Anda di halaman 1dari 14

PENDAHULUAN

1.  Latar Belakang
Konstruktivisme adalah sintesis dari berbagai teori yang tersebar menjadi satu bentuk. Ini
adalah asimilasi dari cita-cita behavioris dan kognitif. “Pendirian konstruktivis menyatakan
bahwa belajar adalah proses membangun makna; ini adalah cara orang memahami pengalaman
mereka ”(Merriam dan Caffarella, 1999, hlm. 260)1. Belajar menurut pandangan konstruktivisme
adalah proses pengkonstruksian pengetahuan oleh individu pembelajar sebagai upaya pemberian
makna atas data sensori baru dalam hubungannya dengan pengetahuan sebelumnya. 2
Pengetahuan dikonstruksi secara unik oleh setiap individu pembelajar. Pembelajar akan secara
aktif mengkonstruksi pengetahuan untuk memahami dunia, menginterpretasikan informasi baru
dalam struktur kognitifnya. Menurut filosofi konstruktivisme, pengetahuan siswa dikontruksi
atau dibangun sendiri oleh siswa. Proses konstruksi diperoleh melalui interaksi dengan benda,
kejadian dan lingkungan. Ketika siswa berinteraksi dengan lingkungan belajar, siswa
mengkonstruksi pengetahuan berdasarkan pengalamannya dan besar kemungkinan terjadi
kesalahan dalam proses mengkontruksi. Konsep awal yang dimiliki siswa disebut dengan
konsepsi. Konsepsi yang tidak sesuai dengan konsep ilmiah disebut miskonsepsi.3
Menurut Brooks & Brooks (1993)4 konstruktivisme adalah lebih merupakan suatu filosofi
dan bukan suatu strategi pembelajaran. ”Constructivism is not an instructional strategy to be
deployed under appropriate conditions. Rather, constructivism is an underlying philosophy or
way of seeing the world”. Bahkan menurut Glasersfeld (1987) 5 konstruktivisme sebagai "teori
pengetahuan dengan akar dalam “filosofi, psikologi dan cybernetics". Von Glasersfeld
mendefinisikan konstruktivisme radikal selalu membentuk konsepsi pengetahuan. Ia melihat
pengetahuan sebagai sesuatu hal yang dengan aktip menerima yang apapun melalui pikiran sehat
atau melalui komunikasi. Hal itu secara aktip teruama dengan membangun pengetahuan. Kognisi
adalah adaptif dan membiarkan sesuatu untuk mengorganisir pengalaman dunia itu, bukan untuk
menemukan suatu tujuan kenyataan (von Glasersfeld, 1987)
Untuk memahami konstruktivisme, yang terpenting adalah terus-menerus menyadari
ambiguitas dalam penggunaan biasa dari istilah realitas. Di satu sisi, ini merujuk pada realitas
ontologis yang ada di baliknya semua yang tahu; kenyataan ini sejalan dengan Kant's Ding an
sich, yang mana ia memenuhi syarat sebagai fiksi heuristik (Kant, 1787, hal. 307ff; 1881-4, hal.
1
Merriam, S. B., & Caffarella, R. S. (1999). Learning in adulthood: A comprehensive guide. (2nd ed.).
San Francisco, CA: Jossey-Bass.
2
Sadia, I Wayan. Efektivtas Model Konflik Kognitif dan Model Siklus Belajar untuk Memperbaiki Miskonsepsi Siswa
dalam Pembelajaran Fisika. hal 4. http://www.google.com/url. (diakses pada 21 maret 2013).
3
Yuliati, Lia. Miskonsepsi dan Remidiasi Pembelajaran IPA. hal 278. http://p4tkmatematika.org/file/ARTIKEL/Artikel
Pendidikan/Miskonsepsi Materi Geometri Siswa Sekolah Dasar_amini_rinakusumayanti.pdf. (diakses pada 22
Maret 2013).
