Anda di halaman 1dari 3

HARLAH NU DAN KHILAFAH

Ummu Salim

Pendahuluan
Dakwah kepada penegakkan Khilafah yang terus menguat di tengah-tengah masyarakat semakin memunculkan
momentum politik yang bermakna. Pro dan kontra yang merupakan konsekuesi logis dari parpol ideologis sebagai kiyan fikriy
dakwah Khilafah, semakin hari semakin nyata. Selain itu, polarisasi entitas yang mendukung maupun yang menolak ide khilafah
makin nyata di negeri ini dan sudah beranjak dari level individu dan lembaga ke level Negara bahkan Internasional.
Fakta yang terbaru, yakni Rekomendasi Muktamar Internasional Fiqih Peradaban yang dibacakan pada acara puncak
Harlah 1 Abad NU. Piagam rekomendasi Muktamar Internasional Fiqih Peradaban I ini tersedia dalam 2 versi bahasa, yaitu
Bahasa Arab dan Indonesia. Piagam ini dibacakan oleh KH Musthofa Bisri (Gus Mus) dan Yenny Wahid di acara Puncak Resepsi
Harlah 1 Abad NU yang digelar di Gelora Delta Sidoarjo, Selasa (7/2/2023). Piagam rekomendasi Muktamar Internasional Fiqih
Peradaban I ini dengan tegas menolak Khilafah dan mendukung PBB.
Bagaimana kita menyikapi hal tersebut?
NU Tetap Gagal Mengubur Khilafah
Jika kita cermati dari piagam fiqih peradaban, tampak jelas bahwa aktor dibalik piagam tersebut seperti NU dan yang
lainnya telah gagal mengkritik khilafah, karena keliru menempatkan objek dan tidak jujur dalam memberikan solusi. Dengan
demikian Khilafah tetap kokoh sebagai ajaran Islam kini dan sampai kapanpun.
a. Manufer Fiqh yang Dipaksakan
Dalam rekomendasi Muktamar tersebut tampak jelas bahwa para pendukung moderasi beragama telah menformulasikan
senjata baru dalam melawan Khilafah. Yakni senjata fiqh. Sederhananya, para penolak Khilafah, tidak bisa melawan satu
argumentasi kunci kokohnya Khilafah, yakni secara tinjauan syariah “Khilafah adalah ajaran Islam. Untuk menghadapinya
mereka membuat forum fiqih. Di dalam forum fiqh tersebut, mereka pun mencari dimana letak kekuatan Khilafah, yakni
terletak pada dalil Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Para penolak Khilafah itu pun membuat apa yang mereka sebut Ijma’
bahwa Khilafah harus ditolak. Maka, menurut mereka kedudukan Khilafah yang awalnya didukung oleh dalil, bisa ditolak
dengan menggunakan dalil pula yakni ijma’.
Namun, setelah ditelaah kita bisa melihat ijma’ tersebut sangat lemah.
Pertama, bertentangan dengan dalil yang lebih atas yakni Al-Qur’an, As-Sunnah, yang jelas-jelas mewajibkan Khilafah.
Misalnya Imam Al Qurthubi mengatakan:
“Ayat ini (Al-Baqara ayat 30) adalah dasar dalam pengangkatan seorang Imam atau Khalifah yang didengar dan
ditaati, agar terjadi kesatuan pendapat umat dan agar dapat diterapkan hukum-hukum Khalifah.” (Imam Al-Qurthubî, Al-
Jâmi’ li Ahkâm Al-Qur`ân, 1/81).
Kedua, apa yang mereka namakan ijma’ tersebut bertentangan dengan ijma’ shahabat. Syaikhul Islam al-Imam Ibn Hajar
al-Haitami al-Syafi’i (w. 974 H) menegaskan:
“Sungguh para sahabat -semoga Allah meridhai mereka- telah bersepakat bahwa mengangkat seorang imam
(khalifah) setelah zaman kenabian berakhir adalah wajib.Bahkan mereka menjadikan upaya mengangkat imam/khalifah
sebagai (salah satu) kewajiban paling penting.Faktanya, mereka lebih menyibukkan diri dengan kewajiban ini dengan
menunda (sementara) kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah ‫”ﷺ‬.
Ketiga, menolak khilafah berarti menolak mengikuti pendapat ulama secara umum. Syekh Abdurrahman Al-Jazîrî dalam
kitabnya Al-Fiqh ‘Alâ Al-Madzâhib Al-Arba’ah menegaskan :
”Telah sepakat para imam (Imam Abû Hanîfah, Imam Mâlik, Imam Syâfi’i, dan Imam Ahmad) –semoga Allah
merahmati mereka– bahwa Imamah (Khilafah) adalah fardhu…”
Keempat, Langkah tersebut terlalu dipaksakan karena mengikutsertakan piagam PBB sebagai dasar atau dalil pengambilan
keputusan. Dengan mengambil langkah tersebut mereka telah terlepas dari khazanah Islam klasik dan asli tentang konsep
