Anda di halaman 1dari 8

KESEIMBANGAN ATARA KEHAMBAAN DAN KEKHALIFAHAN

ُ‫ال َّسالَ ُم َعلَ ْي ُك ْم َو َرحْ َمةُ هللاِ َوبَ َر َكاتُه‬


ً‫ص! ْيال‬ ِ ‫ان هللاِ بُ ْك! َرةً َوَأ‬ َ ‫ هللَا ُ َأ ْكبَ ُر َكبِيْراً َو ْال َح ْم! ُد هَّلِل ِ َكثِ ْي!رًا َو ُس! ْب َح‬،×9 ‫هللَا ُ َأ ْكبَ ُر‬
َّ‫ َأ ْشهَ ُد َأ ْن الَ ِإلهَ ِإال‬.‫ضيَافَةً ِل ِعبَا ِد ِه الصَّالِ ِحي َْن‬ ِ ‫اَ ْل َح ْم ُد هَّلِل ِ الَّ ِذيْ َج َع َل َأيَا َم اَْأل ْعيَا ِد‬
‫ص!لِّ َو َس!لِّ ْم‬ َ ‫ اَللَّهُ َّم‬.ُ‫ َوَأ ْش!هَ ُد َأ َّن ُم َح َّم ًدا َعبْ! ُدهُ َو َر ُس! ْولُه‬.ُ‫ك لَ!ه‬ َ ‫هللاُ َوحْ َدهُ الَ َش ِر ْي‬
َ ‫ (َأ َّما بَ ْع ُد) فَي!ا‬.‫صحْ بِ ِه َو َم ْن تَبِ َعهُ ِإلَى يَ ْو ِم ال ِّدي ِْن‬ َ ‫َعل َى َسيِّ ِدنَا ُم َح َّم ٍد َو َعل َى اَلِ ِه َو‬
‫ق تُقَاتِ ! ِه َو‬ َّ ‫ َواتَّقُوا هللاَ َح‬.‫ص ْي ُك ْم َونَ ْف ِس ْي بِتَ ْق َوى هللاِ فَقَ ْد فَا َز ْال ُمتَّقُ ْو َن‬ ِ ‫ِعبَا َد هللاِ ُأ ْو‬
‫!و ُذ‬ ْ ‫ َأ ُع‬،‫!ري ِْم‬ِ ‫ فَقَ! ْد قَ!ا َل هللاُ تَ َع!الَى فِ ْي ِكتَابِ! ِه ْال َك‬  .‫الَ تَ ُم ْوتُ َّن اِالَّ َو َأ ْنتُ ْم ُم ْسلِ ُم ْو َن‬
‫َّحي ِْم قَ ْد َأ ْفلَ َح َم ْن تَ! َز َّكى َو َذ َك!!ر‬ ِ ‫ بِس ِْم هللاِ الرَّحْ َم ِن الر‬،‫َّجي ِْم‬ ِ ‫ان الر‬ ِ َ‫بِاهللِ ِم َن ال َّش ْيط‬
!‫ َوهَّلِل ِ ْال َح ْم ُد‬، ‫ هللَا ُ َأ ْكبَ ُر‬، ‫ هللَا ُ َأ ْكبَ ُر‬، ‫ هللَا ُ َأ ْكبَ ُر‬,.‫صلَّى‬َ َ‫ا ْس َم َربِّ ِه ف‬
Jamaah Shalat Idul Fitri rahimakumullah,
Alhamdulillah, pada hari ini kita memasuki hari Idul Fitri 1438 H. Sebagai
seorang Muslim, hari raya ini patut kita syukuri. Setelah selama satu bulan kita
melakukan ibadah puasa, hari ini merupakan momentum bagi kita untuk mengingat
kembali kepada fitrah dan hakikat jadi diri kita baik sebagai manusia sekaligus sebagai
makhluk Allah SWT. Di dalam Al-Quran, Allah SWT berfirman:

ِ ‫اس َعلَ ْيهَا اَل تَ ْب ِدي َل لِ َخ ْل‬


‫ق الَّ ِه‬ َ َّ‫ت الَّ ِه الَّتِي فَطَ َر الن‬ ْ ِ‫ين َحنِيفًا ف‬
َ ‫ط َر‬ ِ ‫ك ِلل ِّد‬ َ َ‫فََأقِ ْم َوجْ ه‬
ٰ َ ِ‫ٰ َذل‬
‫ون‬ ِ َّ‫ين ْالقَيِّ ُم َولَ ِك َّن َأ ْكثَ َر الن‬
َ ‫اس اَل يَ ْعلَ ُم‬ ُ ‫ك ال ِّد‬
Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas)
fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan
pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui”. (QS. Al-Rum [30]: 30)

