Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Hijrah dan jihad sering dikaitkan di dalam satu bab hadits. Hijrah dan
jihad merupakan perintah Allah yang memiliki keutamaan luar biasa. Hijrah dan
jihad memerlukan pengorbanan maksimal. Dengan hijrah dan jihad, seseorang
“harus” rela meningggalkan kampung halaman, harta, aset, jaringan bisnis, dan
lain sebagainya. Hal ini tergambar pada Surat At-Taubah ayat 111 sebagai
berikut:

Artinya, “Sungguh, Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta
mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan
Allah; lalu membunuh atau terbunuh sebagai janji yang benar dari Allah di dalam
Taurat, Injil, dan Al-Quran. Siapakah yang lebih menepati janjinya (selain)
daripada Allah? Bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu.
Itulah kemenangan yang besar,” (Surat At-Taubah ayat 111).

B. Rumusan masalah
1. Bagaimana hijrah makaniyah dan maknawiyah?
2. Bagaimana sebab dan motivasi hijrah?
3. Bagaimana makna jihad dan perannya di dalam Islam?
4. Bagaiamana adab dan sopan santun berjihad?

C. Tujuan
1. Bagaimana hijrah makaniyah dan maknawiyah?
2. Bagaimana sebab dan motivasi hijrah?
3. Bagaimana makna jihad dan perannya di dalam Islam?
4. Bagaiamana adab dan sopan santun berjihad?

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Hijrah makaniyah dan maknawiyah


Hijrah menurut bahasa berarti meninggalkan, menjauhkan diri dan
berpindah tempat. Seseorang dikatakan hijrah jika telah memenuhi dua syarat,
yaitu: pertama ada sesuatu yang ditinggalkan dan kedua ada sesuatu yang dituju
(tujuan).
Dalam konteks sejarah, hijrah adalah kegiatan perpindahan yang dilakukan
oleh Nabi Muhammad Saw. bersama para sahabat beliau dari Mekkah ke
Madinah, dengan tujuan mempertahankan dan menegakkan risalah Allah dan
dakwah.
Secara garis besar hijrah terdiri dari dua macam yaitu:
1. Hijrah makaniyah
Hijrah Makaniyah yaitu meninggalkan suatu tempat. Selama masa kenabian,
peristiwa Hijrah Makaniyah telah terjadi tiga kali, yaitu:
a. Hijrah ke Habasya
Hijrah ke Habasya sebagai hijrah pertama adalah Hijrah yang dilakukan
oleh sebagian sahabat Nabi Saw. Mereka meninggalkan Mekkah menuju ke
Habasyah (Abbesinia, Ethiopia) dalam rangka mencari tempat yang lebih aman
(suaka politik), karena di Mekkah kaum musyrikin terus melakukan tekanan,
intimidasi, dan tribulasi kepada para pengikut Nabi Muhammad Saw. Hijrah
Habasyah terjadi 2 kali. Nabi Muhammad tidak ikut serta hijrah ke Habasyah.
b. Hijrah ke Thaif
Hijrah ke Thaif sebagai hijrah kedua adalah hijrah yang dilakukan oleh
Nabi Muhammad Saw. Nabi Muhammad saw meninggalkan Mekkah menuju ke
Thaif karena kaum musyrikin semakin meningkatkan intimidasinya terhadap diri
beliau, setelah Abu Thalib paman dan sekaligus penjamin beliau telah meninggal.
Namun setelah sampai di Thaif, ternyata Nabi Saw justru diusir oleh para
penduduknya.
c. Hijrah ke Madinah (Yastrib)
Hijrah yang ketiga adalah hijrah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad
Saw. Dan para Sahabatnya. Hijrah ke Yasrib yang diubah namanya menjadi
Madinah, memberikan harapan besar kepada masa depan dakwah Islam.
Rasulullah Saw bersama para sahabatnya berhijrah dari Mekkah ke Yatsrib  yang
belakangan kemudian diubah namanya oleh Nabi Saw menjadi Madinah. Hijrah
ini dilakukan pada tahun ke-13 kenabian (622 M).

