Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Terdapat banyak ungkapan yang dapat di pakai untuk menggambarkan pengertian
korupsi, meskipun tidak seutuhnya benar. Akan tetapi tidak terlalu menjauh dari hakikat dan
pengertian korupsi itu sendiri. Ada sebagian yang menggunakan istilah ikhtilas untuk
menyebutkan prilaku koruptor, meskipun dalam kamus di temukan arti aslinya yaitu
mencopet atau merampas harta orang lain.
Realitanya praktikal korupsi yang selama ini terjadi ialah berkaitan dengan
pemerintahan sebuah Negara atau public office, sebab esensi korupsi merupakan prilaku yang
menyimpang dari norma-norma yang berlaku di pemerintahan yang terletak pada penggunaan
kekuasaan dan wewenang yang terkadung dalam suatu jabatan di sau pihak dan di pihak lain
terdapat unsure perolehan atau keuntungan, baik berupa uang atau lainnya. Sehingga tidak
salah apabila ada yang memberikan definisi korupsi dengan ungkapan Akhdul Amwal
Hukumah Bil Bathil apapun istilahnya, korupsi laksana dunia hantu dalam kehidupan
manusia. Mengapa saya mengungkapkan dunia hantu, sebab dunia hantu merupakan dunia
yang tidak tampak wujut jasadnya, akan tetapi hanya dapat dirasakan dampaknya. Dunia
hantu merupakan sebuah ilusi-fantasi yang mengimplikasikan terhadap dunia ketidak jujuran,
kebohongan, dan hilangnya sebuah kepercayaan.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Pengertian korupsi menurut islam
2. Dalil larangan korupsi
3. Hukuman terhadap koruptor
4. Cara pemberantasan korupsi menurut islam
5. Nilai nilai pendidikan dalam hukuman korupsi
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN KORUPSI MENURUT ISLAM
Ajaran hukum Islam yang sangat menjunjung tinggi pemeliharaan akan kesucian baik
lahir maupun bathin, menghendaki agar manusia (umat islam) dalam melakukan sesuatu
harus sesuai fitrahnya, yakni apa yang telah dtentukan dalam al-Quran dan As Sunnah yang
merupakan sumber hukum tertinggi. Pemeliharaan akan kesucian begitu ditekankan dalam
hukum Islam, agar manusia (umat Islam) tidak terjerumus dalam perbuatan kehinaan atau

kedhaliman baik terhadap dirinya maupun terhadap orang lain. Pelanggaran sesuatu hal
dalam hukum (pidana) Islam tidak terlepas dari tujuan pokok hukum Islam (al maqashid asysyariah alkhams) yang merupakan hal esensial bagi terwujudnya ketentraman hidup
manusia. Adapun tujuan pokok hukum Islam tersebut adalah memelihara keselamatan agama,
jiwa, akal, harta dan keturunan. Salah satu tujuan pokok hukum Islam ialah memelihara
keselamatan (kesucian) harta. Harta merupakan rezeki dalam arti material, karena dalam
bahasa agama rezeki melipuu rezeki material dan rezeki spiritual.
Islam adalah agama yang sangat menjujung tinggi akan arti kesucian, sehingga
sangatlah rasional jika memelihara keselamatan (kesucian) harta termasuk menjadi tujuan
pokok hukum (pidana) Islam, karena mengingat harta mempunyai dua dimensi, yakni
dimensi halal dan dimensi haram. Perilaku korupsi adalah harta berdimensi haram karena
morupsi menghalalkan sesuatu yang diharamkan, dan korupsi merupakan wujud manusia
yang tidak memanfaatkan keluasan dalam memproleh rezeki Allah. Secara teoritis kedudukan
korupsi merupakan tindakan kriminal (jinayah atau jarimah) dimana bagi pelakunya diancam
dengan hukuman hudud (had) dan juga hukuman tazir.
Islam membagi Istilah Korupsi kedalam beberapa Dimensi. Yaitu risywah (suap),
saraqah (pencurian) al gasysy (penipuan) dan khianat (penghianatan). Yang pertama, korupsi
dalam dimensi suap (risywah) dalam pandangan hukum Islam merupakan perbuatan yang
tercela dan juga merupakan dosa besar serta Allah sangat melaknatnya. Islam tidak
menentukan apa hukuman bagi pelaku suap, akan tetapi menurut fuquha bagi pelaku suapmenyuap ancaman hukumanya berupa hukuman tazir (jarimah tazir) yang disesuaikan
dengan peran masing-masing dalam kejahatan. Suap adalah memberikan sesuatu kepada
orang penguasa atau pegawai dengan tujuan supaya yang menyuap mendapat keuntungan
dari itu atau dipermudahkan urusanya. Jika praktek suap itu dilakuakan dalam ruang lingkup
peradilan atau proses penegakkan hokum maka hal itu merupakan kejahatan yang berat atau
sejahat-jahatnya kejahatan. Abu Wail mengatakan bahwa apabila seorang hakim menerima
hadiah, maka berarti dia telah makan barang haram, dan apabila menerima suap, maka dia
sampa pada kufur.

Yang kedua, Korupsi dalam dimensi pencurian (saraqah). Saraqah (pencurian) menurut

etimologinya

berarti

melakukan

sesuatu

tindakan

terhadap

orang

lain

secara

tersembunyi.Sedangkan menurut Abdul Qadir Awdah pencurian didefinisikan sebagai suatu


indakan yang mengambil harta orang lain dalam keadaan sembunyi-sembunyi, artinya
mengambil tanpa sepengetahuan pemiliknya. Jadi sariqah adalah mengambil barang milik
orang lain dengan cara melawan hokum atau melawan hak dan tanpa sepengetahuan
pemiliknya. Seperti halnya korupsi yang mengambil harta dengan cara melawan hak dan
tanpa sepengetahuan pemiliknya (rakyat/masyarakat). Dalam syariah ancaman terhadap
pelaku sariqah (pencurian) ditentukan dengan jelas sebagaimana yang disebutkan dalam surat
Al Maidah: 38, Allah berfirman :

Artinya:
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, maka potomglah tangan keduanya
(sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.(QS. Al-Maidah:38)
Sehubungan dengan hukuman potong tangan dalam jarimah sariqah (pencurian)
terdapat perbedaan pendapat apakah juga berlaku terhadap korupsi karena berdasarkan hadist
Nabi SAW, yang bersabda:
Tidak dipotong tangan atas penghianatan harta (korupstor ), perampok dan pencopet.
Yang ketiga, Korupsi dalam dimensi penipuan (al gasysy). Secara tegas berdasarkan
sabda Rosulullah saw, Allah mengharamkan surga bagi orang-orang yang melakukan
penipuan. Terlebih penipuan itu dilakukan oleh seorang pemimpin yang mempecundangi
rakyatnya. Dari Abu Yala Maqal ibn Yasar berkata: Aku mendengar Rosulullah saw.
Bersabda : seorang hamba yang dianugerahi allah jabatan kepemimpinan, lalu dia menipu
rakyatnya; maka Allah mengharamkannya masuk surga. (H.R. Bukhari dan Muslim).

Yang keempat, Korupsi dalam dimensi khianat (penghianatan). Bahasa Agama tentang
korupsi yang sebenarnya adalah khianat (penghianatan), khianat berkecenderungan
mengabailak, menyalahgunakan, dan penyelewengan terhadap tugas, wewenang dan

kepercayaan yang amanahkan kepada dirinya. Khianat adalah pengingkaran atas amanah
yang dibebankan kepada dirnya atau mengirangi kewajiban-kewajiban yang seharusnya
dipenuhi. Perilaku khianat akan menyebabkan permusuhan diantara sesame karena orang
yang berkhianat selalu memutar-balikkan fakta, dan juga berakibat terjadinya destruksi baik
secara moral, social maupun secara politik-ekonomi. Islam melarang keras bagi orang-orang
yang beriman terhadap perbuatan khianat baik terhadapa Allah, Rasul serta terhadap
sesamanya. Dalam surat Al-Anfal: 27, Allah berfirman:

Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghianati Allah dan Rasul
(Muhammad) dan (juga) janganlah kamu menghianati amanat-amanat yang dipercayakan
kepadamu, sedang kamu mengetahuinya. (QS. Al-Anfal:27)
Dari apa yang telah dijelaskan diatas, bahwasanya korupsi (dengan berbagai nama)
dalam Islam digolongkan sebagai suatu perbuatan yang tercela dan pelakunya dikualifikasi
sebagai orang-orang yang munafik, dzalim, fasik dan kafir, serta merupakan dosa besar yang
ancaman hukumanya (selain had dan tazir) adalah neraka jahannam.
B. DALIL LARANGAN KORUPSI

Ada banyak Ayat dan Hadits, disamping yang sudah disebutkan di depan, yang menjelaskan
posisi atau hukum korupsi dalam pandangan Islam, diantaranya :Firman Allah SWT dalam
surat al-Baqarah [2] :188

Artinya :
Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu
dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim,

supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan
berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui (QS. Al-Baqarah : 188)
"Ayat diatas jelas jelas melarang kita untuk mengambil harta orang lain dengan
caracara yang tidak benar. Dan "larangan" dalam pengertian aslinya bermakna "haram", Dan
ke"haram"an ini menjadi lebih jelas, ketika Alloh menggunakan lafadh bilitsmi yang
artinya "dosa". Dari sini, jelas mengambil harta yang bukan miliknya termasuk diantaranya
korupsi adalah haram hukumnya, sama haramnya dengan pekerjaan berzina, membunuh
dan semacamnya.
F

irman Allah Ta'ala dalam surat an-Nisa' [4]:29

Artinya :
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka-sama suka
diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesunguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu ".(QS. An-Nisaa:29)
Seperti yang pertama, ayat ini pun melarang dengan tegas mengambil harta orang
dengan cara-cara tidak benar, bedanya ayat ini memberikan solusi bagaimana mengambil
harta orang lain tetapi dengan cara yang benar, salah satu di antaranya dengan melakukan jual
beli atau transaksi dagang yang terlandasi kerelaan diantara pembeli dan penjual. Yang
menarik, dalam ayat ini disebutkan dengan jelas larangan membunuh diri sendiri apalagi
membunuh orang lain setelah larangan memakan harta orang lain dengan cara batil,
sehingga paling tidak hukum dan hukuman orang yang memakan harta orang lain dengan
cara batil sama dengan hukum dan hukuman membunuh orang, kalau tidak saya katakan
"lebih berat", mengingat penyebutan larangan memakan harta orang lain dengan cara batil
didahulukan dari larangan membunuh.

Larangan untuk melakukan perbuatan korupsi terdapat dalam beberapa ayat AlQuran dan Hadits. Walaupun secara literer tidak terdapat langsung mengenai arti kata
korupsi, namun secara analogi ayat-ayat dan hadits-hadits tersebut melukiskan tentang
beberapa definisi korupsi sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Dalam pembahasan ini,
penulis hanya mengemukakan dalil-dalil tentang al-ghashab (penggunaan hak orang lain
tanpa izin), al-ghulul (penyelewengan harta negara), ar-risywah (suap), al-khianah (khianat),
dan al-haraabah (perampasan). Sedangkan as-sariqah (pencurian) sudah tercakup dari
keseluruhan definisi tersebut. As-sariqah (pencurian) menurut penulis hanya berlaku bagi
kasus pencurian di mana hasil curian telah dimanfaatkan oleh si pencuri tanpa dikembalikan
hasil curiannya sehingga berlaku hukum potong tangan dalam hukum Islam. Sedangkan bagi
koruptor, wajib hukumnya mengembalikan hasil usaha korupsinya secara utuh dan dikenakan
hukuman sesuai dengan syariat Islam berdasarkan putusan hakim.