ijtihad. Semua buku ushul fiqh menggariskan bahwa yang dinamakan dalil muttafaq (yang disepakati) oelh ulama yakni Al-
Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas syar’i. Lalu dalil yang mukhtalaf (yang debatable, tidak disepakati) yakni mashalih mursalah,
istihsan, af’al ahlul madinah dan sebagainya yang tidak ada hubungannya dengan PBB ataupun piagam PBB.
b. Menolak khilafah karena eksistensi nonmuslim
Para penolak khilafah menyebutkan bahwa khilafah tidak perlu diperjuangkan karena kita hidup dengan non muslim.
Padahal, adanya Eksistensi non-muslim bukanlah ilat pembatalan pelaksanaan syariah di ranah public. Justru muslim dan juga
non muslim diatur dngan syariah di ranah tersebut. Oleh karenanya di dalam Islam ada istilah kafir dzimmi atau ahlu dzimmi,
yakni nonmuslim yang menjadi warga Negara Khilafah dan bernaung di bawah syariah Islam. Tentu NU sudah sangat paham
akan hal tersebut.
Disamping itu, dengan luas wilayah dan jumlah penduduk yang demikian besar, mustahil khialfah hanya dihuni oleh
muslim saja. Pasti ada non muslim di dalamnya. Dan hal tersebut tidaklah menjadi pegahalang penerapan syariah Islam
sebagaimana yang digembar-gemborkan pada masa sekarang termasuk oleh NU.
c. Menolak khilafah karena Dianggap Menghalangi Maqashid Syariah.
Menolak Khilafah demi menjaga maqashid syaraiah adalah pemikiran yang terbalik. Sebab, Maqashid syariah pasti sejalan
dengan penerapan syariah itu sendiri. Artinya maksud syariah akan terwujud jika syariah diterapkan. Misalnya maqsud syariah
dari qishos adalah menjaga nyawa, agar tidak terjadi penghilangan nyawa tanpa hak. Bagaimana mungkin maqsud syariah
tersebut muncul jika Qishos nya saja justru ditinggalkan?.
Apalagi, Khilafah adalah metode dalam agama Islam untuk mewujudkan maqashid syariah. Khilafahlah yang menjaga
agama, nyawa/jiwa, nasab, harta dan kehormatan umat Islam. Dengan kata lain, mustahil bagi kita menolak khilafah karena
khilafah lah yang menajdi metode untuk menerapkan syariah Islam yang kaffah. Menolak khilafah sama saja dengan
menghilangkan solusi aats kemiskinan, kesenjangan, penindasan, kebodohan, penjajahan, problematika kesehatan, sosial
budaya dan politik di Indonesia dan Dunia.
Lebih dari itu, maqashid syariah salah satunya menjaga agama.Khilafah adalah bagian dari agama, dan memperjuangkan
Khilafah adalah bagian dari menjaga agama.Maka membuang Khilafah adalah aktivitas membuang bagian dari agama secara
sengaja.Bagaimana mungkin perbuatan tercela tersbeut dianggap mewujudkan maqashid syariah? Kecuali NU tidak lagi
mengakui Khilafah bukan bagian dari agama. Ini lain persoalan.
Penguatan komitmen terhadap sekularsime dan nasionalisme
Dengan meneliti fenomena penolakan khilafah (yang terbukti gagal) tersebut kita dan juga melihat muatan dari moderasi
beragama, kita menemukan adanya penguatan komitmen terhadap nasionalisme dan sekulerisma di dunia Islam atau
setidaknya pada diri pihak-pihak yang menjadi mitra barat. Menolak Khilafah berarti tidak menginginkan Islam hadir dalam
kekuatan Negara. Inilah aplikasi sekularisme. Menolak khilafah berarti tidak menginginkan persatuan umat yang hakiki. Ini lah
aplikasi nasionalisme. Al-Allamah Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani dalam Kitab Nizhamul Islam Bab Qiyadah fikriyah sebelum
membedah mabda’ dan pemikiran. beliau terlebih dahulu membongkar kerusakan ikatan, diantaranya nasionalisme. Sebab
ikatan ini memiliki daya rusak yang laur biasa. Jika seseorang telah terkena racun nasionalisme maka dengan mudah dia akan
menolak syari’ah. Sebagai contoh, jika seorang ulama ditanyakan bagimana hukumnya mengganti air untuk berwudhu dari air
keran menjadi cairan pembersih lantai? maka ulama tersebut kemungkina besar akan langsung tegas mengatakan tidak sah
tanpa celah untuk menerimanya. Namun jika ditanyakan bagaimana hukumnya mengganti hukuman bagi pezina dari rajam dan
