyampaikan ucapannya kepada para ulama, yang
semestinya dia berterima kasih.
Ucapannya dalam kaset Kasyfus Syubuhat yang diucapkan setelah pengumuman taubatnya
bahwa kesalahan-kesalahannya 20 tahun yang lalu pada masanya adalah haq.
Kembali mengucapkan perkataan-perkataan sinis kepada para ulama tauhid dan membela ahlul
bid’ah dari jamaah-jamaah hizbiyyah.
Dia masih belum menyadari bahwa penyelewengannya adalah pada masalah manhaj, bukan
sekedar zallah (ketergelinciran) saja.
Akhirnya kami memanggil kepada seluruh kaum Muslimin untuk bertaubat kepada Allah dan
kembali kepada manhaj Salafus Shalih Ahlus Sunnah wal Jamaah dan berdoa kepada Allah agar
memberi petunjuk kepada kita dan mereka serta mengampuni kesalahan-kesalahan kita dan
mereka. Amin.
Duta-duta Sururiyyah di Indonesia
Seluruh bentuk-bentuk metamorfosis yang asal-muasalnya dari sikap toleran ala sufi terhadap
kebid’ahan-kebid’ahan dan kesesatan sudah tersebar pula di Indonesia. Setelah keberadaan IM,
baik di luar negeri maupun di dalam negeri kita, sudah tidak laku di pasaran, maka mereka
mencari bentuk baru hingga tampak menarik minat masyarakat awam. Manusia menjulukinya
dengan berbagai macam istilah-istilah seperti: Salafy haraki, Salafi moderat, harakah sunniyyah
dan lain-lain. Penamaan-penamaan tersebut muncul karena keanehan mereka pada satu hal yaitu:
sikap lunaknya pada ahlul bid’ah, selalu membela dan mencarikan dalih, bahkan menyanjung
mereka.
Tentunya sikap seperti ini sangat berbeda dengan ketegasan para ulama dalam menyikapi ahlul
bid’ah. Mereka terpaksa memberikan embel-embel tambahan pada jenis “salafy baru” ini dengan
istilah: salafy tapi moderat, salafy tetapi lunak, salafi yang mau bergabung dengan harakah-
harakah bid’ah dan seterusnya.
Yayasan Al Sofwa
Pemikiran sururiyyah ini telah di import masuk ke Indonesia oleh yayasan-yayasan tertentu
seperti ash-Shofwa –yang awal berdirinya bernama al-Muntada persis sama dengan nama
yayasan Muhammad surur di London–. Mereka berkiblat kepada Muhammad Surur Naif Zainal
Abidin, yang menerbitkan dua majalahnya as-Sunnah, kemudian al-Bayan. Yayasan ini turut
andil dalam menyebar-luaskan majalah tersebut di Indonesia. Untuk lebih jelasnya lihat
persaksian-persaksian berikut:
I. Persaksian Penulis (Muhammad Umar as-Sewed) Tentang Yayasan Al-Sofwah
Untuk Allah dan karena Allah kami menulis persaksian ini. Dengan harapan agar kaum muslimin
khususnya ahlussunnah Salafiyyin menyadari bahaya yang sedang mengancamnya.
Saya (Muhammad Umar as-Sewed) masih ingat ucapan Syaikh Rabi’ kepada saya, ketika saya
bertanya tentang al-Muntada (yang kemudian berganti nama dengan Al-Sofwa). “Kalau
memang yayasan tersebut sama dengan al-Muntada yang berada di London, maka kita
lihat saja , ia akan menjadi musuh paling utama Dakwah Salafiyyah di Indonesia”, kata
Syaikh Rabi’.
Dengan cara yang persis sama dengan al-Muntada, London mereka mulai membuat gerakan
makarnya, mendekati para Ulama. Mereka meminta rekomendasi dan legitimasi bahwa yayasan
ini adalah yayasan Salafiyah, mendekati salafiyyin Indonesia dan menampilkan diri sebagai
gerakan dakwah Salafiyah, dengan menyebarkan karya-karya Syaikh ‘Utsaimin dan Syaikh Bin
Baaz yang sifatnya umum yang tidak berkaitan dengan manhaj mereka… dan seterusnya. Setelah
itu dengan halusnya mereka menyusupkan pemikiran-pemikiran Sururiyah-Ikhwaniyah melalui
berbagai macam cara.
