Anda di halaman 1dari 8

FLEXING: RIYA’ MENURUT PERSPEKTIF ISLAM

(KAJIAN TAFSIR MAUDU’I)

Wahyu Firmansyah
Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir
UIN Sunan Gunung Djati Bandung
whyfirmanz@gmail.com

ABSTRAK
Jalan yang diridhai Allah SWT sudah pasti menjadi tujuan yang dimau bagi tiap-tiap manusia didalam kehidupan
yang ditempuh dan perjalanan yang mencapai keridhaan merupakan sebuah pengembaraan yang terdapat sejumlah
tantangan, hambatan dan rintangan yang musti dilewati. Dalam pengembaraan seringkali diuji dengan penyakit-
penyakit hati yang dapat memberikan pengaruh pada orang-orang yang berada di jalan Allah untuk bisa
menyimpang, satu dari banyaknya penyakit hati itu adalah riya’. Singkatnya riya merupakan beribadah tapi berniat
untuk pamer. Penelitian ini secara khusus akan mengulasa bagaimana riya’ dalam perspektif Islam. Metode yang
digunakan adalah tematik dengan menjadikan ayat dan hadits sebagai kajian dan juga berbagai literatur. Besar
harapan penulis agar tulisan ini dapat memberikan andil dalam persoalan ilmiah dan untuk bisa selalu introspeksi
dan berhati-hati.
Kata Kunci: Riya’, Islam, tafsir tematik
Abstract

The path that is blessed by Allah SWT is definitely the desired goal for every human being in the life that is taken
and the journey that reaches the pleasure is an odyssey in which there are a number of challenges, obstacles and
obstacles that must be passed. In wanderings, they are often tested with diseases of the heart that can influence
those who are on the path of Allah to deviate, one of the many diseases of the heart is riya'. In short, riya is worship
but intends to show off. This research will specifically examine how riya' in an Islamic perspective. The method
used is thematic by making verses and hadiths as studies as well as various literatures. The author hopes that this
paper can contribute to scientific issues and to always be introspective and careful.

Keywords: Riya’, Islam, tafsir tematik

A. PENDAHULUAN
Sesuatu yang berhubungan perilaku yang sifatnya baik namun dijalankan bukan dengan niat
ibadah karena Allah, melainkan demi dilihat orang lain supaya menerima kebanggaan dan popularitas serta
berkaitan dengan mencari kedudukan tinggi dan penghormatan manusia dengan memamerkan amalan
itulah yang dinamakan riya’. Riya seringkali dikaitkan dengan istilah flexing yang dinilai tidak selaras
dengan moral dan etika dalam Islam.
Dalam realitanya riya’ sering sekali dilihat pada belakangan ini dengan kasus crazy rich yang
pamer kekayaan, pamer ketika bersedekah, dan pamer terhadap apa yang mereka miliki di media umum
ataupun di dunia nyata yang bertujuan agar mendapat banyak pujian dan penghormatan dari banyak orang
sehingga melahirkan sifat riya’ yang mungkin mereka tidak sadar walaupun melakukannya. Sifat riya’
inilah tidak sesuai apa yang disampaikan Allah SWT melalui Al-Qur’an dan tidak sesuai pula terhadap apa
yang sudah diajarkan Rasulullah SAW kepada umatnya melalui hadits.
Maka dari itu kita sebagai muslim musti mencari pengetahuan mengenai riya’ agar tidak
terjerumus dan menjadi paham mengenai riya’ yang besok-besok mungkin bisa menjadi pahala bagi kita
karena telah memperingatkan orang-orang yang berbuat riya’. Dan dengan alasan tersebut, penulis akan
memaparkan kasus flexing atau riya dalam perspektif Islam.
B. AYAT, TERJEMAHAN, DAN ASBABUN NUZUL AL-QUR’AN TENTANG RIYA
1. QS. Al-Baqarah (2): 262

ٗ‫اس َواَل يُْؤ ِمنُ بِاهّٰلل ِ َو ْاليَوْ ِم ااْل ٰ ِخ ۗ ِر فَ َمثَلُه‬ ۤ ُ ِ‫صد َٰقتِ ُك ْم بِ ْال َمنِّ َوااْل َ ٰذ ۙى َكالَّ ِذيْ يُ ْنف‬
ِ َّ‫ق َمالَهٗ ِرَئا َء الن‬ َ ‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا اَل تُ ْب ِطلُوْ ا‬
‫هّٰللا‬ ٰ
َ‫ص ْلدًا ۗ اَل يَ ْق ِدرُوْ نَ عَلى َش ْي ٍء ِّم َّما َك َسبُوْ ا ۗ َو ُ اَل يَ ْه ِدى ْالقَوْ َم ْال ٰكفِ ِر ْين‬ َ ٗ‫صابَهٗ َوابِ ٌل فَتَ َركَه‬ ٍ ‫ص ْف َو‬
َ َ ‫ان َعلَ ْي ِه تُ َرابٌ فَا‬ َ ‫َك َمثَ ِل‬
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jangan membatalkan (pahala) sedekahmu dengan
menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima), seperti orang yang menginfakkan hartanya
karena riya (pamer) kepada manusia, sedangkan dia tidak beriman kepada Allah dan hari Akhir.
Perumpamaannya (orang itu) seperti batu licin yang di atasnya ada debu, lalu batu itu diguyur hujan
lebat sehingga tinggallah (batu) itu licin kembali. Mereka tidak menguasai sesuatu pun dari apa yang
mereka usahakan. Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum kafir.”

