Anda di halaman 1dari 4

TELAAH KRITIS KONSEP MODERASI AGAMA

Oleh : Said Arman, S.Pd

Saat ini, salah satu proyek yang sedang ramai dijalankan, adalah proyek moderasi agama. Proyek ini menjadikan
Islam dan kaum Muslim sebagai sasaran utamanya. Proyek ini tidak bisa dilepaskan dari pengarusutamaan Islam
moderat. Proyek moderasi agama bertujuan untuk menancapkan paham Islam moderat dan menjadikan kaum
Muslim menjadi Muslim moderat.

Moderasi agama adalah istilah baru. Tak memiliki akar teologis maupun historisnya dalam Islam. Namun demikian,
istilah ini terus dijajakan di tengah-tengah umat Islam. Seolah merupakan sebuah keniscayaan bagi umt Islam saat
ini untuk mempraktikan moderasi agama. Apalagi saat bahaya radikalisme agama terus diopinikan. Moderasi
dianggap penting dan mendesak.

Betulkah demikian? Apa sebetulnya yang disebut moderasi agama? Apakah Indikator moderasi agama? Bagaimana
pula Makna Islam moderat itu?

Menurut penggagasnya di Indonesia dalam konteks politik kekinian, moderasi agama ditandai dengan empat
indicator :

Pertama, adanya komitmen kebangsaan, maksudnya menerima prinsip-prinsip kebangsaan dalam UUD 1945 dan
berbagai regulasi di bawahnya.
Kedua, adanya toleransi yang diwujudkan dengan menghormati perbedaan dan memberi ruang orang lain untuk
berkeyakinan, mengekspresikan keyakinannya, dan menyampaikan pendapatnya.
Ketiga, bersikap anti kekerasan, yakni menolak tindakan seseorang atau kelompok tertentu yang menggunakan
cara-cara kekerasan, baik secara fisik maupun verbal, dalam mengusung perubahan yang diinginkannya.
Keempat, penerimaan terhadap tradisi. Maksudnya ramah terhadap tradisi dan budaya lokal dalam perilaku
keagaamannya, sejauh tidak bertentangan dengan pokok ajaran Islam.

Menurut KH. Siddiqi Al jawi di kutip dalam Media Al waie edisi 21 Oktober 2021 dalam Tanya jawab soal Moderasi
Agama beliau mengungkapkan ke empat indikator itu bermasalah secara normatif dan tidak adil dalam tataran
empiris atau praktiknya. Secara normatif, keempat indikator tersebut masih ambigu dan tentu saja
menjadi debatable. Contoh, menurut salah satu regulasi di bawah UUD 1945, yaitu Keputusan Presiden (Keppres)
Nomor 24 Tahun 2016, Pemerintah menetapkan tanggal 1 Juni 1945 sebagai Hari Lahir Pancasila. Pertanyaannya,
Pancasila yang mana yang lahir 1 Juni 1945? Dalam buku Piagam Jakarta karya Endang Saifuddin Anshari,
Pancasila yang lahir 1 Juni 1945 rumusannya tidak seperti lima sila yang kita kenal saat ini, melainkan adalah: Sila
pertama, kebangsaan Indonesia. Sila kedua, internasionalisme atau perikemanusiaan. Sila ketiga, mufakat atau
demokrasi. Sila keempat, kesejahteraan sosial, dan sila kelima, ketuhanan. Jika faktanya demikian, maka rumusan
Pancasila 1 Juni 1945 tersebut justru akhirnya bertentangan dengan rumusan Pancasila yang kita kenal saat ini,
yakni rumusan 18 Agustus 1945 dalam Pembukaan UUD 1945. Jadi, kalau indikator moderasi agama itu adalah
harus ada komitmen kebangsaan, maka justru Pemerintah sendirilah yang sudah melanggar komitmen
kebangsaannya sendiri, atau minimal komitmen kebangsaannya simpang-siur alias tidak jelas. Tegasnya Keppres
nomor 24 tahun 2016 itu sendiri sudah kontradiktif dengan UUD 1945.