Ketika menafsirkan ayat di atas, Syekh Ahmad Musthafa al-Maraghi menyatakan


bahwa yang dimaksud dengan “fitrah” adalah al-tahayyu liqubul al-haqq wa din al-
tawhid  (kesiapan mental untuk menerima kebaikan dan agama yang esa). Menganut
penafsiran ini, sesungguhnya manusia ketika lahir diliputi oleh potensi kebaikan-
kebaikan. Ia dalam keadaan baik dan berpihak pada kebaikan serta kesucian. Ia memiliki
hati suci dan tidak mau untuk dikotori. Inilah sesungguhnya potensi dasar yang dimiliki
oleh manusia. Oleh karenanya, jika ada tekanan terhadap hak-hak kemanusiaan maka
sesungguhya ia memiliki potensi untuk melakukan perlawanan. Namun demikian,
potensi kesucian yang dimiliki manusia seringkali terkikis oleh gangguan dan
rongrongan terutama dari luar dirinya.

Kondisi lingkungan keluarga dan masyarakat sosial lainnya turut memberikan


andil terhadap pengikisan potensi kefitrahan. Oleh karena itu, orang yang fitrah
sesungguhnya adalah orang yang mampu membentengi diri dari godaan-godaan yang
tidak baik. Dalam konteks ini, ibadah puasa merupakan sarana yang diberikan oleh
Allah agar manusia mampu mempertahankan kefitrahannya itu. Ibadah puasa
mengajarkan kepada kita agar menghilangkan atau meminimalisasi nafsu-nafsu
kemanusiaan dan meneladani sifat-sifat ketuhanan. Ibadah puasa pun mengisyaratkan
agar manusia senantiasa agar dapat melakukan yang terbaik, ikhlas, jujur dan nilai-nilai
kebaikan lainnya. Jika manusia mampu melakukan pesan-pesan moral ibadah puasa itu
dalam kehidupannya, maka layaklah ia berada dalam kefitrahannya dan mendapatkan
predikat muttaqin. Mudah-mudahan, kita semua yang hadir di tempat ini termasuk di
dalamnya, amin.

Jamaah Shalat Idul Fitri rahimakumullah,

!‫ َوهَّلِل ِ ْال َح ْم ُد‬، ‫ هللَا ُ َأ ْكبَ ُر‬، ‫ هللَا ُ َأ ْكبَ ُر‬، ‫هللَا ُ َأ ْكبَ ُر‬
Memahami fitrah manusia sejatinya juga menyadari akan hakikat dirinya. Allah
SWT telah memberi kepercayaan kepada manusia untuk memegang tugas kehambaan
dan tugas kekhalifahan. Sebagai hamba, manusia diciptakan dengan tujuan untuk
beribadah kepada Allah. Hal ini dinyatakan dalam firman-Nya:

َ ‫ت ْال ِج َّن َو ْاِإل ْن‬


‫س ِإالَّ لِيَ ْعبُ ُد ْو ِن‬ ُ ‫َو َما َخلَ ْق‬
Artinya: Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
menyembah-Ku. (QS al-Dzariyat [51]: 56)

Fungsi kehambaan (abid) relasinya adalah dirinya secara personal kepada Tuhannya.
Manusia merupakan makhluk yang diciptakan oleh Tuhan (khaliq) sehingga
berkewajiban untuk berterima kasiih kepada-Nya. Ia harus patuh, tunduk, tanpa reserve
terhadap apapun yang diperintahkan oleh Tuhan. Siapa yang melanggar akan ketentuan
itu dinyatakan sebagai orang yang mengingkari akan hakikat dirinya, yang dalam bahasa
keagamaan disebut kufur.

