1. Latar Belakang
Konstruktivisme adalah sintesis dari berbagai teori yang tersebar menjadi satu bentuk. Ini
adalah asimilasi dari cita-cita behavioris dan kognitif. “Pendirian konstruktivis menyatakan
bahwa belajar adalah proses membangun makna; ini adalah cara orang memahami pengalaman
mereka ”(Merriam dan Caffarella, 1999, hlm. 260)1. Belajar menurut pandangan konstruktivisme
adalah proses pengkonstruksian pengetahuan oleh individu pembelajar sebagai upaya pemberian
makna atas data sensori baru dalam hubungannya dengan pengetahuan sebelumnya. 2
Pengetahuan dikonstruksi secara unik oleh setiap individu pembelajar. Pembelajar akan secara
aktif mengkonstruksi pengetahuan untuk memahami dunia, menginterpretasikan informasi baru
dalam struktur kognitifnya. Menurut filosofi konstruktivisme, pengetahuan siswa dikontruksi
atau dibangun sendiri oleh siswa. Proses konstruksi diperoleh melalui interaksi dengan benda,
kejadian dan lingkungan. Ketika siswa berinteraksi dengan lingkungan belajar, siswa
mengkonstruksi pengetahuan berdasarkan pengalamannya dan besar kemungkinan terjadi
kesalahan dalam proses mengkontruksi. Konsep awal yang dimiliki siswa disebut dengan
konsepsi. Konsepsi yang tidak sesuai dengan konsep ilmiah disebut miskonsepsi.3
Menurut Brooks & Brooks (1993)4 konstruktivisme adalah lebih merupakan suatu filosofi
dan bukan suatu strategi pembelajaran. ”Constructivism is not an instructional strategy to be
deployed under appropriate conditions. Rather, constructivism is an underlying philosophy or
way of seeing the world”. Bahkan menurut Glasersfeld (1987) 5 konstruktivisme sebagai "teori
pengetahuan dengan akar dalam “filosofi, psikologi dan cybernetics". Von Glasersfeld
mendefinisikan konstruktivisme radikal selalu membentuk konsepsi pengetahuan. Ia melihat
pengetahuan sebagai sesuatu hal yang dengan aktip menerima yang apapun melalui pikiran sehat
atau melalui komunikasi. Hal itu secara aktip teruama dengan membangun pengetahuan. Kognisi
adalah adaptif dan membiarkan sesuatu untuk mengorganisir pengalaman dunia itu, bukan untuk
menemukan suatu tujuan kenyataan (von Glasersfeld, 1987)
Untuk memahami konstruktivisme, yang terpenting adalah terus-menerus menyadari
ambiguitas dalam penggunaan biasa dari istilah realitas. Di satu sisi, ini merujuk pada realitas
ontologis yang ada di baliknya semua yang tahu; kenyataan ini sejalan dengan Kant's Ding an
sich, yang mana ia memenuhi syarat sebagai fiksi heuristik (Kant, 1787, hal. 307ff; 1881-4, hal.
1
Merriam, S. B., & Caffarella, R. S. (1999). Learning in adulthood: A comprehensive guide. (2nd ed.).
San Francisco, CA: Jossey-Bass.
2
Sadia, I Wayan. Efektivtas Model Konflik Kognitif dan Model Siklus Belajar untuk Memperbaiki Miskonsepsi Siswa
dalam Pembelajaran Fisika. hal 4. http://www.google.com/url. (diakses pada 21 maret 2013).
3
Yuliati, Lia. Miskonsepsi dan Remidiasi Pembelajaran IPA. hal 278. http://p4tkmatematika.org/file/ARTIKEL/Artikel
Pendidikan/Miskonsepsi Materi Geometri Siswa Sekolah Dasar_amini_rinakusumayanti.pdf. (diakses pada 22
Maret 2013).
4
Brooks, Jacqueline Grennon and Brooks, Martin G. (1993). The case for constructivist classrooms. Alexandria, VA:
ASCD
5
von Glasserfield, E. (1995). A constructivist approach to teaching. In L. Steffe & J. Gale (Eds.), Constructivism in
education (pp. 3-16). Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum
572ff). Di sisi lain, ada realitas yang hidup dan nyata dari kita pengalaman, dari mana kita
memperoleh semua yang kita sebut "pengetahuan" - yaitu, tidak hanya struktur konseptual,
tindakan dan mental operasi yang dianggap layak, tetapi juga pola tindakan dan berpikir itu telah
gagal.6
Istilah pengalaman sulit untuk didefinisikan karena membutuhkan kesadaran dan saat ini
kami tidak memiliki model yang layak fenomena itu. Ini akan menggoda untuk mengatakan
bahwa segala sesuatu yang mencapai kesadaran kita menjadi pengalaman, tapi tentu saja seperti
itu definisi akan terlalu sempit. Di bawah hipnotis, misalnya mungkin untuk menemukan jejak
sensasi dan bahkan gagasan yang kita miliki sama sekali tidak menyadarinya sampai saat itu.
