Anda di halaman 1dari 10

Pengertian Bidah Menurut Ahlisunnah Wal Jamaah

Tags
Santri Dayah.Com, Samalanga- Salah satu senjata utama kaum wahaby (khawarij zaman
ini) adalah kata bidah. Dalam setiap pemahasan mereka tidak terlepas dari kata-kata bidah.
Dengan jurus bidah pula mereka menyesatkan para ulama-ulama besar dan mayoritas kaum
mulimin.
Dalam menafsirkan makna bidah mereka menolak penafsiran para ulama-ulama besar dan
hanya menerima penafsiran yang di lakukan oleh tokoh-tokoh mereka (seperti al-bani,
utsaimin, salih fauzan dan lain- lain).
Karena itu, maka kami pihak LBM MUDI Mesjid Raya, merasa perlu membuat satu tulisan
tentang pemahaman makna bidah berdasarkan pemahaman ulama Ahlus sunnah wal jamaah.
Terlebih lagi banyak kalangan yang meminta kami untuk membahas masalah bidah.
PENGERTIAN BIDAH SECARA ETIMOLOGI (BAHASA)
Secara etimologi, bidah mempunyai 2 makna. Pertama, memulai dan mengerjakan hal yang
baru tanpa ada didasari contoh.
Makna ini berasal dari perkataan :

Sebagai contoh dari makna yang pertama adalah firman Allah SWT :


Allah SWT merupakan pencipta langit dan bumi. (Q.S. Al-Baqarah : 117)
Pada ayat yang lain :

Katakanlah (hai Muhammad SAW): Aku bukanlah yang pertama di antara Rasul-Rasul.
(Q.S. Al-Ahqaf : 9)
Selanjutnya, Syaikh Ahmad bin Hijazi Al-Fasyani rahimahullah mengutarakan bahwa bidah
secara bahasa adalah :

(Perkara baru tanpa didasari contoh sebelumnya).

Syaikh Muhammad bin Yaqub Al-Fairus Al-Abadi mengungkapkan bahwa bidah adalah :

(Suatu urusan yang pertama adanya).
Syaikh Muhammad bin Abubakar Ar-Razi mendefinisikan abdaa (bidah) sebagai berikut :

(Mengadakan sesuatu tanpa contoh).
Kalau kita menelaah rataan makna bidah dalam kamus-kamus Bahasa Arab, kita dapati
bahwa kebanyakan para ahli lughah mendefinisikan bidah sebagai suatu perkara baru yang
diciptakan tanpa didasari contoh terlebih dahulu. Sedangkan pencipta hal baru tersebut
dinamai dengan mubdi ataupun mubtadi.
PENGERTIAN BIDAH SECARA ETIMOLOGI (ISTHILAH)
Sedangkan secara terminologi Syariat, dalam kalangan Ulama Ahlus sunnah Wal Jamaah
ada dua cara pandang yang sedikit berbeda, namun kesimpulannya tetap sama.
Pertama para ulama yang menafsirkan makna bidah dengan definisi :


bidah adalah suatu pembaruan yang tidak mempunyai dalil sama sekali dalam Syariat yang
membenarkannya. Sedangkan pembaruan yang mempunyai dalil Syariat yang
membenarkannya maka bukan termasuk bidah menurut Syara walaupun dapat disebut
bidah secara bahasa.
Pengertian tersebut diutarakan oleh Syaikh Abdurrahman bin Ahmad bin Rajab Al-Hanbali
rahimahullah.
Berdasarkan defenisi ini maka semua bidah syar`i adalah sesat, karena maksud dengan
bidah adalah semua yang tidak memiliki landasannya dalam agama. Maka bidah syar`i
tidak di bagi lagi tetapi di hukumkan semua bidah adalah sesat karena bidah adalah lawan
dari sunnah.
Adapun kalam para ulama yang jelas-jelas membagi bidah maka di maksudkan kepada
bidah lughawi bukan bidah syar`i. Amalam-amalan yang di katakan oleh para ulama
sebagai amalan bidah hasanah seperti perayaan maulid Nabi sebenarnya bukanlah bidah
secara istilah syara` karena amalan tersebut memiliki landasannya dalam agama, tetapi ia
hanya di katakan sebagai bidah pada lughah. Diantara para ulama yang dengan tegas
menyatakan demikian antara lain al-Hafidh Ibnu Hajar al-Asqalani dan Imam Ibnu Hajar alHaitami.

