Anda di halaman 1dari 14

Membongkar Kesesatan Hizbut Tahrir :

Siapa mereka ?

Penulis: Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Lc


Firqoh-Firqoh, 27 Agustus 2005, 08:45:57

Apa Itu Hizbut Tahrir?

Hizbut Tahrir (untuk selanjutnya disebut HT) telah mengakui diri sebagai
kelompok politik (parpol), bukan kelompok yang berdasarkan kerohanian
semata-mata, bukan lembaga ilmiah, bukan lembaga pendidikan (akademik)
dan bukan pula lembaga sosial (Mengenal HT, hal. 1). Atas dasar itulah,
maka seluruh aktiviti yang dilakukan HT bersifat politik, baik didalam
mendidik dan membina umat, dalam aspek pergolakan pemikiran dan dalam
perjuangan politik. (Mengenal HT, hal. 16)

Adapun aktiviti dakwah kepada tauhid dan akhlak mulia, sangatlah mereka
abaikan. Bahkan dengan terang-terangan mereka nyatakan: “Demikian pula,
dakwah kepada akhlak mulia tidak dapat menghasilkan kebangkitan…,
dakwah kepada akhlak mulia bukan dakwah (yang dapat) menyelesaikan
masalah utama kaum muslimin, yaitu menegakkan sistem khilafah.”(Strategi
Dakwah HT, hal. 40-41). Padahal dakwah kepada tauhid dan akhlak mulia
merupakan misi utama para nabi dan rasul.

Allah Ta’ala menegaskan:

َ ‫َولَقَ ْد بَ َع ْثنَا فِ ْي ُكلِّ أُ َّم ٍة َرس ُْوالً أَ ِن اُ ْعبُ ُدوا هللاَ َواجْ تَنِبُوا الطَّا ُغ ْو‬
‫ت‬
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk
menyerukan): ‘Beribadahlah hanya kepada Allah dan jauhilah segala
sesembahan selain-Nya’.” (An-Nahl: 36)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam juga menegaskan:

ِ َ‫ت ألُتَ ِّم َم َمكا َ ِر َم ْاألَ ْخال‬


‫ق‬ ُ ‫بُ ِع ْث‬
“Aku diutus (oleh Allah) untuk menyempurnakan akhlak yang bagus.” (HR.
Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, Ahmad, dan Al-Hakim. Dishahihkan
oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 45)

Tujuan dan Latar Belakang

Mewujudkan kembali Daulah Khilafah Islamiyyah di muka bumi,


merupakan tujuan utama yang melatarbelakangi berdirinya HT dan segala
aktivitinya. Yang dimaksud khilafah adalah kepemimpinan umat dalam
suatu Daulah Islam yang universal di muka bumi ini, dengan dipimpin
seorang pemimpin tunggal (khalifah) yang dibai’at oleh umat. (Lihat
Mengenal HT, hal. 2, 54 )

Para pembaca, tahukah anda apa yang melandasi HT untuk mewujudkan


Daulah Khilafah Islamiyyah di muka bumi?

Landasannya adalah bahwa semua negeri kaum muslimin dewasa ini –tanpa
kecuali– termasuk kategori Darul Kufur (negeri kafir), sekalipun
penduduknya kaum muslimin. Karena dalam kamus HT, yang dimaksud :

Darul Islam adalah daerah yang didalamnya diterapkan sistem hukum Islam
dalam seluruh aspek kehidupan termasuk dalam urusan pemerintahan, dan
keamanannya berada di tangan kaum muslimin, sekalipun majority
penduduknya bukan muslim.