Dalam surat al-Kahfi ayat 79, Allah berfirman:

Artinya :
Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku
bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang
merampas tiap-tiap bahtera dengan jalan ghasab. (QS. AL Kahfi: 79)
Kemudian Abu Dawud meriwayatkan sebuah hadits yang berasal dari Addiy bin
Umairah al-Kindy yang artinya,
Hai kaum muslim, siapa saja di antara kalian yang melakukan pekerjaan untuk kami
(menjadi pejabat/pegawai negara), kemudian menyembunyikan sesuatu terhadap kami
walaupun sekecil jarum, berarti ia telah berbuat curang. Lalu, kecurangannya itu akan ia
bawa pada hari kiamat nanti.
Selanjutnya masih terkait dengan hadits tersebut, sabda Nabi, Siapa saja yang
mengambil harta saudaranya (tanpa izin) dengan tangan kanannya (kekuasaan), ia akan
dimasukkan ke dalam neraka, dan diharamkan masuk surga. Seorang sahabat bertanya:

Wahai Rasul, bagaimana kalau hanya sedikit saja? Rasulullah menjawab: Walaupun
sekecil kayu siwak, (HR Muslim, an-Nasai, dan Imam Malik).
Ketiga, yang berkaitan dengan ar-risywah (suap). Mengenai hal ini terdapat dalam
surat al-Maidah ayat 42:

Artinya :
Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan
yang haram. Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), maka
putuskanlah (perkara itu) diantara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika kamu
berpaling dari mereka maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikitpun.
Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) diantara
mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.(QS. Al
Maidah : 42)
C. HUKUMAN TERHADAP KORUPTOR
Berdasarkan Al-Quran, perbuatan pidana yang dilakukan Oleh seseorang yang
bertanggung jawab diberi hukuman dengan hukuman tertentu sesuai keadilan menurut
Petunjuk Allah. Dasar dari pada Siapa yang berbuat pidana, perbuatan kejahatan apa yang
dapat dipidana dan bagaimana hukumanya. Perama didasarkan pada Keimanan Kepada Allah
dan Wahyu Allah dan Al-Quran dan kedua didasarkan kepada akal sehat manusia untuk
mendapatkan kemaslahatan didunia dan kebahagiaan di akherat. Islam sebagai sistim nilai
memegang peranan penting untuk memberikan pencerahan nilai, penyadaran moral,
perbaikan mental atau penyempurnaan akhlak, dengan memanfaatkan potensi baik setiap
indivisu, yakni hati nurani. Lebih jauh Islam tidak hanya komitmen dengan upaya pensalehan
individu, tetapi juga pensalehan social. Dalam pensalehan sosial ini, Islam mengembangkan

semangat untuk mengubah kemungkaran, semangat saling mengingatkan, dan saling


menasehati.
Sejatinya Islam mengembangkan semangat kontrol sosial. Dalam bentuk lain, Islam
juga mengembangkan bentuk peraturan perundangan yang tegas, sistim pengawasan
administratif danb managerial yang ketat. Oleh karena itu dalam memberikan dan
menetapkan hukuman bagi pelaku korupsi, seharusnya tidak pandang bulu, apakah ia seorang
pejabat ataukah ia orang kebanyakan. Tujuan hukuman tersebut adalah memberikan rasa jera
guna menghentikan kejahatan yang telah ia lakukan, sehingga dapat diciptakan rasa damai,
dan rukun dalam masyarakat. Korupsi merupakan perbuatan maksiat yang dilarang oleh
syara, meskipun nash tidak menjelaskan had atau kifaratnya. Akan tetapi pelaku korupsi
dikenakan hukuman tazir atas kemaksiatn tersebut. Perbuatan maksiat mempunyai beberapa
kemiripan, diantaranya, mengkhianati janji, menipu, sumpah palsu, makan harta riba dll.
Maka perbuatan termasuk ke dalam jarimah tazir yang penting. Hal ini sejalan dengan hadis
Nabi SAW berikut :

:
( )
Artinya :
Tidak

ada

(hukuman)

potong

tangan

bagi

pengkhianat,

perampok

dan

perampas/pencopet. (HR.Ahmad dan Tirmizy). Diriwayatkan oleh Jabir RA dari nabi SAW,
Nabi bersabda :
Sebagai aturan pokok, Islam membolehkan menjatuhkan hukuman tazir atas
perbuatan maksiat, pabila dikendaki oleh kepentingan umum, artinya perbuatan-perbuatan
dan keadaan-keadaan yang bisa dijatuhi hukuman tazir tidak mungkin ditentukan
hukumannya sebelumnya, sebab hal ini tergantung pada sifat sifat tertentu, dan pabila sifatsifat tersebut tidak ada maka perbuatan tersebut tidaklagi dilarang dan tidak dikenakan
hukuman. Sifat tersebut adalah merugikan kepentingan dan ketertiban umum. Dan apabila
perbuatan tersebut telah dibuktikan di depan Pengadilan maka hakim tidak boleh
membebaskannya, melainkan harus menjatuhkan hukuman tazir yang sesuai untuknya.
Penjatuhan hukuman tazir untuk kepentingan dan ketertiban umum ini, merujuk
kepada perbuatan Rasulullah SAW, dimana ia pernah menahan seorang laki-laki yang dituduh
mencuri

unta,

Setelah

diketahui/terbukti

ia

tidak

mencurinya,

maka

Rasulullah

membebaskannya. Syariat Islam tidak menentukan macam-macam hukuman untuk jarimah


tazir, tetapi hanya menyebutkan sekumpulan hukuman, dimulai dari hukuman yang
seringan-ringannya, seperti nasehat, ancaman, sampai pada hukuman yang seberat-beratnya.

Penerapannya sepenuhnya diserahkan kepada Hakim (Penguasa), dengan kewenangan


yang dimilikinya, ia dapat menetapkan hukuman yang sesuai dengan kadar kejahatan dan
keadaan pelakunya,9 dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan umum Islam dalam
menjatuhkan hukuman, yaitu :
1. Tujuan penjatuhan hukuman, yaitu menjaga dan memelihara kepentingan umum
2. Efektifitas hukuman dalam menghadapi korupsi tanpa harus merendahkan martabat
kemanusiaan pelakunya
3. Sepadan dengan kejahatan, sehingga teras adil
4. Tanpa pilih kasih, semua sama keudukannya di depan hukum.
Seorang Hakim dapat mempertimbangkan dan menganalisa berat dan ringanya
perbuatan yang dilakukan oleh pelaku korupsi. Kejahatan yang telah ditetapkan sanksi
hukumnya oleh nash, seorang Hakim tidak punya pilihan lain kecuali menerapkannya.
Meskipun sanksi hukum bagi pelaku korupsi tidak dijelaskan dalam nash secara tegas, namun
perampasan dan pengkhiatan dapat diqiyaskan sebagai penggelapan dan korupsi.
Filsafat Hukum Islam dalam bidang pidana, khususnya dalam perbuatan korupsi dan
juga pemberian hukumanya, seperti disebutkan diatas telah terbagi dalam beberapa dimensi.
Islam membagi Istilah Korupsi kedalam beberapa Dimensi. Yaitu risywah (suap), saraqah
(pencurian) al gasysy (penipuan) dan khianat (penghianatan). Yang pertama, korupsi dalam
dimensi suap (risywah) dalam pandangan hukum Islam merupakan perbuatan yang tercela
dan juga merupakan dosa besar serta Allah sangat melaknatnya. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa Hukuman terhadap Koruptor masuk kedalam hukuman Tazier. Hanya
dalam dimensi mencuri saja yang berupa hukuman hudud. Hukuman tazier adalah kejahatan
yang ancaman hukumanya tidak terdapat didalam Nash. Sehingga Diserahkan kepada
Penguasa Secara Penuh. Namun dalam menjatuhkan hukuman yang tidak terdapat didalam
nash harus didasarkan kepada pertimbangan akal sehat dan keyakinan hakim untuk
mewujudkan maslahat dan menimbulkan rasa keadilan.
Ulama sepakat bahwa tazier dapat diterapkan pada setiap maksiat pelanggaran yang
tidak ada hukum haddnya. Adanya Tazier dalam hukum Islam menjamin rasa keadilan
masyarakat untuk mewujudkan maslahat. Yang sifat dan bentuk hukuman tazir deserahkan
kepada kebbijaksanaan akal sehat, keyakinan dan rasa keadilan hakim yang didasarkan
keadilan masyarakat. Prisip prinsip dalam pidana Islam ada 3 macam, yaitu:
a.

Hukumanya hanya ditimpakan kepada orang yang berbuat jarimah atau pidana, tidak boleh
orang yang tidak berbbuat jahat dikenai hukuman. Hal ini sesuai dengan Firman Allah Surat
Al-anam, ayat 164

b. Adanya kesengajaan. Seseorang dihukum karena kejahatan apabila ada unsure kesengajaan
untuk berbuat itu, tidak ada kesengajaan berarti ada kelalaian, tersalah, atau keliru atau
terlupa. Walaupun tersalah, atau keliru atau terlupa ada hukumanya, namun bukan hukuman
karena kejahatan, melainkan untuk kemaslahatan dan bersifat mendidik. Hal ini sesuai
dengan firman Allah Surat An-Nisa ayat 92.
c.

Hukuman hanya dijatuhkan apabila kejahatan itu secara meyakinkan telah diperbuat.

D. CARA PEMBERANTASAN KORUPSI MENURUT ISLAM


Sesungguhnya terdapat niat cukup besar untuk mengatasi korupsi. Bahkan, telah
dibuat satu tap MPR khusus tentang pemberantasan KKN, tapi mengapa tidak kunjung
berhasil? Tampak nyata bahwa penanganan korupsi tidak dilakukan secara komprehensif,
sebagaimana ditunjukkan oleh syariat Islam berikut:
1. Sistem penggajian yang layak. Aparat pemerintah harus bekerja dengan sebaik-baiknya. Hal
itu sulit berjalan dengan baik bila gaji tidak mencukupi. Para birokrat tetaplah manusia biasa
yang mempunyai kebutuhan hidup serta kewajiban untuk mencukup nafkah keluarga. Agar
bisa bekerja dengan tenang dan tidak mudah tergoda berbuat curang, mereka harus diberikan
gaji dan tunjangan hidup lain yang layak. Berkenaan dengan pemenuhan kebutuhan hidup
aparat pemerintah, Rasul dalam hadis riwayat Abu Dawud berkata, Barang siapa yang
diserahi pekerjaan dalam keadaan tidak mempunyai rumah, akan disediakan rumah, jika
belum beristri hendaknya menikah, jika tidak mempunyai pembantu hendaknya ia mengambil
pelayan, jika tidak mempunyai hewan tunggangan (kendaraan) hendaknya diberi. Adapun
barang siapa yang mengambil selainnya, itulah kecurangan.
2.

Larangan menerima suap dan hadiah. Hadiah dan suap yang diberikan seseorang kepada
aparat pemerintah pasti mengandung maksud agar aparat itu bertindak menguntungkan
pemberi hadiah. Tentang suap Rasulullah berkata, Laknat Allah terhadap penyuap dan
penerima suap (HR Abu Dawud). Tentang hadiah kepada aparat pemerintah, Rasul berkata,
Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima
hakim adalah kufur (HR Imam Ahmad). Suap dan hadiah akan berpengaruh buruk pada
mental aparat pemerintah. Aparat bekerja tidak sebagaimana mestinya. Di bidang peradilan,
hukum ditegakkan secara tidak adil atau cenderung memenangkan pihak yang mampu
memberikan hadiah atau suap.

3.