Maka berdasarkan defenisi ini, hadits Nabi ( Setiap bidah adalah sesat) masih
dapat di maknai secara umum, yaitu semua yang di namakan bidah secara istilah syara`
adalah sesat.
Kedua :para ulama yang mendefeniskan bidah ;

bidah adalah setiap perkara yang tidak dikenal pada zaman Rasululullah SAW.
Definisi ini diungkapkan
Salamrahimahullah.

oleh

Syaikh

Izzuddin

Abdul-Aziz

bin

Abdus-

Beranjak dari sudut pandang yang kedua ini, maka lafadz bidah dalam istilah syar`i dapat
dipahami sebagai hal-hal apa saja yang belum ada ataupun tidak dikenal pada masa
Rasulullah saw baik hal tersebut bisa saja dikategorikan sebagai hal baik, seperti
mengumpulkan seluruh Alqur-an dalam satu mushaf, membukukan Hadits-Hadits Nabi
Muhammad SAW, mendirikan madrasah dan seterusnya ataupun dapat pula dikategorikan
sebagai hal yang jelek, misalnya berkeyakinan sebagaimana keyakinannya sekte AlJabbariyah, Al-Qadariyah, Al-Murjiah, mencampuradukkan pelajaran keagamaan dengan
falsafah kafir, meninjau masuknya bulan puasa bukan dengan sistem rukyah, melaksanakan
shalat Jumat di rumah seorang diri dan lain sebagainya. Bahkan perkara baru tersebut
mencakup juga urusan keduniawian, seperti mengendarai sepeda motor, mobil, menggunakan
internetan dan seterusnya.
Pandangan ini dilandasi perkataan shahabat Saidina Umar yang di riwayatkan oleh Imam AlBukhari rahimahullah :

Ini adalah bidah yang paling baik.
Juga di landasi oleh hadits Rasulullah yang di riwayatkan oleh Imam Muslim :


Artinya : Barangsiapa merintis dalam Islam sunnah (perbuatan) yang baik maka baginya
pahala dari perbuatan tersebut juga pahala dari orang yang melakukannya setelahnya tanpa
mengurangi sedikitpun pahala mereka, dan barang siapa merintis dalam Islam sunnah
(perbuatan) yang buruk maka baginya dosa dari perbuatannya dan juga dosa dari perbuatan
orang yang melakukannya setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka. (H. R. Imam
Muslim)
Dalam hadits yang lain Rasulullah SAW bersabda :

Barang siapa mencipatakan dalam urusan kami (agama) sesuatu yang bukan darinya maka ia
tertolak (H.R. Imam Muslim)

Syeikh Abdu Rabbih al-Qalyuby mengatakan :



Artinya: Mafhum hadits ini, seorang yang mengadakan sesuatu dalam agama perkara yang
masih masih memiliki landasan dalam agama maka ia tidaklah tertolak, yang tertolak
hanyalah perkara yang tidak ada dasarnya dalam agama.
Maka berdasarkan landasan ini, para ulama membagi bidah syar`i kepada dua; hasanah dan
mazmumah dan berlaku baginya hukum yang lima (wajib, sunat, haram, makruh, dan
mubah).
Atas dasar pemahaman ini, Imam Nawawi berkomentar terhadap hadits kullu bidah
dhalalah:

Kata Nabi setiap bidah adalah sesat ini adalah `am makhkhsu, yang di maksudkan adalah
kebanyakan bidah.
Bila kita sedikit menelisik redaksi matan dari Kullu bidah dhalalah, maka kita mengetahui
bahwa pada riwayat tersebut terdapat lafadz yang bermakna universal, yaitu lafadz kullu.
Namun, tidak semua lafadz kullu bermakna universal. Tidak sedikit pula yang bermakna
badhun(sebagian). Dengan kata lain, ada lafadz kullu yang bermakna jami dan ada juga
yang bermakna majmu. Hal ini tidak jarang dijumpai dalam lafadz-lafadz yang mengandung
nilai balaghah yang tinggi baik dalam Alqur-an maupun Hadits-Hadits Nabi Muhammad
SAW. Diantaranya :
1. Firman Allah SWT dalam Surat Al-Ahqaf ayat 25 :

Yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya, maka jadilah mereka tidak
ada yang kelihatan lagi kecuali bekas tempat tinggal mereka. Demikianlah kami memberi
balasan kepada kaum yang berdosa.
Dalam ayat tersebut, lafadz yang digunakan adalah lafadz kullu, namun tidak bermakna
universal. Akan tetapi, makna lafadz kullu tersebut bermakna badhun. Artinya, tidak
semuanya dihancurkan pada masa itu, namun yang dihancurkan hanyalah kaum yang tidak
beriman kepada Allah SWT.
2. Firman Allah SWT dalam Surat Al-Anbiya ayat 30


Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu
keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan
dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga
beriman?