Sedangkan Darul Kufur adalah daerah yang didalamnya diterapkan sistem


hukum kufur dalam seluruh aspek kehidupan, atau keamanannya bukan di
tangan kaum muslimin, sekalipun seluruh penduduknya adalah muslim.
(Lihat Mengenal HT, hal. 79)
Padahal tolok ukur suatu negeri adalah keadaan penduduknya, bukan sistem
hukum yang diterapkan dan bukan pula sistem keamanan yang
mendominasi.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Keberadaan suatu bumi (negeri)


sebagai Darul Kufur, Darul Iman, atau Darul Fasiqin, bukanlah sifat yang
berterusan (terus-menerus/langgeng) bagi negeri tersebut, namun hal itu
sesuai dengan keadaan penduduknya. Setiap negeri yang penduduknya
adalah orang-orang mukmin lagi bertakwa maka ketika itu ia sebagai negeri
wali-wali Allah. Setiap negeri yang penduduknya orang-orang kafir maka
ketika itu ia sebagai Darul Kufur, dan setiap negeri yang penduduknya
orang-orang fasiq maka ketika itu ia sebagai Darul Fusuq. Jika penduduknya
tidak seperti yang kami sebutkan dan berganti dengan selain mereka, maka
ia disesuaikan dengan keadaan penduduknya tersebut.” (Majmu’ Fatawa,
18/282)

Para pembaca, mengapa –menurut HT– harus satu khilafah?

Jawabannya adalah, kerana seluruh sistem pemerintahan yang ada dewasa


ini tidak sah dan bukan sistem Islam. Baik itu sistem kerajaan, republik
presidentil (dipimpin presiden) ataupun republik parlementer (dipimpin
perdana menteri). Sehingga merupakan suatu kewajiban menjadikan Daulah
Islam hanya satu negara (khilafah), bukan negara serikat yang terdiri dari
banyak negara bagian. (Lihat Mengenal HT, hal. 49-55)

Ahlus Sunnah Wal Jamaah berkeyakinan bahwa pada asalnya Daulah Islam
hanya satu negara (khilafah) dan satu khalifah. Namun, jika tidak
memungkinkan maka tidak mengapa berbilangnya kekuasaan dan pimpinan.

Al-’Allamah Ibnul Azraq Al-Maliki, Qadhi Al-Quds (di masanya) berkata:

“Sesungguhnya persyaratan bahwa kaum muslimin (di dunia ini) harus


dipimpin oleh seorang pemimpin semata, bukanlah suatu keharusan bila
memang tidak memungkinkan.” (Mu’amalatul Hukkam, hal. 37)
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata:

“Para imam dari setiap madzhab bersepakat bahwa seseorang yang berhasil
menguasai sebuah negeri atau beberapa negeri maka posisinya seperti imam
(khalifah) dalam segala hal. Kalaulah tidak demikian maka (urusan) dunia
ini tidak akan tegak, karena kaum muslimin sejak kurun waktu yang lama
sebelum Al-Imam Ahmad sampai hari ini, tidak berada di bawah
kepemimpinan seorang pemimpin semata.” (Mu’amalatul Hukkam, hal. 34)

Al-Imam Asy-Syaukani berkata:

“Adapun setelah tersebarnya Islam dan semakin luas wilayahnya serta


perbatasan-perbatasannya berjauhan, maka dimaklumilah bahwa kekuasaan
di masing-masing daerah itu di bawah seorang imam atau penguasa yang
menguasainya, demikian pula halnya daerah yang lain. Perintah dan
larangan sebagian penguasapun tidak berlaku pada daerah kekuasaan
penguasa yang lainnya. Oleh karenanya (dalam kondisi seperti itu -pen)
tidak mengapa berbilangnya pimpinan dan penguasa bagi kaum muslimin
(di daerah kekuasaan masing-masing -pen). Dan wajib bagi penduduk negeri
yang terlaksana padanya perintah dan larangan (aturan -pen) pimpinan
tersebut untuk menaatinya.” (As-Sailul Jarrar, 4/512)

Demikian pula yang dijelaskan Al-Imam Ash-Shan’ani, sebagaimana dalam


Subulus Salam (3/347), cet. Darul Hadits.

Bila HT Didirikan?
Kelompok sempalan ini didirikan di kota Al-Quds (Yerusalem) pada tahun
1372 H (1953 M) oleh seorang alumuni Universiti Al-Azhar Kairo (Mesir)
yang berakidah Maturidiyyah dalam masalah asma` dan sifat Allah, dan
berpandangan Mu’tazilah dalam sekian permasalahan agama. Dia adalah
Taqiyuddin An-Nabhani, warga Palestina yang dilahirkan di Ijzim Qadha
Haifa pada tahun 1909. Markas tertua mereka berada di Yordania, Syiria dan
Lebanon (Lihat Mengenal HT, hal. 22, Al-Mausu’ah Al-Muyassarah, hal.
135, dan Membongkar Selubung Hizbut Tahrir (1) hal. 2, Asy-Syaikh
Abdurrahman Ad-Dimasyqi).