Pemikiran khas Sururiyah-Ikhwaniyah yang paling jelas adalah menyatukan berbagai firqoh ahli
bid’ah dan berusaha mengakurkan mereka sekaligus membawanya kepada satu “jama’ah” yang
tidak saling bermusuhan.
Tentunya kelompok yang paling mereka takuti adalah Ahlussunnah Salafiyyun. Karena mereka
tetap pada jalan generasi pendahulunya, mengajak kepada Sunnah dan memberantas bid’ah,
berwala’ (loyal) kepada Ahlussunnah dan bara’ (benci dan antipati) dari para ahli bid’ah. Dan
mereka terkenal keras dan tegas kepada ahli bid’ah.
Ternyata apa yang telah diucapkan Syaikh Rabi’ kini menjadi kenyataan. Karena apa yang
dibawa al-Muntada/As-Sofwa di Indonesia sama dengan apa yang dibawa Al-Muntada di
London. Yang demikian itu bisa dilihat dari beberapa bukti yang saya saksikan atau yang saya
dengar dengan yakin yaitu :
1. Mereka menyebarkan majalah Al-Bayan yang diterbitkan oleh Al Muntada Al Islami (yang
didirikan Muhammad Surur, sehingga sebutan bagi pengikutnya disebut sururi, red), London
Menyebarkan buku-buku terbitan Al Muntada dan lain-lain dari tulisan tokoh-tokoh sururi
seperti Salman ‘Audah, Aidl Al-Qarni dan sebagainya
Bahkan lebih jelas lagi bahwa pendirinya, Muhammad Ibn Ibrahim al-Khalaf (namanya sesuai
dengan manhajnya) menulis buku “Petunjuk bagi Wanita Pelajar” yang dalam bahasa aslinya
(Arab) adalah Dalilut Thalibah. Dibawakan olehnya fatwa-fatwa fiqih dari syaikh Ibnu Utsaimin
hafidhahullah. Sedangkan patokan-patokan dalam masalah dakwah diambil dari pemikiran
Salman Al Audah.
(Dilaporkan oleh website Al Sofwa,
http://www.alsofwah.or.id/index.php?pilih=lihatkegiatan&id=41&id_layanan=26 bahwa Yazid
Abdul Qadir Jawwas (mudir Yayasan Minhajus Sunnah), Bogor; Abu Nida’ Khomsaha Sofwan,
Lc. (Mudir Yayasan Majelis At-Turats, Yogyakarta), Khalid Syamhudi, Lc (Ustadz di Ma’had
Imam Bukhari), Nizar Sa’ad Jabal, Lc. (Mudir Ma’had Al-Irsyad Tengaran-Salatiga); Abu
Haidar Al-Sundawy (Mudir Yayasan Ihya’u Al-Sunnah, Bandung), Asmuji Muhayyat, Lc. (Mudir
Ma’had Imam Syafi’i); Ali Nur Abu Ihsan Al-Medani, Lc., MA. (Ustadz di Jazirah Sumatera
Utara), Ust. Fariq Qashim Anuz (Ustadz di Jeddah Da’wah Center-Jeddah-KSA), Ust. Abu
Hamzah A. Hasan Bashari, Lc.,M.Ag. (Da’i di Jawa Timur), Ust. Muhammad Dahri
Qomaruddin, Lc (LIPIA Jakarta), Ust. Geis ibn Umar Bawazir (Al-Irsyad-Pemalang), .
