Anda di halaman 1dari 9

Buletin Kaffah, No.

333
13 Sya’ban 1445 H
23 Februari 2024 M

MENGEMBALIKAN FUNGSI
KEKUASAAN SESUAI
AJARAN ISLAM

D alam Islam kekuasaan sangatlah penting. Begitu pen-


tingnya, kekuasaan sering disandingkan dengan aga-
ma. Sebagian ulama, seperti Imam al-Ghazali rahima-
hulLâh, menyatakan:
ِ ِ ِ ِ ِ
ُ‫ُس ﻟَﻪ‬ ٌ ‫ُس َواﻟ ﱡﺴﻠْﻄَﺎ ُن َﺣﺎ ِر‬
َ ‫س َوَﻣﺎ ﻻَ أ‬ ٌ ‫ اﻟ ّﺪﻳْ ُﻦ أ‬:‫ َوﳍََﺬا ﻗْﻴ َﻞ‬،‫اﻟ ّﺪﻳْ ُﻦ َواﻟ ﱡﺴﻠْﻄَﺎ ُن ﺗَـ ْﻮأ ََﻣﺎن‬
‫ﻀﺎﺋِ ٌﻊ‬
َ َ‫س ﻟَﻪُ ﻓ‬ ِ
َ ‫ﻓَ َﻤ ْﻬ ُﺪ ْوٌم َوَﻣﺎ ﻻَ َﺣﺎر‬
Agama dan kekuasaan itu ibarat dua saudara kembar. Karena
itu sering dikatakan: Agama adalah fondasi, sementara kekua-
saan adalah penjaganya. Apa saja yang tidak memiliki fondasi
akan hancur. Apa saja yang tidak memiliki penjaga akan lenyap
(Abu Hamid al-Ghazali, Al-Iqtishâd fî al-I’tiqâd, 1/78).

01
Berkat agama (Islam) yang bersanding dengan
kekuasaan, kata Imam ar-Razi rahimahulLâh, Allah SWT
menghilangkan berbagai keburukan dunia dari manusia
(Lihat: Fakhruddin ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, 3/424).

Fungsi Kekuasaan
Pentingnya kekuasaan sangat disadari oleh Rasulullah
saw. Karena itulah, sejak awal, beliau berdoa kepada Allah
SWT agar diberi suatu kekuasaan (sulthân). Bukan semba-
rang kekuasaan. Namun, kekuasaan yang bisa menolong
agama-Nya (sulthân[an] nashîrâ). Allah SWT berfirman:

َ ْ‫اﺟ َﻌ ْﻞ ِﱄ ِﻣ ْﻦ ﻟَ ُﺪﻧ‬
�ً ‫ﻚ ُﺳﻠْﻄَﺎ‬ ٍ ِ ِ ِ ‫وﻗُﻞ ر‬
ْ ‫ب أ َْدﺧﻠْ ِﲏ ُﻣ ْﺪ َﺧ َﻞ ِﺻ ْﺪ ٍق َوأ‬
ْ ‫َﺧ ِﺮ ْﺟ ِﲏ ﳐَُْﺮ َج ﺻ ْﺪق َو‬ َّْ َ
ِ َ‫ﻧ‬
‫ﺼ ًﲑا‬
Katakanlah (Muhammad), “Tuhanku, masukkanlah aku de-
ngan cara masuk yang benar, keluarkan aku dengan cara ke-
luar yang benar dan berilah aku dari sisi Engkau kekuasaan
yang menolong.” (TQS al-Isra’ [17]: 80).

Berkaitan dengan ayat di atas, Imam Ibnu Katsir rahima-


hulLâh, dengan mengutip Qatadah ra., menyatakan:
ٍ َ‫ﱯ ﷲِ ﺻﻠﱠﻰ ﷲ َﻋﻠَﻴ ِﻪ وﺳﻠﱠﻢ َﻋﻠِﻢ أَﻻﱠ ﻃَﺎﻗَﺔَ ﻟَﻪ ِﻬﺑ َﺬا اْﻷَﻣ ِﺮ إِﻻﱠ ﺑِﺴﻠْﻄ‬
‫ ﻓَ َﺴﺄَ َل‬.‫ﺎن‬ ‫إِ ﱠن ﻧَِ ﱠ‬
ُ ْ َ ُ َ َ ََ ْ ُ َ
ِ ِ‫ َوﻟَِﻔَﺮاﺋ‬،ِ‫ َو ِﳊُ ُﺪ ْوِد ﷲ‬،ِ‫ﺎب ﷲ‬
‫ َوِِﻹﻗَ َﺎﻣ ِﺔ ِدﻳْ ِﻦ ﷲِ؛ ﻓَِﺈ ﱠن اﻟ ﱡﺴﻠْﻄَﺎ َن‬،ِ‫ﺾ ﷲ‬ ِ َ‫ﺼ ْﲑا ﻟِ ِﻜﺘ‬
ِ
ً َ‫ُﺳﻠْﻄَﺎ ً� ﻧ‬