Bila demikian akidah dan pandangan keagamaan pendirinya, lalu bagaimana


keadaan HT itu sendiri?! Wallahul musta’an.
Landasan Berpikir Hizbut Tahrir

Landasan berpikir HT adalah Al Qur‘an dan As Sunnah, namun dengan


pemahaman kelompok sesat Mu’tazilah bukan dengan pemahaman
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam dan para shahabatnya.
Mengkedepankan akal dalam memahami agama dan menolak hadits Ahad
dalam masalah akidah merupakan ciri khas keagamaan mereka. Oleh karena
itu tidaklah berlebihan bila ahli hadits zaman ini, Asy-Syaikh Al-Albani
rahimahullah, menjuluki mereka dengan Al-Mu’tazilah Al-Judud
(Mu’tazilah Gaya Baru).

Padahal jauh-jauh hari, shahabat ‘Ali bin Abi Thalib Radiyallahu ‘anhu telah
berkata: “Kalaulah agama ini tolok ukurnya adalah akal, niscaya bagian
bawah khuf lebih pantas untuk diusap daripada bagian atasnya.”2 (HR. Abu
Dawud dalam Sunan-nya no. 162, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani)

Demikian pula (Hizbut Tahrir, red) menolak hadits Ahad dalam masalah
akidah, berarti telah menolak sekian banyak akidah Islam yang telah
ditetapkan oleh ulama kaum muslimin. Diantaranya adalah: keistimewaan
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam atas para nabi, syafaat
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam untuk umat manusia dan untuk para
pelaku dosa besar dari umatnya di hari Kiamat, adanya siksa kubur, adanya
jembatan (ash-Shirath), Telaga (Al Haudh, red) dan Timbangan Amal di hari
Kiamat (Al Mizan, red), munculnya Dajjal, munculnya Al-Imam Mahdi,
turunnya Nabi ‘Isa ‘alaihissalam di akhir zaman, dan lain sebagainya.

Adapun dalam masalah fiqih, akal dan rasiolah yang menjadi landasan.
Maka dari itu HT mempunyai sekian banyak fatwa nyeleneh. Diantaranya
adalah: boleh mencium wanita non muslim, boleh melihat gambar porno,
boleh berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahram, boleh bagi wanita
menjadi anggota dewan syura mereka, boleh mengeluarkan jizyah (upeti)
untuk negeri kafir, dan lain sebagainya. (Al-Mausu’ah Al-Muyassarah, hal.
139-140) (Hizbut Tahrir Indonesia menolak hal ini mentah-mentah, padahal
fatwa ini ma’ruf terkenal di luar Indonesia, hal ini tidak lain agar ummat yg
sudah direngkuhnya tidak lari karenanya, red).

Langkah Operasional untuk Meraih Khilafah


Bagi HT, khilafah adalah segala-galanya. Untuk meraih khilafah tersebut,
HT menetapkan tiga langkah operasional berikut ini:

1. Mendirikan Parti Politik

Dengan merujuk Surat Ali ‘Imran ayat 104, HT berkeyakinan wajibnya


mendirikan parti politik. Untuk mendirikannya maka harus ditempuh
tahapan pembinaan dan pengkaderan (Marhalah At-Tatsqif) (Lihat
Mengenal HT hal. 3).

Pada tahapan ini perhatian HT tidaklah dipusatkan kepada pembinaan tauhid


dan akhlak mulia. Akan tetapi mereka memusatkannya kepada pembinaan
kerangka Hizb (parti), memperbanyak pendukung dan pengikut, serta
membina para pengikutnya dalam halaqah-halaqah dengan tsaqafah (materi
pembinaan) Hizb secara intensif, hingga akhirnya berhasil membentuk parti.
(Lihat Mengenal HT hal. 22, 23)

Adapun pendalilan mereka dengan Surat Ali ‘Imran ayat 104 tentang
wajibnya mendirikan parti politik, maka merupakan pendalilan yang jauh
dari kebenaran.