Masruhin Sahal (Mudir Ma’had Al-Tha’ifah Al-Manshurah, Kediri), Ust. Hasyim Rifa’i (Mudir
Ma’had Baitus Shalihat, Kediri), Ust. Ade Hermansyah ibn Bunyamin, Lc. (Mudir Ma’had Al-
Ma’tuq, Sukabumi), mereka semuanya hadir di acara tanggal 25 Rabi’ul Awwal – 01 Rabi’ul
Akhir 1421H) yang menghadirkan ‘Syaikh’ Muhammad ibn Ibrahim Al-Kholaf dari Unaizah-
KSA, red)
4. Membantu program-program ahli bid’ah baik dari kalangan pengikut tarekat sufiyyah,
Ikhwanul Muslimin, ataupun Negara Islam Indonesia (NII) atau disebut JI akhir-akhir ini
(diantaranya Ponpes Al Mukmin Ngruki, red)
5. Memperkerjakan orang-orang yang tidak jelas manhajnya di dalam yayasan Al-Sofwa
(diantaranya Aman Abdurrahman Lc menjadi dai dan imam tetap masjid Al Sofwa yang
berpaham teroris belakangan setelah bom rakitannya meledak di rumahnya, Cimanggis, maka dia
divonis dipenjara di Sukamiskin, Bandung, red)
6. Yang lebih jelas dari itu adalah hubungannya dengan Muhammad Anis Matta, Lc (sekarang
sekjen PK Al Ikhwani, red) yang jelas-jelas tokoh Ikhwanul Muslimin Indonesia.
Saya pribadi pernah memergokinya bersama Muhammad Anis Matta (tokoh PKS, red) di Hotel
Karya II, Jakarta. Maka saya menegurnya. Kemudian dia beralasan hanya membantu program
khusus bahasa Arabnya.
7. Hubungan eratnya dengan Ikhwanul Muslimin (IM) bertambah jelas ketika ia menitipkan
istrinya bersama akhowat IM di Madrasah IM yaitu Al-Hikmah, yang pernah melarang murid-
murid wanitanya memakai cadar. Dan kami pernah menegur mereka dengan mendatangi guru-
gurunya. Jawaban mereka: “Ini hasil kesepakatan guru-guru”
8. Mengadakan daurah para Da’i di Bogor. Dengan mendatangkan tokoh Sururi Dr. Ibrahim ad-
Duwaisy yang jelas prototypenya Salman (Nama Dr Ibrahim Ad Duwaisy dipropagandakan oleh
website Al Sofwa karena kasetnya direkomendasikan oleh yayasan Al Sofwa)
9. Mengadakan dakwah untuk para da’i dengan menampilkan Farid Okbah (aktifis DPP Al
Irsyad /L-Data, Jakarta, red) yang menjelaskan bahwa fitnah Sururiyah Indonesia tidak ada. Dan
itu hanyalah problem politik Saudi.
II. Kesaksian Syaikh Abdullah bin Umar bin Mar’i (Yaman) Tentang Muhammad Kholaf
Mengenai pendiri Yayasan Al-Sofwa, Muhammad Kholaf, silakan dengarkan kesaksian Syaikh
Abu Abdirrahman bin Umar bin Mar’i yang pernah mengenalinya langsung dari dekat di
‘Unaizah, Al-Qosim, King Saudi Arabia. Persaksian itu sebagai berikut :
Beliau berkata :
Segala pujian hanya milik Allah Ta’ala Rabb sekalian alam. Shalawat dan salam semoga
tercurah kepada Nabi kita Muhammad dan keluarganya.
Amma ba’du,
Seorang al-akh (saudara) meminta saya agar menulis tentang Muhammad Kholaf tentunya sesuai
dengan apa yang saya ketahui. Semoga Allah menunjukinya. Maka dari itu dengan memohon
pertolongan-Nya, saya akan memulainya. Saya katakan (Abdullah Mar’i, red).
Saya mengetahuinya di ‘Unaizah dan ketika itu saya berjumpa dengannya di perpustakaan
Maktabatul Ummah. Saya pernah mendengar tentang dirinya dari pembicaraan ikhwah Indonesia
dan dari seorang yang mengetahuinya disana. Tak lama kemudian saya menanyakan tentang
dirinya (juga) kepada beberapa ikhwan yang tinggal di ‘Unaizah. (Ternyata) lebih dari satu
ikhwan kita yang salafy di kota Qosim memberitahukan bahwa ia adalah termasuk salah seorang
yang mempunyai hubungan sangat dekat dengan Salman al-‘Audah. Hubungan dekatnya dengan
Salman membuatnya (mudah) mendapatkan bantuan-bantuan (dana) darinya. Mayoritas bantuan
tersebut ia peroleh dari Al-Jam’iyah Ihyaut Turats, sebagian bantuan lainnya ia kumpulkan dari
para syaikh Kerajaan Saudi dengan rekomendasi dari Salman. Hubungan dekatnya dengan
Syaikh ‘Utsaimin beberapa waktu lamanya (nampaknya juga) merupakan faktor yang membuat
ia mudah mengumpulkan bantuan (dana) dari Jam’iyah Ihya’ut Turots. Ditambah lagi dia
seorang penduduk Qosim dan seorang guru di Riyadl. Saya pikir banyak yang mengetahui hal
itu.
