Anda di halaman 1dari 6

===============================================

“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang
ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-
Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka
hijrahnya kepada yang ia tuju.” (HR. Bukhari dan Muslim)
• Mukadimah – Puji Syukur, Sholawat Salam
• Nasihat Taqwa

Ikhwani fillah ‘azzaniallah waiyyakum,

Alhamdulillah saat ini kita memasuki tahun baru Islam 1440 Hijrah. Pada saat menyambut tahun
baru hijrah di Tanah Air Indonesia, ghirah keislaman menyambut pergantian tahun baru Islam
belakangan semakin meningkat. Sejumlah kegiatan seremonial seperti pawai dan tablig akbar biasa
diadakan. Ada harapan dan keinginan dari segenap umat bahwa pergantian tahun baru Hijrah ini
dapat memberikan kehidupan yang lebih baik dari tahun sebelumnya.

Namun demikian, yang sangat penting bagi kita adalah memetik makna sesungguhnya dari
peristiwa hijrah Nabi saw. dan para sahabat kala itu, dari Makkah ke Madinah, yang terjadi 14 abad
silam. Maka khutbah kali ini khotib akan mengangkat tema Hijrah dan Perubahan Hidup, Islam
Aturan Hidup dan Gaya Hidup.

• Makna Hijrah – Hijrah Bâthinah

Tahun baru Hijriyah adalah sistem penanggalan Islam yang didasarkan pada peristiwa hijrah yang
dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya. Peristiwa tersebut menjadi starting point/titik tolak
peradaban Islam menuju puncak kejayaan.

Dari peristiwa hijrah itu, spirit iman menjadi nyata dalam kata dan perbuatan, sehingga tidak heran
jika setelah hijrah banyak sekali para sahabat yang memiliki kepribadian unggul nan mengagumkan.
Perubahan mindset benar-benar terjadi secara totalitas pada diri seluruh ummat Islam kala itu.

Hijrah secara bahasa berarti berpindah dari suatu tempat ke tempat lain, dari suatu keadaan ke
keadaan lain (Lisân al-‘Arab, V/250; Al-Qâmûs al-Muhith, I/637). Menurut Rawas Qal’ah Ji dalam
Mu’jam Lughah al-Fuqahâ’, secara tradisi, hijrah bermakna: keluar atau berpindah dari satu negeri
ke negeri yang lain untuk menetap di situ.

Dalam konteks sejarah hijrah, hijrah adalah kegiatan perpindahan yang dilakukan oleh Nabi
Muhammad SAW bersama para sahabat beliau dari Mekah ke Madinah, dengan tujuan
mempertahankan dan menegakkan risalah Allah, berupa aqidah dan syari’at Islam.

Dengan merujuk kepada hijrah yang dilakukan Rasulullah SAW tersebut sebagaian ulama ada yang
mengartikan bahwa hijrah adalah keluar dari “darul kufur” menuju “darul Islam”. Keluar dari
kekufuran menuju keimanan.

Mereka yang berhijrah kala itu adalah Muslim yang tidak lagi memiliki tujuan apa-apa selain
daripada rahmat Allah Ta’ala.

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah,
mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS.
Al-Baqarah: 218)
Maka dari itu, mereka yang berhijrah di jalan Allah adalah orang yang tinggi derajatnya dan
termasuk orang yang mendapat kemenangan besar.

“Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta, benda dan
diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat
kemenangan.” (QS. At-Taubah: 20)

Belakangan, kata hijrah di Tanah Air menjadi popular. Kata ini disematkan untuk perubahan pribadi
dari kondisi kemaksiatan menuju kondisi islami. Pribadi Muslim yang ugal-ugalan, tidak peduli halal
dan haram, menjadi individu yang dekat dengan Allah SWT. Dari bisnis yang berlumur riba menuju
muamalah yang halal. Dari Muslimah yang belum menutup aurat menjadi sosok yang tak lepas dari
jilbab. Masyarakat sering menamakan hal tersebut sebagai fenomena hijrah.