Adakah diantara para shahabat Rasulullah Radiyallahu ‘anhu, para Tabi’in,


para Tabi’ut Tabi’in dan para Imam setelah mereka yang berpendapat
demikian?!

Kalaulah itu benar, pasti mereka telah mengatakannya dan saling berlumba-
lumba untuk mendirikan parti politik. Namun kenyataannya mereka tidak
seperti itu.

Apakah HT lebih mengerti tentang ayat tersebut dari mereka?!

Cukup menunjukkan batilnya pendalilan ini adalah bahwa parti politik


terbangun di atas asas demokrasi, yang amat bertolak belakang dengan
Islam. Bagaimana ayat ini dipakai untuk melegitimasi sesuatu yang bertolak
belakang dengan makna yang dikandung ayat? Wallahu a’lam.

2. Berinteraksi dengan Umat (Masyarakat)

Berinteraksi dengan umat (Tafa’ul Ma’al Ummah) merupakan tahapan yang


harus ditempuh setelah berdirinya parti politik dan berhasil dalam tahapan
pembinaan dan pengkaderan. Pada tahapan ini, sasaran interaksinya ada
empat:

- Pertama: Pengikut Hizb, dengan mengadakan pembinaan intensif agar


mampu mengemban dakwah, mengarungi medan kehidupan dengan
pergolakan pemikiran dan perjuangan politik (Lihat Mengenal HT, hal. 24).
Pembinaan intensif di sini tidak lain adalah doktrin ‘ashabiyyah (fanatisme)
dan lpatuh terhadap HT.

-Kedua: Masyarakat, dengan mengadakan pembinaan kolektif/umum yang


disampaikan kepada umat Islam secara umum, berupa idea-idea dan hukum-
hukum Islam yang diadopsi oleh Hizb. Dan menyerang sekuat-kuatnya
seluruh bentuk interaksi antar anggota masyarakat, tak luput pula interaksi
antara masyarakat dengan penguasanya.

Taqiyuddin An-Nabhani berkata: “Oleh karena itu, menyerang seluruh


bentuk interaksi yang berlangsung antar sesama anggota masyarakat dalam
rangka mempengaruhi masyarakat tidaklah cukup, kecuali dengan
menyerang seluruh bentuk interaksi yang berlangsung antara penguasa
dengan rakyatnya dan harus digoyang dengan kekuatan penuh, dengan cara
diserang sekuat-kuatnya dengan penuh keberanian.” (Lihat Mengenal HT,
hal. 24, Terjun ke Masyarakat, hal. 7)

Betapa ironisnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam memerintahkan


kita agar menjadi masyarakat yang bersaudara dan taat kepada penguasa,
sementara HT justru sebaliknya. Mereka memecah belah umat dan
memporakporandakan kekuatannya. Lebih parah lagi, bila hal itu dijadikan
tolok ukur keberhasilan suatu gerakan sebagaimana yang dinyatakan pendiri
mereka: “Keberhasilan gerakan diukur dengan kemampuannya untuk
membangkitkan rasa ketidakpuasan (kemarahan) rakyat, dan kemampuannya
untuk mendorong mereka menampakkan kemarahannya itu setiap kali
mereka melihat penguasa atau rezim yang ada menyinggung ideologi, atau
mempermainkan ideologi itu sesuai dengan kepentingan dan hawa nafsu
penguasa.” (Pembentukan Partai Politik Islam, hal. 35-36)

- Ketiga: Negara-negara kafir imperialis yang menguasai dan mendominasi


negeri-negeri Islam, dengan berjuang menghadapi segala bentuk makar
mereka (Lihat Mengenal HT, hal. 25).
Demikianlah yang mereka munculkan. Namun kenyataannya, di dalam
upaya penggulingan para penguasa kaum muslimin, tak segan-segan mereka
meminta bantuan kepada orang-orang kafir dan meminta perlindungan dari
negara-negara kafir. (Lihat Membongkar Selubung Hizbut Tahrir (1) hal. 5)