Perhitungan kekayaan. Setelah adanya sikap tegas dan serius, penghitungan harta mereka
yang diduga terlibat korupsi merupakan langkah berikutnya. Menurut kesaksian anaknya,

yakni Abdullah bin Umar, Khalifah Umar pernah mengalkulasi harta kepala daerah Saad bin
Abi Waqash (Lihat Tarikhul Khulafa). Putranya ini juga tidak luput kena gebrakan bapaknya.
Ketika Umar melihat seekor unta gemuk milik anaknya di pasar, beliau menyitanya. Kenapa?
Umar tahu sendiri, unta anaknya itu gemuk karena digembalakan bersama-sama unta-unta
milik Baitul Mal di padang gembalaan terbaik. Ketika Umar menyita separuh kekayaan Abu
Bakrah, orang itu berkilah Aku tidak bekerja padamu . Jawab Khalifah, Benar, tapi
saudaramu yang pejabat Baitul Mal dan bagi hasil tanah di Ubullah meminjamkan harta
Baitul Mal padamu untuk modal bisnis ! (lihat Syahidul Aikral). Bahkan, Umar pun tidak
menyepelekan penggelapan meski sekedar pelana unta (Lihat Kitabul Amwal).
Apa yang dilakukan Umar merupakan contoh baik bagaimana harta para pejabat
dihitung, apalagi mereka yang disinyalir terlibat korupsi. Seluruh yayasan, perusahaanperusahaan, ataupun uang yang disimpan di bank-bank dalam dan luar negeri semuanya
diusut. Kalau perlu dibuat tim khusus yang independen untuk melakukannya, seperti halnya
Muhammad bin Maslamah pernah diberi tugas khusus oleh Umar untuk hal tersebut. Baru
setelah itu, dibuktikan lewat pengadilan.
Di dalam buku Ahkamul Bayyinat, Syekh Taqiyyuddin menyatakan bahwa
pembuktian itu bisa berupa pengakuan dari si pelaku, sumpah, kesaksian, dan dokumentasi
tertulis. Kaitannya dengan dokumentasi tertulis ini Allah Swt. menegaskan di dalam alQuran:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian bermuamalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kalian menuliskannya. Hendaklah penulis di antara kalian
menuliskannya dengan benar. Janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah
telah mengajarkannya (QS al-Baqarah [2]: 282).
Bila dicermati, penulisan dokumen ini sebenarnya merupakan bukti tentang siapa
yang berhak dan apa yang terjadi. Oleh karena kata maka tuliskanlah (faktubuh) dalam ayat
tersebut umum, maka mencakup semua muamalah dan semua dokumen termasuk perjanjian,
katabelece, keputusan pemerintah yang dibuatnya, dan lain-lain.
Di samping itu, pembuktian pun dilakukan dengan pembuktian terbalik. Bila semua
bukti yang diajukan tidak diterima oleh terdakwa, maka terdakwa itu harus membuktikan dari
mana harta itu diperoleh dan harus pula menunjukkan bahwa hartanya itu bukan hasil
korupsi. Hal ini bisa dilihat dari apa yang dicontohkan oleh Umar bin Khaththab. Ketika
Umar menyita separuh kekayaan Abu Bakrah, orang itu berkilah, Aku tidak bekerja padamu
. Jawab Khalifah, Benar, tapi saudaramu yang pejabat Baitul Mal dan bagi hasil tanah di
Ubullah meminjamkan harta Baitul Mal padamu untuk modal bisnis ! Setelah itu, Abu

Bakrah tidak dapat membuktikan bahwa dakwaan Umar tersebut salah. Ia tidak dapat
menunjukkan bahwa hartanya itu bukan hasil nepotisme. Akhirnya, Umar pun tetap pada
putusannya (Lihat Syahidul Aikral). Cara inilah yang sekarang dikenal dengan istilah
pembuktian terbalik yang sebenarnya sangat efektif mencegah aparat berbuat curang. Tapi
anehnya cara ini ditentang untuk dimasukkan dalam perundang-undangan.
4.

Teladan pemimpin. Khalifah Umar menyita sendiri seekor unta gemuk milik putranya,
Abdullah bin Umar, karena kedapatan digembalakan bersama di padang rumput milik Baitul
Mal Negara. Hal ini dinilai Umar sebagai bentuk penyalahgunaan fasilitas negara. Demi
menjaga agar tidak mencium bau secara tidak hak, Khalifah Umar bin Abdul Azis sampai
menutup hidungnya saat membagi minyak kesturi kepada rakyat. Dengan teladan pemimpin,
tindak penyimpangan akan mudah terdeteksi sedari dini. Penyidikan dan penyelidikan tindak
korupsi pun tidak sulit dilakukan. Tapi bagaimana bila justru korupsi dilakukan oleh para
pemimpin? Semua upaya apa pun menjadi tidak ada artinya sama sekali.

5. Hukuman setimpal. Pada galibnya, orang akan takut menerima risiko yang akan mencelakaan
dirinya. Hukuman dalam Islam memang berfungsi sebagai zawajir (pencegah). Artinya,
dengan hukuman setimpal atas koruptor, diharapkan orang akan berpikir sekian kali untuk
melakukan kejahatan itu. Dalam Islam, tindak korupsi bukanlah seperti pencurian biasa yang
pelakunya dipotong tangannya. Perampas, koruptor, dan pengkhianat tidak dikenakan
hukuman potong tangan (HR Ahmad, Ashabus Sunan, dan Ibnu Hibban). Akan tetapi,
termasuk jarmah (kejahatan) yang akan terkenai tazir. Bentuknya bisa berupa hukuman
tasyhir (berupa pewartaan atas diri koruptor dulu diarak keliling kota, sekarang bisa lewat
media massa). Berkaitan dengan hal ini, Zaid bin Khalid al-Juhaini meriwayatkan Rasulullah
pernah memerintahkan para sahabat untuk menshalati seorang rekan mereka yang gugur
dalam pertempuran Hunain. Mereka, para sahabat, tentu saja heran, karena seharusnya
seorang yang syahid tidak disembahyangi. Rasul kemudian menjelaskan, Sahabatmu ini
telah berbuat curang di jalan Allah. Ketika Zaid membongkar perbekalan almarhum, ia
menemukan ghanimah beberapa permata milik kaum yahudi seharga hampir 2 dirham (lihat
al- Muwwatha ). Atau, bisa juga sampai hukuman kurungan. Menurut Abdurrahman al-Maliki
dalam kitab Nidzamul Uqubat fil Islam (hlm. 190), hukuman kurungan koruptor mulai 6
bulan sampai 5 tahun. Namun, masih dipertimbangkan banyaknya uang yang dikorup. Bila
mencapai jumlah yang membahayakan ekonomi negara, koruptor dapat dijatuhi hukuman
mati.
6.

Kekayaan keluarga pejabat yang diperoleh melalui penyalahgunaan kekuasaan diputihkan


oleh kepala negara (Khalifah) yang baru. Caranya, kepala negara menghitung kekayaan para

pejabat lama lalu dibandingkan dengan harta yang mungkin diperolehnya secara resmi. Bila
dapat dibuktikan dan ternyata terdapat kenaikan yang tidak wajar, seperti dilakukan Umar,
kepala negara memerintahkan agar menyerahkan semua kelebihan itu kepada yang berhak
menerimanya. Bila harta kekayaan itu diketahui siapa pemiliknya yang sah, maka harta
tersebutkatakanlah tanahdikembalikan kepada pemiliknya. Sementara itu, apabila tidak
jelas siapa pemiliknya yang sah, harta itu dikembalikan kepada kas negara (Baitul Mal).
Namun, bila sulit dibuktikan, seperti disebut di dalam buku Tarikhul Khulafa, Khalifah Umar
bin Khaththab membagi dua kekayaan mereka bila terdapat kelebihan dari jumlah semula,
yang separuh diambil untuk diserahkan ke Baitul Mal dan separuh lagi diberikan kepada
mereka.
7.

Pengawasan masyarakat. Masyarakat dapat berperan menyuburkan atau menghilangkan


korupsi. Masyarakat yang bermental instan akan cenderung menempuh jalan pintas dalam
berurusan dengan aparat dengan tak segan memberi suap dan hadiah. Adapun masyarakat
yang mulia akan turut mengawasi jalannya pemerintahan dan menolak aparat yang
mengajaknya berbuat menyimpang. Demi menumbuhkan keberanian rakyat mengoreksi
aparat, Khalifah Umar di awal pemerintahannya menyatakan, Apabila kalian melihatku
menyimpang dari jalan Islam, maka luruskan aku walaupun dengan pedang. Dengan
pengawasan masyarakat, korupsi menjadi sangat sulit dilakukan. Bila ditambah dengan
teladan pemimpin, hukuman yang setimpal, larangan pemberian suap dan hadiah, serta
dengan pembuktian terbalik dan gaji yang mencukupi, insya Allah korupsi dapat diatasi
dengan tuntas.
Inilah pentingnya seruan penerapan syariat Islam guna menyelesaikan segenap
problem yang dihadapi negeri ini, termasuk dalam pemberantasan korupsi. Karena itu,
selamatkan Indonesia dari keserakahan para koruptor.

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Tidak ada satu dalil pun yang membenarkan perilaku korupsi dalam Islam. Bahkan
Islam melarang dengan tegas terhadap tindakan korupsi karena di dalamnya mengandung
unsur pencurian, penggunaan hak orang lain tanpa izin / penyalahgunaan jabatan,
penyelewengan harta negara, suap / sogok, pengkhianatan, dan perampasan / perampokan.
Islam memandang korupsi sebagai perbuatan yang dapat merugikan masyarakat,
mengganggu kepentingan publik, dan menimbulkan teror terhadap kenyamanan dan
ketertiban masyarakat. Hukum Islam memberikan sanksi yang tegas terhadap perilaku
korupsi seperti hukuman terhadap jiwa, hukuman terhadap badan, hukuman terhadap harta
benda, dan hukuman terhadap kemerdekaan seseorang.
Dalam upaya meminimalisir terjadinya korupsi, filosofi Islam menganjurkan agar
dilakukan pencegahan secepat mungkin. Sebagaimana adagium mencegah suatu penyakit
lebih baik daripada mengobatinya, begitu juga dengan korupsi yang lebih baik dicegah
daripada diberantas secara tuntas. Untuk itu diperlukan langkah dan strategi yang tepat, salah
satunya adalah dengan cara meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengawasan dan
menanamkan pendidikan anti korupsi secara dini bagi generasi penerus bangsa.
DAFTAR PUSTAKA
Munawar Fuad Noeh, Islam dan Gerakan Moral Anti Korupsi, (Jakarta, Zikrul Hakim,
1997),hal.154-155
A.Hanafi, Azas-azas Hukum Pidana Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1993), hal.69
Wahab Afif, Hukum Pidana Islam, Banten ( Yayasan Ulumul Quran, 1988), hal. 214
http://thamrin.wordpress.com/2006/07/14/korupsi-dalam-dimensi-sejarah-indonesia-bagiankeempat-penutup/
Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta, Bumi Aksara, 1992), h.87
http://ibrahim-muhlis.blogspot.com/2011/02/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html
http://mgtabersaudara.blogspot.com/2011/06/ketegasan-syariat-islam-dalam.html
http://arengiff.blogspot.com/2011/01/korupsi-dalam-islam.html
http://www.fahmina.or.id/artikel-a-berita/mutiara-arsip/630-korupsi-pandangan-dan-sikapislam.html
http://bagindams.blogspot.com/2009/11/korupsi-dalam-perspektif-islam_23.html
http://ganimeda.wordpress.com/2010/12/07/perspektif-islam-terhadap-korupsi/
http://hukum.kompasiana.com/2012/04/23/filsafat-pemidanaan-islam-dalam-pemberian-hukumanbagi-koruptor/

http://zulchizar.wordpress.com/2010/07/10/cara-pemberantasan-korupsi-dalam-perspektif-islam/
http://alquran.babinrohis.esdm.go.id/

KORUPSI DALAM PANDANGAN ISLAM


Mata Kuliah
Pendidikan Anti Korupsi
Nama dosen :
Waluyo Erry Wahyudi M.Pd.I
Disusun oleh :
Muzannifi