2
2. Hijrah maknawiyah
Hijrah maknawiyah pengertiannya ditegaskan oleh Nabi Muhammad SAW
dalam haditsNya yaitu : “Seorang muslim adalah seseorang yang menghindari
menyakiti muslim lainnya dengan lidah dan tangannya. Sedangkan orang yang
meninggalkan semua apa yang dilarang oleh Allah.” (Shahih Al Bukhari,
Kitabul Iman, Bab 4 Hadis No 10).
Hijrah Maknawiyah dibedakan menjadi empat macam yaitu:
a. Hijrah I’tiqadiyah
Yaitu hijrah keyakinan. Iman mengalami proses naik dan turun, kuat
dan lemah. Terkadang Iman bercampur dengan kemusyrikan dan terkadang Iman
berada dalam kemurnian. Maka hijrah kenyakinan mesti dilakukan bila
kenyakinan berada di tepi jurang kekufuran dan kemusyrikan.
b. Hijrah Fiqriyah
Fikriyah secara bahasa berasal dari kata fiqrun yang artinya pemikiran.
Seiring dengan perkembangan zaman, kemajuan teknologi dan derasnya arus
informasi, seolah dunia tanpa batas. Berbagai informasi dan pemikiran dari
belahan bumi bisa diperoleh di dunia maya dengan mudah. Maka hijrah fikriyah
mesti dilakukan dalam rangkan meninggalkan pemikiran-pemikiran yang tidak
sesuai dengan ajaran dan syariat Islam.
c. Hijrah Syu’uriyyah
Syu’uriyah atau cita rasa, kesenangan dan kesukaan. Diri manusia
sering terpengaruhi oleh kesenangan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Mereka lupa akan kewajiban-kewajiban yang diperintah oleh Allah dan
Rasulnya. Maka Hijrah Syu’uriyyah mesti dilakukan ketika hati manusia
cenderung kepada kesenangan yang tidak sesuai Islam.
d. Hijrah Sulukiyyah
Suluk berarti tingkah laku atau kepribadian atau biasa disebut juag
akhlaq. Akhlak mengalami perubahan berdasarkan perubahan nilai yang ada di
masyarakat. Perubahan nilai dapat menggeser akhlaqul karimah ke arah akhlaqul
sayyi’ah. Sehingga tidak aneh jika bermuculan berbagai tindak moral dan asusila
di masyarakat. Maka hijrah Sulukiyah mesti dilakukan ketika akhlak yang tercela
berkembang dan menyebar di lingkungan sekitar.
Peristiwa Hijrah menjadi nama kalender Islam yang ditetapkan pertama
oleh Khalifah Umar bin Khattab ra, sebagai jawaban atau surat gubernur Abu
Musa Al-Asy’ari. Khalifah Umar menetapkan Tahun Hijriyah untuk
menggantikan penanggalan yang digunakan bangsa Arab sebelumnya. Khlifah
Umar memilih peristiwa Hijrah sebagai kalender Islam, karena Hijrah Rasulullah
Saw dan para sahabat dari Makkah ke Madinah merupakan peristiwa paling
monumental dalam perkembangan dakwah.