- Keempat: Para penguasa di negeri-negeri Arab dan negeri-negeri Islam


lainnya, dengan menyerang seluruh bentuk interaksi yang berlangsung
antara penguasa dengan rakyatnya dan harus digoyang dengan kekuatan
penuh, dengan cara diserang sekuat-kuatnya dengan penuh keberanian.
Menentang mereka, mengungkapkan pengkhianatan, dan persekongkolan
mereka terhadap umat, melancarkan kritikan, kawalan , dan koreksi terhadap
mereka serta berusaha menggantinya apabila hak-hak umat dilanggar atau
tidak menjalankan kewajibannya terhadap umat, aitu bila melalaikan salah
satu urusan umat, atau mereka menyalahi hukum-hukum islam. (Terjun ke
Masyarakat, hal. 7, Mengenal HT, hal. 16,17).

Para pembaca, inilah hakikat manhaj Khawarij yang diperingatkan


Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam. Tidakkah diketahui bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam menjuluki mereka dengan “Sejahat-
jahat makhluk” dan “Anjing-anjing penduduk neraka”! Semakin parah lagi
di saat mereka tambah berkomentar: “Bahkan inilah bagian terpenting dalam
aktivitas amar ma’ruf nahi munkar.” (Mengenal HT, hal. 3)

Tidakkah mereka merenungkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi


wassalam :

“Akan ada sepeninggalku para penguasa yang mereka itu tidak berpegang
dengan petunjukku dan tidak mengikuti cara/jalanku. Dan akan ada diantara
para penguasa tersebut orang-orang yang berhati setan dalam bentuk
manusia.” Hudzaifah berkata: “Apa yang kuperbuat bila aku
mendapatinya?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda (artinya):
“Hendaknya engkau mendengar dan menaati penguasa tersebut! Walaupun
dicambuk punggungmu dan dirampas hartamu maka (tetap) dengarkanlah
(perintahnya) dan taatilah (dia).” (HR. Muslim dari shahabat Hudzaifah bin
Al-Yaman radiyallahu ‘anhu, 3/1476, no. 1847)?!

Demikian pula, tidakkah mereka renungkan sabda Rasulullah Shallallahu


‘alaihi wassalam :
“Barangsiapa ingin menasihati penguasa tentang suatu perkara, maka
janganlah secara terang-terangan. Sampaikanlah kepadanya secara peribadi,
jika ia menerima nasihat tersebut maka itulah yang diharapkan. Namun jika
tidak menerimanya maka berarti ia telah menunaikan kewajibannya
(nasihatnya).” (HR. Ahmad dan Ibnu Abi ‘Ashim, dari shahabat ‘Iyadh bin
Ghunmin radiyallahu ‘anhu, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam
Zhilalul Jannah, hadits no. 1096)?!

Namun sangat disayangkan, HT tetap menunjukkan sikap kepala batunya,


sebagaimana yang mereka nyatakan:

“Sikap HT dalam menentang para penguasa adalah menyampaikan


pendapatnya secara terang-terangan, menyerang dan menentang. Tidak
dengan cara nifaq (berpura-pura), menjilat, bermanis muka dengan mereka,
simpang siur ataupun berbelok-belok, dan tidak pula dengan cara
mengutamakan jalan yang lebih selamat. Hizb juga berjuang secara politik
tanpa melihat lagi hasil yang akan dicapai dan tidak terpengaruh oleh
kondisi yang ada.” (Mengenal HT, hal. 26-27)

Mereka gembar-gemborkan slogan “Jihad yang paling utama adalah


mengucapkan kata-kata haq di hadapan penguasa yang zalim.” Namun
sayang sekali mereka tidak boleh memahaminya dengan baik. Buktinya,
mereka mencerca para penguasa di mimbar-mimbar dan tulisan-tulisan.
Padahal kandungan kata-kata tersebut adalah menyampaikan nasihat “di
hadapan” sang penguasa, bukan di mimbar-mimbar dan lain sebagainya.
Tidakkah mereka mengamalkan wasiat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wassalam yang diriwayatkan shahabat ‘Iyadh bin Ghunmin di atas?! Dan
jangan terkecoh dengan ucapan mereka, “Meskipun demikian, Hizb telah
membatasi aktivitinya dalam aspek politik tanpa menempuh cara-cara
kekerasan (perjuangan bersenjata) dalam menentang para penguasa mahu
pun orang-orang yang menghalangi dakwahnya.” (Mengenal HT, hal. 28).