Namun demikian, saya telah memutuskan untuk melanjutkan dengan hipotesis kerja, menurut
pengalaman yang mana terdiri dari sensasi dan abstraksi empiris dan reflektif yang kita sadari.
Kedua, subjek kognitif beroperasi dalam alam pengalaman, dan sebagai hasilnya,
pengalaman ini selalu tersegmentasi dan diurutkan dari mode sekuensial fungsi yang melekat
dalam proses perhatian. Segmentasi pada dasarnya adalah produk sensorik dan motoric organ,
tetapi kemudian dibentuk oleh konsep subjek individu telah dibangun. Karenanya, pengalaman
selalu subjektif. Namun, penting untuk menunjukkan bahwa jenis subjektivitas yang mendasar
ini sama sekali tidak menghalangi perkembangan "intersubjektivitas"selama interaksi yang
mungkin disebut "sosial".
Ketiga, pengetahuan rasional selalu berhubungan dengan alam pengalaman dan pada
abstraksi (konsep, relasi, teori, model) yang mana telah dibangun dalam upaya untuk membuat
lebih atau kurang teratur, dunia yang dapat diprediksi. Pencarian model dengan kapasitas
prediksi ini berdasarkan keyakinan bahwa pengalaman masa depan akan serupa dengan
pengalaman masa lalu, setidaknya sejauh keteraturan yang telah terbukti layak sampai saat ini
yang bersangkutan (Hume, 1758)7. Giambattista Vico adalah filsuf pertama yang berbicara
secara eksplisit akal sebagai aktivitas manusia yang membangun pengetahuan ilmiah (Vico,
1710)8. Konstruktivisme radikal dibangun di atas wawasannya dan menjelaskan perbedaan antara
pengetahuan ini dan intuisi penyair, seniman secara umum, dan mistik. Pada dasarnya, ini adalah
perbedaan yang sama Kardinal Bellarmine menyarankan untuk menyelamatkan Galileo dari
dakwaan bidah. Galileo, katanya, dapat dengan mudah mempresentasikan teorinya sebagai
model yang dirancang untuk mengerjakan prediksinya, tetapi dia tidak pernah melakukannya
mengklaim bahwa itu adalah deskripsi sejati dari realitas absolut, realitas yang hanya Gereja
yang memiliki akses melalui wahyu.
Keempat, dari perspektif konstruktivis, ilmu pengetahuan adalah terdiri dari model
teoritis yang telah terbukti layak dalam area pengalaman tertentu. Bahkan jika model ilmiah
tertentu adalah terbaik yang tersedia saat ini, jangan pernah dipandang sebagai satu-satunya
kemungkinan memecahkan masalah yang dirancang. Selanjutnya, setiap kali ditemukan
6
Kant, I. (1787). Kritik der reinen Vernunft (Vol. Ill, 2nd ed. - Werke, Koenigliche Preussische Akademie der
Wissenschaften). Berlin: Reimer (2nded., 1911).
7
Hume, D. (1758, 1963). An enquiry concerning human understanding. New York: Washington Square Press
(originally published in 1742 and entitled Philosophical essays concerning human understanding. London: Millar).
8
Vico, G. (1710). De antiquissima Italorum sapientia (Pomodoro, trans.,1858). Naples: Stamperia de Classici Latini.
beberapa solusi, salah satunya mungkin lebih disukai karena alasan ekonomi, kesederhanaan,
atau "keanggunan", tetapi bukan karena itu "benar" dalam arti ontologis. Alih-alih kebenaran,
konstruktivisme berbicara tentang kelangsungan hidup dan kompatibilitas dengan sebelumnya
model yang dibangun. Dengan kata lain, model ilmiah adalah alat.
9
“Teorikonstruktifistik”,http://.freewebs.com/hjrahsaputra/catatan/TEORI%20%DAN%20PEMBELAJARAN.htm,
(diakses pada 19 November 2012)
10
Ibid. (diakses pada 19 November 2012 )
11
Asri Budiningsih. Op. Cit., h. 58.