Dalam ayat ini, lafadz kullu juga tidak digunakan dalam bentuk bermakna keseluruhan
karena Allah SWT juga ada menciptakan makhluk hidup dari api, yaitu bangsa jin. Allah
SWT berfirman dalam Surat Ar-Rahman ayat 15 :

Dan Dia menciptakan jin dari api yang menyala.
3. Allah SWT berfirman dalam Surat Al-Kahfi ayat 79 :

Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut dan aku
bertujuan merusakkan bahtera itu karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas
tiap-tiap bahtera.
Dalam ayat yang mengisahkan perjalanan Nabi Musa as dengan Nabi Khidir as ini juga
menunjuki bahwa lafadz kullu tersebut bermakna badhun (sebagian). Hanya bahtera
yang bagus sajalah yang dirampas oleh raja, sementara bahtera yang jelek tidak dirampas.
4. Surat Al-An`aam ayat 120:

Dia yang menciptakan tiap-tiap sesuatu.
Kata-kata kullu syai-i (tiap-tiap sesuatu) dalam ayat tersebut tidak dimaksudkan secara
umum menyeluruh, karena Allah SWT tidak menciptakan dzat-Nya sendiri.
5. Surat An-Naml ayat 23 :

Dan dia (Ratu Balqis) dianugerahi tiap-tiap sesuatu.
Kullu (tiap-tiap) dalam ayat tersebut tidak bermaksud umum, karena bila dimaksudkan
umum maka akan timbul pemahaman bahwa Ratu Balqis dianugerahi tiap-tiap sesuatu
termasuk juga kekayaan yang ada pada tangan Nabi Sulaiman as, karena bila dikatakan tiaptiap sesuatu dengan umum akan terbenar juga kepada kekayaan yang ada pada Nabi Sulaiman
as.
Dari beberapa ayat Alqur-an tersebut dapat disimpulkan bahwa pemakaian kalimat kullu
kepada sebagian bukanlah suatu hal yang asing. Sehingga bukanlah satuhal yang janggal
ketika Imam Nawawi mengatakan bahwa maksud hadits kulla bidah dhalalah adalah
kebanyakan bidah bukan semua bidah.
Pembagian bidah
Banyak kalam para ulama terkemuka yang dengan tegas membagi bidah kepada baik dan
tercela, antara lain :

1. Imam Syafii:
Imam Syafii membagi bidah kepada dua, sebagaimana yang di riwakatkan oleh Imam
Baihaqy:
Pertama :

Pembaruan dari hal-hal yang bertentangan dengan Kitab, Sunnah, Atsar atau Ijma, maka
pembaruan ini adalah pembaruan yang menyesatkan.
Kedua :

Pembaruan berupa kebaikan yang tidak bertentangan dengan salah satu tersebut, maka
pembaruan ini adalah pembaruan yang tidak tercela.
2. Sulthan Ulama Izzuddin bin Abdis Salam (w. 660 H):
.
:


bidah adalah perbuatan yang tidak ada pada masa Rasulullah SAW. Bid`ah terbagi kepada
bid`ah wajib, bid`ah haram, bid`ah sunat, bidah mubah. Jalan mengetahui demikian adalah
dengan menimbang bidah tersebut dengan qaedah Syara`. Maka bila masuk dalam qaedah
wajib maka ia wajib, jika masuk dalam qaedah haram maka ia haram, jika masuk dalam
qaedah sunat maka ia sunat, jika masuk dalam qaedah makruh maka makruh dan jika masuk
dalam qaedah mubah maka ia mubah.
3. Ibnu Atsir (w. 606 H) :
:

bidah ada dua; bidah huda dan bidah dhalal (sesat). Maka perkara yang menyalahi perintah
Allah dan RasulNya berada pada pihak yang di cela dan di ingkari. Sedangkan perkara yang
berada di bawah keumuman yang di sunatkan oleh Allah dan di khususkan oleh Allah dan
RasulNya maka ia masuk dalam pihak yang terpuji.
4. Imam Nawawi (w. 676 H)
Imam Nawawi, ulama besar dalam Mazhab Syafii yang mencapai derajat mujtahidtarjih,
dalam kitab Tahzib al-Asma` wa al-Lughah :
:

bidah pada syara` adalah menciptakan sesuatu yang tidak ada pada masa Rasulullah SAW.
bidah terbagi kepada hasanah dan qabihah.
5. Ibnu Abdil Bar (w. 463 H) :