Asbabun Nuzul:
“Al-Kalbi berkata, ayat ini turun tentang Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf. Adapun
Abdurrahman bin Auf, beliau pernah datang kepada Nabi saw dengan membawa sedekah seribu
dirham, seraya berkata, Saya mempunyai delapan ribu dirham, sebagiannya aku tahan untuk
keperluanku dan kebutuhan keluargaku, sejumlah empat ribu dirham dan empat ribu dirham aku
pinjamkan kepada Allah (aku infaqkan fii sabilillah). Lalu Rasulullah saw. mendoakannya: Mudah-
mudahan Allah memberkatimu terhadap harta yang kamu tahan (simpan untuk kebutuhan kamu dan
keluargamu); dan semoga Allah memberkatimu terhadap apa yang kamu infaqkan.”
“Sedang Utsman berkata, Aku siapkan kebutuhan orang-orang yang tidak mempunyai bekal
dalam perang Tabuk. Beliau merampungkan persiapan kebutuhan kaum muslimin dalam perjuangan
fii sabillah pada perang Tabuk sejumlah seribu unta lengkap dengan pernak-perniknya. Berkaitan
dengan kedua sahabat Rasulullah tersebutlah Allah lalu menurunkan ayat: (Orang-orang yang
menafkahkan hartanya dijalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu
dengan menyebut-nyebut pemberiannya (riya) dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima),
mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak
(pula) mereka bersedih hati.)"
“Abu Sa'id al-Khudri berkata: Artinya: Aku pernah rnelihat Rosululluh saw. mengangkat
tangannya, beliau berdoa, Wahai Tuhanku, sesungguhnya terhadap Utsman bin Affan aku ridho
padanya, maka aku mohon ridhalah Engkau kepadanya. Beliau tidak berhenti mengangkat tangan
seraya berdoa sampai terbit fajar. Lalu Allah menurunkan ayat (Orang-orang yang menafkahkan
hartanya dijalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan
menyebut-nyebut pemberiannya (riya) dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka
memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula)
mereka bersedih hati.)”1

2. QS. Al-Anfal (8): 47

ٌ‫ص ُّدوْ نَ ع َْن َسبِ ْي ِل هّٰللا ِ ۗ َوهّٰللا ُ بِ َمايَ ْع َملُوْ نَ ُم ِحيْط‬


ُ َ‫اس َوي‬ ۤ ‫َواَل تَ ُكوْ نُوْ ا َكالَّ ِذ ْينَ خَ َرجُوْ ا ِم ْن ِديَار ِه ْم بَطَرًا و‬
ِ َّ‫َّرَئا َء الن‬
ِ ِ
Artinya: “Janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang keluar dari kampung halamannya
dengan rasa angkuh dan ingin dipuji orang (riya) serta menghalang-halangi (orang) dari jalan Allah.
Allah Maha meliputi apa yang mereka kerjakan”

Asbabun Nuzul:
“Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Muhammad bin Ka’ab bin Al-Qurthubi bahwasanya dia telah
mengatakan, saat kaum Quraisy berangkat dari kota Makkah menuju Badar mereka membawa serta
para penyanyi wanita dan gendang. Maka Allah menurunkan firman-Nya Dan janganlah kamu
menjadi seperti orang-orang yang keluar dari kampungnya ..” “Ibnu Al-Qurthubi menyebutkan
riwayat ini dan berkata Ketika mereka sampai pada tempat yang bernama Juhfah, Khifaf Al-Kinani
1
Al-Wahidi an-Nisaburi, Asbabun Nuzul: Sebab-Sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an, Penerj. Moh Syamsi, Surabaya: Penerbit Amelia, 2014, h.
127-128
mengirim kepada Abu Jahal hadiah bersama anaknya dan berkata jika kau mau maka aku akan
memberikan kau bantuan berupa pasukan, dan jika kau menghendaki maka aku akan membantumu
dengan diriku sendiri dan beberapa orang dari kaumku, lalu Abu Jahal berkata Jika berperang
melawan Allah seperti apa yang dikatakan oleh Muhammad, demi Allah, kami tidak dapat melawan-
Nya. Akan tetapi jika kami hanya melawan manusia, maka demi Allah, kami mempunyai kekuatan
untuk melawan mereka, dan demi Allah, kami tidak akan pulang hingga kami sampai di Badar, maka
meminum khamar disana dan mendengarkan wanita-wanita bernyanyi. Sesungguhnya Badar adalah
tempatnya orang-orang Arab dan juga tempat bertransaksi mereka, hingga mereka mendengarkan
apa yang kami lakukan, maka mereka akan takut kepada kami selamanya”2.