Dalam QS. al-Dzariyat [51]: 56 di atas secara tegas dikatakan bahwa manusia
merupakan yang diciptakan (makhluq) sedangkan Tuhan sebagai yang menciptakan
(khaliq). Keterciptaan manusia ini membuat keharusan bagi manusia untuk beribadah,
menyerahkan diri secara total kepada Tuhan. Penyerahan diri kepada Tuhan ini dalam
banyak hal tidak mengedepankan validitas secara rasional. Oleh karena itu, jika
dinyatakan dalam bentuk garis maka fungsi kehambaan ini dapat digambarkan dengan
garis vertikal, di mana posisi Tuhan berada di atas sedangkan manusia berada di bawah.
Patut digarisbawahi bahwa bentuk-bentuk kehambaan ini memiliki muatan dan fungsi-
fungsi sosial yang perlu diimplementasikan secara sosial.

Sebab, yang membutuhkan penyembahan manusia bukanlah Tuhan, tetapi manusia itu
sendiri. Tuhan bukanlah Dzat yang memiliki kebutuhan, oleh karenanya Dia tidak
bersifat kurang (naqish). Akan tetapi, justeru manusialah yang membutuhkan akan
makna sosial dari bentuk-bentuk kehambaan ini. Oleh karena itu, orang yang berhasil
dalam beribadah adalah orang yang mampu memanivestasikan muatan dari praktek
ibadah itu dalam ranah sosial.

Jamaah Shalat Idul Fitri rahimakumullah

Sebagai khalifah, manusia adalah makhluk yang diberi kepercayaan oleh Allah
Swt. untuk memakmurkan bumi dan alam semesta ini. Relasinya adalah manusia dengan
sesama manusia dan dengan alam. Firman Allah menyatakan:

ِ ْ‫ك لِ ْل َماَل ِئ َك ِة ِإنِّي َجا ِع ٌل فِي اَأْلر‬


ً‫ض َخلِيفَة‬ َ ُّ‫َوِإ ْذ قَا َل َرب‬
Artinya: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, "Sesungguhnya Aku
hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." (QS al-Baqarah [2]: 30)

Sebagaimana makna asal katanya, khalifah di sini dipahami sebagai wakil Tuhan untuk
mengurus, mengelola, mengayomi, memakmurkan, dan memanfaatkan segala isi yang
ada di muka bumi. Di samping itu, fungsi kekhalifahan ini juga menegaskan secara
meyakinkan akan terbentuknya tatanan pranata sosial yang adil, demokratis, setara, dan
mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan. Antara satu dengan yang lainnya memiliki
relasi yang sama besar dan sama kuat. Di antara mereka tidaklah dianggap sebagai
subordinasi. Oleh karena itu, secara historis-sosiologis kehidupan keduniaan harus
didasarkan atas kevalidan secara rasional. Jika diwujudkan dalam bentuk gambar maka
tugas kekhalifahan ini akan membentuk garis horizontal, ujung satu dengan yang lainnya
adalah manusia yang memiliki relasi kesejajaran.
Dalam Islam, kedua fungsi di atas harus dapat disinergikan secara seimbang.
Tuntutan kehambaan harus dapat diwujudkan secara seimbang dengan tuntutan
kekhalifahan. Tidak dianggap sebagai orang yang baik (insan kamil) jika ia hanya
mampu menjalankan fungsi-fungsi kehambaannya, sementara fungsi sosial-kemanusiaan
terbengkalai. Demikian juga sebaliknya, bukanlah orang yang baik jika ia hanya
mementingkan tugas-tugas kekhalifahan sementara tugas kehambaannya tidak
diaktualisasikan. Dengan demikian, fitrah manusia adalah menjalankan tugas-tugasnya
dengan sukses baik sebagai hamba Allah maupun sebagai khalifah di muka bumi secara
seimbang.

Jamaah Shalat Idul Fitri rahimakumullah

!‫ َوهَّلِل ِ ْال َح ْم ُد‬، ‫ هللَا ُ َأ ْكبَ ُر‬، ‫ هللَا ُ َأ ْكبَ ُر‬، ‫ هللَا ُ َأ ْكبَ ُر‬,
Banyak sekali sindiran Allah Swt. kepada orang yang hanya memenuhi salah satu tugas
dengan mengabaikan tugas lainnya. Misalnya dalam surat al-Mâ’ûn dilontarkan celaan
kepada orang-orang yang mengerjakan shalat tetapi suka menghardik anak yatim dan
tidak mau peduli kepada orang miskin. Orang seperti ini dijuluki pendusta agama
(yukadzdzibu bid-dîn). Allah berfirman:

‫) َوال يَحُضُّ َعلَى‬٢( ‫ك الَّ ِذي يَ! ُد ُّع ْاليَتِي َم‬َ ِ‫) فَ! َذل‬١( ‫ين‬ ِ ‫ْت الَّ ِذي يُ َك ِّذبُ ِبال! ِّد‬ َ ‫أ َرَأي‬
)٥( ‫ون‬ َ ‫ين هُ ْم َع ْن‬
َ ُ‫ص !التِ ِه ْم َس !اه‬ َ ‫) الَّ ِذ‬٤( ‫ين‬ َ ‫)فَ َو ْي ٌل لِ ْل ُم‬٣( ‫ين‬
َ ِّ‫صل‬ ِ ‫طَ َع ِام ْال ِم ْس ِك‬
)٧( ‫ون‬ َ ‫ُون ْال َما ُع‬
َ ‫) َويَ ْمنَع‬٦( ‫ون‬ َ ‫ين هُ ْم يُ َرا ُء‬َ ‫الَّ ِذ‬

Artinya:

[1] Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? [2] Itulah orang yang menghardik
anak yatim, [3] dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. [4] Maka
kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari
shalatnya, [6] orang-orang yang berbuat riya, [7] dan enggan (menolong dengan) barang
berguna. (QS al-Mâ’ûn [107]: 1-7)

Orang seperti ini hanya melakukan tugas kehambaan saja dalam bentuk ibadah mahdah,
tetapi ibadah sosial dia lalaikan. Meski mengerjakan shalat dan menyembah Allah, dia
akan mengalami celaka di akhirat nanti, sebab dia lupa akan makna shalatnya. Dia
beribadah hanya secara formalistik, tetapi tidak secara substansialistik. Dalam
kehidupan sehari-hari, dia shalat tetapi lisannya tidak dijaga, telinga tidak diperhatikan,
mata berkeliaran ke mana-mana, kaki melangkah ke jalan yang tidak dibenarkan,
pemikiran menyalahi aturan. Ini sindiran yang luar biasa dari Allah lewat surat al-Mâ’ûn
ini. Oleh karena itu, di dalam Islam, ritual ibadah selalu memiliki dua hal secara
integral: formalistik dan substansialistik Tidak ada ibadah dalam Islam yang hanya
dianjurkan secara aspek formalistik semata. Antara formalistik dan substansialistik harus
dilakukan secara seimbang. Dalam kasus ibadah puasa, juga demikian. Hadis Nabi
menyatakan:

ُ‫ع َو ْال َعطَش‬


ُ ‫ص ْو ِم ِه ِإاَّل ْالجُو‬ ٌّ ‫ْس لَهُ َح‬
َ ‫ظ ِم ْن‬ َ ‫صاِئ ٍم لَي‬
َ َّ‫رُب‬
Artinya: Betapa banyak orang yang berpuasa, dia tidak mendapat apa-apa dari puasanya
kecuali lapar dan haus. Orang yang melakukan ibadah puasa tidak mendapatkan balasan
apapun disebabkan dirinya tidak mampu membangun harmoni dalam kehidupan
sosialnya. Pikiran, gerakan, lisan, dan anggota tubuh lainnya tidak terjaga dari perilaku
destruktif. Begitu pula ibadah haji, Nabi SAW menyebutkan:

‫ْس لَهُ ْال َج َزا ُء ِإاَّل ْال َجنَّ ِة‬


َ ‫اَ ْل َحجُّ ْال َم ْبر ُْو ُر لَي‬
Artinya: Haji yang mabrur tidak ada balasan yang setimpal kecuali surga. Ketika itu para
sahabat menanyakan bagaimana haji yang mabrur itu, Rasulullah menjawab, “Dia suka
memberi makan dan rajin menebarkan salam.” Artinya, seorang yang telah
melaksanakan haji baru disebut mabrur jika sekembalinya dari tanah suci dia peduli
kepada sesamanya dan senantiasa menimbulkan kedamaian di sekelilingnya. Kalau
tidak, maka hajinya mardud (tertolak) dan tidak ada surga baginya. Memberi makanan
merupakan wujud dari solidaritas kita. Orang yang memiliki kepedulian yang baik dan
solidaritas yang tinggi kepada sesamanya, sesungguhnya itu merupakan manifestasi dari
amal ibadahnya.