Artinya :Adapun ucapan Saidina Umar, sebaik baik bidah, maka bidah dalam bahas Arab
adalah mencipatakan dan memulai sesuatu yang belum pernah ada. Maka apabila bidah
tersebut menyalahi sunnah yang sudah berlaku maka ia adalah bidah yang tidak ada
kebaikan padanya dan wajib di cela dan di larang dan di perintahkan untuk di jauhi dan
meninggalkan pelakunya bila telah nyata baginya keburukan alirannya. Sedangkan bidah
yang tidak menyalahi dasar syariat dan sunnah maka itu adalah sebaik-baik bidah.
6. Al-Hafidh Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H)
Beliau berkata dalam kitab Fathul Bari :


Artinya :dan yang pasti bidah itu jika masuk di bawah yang di anggap baik dalam syara`
maka ia adalah hasanah dan jika masuk di bawah yang di anggap buruk dalam syara maka ia
adalah buruk dan jika tidak (tidak masuk dalam keduanya) maka ia bagian dari hal mubah
dan bidah itu terbagi kepada hukum yang lima.
Sebagaimana telah kami terangkan sebelumnya, bahwa sebagian ulama berpendapat bahwa
bidah secara istilah syara` hanyalah perkara-perkara yang tidak memiliki landasannya dalam
syara` sedangkan perkara baru yang memiliki landasan dalam syara` tidak di katakan bidah
pada uruf syara` tetapi hanya di katakan bidah secara lughawi. Maka berdasarkan
pemahaman ini, kata bidah hasanah yang dalam dalam kalam para pembesar ulama ketika
membagi bidah pada hakikatnya adalah bukan bidah secara istilah syar`i.
Hal ini dapat di lihat langsung dari pendapat penjelasan beberapa ulama yang menyetujui
bahwa semua bidah dalam istilah syara` adalah sesat antara lain:
1. Imam al-Hafidh Ibnu Hajar al-Asqalani.



dan yang di maksud dengan muhdats adalah perkara baru yang tidak ada dasarnya dalam
syara` dan di namakan pada uruf syara` dengan bidah. sedangkan perkara yang memiliki
landasan dalam syara` maka ia bukan bidah. maka bidah dalam istilah syara`adalah tercela
berbeda dengan bidah pada lughat karena setiap perkara baru yang di lakukan tanpa
contohnya di namakan bidah baik perkara itu terpuji atau tercela.

Dari kalam Ibnu Hajar al-Asqalani tersebut sangat jelas beliau menyatakan bahwa bidah
dalam istilah syara` adalah sesat. Sedangkan al-Hafidh Imam Ibnu Hajar al-Asqalani sendiri
merupakan salah satu ulama yang dengan tegas menyatakan bahwa perayaan maulid adalah
bidah hasanah.
2. Ibnu Hajar al-Haitami (w. 974 H)
Dalam fatawa Haditsiyah beliau menyatakan :
(


Dan perkataan Saidina Umar tentang taraweh; sebaik-baik bidah adalah ini, maksudnya
adalah bidah lughawi yaitu setiap perbuatan yang bukan atas contoh terdahulu sebagaimana
dalam firman Allah: katakanlah tidak adalah aku yang pertama dari para Rasul (QS. Al-Ahqaf
9). Dan hal itu bukanlah bidah pada istilah syara` karena bidah syar`iyah adalah sesat
sebagaimana kata Nabi. Para ulama yang membagi bidah kepada baik dantidak baik maka
itu adalah pembagian bidah lughawiyah sedangkan para ulama yang menyatakan bahwa
semua bidah sesat maka maksudnya adalah bidah syar`iyah.
Dalam kitab Fathul Mubin, Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan :

Artinya :kesimpulannya bahwa bidah hasanah di sepakati kesunnahannya yaitu perkara yang
sesuai dengan yang telah lalu (kami sebutkan) dan mengerjakannya tidak melazimi kepada
yang di larang dalam syara`.
Selanjutnya Imam Ibnu Hajar mengutip pernyataan guru Imam Nawawi, Abu Syamah tentang
maulid sebagai contoh dari bidah hasanah.
3. Syeikh Muhammad Bakhit al-Muthi`i al-Hanafi (w. 1935 M).
Dalam kitab Ahsanul Kalam fima yata`allaqu bi sunnah wa al bidah min al-Ahkam beliau
menyatakan :




Artinya :bidah pada syara` adalah perkara yang di ciptakan pada masa setelah Rasulullah
SAW dan masuk dalam larangan yang umum yang menghendakinya hukum haram atau
makruh. bidah makruh tersebut tercela pada syara`. Sedangkan bidah yang harama adalah
sesuatu yang sesat dan tercela dalam syara`. Dan bidah yang di bagi para ulama kepada
beberapa pembagian tersbut adalah bidah lughawiyah, bidah lughawiyah lebih umum
karena bidah syar`iyah adalah satu bagian darinya. Dan tidaklah setiap sesuatu yang tidak di
kerjakan pada masa Rasulullah SAW termasuk bidah tercela dan sesat, sebalik dengan
orang-orang yang mendakwa demikian.

Selanjutnya Syeikh Bakhit al-Muthi`i memasukkan azan pertama sebelum pelaksanaan shalat
jumat kedalam bidah hasanah . Selain itu syeikh Muhammad Bakhit al-Muthi`i juga
membolehkan perayaan maulid Nabi sebagaimana fatwa al-Hafidh Ibnu Hajar al-Asqalani,
dan al-Hafidh Suyuthi.
Maka dari uraian di atas dapat di simpulkan bahwa dari dua metode pemahaman para ulama
tersebut tidaklah kontradiksi bahkan menghasilkan kesimpulan yang sama yaitu setiap
perkara yang baru yang menyalahi aturan syara` merupakan perbuatan bidah yang sesat dan
tidak semua perbuatan yang tidak ada pada zaman Rasul di hukumi bidah yang sesat tetapi
bila perbuatan tersebut memiliki landasan dalam agama maka ia termasuk dalam bagian dari
agama di mana sebagian ulama menyebutkan dengan kata bidah hasanah.
Beranjak dari kedua sudut pandang para Ulama Ahlus sunnah dalam menyikapi dan
memahami ungkapan Nabi saw kullu bidah dhalalah, maka pada haqiqatnya mereka
sepakat bahwasanya bidah yang dimaksud oleh Nabi Muhammad saw bidah yang tidak
memiliki legalitas dalil Syari sekaligus diberi ganjaran dosa bagi para pelakunya. Hanya
saja, yang melatarbelakangi perbedaannya adalah pendekatan pemahaman para Ulama itu
sendiri dalam menyimpulkan maksud dari ungkapan Nabi Muhammad saw tersebut.
Sebagian menganalisanya secara global dan sebagian yang lain mengemukakannya secara
terperinci.
Oleh sebab itu, setiap hal yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad saw maupun
generasi Salafus-Shalih tidak bisa langsung dihukumi sebagai perkara bidah yang dhalalah.
Akan tetapi harus dicermati terlebih dahulu apakah perkara tersebut mempunyai landasan
Syariat nya atau tidak. Bila dilandasi oleh dalil-dalil Syariat yang membolehkannya ataupun
tidak melarangnya, maka hal tersebut tidak pantas divonis bidah dalam Syara walaupun
terbenar kepada bidah secara lughawi (bahasa). Dengan kata lain, bidah tersebut adakalanya
dihukumi sebagai bidah hasanah (baik) dimana tetap akan diberi pahala bagi para pelakunya
dan ada pula yang divonis sebagai bidah mazhmumah (tercela) yang diancam sesat dan
masuk neraka bagi para pelakunya. Para pelaku bidah mazhmumah inilah yang disebut
sebagai ahlul-bidah dalam Syariat.
Semoga Allah memelihara kita dari perbuatan-perbuatan bidah dhalalah dan juga dari
memvonis sesuatu dengan kata BIDAH. Amiin Ya Rabbal Alamin.