3. QS. Al-Mau’n (107): 4-6


َ‫صاَل تِ ِه ْم َساهُوْ ۙنَ الَّ ِذ ْينَ هُ ْم يُ َر ۤاءُوْ ۙن‬
َ ‫صلِّ ْي ۙنَ الَّ ِذ ْينَ هُ ْم ع َْن‬
َ ‫فَ َو ْي ٌل لِّ ْل ُم‬
Artinya: “Celakalah orang-orang yang melaksanakan salat. (Yaitu) yang lalai terhadap salatnya.
Orang-orang yang berbuat riya.”

Asbabun Nuzul:
“Ketika itu orang-orang munafik mempertontonkan shalat, pamer terhadap kaum muslimin.
Mereka hanya melakukan sholat jika dipandang kaum muslimin. Saat berada di belakang, mereka
melalaikannya. Di depan mata kaum muslimin mereka santun kepada fakir miskin, dibalik layar sangat
bengis dan kejam, tidak mau mempersembahkan sedekah, apalagi mencintai yatim piatu. Di panggung
sandiwara mereka mempertontonkan kesalehannya agar mendapat kebanggaan dari publik, dibalik
layar panggung sifat mereka tak kurang dari layaknya binatang-binatang jalang yang tak mengenal
perikemanusiaan. Peristiwa ini telah melatar belakangi turunnya ayat-ayat yang terkandung dalam
surat al-Ma’un”3.

C. MUNASABAH AYAT
1. Munasabah Kata dalam Ayat
Dalam QS. Al-Baqarah ayat 264, Allah SWT menggunakan kata ‫ ِر َۤئا َء‬sebagai pilihan kata yang
ditujukan dalam mengungkapkan orang-orang beriman yang melakukan perbuatan riya dalam sedekah
dan diibaratkan sebagai batu licin yang diatasnya terdapat debu yang diguyur hujan.
Kata ‫ ِر َۤئا َء‬dalam surah ini artinya adalah melihat karena berakar dari kata ‫رأئ‬.
َ Kemudian kata ‫ِر َۤئا َء‬
juga dikategorikan sebagai mutabaqah dalam wazan (‫ )فعال‬yang artinya satu perbuatan dengan tujuan
agar dipandang oleh manusia. Dalam Lisan al-Arab, kata ‫ ِر َۤئا َء‬diartikan sebagai perilaku baik yang
ditunjukkan secara eksesif demi perbuatan baiknya terekspos dan dapat dipandang banyak orang serta
memperoleh berbagai pujian yang perilaku amalan tersebut sifatnya temporer. Syariat mendefinisikan
riya sebagai media untuk mengakrabkan diri kepada Allah yaitu ibadah namun diarahkan ke sesuatu
yang sifatnya material duniawi4.
Bahkan perihal sedekah pun didefinisikan secara terang-terangan yakni pahala yang semestinya
diperoleh oleh kita dari Allah yang berlipat-lipat ganda dari sedekah menjadi batal dan gugur
disebabkan adanya riya dan melukai hati penerima sedekah.
Kata-kata yang berkaitan dengan riya’ adalah riya’ dengan sedekah, riya’ dengan menyakiti
perasaan orang lain, dan riya dengan orang-orang beriman yang memiliki munasabah dengan sebuah
kalimat yaitu pahala yang akan diperoleh seseorang karena tabiat bersedekahnya pasti berlipat ganda,
namun akan gugur jika melukai perasaan dan bertindak riya. Allah SWT memanggil hambanya dengan
panggilan orang-orang beriman yang artinya Allah sayang dengan hamba-Nya dan diberi arahan agar
tidak melakukan hal-hal buruk. Jika kita mengkhianati Allah, kita tidak akan pernah menguasai sebuah
hal yang sekiranya kita mudah dan akan dicap sebagai orang kafir yang tidak memperoleh petunjuk
dari Allah.

- Munasabah Ayat Sebelumnya


2
Imam As- Suyuthi, Asbabun Nuzul: Sebab-Sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an, Penerj. Andi Muhammad Syahril, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2014, h. 254
3
Mudjab Mahali, Asbabun Nuzul: Studi Pendalaman Al-Qur’an, Jakarta: PT Raja Grindo Persada, 2002, h. 954
4
Irhamni, Riya dan Cara Penanggulangannya Menurut Pendidikan Islam, h. 2
Setelah dalam ayat 262 dan 263 yang dalam pembahasannya kedua ayat tersebut berkaitan
dengan ayat 264. Dalam ayat 262 diterangkan tentang orang-orang yang menginfakkan hartanya
dijalan Allah namun mereka selalu menyebut-nyebut infaknya itu dan menyakiti di penerima.
Kemudian pada ayat 263 menerangkan bahwa perkataan yang baik kepada orang lain dan
memberikan maaf ketika seseorang berbuat kesalahan lebih baik dibandingkan sedekah untuk
orang lain namun dibarengi tindakan menyakiti si penerima.
Dan dalam ayat 264 inilah dijelaskan sejelas-jelasnya tentang larangan orang-orang beriman
untuk tidak merusak sedekah dengan perbuatan riya’ dan perumpaannya jika melakukan perbuatan
riya serta akibat dari perbuatan riya itu sendiri.