Dengan mengutip penjelasan sejumlah ulama, pengertian hijrah seperti di atas ada benarnya. Ibnu
Hajar al-Asqalani di dalam kitab Fathul Bari bi Syarh Shahîh al-Bukhârî, juga al-’Alqami yang dikutip
di dalam ‘Aunul Ma’bud, menjelaskan bahwa hijrah itu ada dua macam:

zhâhirah (lahir) dan bâthinah (batin). Hijrah batin adalah meninggalkan apa saja yang diperintahkan
oleh hawa nafsu yang selalu memerintahkan keburukan (nafsu al-ammârah bi as-sû’) dan seruan
setan.

Seorang Muslim yang bertobat kepada Allah SWT, bersungguh-sungguh menaati segala aturan-Nya
dan meninggalkan kemaksiatan pribadi bisa disebut tengah melakukan hijrah. Hal ini sebagaimana
penjelasan Nabi saw. saat beliau ditanya, “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang berhijrah
(muhâjir) itu?” Beliau menjawab:

Dialah orang yang meninggalkan perkara yang telah Allah larang atas dirinya (HR Ahmad).

Hijrah batin ini, yakni meninggalkan kemaksiatan menuju ketaatan, adalah perkara yang wajib bagi
setiap Muslim. Siapa saja yang mengharapkan ridha Allah SWT sudah seharusnya meninggalkan
kemungkaran menuju penghambaan kepada-Nya. Meninggalkan muamalah ribawi, budaya suap-
menyuap, menipu, berbisnis barang yang haram semisal minuman keras, membuka aurat,
membela LGBT, berbuat zalim terhadap sesama Muslim, mempersekusi dakwah, dll. Lalu beralih
pada perilaku islami. Giat beribadah, mencari rezeki yang halal, menutup aurat, beramar makruf
nahi mungkar, dsb. Allah SWT berfirman:

Bersegeralah kalian menuju ampunan Tuhan kalian dan surga seluas langit dan bumi yang disiapkan
bagi orang-orang yang bertakwa (TQS Ali Imran [3]: 133).

• Hijrah Zhâhirah
Adapun hijrah zhâhirah (lahir) yang diterangkan oleh Ibnu Hajar adalah lari menyelamatkan agama
dari fitnah (al-firâr bi ad-dîn minal fitan). Hal ini senada dengan penjelasan al-Jurjani dalam At-
Ta’rifât. Menurut al-Jurjani, hijrah adalah meninggalkan negeri yang berada di tengah kaum kafir
dan berpindah ke Dâr al-Islâm.

Ibnu Rajab al-Hanbali dalam Fath al-Bârî Syarhu Shahîh al-Bukhârî menjelaskan, asal dari hijrah
adalah meninggalkan dan menjauhi keburukan untuk mencari, mencintai dan mendapatkan
kebaikan. Hijrah secara mutlak dalam as-Sunnah ditransformasikan ke makna: meninggalkan negeri
syirik (kufur) menuju Dâr al-Islâm. Jika demikian maka asal hijrah adalah meninggalkan apa saja
yang telah Allah larang berupa kemaksiatan, termasuk di dalamnya meninggalkan negeri syirik,
untuk tinggal di Dâr al-Islâm.

Darul Islam adalah suatu wilayah (negara) yang menerapkan syariah Islam secara total dalam segala
aspek kehidupan dan keamanannya secara penuh berada di tangan kaum Muslim. Sebaliknya, darul
kufur adalah wilayah (negara) yang tidak menerapkan syariah Islam dan keamanannya tidak di
tangan kaum Muslim, sekalipun mayoritas penduduknya beragama Islam. Definisi hijrah semacam
ini diambil dari fakta hijrah Nabi saw. sendiri dari Makkah (yang saat itu merupakan darul kufur) ke
Madinah (yang kemudian menjadi Darul Islam).