1311010295

Purwendi

1311010276

Jurusan/Semester/Kelas : PAI/VI/F

FAKULTAS TARBIYAH & KEGURUAN


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG
2015/2016

KATA PENGANTAR
Assalamualaikum.wr.wb
Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayah-Nya
yang dengan ini kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah tanpa ada halangan apapun.
Shalawat beriring salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi besar Muhammad
SAW. Beserta sahabat-sahabat dan para pengikutnya, yang telah berjuang untuk menegakkan
ajaran islam .
Makalah yang kami susun ini tentang Korupsi Dalam Pandangan Islam. Dalam
penyajian makalah ini mungkin masih banyak kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran
yang sifatnya membangun sangat kami harapkan.
Wassalamualaikum wr.wb

Bandar Lampung,

20 Maret 2016

Penulis,

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................i
KATA PENGANTAR .................. ii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... iii
BAB 1 PENDAHULUAN .....................................................................................1
1.1 Latar Belakang Masalah ....................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah .............................................................................................1


1.3 Tujuan Masalah .................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN ...................3
2.1 Korupsi Dalam Pandangan Isla......................................................................... 3
2.2 Ayat dan Hadits Tentang Korupsi .....................................................................4
2.3 Hukum dan Syariat Tentang Korupsi .................................................................
2.4 Pintu-pintu Korupsi.............................................................................................
2.5 Bahaya Ghulul (Korupsi)....................................................................................
BAB III PENUTUP .................10
3.1 Kesimpulan .................................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Terdapat banyak ungkapan yang dapat di pakai untuk menggambarkan
pengertian korupsi, meskipun tidak seutuhnya benar. Akan tetapi tidak terlalu
menjauh dari hakikat dan pengertian korupsi itu sendiri. Ada sebagian yang
menggunakan istilah ikhtilas untuk menyebutkan prilaku koruptor, meskipun dalam
kamus di temukan arti aslinya yaitu mencopet atau merampas harta orang lain.
Realitanya praktikal korupsi yang selama ini terjadi ialah berkaitan dengan
pemerintahan sebuah Negara atau public office, sebab esensi korupsi merupakan
prilaku yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku di pemerintahan yang
terletak pada penggunaan kekuasaan dan wewenang yang terkadung dalam suatu
jabatan di sau pihak dan di pihak lain terdapat unsure perolehan atau keuntungan,
baik berupa uang atau lainnya. Sehingga tidak salah apabila ada yang memberikan
definisi korupsi dengan ungkapan Akhdul Amwal Hukumah Bil Bathil apapun
istilahnya, korupsi laksana dunia hantu dalam kehidupan manusia. Mengapa saya

mengungkapkan dunia hantu, sebab dunia hantu merupakan dunia yang tidak tampak
wujut jasadnya, akan tetapi hanya dapat dirasakan dampaknya. Dunia hantu
merupakan sebuah ilusi-fantasi yang mengimplikasikan terhadap dunia ketidak
jujuran, kebohongan, dan hilangnya sebuah kepercayaan.
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana korupsi menurut pandangan Islam?
2. Bagaimana hukum dan syariat korupsi?
3. Apa saja pintu-pintu korupsi?
4. Apa saja bahaya korupsi?
BAB II
PEMAHASAN
KORUPSI DALAM PANDANGAN ISLAM
A. Pengertian Korupsi Menurut Islam
Ajaran hukum Islam yang sangat menjunjung tinggi pemeliharaan akan
kesucian baik lahir maupun bathin, menghendaki agar manusia (umat islam) dalam
melakukan sesuatu harus sesuai fitrahnya, yakni apa yang telah dtentukan dalam alQuran dan As Sunnah yang merupakan sumber hukum tertinggi. Pemeliharaan akan
kesucian begitu ditekankan dalam hukum Islam, agar manusia (umat Islam) tidak
terjerumus dalam perbuatan kehinaan atau kedhaliman baik terhadap dirinya maupun
terhadap orang lain. Pelanggaran sesuatu hal dalam hukum (pidana) Islam tidak
terlepas dari tujuan pokok hukum Islam (al maqashid asy-syariah alkhams) yang
merupakan hal esensial bagi terwujudnya ketentraman hidup manusia. Adapun tujuan
pokok hukum Islam tersebut adalah memelihara keselamatan agama, jiwa, akal, harta
dan keturunan. Salah satu tujuan pokok hukum Islam ialah memelihara keselamatan
(kesucian) harta. Harta merupakan rezeki dalam arti material, karena dalam bahasa
agama rezeki meliputi rezeki material dan rezeki spiritual.
Islam adalah agama yang sangat menjujung tinggi akan arti kesucian, sehingga
sangatlah rasional jika memelihara keselamatan (kesucian) harta termasuk menjadi
tujuan pokok hukum (pidana) Islam, karena mengingat harta mempunyai dua dimensi,

yakni dimensi halal dan dimensi haram. Perilaku korupsi adalah harta berdimensi
haram karena morupsi menghalalkan sesuatu yang diharamkan, dan korupsi
merupakan wujud manusia yang tidak memanfaatkan keluasan dalam memproleh
rezeki Allah. Secara teoritis kedudukan korupsi merupakan tindakan kriminal (jinayah
atau jarimah) dimana bagi pelakunya diancam dengan hukuman hudud (had) dan juga
hukuman tazir.
Islam membagi Istilah Korupsi kedalam beberapa Dimensi. Yaitu risywah
(suap), saraqah (pencurian) al gasysy (penipuan) dan khianat (penghianatan). Yang
pertama, korupsi dalam dimensi suap (risywah) dalam pandangan hukum Islam
merupakan perbuatan yang tercela dan juga merupakan dosa besar serta Allah sangat
melaknatnya. Islam tidak menentukan apa hukuman bagi pelaku suap, akan tetapi
menurut fuquha bagi pelaku suap-menyuap ancaman hukumanya berupa hukuman
tazir (jarimah tazir) yang disesuaikan dengan peran masing-masing dalam kejahatan.
Suap adalah memberikan sesuatu kepada orang penguasa atau pegawai dengan tujuan
supaya yang menyuap mendapat keuntungan dari itu atau dipermudahkan urusanya.
Yang kedua, Korupsi dalam dimensi pencurian (saraqah). Saraqah (pencurian)
menurut etimologinya berarti melakukan sesuatu tindakan terhadap orang lain secara
tersembunyi.Sedangkan menurut Abdul Qadir Awdah pencurian didefinisikan sebagai
suatu indakan yang mengambil harta orang lain dalam keadaan sembunyi-sembunyi,
artinya mengambil tanpa sepengetahuan pemiliknya. Jadi sariqah adalah mengambil
barang milik orang lain dengan cara melawan hokum atau melawan hak dan tanpa
sepengetahuan pemiliknya.

B. Ayat dan Hadits Tentang Korupsi


Korupsi dalam islam terdapat pengungkapan Ghulul dan mengistilahkan
Akhdul Amwal Bil Bathil, sebagaimana disebutkan oleh al-quran dalam surat albaqarah : 188.


Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu
dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada
hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu
dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.

Dalam hadits Ubadah bin ash Shamit radhiyallhu anhu, bahwa Nabi shallallhu
alaihi wa sallam bersabda : ( )
(karena) sesungguhnya ghulul (korupsi) itu adalah kehinaan, aib dan api neraka bagi
pelakunya
Sedangkan dalam al-Hadits lebih konkret lagi, dinyatakan bahwa Rasulullah SAW
bersabda: Allah melaknati penyuap dan penerima suap dalam proses hukum. Dalam
redaksi lain, dinyatakan: Rasulullah SAW melaknati penyuap, penerima suap, dan
perantara dari keduanya. Kemudian dalam kesempatan yang berbeda, Rasulullah SAW
bersabda: penyuap dan penerima suap itu masuk ke neraka.
Dari Adiy bin Amirah Al Kindi Radhiyallahu 'anhu berkata : Aku pernah
mendengar

Nabi

Shallallahu

'alaihi

wa

sallam

bersabda

yang

artinya:

Barangsiapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), lalu
dia menyembunyikan dari kami sebatang jarum atau lebih dari itu, maka itu adalah
ghulul (belenggu, harta korupsi) yang akan dia bawa pada hari kiamat. (Adiy) berkata :
Maka ada seorang lelaki hitam dari Anshar berdiri menghadap Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam, seolah-olah aku melihatnya, lalu dia berkata,"Wahai Rasulullah, copotlah
jabatanku yang engkau tugaskan." Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya,"Ada apa
gerangan? Dia menjawab,"Aku mendengar engkau berkata demikian dan demikian
(maksudnya perkataan di atas, Pen.)." Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam pun
berkata,"Aku katakan sekarang, (bahwa) barangsiapa di antara kalian yang kami
tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), maka hendaklah dia membawa (seluruh
hasilnya), sedikit maupun banyak. Kemudian, apa yang diberikan kepadanya, maka dia
(boleh) mengambilnya. Sedangkan apa yang dilarang, maka tidak boleh.

C. Hukum dan Syariat Tentang Korupsi


Sangat jelas, perbuatan korupsi dilarang oleh syariat, baik dalam Kitabullah (al
Qur`an) maupun hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang shahih.
Di dalam Kitabullah, di antaranya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

"Tidak mungkin seorang nabi berkhianat (dalam urusan harta rampasan perang).

Barangsiapa yang berkhianat (dalam urusan rampasan perang itu), maka pada hari
Kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu " [Ali Imran: 161].
Dalam ayat tersebut Allah SWT mengeluarkan pernyataan bahwa, semua nabi
Allah terbebas dari sifat khianat, di antaranya dalam urusan rampasan perang.
Menurut penjelasan Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma, ayat ini diturunkan
pada saat (setelah) perang Badar, orang-orang kehilangan sepotong kain tebal hasil
rampasan perang. Lalu sebagian mereka, yakni kaum munafik mengatakan, bahwa
mungkin Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengambilnya. Maka Allah
Subhanahu wa Ta'ala menurunkan ayat ini untuk menunjukkan jika Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam terbebas dari tuduhan tersebut.
Ibnu Katsir menambahkan, pernyataan dalam ayat tersebut merupakan
pensucian diri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dari segala bentuk khianat
dalam penunaian amanah, pembagian rampasan perang, maupun dalam urusan
lainnya. Hal itu, karena berkhianat dalam urusan apapun merupakan perbuatan dosa
besar. Semua nabi Allah mashum (terjaga) dari perbuatan seperti itu.
Mengenai besarnya dosa perbuatan ini, dapat kita pahami dari ancaman yang
terdapat dalam ayat di atas, yaitu ketika Allah mengatakan : Barangsiapa yang
berkhianat (dalam urusan rampasan perang itu), maka pada hari Kiamat ia akan
datang membawa apa yang dikhianatkannya itu
Ibnu Katsir mengatakan,"Di dalamnya terdapat ancaman yang amat keras.
Selain itu, perbuatan korupsi (ghulul) ini termasuk dalam kategori memakan
harta manusia dengan cara batil yang diharamkan Allah Subhanahu wa Ta'ala, sesuai
yang telah Allah firmankan dalam surat al Baqarah/2:188.
Allah Juga firman:

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta


sesamamu dengan jalan yang batil" [an Nisaa`/4 : 29].
Adapun larangan berbuat ghulul (korupsi) yang datang dari Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam, maka hadits-hadits yang menunjukkan larangan ini sangat banyak,
di antaranya hadits dari Adiy bin Amirah Radhiyallahu 'anhu dan hadits Buraidah
Radhiyallahu 'anhu di atas.

Dalam sejarah, baik para sahabat Nabi, generasi sesudahnya (tabi'in), maupun
para ulama periode sesudahnya, semuanya bersepakat tanpa khilaf atas keharaman
korupsi, baik bagi penyuap, penerima suap maupun perantaranya.