Adapun manhajnya maka ia adalah seorang Sururi. Karena ia sangat kental hubungannya dengan
Salman al-‘Audah dan orang-orang yang sejalan dengannya. Terdapat beberapa hal yang
menunjukkan demikian antara lain:
1. Hubungan sangat kental dengan Salman Al-Audah dan orang-orang yang sejalan dengannya
di negeri Saudi ataupun di luar negeri tersebut.
2. Beberapa risalahnya yang telah dicetak semisal Dalilit Thalibah al Mukminah (Petunjuk
Bagi Wanita Pelajar) dan selainnya.
3. Ia mempunyai perpustakaan bernama Maktabatul Ummah yang berada di ‘Unaizah, terdapat
padanya kitab dan majalah.(yang bermanhaj sururi-pent)
4. Kitab-kitab yang ia bagikan, sebarkan dan cetak mayoritas memuat keinginan pencetak dan
pemikirannya (yakni Muhammad Kholaf, red)
5. Warga salafiyyin yang sedaerah dengannya yang berdomisili di ‘Unaizah menyaksikan
keadaannya yang demikian. Dan merekalah orang-orang yang tahu tentang dirinya dan
aktivitasnya. Dr.Abdullah al-Musallam, seorang dosen pada mata kuliah Syar’iyah dan
Ushuluddin di Universitas Al-Imam, Qosim, mengatakan bahwa ia seorang sururi bahkan
termasuk tokohnya. Al-Ustadz Umar al-Harakan, seorang pengajar di Ma’had Ali di kota
Buraidah, banyak dari kalangan ikhwan salafiyin seperti al-Akh Muhammad at-Turki,
Abdurrahman al-‘Amir, Umar al-Hathlani, Rafiq Zaki dan selain mereka menyaksikannya
berbuat demikian. Merekalah saksi-saksi hidup. Datang dan mintalah keterangan tentang
masalah ini pada mereka.
Salman Al-‘Audah, Jam’iyah At-Turats dan beberapa orang yang berdomisili di Riyadh adalah
pendukung-pendukungnya. Hal ini menunjukkan apa yang telah disebutkan di muka dan inilah
perkara-perkara yang dapat dipersaksikan dari kejauhan sebelum mendekatinya.
Mudah-mudahan yang telah saya sebutkan (insya Allah –pent) di atas sudah mencukupi. Allahu
a’lam. Jika tidak demikian maka disana masih terdapat banyak hal lain (yang masih belum
disebutkan). Namun tidak sepantasnya semua yang diketahui disebutkan. Allahu a’lam.
Adapun mengenai akhlak dan pergaulannya dengan teman-temannya, maka inilah perkara yang
sudah jelas.
Sungguh saya pernah bergaul langsung dengannya. Akan tetapi saya belum pernah duduk-duduk
bersamanya selain beberapa saat saja. Padanya ada perkara-perkara yang tidak sepantasnya
seorang muslim yang mengamalkan keislamannya, terlebih bagi seorang thalibul ilmi dan da’i,
(untuk mengorek semua kejelekannya). Semoga Allah menunjukinya.
Terakhir, inilah catatan yang saya tuangkan di sini mengenai al-akh tersebut. Saya katakan dan
saya ingatkan (kepada semua pihak yang berkepentingan) bahwa haruslah bagi seorang Salafy
Sunni mempunyai hubungan (kenal) dengan para Ulama Sunnah Salafiyah. (Saya perhatikan) ia
bukanlah orang yang mempunyai sifat demikian sekalipun dengan ulama negeri Saudi, yang
mana orang-orang dari segenap penjuru dunia, dari berbagai macam manhaj dan madzhab
berhubungan dengan mereka dengan ramah dan dekat. Hal tersebut tidak terjadi pada dirinya.