Hijrah lahir inilah yang menjadi peristiwa besar dalam sejarah umat. Pada saat Nabi saw. dan para
sahabat berhijrah ke Madinah, Islam dapat ditegakkan secara kâffah, bahkan menyebar ke seluruh
penjuru dunia. Hukum-hukum Islam baru dapat dilaksanakan dengan paripurna setelah hijrah Nabi
saw. dan kaum Muslim; mulai dari hukum ibadah, sosial, ekonomi hingga pemerintahan.

Madinah menjadi pusat pemerintahan kaum Muslim yang pertama. Di sana Rasulullah saw. dan
selanjutnya Khulafa ar-Rasyidin mengatur urusan umat Muslim baik untuk urusan dalam maupun
luar negeri.

Muhâsabah Hijrah

Sayang, hijrah lahir ini justru belum terealisasi, bahkan diabaikan begitu saja. Umat sudah merasa
puas dengan perbaikan pribadi dan urusan ibadah mahdhah semata. Belum ada ikhtiar keras untuk
menyelamatkan agama dari fitnah. Padahal berbagai tuduhan sudah dilontarkan pada agama ini
dan orang-orang yang berusaha menegakkan ketaatan kepada-Nya. Tudingan radikalisme, anti-
kebhinekaan, pemecah persatuan negeri, dll terus digaungkan pada agama. Bahkan berbagai
tindakan persekusi terus dilakukan kepada para mubalig dan ulama hanya karena mereka ingin
menyelamatkan negeri dengan petunjuk agama Allah SWT.

Semangat penegakan syariah Islam justru dianggap sebagai ajaran yang akan merusak negeri.

Sebaliknya, sistem politik yang ada sekarang (demokrasi) sudah banyak mengebiri ajaran Islam dan
menipu umat. Pada system politik sekarang (demokrasi) terjadi berbagai penyimpangan
kekuasaan, seperti korupsi, makin menjadi-jadi dan lain sebagainya.

Sistem ekonomi kapitalisme-neoliberalisme yang kini diterapkan di Tanah Air juga telah membuat
negeri ini makin terpuruk. Nilai rupiah terhadap dolar terus anjlok hingga telah menembus Rp 15
ribu perdolar. Melemahnya nilai rupiah membuat utang Pemerintah RI melonjak.

Hijrah untuk Berubah


Inilah kondisi kegelapan yang tengah menyelimuti negeri. Kondisi ini nyaris tak jauh berbeda
dengan kondisi saat Nabi saw. dan para sahabat berada di Makkah. Keadaan jahiliah melanda setiap
aspek kehidupan sampai kemudian Allah SWT memberikan pertolongan dengan tegaknya Islam di
Madinah. Allah SWT mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya petunjuk.

Oleh karena itu, ketika kita berbicara tentang hijrahnya Nabi ke Madinah, minimal ada tiga
fenomena besar yang sangat jelas sebagai buah hijrah, sehingga hijrah ini menjadi betul-betul
sangat penting: Tonggak kebangkitan ummat Islam.

Pertama: Eksisnya agama Islam di atas semua sistem yang ada (dhuhurul Islam ‘ala ad-diini kullih).

Kedua, berdirinya negara Islam (qiyamud Daulah al-Islamiyah)

Ketiga: tampil memimpin peradaban dunia (sebagai ummatan wasathan)

Karena itu momentum Tahun Baru Hijrah hendaknya tidak dijadikan rutinitas seremonial belaka,
melainkan harus diambil maknanya. Maknanya, perubahan harus dilakukan. Caranya dengan
menerapkan syariah Islam secara kâffah sebagai aturan kehidupan pribadi, bermasyarakat dan
bernegara, sekaligus meninggalkan aturan hidup jahiliah, sebagaimana yang berlaku saat ini. []

Allah SWT berfirman:

Allah adalah Pelindung orang-orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan
(kekafiran) menuju cahaya (iman). Adapun orang-orang kafir, pelindung-pelindung mereka ialah
setan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya menuju kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah
penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya (TQS al-Baqarah [2]: 257). []
[KHUTBAH KEDUA] {Mukaddimah}

Anda mungkin juga menyukai