D. Pintu-pintu Korupsi
Peluang melakukan korupsi ada di setiap tempat, pekerjaan ataupun tugas,
terutama yang diistilahkan dengan tempat-tempat basah. Untuk itu, setiap muslim
harus selalu berhati-hati, manakala mendapatkan tugas-tugas. Dengan mengetahui
pintu-pintu ini, semoga kita selalu waspada dan tidak tergoda, sehingga nantinya
mampu menjaga amanah yang menjadi tanggung jawab kita.
Berikut adalah di antara pintu-pintu korupsi.
1.

Saat pengumpulan harta rampasan perang, sebelum harta tersebut dibagikan.


Nabi Saw. menceritakan :
"Ada seorang nabi berperang, lalu ia berkata kepada kaumnya : "Tidak boleh
mengikutiku (berperang) seorang yang telah menikahi wanita, sementara ia ingin
menggaulinya, dan ia belum melakukannya; tidak pula seseorang yang yang telah
membangun rumah, sementara ia belum memasang atapnya; tidak pula seseorang yang
telah membeli kambing atau unta betina yang sedang bunting, sementara ia menunggu
(mengharapkan)

peranakannya".

Lalu nabi itu pun berperang dan ketika sudah dekat negeri (yang akan diperangi) tiba
atau hampir tiba shalat Ashar, ia berkata kepada matahari : "Sesungguhnya kamu
diperintah, dan aku pun diperintah. Ya Allah, tahanlah matahari ini untuk kami,"
maka tertahanlah matahari itu hingga Allah membukakan kemenangan baginya. Lalu
ia mengumpulkan harta rampasan perang. Kemudian datang api untuk melahapnya,
tetapi api tersebut tidak dapat melahapnya. Dia (nabi itu) pun berseru (kepada
kaumnya): "Sesungguhnya di antara kalian ada (yang berbuat) ghulul (mengambil
harta rampasan perang secara diam-diam). Maka, hendaklah ada satu orang dari
setiap kabilah bersumpah (berbaiat) kepadaku," kemudian ada tangan seseorang
menempel ke tangannya (berbaiat kepada nabi itu), lalu ia (nabi itu) berkata,"Di
antara kalian ada (yang berbuat) ghulul, maka hendaknya kabilahmu bersumpah

(berbaiat) kepadaku," kemudian ada tangan dari dua atau tiga orang menempel ke
tangannya (berbaiat kepada nabi itu), lalu ia (nabi itu) berkata,"Di antara kalian ada
(yang berbuat) ghulul," maka mereka datang membawa emas sebesar kepala sapi,
kemudian mereka meletakkannya, lalu datanglah api dan melahapnya. Kemudian
Allah menghalalkan harta rampasan perang bagi kita (karena) Allah melihat
kelemahan kita.
2.

Ketika pengumpulan zakat maal (harta).


Seseorang yang diberi tugas mengumpulkan zakat maal oleh seorang pemimpin
negeri, jika tidak jujur, sangat mungkin ia mengambil sesuatu dari hasil (zakat maal)
yang telah dikumpulkannya, dan tidak menyerahkannya kepada pemimpin yang
menugaskannya. Atau dia mengaku yang dia ambil adalah sesuatu yang dihadiahkan
kepadanya. Peristiwa semacam ini pernah terjadi pada masa Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam, dan beliau memperingatkan dengan keras kepada petugas yang
mendapat amanah mengumpulkan zakat maal tersebut dengan mengatakan :
(())
"Tidakkah kamu duduk saja di rumah bapak-ibumu, lalu lihatlah, apakah kamu akan
diberi hadiah (oleh orang lain) atau tidak?"
Kemudian pada malam harinya selepas shalat Isya Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam berceramah (untuk memperingatkan perbuatan ghulul kepada khalayak). Di
antara isi penjelasan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan :
((
))
"(Maka) Demi (Allah), yang jiwa Muhammad berada di tanganNya. Tidaklah seseorang
dari kalian mengambil (mengkorupsi) sesuatu daripadanya (harta zakat), melainkan dia
akan datang pada hari Kiamat membawanya di lehernya. Jika (yang dia ambil) seekor
unta, maka (unta itu) bersuara. Jika (yang dia ambil) seekor sapi, maka (sapi itu pun)
bersuara. Atau jika (yang dia ambil) seekor kambing, maka (kambing itu pun) bersuara
"

3.

Hadiah untuk petugas, dengan tanpa sepengetahuan dan izin pemimpin atau yang
menugaskannya.
Dalam hal ini, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda yang
artinya:"Hadiah untuk para petugas adalah ghulul".

Setiap tugas apapun, terutama yang berurusan dengan harta, seperti seorang yang
mendapat amanah memegang perbendaharaan negara, penjaga baitul maal atau yang
lainnya, terdapat peluang bagi seseorang yang berniat buruk untuk melakukan ghulul
(korupsi), padahal dia sudah memperoleh upah yang telah ditetapkan untuknya. Telah
disebutkan dalam hadits yang telah lalu, yaitu sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam, yang artinya : Barangsiapa yang kami tugaskan dengan suatu pekerjaan, lalu
kami tetapkan imbalan (gaji) untuknya, maka apa yang dia ambil di luar itu adalah
harta ghulul (korupsi).

E. Bahaya Ghulul (Korupsi)


Tidaklah Allah melarang sesuatu, melainkan di balik itu terkandung keburukan
dan mudharat (bahaya) bagi pelakunya. Begitu pula dengan perbuatan korupsi
(ghulul), tidak luput dari keburukan dan mudharat tersebut. Diantaranya :
1. Pelaku ghulul (korupsi) akan dibelenggu, atau ia akan membawa hasil korupsinya
pada hari Kiamat, sebagaimana ditunjukkan dalam ayat ke-161 surat Ali Imran dan
hadits Adiy bin Amirah Radhiyallahu 'anhu di atas. Dan dalam hadits Abu Humaid as
Saidi Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
((...
...))
"Demi (Allah), yang jiwaku berada di tanganNya. Tidaklah seseorang mengambil sesuatu
daripadanya (harta zakat), melainkan dia akan datang pada hari Kiamat membawanya di
lehernya. Jjika (yang dia ambil) seekor unta, maka (unta itu) bersuara. Jika (yang dia
ambil) seekor sapi, maka (sapi itu pun) bersuara. Atau jika (yang dia ambil) seekor
kambing,

maka

(kambing

itu

pun)

bersuara

2. Perbuatan korupsi menjadi penyebab kehinaan dan siksa api neraka pada hari
Kiamat.
Dalam hadits Ubadah bin ash Shamit Radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda yang artinya:
"(karena) sesungguhnya ghulul (korupsi) itu adalah kehinaan, aib dan api
neraka bagi pelakunya".

3.Orang yang mati dalam keadaan membawa harta ghulul (korupsi), ia tidak mendapat
jaminan atau terhalang masuk surga. Hal itu dapat dipahami dari sabda Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam :
(())
"Barangsiapa berpisah ruh dari jasadnya (mati) dalam keadaan terbebas dari tiga
perkara, maka ia (dijamin) masuk surga. Yaitu kesombongan, ghulul (korupsi) dan
hutang".
4. Allah tidak menerima shadaqah seseorang dari harta ghulul (korupsi), sebagaimana
dalam sabda Nabi Saw yang artinya:
"Shalat tidak akan diterima tanpa bersuci, dan shadaqah tidak diterima dari harta ghulul
(korupsi)".
5. Harta hasil korupsi adalah haram, sehingga ia menjadi salah satu penyebab yang
dapat menghalangi terkabulnya doa, sebagaimana dipahami dari sabda Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam :
((


))
"Wahai manusia, sesungguhnya Allah itu baik, tidak menerima kecuali yang baik. Dan
sesungguhnya Allah memerintahkan orang-orang yang beriman dengan apa yang Allah
perintahkan kepada para rasul. Allah berfirman,"Wahai para rasul, makanlah dari yang
baik-baik dan kerjakanlah amal shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang
kalian kerjakan". Dia (Allah) juga berfirman: "Wahai orang-orang yang beriman,
makanlah yang baik-baik dari yang Kami rizkikan kepada kamu," kemudian beliau
(Rasulullah) Shallallahu 'alaihi wa sallam menceritakan seseorang yang lama bersafar,
berpakaian kusut dan berdebu. Dia menengadahkan tangannya ke langit (seraya
berdoa): "Ya Rabb, ya Rabb," tetapi makanannya haram, minumannya haram,
pakaiannya haram dan dirinya dipenuhi dengan sesuatu yang haram. Maka, bagaimana
doanya akan dikabulkan?".

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Korupsi adalah sebuah kata yang mempunyai banyak arti. Arti kata korupsi
secara harfiah ialah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap,
tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina
atau memfitnah.1 Korupsi dalam Undang-Undang RI No. 31 Tahun 1999 yang diubah
dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, bahwa yang dimaksud dengan korupsi adalah usaha memperkaya diri atau
orang lain atau suatu korporasi dengan cara melawan hukum yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara. Dalam undang-undang korupsi yang
berlaku di Malaysia korupsi diartikan sebagai reswah yang dalam bahasa Arab
bermakna suap.
Merangkai kata untuk perubahan memang mudah. Namun, melaksanakan
rangkaian kata dalam bentuk gerakan terkadang teramat sulit. Dibutuhkan kecerdasan
dan keberanian untuk mendobrak dan merobohkan pilar-pilar korupsi yang menjadi
penghambat utama lambatnya pembangunan ekonomi nan paripurna di Indonesia.
Korupsi yang telah terlalu lama menjadi wabah yang tidak pernah kunjung selesai,
karena pembunuhan terhadap wabah tersebut tidak pernah tepat sasaran ibarat yang
sakit kepala, kok yang diobati tangan . Pemberantasan korupsi seakan hanya menjadi
komoditas politik, bahan retorika ampuh menarik simpati. Oleh sebab itu dibutuhkan
kecerdasan masyarakat sipil untuk mengawasi dan membuat keputusan politik
mencegah makin mewabahnya penyakit kotor korupsi di Indonesia. Tidak mudah
memang.
Sebagai pembawa amanat Allah, amanat keadilan dan kemaslahatan segenap
rakyat, pemerintah berkewajiban untuk menegakkan ketertiban umum, melindungi

keamanan seluruh rakyat, dan menegakkan keadilan begi kemaslahatan semua pihak,
tanpa membedakan warna kulit, suku bangsa, golongan maupun keyakinan agamanya.

