Anda di halaman 1dari 9

Buletin Kaffah, No.

301
26 Dzulhijjah 1444 H
14 Juli 2023 M

HIJRAH DARI SISTEM


JAHILIAH

T ak terasa, kita saat ini sudah ada di penghujung tahun


1444 H. Hanya beberapa hari lagi kita akan memasuki
Tahun Baru Hijriyah, yakni 1445 H. Sebagian umat Is-
lam menjadikan Tahun Baru Hijrah sebagai momentum
untuk melakukan refleksi (perenungan), kontemplasi (mu-
hâsabah), bahkan mungkin menetapkan sejumlah resolusi
(tuntutan) baru untuk masa depan hidupnya agar lebih baik.
Hal yang sama sudah seharusnya dilakukan oleh kaum
Muslim yang merupakan penduduk mayoritas di negeri ini.
Bahkan saat ini, sudah saatnya kaum Muslim—secara kolek-
tif—di negeri ini berani melakukan semacam koreksi terha-
dap sistem kehidupan sekuler yang dijalankan selama ini,
yang terbukti bermasalah. Baik terkait sistem ekonomi, sis-

01
tem hukum, sistem peradilan, sistem politik dan
pemerintahan, sistem pendidikan maupun sistem sosial, dll.
Selanjutnya, kaum Muslim harus berani berhijrah, yakni
meninggalkan sistem kehidupan sekuler ini, menuju sistem
kehidupan yang shahih, yakni sistem kehidupan Islam.
Selama kaum Muslim tidak memiliki tekad dan keberanian
untuk berhijrah, yakni meninggalkan sistem jahiliah ini, me-
nuju sistem Islam, maka nasib mereka tidak akan pernah be-
rubah. Bakal tetap terpuruk dan terjajah. Karena itu hiruk-
pikuk Pilpres/Pemilu yang rutin digelar setiap lima tahun
sekali pun tak akan pernah menghasilkan perubahan yang
berarti. Pasalnya, pada faktanya Pilpres/Pemilu hanya
menghasilkan rezim baru yang berganti wajah, tetapi tetap
dengan menjalankan sistem yang sama, yakni sistem seku-
ler yang bermasalah, yang notabene adalah sistem jahiliah;
bukan menerapkan syariah Islam secara kâffah.

Pentingnya Hijrah
Secara bahasa, al-hijrah merupakan isim dari fi'il ha-ja-ra.
Maknanya adalah meninggalkan. Dalam Hadis Nabi Mu-
hammad saw. dinyatakan, misalnya:
ِ ‫واﻟْﻤﻬ‬
ُ‫اﻪﻠﻟُ َﻋْﻨﻪ‬
‫ﺎﺟ ُﺮ َﻣ ْﻦ َﻫ َﺠَﺮ َﻣﺎ َ�َﻰ ﱠ‬ َُ َ

02
Orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa
saja yang telah Allah larang (HR al-Bukhari).

Hijrah dalam pengertian ini tentu wajib dilakukan oleh se-


tiap Muslim.
Adapun menurut istilah khusus, menurut Ar-Raghib al-
Ashfahany (w. 502 H), hijrah berarti keluar dari dârul kufr
(yakni wilayah yang menerapkan hukum-hukum kufur)
menuju Dârul Îmân (yakni wilayah yang menerapkan seluruh
hukum Islam) (Al-Ashfahâny, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân,
hlm. 833).
Makna hijrah seperti ini semakna dengan apa yang di-
nyatakan oleh Al-Jurjâni (w. 471 H) dan al-Qurthubi (w. 671
H) yang menyatakan:
‫ب إِ َﱃ َدا ِر ا ِﻹ ْﺳﻼَِم‬
ِ ‫اﳊﺮ‬ ِ ِ ِ
َْْ ‫اﳍ ْﺠَﺮةُ َوﻫ َﻲ اﳋُُﺮْو ُج ﻣ ْﻦ َدا ِر‬
Hijrah adalah keluar atau berpindah dari negara yang dipe-
rangi (negara kufur) ke Negara Islam (Al-Qurthuby, Al-Jâmi’ li
Ahkâm al-Qur’ân, 5/349; Al-Jurjani, At-Ta’rîfât, 1/83).