3
B. Sebab dan motivasi hijrah
Dalam Islam, ada dua jenis hijrah: pertama, hijrah zahir (fisik), yaitu
berpindah tempat tinggal, dan kedua, hijrah jiwa (spiritual), yaitu berpindahnya
keadaan jiwa ke arah yang lebih baik. Mengenai hijrah jiwa (spiritual) yang
menuju pada perbaikan diri, Rasulullah bersabda (H.R. Imam Bukhari): “Al-
Muhâjir man hajara mâ naha Allahu ‘anhu—muhajir (orang yang berhijrah)
adalah orang yang meninggalkan segala laranganNya.”
Dari sudut pandang fisik, hijrah yang dilakukan Rasulullah Saw adalah
sebuah transisi di antara dua situasi, dari keadaan yang tidak aman dan lemah
(Mekkah) menuju keadaan yang aman dan kuat (Madinah). Sedangkan dari sudut
pandang spiritual, hijrah dipahami sebagai transisi dari keadaan lemah manusia
atas dosa menjadi keadaan yang kuat dan terus berjuang untuk menghindarinya.
Keadaan yang penuh dengan kelalaian menuju kesadaran spiritual yang sehat.
Proses pengembangan jiwa pun terus berlangsung, tidak berhenti sampai
di situ. Sebagaimana kata Aristoteles di atas, meski Plato sangat berharga baginya,
Ia tidak berhenti dan terus melakukan pencarian kebenaran. Katanya:“Kebenaran
jauh lebih berharga dari Plato.” Bukan berarti Aristoteles tidak menghormati
Plato, tapi baginya kebenaran masih terlampau luas untuk digali, dan Plato belum
menggali semua kebenaran itu, sekedar buih dalam lautan jika dibandingkan.
Tidak berbeda dengan keadaan jiwa (state of soul). Dalam literatur
tasawuf, ada istilah yang disebut dzunûb al-ahwâl (dosa keadaan jiwa). Menurut
Syeikh Musthafa al-‘Arûsi (1798-1876 M) penyebab dosa keadaan jiwa adalah
sifat-sifat buruk (madzmûm al-shifât) yang menyamarkan manusia dalam
kebaikan, yaitu al-wuqûf ma’a istihsânihâ—berpuas diri dengan anggapan bahwa
dirinya berada dalam kebaikan (Musthafa al-‘Arusi, Natâ’ij al-Afkar, Beirut:
Darul Kutub, al-Ilmiyyah, 1971, juz 2, hlm 169). 
Dengan kata lain, mencukupkan diri dengan tidak melakukan observasi
terhadap jiwanya, karena telah meyakini bahwa dirinya berada dalam kebenaran.
Anggapan baik inilah yang membuat manusia berhenti untuk memperbaiki
kualitas ibadahnya.
Maka dari itu,setiap hari atau minimal satu tahun sekali, kita harus
memeriksa diri kita, melakukan observasi dan analisis diri, ‘Apakah kita masih
sering lalai? Seberapa banyak dosa kecil yang kita perbuat? Sudahkah kita
bersyukur atas nikmat Tuhan? Seberapa banyak amal ibadah kita? Kenapa kita
berhenti pada pencitraan baik ibadah kita? Kenapa kita tidak meningkatkan
kualitasnya? Kenapa kita merasa cukup dengan kebaikan kita? Padahal, kebaikan
tidak akan pernah habis diamalkan dan direnungkan.’
Benar, kita harus terus berproses menuju pada kebaikan, kapanpun
waktunya dan dimanapun tempatnya. Kita tidak boleh puas dengan ibadah kita.
Kita harus selalu meningkatkannya; dari menyembah karena takut siksaNya

