Anda di halaman 1dari 9

Buletin Kaffah, No.

247
17 Dzulqa'dah 1443 H
17 Juni 2022 M

JANGAN KRIMINALISASI AJARAN


ISLAM!

D
alam beberapa waktu terakhir, khilafah menjadi isu
penting. Khilafah dinilai buruk dan dituding sebagai
ancaman. Ide khilafah dan para pengusungnya pun
dikriminalisasi.
Lalu bermunculan berbagai pernyataan dan postingan di
medsos yang mempersoalkan khilafah. Tak sedikit pula yang
merendahkan, mencemooh bahkan melecehkan seruan pene-
gakan khilafah.
Isu khilafah mengingatkan kita pada Ijtima Ulama Komisi
Fatwa MUI se-Indonesia yang ke-7, yang digelar pada tanggal
9-11 November 2021 di Jakarta. Pertemuan itu telah menye-
pakati 17 poin bahasan. Salah satunya tentang hukum jihad
dan khilafah. Intinya, dalam salah satu rumusannya dinyata-
kan: jihad dan khilafah adalah bagian dari ajaran Islam. Karena
itu Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI tersebut merekomenda-

01
sikan agar masyarakat dan Pemerintah tidak memberikan
stigma negatif terhadap makna jihad dan khilafah (Lihat:
Mui.or.id, 14/11/2021).
Sayang, rekomendasi Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI itu
seakan tidak digubris oleh berbagai pihak, termasuk oleh
Pemerintah. Bahkan ada oknum pengurus MUI yang juga tidak
menggubris rekomendasi itu.

Bagian dari Syariah Islam


Ada anggapan bahkan tudingan yang dipropagandakan
oleh sejumlah pihak bahwa khilafah adalah ideologi. Mereka
menyebut istilah “ideologi khilafah”. Ini jelas salah kaprah.
Sebabnya, khilafah bukan ideologi. Khilafah adalah bagian dari
syariah Islam tentang kepemimpinan dan pemerintahan.
Imam al-Mawardi menyatakan, “Imamah (Khilafah) diposisi-
kan untuk menggantikan kenabian dalam hal memelihara aga-
ma dan mengurus dunia.” (Al-Mawardi, Al-Ahkâm as-Sulthâ-
niyyah, hlm. 3).
Dr. Mahmud al-Khalidi, dalam disertasinya di Universitas al-
Azhar, Mesir, menyatakan, “Khilafah adalah kepemimpinan
umum atas seluruh kaum Muslim di dunia untuk menerapkan
syariah dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru
dunia.” (Al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm.
226).

02
Jadi khilafah merupakan istilah syariah dan bagian dari
kewajiban dalam Islam sebagaimana shalat, puasa, zakat, haji
dan yang lainnya. Bahkan khilafah telah dinyatakan di dalam
as-Sunnah di banyak hadis Rasul saw. Khilafah juga
merupakan bagian dari Sunnah Khulafaur Rasyidin yang
diperintahkan oleh Nabi saw. untuk kita pegang teguh.
Khilafah merupakan salah satu Sunnah Nabi saw. dan
Sunnah Khulafaur Rasyidin yang paling penting. Berpegang
teguh dengan sunnah ini adalah dengan mempertahankan,
membela dan menegakkannya kembali ketika tidak ada.

Khilafah: Kewajiban dalam Islam


Para ulama sepakat atas kewajiban mengangkat khalifah,
yakni menegakkan khilafah. Banyak dalil dari al-Quran, as-
Sunnah, Ijmak Sahabat dan kaidah syariah yang menegaskan
kewajiban ini.
Imam al-Qurthubi, ketika menafsirkan QS al-Baqarah [2]
ayat 30, menegaskan: “Tidak ada perbedaan pendapat menge-
nai kewajiban (mengangkat khalifah) ini di kalangan umat dan
para imam mazhab, kecuali pendapat yang diriwayatkan dari al-
‘Asham yang tuli dari syariah.” (Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm
al-Qur’ân, I/264).
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani juga menyatakan, “Para
ulama telah sepakat bahwa wajib mengangkat seorang khalifah