2. Munasabah antar Ayat dalam Surat Yang Sama


Pada ayat 261, yaitu sebelum Allah SWT mengungkapkan ayat tentang riya, didalamnya berisi
mengenai perumpamaan orang yang menginfakkan harta layaknya sebuah biji yang dapat tumbuh
hingga tujuh tangkai kemudian setiap tangkainya dapat menumbuhkan sampai seratus biji karena Allah
dapat melipatgandakan apa yang sudah Dia kehendaki dan selanjutnya ditutup dengan menjelaskan
pada ayat 262 bahwa orang-orang yang bersedekah akan memperoleh pahala dan tak ada rasa takut
serta tidak bersedih hati. Dan setelah ayat-ayat tersebut kemudian diteruskan ayat 264 yang
memaparkan mengenai sedekah yang diwarnai dengan riya’ tidak akan menerima pahala sedikitpun
karena selalu disebut berulang-ulang dan juga menyakiti si penerima sedekah, perumpamaannya orang
yang melakukan hal tersebut, dan akibat dari perbuatannya.

3. Munasabah antar Surat dan Ayat dalam Al-Qur’an


Riya yang dibincangkan dalam ayat tersebut mempunyai kesesuaian dengan riya’ yang dibincangkan
dalam QS. Al-Maun ayat 4-6. Jika dalam surah Al-Baqarah ayat 264 tadi membicarakan hal tentang
sedekah yang dipamerkan, maka dalam surah ini membicarakan dalam hal sholat yang sesuai dalam
kesesuaian pembahasan mengenai riya’ yang secara tidak langsung dimaknai orang-orang yang sholat
yang hanya ingin dilihat orang lain. Jadi, munasabah pada ayat tersebut diimplikasikan dalam hal
penetapan pada motif riya yakni dalam hal sholat.
Dalam kata yuraaun maknanya ditujukan kepada ayat sebelumnya yang artinya orang-orang yang
lalai dalam melaksanakan sholat yaitu orang yang tidak mendirikan sholat, kemudian ketika ia sholat
mempunyai niat yang berbeda. Ibadah yang ia lakukan tidak lillahita’ala namun karena ingin
dipandang oleh orang lain dan menjalankan ibadahnya pun tidak ikhlas dan makna riya’ sejatinya
merujuk tertuju kepada suatu perbuatan yang mana ridha Allah bukan dijadikan alasan, namun justru
yang dicari merupakan sanjungan atau pamrih dari orang banyak.

D. KANDUNGAN HUKUM
1. Pengertian Riya’
Menilik dari huruf yang menyusunnya riya’ diartikan sebagai melihat. Dan bicara secara bahasa,
riya diartikan dengan melakukan kebaikan dengan niat busuk. Selanjutnya secara istilah, riya
didefinisikan sebagai aktivitas yang sifatnya lurus dan elok dilakukan dengan niat yang salah yakni
agar dipandang orang lain dengan maksud untuk mempertontonkan hal baik, memperoleh keseganan,
dan mendapatkan citra baik.
Jika berkaitan dengan konteks diluar ibadah, perilaku pamer akan dapat menaikkan kedudukan,
menaikkan pencitraan, dan memperoleh penghormatan karena telah mengambil hati banyak orang.
Namun, jika berkaitan dengan konteks ibadah, hal-hal tersebut tidak sedikitpun mendapatkan pahala
kebaikan apalagi pencitraan dan kehormatan dari Allah SWT karena salah besar niatnya sejak awal.
Artinya bukanlah merupakan ibadah murni karena ikhlas dan rendah hati namun karena ingin pamer
yang berakibat rusaknya kebaikan dari pahala ibadah.5

2. Riya dalam Hadits Ahkam


Penulis menemukan beberapa hadits yang berhubungan dengan riya’
Hadits Pertama, Shahih Bukhari No. 6018

َ َ‫َح َّدثَنَا ُم َس َّد ٌد َح َّدثَنَا يَحْ يَى ع َْن ُس ْفيَانَ َح َّدثَنِي َسلَ َمةُ بْنُ ُكهَ ْي ٍل ح و َح َّدثَنَا َأبُو نُ َعي ٍْم َح َّدثَنَا ُس ْفيَانُ ع َْن َسلَ َمةَ ق‬
‫ال‬
5
Muhammad Ash-Shayim, Mengapa Hati Menjadi Mati?, (Jakarta: Cendekia Sentra Muslim, 2004), hlm 51
َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َولَ ْم َأ ْس َم ْع َأ َحدًا يَقُو ُل قَا َل النَّبِ ُّي‬
ُ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َغي َْره‬ َ ‫ْت ُج ْن َدبًا يَقُو ُل قَا َل النَّبِ ُّي‬
ُ ‫َس ِمع‬
‫هَّللا‬ ‫هَّللا‬ َّ
‫ص لى ُ َعلَيْ ِه َو َس ل َم َم ْن َس َّم َع َس َّم َع ُ بِ ِه َو َم ْن يُ َراِئي يُ َراِئي ُ بِ ِه‬ ‫هَّللا‬ َّ َ ‫ت ِم ْنهُ فَ َس ِم ْعتُهُ يَقُ و ُل قَ ا َل النَّبِ ُّي‬ُ ْ‫فَ َدنَو‬