02
ِ ِ ِ ِ
ٍ ‫ﻀ ُﻬ ْﻢ َﻋﻠَﻰ ﺑَـ ْﻌ‬
‫ ﻓَﺄَ َﻛ َﻞ‬،‫ﺾ‬ َ ‫ َوﻟَ ْﻮﻻَ ذَﻟ‬،ِ‫ﲔ أَﻇْ ُﻬ ِﺮ ِﻋﺒَﺎدﻩ‬
ُ ‫ﻚ َﻷَ َﻏ َﺎر ﺑَـ ْﻌ‬ َْ َ‫َر ْﲪَﺔٌ ﻣ َﻦ ﷲ َﺟ َﻌﻠَﻪُ ﺑ‬
.‫ﺿﻌِﻴْـ َﻔ ُﻬ ْﻢ‬ ِ
َ ‫َﺷﺪﻳْ ُﺪ ُﻫ ْﻢ‬
Sungguh Nabi Muhammad saw. menyadari bahwa beliau tidak
punya daya/kekuatan untuk menegakkan agama ini (Islam),
kecuali dengan kekuasaan. Karena itulah beliau memohon
kepada Allah kekuasaan yang bisa menolong Kitabullah (al-
Quran), melaksanakan hudûd Allah, menunaikan berbagai
kewajiban dari Allah dan menegakkan agama Allah (Islam).
Sungguh kekuasaan adalah rahmat yang Allah berikan kepada
para hamba-Nya. Andai bukan karena kekuasaan tersebut,
orang-orang bisa saling menyerang (menzalimi) satu sama lain
sehingga pihak yang kuat bisa memangsa pihak yang lemah
(Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, 5/111).

Dari penjelasan Imam Ibnu Katsir tersebut bisa disim-


pulkan bahwa ada dua fungsi kekuasaan yang utama: Per-
tama, untuk menegakkan agama Islam. Inilah yang sekaligus
menjadi motif utama Rasulullah saw. untuk meminta ke-
kuasaan kepada Allah SWT. Faktanya, ketika pada akhirnya
Rasulullah saw. benar-benar menjadi penguasa (kepala ne-
gara) Daulah Islam di Madinah, kekuasaan beliau benar-
benar diorientasikan untuk menegakkan Islam dan menye-
barluaskan dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.

03
Kedua, untuk mengurus berbagai urusan dan kepentingan
masyarakat. Tentu dengan menggunakan syariah Islam. Ini-
lah juga yang dipraktikkan oleh Rasulullah saw. sebagai pe-
nguasa (kepala negara). Dengan itu semua warga negara
(Muslim maupun non-Muslim) terurus dan terayomi dengan
baik. Tidak ada yang berani saling menzalimi. Tidak ada pihak
yang kuat memangsa pihak yang lemah.
Kondisi demikian berbeda dengan saat ini. Sekarang ini
Islam dan kekuasaan dipisahkan. Negara memberlakukan
ideologi Kapitalisme-sekuler. Tidak memberlakukan syariah
Islam. Akibatnya, penguasa bukan hanya gagal mencegah
berbagai kezaliman yang menimpa rakyatnya. Penguasa—
yang berkolaborasi dengan oligarki—bahkan sering menjadi
aktor utama dalam berbagai kebijakan zalim terhadap rak-
yatnya. Pihak yang kuat (oligarki) acapkali difasilitasi oleh
negara untuk “memangsa” pihak yang lemah, yakni rakyat.
Apa bentuk fasilitasnya? Tidak lain aneka UU dan kebijakan
negara yang menguntungkan oligarki dan merugikan rakyat.
Contohnya adalah pengesahan sejumlah UU oleh Pemerin-
tah seperti UU Migas, UU Mineral dan Batubara, UU Kelistri-
kan, Omnibus Law, UU IKN, dll. Semuanya memberikan kele-
luasaan kepada oligarki untuk merampas sekaligus mengua-
sai berbagai sumberdaya alam milik rakyat seperti hutan,
minyak dan gas, mineral dan batubara, barang tambang