4
berubah menjadi cinta akan ridlaNya; dari menyembah karena mengharapkan
pahalaNya berubah menjadi cinta akan diriNya.Wajar saja, apabila para ulama
kita terdahulu karena keinginannya untuk terus meningkatkan kualitas ibadahnya,
berdoa dengan cara yang unik. Imam Hârits bin Asad al-Muhâsibi (781-857 M)
berkata:
“Tidak pernah aku mengatakan: “Ya Allah aku memohon taubat kepada-Mu,”
sebaliknya aku mengatakan: “(Ya Allah) aku memohon syahwat taubat kepada-
Mu.” (Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi, Risâlah al-Qusyairiyyah, hlm 183).
Dengan memohon syahwat dalam doanya, Ia tidak akan berhenti
mengaktualisasikan dirinya. Taubatnya adalah perjalanan panjang laiknya hijrah
yang dilakukan Nabi Saw dan para sahabatnya. Perjalanan menuju ke arah yang
lebih baik setiap waktunya. Syahwat itulah yang membuat Imam Hârits al-
Muhâsibi terus bernafsu mencintaiNya dan meningkatkan kualitas ibadahnya.
Shalatnya sekarang, berbeda pengalaman spiritualnya dengan shalatnya kemarin.
Zikirnya besok, berbeda rasa spiritualnya dengan zikirnya sekarang.
Bagaimana dengan kita? Telah berapa kali kita mendengar adzan? Telah
berapa kali kita bertemu dengan tahun baru Hijriah? Apakah kita pernah
merenungkannya sejenak? Mengambil maknanya yang luhur? Dan, memperbaiki
diri setiap kali melaluinya?
Ibadah kita masih sekedar takut akan siksaNya dan menginginkan
surgaNya. Karenanya, kita disibukkan dengan meningkatkan kuantitasnya, bukan
kualitasnya. Shalat yang seharusnya tanhâ ‘an al-fakhsya’ wa al-munkar
(mencegah perbuatan keji dan munkar) tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Banyak orang shalat, tapi masih berbuat jahat; korupsi, menggunjing, menghina,
memfitnah dan seterusnya. Ibadah kita seakan pakaian baru di hari raya, tapi tidak
membarukan jiwa kita.
Ketika melaksanakan shalat, kita tidak merasa bahwa kita sedang
menyembahNya. Kita terjebak pada lingkaran rutinitas, aktifitas sehari-hari.
Shalat telah menjadi kebiasaan hidup yang kering spiritualitas.Kita lalai untuk
siapa shalat kita, hidup kita, mati kita dan ibadah kita.Kita perlu melihat kepada
diri kita dan berhijrah dari kekeringan spiritual menuju kesuburan spiritual. Bukan
berarti ibadah kita tidak ada nilai pahalanya, tidak. Namun, alangkah baiknya jika
pahala itu bersanding lurus dengan perubahan diri yang baik.
Kita selalu menuntut Tuhan ketika semuanya tidak berjalan dengan baik.
Kita merasa telah melaksanakan perintahNya dan menjauhi laranganNya. Lalu,
‘kenapa Tuhan tidak menyelesaikan permasalahan dalam kehidupan kita?’ Kita,
dengan tanpa sadar, menggunakan persepsi bahwa ibadah seperti tabungan di
bank, bisa diambil ketika kita membutuhkan. Karena itu, setiap kali ada masalah,
kita akan menuntut Tuhan: “aku telah menjalankan perintahMu dan menjauhi
laranganMu, kenapa Kau mengujiku dengan masalah seperti ini?”

5
Kita menggunakan teori kausalitas (sebab-akibat) dalam hubungan kita
dengan Tuhan, take and give, harus saling menguntungkan. Kita tidak sadar
bahwa Tuhan tidak butuh keuntungan dari kita. Segala perintah dan laranganNya
adalah untuk kebaikan kita sendiri, bukan kebaikan Tuhan. Tuhan tidak akan rugi
jika semua manusia tidak menyembahNya.
Karena itu, dalam momen penuh berkah ini, tahun baru Hijriah 1439, kita
harus merenung dalam diam, menerawang ke dalam diri, membiaskan hikmah
agungnya, kemudian melakukan intropeksi diri (muhâsabah). Kita pun harus
melakukan penataan ulang kualitas-substantif ibadah-ibadah kita. Soren
Kierkegaard (1813-1855 M) mengatakan: “Prayer does not change God, but it
changes him who prays—ibadah tidak merubah Tuhan, tapi merubah manusia
yang melakukannya.”
“Tujuanku bukan surga yang dipenuhi kenikmatan.Sungguh, aku
menginginkannya, bukan karena nikmat surgawinya, tetapi karena aku ingin
berjumpa denganMu”
(Sa’id Harun ‘Asyur, Jawâhir al-Tashawwuf li al-‘Arif bi Allah al-Zâbid al-
Wâ’idh Yahya bin Mu’âdz al-Razi, Iskandariyyah: Maktabah al-Adab, 2002, hlm
31).