Menunjukkan padamu jauhnya ia dari ilmu dan ahlinya (ulama). Allahul musta’an.
Kita memohon kepada Allah ‘Azza wa Jalla agar mengokohkan agama kita dan memberikan
ilmu tentang syariat kita ini. Dan segala pujian hanyalah milik Allah semata.
Dammaj, Sha’dah, pagi hari, 3/2/1420 H
Diterjemahkan di Degolan pada pagi hari 17 Juni 1999 M.
III. Kesaksian Ustadz Muhammad as-Sewed tentang Muhammad Khalaf
Kemudian saya (Ustadz Muhammad Umar as-Sewed) menambahkan apa yang saya ketahui
tentang dirinya di ‘Unaizah, Qosim yaitu :
1. Saya selama kira-kira satu tahun hampir tidak pernah absen duduk di majelis Syaikh Ibnu
‘Utsaimin, tidak pernah sekalipun Saya melihat Muhammad Khalaf di majelis tersebut. Saya
hanya sekali melihatnya dalam ceramah umum yang disampaikan Syaikh ‘Utsaimin
2. Ia memiliki toko buku Al-Ummah yang khusus menjual buku-buku kecil (kutaib) dan semua
buku-buku tokoh-tokoh sururi terdapat disini, sedangkan buku-buku yang membantahnya dari
tulisan Syaikh Rabi’ dan selain beliau susah didapat.
3. Pernah toko tersebut dititipi majalah oleh sales dari distributor majalah Al-Ashalah dan
Salafiyah yang jelas pengasuh dan penulisnya adalah Salafiyun dan Ulama Ahlussunnah.
Disinilah saya pertama kalinya mengenal majalah tersebut. Ternyata setelah saya baca, saya
sangat mengaguminya. Maka saya kembali ke toko tersebut untuk memiliki lebih banyak lagi
untuk dikirim ke beberapa kawan di Indonesia. Ternyata apa yang terjadi? Majalah tersebut
lenyap dari etalase, saya menanyakan kepada penjaganya (waktu itu Ahmad Bahrudin) ternyata
majalah tersebut disimpan dan tidak boleh dijual (dicekal). Bahkan beberapa temannya mencela
(menurut persaksian dia) majalah tersebut dengan ucapan-ucapan jelek : ”Pengasuh majalah ini
(Assalafiyah) adalah munafiqun”. “Ini bukan majalah Salafiyah tapi Thalafiyah (kerusakan)”
diganti huruf sin-nya dengan huruf ta”. Bahkan saya sendiri mendengar dari seorang yang juga
merupakan groupnya (memang ternyata toko itu milik “group”) mengatakan, sambil menunjuk
majalah al-Bayan,”Ini yang namanya majalah, bukan itu !” Yakni bukan majalah al-Ashalah
4. Dengan data-data yang lengkap, makin jelaslah, saya berusaha untuk bertanya kepada syaikh
Rabi’ tentang al-Sofwah dan Muhammad Khalaf serta al-Muntada yang ada di London. Dengan
demikian lengkaplah sudah gambaran Muhammad Khalaf dan al-Sofwa. (Lihat ucapan Syaikh
Rabi’ di Mukadimah)
5. Terakhir saya menemui Muhammad Khalaf sepulang dari Madinah dengan maksud menegur
dan memperingatkan sekaligus melihat apakah dia bergabung dengan sururiyin dan menyebarkan
paham sururiyah itu dengan sadar atau tertipu.