Karena mereka pun akan menempuh cara tersebut pada tahapannya (tahapan
akhir).

3. Pengambilalihan Kekuasaan (Istilaamul Hukmi)

Tahapan ini merupakan puncak dan tujuan akhir dari segala aktivitas HT.
Dengan tegasnya Taqiyuddin An-Nabhani menyatakan: “Hanya saja setiap
orang mahu pun syabab (pemuda) Hizb harus mengetahui, bahwasanya Hizb
bertujuan untuk mengambil alih kekuasaan secara praktis dari tangan seluruh
kelompok yang berkuasa, bukan dari tangan para penguasa yang ada
sekarang saja. Hizb bertujuan untuk mengambil kekuasaan yang ada dalam
negara dengan menyerang seluruh bentuk interaksi penguasa dengan umat,
kemudian dijadikannya kekuasaan tadi sebagai Daulah Islamiyyah.” (Terjun
ke Masyarakat, hal. 22-23)

Dalam tahapan ini, ada dua cara yang harus ditempuh:

1) Apabila negara itu termasuk kategori Darul Islam, dimana sistem hukum
Islam ditegakkan, tetapi penguasanya menerapkan hukum-hukum kufur,
maka caranya adalah melawan penguasa tersebut dengan mengangkat
senjata.

2) Apabila negara itu termasuk kategori Darul Kufur, dimana sistem hukum
Islam tidak diterapkan, maka caranya adalah dengan Thalabun Nushrah
(meminta bantuan) kepada mereka yang memiliki kemampuan (kekuatan).
(Lihat Strategi Dakwah HT, hal. 38, 39, 72)

Subhanallah! Lagi-lagi prinsip Khawarij si “Sejahat-jahat makhluk” dan


“Anjing-anjing penduduk neraka” yang mereka tempuh. Wahai HT,
ambillah pelajaran dari perkataan Al-Imam Ibnul Qayyim t berikut ini:
“Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam mensyariatkan kepada
umatnya kewajiban mengingkari kemungkaran agar terwujud melalui
pengingkaran tersebut suatu kebaikan (ma’ruf) yang dicintai Allah Ta’ala
dan Rasul-Nya. Jika ingkarul mungkar mengakibatkan terjadinya
kemungkaran yang lebih besar darinya dan lebih dibenci oleh Allah Ta’ala
dan Rasul-Nya, maka tidak boleh dilakukan walaupun Allah Ta’ala
membenci kemungkaran tersebut dan pelakunya. Hal ini seperti
pengingkaran terhadap para raja dan penguasa dengan cara memberontak,
sungguh yang demikian itu adalah sumber segala kejahatan dan fitnah
hingga akhir masa… Dan barangsiapa merenungkan apa yang terjadi pada
(umat) Islam dalam berbagai fitnah yang besar mahu pun yang kecil,
nescaya akan melihat bahawa penyebabnya adalah mengabaikan prinsip ini
dan tidak sabar atas kemungkaran, sehingga berusaha untuk
menghilangkannya namun akhirnya justru muncul kemungkaran yang lebih
besar darinya.” (I’lamul Muwaqqi’in, 3/6)

Mungkin HT berdalih bahwa semua penguasa itu kafir, karena menerapkan


hukum selain hukum Allah. Kita katakan bahwa tidaklah semua yang
berhukum dengan selain hukum Allah itu kafir. Sebagaimana yang
dijelaskan oleh Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah:

“Barangsiapa berhukum dengan selain hukum Allah, maka tidak keluar dari
empat keadaan:

1. Seseorang yang mengatakan: “Aku berhukum dengan hukum ini, karena


ia lebih utama dari syariat Islam”, maka dia kafir dengan kekafiran yang
besar.