DAFTAR PUSTAKA

Munawar Fuad Noeh, Islam dan Gerakan Moral Anti Korupsi, Jakarta, Zikrul Hakim, 1997.
Sadi Abu Jaib, Al-Qamus Al-Fiqhi, Beirut: Dar al-Fikr, 1998.
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jilid. 3, Beirut: Dar al-Fikr,1983.
Wahab Afif, Hukum Pidana Islam, Banten ,Yayasan Ulumul Quran, 1988.
Saleh, Wantjik. 1978. Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia . Jakarta : Ghalia Indonesia
http://kumpulanmakalah-cncnets.blogspot.com/2012/02/makalah-korupsi.html

Dibuat: Jumat, 31 Oktober 2014 09:17


Ditulis oleh BDPim Magelang
Oleh:
Suradi
Widyaiswara Madya Balai Diklat Kepemimpinan Magelang
Abstrak:
Jenis tindak pidana (jarimah) dalam fiqh jinayah dari unsur-unsur dan definisi yang mendekati
pengertian korupsi menurut hukum Islam adalah sebagai berikut: Ghulul (Penggelapan), Risywah
(Penyuapan), Ghasab (Mengambil Paksa Hak/Harta Orang Lain), Khianat, Sariqah (Pencurian),
Hirabah (Perampokan), Al-Maks (Pungutan Liar), Al-Ikhtilas (Pencopetan), dan Al-Ihtihab
(Perampasan).
Kata kunci: jarimah, fiqh jinayah dan korupsi

A. Tanggung jawab Dalam Pemberantasan Korupsi


Sungguh sangat menyedihkan bahwa bangsa Indonesia mayoritas beragama
namun sampai dengan saat ini, Indonesia masih menyandang jawara dalam hal
korupsi. Tulisan ini bermaksud untuk mengingatkan kepada kita semua bahwa
korupsi dilarang dalam ajaran agama apa pun termasuk agama Islam. Setelah kita
memahami secara baik adanya larangan untuk tidak korupsi berdasarkan Syariat
Islam diharapkan umat Islam khususnya akan manjauhi praktek-praktek korupsi
yang kotor dan keji.
Meskipun terjadinya praktek korupsi di berbagai sektor tidak serta merta
berdampak langsung kepada kehidupan kita namun jika kita semua tidak peduli dan
turut serta pada upaya pemberantasan tindak pidana korupsi maka lambat laun kita
semua akan hancur berantakan. Hal ini diibaratkan sebagai sebuah kapal besar
yang bernama Indonesia, berlayar menyeberangi samudera nan luas dan
mengangkut sarat penumpang dengan berbagai kepentingan. Agar tujuan dapat
dicapai dengan selamat maka kapten kapal harus menegakkan aturan main seperti
yang telah mereka sepakati. Peristiwa demikian telah di jelaskan dalam salah satu
hadist sebagai berikut:
Telah menceritakan kepada kami Abu Nu'aim telah menceritakan kepada kami
Zakariyya' berkata, aku mendengar 'Amir berkata, aku mendengar An-Nu'man bin
Basyir radliallahu 'anhuma dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Perumpamaan orang yang menegakkan hukum Allah dan orang yang diam
terhadapnya seperti sekelompok orang yang berlayar dengan sebuah kapal lalu
sebagian dari mereka ada yang mendapat tempat di atas dan sebagian lagi di
bagian bawah perahu. Lalu orang yang berada di bawah perahu bila mereka
mencari air untuk minum mereka harus melewati orang-orang yang berada di
bagian atas seraya berkata; "Seandainya boleh kami lubangi saja perahu ini
untuk mendapatkan bagian kami sehingga kami tidak mengganggu orang yang
berada di atas kami". Bila orang yang berada di atas membiarkan saja apa yang
diinginkan orang-orang yang di bawah itu maka mereka akan binasa semuanya.

Namun bila mereka mencegah dengan tangan mereka maka mereka akan
selamat semuanya"
(HR. Bukhari)
B. Korupsi Menurut Fiqh Jinayah
Korupsi dalam syariat Islam diatur dalam fiqh Jinayah. Berikut ini akan
dibahas beberapa jenis tindak pidana (korupsi) menurut Fiqh Jinayah (Irfan, 2012).
Fiqh adalah ilmu tentang hukum-hukum syariat yang bersifat praktis dan merupakan
hasil analisis seorang mujtahid terhadap dalil-dalil yang terinci, baik yang terdapat
dalam Al-quran maupun hadist. Secara terminologis, jinayah didefinisikan dengan
semua perbuatan yang dilarang dan mengandung kemudaratan terhadap jiwa atau
selain jiwa.
Jinayah adalah sebuah tindakan atau perbuatan seseorang yang
mengancam keselamatan fisik dan tubuh manusia serta berpotensi menimbulkan
kerugian pada harga diri dan harta kekayaan manusia sehingga tindakan atau
perbuatan itu dianggap haram untuk dilakukan bahkan pelakunya harus dikenai
sanksi hukum, baik diberikan di dunia maupun hukuman Allah kelak di akhirat.
Fiqh Jinayah adalah ilmu tentang hukum-hukum syariat yang digali dan
disimpulkan dari nash-nash keagamaan, baik Alquran maupun hadist, tentang
kriminalitas, baik berkaitan dengan keamanan jiwa maupun anggota badan atau
menyangkut seluruh aspek pancajiwa syariat yang terdiri dari:

agama;

jiwa;

akal;

kehormatan atau nasab;

harta kekayaan maupun di luar pancajiwa syariat tersebut

C. Sumber dan Objek Kajian Fiqh Jinayah


Menurut Abdul Qadir Audah dalam Irfan (2012) mengemukakan bahwa sumbersumber yang bisa ditetapkan sebagai dalil dalam masalah fiqh jinayah adalah
sebagai berikut:
1. Al-quran;
2. Hadist;
3. Ijma;
4. qiyas.

Nomor 1 s/d 3 sudah disepakati fuqaha, namun sebagian ulama ada yang
menganggap qiyas sebagai sebagai sumber fiqh jinayah dan ada yang tidak
menganggapnya sebagai sumber fiqh jinayah.
Cara penulisan dan pembahasan fiqh jinayah dalam kitab-kitab fiqh dapat
dibedakan menjadi dua. Ada yang secara khusus dan ada spesifik. Fiqh Jinayah
merupakan subbagian yang terdapat pada bagian akhir isi sebuah kitab fiqh atau
kitab hadist yang corak pemamparannya seperti kitab fiqh.
Objek utama kajian fiqh jinayah dapat dibedakan menjadi tiga bagian sebagai
berikut:
1. Al-rukn al-syari (unsur formil)
2. Al-rukn al-madi (unsur materiil)
3. Al-rukn al-adabi (unsur moril)
Al-rukn al-syari atau unsur formal adalah unsur yang menyatakan bahwa
seseorang dapat dinyatakan sebagai pelaku pelanggar (jarimah) maka harus ada
nash atau undang-undang yang secara tegas melarang dan menjatuhkan sanksi
kepada pelaku tindak pidana.
Al-rukn al-madi atau unsur materiil adalah sebuah unsur yang
menyatakan bahwa seseorang dapat disebut pelaku jarimah maka pelaku harus
benar-benar telah terbukti melakukan jarimah, baik yang bersifat positif ( aktif
melakukan) maupun yang bersifat negatif (pasif tidak melakukan sesuatu).
Sedangkan Al-rukn al-adabi (unsur moril) adalah unsur yang menyatakan bahwa seseorang
melakukan sebuah jarimah harus sebagai subjek yang bisa diminta pertanggungjawaban atau pelaku
harus bisa dipersalahkan, artinya pelaku bukan orang gila, anak di bawah umur atau bukan
seseorang yang berada di bawah ancaman atau keterpaksaan.

D. Jenis Tindak Pidana Korupsi Dalam Fiqh Jinayah


Beberapa jenis tindak pidana (jarimah) dalam fiqh jinayah dari unsur-unsur dan
definisi yang mendekati pengertian korupsi di masa sekarang adalah:
1. Ghulul (Penggelapan)
2. Risywah (Penyuapan)
3. Ghasab (Mengambil Paksa Hak/Harta Orang Lain)
4. Khianat
5. Sariqah (Pencurian)
6. Hirabah (Perampokan)

7. Al-Maks (Pungutan Liar), Al-Ikhtilas (Pencopetan), dan Al-Ihtihab


(Perampasan)
1. Al-Ghulul (Penggelapan)
1.

Mencuri harta rampasan perang (Al-ghulul)


2. Menggelapkan uang dari kas Negara (baitul maal)
3. Menggelapkan zakat
4. Hadiah untuk para pejabat

Menggelapkan uang Negara dalam Syariat Islam disebut Al-ghulul, yakni mencuri
ghanimah ( harta rampasan perang) atau menyembunyikan sebagiannya ( untuk
dimiliki) sebelum menyampaikannya ke tempat pembagian ( Abu Fida, 2006),
meskipun yang diambilnya sesuatu yang nilainya relatif kecil bahkan hanya seutas
benang dan jarum. Mencuri atau menggelapkan uang dari baitul maal (kas Negara)
dan zakat dari kaum muslimin juga disebut dengan Al-ghulul. Berdasarkan haditshadits dari Rasulullah maka yang termasuk Al-ghulul, adalah sebagai berikut:
Adapun dasar hukum dari Al-ghulul, adalah dalil-dalil baik yang terdapat dalam AlQuran maupun Hadits sebagai berikut:
Tidak mungkin seorang nabi berkhianat (dalam urusan harta rampasan perang).
Barang siapa yang berkhianat (dalam urusan rampasan perang) maka pada hari
kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu; kemudian tiap-tiap
diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan)
setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.(QS. Ali-Imran ayat 161)
Hadits-Hadits yang mengatur Al-ghulul:
a. Larangan Mengambil yang bukan haknya meskipun seutas benang dan
sebuah jarum
Nabi Muhammad Saw pernah bersabda,Serahkanlah benang dan jarum.
Hindarilah Al-ghulul, sebab ia akan mempermalukan orang yang melakukannya
pada hari kiamat kelak. beginilah anjuran dari Rasulullah, melarang mengambil
sesuatu yang bukan haknya walaupun hanya seutas benang dan sebuah jarum.
b. Bagikan segala sesuatu kepada yang berhak
Dari Ibnu Jarir dari Al-Dahhak, bahwa nabi mengirimkan beberapa orang
pengintai kepada suatu daerah musuh. Kemudian daerah itu diperangi dan
dikalahkan serta harta rampasan dibagi-bagi. Tetapi para pengintai tidak hadir
ketika rampasan itu dibagi-bagi. Lalu ada diantara mereka menyangka, bahwa
mereka tidak akan dapat bagian. Kemudian setelah mereka datang ternyata
bagian untuk mereka telah disediakan. Maka turunlah ayat ini yang menegur
sangkaan mereka yang buruk, sekaligus menyatakan bahwa nabi tidaklah
berbuat curang dengan pembagian harta rampasan perang dan sekali-kali

tidaklah nabi akan menyembunyikan sesuatu untuk kepentingan diri beliau


sendiri.
c. Larangan untuk mengambil sesuatu tanpa izin dari yang berhak
Bersumber dari Muadz bin Jabal yang berkata, Rasulullah Saw telah mengutus
saya ke Negeri Yaman. Ketika saya baru berangkat, ia mengirim seseorang untuk
memanggil saya kembali, maka saya pun kembali. Nabi bersabda, Apakah
engkau mengetahui mengapa saya mengirim orang untuk menyuruhmu kembali?
Janganlah kamu mengambil sesuatu apa pun tanpa izin saya, karena hal itu
adalah Ghulul (korupsi). Barang siapa melakukan ghulul, ia akan membawa
barang ghulul itu pada hari kiamat. Untuk itu saya memanggilmu, dan sekarang
berangkatlah untuk tugasmu. (HR. At-Tirmidzi).
d. Pada hari kiamat orang akan memikil terhadap barang yang diambil
secara tidak sah
Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah berkata, Suatu hari Rasulullah
saw berdiri ditengah-tengah kami. Beliau menyebut tentang ghulul,
menganggapnya sebagai sesuatu yang sangat besar. Lalu beliau bersabda,
Sungguh aku akan mendapati seseorang di antara kalian pada hari kiamat
datang dengan memikul unta yang melenguh-lenguh. Ia berkata, Wahai
Rasulullah tolonglah aku. Maka aku menjawab, Aku tidak memiliki sesuatupun
dari Allah untuk itu. Sungguh aku telah menyampaikan semuanya kepadamu. Aku
juga mendapati seseorang di antara kalian pada hari kiamat datang dengan
memikul kambing yang mengembik-embik. Ia berkata, Wahai Rasulullah
tolonglah aku. Maka aku menjawab, Aku tidak memiliki sesuatupun dari Allah
untuk itu. Sungguh aku telah menyampaikan semuanya. Aku juga mendapati
seseorang di antara lain pada hari kiamat datang dengan memikul binatang yang
mengeluarakan suara-suara keras. Ia berkata, Wahai Rasulullah tolonglah aku.
Maka aku menjawab, Aku tidak memiliki sesuatupun dari Allah untuk itu.
Sungguh aku telah menyampaikan semuanya kepadamu. Aku juga akan
mendapati seseorang di antara kalian pada hari kiamat datang dengan memikul
kain dan baju-baju yang berkibar-kibar. Ia berkata, Wahai Rasulullah tolonglah
aku. Maka aku menjawab, Aku tidak memiliki sesuatupun dari Allah untuk itu.
Sungguh aku telah menyampaikan semuanya kepadamu. Aku mendapati
seseorang di antara kalian pada hari kiamat datang dengan memikul barangbarang yang berharga. Ia berkata, Wahai Rasulullah tolonglah aku. Maka aku
menjawab, aku tidak memiliki sesuatu apapun dari Allah untuk itu. Sungguh aku
telah menyampaikan semuanya kepadamu. (HR. Bukhari)
e. Larangan Pejabat Publik untuk mengambil semua kekayaan publik secara
tidak sah
Hadits ini menunjukkan bahwa pengertian ghulul tidak terbatas pada lingkup
korupsi harta rampasan perang saja, melainkan mencakup semua kekayaan
publik, yang diambil seorang pejabat secara tidak sah. Seperti tertuang dalam
peringatan Rasulullah Saw kepada Muadz yang diangkat menjadi Gubernur
Yaman, agar tidak mengambil sesuatu apa pun dari kekayaan negara yang ada di