Saya mendapatkan beberapa catatan penting yaitu :
a. Dia mengakui memang orang-orang Al Muntada adalah teman-temannya. Sehingga dia selalu
berkonsultasi dengan mereka dalam dakwahnya di Indonesia, sedangkan kita tahu adanya hadits
Rasulullah yang berbunyi : Al mar’u ‘ala dini kholilihi “Agama seseorang itu bersama teman-
teman dekatnya”.
b. Dia tidak suka dengan mahasiswa Madinah sehingga dia meminta saya mencarikan da’i untuk
as-Sofwa dari mahasiswa Indonesia yang ada di Jamiatul Imam, Riyadl. Dan menjadi rahasia
umum kalau Jami’atul Imam Riyadl dikuasai orang-orang hizbi, IM. Maka saya katakan, Saya
memiliki banyak teman-teman salafy di Jamiah Islamiyah Madinah yang kita tahu banyak
didominasi Salafiyun. Dia menjawab dengan tegas dan jelas :” Saya tidak suka dengan anak-
anak (mahasiswa) Madinah”
Demikianlah apa yang saya ingat dengan yakin tentang Muhammad al-Khalaf.
Sedangkan yang tidak jelas dan saya masih ragu tidak perlu dituliskan disini. Wallahu a’lam.
Yogyakarta, 3 Juli 1999
Disusun oleh Ustadz Muhammad Umar as-Sewed (Cirebon).
A’lamus Sunnah
Sebagian yang lain berkiblat ke sururiyyin di Riyadl dengan mengirim da’i-da’inya untuk
membikin daurah-daurah di pondok Aunur Rafiq, Gresik dengan mediator ash-Shafwa atau
A’lamus Sunnah Leuwiliang Bogor, dimana dana dan pemikirannya dipasok oleh grup
Sururiyyah di Riyadl yaitu Dr. Adnan ‘Ar’ur dan Abdul Karim al-Katiri, kemudian mereka
membentuk Harakah Sunniyyah (gerakan sunni). Adnan ‘Ar’uur adalah sosok yang
berpemikiran sama dgn Surur.
Majelis At Turats Al Islamy Yogya
Seperti tertera dalam situsnya versi lama (atturots.or.id), bahwa dalam Majelis At Turats Al
Islamy ada nama-nama seperti Arif Syarifuddin, Abu Sa’ad Muhammad Nur Huda (LBI Al
Atsary), Kholid Syamhudi, Lc, Tri Madiyono. Alamatnya di Wirokerten, Banguntapan, Bantul,
DIY.
Pihak yang masih berkiblat kepada Abdurrahman Abdul Khaliq dengan yayasan Ihya at-Turats-
nya, yaitu Yusuf bin Utsman Baisa (Lajnah Dakwah DPP Al Irsyad) dengan ponpes Ma’had
Ali al-Irsyadnya (Tengaran, Boyolali, red). Bahkan dia mendatangkan ‘bigbos’nya,
Abdurrahman Abdul Khaliq, mengadakan ceramah di Indonesia guna menyebarkan syubhat-
syubhat kepada para da’i di Indonesia dan didukung oleh semua da’i Majelis grup At-Turats.
Meskipun kiblat kelompok-kelompok di atas berbeda-beda, namun mereka memiliki satu
kesamaan misi, yaitu: “Membela hizbiyyin, memuji mereka atau berkerja sama dengan
mereka”. Sebaliknya mereka sinis, dengki dan tidak suka terhadap salafiyyin yang mentahdzir
ahlul bid’ah. Mereka membenci dan mengingkari adanya tahdzir yang dilakukan oleh salafiyyin
dengan kalimat-kalimat seperti: “Gak ada tahdzir-tahdziran”, “tahdzir itu hanya haknya ulama”,
“di Indonesia belum waktunya ditegakkan manhaj tahdzir”, dan lain-lain.
Maka sungguh picik apa yang dikatakan oleh ‘jagoan-jagoan’ baru yang berkolaborasi dengan
Majelis Turats Al Islami, seperti Firanda Abu Abdil Muhsin ibnu Abidin dalam bukunya
Lerai Pertikaian Akhiri Permusuhan dan Abdullah Taslim dalam banyak tulisannya di
www.muslim.or.id yang menyatakan bahwa perseteruan para ustadz hanya dikarenakan
“kedekatan”nya dengan yayasan-yayasan tersebut (Ihya at-Turats dan Ash-Shofwa) atau hanya
karena mereka mendapatkan dana dari mereka. Semoga Allah memberikan hidayah dan taufik
kepada mereka berdua. Wallahu a’lam bish showab. (Draft diedit terakhir tanggal 20
November 2006)