Anda di halaman 1dari 6

Materi Hijrah

Alokasi Waktu 1 Kali Pertemuan


Pertemuan

Hijrah secara bahasa berarti tarku (meninggalkan). Hijrah ila syai berarti intiqal ilaihi ‘an


ghairi (berpindah kepada sesuatu dari sesuatu). Menurut istilah, hijrah berarti tarku maa
nahallaahu ‘anhu (meninggalkan sesuatu yang dilarang Allah).

Hijrah menurut sejarah penetapan hukum (tarikh tasyri) adalah berpindahnya kaum muslimin
dari kota Makkah ke kota Madinah, dan juga dari kota Makkah ke kota Habasyah.

Pengertian hijrah secara khusus dibatasi hingga penaklukan kota Makkah. Setelah itu hijrah
dengan makna khusus sudah berakhir, maka tinggallah perintah hijrah dengan makna umum,
yaitu berpindah dari negeri kafir ke negeri iman. Makna kedua ini berlaku setelah penaklukan
kota Makkah.

Perintah hijrah pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. adalah perintah yang
sangat penting. Ia merupakan bagian dari strategi politik dakwah dan hukumnya wajib bagi
para sahabat yang berada di luar kota Madinah. Allah Ta’ala memerintahkan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabat untuk membina masyarakat Islam di
kota Yatsrib. Oleh karena itu para sahabat berlomba-lomba melakukan hijrah, baik dari kota
Makkah maupun dari negeri dan kawasan sekitar Makkah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjanjikan pahala yang besar bagi yang berhijrah;


dan menjadi catatan atau aib jika seorang muslim tidak berhijrah. Semangat hijrah adalah
semangat mentaati pemimpin dan semangat melaksanakan kebijakan dakwah. Kesempatan
untuk mendapatkan keutamaan hijrah pun dibatasi dengan ditaklukkannya kota Makkah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ِ ‫اَل ِهجْ َرةَ بَ ْع َد ْالفَ ْت‬


‫ وَِإ َذا ا ْستُ ْنفِرْ تُ ْم فَا ْنفِرُوا‬،ٌ‫ح َولَ ِك ْن ِجهَا ٌد َونِيَّة‬
“Tidak ada hijrah setelah Fathu Makkah, tetapi (yang ada adalah) jihad dan niat. Maka
apabila kalian diperintahkan jihad, maka berangkatlah” (HR. Bukhari 3077 dan Muslim
1353).

Hal itu karena hijrah pada masa Rasul saat itu adalah dalam rangka mengumpulkan kekuatan
dari kota Makkah ke kota Madinah. Karena itulah pengertian hijrah yang harus senantiasa ada
dalam diri setiap muslim adalah pengertian hijrah maknawi:

1. Meninggalkan kejahiliyahan menuju kepada nilai Islam.


2. Meninggalkan kekafiran menuju iman kepada Allah.
3. Meninggalkan kesyirikan menuju tauhid, mengesakan Allah.
4. Meninggalkan kebatilan menuju hak, kebenaran Islam.
5. Meninggalkan perbuatan maksiat menuju perbuatan ketaatan kepada Allah.
6. Meninggalkan sesuatu yang haram menuju sesuatu yang halal.

Meski demikian, dalam kondisi tertentu orang Islam tetap harus melakukan hijrah fisik
dengan konsideran sebagai berikut,

1. Hijrah untuk keamanan bagi orang-orang yang lemah seperti hijrahnya kaum
muslimin ke Habasyah.
2. Hijrah untuk mengungsi dan bersifat sementara.
3. Hijrah karena panggilan iman bagi seluruh kaum muslimin ke kota madinah. Hijrah
ke madinah adalah bentuk mobilitas umum untuk mengokohkan basis sosial dan basis
geografis. Kebijakan hijrah seperti ini pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam selain panggilan keimanan, juga merupakan kebijakan politik Islam untuk
menghadapi tantangan musuh dari luar Madinah.

Bai’at Aqabah I: Latar Belakang Hijrah ke Madinah

Di pembahasan sebelumnya telah disebutkan bahwa kaum Quraisy tidak terpengaruh oleh
peristiwa Isra’ mi’raj, dan mereka meneruskan sikapnya mendustakan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam serta menyakitinya dan para sahabatnya. Gerakan dakwah semakin sempit,
hampir-hampir terhenti di Makkah
Walau demikian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak putus asa dari pertolongan
Allah Ta’ala, dan terus menawarkan dakwahnya kepada kabilah-kabilah Arab pada musim
haji dan pada saat diadakannya pertemuan-pertemuan mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam tidak meminta kepada mereka kecuali agar mereka mau menerima beliau dan
melindungianya dalam berdakwah menyampaikan risalah Allah Ta’ala.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepada mereka,