4
Brooks, Jacqueline Grennon and Brooks, Martin G. (1993). The case for constructivist classrooms. Alexandria, VA:
ASCD
5
von Glasserfield, E. (1995). A constructivist approach to teaching. In L. Steffe & J. Gale (Eds.), Constructivism in
education (pp. 3-16). Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum
572ff). Di sisi lain, ada realitas yang hidup dan nyata dari kita pengalaman, dari mana kita
memperoleh semua yang kita sebut "pengetahuan" - yaitu, tidak hanya struktur konseptual,
tindakan dan mental operasi yang dianggap layak, tetapi juga pola tindakan dan berpikir itu telah
gagal.6
Istilah pengalaman sulit untuk didefinisikan karena membutuhkan kesadaran dan saat ini
kami tidak memiliki model yang layak fenomena itu. Ini akan menggoda untuk mengatakan
bahwa segala sesuatu yang mencapai kesadaran kita menjadi pengalaman, tapi tentu saja seperti
itu definisi akan terlalu sempit. Di bawah hipnotis, misalnya mungkin untuk menemukan jejak
sensasi dan bahkan gagasan yang kita miliki sama sekali tidak menyadarinya sampai saat itu.
Namun demikian, saya telah memutuskan untuk melanjutkan dengan hipotesis kerja, menurut
pengalaman yang mana terdiri dari sensasi dan abstraksi empiris dan reflektif yang kita sadari.
Kedua, subjek kognitif beroperasi dalam alam pengalaman, dan sebagai hasilnya,
pengalaman ini selalu tersegmentasi dan diurutkan dari mode sekuensial fungsi yang melekat
dalam proses perhatian. Segmentasi pada dasarnya adalah produk sensorik dan motoric organ,
tetapi kemudian dibentuk oleh konsep subjek individu telah dibangun. Karenanya, pengalaman
selalu subjektif. Namun, penting untuk menunjukkan bahwa jenis subjektivitas yang mendasar
ini sama sekali tidak menghalangi perkembangan "intersubjektivitas"selama interaksi yang
mungkin disebut "sosial".
Ketiga, pengetahuan rasional selalu berhubungan dengan alam pengalaman dan pada
abstraksi (konsep, relasi, teori, model) yang mana telah dibangun dalam upaya untuk membuat
lebih atau kurang teratur, dunia yang dapat diprediksi. Pencarian model dengan kapasitas
prediksi ini berdasarkan keyakinan bahwa pengalaman masa depan akan serupa dengan
pengalaman masa lalu, setidaknya sejauh keteraturan yang telah terbukti layak sampai saat ini
yang bersangkutan (Hume, 1758)7. Giambattista Vico adalah filsuf pertama yang berbicara
secara eksplisit akal sebagai aktivitas manusia yang membangun pengetahuan ilmiah (Vico,
1710)8. Konstruktivisme radikal dibangun di atas wawasannya dan menjelaskan perbedaan antara
pengetahuan ini dan intuisi penyair, seniman secara umum, dan mistik. Pada dasarnya, ini adalah
perbedaan yang sama Kardinal Bellarmine menyarankan untuk menyelamatkan Galileo dari
dakwaan bidah. Galileo, katanya, dapat dengan mudah mempresentasikan teorinya sebagai
model yang dirancang untuk mengerjakan prediksinya, tetapi dia tidak pernah melakukannya
mengklaim bahwa itu adalah deskripsi sejati dari realitas absolut, realitas yang hanya Gereja
yang memiliki akses melalui wahyu.
Keempat, dari perspektif konstruktivis, ilmu pengetahuan adalah terdiri dari model
teoritis yang telah terbukti layak dalam area pengalaman tertentu. Bahkan jika model ilmiah
tertentu adalah terbaik yang tersedia saat ini, jangan pernah dipandang sebagai satu-satunya
kemungkinan memecahkan masalah yang dirancang. Selanjutnya, setiap kali ditemukan

6
Kant, I. (1787). Kritik der reinen Vernunft (Vol. Ill, 2nd ed. - Werke, Koenigliche Preussische Akademie der
Wissenschaften). Berlin: Reimer (2nded., 1911).
7
Hume, D. (1758, 1963). An enquiry concerning human understanding. New York: Washington Square Press
(originally published in 1742 and entitled Philosophical essays concerning human understanding. London: Millar).