Al-Majalis As-Saniyyah, Syaikh Ahmad bin Hijazi Al-Fasyani, Bab Al-Majlis Ats-Tsamin
Wa Al-Isyrun Fi Al-Hadits Ats-Samin Wa Al-Isyrun, Hal. 87, Cet. Toha Putra.
Al-Muhith, Syaikh Muhammad bin Yaqub Al-Fairus Al-Abadi, Juz. III, Hal. 3.
Mukhtar Ash-Shihah, Syaikh Muhammad bin Abubakar Ar-Razi, Hal. 379.
Syeikh Ali Jum`ah, al-Bayan lima Yasyghul al-Azhan, Juz I. Hal 142
Jaami Al-Uluum Wa Al-Hikam, Syaikh Abdurrahman bin Ahmad bin Rajab Al-Hanbali,
Juz. I, Hal. 226, Cet. Dar Al-Marifah, 1408 H.
Fathul Bari, al-Hajar al-Asqalani, Juz XXIII, Hal. 253. Cet. Dar Ma`rifah th 1379 H

Imam Ibnu Hajar al-Haitami, Fatawa Haditsiyah, Hal. 370 Cet. Dar Ihya Turast Arabi, th1998
Qawaaid Al-Ahkaam Fii Mashaalih Al-Anaam, Syaikh Izzuddin Abdul-Aziz bin
Abdus-Salam, Fashl Fi Al-Bidi, Juz. II, Hal. 133, Cet. Dar Al-Kutub, 2010 M.
Shahih Al-Bukhari, Imam Muhammad bin Ismail Bin Ibrahim Bin Al-Mughirah AlBukhari, Bab Man Qama Ramadhan, Juz. III, Hal. 45, Cet. Dar Thauq An-Najah, 1422 H.
Syeikh Abd Rabbih al-Qalyubi, Faidh al-Wahhab Juz IV, Hal. 113, Dar Qayumiyah Arabiyah
th 1963
Imam Nawawi, Syarh Shahih Muslim, Hal 324 th 1994 Dar Hadits
Al-Madkhal Ilaa As-Sunan Al-Kubra, Imam Ahmad bin Al-Husain bin Ali bin Musa AlBaihaqi, Juz. I, Hal. 191.
Qawaaid Al-Ahkaam Fii Mashaalih Al-Anaam, Syaikh Izzuddin Abdul-Aziz bin AbdusSalam, Fashl Fi Al-Bidi, Juz. II, Hal. 133, Cet. Dar Al-Kutub, 2010 M.
Ibnu Atsir, Nihayah Fi Gharib Hadits, Juz I, Hal. 101. Beirut, Maktabah Ilmiyah th 1979
Imam Nawawi, Tahzib al-Asma` wa al-Lughah, Juz II, Hal. 276 . Dar Kutub Ilmiyah, th 2007
Ibnu Abdil Bar, al-Istidzkar, Juz II, Hal. 267, Beirut, Dar Kutub Ilmiyah th 2000
Ibnu Hajar al-Asqalabi, Fathul Bari, Juz IV. Hal 294, Kairo, Dar hadits th 2004
Fathul Bari, al-Hajar al-Asqalani, Juz XXIII, Hal. 253. Cet. Dar Ma`rifah th 1379 H
Imam As-Suyuthi, Al-Hawi Li Al-Fatawi, Bab Husn Al-Maqshud Fi Amal Maulid, Hal. 229,
Juz. I, Cet. Dar Al-Fikri, 2004.
Imam Ibnu Hajar al-Haitami, Fatawa Haditsiyah, Hal. 370 Cet. Dar Ihya Turast Arabi, th1998
Ibnu Hajar al-Haitami, Fathul Mubin bi Syarh Arba`in, Hal. 263, Dar Kutub Ilmiyah th 2007
Imam Ibnu Hajar al-Haitami, Fathul Mubin bi Syarh Arba`in, Hal. 263 Cet. Dar Kutub
Ilmiyah th 2007
Syeikh Muhammad Bakhit al-Muthi`i, Ahsanul Kalam fima yata`alaqu bi al-sunnah wa albidah min al-Ahkam, Hal. 16, Kairo, Mathba`ah Kurdistan Ilmiyah th 1329
Ahsanul Kalam fima yata`alaqu bi al-sunnah wa al-bidah min al-Ahkam, Hal. 59
Ahsanul Kalam, Hal. 71

Anda mungkin juga menyukai