 ‫ ِإنَّ َم^ا ُأ ِريْ^ ُد َأ ْن‬,ُ‫^رهَ لَ ْم ُأ ْك ِر ْه^ه‬


ِ ‫ َو َم ْن َك‬,َ‫ض^ َي ِم ْن ُك ْم بِالَّ ِذي َأ ْد ُع^وْ هُ ِإلَيْ^ ِه فَ^ َذلِك‬
ِ ‫ َم ْن َر‬,‫الَ أك^ره أح^دًا ِم ْن ُك ْم َعلَى َش^ ْي ٍء‬
‫ص ِحبَنِي بِ َما َشا َء‬ َ ‫ض َي هَّللا ُ َع َّز َو َج َّل لِي َولِ َم ْن‬ ِ ‫تحرزوني فِ ْي َما يُ َراد لِي ِمنَ ْالقَ ْت ِل َحتَّى ُأبَلِّ ُغ ِر َسالَتَ َربِّي َو َحتَّى يَ ْق‬

“Aku tidak memaksa seorang pun atas sesuatu. Siapa saja yang senang dengan apa yang
kuserukan maka demikianlah selayaknya. Siapa saja yang tidak suka, aku tidak memaksa.
Aku menginginkan kalian melindungiku dari orang-orang yang ingin memerangiku agar aku
bisa menyampaikan risalah Tuhanku, hingga Allah memberikan keputusan untukku dan
sahabat-sahabatku dengan apa yang Dia kehendaki.” (Ibnu Katsir, As-Sirah al-
Nabawiyyah (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1976), 2/158.).

Pada tahun ke sepuluh kenabian, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menemui kabilah-


kabilah di musim haji sebagaimana yang dilakukan setiap tahun. Ketika berada di Aqabah
bertemulah beliau dengan enam orang Khazraj. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengajak mereka kepada Allah Ta’ala, menunjukkan Islam pada mereka dan
membacakan Al-Qur’an.

Kaum Khazraj bertetangga dengan Yahudi di Madinah. Mereka sering mendengar orang-
orang Yahudi memberitahukan tentang semakin dekatnya masa kemunculan seorang nabi.
Mereka menakut-nakuti akan menjadi pengikutnya dan berperang bersamanya untuk
menyerang kaum ‘Ad dan Iram.

Maka saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menawarkan Islam, orang-orang Khazraj


ini saling berpandangan satu sama lain dan berkata,
‫ فَال تَ ْسبِقِنَّ ُك ْم ِإلَ ْي ِه‬، ‫يَا قَوْ ِم تَ ْعلَ ُمونَ َوهَّللا ِ ِإنَّهُ لَلنَّبِ ُّي الَّ ِذي تَ َو َّع ُد ُك ْم بِ ِه ْاليَهُو ُد‬

“Wahai kaum, ketahuilah oleh kalian, demi Allah, sesungguhnya ia benar-benar nabi yang
disebutkan kepada kalian oleh orang-orang Yahudi dalam sumpah mereka, maka janganlah
mereka mendahului kalian dalam menyambutnya.” (Dalailun Nubuwwah, Abu Nu’aim)

َ ^ ِ‫َس ^ى هَّللا ُ َأ ْن يَجْ َم َعهُ ْم ب‬


‫ك فَ َس ^نَ ْق َد ُم َعلَ ْي ِه ْم‬ َّ ‫ِإنَّا ُكنَّا قَ ^ ْد تَ َر ْكنَ^^ا قَوْ َمنَ^^ا َواَل قَ^^وْ َم بَ ْينَهُ ْم ِمنَ ْال َع^ دَا َو ِة َو‬
َ ‫الش ^رِّ َم^^ا بَ ْينَهُ ْم َوع‬
‫ك‬َ ‫ِّين فَِإ ْن يَجْ َم ْعهُ ُم هَّللا ُ ؛ فَاَل َر ُج َل َأع َُّز ِم ْن‬ ِ ‫ك ِإلَ ْي ِه ِم ْن هَ َذا الد‬َ ‫ْرضُ َعلَ ْي ِه ُم الَّ ِذي َأ َج ْبنَا‬ ِ ‫ك َونَع‬ َ ‫فَنَ ْدعُوهُ ْم ِإلَى َأ ْم ِر‬

“Sesungguhnya kami meninggalkan kaum kami (pergi ke tempat ini); dan tidak ada kaum
yang mengalami permusuhan dan keburukan seperti yang terjadi kepada kaum kami; dan
mudah-mudahan melalui engkau Allah menghimpunkan mereka; kami akan sampaikan
kepada mereka dan mengajak mereka kepada urusan anda; juga akan kami sampaikan
kepada mereka apa yang telah kami terima dari agama ini; jika Allah menghimpunkan
mereka (dengan agama ini), maka tidak akan ada seorangpun yang lebih mulia dari
anda.” (Sirah Ibnu Hisyam, Juz 2, hal. 42).

Setelah berlalu setahun, menjelang musim haji tahun kesebelas. Berangkatlah dua belas orang
laki-laki bersama rombongan haji. Di antara mereka terdapat sepuluh orang dari Khazraj,
enam di antaranya telah masuk Islam pada tahun lalu, dan dua orang dari Aus. Mereka
bertemu dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam di Aqabah, dan mengadakan
perjanjian untuk beriman kepada Allah Yang Maha Esa dan komitmen dengan nilai-nilai
utama, serta meninggalkan perbuatan tercela.