Hijrah semacam inilah yang dilakukan oleh Baginda Nabi


Muhammad saw. dari Makkah (yang saat itu merupakan
Dârul Kufur [negeri kufur]) menuju Madinah (yang saat itu
telah berubah menjadi Dârul Islam (Daulah Islam/Negara

03
Islam). Hijrah dalam makna khusus inilah yang dijadikan
awal penanggalan dalam Islam. Oleh karena itu tatkala men-
diskusikan tentang penanggalan Islam, setelah mendengar
berbagai usulan para Sahabat, Khalifah Umar bin Khaththab
ra. menyatakan:
ِ ‫اﳊ ِﻖ واْﻟﺒ‬ ِ ِ
‫ﺎﻃ ِﻞ‬َ َ ّ َْ ‫ﲔ‬ َ ‫ ﻓَﺈِ ﱠن ُﻣ َﻬ‬،‫ﻬﺎﺟَﺮةِ َر ُﺳ ْﻮل ﷲ‬
َ َْ‫ﺎﺟَﺮﺗَﻪُ ﻓَـ ْﺮ ٌق ﺑ‬ َ ‫ﺑَ ْﻞ ﻧـُ َﺆِّر ُخ ﻟ ُﻤ‬
Akan tetapi, kita akan menghitung penanggalan berdasarkan
hijrah Rasulullah, karena sesungguhnya hijrah beliau itu telah
memisahkan antara kebenaran dan kebatilan (Ibn Al-Atsîr, Al-
Kâmil Fî at-Târîkh, 1/3).

Hijrah Rasulullah saw. dari Makkah ke Madinah meru-


pakan peristiwa penting yang mengubah wajah umat Islam
saat itu. Umat yang awalnya tertindas dan teraniaya di
Makkah selama 13 tahun, setelah hijrah ke Madinah dan
menegakkan tatanan masyarakat yang islami dalam sebuah
negara, berubah menjadi umat yang mulia, kuat dan dise-
gani.

Pentingnya Eksistensi Negara Islam


Sebagaimana kita ketahui, sistem apapun selain sistem
Islam adalah sistem jahiliah. Termasuk sistem kehidupan
sekuler yang diberlakukan di negeri ini. Pasalnya, di negeri

04
ini syariah Islam tidak diterapkan, kecuali hanya sebagian
kecil, seperti dalam urusan nikah, talak, dan rujuk; dalam
urusan haji dan zakat; dsb. Sebaliknya, dalam berbagai uru-
san lain yang lebih besar (ekonomi, politik, hukum, peradi-
lan, sosial, pemerintahan, dll) syariah Islam tidak digunakan.
Padahal Allah SWT telah mencela sikap manusia yang tidak
mau memilih hukum-hukum Allah dan malah lebih memilih
hukum jahiliah. Allah SWT berfirman:
‫ْﻤﺎ ﻟَِﻘ ْﻮٍم ﻳُﻮﻗِﻨُﻮ َن‬ ِ‫ﺎﻫﻠِﻴﱠ ِﺔ ﻳـﺒـﻐُﻮ َن وﻣﻦ أَﺣﺴﻦ ِﻣﻦ ﱠ‬
ً ‫اﻪﻠﻟ ُﺣﻜ‬ َ ُ َ ْ ْ َ َ َْ َ‫اﳉ‬
ِ ْ ‫أَﻓَﺤﻜْﻢ‬
َ ُ
Apakah sistem hukum jahiliah yang mereka kehendaki?
Siapakah yang lebih baik sistem hukumnya dibandingkan de-
ngan sistem hukum Allah bagi kaum yang yakin? (TQS al-
Maidah [5]: 50).