03
dan bahwa kewajiban itu adalah berdasarkan syariah, bukan
berdasarkan akal.” (Ibn Hajar, Fath al-Bâri, XII/205).
Kewajiban mengangkat seorang khalifah, yakni mene-
gakkan khilafah, telah disepakati oleh seluruh Sahabat atau
menjadi Ijmak Sahabat. Imam Ibnu Hajar al-Haitami asy-Syafii
menegaskan:

‫ﺐ اْ ِﻹ َﻣ ِﺎم ﺑَـ ْﻌ َﺪ‬


َ‫ﺼ‬ ْ ‫ﺿ َﻮا ُن اﷲِ َﻋﻠَْﻴ ِﻬ ْﻢ أ‬
ْ َ‫َﲨَﻌُ ْﻮا َﻋﻠَﻰ أَ ﱠن ﻧ‬ ْ ‫ﺼ َﺤﺎﺑَﺔَ ِر‬
‫أَ ﱠن اﻟ ﱠ‬
‫ﺚ اِ ْﺷﺘَـﻐَﻠﱡ ْﻮا‬ ِ ‫ ﺑﻞ ﺟﻌﻠُﻮﻩ أَﻫ ﱠﻢ اﻟْﻮ ِاﺟﺒ‬،‫اض زﻣ ِﻦ اﻟﻨﱡﺒـ ﱠﻮةِ و ِاﺟﺐ‬
ُ ‫ﺎت َﺣْﻴ‬ َ َ َ ُ ْ َ َ ْ َ ٌ َ ُ ََ ِ ‫اﻧْﻘَﺮ‬
ِِ
ِ‫ﺑِِﻪ ﻋﻦ دﻓْ ِﻦ رﺳﻮِل اﷲ‬
ُْ َ َ ْ َ
Sungguh para Sahabat—semoga Allah meridhai mereka—telah
berijmak bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) setelah
zaman kenabian berakhir adalah wajib. Bahkan mereka menja-
dikan upaya mengangkat imam/khalifah sebagai kewajiban
paling penting. Faktanya, mereka lebih menyibukkan diri
dengan kewajiban itu dengan menunda (sementara) kewajiban
menguburkan jenazah Rasulullah saw. (Al-Haitami, Ash-
Shawâ’iq al-Muhriqah, hlm. 7).
Ijmak Sahabat sebagai dalil tidak boleh ditolak. Menolak
Ijmak Sahabat dapat mengantarkan pada kekufuran. Imam as-
Sarakhsi [w. 483 H] menegaskan:

04
ِِ ِ
ْ ‫َوَﻣ ْﻦ أَﻧْ َﻜَﺮ َﻛ ْﻮ َن ا ِﻹ ْﲨَﺎعُ ُﺣ ﱠﺠﺔً ُﻣ ْﻮﺟﺒَﺔً ﻟ ْﻠﻌ ْﻠ ِﻢ ﻓَـ َﻘ ْﺪ أَﺑْﻄَ َﻞ أ‬
‫َﺻ َﻞ‬
ِِ
‫َﺻ ِﻞ اﻟﺪﱢﻳْ ِﻦ‬ ْ ‫ﻚ ﻳَ ْﺴ َﻌﻰ ِﰲ َﻫ ْﺪِم أ‬َ ‫اﻟﺪﱢﻳْ ِﻦ… ﻓَﺎﻟْ ُﻤْﻨ ِﻜُﺮ ﻟ َﺬﻟ‬
Siapa saja yang mengingkari kedudukan Ijmak sebagai hujjah
yang menghasilkan ilmu (keyakinan) sungguh dia telah memba-
talkan fondasi agama ini…Karena itu orang yang mengingkari
Ijmak sama saja dengan berupaya menghancurkan fondasi
agama ini (Lihat: Ash-Sarakhsi, Ushûl as-Sarakhsi, I/296).
Hujjatul Islam Imam al-Ghazali di dalam Al-Mushtashfa fi
‘Ilmi al-Ushûl menegaskan bahwa Ijmak Sahabat tidak dapat
dibatalkan. Karena itu Ijmak Sahabat yang menetapkan kewa-
jiban menegakkan Khilafah tidak boleh diabaikan atau dicam-
pakkan, seakan tidak berharga, hingga dikalahkan atau diba-
talkan oleh “ijmak” para pendiri bangsa, seandainya itu benar-
benar ada.