bawah kekuasaannya tanpa izin Rasulullah. Jika hal ini tetap dilakukan maka ia
melakukan tindakan korupsi.
Telah menceritakan kepada kami Ubaid bin Isma'il, telah menceritakan
kepada kami Abu Usamah dari Hisyam dari ayahnya, dari Abu Humaid As
Sa'idi
mengatakan,
Rasulullah
Shallallahu'alaihiwasallam
pernah
mempekerjakan seorang laki-laki untuk mengelola zakat bani Sulaim yang
sering dipanggil dengan nama Ibnu Al Latabiyah, tatkala dia datang, dia
menghitungnya dan berkata; 'Ini adalah hartamu dan ini hadiah.' Spontan
Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam berujar: "kenapa kamu tidak dudukduduk saja di rumah ayahmu atau ibumu sampai hadiahmu datang kepadamu
jika kamu jujur." Kemudian beliau berpidato di hadapan kami, memuja dan
memuji Allah terus bersabda: "Amma ba'd. Sesungguhnya saya
mempekerjakan salah seorang diantara kalian untuk mengumpulkan zakat
yang telah Allah kuasakan kepadaku, lantas ia datang dan mengatakan; 'ini
hartamu dan ini hadiah yang diberikan kepadaku, ' kenapa dia tidak dudukduduk saja di rumah ayahnya atau ibunya sampai hadiahnya datang
kepadanya? Demi Allah, tidaklah salah seorang diantara kalian mengambil
sesuatu yang bukan haknya, selain ia menjumpai Allah pada hari kiamat
dengan memikul hak itu, aku tahu salah seorang diantara kalian menjumpai
Allah dengan memikul unta yang mendengus, atau sapi yang melenguh, atau
kambing yang mengembik." Kemudian beliau mengangkat tangannya hingga
terlihat putih ketiaknya seraya mengatakan: "Ya Allah, bukankah aku telah
menyampaikan apa yang kulihat dengan mataku dan kudengar dengan dua
telingaku?" (HR. Bukhari)
2. Risywah (Penyuapan)
Risywah adalah sesuatu yang dapat menghantarkan tujuan dengan segala cara
agar tujuan dapat tercapai (Abu Frida, 2006). Definisi tersebut diambil dari asal kata
rosya yang berarti tali timba yang dipergunakan untuk tali timba dari sumur.
Sedangkan ar-raasyi adalah orang yang memberikan sesuatu kepada pihak kedua
yang siap mendukung perbuatan batil. Adapun roisyi adalah penghubung antara
penyuap dan penerima suap, sedangkan al-murtasyi adalah penerima suap.
Ruang lingkup Risywah dapat dikelompokkan, antara lain sebagai berikut:

Risywah dibidang ekonomi, seperti tender fiktif, pemilihan deputi gubernur BI


yang telah diatur.
o

Risywah dibidang pendidikan, seperti pemberian nilai kepada


siswa/mahasiswa tertentu, penerimaan siswa baru lewat jalur
belakang.

Risywah dibidang Hukum, seperti mafia peradilan.

Risywah dibidang kepegawaian, seperti kecurangan dalam


penerimaan PNS, proses promosi dan mutasi yang sarat KKN.

Syaikh Muhammad bin Abdul wahap memberikan definsi risywah sebagai


berikut:
Imbalan yang diambil seseorang atas perbuatannya yang mengaburkan kebenaran
dan mengkedepankan kebathilan, dan kompensasi yang dinikmati seseorang atas
usaha untuk menyampaikan hak orang lain kepada yang berkompeten.
Dr. Yusuf Qardhawi dalam Abu Fida mendefinisikan risywah sebagai berikut:
Suatu yang diberikan kepada seseorang yang mempunyai kekuasaan atau jabatan
(apa saja) untuk menyukseskan perkaranya dengan mengalahkan lawan-lawannya
sesuai dengan apa-apa yang diinginkan, atau untuk memberikanpeluang kepadanya
(misalnya seperti lelang/tender) atau menyingkirkan lawan-lawannya (Al-Halal
dan Haram, hal,123)
Adapun dasar hukum dari Risywah, adalah dalil-dalil baik yang terdapat dal AlQuran maupun Hadits sebagai berikut:
Surat AL-Maidah (5) ayat 42
Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak
memakan yang haram418. Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk
meminta putusan), maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka, atau
berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka maka mereka tidak
memberi mudharat kepadamu sedikitpun. Dan jika kamu memutuskan perkara
mereka, maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka dengan adil,
sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil. QS: Al-Maidah(5) ayat 42
Haramnya Risywah Berdasarkan As-Sunnah
Hadits Pertama
Bersumber dari Tsauban ia berkata, Rasulullah Saw melaknat pelaku, penerima,
dan perantara risywah, yaitu orang-orang yang menjadi penghubung di antara
keduanya. (HR. Ahmad)
Hadits Kedua
Bersumber dari Abdillah bin Amr dan Nabi Saw, ia berkata, Rasulullah Saw
melaknat pelaku dan penerima risywah. Ia berkata, rasul menambahkan, Allah
akan melaknat pelaku dan penerima risywah. (HR. Ibnu Majah).
Hadits Ketiga
Rasulullah Saw bersabda, Penyuap dan yang menerima suap masuk dalam
neraka. (HR. Tabrani)
Hadits Keempat

Bersumber dari Masruq, seorang Qadhi berkata, Apabila seseorang memakan hadiah, maka ia
memakan uang pelicin, dan barang siapa yang menerima risywah (suap) maka ia telah mencapai
kafir. Katanya lagi, Barang siapa meminum khamr, sungguh ia telah kafir, dan kafirnya adalah bukan
kafir (meninggalkan) shalat. (HR. An-Nasai).

1. Ghasab (Mengambil Paksa Hak/Harta Orang Lain)


Pengertian ghasab menurut Irfan (2012) adalah mengambil harta atau menguasai
hak orang lain tanpa izin pemiliknya dengan unsur pemaksaan dan terkadang
dengan kekerasan serta dilakukan secara terang-terangan.
Karakteristik dari ghasab:

Karena ada batasan tanpa izin pemilik maka bila yang diambil berupa harta
titipan atau gadai jelas tidak termasuk perbuatan ghasab tetapi khianat.

Terdapat unsur pemaksaan atau kekerasan maka ghasab bisa mirip dengan
perampokan, namun dalam ghasab tidak terjadi tindak pembunuhan

Terdapat unsur terang-terangan maka ghasab jauh berbeda dengan


pencurian yang didalamnya terdapat unsur sembunyi-sembunyi.

Yang diambil bukan hanya harta, melainkan termasuk mengambil/menguasai


hak orang lain.

Adapun dasar hukum dari Ghasab, adalah dalil-dalil baik yang terdapat dalam AlQuran maupun Hadits sebagai berikut:
Surah Al-Nisa (4) ayat 29
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan
suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu 287) ;
sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. QS: Al-Nisa (4) ayat 29
Larangan membunuh diri sendiri mencakup juga larangan membunuh orang lain,
sebab membunuh orang lain berarti membunuh diri sendiri, karena umat
merupakan suatu kesatuan.

287)

Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang bathil dan
(janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat

memakan sebagian darpada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa,
padahal kamu mengetahui (QS: Al-Baqarah (2) ayat 188)
Larangan Melakukan Riba berdasarkan Surat al Baqarah ayat 275:
Orang-orang yang makan (mengambil) riba174) tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang
yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila 175). Keadaan mereka yang demikian itu,
adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba,
padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai

kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa
yang telah diambilnya dahulu176) (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah.
Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka
kekal di dalamnya.
174)

Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. Riba nasiah ialah pembayaran lebih
yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba fadhl ialah penukaran
suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya karena
orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas
dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam
ayat ini riba nasiah yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat
Arab zaman jahiliyah.

175)

Maksudnya: orang yang mengambil riba tidak tenteram jiwanya seperti orang
kemasukan syaitan.

176)

Riba yang sudah diambil (dipungut) sebelum turun ayat ini, boleh tidak dikembalikan.

4. Khianat
Wahbah al-Zuhaili dalam Irfan mendefinisikan khianat dengan segala sesuatu
(tindakan/upaya yang bersifat) melanggar janji dan kepercayaan yang telah dipersyaratkan
di dalamnya atau telah berlaku menurut adat kebiasaan, seperti tindakan pembantaian
terhadap terhadap kaum muslim atau sikap menampakkan permusuhan terhadap kaum
muslim.
Adapun dasar hukum dari Khianat, adalah dalil-dalil baik yang terdapat dal Al-Quran
maupun Hadits sebagai berikut:

Larangan berkhianat dan faedah bertakwa


Surah Al-Anfaal (8) ayat 27
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul

(Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang


dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui. (QS: Al-Anfaal (8) ayat 27).
Hadits Yang Menjelaskan Ciri-ciri Orang Munafik:
Telah menceritakan kepada kami Sulaiman Abu ar Rabi' berkata, telah menceritakan
kepada kami Isma'il bin Ja'far berkata, telah menceritakan kepada kami Nafi' bin
Malik bin Abu 'Amir Abu Suhail dari bapaknya dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu
'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Tanda-tanda munafiq ada tiga; jika berbicara
dusta, jika berjanji mengingkari dan jika diberi amanat dia khianat". (HR. Bukhari)
Hadits Yang Menjelaskan Ciri-ciri Munafik:
Telah menceritakan kepada kami Qabishah bin 'Uqbah berkata, telah menceritakan kepada
kami Sufyan dari Al A'masy dari Abdullah bin Murrah dari Masruq dari Abdullah bin

'Amru bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Empat hal bila ada pada
seseorang maka dia adalah seorang munafiq tulen, dan barangsiapa yang terdapat

pada dirinya satu sifat dari empat hal tersebut maka pada dirinya terdapat sifat nifaq
hingga dia meninggalkannya. Yaitu, jika diberi amanat dia khianat, jika berbicara
dusta, jika berjanji mengingkari dan jika berseteru curang". Hadits ini diriwayatkan
pula oleh Syu'bah dari Al A'masy. (HR. Bukhari)
Telah menceritakan kepada kami Abu Nu'aim telah menceritakan kepada kami
Sufyan dari Abdullah bin Dinar dari Abdullah bin Umar radliallahu 'anhuma dari Nabi
shallallahu
'alaihi wasallam bersabda: "Setiap pengkhianat diberi bendera pada hari kiamat
sebagai tanda pengenalnya." (HR. Bukhari).
Bersumber dari Yusuf bin Mahaq Al-Makki yang berkata: Aku menulis daftar nafkah
bagi anak-anak yatim untuk Fulan. Si Fulan ini adalah wali dari anak-anak yatim itu.
Suatu ketika, mereka keliru menghitung seribu dirham. Si Fulan memberikan seribu
dirham kepada mereka (yatim). Namun, kemudian ternyata aku dapati bahwa harta
mereka ada dua ribu dirham. aku berkata, Ambillah seribu dirham milikmu yang
telah mereka bawa. Kemudian ia menjawab: Ayahku menceritakan kepadaku, ia
mendengar Rasulullah Saw bersabda, Tunaikanlah amanah terhadap orang yang
memberimu amanah. Namun, janganlah berkhianat terhadap orang yang
mengkhianatimu. (HR. Abu Dawud)
Keterangan:
Siapa pun yang mengaku beriman kepada Allah dan Rasul-Nya harus menjauhi sifat khianat, karena
pengkhianat sangat dibenci Allah dan Rasul-Nya.