Lalu, secara empiris, empat indikator moderasi agama tidak adil dalam implementasinya. Maksudnya, lebih
digunakan untuk mengukur moderasi agama di kalangan warga khususnya yang Muslim, tetapi tidak digunakan
untuk mengukur moderasi beragama di kalangan Pemerintah itu sendiri, atau di kalangan para pendukung
1
Pemerintah, atau di kalangan non-Muslim. Seperti sudah dimaklumi, istilah moderasi agama sering dikontraskan
dengan sikap radikalisme atau ekstremisme. Siapakah yang sering dituduh “terpapar radikalisme”? Tentu Umat
Islam!! Mengapa rakyat Muslim yang selalu menjadi korban dalam kebijakan Pemerintah atas nama moderasi
agama?

A. Islam Moderat
Menurut Janine A Clark, Islam moderat adalah “Islam” yang menerima sistem demokrasi. Sebaliknya, Islam
radikal adalah Islam yang menolak demokrasi dan sekularisme. Moderasi Islam dalam pengertian ini bermakna
membangun Islam yang menerima demokrasi dan kesetaraan gender (Tazul Islam, Amina Khatun, Islamic
Moderate in Perspectives: A Comparison Between Oriental and Occidental Scholarships, International Journal of
Nusantara Islam, Volume 03, No.2, 2015).
Moderasi Islam bisa dimaknai sebagai proses menjadikan Muslim sebagai Muslim moderat. Karakter
Muslim moderat dapat dipahami, salah satunya, dari sebuah buku yang dikeluarkan oleh Rand Corporation tahun
2007, berjudul Building Moderate Muslim Network, pada bab 5 tentang Road Map for Moderate Network Building in
the Muslim World (Peta Jalan untuk Membangun Jaringan Moderat di Dunia Muslim). Buku ini termasuk salah satu
rujukan tentang Muslim moderat. Dalam salah satu anak judulnya dijelaskan tentang karakteristik Muslim moderat
(Characteristics of Moderate Muslims). Muslim moderat adalah orang yang menyebarluaskan dimensi-dimensi kunci
peradaban demokrasi. Termasuk di dalamnya gagasan tentang HAM, kesetaraan gender, pluralisme; menerima
sumber-sumber hukum non-sektarian; serta melawan terorisme dan bentuk-bentuk legitimasi terhadap kekerasan
(Angel Rabasa, Cheryl Benard et all, Building Moderate Muslim Network, hlm. 66, RAND Corporation, 2007).
Alhasil, Islam moderat adalah pemahaman Islam yang disesuaikan dengan pemikiran, pemahaman dan
peradaban Barat. Dengan demikian Muslim moderat adalah sosok Muslim yang menerima, mengadopsi,
menyebarkan dan menjalankan pemahaman Islam ala Barat..

B. Makna Umat[an] Wasath[an]

Pemahaman Islam moderat lalu dibungkus dengan istilah Islam wasathiyah. Wasathiyah diambil dari istilah
al-Quran, wasath[an] (pertengahan). Inilah yang Allah jadikan sebagai salah satu sifat umat Islam. Namun,
istilah wasath[an] ini hanya dicomot dan dijadikan sebagai “wadah”, sementara isinya dijejali dengan pemahaman
Islam moderat yang tidak lain adalah Islam yang sesuai selera Barat.
Karena itu penting untuk mengembalikan istilah wasath[an] ke makna yang sebenarnya sebagaimana yang
dikehendaki oleh al-Quran.

Secara bahasa, makna al-wasath adalah sesuatu yang memiliki dua belah ujung yang ukurannya sebanding,
pertengahan (Raghib al-Isfahani, Mufradat Alfâzh al-Qur’ân, jilid II, entri w-s-th). Kata ini juga bisa bermakna
sesuatu yang terjaga, berharga dan terpilih karena tengah adalah tempat yang tidak mudah dijangkau: tengah kota
(Ibnu ‘Asyur, At-Tahrir wa at-Tanwir, II/17).

Allah SWT berfirman:

‫ون ٱلرَّ سُو ُل َع َل ْي ُك ْم َش ِهي ًدا‬


َ ‫اس َو َي ُك‬ ُ ‫َو َك ٰ َذل َِك َج َع ْل ٰ َن ُك ْم ُأم ًَّة َو َس ًطا لِّ َت ُكو ُنوا‬
ِ ‫ش َهدَا َء َع َلى ٱل َّن‬
Demikian pula Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) sebagai umat[an] wasath[an] agar kalian menjadi
saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian  (TQS al-
Baqarah [2]: 143).