Jamaah Shalat Idul Fitri rahimakumullah,

Sesungguhnya banyak cara untuk dapat memperkuat dan memperteguh potensi


kefitrahan itu, di antaranya adalah menghilangkan atau meminimalisasi nafsu-nafsu
kemanusiaan dan meneladani sifat-sifat ketuhanan. Jika Tuhan Maha Pengampun
terhadap semua hamba-hamba-Nya maka kitapun sedikit demi sedikit memberikan
keikhlasan dalam memberikan ampunan kepada orang-orang yang telah menyakiti kita.
Jika Tuhan Maha kasih dan sayang terhadap hamba-Nya maka kitapun belajar
mengasihi dan menyayangi orang-orang di sekitar kita. Diceritakan dalam salah satu
hadits Nabi SAW. Ada 2 orang di akhirat yang sama-sama tidak masuk surga. Si A
adalah orang yang berlumuran dosa sehingga kebaikannya itu tidak dapat mengimbangi
dosanya itu. Sedang si B adalah orang yang memiliki kebaikannya hampir mengimbangi
dosanya. Jika ada satu kebaikan lagi, niscaya kebaikannya itu lebih banyak. Lalu, si A
dengan penuh ketulusan dan keikhlasan demi solidaritas dan kasih sayang terhadap
sesamanya, mengajukan diri, “Ambillah satu dari kebaikanku untuk kawanku ini. Toh
hal ini tidak akan mengubah nasibku”. Mendengar itu Allah berkata: ”Atajudu wa ana
al-jawwad al-karim” (Apakah Engkau akan berbuat baik, sedang Akulah Yang Maha
Pengasih lagi Pemurah). Akhirnya, Allah memerintahkan malaikat untuk memasukkan
kedua hamba itu ke dalam surga. Si B dimasukkan ke dalam surga dikarenakan nilai
kebaikannya melampaui dosanya, sedangkan si A disebabkan karenanya solidaritasnya
yang tinggi terhadap sesama.

Dari cerita ini, pelajaran yang dapat kita tarik di antaranya adalah bahwa faktor
penentu sesorang masuk surga atau neraka atau mempertahankan kefitrahan itu
sesungguhnya tidak hanya sema-mata didasarkan atas faktor militansi keimanan secara
personal kepada Tuhannya semata, tetapi juga kepeduliaannya terhadap nasib sesama.
Jamaah Shalat Idul Fitri rahimakumullah, Demikianlah, semoga Allah menerima semua
ibadah Ramadan kita dan sholat id yang baru saja kita tegakkan. Semoga Allah SWT
memberikan kekuatan lahir dan batin kepada kita sehingga tugas-tugas yang telah
diamanahkan kepada kita, terutama tugas kehambaan dan kekhalifan itu, dapat
dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Amin ya Rabbal Alamin.

ِ َ ‫آن ْال َع ِظي ِْم َونَفَ َعنِ ْي َوِإيَّا ُك ْم ِب َم!!ا فِ ْي ! ِه ِم َن ْاآلي !ا‬
‫ت‬ ِ ْ‫ك هللاُ لِ ْي َولَ ُك ْم فِي ْالقُ!!ر‬ َ ‫بَ!!ا َر‬
.‫ َوتَقَبَّ َل ِمنِّ ْي َو ِم ْن ُك ْم تِالَ َوتَهُ ِإنَّهُ هُ َو ال َّس ِم ْي ُع ْال َعلِ ْي ُم‬.‫َو ِذ ْك ِر ْال َح ِكي ِْم‬
‫‪Khutbah II‬‬