C. Makna jihad dan perannya dalam islam


Jihad merupakan amal kebaikan yang disyari’atkan Allah. Ia menjadi
sebab kokoh dan mulianya umat Islam. Sebaliknya, jika kaum Muslimin
meninggalkan jihad di jalan Allah, maka mereka akan mendapatkan kehinaan.
Dijelaskan dalam hadits yang shahih :
“Dari Ibnu Umar, beliau berkata: Aku mendengar Rasulullah bersabda: “Apabila
kalian telah berjual-beli ‘inah, mengambil ekor sapi dan ridha dengan pertanian
serta meninggalkan jihad, maka Allah akan menimpakan kalian kerendahan
(kehinaan). Allah tidak mencabutnya dari kalian sampai kalian kembali kepada
agama kalian” [HR Abu Dawud].
Ibnu Taimiyah menyatakan : “Tidak diragukan lagi, jihad dan melawan
orang yang menyelisihi para rasul, dan mengarahkan pedang syari’at kepada
mereka, serta melaksanakan kewajiban-kewajiban disebabkan pernyataan mereka,
untuk menolong para nabi dan rasul dan untuk menjadi pelajaran berharga bagi
yang mengambilnya, sehingga orang-orang yang menyimpang menjadi jera; yang
demikian ini termasuk amalan paling utama yang Allah perintahkan kepada kita
sebagai wujud ibadah mendekatkan diri kepadaNya”
Namun, amal kebaikan ini harus memenuhi syarat ikhlas dan sesuai
dengan syariat Islam. Karena keduanya meru[akan syarat diterimanya suatu
amalan. Disamping itu juga, jihad bukanlah perkara mudah bagi jiwa. Sangat erat

6
kaitannya dengan pertumpahan darah, jiwa dan harta, yang menjadi perkara agung
dalam Islam, sebagaimana disampaikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam sabdanya :
“Sesungguhnya, darah, kehormatan dan harta kalian, diharamkan atas kalian
(saling menzhalimi), seperti kesucian hari ini, pada bulan ini dan di negeri kalian
ini, sampai kalian menjumpai Rabb kalian. Ketahuilah, apakah aku telah
menyampaikan?” Mereka menjawab,”Ya.” Maka beliaupun berkata: “Ya Allah,
persaksikanlah. Maka, hendaklah orang yang hadir menyampaikan kepada yang
tidak hadir, karena terkadang yang disampaikan lebih mengerti dari yang
mendengar langsung. Janganlah kalian kembali kufur sepeninggalanku, sebagian
kalian saling membunuh sebagaian lainnya”.[Muttafaqun ‘alaihi].
Demikian agungnya perkara jihad ini, sehingga menuntut setiap Muslim
untuk ikut berperan dalam menggapai cinta dan keridhaan Allah. Tentu saja, hal
ini menuntut pelakunya untuk komitmen dengan ketentuan dan batasan syari’at,
sesuai dengan hukum al Qur`an dan Sunnah Rasulullah, tanpa meninggalkan satu
ketentuan pun, agar selamat dari sikap ekstrim, dan jihadnya menjadi jihad syar’i
di atas jalan yang lurus, dan mendapatkan pahala yang besar di akhirat nanti. Hal
itu, karena ia berjalan di atas cahaya Ilahi, petunjuk dan ilmu dari al Qur`an dan
Sunnah NabiNya.
Oleh karena itu, menjadi kewajiban bagi setiap Muslim, agar belajar
mengenai konsep Islam tentang jihad secara benar, dan bertanya kepada para
ulama pewaris Nabi tentang hal-hal yang belum ia ketahui. Telebih lagi dalam
permasalahan yang sangat penting ini.
Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mewajibkan dan mensyariatkan sesuatu
tanpa adanya maksud tujuan yang agung. Demikian juga, jihad disyariatkan untuk
tujuan-tujuan tertentu yang telah dijelaskan para ulama dengan pernyataan
mereka.
Syaikh Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan, maksud tujuan
jihad adalah meninggikan kalimat Allah dan menjadikan agama seluruhnya hanya
untuk Allah.
Beliau rahimahullah juga menyatakan, maksud tujuan jihad adalah, agar tidak ada
yang disembah kecuali Allah, sehingga tidak ada seorangpun yang berdoa, shalat,
sujud dan puasa untuk selain Allah. Tidak berumrah dan berhaji, kecuali ke
rumahNya (Ka’bah), tidak disembelih sembelihan kecuali untukNya, dan tidak
bernadzar dan bersumpah, kecuali denganNya.
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as Sa’di menyatakan, jihad ada dua jenis.
Jihad dengan tujuan untuk kebaikan dan perbaikan kaum mukminin dalam aqidah,
akhlak, adab (prilaku) dan seluruh perkara dunia dan akhirat mereka serta
pendidikan mereka, baik ilmiah dan amaliah. Jenis ini adalah induk dan
tonggaknya jihad, serta menjadi dasar bagi jihad yang kedua, yaitu jihad dengan
maksud menolak orang yang menyerang Islam dan kaum Muslimin dari kalangan
orang kafir, munafiqin, mulhid dan seluruh musuh agama dan menentang mereka.