Cermin Kemunafikan dan Kekufuran


Stigma negatif merupakan bagian dari ejekan atau
cemoohan (al-istihzâ`) bahkan lebih dari itu. Al-Istihzâ` secara
bahasa berarti as-sukhriyyah (ejekan/cemoohan). Hujjatul Is-
lam al-Imam al-Ghazali di dalam Ihyâ` ‘Ulûm ad-Dîn (3/131)
menyatakan, makna as-sukhriyyah adalah merendahkan dan
meremehkan, menyoroti aib dan kekurangan.

05
Jadi, penistaan agama (al-istihzâ` bi ad-dîn) bisa dimaknai:
penghinaan dan cemoohan kepada Allah SWT; atau peng-
hinaan dan ejekan terhadap Rasul saw.; atau penghinaan dan
ejekan terhadap Islam, hukum dan ajarannya.
Penistaan agama Islam itu banyak bentuknya. Bisa dalam
bentuk melecehkan dan menjelek-jelekkan Islam, hukum dan
syariahnya; seperti mensifati Islam dan syariahnya sebagai
biadab, brutal, bengis, terbelakang, dll.
Bisa dalam bentuk melecehkan atau mengolok-olok seba-
gian hukum Islam; seperti mengolok-olok jilbab, kerudung dan
kewajiban menutup aurat, melecehkan azan, menghina hu-
kum potong tangan, qishash, rajam, dsb.
Bisa juga dalam bentuk melecehkan dan mencemooh dan
menstigma negatif sebagian ajaran Islam, seperti jihad dan
khilafah, termasuk mengkriminalisasi para penyerunya.
Syaikh Abdullah bin Husain bin Thahir al-Ba’alawi al-
Hadhrami asy-Syafii (w. 1272 H) di dalam Sullam at-Tawfîq ilâ
MahabbatilLâh ‘alâ at-Tahqîq menyatakan, bahwa semua
keyakinan, perbuatan atau ucapan yang menunjukkan penis-
taan atau pelecehan kepada Allah, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-
Nya, para malaikat-Nya, syiar-syiar-Nya, ajaran-ajaran agama-
Nya, hukum-hukum-Nya atau janji atau ancaman-Nya meru-
pakan kekufuran atau kemaksiatan. Karena itu hendaklah
orang berhati-hati dari hal itu secara sungguh-sungguh.

06
Pada masa Rasul saw., perilaku dan sikap penistaan agama
(Islam) itu merupakan perilaku orang-orang kafir, baik kaum
musyrik maupun Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani), juga menja-
di perilaku orang-orang munafik.
Di dalam al-Quran al-Karim, pelecehan terhadap Islam dan
ajarannya hanya disematkan sebagai perilaku kaum kafir dan
kaum munafik. Jadi penistaan terhadap Islam, hukum dan
ajarannya, juga kriminalisasi terhadap para penyerunya, tidak
lain merupakan cermin kekufuran atau kemunafikan.
Semua bentuk penistaan terhadap Islam, hukum, syariah
dan ajaran Islam itu jelas merupakan dosa besar. Tidak layak
seorang Muslim melakukan semua itu. Jika ada seorang
Muslim melakukan bentuk-bentuk pelecehan Islam, hukum,
syariah dan ajaran Islam, maka hal itu bisa mengeluarkan dia
dari Islam dan menyebabkan dirinya murtad, terutama jika
disertai i’tiqâd atau keyakinan. Adapun jika tidak disertai
i’tiqâd—karena perbuatan dan sikap itu merupakan dosa
besar, cerminan kekufuran dan kemunafikan—maka pelaku-
nya, meski tidak dinilai telah murtad, dinilai telah melakukan
perbuatan fasik dan dosa besar.