jilid menjadi pejara saja, maka ulama yang terkena virus nasionalisme mungkin akan santai menjawab, “Karena kita hidup di
Negara Indoensia maka hal itu dimaklumi saja”. Demikianlah jika ikatan ini kuat dalam benak umat, nasionalisme kuat, maka
sekularisme akan mudah menguat.
Maka, moderasi beragama yang hadir ditengah umat hakikatnya penguatan terhadap noasionalisme sekaligus
sekularsime. Sebab, hanya dengan kacamata nasionalisme dan sekularisme lah kita sanggup menolak khilafah. Jika
menggunakan kacamat syariah, dalil, maka Khilafah sampai kapanpun tidak boleh dan tidak bisa ditolak. Maka Barat melalui
moderasi beragama dengan menggunakan NU, Al- Azhar, Kemenag dan sebaginya berusaha menguatkan hal ini demi menolak
bangkitnya umat dengan Khilafah. Dengan bahasa yang sigkat, moderasi beragama bukan lah solusi untuk menyelesaikan beda
pendapat, bukan pulas solusi untuk masyarakat yang wasahtiyah. Moderasi beragama adalah alat barat untuk mengiring umat
Islam menolak Khilafah.
Rapatkan Barisan Raih Kemenangan Hakiki dengan Dakwah Fikriyah Siyasiyah
Telah jelas dihadapan kita bahwa barat dengan pio-pion lokalnya telah menjadikan moderasi agama dalam menguatkan
nasionalisme dan sekularisme. Pada gilirannya hal tersebut digunakan untuk menolak khilafah. Tidak ada jalan lain bagi kita
dalam menghadapi moderasi beragama tersebut selain melanjutkan dakwah dengan kuantitas dan kualitas yang lebih maju
dari sebelumnya.
1. Dalam hal konten kita tetap melancarkan siraul fikri. Serangan terhadap sekularisme dan ikatan nasionalisme adalah
hal yang mendasar. Kita tidak bisa berdakwah di tengah umat tanpa mengulas dan membongkar kerusakan pemikiran
barat termasuk nasionalsime dan sekularisme
2. Kita harus tetap menguatkan kifah as siyasi. Melakukan gerakan dakwah yang bernilai dan berbentuk politis.
Maksudnya, dakwah kita tidak boleh hanya berupa ceramah dan cara klasik. Juga tidak boleh hanya sebatas taklim
melainkan harus tatsqif. Hal inilah yang dapat bermakna perubahan dan politis ditengah umat. Kita juga tidak boleh
membatasi interaksi hanya pada kalangan tertentu saja melainkan menyapu sepuruh kalangan hingga level pimpinan
dan tokoh Negara. Dengan demikian makna politik dari dakwah akan terasa dan nyata
3. Kita juga harus menerapkan kasyful khuttot dalam dakwah. Kita harus membongkar pemain asli dibalik penentangan
khilafah. Al-Allamah Syaik Taqiyuddin an nabhani meyebut bahwa muslim yang melawan dakwah sejatinya hanya pion
pelaksana. Sementara Barat yakni nasrani dan yahudi lah aktor utamanya. Sebagaimana kita ketahuia bahwa
moderasi beragama dalah proyek global dari Barat. Terungkap bahwa Muktamar Internasional Fiqih Peradaban I ini
merupakan forum internal umat Islam di seluruh dunia, menjadi lanjutan dari G20 Religion Forum atau biasa disebut
Religion Twenty (R20) yang digelar pada November 2022 lalu di Bali. Jadi ada hubungan yang kuat antara pemerintah,
G20 yang didikte oleh AS dengan dan muktamar fiqih peradaban. Selain itu, terungkap bahwa Secara faktual agenda
barat agar umat Islam mengikuti barat menjadi muslim moderat terkonfirmasi oleh dokumen yang disusun oleh RAND
Corporation, “Building Moderate Muslim Networks” pada 2007. Dokumen ini memuat langkah-langkah membangun
apa yang mereka sebut ‘moderate muslim network’
4. Adapun secara rutin kita harus tetap melakukan tabhani mashalih umat dengan solusi tunggal, yakni syariah yang
dioeprsikan oleh khilafah. Hal tersebut untuk menunjukan kepada umat bahwa mustahil umat bisa hidup tanpa
khilafah, mustahil umat bisa mulia jika menolak khilafah. Jika kita berhasil melakukan tabhani mashalih dan
menampakkan solusi syariah, umat akan semakin benci kepada kapitalisme dan muncul rasa cinta sekalgius rindu
kepada khilafah. Allahuakbar!!

Wallahu a’lam bis sawab

Anda mungkin juga menyukai