12
Nurhadi. Op. Cit., h. 39
kepada siswa untuk mengembangkan ide-idenya. Guru bersama-sama peserta didik mengkaji
pengetahuan tetapi kebenaran pengetahuan tetap pada pemikiran atau interpretasi masing-
masing. Oleh karena itu guru harus menguasai dan menerapkan strategi pembelajaran sehingga
mampu memotivasi peserta didik untuk menyusun pengetahuan. Dan dapat dikatakan bahwa
hubungan guru dan peserta didik adalah sebagai mitra yang bersama-sama dalam membangun
pengetahuan. Guru tetap harus mengawasi apa yang sedang dilakukan oleh peserta didik sebagai
cara untuk mengukur kemampuan peserta didik tersebut. Brooks memberikan ciri-ciri guru yang
mengajar dengan menggunakan pendekatan konstruktivistik. Adapun ciri-ciri tersebut adalah
sebagai berikut:13
a. Guru adalah salah satu dari berbagai macam sumber belajar, bukan satu-satunya sumber
belajar.
b. Guru membawa peserta didik masuk ke dalam pengalamanpengalaman yang menentang
konsepsi pengetahuan yang sudah ada dalam diri mereka.
c. Guru membiarkan peserta didik berfikir setelah mereka disuguhi beragam pertanyaan-
pertanyaan guru.
d. Guru menggunakan teknik bertanya untuk memancing peserta didik berdiskusi satu sama lain.
e. Guru menggunakan istilah-istilah kognitif seperti: klasifikasikan, analisis, dan ciptakanlah
ketika merancang tugas-tugas.
f. Guru membiarkan peserta didik bekerja secara otonom dan bersifat inisiatif sendiri.
g. Guru menggunakan data mentah dan sumber primer bersama-sama dengan bahan-bahan
pelajaran yang dimanipulasi.
h. Guru tidak memisahkan antara tahap mengetahui proses menemukan.
i. Guru mengusahakan agar peserta didik dapat mengkomunikasikan pemahaman mereka karena
dengan begitu mereka benar-benar sudah belajar.
Sedangkan ciri-ciri siswa dengan pendekatan konstruktivisme adalah peserta didik
membangun pengetahuan dalam pikirannya sendiri. Guru membantu proses pembangunan
pengetahuan agar peserta didik dapat memahami informasi dengan cepat. Disamping itu guru
menyadarkan kepada peserta didik bahwa mereka dapat membangun makna. Peserta didik
berupaya memperoleh pemahaman yang tinggi dan guru membimbingnya. Pendekatan
konstruktivis untuk mengajar dan belajar didasarkan pada kombinasi subset penelitian dalam
psikologi kognitif dan subset penelitian dalam psikologi sosial (Huitt, 2003).14
Lev Vygotsky (1896-1934)15, seorang psikolog Soviet, yakin bahwa interaksi sosial
memainkan peran mendasar dalam perkembangan kognisi. Menurutnya budaya merupakan
13
Ibid. h. 40
14
Huitt, W. (2003). Constructivism. Educational Psychology Interactive. Valdosta, GA:
ValdostaState University, Retrieved April 21, 2008 from
http://chiron.valdosta.edu/whuitt/col/cogsys/construct.html
15
Vygotsky, L.S. 1978. Mind in Society. Cambridge, Mass.: Harvard.
penentu perkembangan individu. Manusia adalah satu-satunya spesies yang memiliki budaya,
dan setiap anak manusia berkembang dalam konteks budaya. Oleh karena itu, perkembangan
kognitif manusia sedikit banyak dipengaruhi oleh budaya di mana individu-individu terikat,
termasuk lingkungan keluarga.
17
Sutiah, Op. Cit., h. 109
18
Ibid. h. 110
Tugas seorang guru bukan saja menyampaikan materi pelajaran tetapi berfungsi sebagai
mediator dan fasilitator dalam proses pembelajaran. Guru seharusnya menyediakan atau
memberikan suatu kegiatan yang mampu merangsang keinginan peserta didik dalam menambah
pengetahuan yang dimilikinya, serta membantu mereka dalam mengekspresikan gagasan atau
ide-ide yang mereka miliki. Guru perlu mengerti pengalaman belajar mana yang lebih sesuai
dengan kebutuhan peserta didik. Ini dapat dilakukan dengan berpartisipasi sebagai pelajar juga di
tengah pelajar. Guru perlu membicarakan tentang tujuan dan apa yang akan dilakukan di kelas
bersama peserta didik, sehingga peserta didik terlibat langsung pada apa yang akan mereka
pelajari. Selain itu guru perlu memilki pemikiran yang fleksibel untuk dapat memahami apa yang
ada dalam fikiran peserta didik, karena terkadang peserta didik berfikir berdasarkan pengandaian
yang berbeda dengan apa yang ada dalam fikiran guru.