7
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz menyatakan, jihad terbagi menjadi dua, yaitu jihad
ath tholab (menyerang) dan jihad ad daf’u (bertahan).
Maksud tujuan keduanya adalah, menyampaikan agama Allah dan
mengajak orang mengikutinya. Mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada
cahaya Islam dan meninggikan agama Allah di muka bumi, serta menjadikan
agama ini hanya untuk Allah semata, sebagaimana dijelaskan dalam al Qur`an
surat Al Baqarah ayat 193: Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah
lagi dan (sehingga) agama itu hanya untuk Allah belaka. Jika mereka berhenti
(dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap
orang-orang yang zhalim.
“Dan peranglah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-
mata untuk Allah”. [Al Anfal : 39].
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan:
“Aku diperintahkan memerangi manusia hingga bersaksi dengan syahadatain,
menegakkan shalat dan menunaikan zakat. Apabila mereka telah berbuat
demikian, maka darah dan harta mereka telah terjaga dariku, kecuali dengan hak
Islam. Dan hisab mereka diserahkan kepada Allah”. [Muttafaqun ‘alaihi].
Dari keterangan para ulama di atas jelaslah, bahwa maksud tujuan
disyariatkannya jihad adalah, untuk menegakkan agama Islam di muka bumi ini,
dan bukan untuk dendam pribadi, atau golongan, sehingga sangat dibutuhkan
pengetahuan tentang konsep Islam dalam jihad, baik secara hukum, cara berjihad
dan ketentuan harta rampasan perang, sebagai konsekwensi dari pelaksanaan
jihad.

D. Adab dan sopan santun berjihad


Sebagaimana ibadah yang lain, jihad mempunyai beberapa adab. Di antara
adabnya ada yang wajib dan ada yang sunnah. Termasuk adab yang wajib adalah:
1. Pertama, dalam rangka fi sabilillah.
Artinya, ikhlas semata-mata karena Allah. Ini merupakan salah satu rukun
jihad. Jika niatnya tidak ikhlas hanya karena Allah maka jihadnya pun menjadi
batal (sia-sia).
2. Kedua, taat kepada amir
Para ulama sepakat bahwa hukum taat kepada ulil amri adalah wajib. Kaum
muslimin tidak diperolehkan memberontak ulil amri meskipun dalam
kepemerintahannya sering berlaku dzalim. Prinsip ini menjadi pegangan yang
lahir dari salah satu pokok aqidah ahlus sunnah wal jamaah.