8
Vico, G. (1710). De antiquissima Italorum sapientia (Pomodoro, trans.,1858). Naples: Stamperia de Classici Latini.
beberapa solusi, salah satunya mungkin lebih disukai karena alasan ekonomi, kesederhanaan,
atau "keanggunan", tetapi bukan karena itu "benar" dalam arti ontologis. Alih-alih kebenaran,
konstruktivisme berbicara tentang kelangsungan hidup dan kompatibilitas dengan sebelumnya
model yang dibangun. Dengan kata lain, model ilmiah adalah alat.

2. Ciri-Ciri Pendekatan Konstruktivistik


Menurut pandangan teori ini balajar adalah menyusun pengetahuan dari pengalaman
kongkrit, aktifitas kolabirasi, dan refleksi serta interprestasi. Sedangkan mengajar adalah menata
lingkungan agar si belajar termotivasi dalam menggali dan ketidakmenentuan 9 Sehingga teori ini
menitikberatkan pada upaya penyusunan pengetahuan. Dilihat dari bagaimana seorang peserta
didik menyusun pengetahuan maka dapat dikatakan bahwa belajar tersusun dari pengalaman satu
dengan yang lain di mana saling berhubungan sehingga muncul pengetahuan yang kompleks.
Dan dari satu pengalaman ke pengalaman selanjutnya peserta didik memahami dan memikirkan
antara satu kejadian dengan kejadian selanjutnya. Sehingga peserta didik akan memiliki
pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergantung pada pengalamannya atau sudut
pemikiran yang berbeda dalam menginterprestasikan pengetahuan tersebut10 Dalam pengelolaan
pembelajaran yang harus diutamakan adalah pengelolaan peserta didik dalam memproses
gagasannya, bukan semata-mata pada pengelolaan peserta didik dan lingkungan belajarnya
bahkan pada unjuk kerja atau prestasi belajarnya yang dikaitkan dengan sistem penghargaan dari
luar seperti nilai, ijasah, dan sebagainya.11 Oleh karena itu seorang peserta didik diharapkan
mampu dalam menuangkan gagasan yang dimiliki dengan alasan-alasan sebagai hasil dalam
memproses suatu pengetahuan.
Teori belajar konstruktivistik menitikberatkan pada bagaimana seorang peserta didik
mampu menyusun pengetahuan berdasarkan pemahamannya dirinya sendiri. Suatu pengetahuan
tersebut berasal dari satu pengalaman menuju pengalaman selanjutnya yang mana akan menjadi
suatu pengetahuan yang kompleks atau rinci. Guru tidak menstransferkan pengetahuan yang
dimilikinya tetapi hanya membantu dalam proses pembentukan pengetahuan oleh peserta didik
agar berjalan dengan lancar. Peserta didik menyusun pengetahuannya berdasarkan usaha dirinya
sendiri atau individu masing-masing, maka tugas guru adalah hanya sebagai fasilitator atau
mediator. Guru hanya memberi arahan agar peserta didik termotivasi dalam pembelajaran atau
mendapatkan suatu pengetahuan.12
Pembelajaran lebih menghargai pada pemunculan pertanyaan dan ideide peserta didik.
Sehingga peserta didik dipandang sebagai pemikir-pemikir yang dapat memunculkan teori-teori
tentang dirinya. Pada intinya ciri yang dilakukan teori belajar ini adalah memberikan kesempatan

9
“Teorikonstruktifistik”,http://.freewebs.com/hjrahsaputra/catatan/TEORI%20%DAN%20PEMBELAJARAN.htm,
(diakses pada 19 November 2012)
10
Ibid. (diakses pada 19 November 2012 )
11
Asri Budiningsih. Op. Cit., h. 58.
12
Nurhadi. Op. Cit., h. 39
kepada siswa untuk mengembangkan ide-idenya. Guru bersama-sama peserta didik mengkaji
pengetahuan tetapi kebenaran pengetahuan tetap pada pemikiran atau interpretasi masing-
masing. Oleh karena itu guru harus menguasai dan menerapkan strategi pembelajaran sehingga
mampu memotivasi peserta didik untuk menyusun pengetahuan. Dan dapat dikatakan bahwa
hubungan guru dan peserta didik adalah sebagai mitra yang bersama-sama dalam membangun
pengetahuan. Guru tetap harus mengawasi apa yang sedang dilakukan oleh peserta didik sebagai
cara untuk mengukur kemampuan peserta didik tersebut. Brooks memberikan ciri-ciri guru yang
mengajar dengan menggunakan pendekatan konstruktivistik. Adapun ciri-ciri tersebut adalah
sebagai berikut:13
a. Guru adalah salah satu dari berbagai macam sumber belajar, bukan satu-satunya sumber
belajar.