Belajar melibatkan konstruksi pengetahuan saat pengalaman baru diberi makna oleh
pengetahuan terdahulu. Persepsi yang dimiliki peserta didik mempengaruhi pembentukan
persepsi baru. Peserta didik menginterpretasikan pengalaman baru dan memperoleh pengetahuan
baru berdasarkan realitas yang telah terbentuk di dalam pikiran peserta didik. Pada proses
pembelajaran, guru mengambil prinsip konstruktivisme untuk menyusun metode mengajar yang
lebih menekankan keaktifan peserta didik. Sedangkan sebagai alat evaluasi, konstruktivisme
dapat digunakan untuk meneliti mengapa peserta didik tertentu dapat belajar lebih baik dengan
teman.
20
Ibid. h. 58
21
Cahyo, Agus N. 2013. Panduan Aplikasi Teori-Teori Belajar Mengajar Teraktual dan Terpopuler. Diva Press:
Yogyakarta. Hal.178-181.
1. Mendorong kemandirian dan inisiatif siswa dalam belajar
Dengan menghargai gagasan-gagasan atau pemikiran siswa serta mendorong siswa berpikir
mandiri, berarti guru telah membantu siswa menemukan identitas sintelektual mereka. Para
siswa yang merumuskan pertanyaan-pertanyaan dan kemudian menganalisis serta menjawabnya
berarti telah mengembangkan tanggung jawab terhadap proses belajar mereka sendiri serta
menjadi ”pemecah masalah” (problem solvers).
2. Guru mengajukan pertanyaan terbuka dan memberikan kesempatan beberapa waktu kepada
siswa untuk merespons.
Berpikir reflektif memerlukan waktu yang cukup dan sering kalli atas dasar gagasan-gagasan
dan komentar orang Iain. Cara-cara guru mengajukan pertanyaan dan cara siswa merespons atau
menjawabnya akan mendorong siswa mampu membangun keberhasilan dalam melakukan
penyelidikan.
Guru yang menerapkan proses pembelajaran konstruktivisme akan menantang para siswa untuk
mampu menjangkau hal-hal yang berada di balik respons-respons faktual yang sederhana. Guru
mendorong siswa untuk menghubungkan dan merangkum konsep-konsep melalui analisis,
prediksi, justifikasi, dan mempertahankan gagasan atau pemikirannya.
4. Siswa terlibat secara aktif dalam dialog atau diskusi dengan guru dan siswa lainnya
Dialog dan diskusi yang merupakan interaksi sosial dalam kelas yang bersifat intensif
sangat membantu siswa untuk mampu mengubah atau menguatkan gagasan-gagasannya. Jika
mereka memiliki kesempatan untuk mengemukakan apa yang mereka pikirkan dan
mendengarkan gagasan orang lain, maka mereka akan mampu membangun pengetahuan sendiri
yang didasarkan atas pemahaman sendiri. Jika merasa nyaman dan aman untuk mengemukakan
gagasan-gagasan mereka, maka dialog yang sangat bermakna akan tercipta di dalam kelas.
5. Siswa terlibat dalam pengalaman yang menantang dan mendorong terjadinya diskusi
Jika diberi kesempatan untuk menyusun berbagai macam prediksi, sering kali siswa
menghasilkan hipotesis tentang fenomena alam ini. Guru yang menerapkan konstruktivisme
dalam pembelajaran memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk menguji
hipotesis mereka, terutama melalui diskusi kelompok dan pengalaman nyata.
Proses pembelajaran yang menerapkan pendekatan konstruktivisme melibatkan para siswa dalam
mengamati dan menganalisis fenomena alam dalam dunia nyata. Guru kemudian membantu
siswa untuk menghasilkan abstraksi atau pemikiran-pemikiran tentang fenomena-fenomena alam
tersebut secara bersama-sama.