04
(seperti emas, perak, timah, nikel, dll) dan sebagainya.
Rakyat—yang notabene pemilik berbagai sumber daya alam
tersebut—tak kebagian apa-apa selain ‘ampas’-nya.
Karena itulah, dalam pandangan Islam, tidak ada artinya
kekuasaan jika tidak digunakan untuk menegakkan Islam
dan menyebarluaskan dakwah Islam. Tidak ada artinya pula
kekuasaan jika tidak digunakan untuk mengurus berbagai
urusan dan kepentingan rakyat dengan syariah Islam.
Sayangnya, selama negara ini berdiri sejak kemerdekaan,
bangsa ini memilih sekularisme, yakni ide yang memisahkan
agama (Islam) dari kekuasaan. Meski berpenduduk mayori-
tas Muslim, Islam tidak dipilih untuk berdampingan dengan
kekuasaan. Islam selalu dijauhkan dari kekuasaan. Bahkan
isu Islam dan syariah Islam acapkali absen dalam setiap
momen pergantian kekuasaan, seperti saat Pilpres/Pemilu.
Saat ini, misalnya, tak ada satu pun paslon Muslim ataupun
partai Islam yang mengusung agenda penerapan syariah
Islam.
Padahal negeri ini berpenduduk mayoritas Muslim. Wajib
dan sudah sepantasnya mereka hidup diatur oleh syariah
Islam. Tak hanya dalam ibadah ritual, urusan moral atau
perkara spiritual saja. Syariah Islam pun wajib dan layak
digunakan untuk mengatur urusan ekonomi, sosial, pendidi-
kan, politik, pemerintahan, hukum/peradilan, dll. Sebabnya

05
jelas. Islam bukan sekadar agama ritual, spiritual dan moral
belaka. Islam adalah mabda’ (ideologi) dan sistem kehidu-
pan.
Selain itu, hanya sedikit ulama yang menyerukan para pe-
nguasa atau para calon penguasa agar memimpin dan me-
ngurus rakyat dengan syariah Islam. Memang, dalam setiap
Pilpres/Pemilu, tak sedikit ulama—termasuk MUI—yang
memfatwakan umat Islam wajib memilih pemimpin dan ha-
ram golput. Namun, sedikit sekali ulama yang memfatwakan
pemimpin atau penguasa wajib menegakkan syariah Islam
secara kâffah dalam seluruh aspek kehidupan.
Padahal dalam kitab-kitab para ulama fiqih, misalnya, tak
hanya dibahas bab thaharah (bersuci) dan ubudiyah (shalat,
puasa, zakat atau haji) saja. Di dalamnya juga dibahas bab
muamalah, termasuk ekonomi dan siyâsah (politik), hudûd
hingga imamah (khilafah), bahkan jihad (perang) fi sabilillah,
dll. Sampai saat ini pun, kitab-kitab para ulama fiqih itu—di
antaranya yang ditulis sejak ratusan tahun lalu—tetap dikaji
para santri dan diajarkan oleh para ulama/kiai, khususnya di
pondok-pondok pesantren. Kitab-kitab fiqih karya Imam
Syafii dan para ulama mazhab Syafii, misalnya—yang dianut
oleh mayoritas umat Islam di negeri ini—jelas mengajarkan
semua perkara yang disebutkan di atas. Sayangnya, semua

06
itu tak diserukan oleh para ulama untuk diterapkan oleh
penguasa di negeri yang mayoritas berpenduduk Muslim ini.
Padahal katanya, bangsa ini ingin maju. Ingin sejahtera,
adil dan makmur. Jelas, sejahtera, adil dan Makmur hanya
mungkin saat umat Islam mengamalkan dan menerapkan
syariah Islam. Demikian sebagaimana dinyatakan oleh Sayyid
Muhammad bin ‘Alawi al-Maliki rahimahulLâh:
‫َﺣ َﻜ ِﺎم اﻟْ ِﻔ ْﻘ ِﻪ َو اﻟ ِّﺪﻳْ ِﻦ َﻛ َﻤﺎ َﻛﺎ َن أ ََﺎﺑءُ ُﻫ ْﻢ ﻟَ َﻜﺎﻧـُ ْﻮا أ َْر َق‬ ِ
ْ ‫ﲔ )اﻟْﻴَـ ْﻮَم( َﻋﻤﻠُ ْﻮا ِﺄﺑ‬
ِِ
َْ ‫ﻓَـﻠَ ْﻮ أَ ﱠن اﻟْ ُﻤ ْﺴﻠﻤ‬
ْ ‫اْﻷ ََﻣ ِﻢ َو أ‬
ِ ‫َﺳ َﻌ َﺪ اﻟﻨ‬
‫ﱠﺎس‬
Andai kaum Muslim hari ini menerapkan hukum-hukum fiqih
dan (syariah) agama ini, sebagaimana generasi pendahulu
mereka (pada masa lalu), niscaya mereka menjadi umat yang
paling maju dan paling bahagia (Sayyid Muhammad bin ‘Alawi
al-Maliki al-Hasani, Syarî’atulLâh al-Khâlidah, hlm. 7).