Wajib Memuliakan Ajaran Islam


Cermin keimanan dan keislaman seseorang adalah me-
muliakan Islam, hukum, syariah dan ajaran Islam. Hal itu

07
didorong oleh ketakwaan yang ada dalam dirinya. Allah SWT
berfirman:
ِ ُ‫ﻚ وﻣﻦ ﻳـﻌﻈﱢﻢ َﺷﻌﺎﺋِﺮ اﻟﻠﱠ ِﻪ ﻓَِﺈﻧـﱠﻬﺎ ِﻣﻦ ﺗَـ ْﻘﻮى اﻟْ ُﻘﻠ‬
‫ﻮب‬ ِ
َ َ َ َ ْ َ ُ َ َ َ ‫ذﻟ‬
Demikianlah (perintah Allah). Siapa saja yang mengagungkan
syiar-syiar Allah, sungguh itu timbul dari ketakwaan kalbu (TQS
al-Hajj [22]: 32).

Imam Abu al-Hasan al-Mawardi di dalam tafsirnya, An-Naktu


wa al-‘Uyun (Tafsir al-Mawardi), mengatakan, “Terkait
sya’âirulLâh, ada dua pendapat. Pertama, berbagai kefardhuan
Allah. Kedua, ajaran-ajaran agama-Nya.”
Imam an-Nawawi al-Bantani di dalam kitabnya, Syarh Sullam
at-Tawfiq, menjelaskan ayat tersebut, bahwa di antara sifat
terpuji yang melekat pada orang yang bertakwa adalah
mengagungkan syiar-syiar Allah, yakni syiar-syiar agama-Nya.
Imam Abu Manshur al-Maturidi di dalam tafsirnya, Ta’wilâh
Ahli as-Sunnah, menjelaskan ayat di atas: “Siapa saja yang
mengagungkan syiar-syiar Allah dengan perbuatan lahiriahnya
maka pengagungan itu muncul dari ketakwaan hati. Begitulah
perkara yang tampak pada manusia. Jika di dalam hatinya ada
sesuatu dari ketakwaan atau kebaikan maka yang demikian itu
tampak dalam perilaku lahiriahnya. Demikian juga keburukan,

08
jika ada di dalam hati, maka tampak pada perilaku lahi-
riahnya.”
Tentu saja, kita jangan sampai mendukung orang yang
melakukan istihzâ` bi ad-dîn (penistaan agama Islam) atau
bahkan termasuk pelakunya. Hal itu merupakan dosa besar,
pelakunya dinilai bermaksiat, menjadi orang zalim, fasik bah-
kan bisa kafir.
Sebaliknya, kita harus menjadi Muslim yang memuliakan
Islam, syariahnya dan ajarannya, termasuk khilafah. Apalagi
menegakkan khilafah adalah kewajiban bagi kita.
WalLâh a’lam bi ash-shawwâb. []

HIKMAH:

Rasulullah saw. bersabda:

‫ َو َﻋﻀ ْﱡﻮا‬،‫ﲔ ِﻣ ْﻦ ﺑَـ ْﻌ ِﺪ ْي‬ ِ ِ ِ ِ ْ ‫ﻋﻠَﻴ ُﻜﻢ ﺑِﺴﻨ ِﱠﱵ وﺳﻨ ِﱠﺔ‬
َ ‫اﳋُﻠَ َﻔﺎء اﻟﱠﺮاﺷﺪﻳْ َﻦ اﳌَْﻬﺪﻳِﱢ‬ َُ ْ ُ ْ َْ
‫َﻋﻠَْﻴـ َﻬﺎ ﺑِﺎﻟﻨـ َﱠﻮ ِاﺟ ِﺬ‬
Kalian wajib berpegang teguh dengan Sunnahku dan Sunnah
Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk setelahku. Gigitlah
sunnah itu dengan gigi geraham.
(HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi). []

09

Anda mungkin juga menyukai