‫ك‬ ‫هللَا ُ َأ ْكبَ ُر ‪ ،×7‬اَ ْل َح ْم ُد ِهللِ َربِّ ْال َعالَ ِمي َْن‪َ ،‬أ ْشهَ ُد َأ ْن الَِإلَهَ ِإالَّ هللاُ َوحْ َدهُ الَ َش ! ِر ْي َ‬
‫ص ! ِّل َو َس !لِّ ْم َعلَى َس !يِّ ِدنَا ُم َح َّم ٍد‬ ‫لَ !هُ َوَأ ْش !هَ ُد َأ َّن ُم َح َّم ًدا َع ْب ! ُدهُ َو َر ُس ! ْولُهُ‪ ،‬اَللَّهُ َّم َ‬
‫!وتُ َّن ِإالَّ‬ ‫ق تُقَاتِ! ِه َوالَ تَ ُم! ْ‬ ‫َو َعلَى آلِ ِه َوَأصْ َحابِ ِه َأجْ َم ِعي َْن‪ .‬فَيَا ِعبَا َد هللاِ اِتَّقُ ْوا هللاَ َح! َّ‬
‫ُص!لُّ ْو َن‬ ‫َوَأ ْنتُ ْم ُم ْسلِ ُم ْو َن‪  ‬قَ!!ا َل هللاُ تَ َع!!ال َى فِ ْي ِكتَابِ! ِه ْال َع ِظي ِْم "ِإ َّن هللاَ َو َمالَِئ َكتَ!هُ ي َ‬
‫صلِّ َو َسلِّ ْم‬ ‫صلُّ ْوا َعلَ ْي ِه َو َسلِّ ُم ْوا تَ ْسلِ ْي ًما"‪ .‬اَللَّهُ َّم َ‬‫َعل َى النَّبِ ِّي‪ ,‬يَا َأيُّهَا الَّ ِذي َْن َأ َمنُ ْوا َ‬
‫ص!! َحابِ ِه َأجْ َم ِعي َْن‪َ .‬والتَّابِ ِعي َْن َوتَ!!ابِ ِع التَّابِ ِعي َْن‬ ‫َعل َى َس!!يِّ ِدنَا ُم َح َّم ٍد َو َعل َى اَلِ!! ِه َوًأ ْ‬
‫ك يَا اَرْ َح َم الر ِ‬
‫َّاح ِمي َْن‬ ‫ان ِإل َى يَ ْو ِم ال ِّدي ِْن‪َ .‬و َعلَ ْينَا َم َعهُ ْم بِ َرحْ َمتِ َ‬‫َو َم ْن تَبِ َعهُ ْم بِِإحْ َس ٍ‬
‫ت‪ ,‬اََأْلحْ يَ!!ا ِء ِم ْنهُ ْم‬ ‫ت‪َ ,‬و ْال ُم! ْؤ ِمنِي َْن َو ْال ُمْؤ ِمنَ!!ا ِ‬ ‫اَللَّهُ َّم ا ْغفِ!!رْ لِ ْل ُم ْس !لِ ِمي َْن َو ْال ُم ْس !لِما َ ِ‬
‫ت‪َ .‬ربَّنَ!!ا ا ْفتَحْ‬ ‫اض َي ْال َحا َج!!ا ِ‬ ‫ت يَا قَ ِ‬ ‫ك َس ِم ْي ٌع قَ ِريْبٌ ُم ِجيْبُ ال َّد َع َوا ِ‬ ‫َواَْأل ْم َوا ِ‬
‫ت ِإنَّ َ‬
‫ت َخ ْي ُر ْالفَاتِ ِحي َْن‪َ .‬ربَّنَا َأتِنَ!!ا فِي ال! ُّد ْنيَا َح َس!نَةً َوفِي‬ ‫ق َوَأ ْن َ‬ ‫بَ ْينَنَا َوبَي َْن قَ ْو ِمنَا بِاْل َح ِّ‬
‫ان‬ ‫ار ِعبَ!!ا َد هللاِ ِإ َّن هللاَ يَ!ْأ ُم ُر بِ ْال َع! ْد ِل َو ْاِإل حْ َس ! ِ‬ ‫اب النَّ ِ‬‫آلخ! َر ِة َح َس !نَةً َوقِنَ!!ا َع! َذ َ‬ ‫ْا ِ‬
‫!!!ر َو ْالبَ ْغ ِي يَ ِعظُ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم‬
‫َوِإ ْيتَ!!!ا ِء ِذي ْالقُ!!!رْ ب َى َويَ ْنه َى َع ِن ْالفَحْ َش!!!ا ِء َو ْال ُم ْن َك ِ‬
‫!!!وهُ يَ ْس!!!تَ ِجبْ لَ ُك ْم َولَ!!! ِذ ْك ُر هللاِ َأ ْكبَ!!! ُر‬ ‫!!!اذ ُكر ُْوا هللاَ يَ ْ‬
‫!!!ذ ُكرْ ُك ْم َوا ْد ُع ْ‬ ‫تَ!!! َذ َّكر ُْو َن‪ .‬فَ ْ‬

Anda mungkin juga menyukai