2
Imam ath-Thabari dalam menjelaskan makna wasath[an] tersebut menukil 13 riwayat yang menunjukkan
kata al-wasath bermakna adil (al-‘adlu). Pasalnya, hanya orang-orang yang adil yang bisa bersikap seimbang dan
bisa disebut sebagai orang pilihan. Abu Said al-Khudri ra. menuturkan bahwa Nabi saw. pernah bersabda tentang
firman Allah SWT:

‫ ُع ُد ْواًل‬:‫َو َك َذال َِك َج َع ْل َنا ُك ْم ُأم ًَّة َو َس ًطا َقال‬


Demikian pula Kami menjadikan kalian umat yang wasath[an]. Beliau berkata, “(yakni) yang adil.”  (HR al-
Bukhari, at-Tirmidzi dan Ahmad).
Selain bermakna adil, menurut Mahmud Syaltut, ummat[an] wasath[an] juga berarti umat pilihan (Mahmud
Syaltut, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm, hlm. 7).
Syaikh ’Atha bin Khalil Abu ar-Rasytah menjelaskan bahwa Allah SWT menjadikan umat Muhammad saw.
sebagai umat yang adil di antara semua umat untuk menjadi saksi atas mereka. Allah SWT menjadikan umat ini
dengan sifat (al-ummah al-wasath), yakni umat yang adil untuk menjadi saksi atas manusia. Keadilan merupakan
syarat pokok untuk bersaksi. Al-Wasath dalam perkataan orang-orang Arab bermakna al-khiyâr (pilihan). Orang
terpilih dari umat manusia adalah mereka yang adil (‘Atha bin Khalil, At-Taysîr fî Ushûl at-Tafsîr: Surah al-
Baqarah, hlm. 177).
Jadi makna umat Islam sebagai umat[an] wasath[an], yakni umat yang adil. Adil adalah menempatkan
sesuatu pada tempat semestinya, yakni sesuai syariah. Untuk menjadi umat[an] wasath[an], umat Islam tidak boleh
melampaui batas seperti kaum Nasrani, di antaranya dengan membuat hukum sendiri; juga tidak boleh enggan dan
lalai seperti Yahudi yang enggan dan tidak mau menerapkan syariah mereka. Untuk menjadi umat[an]
wasath[an] umat Islam justru harus mengambil dan menerapkan totalitas syariah Islam. Tidak membuat hukum
sendiri yang bertentangan dengan syariah Islam.

C. Makna Islam yang Sebenarnya

Kita hidup di dunia ini bukan atas kehendak kita sendiri, tetapi atas kehendak Allah SWT. Bagaimana kita
menjalani hidup dan mengelola kehidupan dunia ini tidak boleh menurut keinginan kita sendiri, melainkan harus
mengikuti apa yang Allah kehendaki. Untuk itu kita harus mengambil dan mengikuti ‘manual book’ yang telah
diberikan oleh Allah SWT, yakni al-Quran dan as-Sunnah, dalam mengelola kehidupan ini.
Satu perkara yang sudah jelas, Allah SWT memerintahkan kita untuk berislam atau beragama secara kaffah:

ٌ‫ان ِإ َّن ُه َل ُك ْم َع ُد ٌّو م ُِّبين‬ َ ‫ت ال َّشي‬


ِ ‫ْط‬ ِ ‫ط َوا‬ ِ َ ‫َيا َأ ُّي َها الَّذ‬
ُ ‫ِين آ َم ُنوا ْاد ُخلُوا فِي الس ِّْلم َكا َّف ًة َواَل َت َّت ِبعُوا ُخ‬
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kalian mengikuti
langkah-langkah setan. Sungguh setan itu musuh yang nyata bagi kalian  (TQS al-Baqarah [2]: 208).
As-Samarqandi (w. 373 H) menjelaskan maknanya, “…Masuklah kalian ke dalam semua syariah Islam dan
jangan kalian mengikuti langkah-langkah setan…” (As-Samarqandi, Bahru al-‘Ulûm, 1/173).
Al-Hafizh Ibnu Katsir juga menjelaskan, Allah SWT memerintahkan hamba-Nya yang beriman kepada-Nya
dan membenarkan Rasul-Nya agar masuk ke semua simpul dan syariah Islam serta mengamalkan semua perintah-
Nya dan meninggalkan semua larangannya semampu mereka.
Jadi dalam berislam, kita diperintahkan untuk mengambil Islam dan syariahnya secara keseluruhan. Kita tidak
boleh berislam model prasmanan. Yang menarik diambil, yang enak diikuti dan yang mudah dijalankan. Sebaliknya,
yang tidak menarik tidak diambil, yang tidak mengenakkan tidak diikuti dan yang sulit tidak dijalankan.
Sudah jelas Allah SWT memerintahkan kita untuk bertakwa dengan sebenar-benarnya:

3
َ ‫ِين آ َم ُنوا ا َّتقُوا هَّللا َ َح َّق ُت َقا ِت ِه َواَل َتمُو ُتنَّ ِإاَّل َوَأن ُتم مُّسْ لِم‬
‫ُون‬ َ ‫َيا َأ ُّي َها الَّذ‬
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya, dan janganlah sekali-
kali kalian mati kecuali kalian tetap dalam keadaan Muslim (TQS Ali Imran [3]: 102).
Imam al-Baidhawi (w. 685 H) menjelaskan, “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dengan
sebenar-benarnya dan (menjalankan) apa saja yang diwajibkan, yaitu mengerahkan segenap upaya dalam
melakukan kewajiban dan menjauhi keharaman.” (Al-Baydhawi, Anwâru at-Tanzîl wa Asrâru at-Ta`wîl, 1/373).
Dalam menjalankan perintah takwa ini, Allah SWT berfirman:

‫َفا َّتقُوا هَّللا َ َما اسْ َت َطعْ ُت ْم‬


Karena itu bertakwalah kalian kepada Allah menurut kesanggupan kalian (TQS at-Taghabun [64]: 16).
Rasul saw. juga bersabda:

‫ َوِإ َذا َأ َمرْ ُت ُك ْم ِبال َّشيْ ِء َفاْئ ُتوا ِم ْن ُه َما اسْ َت َطعْ ُت ْم‬،ُ‫َفِإ َذا َن َه ْي ُت ُك ْم َع ِن ال َّشيْ ِء َفاجْ َت ِنبُوه‬
Karena itu jika aku melarang kalian dari sesuatu maka tinggalkanlah dan jika aku memerintahkan sesuatu maka
lakukan sesuai kemampuan kalian (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad, al-Humaidi, Ibnu Hibban dan Abu Ya’la).
Allah SWT pun memerintahkan kita untuk menjadi penolong agama-Nya:

ِ ‫ار هَّللا‬ َ ‫ِين آ َم ُنوا ُكو ُنوا َأ‬


َ ‫نص‬ َ ‫َيا َأ ُّي َها الَّذ‬
Hai orang-orang yang beriman, jadilah kalian penolong (agama) Allah (TQS ash-Shaff [61]: 14).

Menurut Imam al-Baghawi (w. 510 H) dalam Ma’âlim at-Tanzîl, maknanya adalah: jadilah kalian penolong
agama Allah. Adapun menurut Imam al-Maturidi (w. 333 H) dalam Ta`wîlâtu Ahli as-Sunnah, ‘menolong Allah’
bermakna menolong agama-Nya atau Rasul-Nya.
Jika seorang Muslim mengambil Islam dan syariahnya secara kaffah, bertakwa dengan sebenar-benarnya
dengan menjalankan semua yang diperintahkan semaksimal kemampuan dan meninggalkan apa yang dilarang,
serta menolong dan membela agama-Nya, lantas dia disebut apa? Yang jelas dia adalah seorang Muslim
sebagaimana yang Allah perintahkan dan Dia ridhai. Jika Muslim semacam ini dianggap bukan sosok Muslim
moderat atau ia dituding sebagai Muslim radikal atau sebutan stigmatik lainnya, semua itu tidak ada arti dan nilainya
selama Allah SWT ridha.

WalLâh a’lam bi ash-shawâb. 

mber : = Media Dakwah Al waie


= Buletin Kaffah

Anda mungkin juga menyukai