Wujud Iman dan Takwa


Jelas, dalam Islam, fungsi kekuasaan adalah untuk mene-
gakkan Islam serta mengurus berbagai urusan dan kepenti-
ngan rakyat dengan syariah Islam. Semua ini adalah wujud
keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT. Saat negeri
yang berpenduduk mayoritas Muslim ini benar-benar
beriman dan bertakwa maka kemakmuran, kesejahteraan,
keadilan serta aneka kebaikan (keberkahan) pasti dirasakan
oleh mereka. Allah SWT berfirman:

07
ِ ‫ﺎت ِﻣ َﻦ اﻟ ﱠﺴ َﻤ ِﺎء َو ْاﻷ َْر‬
‫ض َوﻟَ ِﻜ ْﻦ‬ ٍ ‫وﻟَﻮ أَ ﱠن أَﻫﻞ اﻟْ ُﻘﺮى آﻣﻨُﻮا واﺗـﱠ َﻘﻮا ﻟََﻔﺘَﺤﻨَﺎ ﻋﻠَﻴ ِﻬﻢ ﺑـﺮَﻛ‬
ََ ْ ْ َ ْ ْ َ َ َ َ ْ َْ
ِ ‫َﻛ ﱠﺬﺑﻮا ﻓَﺄَﺧ ْﺬ َ�ﻫﻢ ِﲟَﺎ َﻛﺎﻧُﻮا ﻳﻜ‬
‫ْﺴﺒُﻮ َن‬ َ ُْ َ ُ
Andai saja penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa,
pasti Kami akan membuka untuk mereka keberkahan dari
langit dan bumi. Akan tetapi, mereka telah mendustakan
(ayat-ayat Kami). Karena itu Kami menyiksa mereka sebagai
akibat dari apa yang mereka perbuat itu (TQS al-A’raf [7]: 96).

Keimanan dan ketakwaan tentu saja diwujudkan dengan


kemauan untuk menjalankan dan menerapkan seluruh
syariah Islam secara kâffah dalam semua aspek kehidupan.
Itulah yang dipraktikkan oleh Baginda Nabi Muhammad
selaku penguasa Negara Islam di Madinah dulu. Beliau
mengatur negara dan rakyat beliau hanya dengan syariah
Islam. Sedikitpun beliau tidak mengambil aturan lain selain
dari wahyu telah Allah SWT turunkan kepada beliau.
Kekuasaan beliau lalu dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin
dan para khalifah setelah mereka. Jelas, para khalifah pun,
sepanjang sejarah Kekhilafahan Islam selama tidak kurang dari
13 abad, hanya menggunakan syariah Islam dalam mengatur
negara dan rakyat mereka.
Baru setelah Khilafah Islam terakhir, Khilafah Utsmaniyah,
diruntuhkan oleh Barat (Inggris) melalui agennya Mustafa
Kemal Ataturk pada tanggal 3 Maret 1924, kaum Muslim tidak

08
diatur oleh syariah Islam, kecuali dalam urusan ibadah dan
sedikit muamalah. Sebagian besar aspek kehidupan mereka
diatur oleh aturan-aturan sekuler yang bersumber dari Barat
kafir penjajah. Itulah yang terjadi. Termasuk di negeri tercinta
ini.
Pertanyaannya: Maukah kita kembali diatur oleh syariah
Islam, yang notabene merupakan aturan-aturan Allah SWT,
sementara kita mengaku sebagai hamba-Nya?!
WalLâh a’lam. []

HIKMAH:

Rasul saw. pernah berdoa:


‫ﱃ ِﻣ ْﻦ أ َْﻣ ِﺮ أُﱠﻣ ِﱴ‬ِ ِ ِ ِ ِ ِ‫اﻟﻠﱠ ُﻬ ﱠﻢ َﻣ ْﻦ َو‬
َ ‫ﱃ ﻣ ْﻦ أ َْﻣﺮ أُﱠﻣ ِﱴ َﺷﻴْـﺌًﺎ ﻓَ َﺸ ﱠﻖ َﻋﻠَْﻴﻬ ْﻢ ﻓَﺎ ْﺷ ُﻘ ْﻖ َﻋﻠَْﻴﻪ َوَﻣ ْﻦ َو‬
َ
ِ‫َﺷﻴـﺌًﺎ ﻓَـﺮﻓَﻖ ﻬﺑِِﻢ ﻓَﺎرﻓُﻖ ﺑِﻪ‬
ْ ْ ْ ََ ْ
Ya Allah, siapa saja yang menangani urusan umatku, lalu ia
menyusahkan mereka, maka susahkanlah dia; siapa saja yang
menangani urusan umatku, lalu ia berlaku lembut kepada
mereka, maka berlaku lembutlah kepada dia.
(HR Muslim dan Ahmad). []

09

Anda mungkin juga menyukai