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Musadda telah menceritakan kepada kami Yahya


dari Sufyan telah menceritakan kepadaku Salamah bin Kuhail. lewat jalur periwayatan lain, telah
menceritakan kepada kami Abu Nu’aim telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Salamah
mengatakan: aku mendengar Jundab menuturkan, Nabi ‫ﷺ‬ bersabda, dan aku tak mendengar seorang
pun (selainnya) mengatakan dengan redaksi Nabi ‫ﷺ‬ bersabda, maka aku dekati dia, dan kudengar dia
menuturkan, Nabi ‫ﷺ‬ bersabda: Barang siapa yang beramal karena sum’ah, Allah akan
menjadikannya dikenal sum’ah, sebaliknya barang siapa yang beramal karena riya’, Allah akan
menjadikannya dikenal riya.”
Hadits ini menurut hemat penulis menjelaskan berkenaan dengan sum’ah dan riya’ yang
dimana orang-orang yang melakukan kedua perbuatan tersebut akan dijadikan Allah dikenal sebagai
orang-orang suka melakukan hal tersebut selamanya sampai dia berubah.

Hadits Kedua, HR. Ahmad 5: 429

‫ قَالُوا‬.» ‫ك اَألصْ َغ ُر‬ ُ ْ‫ قَا َل « ِإ َّن َأ ْخ َوفَ َما َأخَ افُ َعلَ ْي ُك ُم ال ِّشر‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫ع َْن َمحْ ُمو ِد ْب ِن لَبِي ٍد َأ َّن َرسُو َل هَّللا‬
ْ ‫َأ‬
‫ى النَّاسُ بِ ْع َمالِ ِه ْم اذهَبُوا‬ َ ‫ُز‬ِ ‫ك اَألصْ َغ ُر يَا َرسُو َل هَّللا ِ قَا َل « الرِّ يَا ُء يَقُو ُل هَّللا ُ َع َّز َو َج َّل لَهُ ْم يَوْ َم ْالقِيَا َم ِة ِإ َذا ج‬
ُ ْ‫َو َما ال ِّشر‬
‫» ِإلَى الَّ ِذينَ كنت ْم ت َراءُونَ فِى ال ُّدنيَا فَانظرُوا هَلْ تَ ِج ُدونَ ِعن َدهُ ْم َج َزا ًء‬6
ْ ُ ْ ْ ُ ُ ْ ُ
Artinya: “Dari Mahmud bin Labid, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Sesungguhnya
yang paling kukhawatirkan akan menimpa kalian adalah syirik ashgor. Para sahabat bertanya, Apa itu
syirik ashgor, wahai Rasulullah?. Beliau bersabda, (Syirik ashgor adalah) riya’. Allah Ta’ala berkata
pada mereka yang berbuat riya’ pada hari kiamat ketika manusia mendapat balasan atas amalan
mereka: ‘Pergilah kalian pada orang yang kalian tujukan perbuatan riya’ di dunia. Lalu lihatlah
apakah kalian mendapatkan balasan dari mereka?”
Hadits kedua ini menegaskan bahwa riya’ termasuk syirik ashghar. Ini dimaksudkan kepada
orang-orang yang berbuat riya’ agar sadar bahwa yang ia lakukan tidak bermanfaat sama sekali dan
sama saja menjadi orang syirik yang menyekutukan Allah. Karena segala sesuatu yang terjadi di dunia
ini karena Allah bukan karena pandangan orang lain dan kemasyhuran-kemasyhuran.

Hadits Ketiga, HR. Ahmad 2: 686

.َ‫فَقَ ْد َأ ْش َرك‬ ‫يُ َراِئ ْي‬ ‫ق‬ َ ‫ َو َم ْن ت‬،َ‫فَقَ ْد َأ ْش َرك‬ ‫ي َُراِئ ْي‬ ‫صا َم‬


َ ‫َص َّد‬ َ ‫ َو َم ْن‬،َ‫فَقَ ْد َأ ْش َرك‬ ‫يُ َراِئ ْي‬ ‫صلَّى‬
َ ‫َم ْن‬
Artinya: “Siapa yang shalat karena riya’, maka sesungguhnya dia telah syirik, siapa yang berpuasa
karena riya’, maka sesungguhnya dia telah syirik dan siapa yang bersedekah karena riya’, maka
sesungguhnya dia telah syirik (mempersekutukan Allah)”
Hadits ini juga menjelaskan bahwa beribadah karena riya’ termasuk orang-orang yang berbuat
syirik yang mana mereka melakukan sholat dan sedekah karena riya’ ingin mendapatkan
penghormatan. Dari hadits ini dapat kita lihat bahwa Rasulullah sendiri menetapkan bahwa kesyirikan
bisa datang dari perbuatan riya’ dan ketika dilakukan secara terus-menerus akan menjadikan orang
yang melakukannya masuk kedalam golongan musyrikin.