2. Seseorang yang mengatakan: “Aku berhukum dengan hukum ini, karena


ia sama/sederajat dengan syariat Islam, sehingga boleh berhukum dengannya
dan boleh juga berhukum dengan syariat Islam,” maka dia kafir dengan
kekafiran yang besar.

3. Seseorang yang mengatakan: “Aku berhukum dengan hukum ini dan


berhukum dengan syariat Islam lebih utama, akan tetapi boleh-boleh saja
untuk berhukum dengan selain hukum Allah,” maka ia kafir dengan
kekafiran yang besar.

4. Seseorang yang mengatakan: “ Aku berhukum dengan hukum ini,” namun


dia dalam keadaan yakin bahwa berhukum dengan selain hukum Allah tidak
diperbolehkan. Dia juga mengatakan bahwasanya berhukum dengan syariat
Islam lebih utama dan tidak boleh berhukum dengan selainnya, tetapi dia
seorang yang bermudah-mudahan (dalam masalah ini), atau dia kerjakan
karena perintah dari atasannya, maka dia kafir dengan kekafiran yang kecil,
yang tidak mengeluarkannya dari keislaman, dan teranggap sebagai dosa
besar. (At-Tahdzir Minattasarru’ Fittakfir, Muhammad Al-’Uraini hal. 21-
22)

Demikian pula, kalaulah sang penguasa itu terbukti melakukan kekufuran,


maka yang harus ditempuh terlebih dahulu adalah penegakan hujjah dan
nasihat kepadanya, bukan pemberontakan.

Adapun dalih mereka dengan hadits Auf bin Malik radiyallahu ‘anhu:

َّ ‫ َما أَقَا ُموا فِ ْي ُك ُم ال‬،‫ ال‬:‫ال‬


َ‫صالَة‬ ِ ‫ُول هللاُ! أَفَالَ نُنَابِ ُذهُ ْم ِبال َّسي‬
َ َ‫ْف؟ فَق‬ َ ‫ يَا َرس‬:‫قِي َْل‬.
Lalu dikatakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam:

“Wahai Rasulullah! Bolehkah kami memerangi mereka dengan pedang


(memberontak)?” Beliau bersabda: “Jangan, selama mereka masih
mendirikan shalat di tengah-tengah kalian!” (HR. Muslim, 3/1481, no. 1855)

Bahwa “mendirikan shalat di tengah-tengah kalian” adalah kinayah dari


menegakkan hukum-hukum Islam secara keseluruhan, sehingga –menurut
HT– walaupun seorang penguasa mendirikan shalat namun dinilai belum
menegakkan hukum-hukum Islam secara keseluruhan, maka dianggap kafir
dan boleh untuk digulingkan! Ini adalah pemahaman sesat dan menyesatkan.

Para pembaca, tahukah anda dari mana ta‘wil semacam itu? Masih ingatkah
dengan landasan berpikir mereka? Ya, ta`wil itu tidak lain dari akal mereka
semata… Bukan dari bimbingan para ulama. Wallahul musta’an.

Akhir kata, demikianlah gambaran ringkas tentang HT dan selubung


sesatnya tentang khilafah. Semoga menjadi titian jalan untuk meraih
petunjuk Ilahi.

Amin.

Foot note :

1. Menolak sifat-sifat Allah Ta’ala dengan ta`wil, kecuali beberapa sifat saja.(ed)
2. Lanjutan riwayat tersebut: “Dan sungguh aku telah melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi
wassalam mengusap pungggung khufnya.” (ed)

(Dikutip dari majalah Asy Syariah, Vol. II/No. 17/1426 H/2005, judul asli "Kelompok
Hizbut Tahrir dan Khilafah, Sorotan Ilmiah Tentang Selubung Sesat Suatu Gerakan,
karya Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Lc, url http://www.asysyariah.com/syariah.php?
menu=detil&id_online=287)

Silahkan menyalin & memperbanyak artikel ini dengan


mencantumkan url sumbernya.
Sumber artikel : http://www.salafy.or.id/print.php?
id_artikel=979

Anda mungkin juga menyukai