َ ِ ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ َأنَّهُ قَا َل ِإنِّي ِم ْن النُّقَبَا ِء الَّ ِذينَ بَايَعُوا َرسُو َل هَّللا‬
‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َوقَ^ا َل‬ ِ ‫ت َر‬ ِ ‫ع َْن ُعبَا َدةَ ب ِْن الصَّا ِم‬
‫ْص^ َي‬ِ ‫ب َواَل نَع‬ َ ‫س الَّتِي َح^ َّر َم هَّللا ُ َواَل نَ ْنتَ ِه‬
َ ‫^زنِ َي َواَل نَ ْقتُ ^ َل النَّ ْف‬
ْ ^َ‫ق َواَل ن‬ َ ‫بَايَ ْعنَاهُ َعلَى َأ ْن اَل نُ ْش ِر‬
َ ‫ك بِاهَّلل ِ َش ْيًئا َواَل ن َْس^ ِر‬
ِ ‫ك ِإلَى هَّللا‬
َ ِ‫ضا ُء َذل‬ َ ِ‫بِ ْال َجنَّ ِة ِإ ْن فَ َع ْلنَا َذل‬
َ ِ‫ك فَِإ ْن غ َِشينَا ِم ْن َذل‬
َ َ‫ك َش ْيًئا َكانَ ق‬

Dari ‘Ubadah bin ash Shamit radliallahu ‘anhu, dia berkata, “Aku termasuk salah
seorang dari nuqaba (pimpinan) yang berbai’at kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam.” Lalu ‘Ubadah berkata, “Kami berbai’at kepada beliau untuk tidak menyekutukan
Allah dengan suatu apapun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh jiwa yang
diharamkan Allah, tidak merampok dan tidak berbuat maksiat yang balasannya adalah surga
bila kami memenuhi semuanya. Namun bila kami melanggar maka keputusannya ada pada
Allah.” (HR. Bukhari)

Setelah rombongan berbai’at kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka


kembali ke Yatsrib. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyertakan Mush’ab bin
Umair bersama mereka untuk mengajak beriman kepada orang yang belum beriman;
mengajar kepada orang-orang yang sudah beriman; mendalami agama, membacakan Al
Qur’an. Oleh karena itulah di Madinah ia disebut sebagai al muqri’u (pembaca). Ia
mengimami shalat karena Aus tidak senang jika Khazraj yang mengimami shalat, begitu juga
Khazraj tidak suka jika Aus yang mengimami shalat. Maka kesepakatannya adalah Mush’ab
yang mengimaminya.

Ketika sampai di Madinah, Mush’ab menjadi tamu bagi As’ad bin Zurarah radhiyallahu
‘anhu. Ia muliakan tamunya ini, dan membantunya melaksanakan tugas dakwahnya dengan
baik. Mulailah Mush’ab mengajak kaum musyrikin memeluk Islam dengan cara hikmah dan
nasehat yang baik. Berpindah dari satu rumah ke rumah lain, dari satu forum ke forum lain,
membacakan Al Qur’an, mengingatkan mereka dengan ucapan-ucapan yang dihafal dari
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, berbekal sabar dan ikhlas, dengan pemahaman
agama yang mendalam, ilmu tentang metode dakwah, cara meyakinkan orang lain, dan
kemampuan mempengaruhi orang lain.

Bai’at ini telah menempatkan utusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk


mengajak bangsa Arab penduduk Yatsrib memeluk Islam. Hal ini telah dilakukan dengan
sukses, tidak ada hari berlalu di sana kecuali ada satu atau lebih yang masuk Islam. Pernah
dalam satu hari Sa’d bin Mu’adz dan Usaid bin Hudhair—dua orang tokoh penting Yatsrib—
masuk Islam. Dengan keislaman kedua orang ini seluruh penduduk Bani Abdul Asyhal masuk
Islam. Sehingga tidak ada satupun rumah orang anshar kecuali di sana telah ada lelaki, dan
wanita yang telah masuk Islam. (Lihat: Sirah Ibnu Hisyam, Juz 2, hal. 46)

Kaum muslimin sudah memungkinkan untuk shalat jum’at. As’ad bin Zararah dan Mush’ab
bin Umar bersama dengan sejumlah kaum muslimin berkumpul di tempat yang disebut
Naqi’ul Khadhamat, menyelenggarakan shalat Jum’at pertama di Madinah, dengan jama’ah
berjumlah empat puluh orang.

Jadilah Madinah tempat yang siap untuk mengemban dakwah Islam, menjadi rumah bagi
kaum muslimin. Dengan demikian maka Baiatul Aqabah I menjadi muqaddimah dan
penyiapan untuk Baiatul Aqabah II, langkah penting bagi perjalanan hijrah dari Makkah ke
Madinah.

Anda mungkin juga menyukai