3. Riya dalam Al-Qur’an


Kata riya dalam Al-Qur’an mempunyai banyak bentuk yang sudah diulang lima kali yaitu
berbentuk (‫ )رئاء‬sejumlah tiga kali yakni terdapat pada QS. Al-Baqarah [2]: 264, QS. Al-Nisa’ [4]: 38,
dan QS. Al-Anfal [8]: 4 dan selanjutnya dalam bentuk (‫ )يرائون‬yang terulang dua kali yang terdapat
pada QS. Al-Nisa’[4]: 142 dan QS. Al-Ma’un[107]: 6 7. Makna-makna pamer atau riya tetap mengarah
pada kelima ayat tersebut walaupun seluruhnya tidak benar-benar disebut secara spontan kata riya (
‫)رياء‬

6
Ahmad bin Hanbal al-Syibani, Musnad Ahmad Bin Hanbal, vol. VI (Beirut: Dar al-Risalah, 1999), h. 428– 429.
7
Muhammad Fuad Abdul Baqi Al-Mujam Al-Mufahras Li Al-Fadzi Al-Qur’an Al-Karim (Beirut: Dar al-Fikr, n.d.), 285
Ayat-ayat yang diturunkan Allah SWT kepada Rasulullah SAW mengenai riya sebagai respon atas
perilaku orang-orang munafik yang dimana ketika tengah bersama Muslimin didalam sebuah masjid,
mereka bersembahyang seperti yang dilakukan orang yang shalih yang shalatnya khusyuk, gerakannya
bagus dan bacaannya merdu. Akan tetapi tujuan dari mereka melakukan itu bukanlah untuk benar-
benar beribadah mendapatkan pahala, namun dengan maksud untuk memperlihatkan kepada kaum
Muslimin bahwa mereka telah beribadah dan menyombongkan diri dengan maksud pamer didalam
hatinya. Dan ketika sudah tidak bersama Muslimin yang lain yang mana ketika ia sendiri atau kembali
bergaul dengan sesama kaumnya mereka memilih untuk tidak mendirikan shalat atau dengan kata lain
ia menghentikan shalatnya bahkan tidak akan mau memberikan bantuan dalam bentuk apapun kepada
Muslimin. Dan begitulah seterusnya siklus yang mereka lakukan sampai mereka mendapat hidayah
dari Allah SWT untuk mulai berubah.
Tradisi itu sangat bertentangan terhadap Islam, khususnya terhadap apa sudah ditetapkan Allah
SWT didalam Al-Qur’an karena berati mereka yang melakukan hal-hal tersebut menipu kaum
muslimin, diri sendiri, bahkan Allah SWT. Dan Allah sudah menegaskan dalam firman-Nya

ۖ ‫اس َواَل يَ ْذ ُكرُوْ نَ هّٰللا َ اِاَّل قَلِ ْياًل‬ ‫هّٰللا‬


َ َّ‫اِ َّن ْال ُم ٰنفِقِ ْينَ ي ُٰخ ِد ُعوْ نَ َ َوهُ َو خَ ا ِد ُعهُ ۚ ْم َواِ َذا قَا ُم ْٓوا اِلَى الص َّٰلو ِة قَا ُموْ ا ُك َس ٰالىۙ يُ َر ۤاءُوْ نَ الن‬
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang munafik itu hendak menipu Allah, tetapi Allah membalas tipuan
mereka (dengan membiarkan mereka larut dalam kesesatan dan penipuan mereka). Apabila berdiri
untuk salat, mereka melakukannya dengan malas dan bermaksud riya di hadapan manusia. Mereka
pun tidak mengingat Allah, kecuali sedikit sekali.” (4: 142)

Makna dari QS. An-Nisa tersebut ditambahkan dengan QS. Al-Ma’un (107): 4 sampai 6 yang
menyatakan bahwa orang-orang yang melaksanakan shalat seperti akan celaka karena lalai dan juga
karena lalai

َ‫صاَل تِ ِه ْم َساهُوْ ۙنَ الَّ ِذ ْينَ هُ ْم يُ َر ۤاءُوْ ۙن‬


َ ‫صلِّ ْي ۙنَ الَّ ِذ ْينَ هُ ْم ع َْن‬
َ ‫فَ َو ْي ٌل لِّ ْل ُم‬
Artinya: “Celakalah orang-orang yang melaksanakan salat. (Yaitu) yang lalai terhadap salatnya.
Orang-orang yang berbuat riya.” (107: 4-6)

Orang-orang munafik lazimnya tatkala melakukan shalat sangat berat kaki, berat pinggul, berat
siku, berat tangan, berat tulang yang artinya sangat-sangat malas dan mereka shalat hanya ketika kaum
Muslimin ada bersama mereka dengan tujuan pamer agar tidak dianggap jelek, ketika sudah tidak ada
maka mereka pun tidak akan shalat lagi.
Kemudian ada juga perilaku riya’ dalam hal bersedekah. Hal ini dinyatakan dalam QS. An-Nisa
ayat 38 yang berbunyi