b. Guru membawa peserta didik masuk ke dalam pengalamanpengalaman yang menentang
konsepsi pengetahuan yang sudah ada dalam diri mereka.
c. Guru membiarkan peserta didik berfikir setelah mereka disuguhi beragam pertanyaan-
pertanyaan guru.
d. Guru menggunakan teknik bertanya untuk memancing peserta didik berdiskusi satu sama lain.
e. Guru menggunakan istilah-istilah kognitif seperti: klasifikasikan, analisis, dan ciptakanlah
ketika merancang tugas-tugas.
f. Guru membiarkan peserta didik bekerja secara otonom dan bersifat inisiatif sendiri.
g. Guru menggunakan data mentah dan sumber primer bersama-sama dengan bahan-bahan
pelajaran yang dimanipulasi.
h. Guru tidak memisahkan antara tahap mengetahui proses menemukan.
i. Guru mengusahakan agar peserta didik dapat mengkomunikasikan pemahaman mereka karena
dengan begitu mereka benar-benar sudah belajar.
Sedangkan ciri-ciri siswa dengan pendekatan konstruktivisme adalah peserta didik
membangun pengetahuan dalam pikirannya sendiri. Guru membantu proses pembangunan
pengetahuan agar peserta didik dapat memahami informasi dengan cepat. Disamping itu guru
menyadarkan kepada peserta didik bahwa mereka dapat membangun makna. Peserta didik
berupaya memperoleh pemahaman yang tinggi dan guru membimbingnya. Pendekatan
konstruktivis untuk mengajar dan belajar didasarkan pada kombinasi subset penelitian dalam
psikologi kognitif dan subset penelitian dalam psikologi sosial (Huitt, 2003).14
Lev Vygotsky (1896-1934)15, seorang psikolog Soviet, yakin bahwa interaksi sosial
memainkan peran mendasar dalam perkembangan kognisi. Menurutnya budaya merupakan
13
Ibid. h. 40
14
Huitt, W. (2003). Constructivism. Educational Psychology Interactive. Valdosta, GA:
ValdostaState University, Retrieved April 21, 2008 from
http://chiron.valdosta.edu/whuitt/col/cogsys/construct.html
15
Vygotsky, L.S. 1978. Mind in Society. Cambridge, Mass.: Harvard.
penentu perkembangan individu. Manusia adalah satu-satunya spesies yang memiliki budaya,
dan setiap anak manusia berkembang dalam konteks budaya. Oleh karena itu, perkembangan
kognitif manusia sedikit banyak dipengaruhi oleh budaya di mana individu-individu terikat,
termasuk lingkungan keluarga.

Menurut Vygotsky, budaya tampaknya memberikan dua macam kontribusi bagi


perkembangan intelektual anak. Pertama, anak-anak memperoleh banyak konten pemikiran
mereka (kognisi) darinya dan, kedua, mereka memperoleh proses atau cara berpikir mereka
darinya. Singkatnya, budaya mengajari anak-anak tentang apa yang harus dipikirkan dan
bagaimana cara berpikir. Dengan cara ini, anak-anak sangat mungkin untuk mencontohkan
perilaku mereka pada perilaku yang diamati oleh orang tua mereka. Oleh karena itu, belajar
bergantung pada interaksi sosial.
Adapun misi utama pendekatan konstruktivisme adalah membantu peserta didik untuk
membangun pengetahuannya sendiri melalui proses internalisasi, pembentukan kembali dan
melakukan yang baru.16 Dalam Al-qur’an pun terdapat beberapa ayat yang menyatakan bahwa
manusia sesungguhnya dirangsang untuk berfikir, dikemukakan dalam berbagai bentuk kalimat
tanya. Materi pertanyaanpun dalam Al-Qur’an melampaui kemampuan manusia biasa. Kita lihat
misalnya, dalam surat AlGhasiyah (88:17-20) sebagai berikut:
(17) Maka tidakkah mereka memperhatikan unta, bagaimana diciptakan?.