Berkaitan dengan ayat di atas, setelah Nabi Muhammad


saw. diutus, sifat jahiliah memang tidak disematkan pada
suatu masa secara mutlak dan umum. Namun, sifat jahiliah
bisa disematkan pada realitas apa saja yang bertentangan
dengan ajaran Rasul (Islam) (Ibnu Taimiyah, Iqtidha’ Shirâth
al-Mustaqîm, 1/258); baik realitas itu berupa aqidah, sistem
hukum dan perilaku, baik realitas itu individu, masyarakat
ataupun negara. Negara (masyarakat) yang di dalamnya
lebih dominan penentangannya terhadap hukum-hukum

05
Allah, secara legal-formal menolak sistem Islam, lalu mene-
rapkan aturan-aturan yang bertentangan dengan syariah
Islam maka layak disebut dengan istilah jahiliah.
Karena itu hijrah, dalam pandangan Islam, tentu
berkaitan dengan upaya kaum Muslim, khususnya di negeri
ini, untuk segera meninggalkan sistem hukum jahiliah ini
menuju sistem Islam. Hijrah semacam ini tentu berkaitan
erat dengan upaya mewujudkan Dârul Islam (Negara Islam).
Sebabnya, hijrah Rasulullah saw. pun, yakni dari Makkah ke
Madinah, bukan hanya bersifat individual, sebagaimana hij-
rah pertama dan kedua yakni sebagian Muslim ke Habsyah.
Hijrah Rasul saw. adalah dalam rangka meninggalkan Dârul
Kufur menuju Dârul Islam, yakni meninggalkan sistem jahi-
liah menuju penegakan sistem Islam.

Hijrah Menuju Penerapan Syariah Secara Kâffah


Hijrah Nabi saw. ke Dârul Islam di Madinah adalah dalam
rangka menerapkan dan menegakkan syariah Islam secara
kâffah. Di Madinah Rasulullah saw. adalah pemimpin Nega-
ra Islam. Kekuasaan yang beliau terima di Madinah dari
kaum Anshar bukanlah sekadar kekuasaan semata. Sebab-
nya, jika sekadar kekuasaan semata, hal itu bisa beliau
dapatkan di Makkah. Kekuasaan beliau di Madinah tidak lain

06
adalah kekuasaan yang menolong (shultân[an] nashîr[an]).
Ini sebagaimana turunnya ayat yang memerintahkan beliau
hijrah:

َ ْ‫اﺟ َﻌ ْﻞ ِﱄ ِﻣ ْﻦ ﻟَ ُﺪﻧ‬
‫ﻚ‬ ٍ ِ ِ ِ ‫وﻗُﻞ ر‬
ْ ‫ب أ َْدﺧﻠْ ِﲏ ُﻣ ْﺪ َﺧ َﻞ ِﺻ ْﺪ ٍق َوأ‬
ْ ‫َﺧ ِﺮ ْﺟ ِﲏ ﳐَُْﺮ َج ﺻ ْﺪق َو‬ َّْ َ
ِ َ‫ﺎ� ﻧ‬
‫ﺼ ًﲑا‬ ً َ‫ُﺳﻠْﻄ‬
Katakanlah, "Tuhanku, masukkanlah aku secara masuk yang
benar, dan keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang benar,
dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang
menolong.” (TQS al-Isra’ [17]: 80).

Kekuasaan “yang menolong” adalah kekuasaan yang


dengan itu syariah Islam diterapkan secara kâffah. Imam
Ibnu Katsir, seraya mengutip Qatadah (w. 117 H), saat men-
jelaskan frasa “kekuasaan yang menolong”, menyatakan:
ِ‫اﻪﻠﻟ‬
‫ َوِِﻹﻗَ َﺎﻣ ِﺔ ِدﻳ ِﻦ ﱠ‬،ِ‫اﻪﻠﻟ‬
‫ﺾ ﱠ‬ ِ ِ‫ َوﻟَِﻔَﺮاﺋ‬،ِ‫اﻪﻠﻟ‬
‫ود ﱠ‬ِ ‫ و ِﳊ ُﺪ‬،ِ‫اﻪﻠﻟ‬ ِ ِِ ِ
ُ َ ‫ﻧَﺼ ًﲑا ﻟﻜﺘَﺎب ﱠ‬
“… untuk membela Kitabullah, hudûd Allah, hal-hal yang
difardukan Allah, dan untuk menegakkan agama Allah”. (Ib-
nu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-Adzîm, 5/111).