‫اس َواَل يُْؤ ِمنُوْ نَ بِاهّٰلل ِ َواَل بِ ْاليَوْ ِم ااْل ٰ ِخ ِر ۗ َو َم ْن يَّ ُك ِن ال َّشي ْٰطنُ لَهٗ قَ ِر ْينًا فَ َس ۤا َء قَ ِر ْينًا‬ ۤ
ِ َّ‫َوالَّ ِذ ْينَ يُ ْنفِقُوْ نَ اَ ْم َوالَهُ ْم ِرَئا َء الن‬
Artinya: “(Allah juga tidak menyukai) orang-orang yang menginfakkan hartanya karena riya kepada
orang (lain) dan orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari Akhir.
Siapa yang menjadikan setan sebagai temannya, (ketahuilah bahwa) dia adalah seburuk-buruk
teman.”(4: 38)
Dalam konteks munasabah, jika dikaitkan dengan ayat sebelumnya maka ayat ini mempunyai
hubungan sebab-akibat yaitu apabila manusia memiliki harta kemudian menunda untuk di infaqkan,
maka kikir adalah sebutan yang pantas diberikan untuk. Dan apabila manusia merasa pingin dipuji
tatkala bersedekah, kemudia dihormati dan sedikitpun keridhaan Allah SWT tidak diharapkan, maka
riya adalah sebutan yang cocok untuk mereka. Maksud ayat ria’a an-nas adalah mempertontonkan
tindakan sempurna juga paripurna dan menyembunyikan segala keburukan dengan alasan membuat
terperanjat takjub tiap orang yang memandangnya 8. Ini juga dapat artikan sebagai syirik khafi karena
orang lain telah menyaksikan dan memberi pujian mereka kepada orang-orang yang menjalankan amal
sedekah.
Padahal pahala dari amal sedekah itu sendiri dapat melipatgandakan pahala jika tidak melakukan
perbuatan riya’, hal ini disebutkan dalam penjelasan yang sama dalam Al-Baqarah ayat 264

8
Muhyiddin Abu Bakar Ali Ibn Arabi. Tafsir Al-Qur’an Al-Karim. Vol. II. Beirut: Dar Sadir, 2004, h. 148
‫ق مالَهٗ ر َۤئاء النَّاس واَل يُْؤ منُ باهّٰلل‬
ٗ‫ِ َو ْاليَوْ ِم ااْل ٰ ِخ ۗ ِر فَ َمثَلُه‬ ِ ِ َ ِ َ َ ُ ِ‫صد َٰقتِ ُك ْم بِ ْال َمنِّ َوااْل َ ٰذ ۙى َكالَّ ِذيْ يُ ْنف‬
َ ‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا اَل تُ ْب ِطلُوْ ا‬
َ‫ُ اَل يَ ْه ِدى ْالقَوْ َم ْال ٰكفِ ِر ْين‬ ‫َكمثَل ص ْفوان َعلَ ْيه تُرابٌ فَاَصابهٗ واب ٌل فَتَركَهٗ ص ْلدًا ۗ اَل ي ْقدرُوْ نَ ع َٰل ِى َشي ٍء مما َكسبُوْ ا ۗ وهّٰللا‬
َ َ َّ ِّ ْ ِ َ َ َ ِ َ َ َ َ ِ ٍ َ َ ِ َ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jangan membatalkan (pahala) sedekahmu dengan
menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima), seperti orang yang menginfakkan hartanya
karena riya (pamer) kepada manusia, sedangkan dia tidak beriman kepada Allah dan hari Akhir.
Perumpamaannya (orang itu) seperti batu licin yang di atasnya ada debu, lalu batu itu diguyur hujan
lebat sehingga tinggallah (batu) itu licin kembali. Mereka tidak menguasai sesuatu pun dari apa yang
mereka usahakan. Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum kafir.” (2: 264)
Allah SWT tidak akan memberikan kelipatan ganda pada pahala apabila sedekah yang dilakukan
terus diungkit-ungkit dan dipamerkan dan sedekah yang diberikan dengan cara menyinggung penerima
yang artinya mereka melakukan karena riya untuk mendapat sebuah kata terkenal dan banyak dapat
sanjungan tanpa sedikitpun berniat lillahita’ala. Dan harta yang mereka keluarkan untuk sedekah juga
sebenarnya tidak berguna sama sekali alias sia-sia karena tidak mendapatkan apapun yang bermanfaat
sebab hanya dengan pujian itu akan hilang karena sifatnya yang temporer.
Kemudian Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Anfal (8): 47

ٌ‫ص ُّدوْ نَ ع َْن َسبِ ْي ِل هّٰللا ِ ۗ َوهّٰللا ُ بِ َمايَ ْع َملُوْ نَ ُم ِحيْط‬