Allah ta’ala berfirman:

‫ُول َوُأولِي اَأْل ْم ِر ِم ْن ُك ْم‬


َ ‫يَا َأيُّهَا الَّ ِذينَ َآ َمنُوا َأ ِطيعُوا هَّللا َ َوَأ ِطيعُوا ال َّرس‬

“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu.” (QS. An Nisa’: 59)

8
3. Ketiga, berlaku baik terhadap kawan
Karena jihad adalah ibadah yang bersifat jama’iyyah maka kita harus
hidup dalam satu barisan bersama saudara-saudara yang lain. Jika akhlak kita
tidak lemah lembut dan pemurah terhadap ikhwan-ikhwan, itu akan sangat
menyakitkan mereka. Boleh jadi kita berjihad, namun kita telah membuat sepuluh
orang lari dari jihad gara-gara kelakuan kita sendiri. Dengan begitu, secara tidak
langsung kita telah memalingkan orang dari jalan Allah.
4. Keempat, memudahkan teman.
Kita tinggal berlima dalam satu kemah. Setiap orang berasal dari negeri
yang berlainan. Yang satu suka makanan yang asin, yang satu suka rasa masam,
yang satu suka pedas, namun yang lain tidak. Jika kita ingin memaksakan
keinginan dan selera terhadap yang lain, artinya kita akan menyakiti teman-teman.
Hendaknya kitamengalah dalam banyak hal yang bersifat keinginan pribadi.
5. Kelima, menjauhi kerusakan.
Yang paling utama adalah hifdzul lisan (menjaga lidah), menjauhi kasak-
kusuk dan fitnah, menjauhi omongan yang sifatnya melemahkan dan menurunkan
moral di dalam jihad. Terkadang, tanpa sengaja kita mengatakan, “Ya akhi, saya
mendengar mujahidin itu sifatnya begini. Perbuatan-perbuatan syirik tersebar di
kalangan mereka”; “Saya mendengar komandan Fulan berbuat begini”; “Fulan
mencuri senjata. Fulan mencuri uang. Dan Fulan berbuat begini”; “Tak ada
seorang mujahid yang hakiki di Afghan kecuali Fulan…” Yang seperti ini adalah
tindakan yang melemahkan dan mengendurkan semangat. Menyebarkan sisi-sisi
negatif dalam jihad yang kita lihat merupakan tindakan melemahkan,
mengendurkan, menakut-nakuti serta merintangi orang lain dari jalan jihad.
Meskipun kita melihatnya sendiri. Terdapat dalam firman Allah SWT artunya :
“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan dan ketakutan,
mereka lalu menyiarkannya.” (QS:An-Nisa: 83).

9
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Hijrah menurut bahasa berarti pindah dari satu tempat ke tempat,
sebagaimana Nabi Saw dan para sahabat pindah dari Makkah ke Madinah, demi
keselamatan diri, keluarga, dan agama (Islam).
Sedamgkan Jihad secara bahasa artinya sungguhp-sungguh mengerahkan
segala kemampuan untuk meraih sesuatu. Secara istilah, jihad berarti
mengerahkan segala kemampuan dan kekuatan untuk membela Agama Allâh
SWT  dari serangan kaum Musyrikin anti-Islam.
Jihad membela Islam dan kaum Muslim dapat dilakukan dengan.
 Harta --zakat, infak, sedekah, wakaf
 Jiwa --fisik, tenaga
 Lisan --pemikiran, tulisan, ucapan.

B. Saran
Bagi pembaca makalah disarankan agar lebih membaca buku atau artikel
lain yang lebih lengkap dan terperinci sebagai referensi pengetahuan.

10
DAFTAR PUSTAKA

Al-Quran
Al-Hadits
Hijrah menuju Allah, Ibrahim Amini, 2006, Bandung.
Dhawabith Jihaad fi as Sunnah an Nabawiyah, oleh Dr. Muhammad Umar.
https://www.kiblat.net/2016/09/20/definisi-dan-lima-adab-dalam-jihad-22/
https://nuonline.com

11

Anda mungkin juga menyukai