5. Sariqah (Pencurian)
1.
1.

Pencurian kecil
2. Pencurian besar

Sariqah adalah mengambil barang atau harta orang lain dengan cara sembunyisembunyi dari tempat penyimpanannya yang biasa digunakan untuk menyimpan
barang atau harta kekayaan tersebut.
Menurut Abdul Qadir Audah, pencurian dikelompokkan menjadi dua:
Pencurian kecil yaitu proses pengambilan harta kekayaan tidak disadari oleh korban
dan dilakukan tanpa seizinnya sebab dalam pencurian kecil harus memenuhi dua
unsur ini secara bersamaan (yaitu korban tidak mengetahui dan tidak mengizinkan).
Pencurian besar adalah pengambilan harta yang dilakukan dengan sepengetahuan
korban, tetapi ia tidak mengizinkan hal itu terjadi sehingga terdapat unsur kekerasan,
Adapun dasar hukum dari Sariqah (Pencurian), adalah dalil-dalil baik yang terdapat
dalam Al-Quran maupun Hadits sebagai berikut:

Surah Al-Maidah (5) ayat 38


Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya
(sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari
Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS: Al-Maidah (5) ayat 38).
Keterangan:
Ayat ini turun untuk menjelaskan hukuman bagi yang mencuri baik bagi laki-laki
maupun perempuan. turunnya ayat ini terkait dengan kisah seorang perempuan dari
kabilah Makhzumiah yang mencuri pada zaman Rasulullah. Korban pencurian
melaporkan kepada Rasulullah, mereka berkata: Inilah perempuan yang telah
mencuri harta benda kami, dan keluarganya akan menebusnya. Beliau bersabda:
Potonglah tangannya. Keluarga pelaku menjelaskan, Kami berani menebus lima
ratus dinar. Nabi Saw bersabda, Potonglah tangannya. Maka dipotonglah tangan
kanan perempuan itu. Lalu pelaku bertanya, Apakah tobatku masih diterima ya
Rasulullah? Beliau menjawab, Ya engkau hari ini bersih dari dosamu seperti ketika
engkau dilahirkan oleh ibumu.
Anjuran Untuk Tidak Menyekutukan Allah, Tidak Mencuri, Tidak Berzina, dan
Tidak Berbohong:
Telah menceritakan kepada kami Abu Al Yaman berkata, telah mengabarkan kepada kami Syu'aib
dari Az Zuhri berkata, telah mengabarkan kepada kami Abu Idris 'Aidzullah bin Abdullah, bahwa
'Ubadah bin Ash Shamit adalah sahabat yang ikut perang Badar dan juga salah seorang yang ikut
bersumpah pada malam Aqobah, dia berkata; bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda ketika berada ditengah-tengah sebagian sahabat: "Berbai'atlah kalian kepadaku untuk tidak
menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anakanak kalian, tidak membuat kebohongan yang kalian ada-adakan antara tangan dan kaki kalian, tidak
bermaksiat dalam perkara yang ma'ruf. Barangsiapa diantara kalian yang memenuhinya maka
pahalanya ada pada Allah dan barangsiapa yang melanggar dari hal tersebut lalu Allah
menghukumnya di dunia maka itu adalah kafarat baginya, dan barangsiapa yang melanggar dari halhal tersebut kemudian Allah menutupinya (tidak menghukumnya di dunia) maka urusannya kembali
kepada Allah, jika Dia mau, dimaafkannya atau disiksanya". Maka kami membai'at Beliau untuk
perkaraperkara tersebut. (HR. Bukhari)

1. Hirabah (Perampokan)
Pengertian Hirabah/perampokan ( Irfan, 2012) adalah tindakan kekerasan yang
dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang kepada pihak lain, baik dilakukan
di dalam rumah maupun di luar rumah, dengan tujuan untuk menguasai atau
merampas harta benda milik orang lain tersebut atau dengan maksud membunuh
korban atau sekedar bertujuan untuk melakukan teror dan menakut-nakuti pihak
korban.
Adapun dasar hukum dari Hirabah ( Perampokan), adalah dalil-dalil baik yang
terdapat dal Al-Quran maupun Hadits sebagai berikut:
Hukuman Terhadap Perusuh dan Pengacau Keamanan Berdasarkan Surah AlMaidah (5) ayat 33

Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan

Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau
disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik 414) , atau
dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu
penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang
besar (QS: Al-Maidah (5) ayat 33).
414)

Maksudnya ialah: memotong tangan kanan dan kaki kiri; dan kalau melakukan
kejahatan sekali lagi maka dipotong tangan kiri dan kaki kanan.

Kitab: Perbuatan-perbuatan zhalim dan merampok


Bab: Qishash perbutaan zhalim
2260. Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim telah mengabarkan kepada kami Mu'adz
bin Hisyam telah menceritakan kepadaku bapakku dari Qatadah dari Abu Al Mutawakkil An-Naajiy
dari Abu Sa'id Al Khudriy radliallahu 'anhu dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jika
orang-orang beriman telah melewati neraka, mereka akan ditahan di suatu jembatan yang disebut
Qanthorah yang terletak antara surga dan neraka, lalu disana mereka akan diqishas (dibalas) atas
kezhalimin yang terjadi sesama mereka di dunia, sehingga apabila telah tidak ada lagi dosa barulah
mereka diizinkan untuk memasuki surga. Dan demi Dzat yang jiwaku berada di tangaNya, sungguh
seorang dari mereka berada di tempat tinggalnya di surga lebih aku kenal dari pada rumah mereka di
dunia". Dan berkata, Yunus bin Muhammad telah menceritakan kepada kami Syaiban dari Qatadah
telah menceritakan kepada kami Abu Al Mutawakkil (HR. Bukhari)

Dosa orang yang menzhalimi (seseorang) dengan mengambil tanahnya


Telah menceritakan kepada kami Abu Al Yaman telah mengabarkan kepada kami
Syu'aib dari Az Zuhriy berkata, telah menceritakan kepadaku Tholhah bin
'Abdullah bahwa 'Abdurrahman bin 'Amru bin Sahal mengabarkan kepadanya
bahwa Sa'id bin Zaid radliallahu'anhu berkata, aku mendengar Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Siapa yang pernah berbuat aniaya
terhadap sebidang tanah (di muka bumi ini) maka nanti dia akan dibebani
(dikalungkan pada lehernya) tanah dari tujuh bumi".(HR. Bukhari)
2273. Telah menceritakan kepada kami Abu Ma'mar telah menceritakan kepada
kami 'Abdul Warits telah menceritakan kepada kami Husain dari Yahya bin Abi Katsir
berkata, telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Ibrahim bahwa Abu Salamah
menceritakan kepadanya bahwa dia pernah bertengkar dengan seseorang lalu
diceritakan hal ini kepada 'Aisyah radliallahu 'anha, maka 'Aisyah radliallahu 'anha
berkata: "Wahai Abu Salamah hindarkanlah bertengkar dalam urusan tanah karena
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah bersabda: "Siapa yang pernah berbuat
aniaya sejengkal saja (dalam perkara tanah) maka nanti dia akan dibebani
(dikalungkan pada lehernya) tanah dari tujuh petala bumi".
2274. Telah menceritakan kepada kami Muslim bin Ibrahim telah menceritakan kepada kami
'Abdullah bin Al Mubarak telah menceritakan kepada kami Musa bin 'Uqbah dari Salim dari bapaknya
radliallahu 'anhu berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Siapa yang mengambil sesuatu
(sebidang tanah) dari bumi yang bukan haknya maka pada hari qiyamat nanti dia akan dibenamkan
sampai tujuh bumi".

7. Al-Maks (Pungutan Liar), Al-Ikhtilas (Pencopetan), dan Al-Ihtihab

(Perampasan)
Surah Asyy-Syura (42) ayat 42
Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan
melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih
(QS: Asyy-Syura (42) ayat 42).
Pungutan liar yang terjadi sejak kita mengurus akte kelahiran hingga akte kematian
yang terjadi di Negara kita barangkali termasuk dalam kategori ini. Karena pungli
merupakan pungutan yang tidak memiliki dasar hukum agar seseorang tetap
membayarnya agar urusannya lancar. Masyarakat sebenarnya sangat keberatan
namun apa daya karena berhadapan dengan mereka yang memiliki kekuasaan.
Nabi saw bersabda: Tidak akan masuk surga orang yang kerjanya melakukan
pungutan liar. (HR. abu Dawud).
Rasulullah bersabda, Tahukah kamu, siapakah orang bangkrut (muflis) itu?
Sahabat menjawab, Wahai Rasulullah orang yang bangkrut itu adalah orang yang
tidak memiliki dirham atau kekayaan. Rasulullah menjelaskan, Sebenarnya orang
yang bangkrut dari umatku orang-orang yang datang pada hari kiamat dengan
membawa pahala shalat, shiyam, dan haji. Namun ia datang dalam keadaan telah
mencela seseorang, mengambil harta, melecehkan kehormatan, dan menumpahkan
darahnya. Maka kebaikannya diambil untuk tersebut. Apabila kebaikannya telah
habis sebelum habis kebaikannya terhadap orang-orang tersebut, maka diambillah
kesalahan orang-orang itu, lalu dipindahkan kepadanya, sehingga akhirnya ia
masuk neraka.
(HR. Muslim)
E. Hikmah MempelajariKorupsi Menurut Hukum Islam
Ada beberapa hikmah yang dapat diperoleh dalam mempelajari korupsi menurut
syariat Islam antara lain sebagai berikut:
1. Melakukan korupsi atau tindakan kriminal yang dapat merugikan negara atau orang
lain sangat lah tidak baik dan sangat tidak disukai oleh Allah. Oleh karena itu,
perbuatan tersebut harus dihindari.
2. Dengan mempelajari jinayah, maka kita akan mengetahui jenis-jenis tindakan
kriminal dan hukumnya.
3. Dapat mempertebal rasa persaudaraan, karena perbuatan yang dapat merugikan
orang lain sangat di benci oleh Allah SWT.
4. Mengingatkan kepada kita bahwa pemberantasan tindak pidana korupsi adalah
tugas kita semua.
Daftar Pustaka:

Abidin, Zaenal bin Syamsudin. Jihad Melawan Korupsi. Jakarta: Pustaka Imam Abu
Hanifah. 2008.
Harahap, Hakim Muda. Ayat-ayat Korupsi. Jogjakarta: Gama Media. 2009.
Irfan, Nurul. Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam. Jakarta: Amzah. 2011.
Muslich, Ahmad Wardi. Pengantar dan Asas Hukum Islam. Jakarta: Sinar Grafika. 2004.
Rafi, Abu fida Abdur. Terapi Penyakit Korupsi. Jakarta: Republika. 2006

Anda mungkin juga menyukai