ُ َ‫اس َوي‬ ۤ ‫َواَل تَ ُكوْ نُوْ ا َكالَّ ِذ ْينَ خَ َرجُوْ ا ِم ْن ِديَار ِه ْم بَطَرًا و‬
ِ َّ‫َّرَئا َء الن‬
ِ ِ
Artinya: “Janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang keluar dari kampung halamannya
dengan rasa angkuh dan ingin dipuji orang (riya) serta menghalang-halangi (orang) dari jalan Allah.
Allah Maha meliputi apa yang mereka kerjakan.” (8: 47)
Kaum muslimin dilarang keras dalam ayat ini mengikuti jalan manusia-manusia yang diliputi
kekafiran. Pada intinya maksud dari ayat ini kaum Muslim dianjurkan berhenti untuk membanggakan
segala hiasan duniawi dan materialnya yang dimiliki dan berhenti bertindak angkuh ketika medan
perang ditinggalkan apalagi jika tujuannya untuk menghalangi orang lain dengan ucapan dan perbuatan
buruk dari jalan Allah yang dimana itu sangat bertentangan terhadap hal ketaqwaan. Maka mulailah
untuk berhenti karena hal-hal tersebut dapat berakibat pada iman dalam hati yang nantinya menjadi
pada padam dan lemah sehingga akan terus dirundung kekalahan dan ketiadaan. Dan Allah adalah
Maha Menguasai segalanya yang ada di alam semesta9.

E. MAKNA IJMALI
Allah memulai seruannya mengenai kepada kaum beriman mengenai riya pada QS. Al-Baqarah ayat 264:
“Wahai orang-orang yang beriman, jangan membatalkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-
nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima)”. Melakukan sedekah musti dikehendaki dengan rasa ikhlas,
tanpa pamrih, dan tak perlu dengan tujuan dihargai atau dimuliakan karena itu tidak ada manfaatnya sama
sekali. Perbuatan yang didasari dengan riya’ akan berakibat fatal pada makna dari sedekah itu sendiri, yang
dimana sebelumnya dimaknai dengan memberikan dengan sukarela menjadi memberikan dengan imbalan
pujian. Dan juga pahala yang akan kita terima dari Allah tidak terhalang, yang semulanya akan menerima
banyak pahala akhirnya tidak mendapatkan sedikitpun pahala dikarenakan perilaku riya yang sudah kita
kerjakan.
Riya’ dalam konteks ibadah juga disampaikan oleh Allah pada QS. An-Nisa ayat 142 yang mana
hal tersebut sangat bertolak belakang. Ibadah adalah sarana untuk kita dapat mendekatkan diri kepada Sang
Pencipta dengan memohon rezeki, umur panjang, dan sebagainya. Namun isi dari ibadah itu sendiri
maknanya jadi berbeda ketika menjadi penipu yang menipu demi dikatakan alim dengan ibadah yang
mengandung riya’ tersebut padahal Allah tidak bisa ditipu bahkan jika itu hanya secuil tipuan. Ini
menunjukkan arti bahwa kita sebagai Muslim mustinya beribadah dengan niat khusyu untuk ibadah dan
karena Allah, bukan karena ingin disenangi.
Kemudian, pada QS. Al-Anfal ayat 47 disebutkan konteks riya’ dalam peperangan bahwa tatkala
pergi ke medan perang, kita sebagai Muslim seharusnya memang sudah siap tanpa ada sedikitpun rasa
ingin pamer bahwa diri paling hebat, paling kuat, dan paling pantas. Jangan angkuh dan berbangga diri
keterlaluan ketika meninggalkan tempat dimana kita tinggal, selalu bersikaplah rendah hati agar tidak
timbul kesombongan dan sadar bahwa kita sebenarnya bukan apa-apa dimata Allah SWT Yang Maha Kuat.

F. KESIMPULAN

9
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah (Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an) Vol 5, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 601
Dengan adanya dalil-dalil Al-Qur’an dan hadits sudah semestinya kita paham dan mengerti bahwa
riya’ adalah sebuah tindakan yang tidak harus dilakukan hanya karena ingin ditonton banyak orang. Akan
lebih baik jika kita melakukan hal-hal yang bernilai ibadah seperti bersedekah dan shalat harus rendah hati,
diyakini dalam hati agar pahala yang didapatkan penuh dan berlipat ganda dan tidak termasuk golongan
orang-orang yang munafik, kafir dan musyrik. Barakallah

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad bin Hanbal al-Syibani, Musnad Ahmad Bin Hanbal, vol. VI (Beirut: Dar al-Risalah, 1999).
Al-Wahidi an-Nisaburi, Asbabun Nuzul: Sebab-Sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an, Penerj. Moh Syamsi, Surabaya:
Penerbit Amelia, 2014
Imam As- Suyuthi, Asbabun Nuzul: Sebab-Sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an, Penerj. Andi Muhammad Syahril,
Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2014.
Mudjab Mahali, Asbabun Nuzul (Studi Pendalaman Al-Qur’an), (Jakarta: PT Raja Grindo Persada), 2002.
Irhamni, Riya dan Cara Penanggulangannya Menurut Pendidikan Islam,
Muhammad Ash-Shayim, Mengapa Hati Menjadi Mati?, (Jakarta: Cendekia Sentra Muslim, 2004), hlm 51
Muhammad Fuad Abdul Baqi Al-Mujam Al-Mufahras Li Al-Fadzi Al-Qur’an Al-Karim (Beirut: Dar al-Fikr, n.d.)
Muhyiddin Abu Bakar Ali Ibn Arabi. Tafsir Al-Qur’an Al-Karim. Vol. II. Beirut: Dar Sadir.
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah (Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an) Vol 5, (Jakarta: Lentera Hati, 2002)

Anda mungkin juga menyukai