Relevansi Hijrah Saat ini


Hijrah tetaplah relevan hingga Hari Kiamat. Yang terpu-
tus hanyalah hijrah dari Makkah ke Madinah pasca Makkah

07
ditaklukkan dan menjadi Dârul Islam (Al-Qurthuby, Al-Jâmi’
li Ahkâm al-Qur’ân, 3/350).
Dalam situasi sekarang, hijrah bisa kita lakukan dengan
berpindah dari suatu tempat yang kita khawatirkan meng-
goyahkan keimanan kita, sementara kita tidak sanggup
berupaya mengubahnya, menuju tempat yang dipenuhi
suasana keimanan; meninggalkan pekerjaan yang banyak
kemaksiatannya beralih ke pekerjaan yang halal; mening-
galkan keadaan yang bisa membuat kita melanggar aturan
Allah, menuju keadaan yang mempermudah kita mende-
katkan diri kepada-Nya.
Yang lebih penting lagi, sekaligus inilah esensi dari hijrah
Nabi saw, yang perlu diteladani, adalah hijrah meninggalkan
sistem jahiliah saat ini, yakni sistem sekuler, menuju sistem
Islam. Karena sistem Islam ini tidak bisa tegak tanpa kekua-
saan, maka semestinya perjuangan umat bukan sekadar
diarahkan untuk menjadikan sosok Muslim yang shalih
sebagai penguasa. Lebih dari itu mestinya perjuangan umat
Islam diarahkan memilih dan mengangkat penguasa Muslim
yang shalih, yang kekuasaannya benar-benar digunakan
untuk menegakkan syariah Islam secara kâffah. Bukan ma-
lah sebaliknya, kekuasaan yang diraih itu digunakan justru
untuk melanggengkan dan makin memperkokoh sistem

08
sekuler yang notabene adalah sistem jahiliah. Jika itu yang
terjadi, sebagaimana saat ini, maka seluruh kaum Muslim
bertanggung jawab atas keterpilihan penguasa yang nyata-
nyata enggan menerapkan syariah Islam secara kâffah, dan
malah melanggengkan sistem sekuler jahiliah saat ini.
Alhasil, mari kita berhijrah secara total, yakni dengan
meninggalkan sistem jahiliah saat ini menuju sistem Islam
dalam naungan Daulah Islamiyah.
WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. []

HIKMAH:

Rasulullah saw. bersabda:


‫اﻪﻠﻟِ َوَر ُﺳﻮﻟِِﻪ‬ ِ َ‫ﺎت واﻷُﺧﺮى أَ ْن ُﻬﺗ‬
‫ﺎﺟَﺮ إِ َﱃ ﱠ‬ ِ ِ
َ ْ َ َ‫ﺠَﺮ اﻟ ﱠﺴﻴّﺌ‬
ِ َ‫إِ ﱠن ا ْﳍِﺠﺮةَ ﺧﺼﻠَﺘ‬
ُ ‫ﺎن إِ ْﺣ َﺪ‬
ُ ْ‫اﳘَﺎ أَ ْن َﻬﺗ‬ ْ َ َْ
Sesungguhnya hijrah itu dua macam. Pertama, kamu
meninggalkan perbuatan-perbuatan dosa. Kedua, kamu
berhijrah menuju Allah dan Rasul-Nya.
(HR Ahmad). []

09

Anda mungkin juga menyukai