Kesimpulan
Teori belajar konstrutivisme merupakan suatu metode pembelajaran yang lebih
menekankan pada proses dan kebebasan dalam menggali pengetahuan. Teori ini memberikan
keaktifan terhadap siswa untuk belajar menemukan sendiri kompetensi, pengetahuan atau
teknologi dan hal lain yang diperlukan guna mengembangkan dirinya sendiri. Model
pembelajaran konstruktivisme adalah salah satu pandangan tentang proses pembelajaran yang
menyatakan bahwa dalam proses belajar diawali dengan terjadinya konflik kognitif. Konflik
kognitif ini hanya dapat diatasi melalui pengetahuan akan dibangun sendiri oleh anak melalui
pengalamannya dari hasil interaks dengan lingkungannya. Pembelajaran yang mengacu kepada
teori belajar konstruktivisme lebih memfokuskan pada kessuksesan siswa dalam
mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi atas apa yang
telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain, siswa lebih diutamakan untuk
mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan akomodasi.
Saran
a. Diharapkan kepada guru untuk menggunakan teori belajar konstruktivisme dalam proses
belajar mengajar. Khususnya mata pelajaran matematika.
b. Saat menerapkan teori belajar konstruktivisme guru haru aktif dalam mengelola kelas.
c. Pesrta didik diharapkan selalu aktif dalam menemukan cara belajar yang sesuai dengan
dirinya. Guru hanya sebagai fasilitator, mediator, dan teman yang membuat situasi kondusif
untuk terjadinya konstruksi pada dir peserta didik
DAFTAR PUSTAKA
1. Sadia, I Wayan. Efektivtas Model Konflik Kognitif dan Model Siklus Belajar untuk
Memperbaiki Miskonsepsi Siswa dalam Pembelajaran Fisika. hal 4.
http://www.google.com/url. (diakses pada 21 maret 2013).
2. Yuliati, Lia. Miskonsepsi dan Remidiasi Pembelajaran IPA. hal 278.
http://p4tkmatematika.org/file/ARTIKEL/Artikel Pendidikan/Miskonsepsi Materi
Geometri Siswa Sekolah Dasar_amini_rinakusumayanti.pdf. (diakses pada 22 Maret
2013).
3. Brooks, Jacqueline Grennon and Brooks, Martin G. (1993). The case for constructivist
classrooms. Alexandria, VA: ASCD
4. von Glasserfield, E. (1995). A constructivist approach to teaching. In L. Steffe & J. Gale
(Eds.), Constructivism in education (pp. 3-16). Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum
5. Kant, I. (1787). Kritik der reinen Vernunft (Vol. Ill, 2nd ed. - Werke, Koenigliche
Preussische Akademie der Wissenschaften). Berlin: Reimer (2nded., 1911).
6. Hume, D. (1758, 1963). An enquiry concerning human understanding. New York:
Washington Square Press (originally published in 1742 and entitled Philosophical essays
concerning human understanding. London: Millar).
7. Huitt, W. (2003). Constructivism. Educational Psychology Interactive. Valdosta, GA:
Valdosta State University, Retrieved April 21, 2008 from
http://chiron.valdosta.edu/whuitt/col/cogsys/construct.html
8. Vico, G. (1710). De antiquissima Italorum sapientia (Pomodoro, trans.,1858). Naples:
Stamperia de Classici Latini.
9. “Teorikonstruktifistik”,http://.freewebs.com/hjrahsaputra/catatan/TEORI%20%DAN
%20PEMBELAJARAN.htm, (diakses pada 19 November 2012)
10. Asri Budiningsih. Belajar dan Pembelajaran,( Jakarta:Rineka Cipta, 2005). h. 57,58
11. Merriam, S. B., & Caffarella, R. S. (1999). Learning in adulthood: A comprehensive
guide. (2nd ed.).San Francisco, CA: Jossey-Bass.
12. Nurhadi. Transformasi Teori kognitive dalam belajar dan pembelajaran Volume 2,
Nomor 1, April 2020 h. 39
13. Siti Annijat Maimunah. Pendekatan Konstruktivisme Dalam Membaca Pemahaman Bagi
Siswa Kelas V SD Negeri Kota Malang. El-Hikmah. Vol 1 No.1.2003
14. Sutiah. 2013. Buku ajar Teori Belajar dan Pembelajaran. Universitas Negeri Malang. h.
109
15. Cahyo, Agus N. 2013. Panduan Aplikasi Teori-Teori Belajar Mengajar Teraktual dan
Terpopuler. Diva Press: Yogyakarta. Hal.178-181.
16. Vygotsky, L.S. 1978. Mind in Society. Cambridge, Mass.: Harvard.