(18) Dan langit, bagaimana ditinggikan?. (19) Dan gunung-gunung di
tegakkan?. (20) Dan bumi bagaimana dihamparkan?.
Terdapat beberapa kalimat perintah dengan nuansa bertanya untuk memperhatikan
bagaimana gajah dijadikan, langit ditinggikan, bumi dihamparkan, dan gunung-gunung
ditegakkan. Pertanyaan-pertanyaan itu, mestinya menghentak kepada mereka yang peduli dan
serius pada Al- Qur’an dan selanjutnya membangun gerakan untuk menjawab lewat pengamatan
atau oleh fikir secara mendalam, luas dan menyeluruh. Pembelajaran harus memberikan
pengalaman belajar yang baik kepada peserta didik. Bagaimana semestinya mereka harus belajar,
belajar berinteraksi dengan orang lain, belajar mengemukakan ide atau pikiran serta pengalaman-
pengalamannya, semuanya akan menjadi pengalaman yang sangat penting bagi peserta didik.
Konstruktivisme tidak bertujuan untuk mengerti kenyataan, melainkan menggambarkan
proses menjadi tahu akan sesuatu. Menurut konstruktivisme, belajar merupakan proses aktif
peserta didik dalam mengkonstruksikan arti, wacana, dialog, dan pengalaman fisik. Belajar juga
merupakan proses mengasimilasi dan menghubungkan pengalaman atau informasi yang
dipelajari dengan pengertian yang sudah dimiliki sehingga pengetahuan peserta didik
berkembang. Dari keterangan diatas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa teori ini memberikan
keaktifan terhadap peserta didik untuk belajar menemukan sendiri kompetensi, pengetahuan atau
teknologi, dan hal lain yang diperlukan guna mengembangkan dirinya sendiri.
16
Siti Annijat Maimunah. Pendekatan Konstruktivisme Dalam Membaca Pemahaman Bagi
Siswa Kelas V SD Negeri Kota Malang. El-Hikmah. Vol 1 No.1.2003
3. Prinsip-Prinsip Pendekatan Konstruktivistik
a. Pengetahuan dibangun oleh peserta didik sendiri, baik secara personal maupun social
Telah dikatakan di atas bahwa pengetahuan yang diperoleh oleh seseorang
dikonstruksikan oleh individu itu sendiri, melalui indera yang dimiliki. Pengetahuan merupakan
akibat dari konstruksi kenyataan melalu kegiatan seseorang. Sehingga pengetahuan seseorang
diperoleh dengan melalui pengalaman yang dilakukan oleh peserta didik. Dan peserta didik akan
membangun pengalamannya tersebut sebagai suatu pengetahuan yang kemudian dipikirkan
dengan akalnya.17
b. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke peserta didik, kecuali hanya dengan
keaktifan peserta didik sendiri untuk menalar.
Dari prinsip yang pertama, maka memunculkan prinsip yang kedua. Jika seorang guru
bermaksud untuk mengajarkan atau menstransfer konsep, ide atau pengertian kepada peserta
didik nya, maka proses transfer itu harus diinterpretasikan dan dikonstruksi oleh dirinya sendiri
melelui pengalamannya. Banyak peserta didik keliru menangkap apa yang diajarkan oleh guru.
Yang namanya mengikuti pelajaran guru bukan menghafal rinci persis apa yang diberikan atau
yang dikatakan guru, melainkan bagaimana peserta didik menginterprestasikan dan
mengkonstrukasi pengetahuan atau pengalaman dari guru untuk dikembangkan sendiri.
c. Murid aktif mengkonstruksi terus-menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep menuju
konsep yang lebih rinci, lengkap, serta sesuai dengan konsep ilmiah
Seseorang membentuk pengetahuan melalui pengalaman yang satu ke pengalaman selanjutnya
sehingga pengetahuan itu menjadi sempurna. Dalam pikiran seseorang sudah ada pengetahuan
yang pertama dan pengetahuan tersebut akan berkembang menjadi pengetahuan yang lebih rinci.
Sebagai contoh seorang peserta didik memiliki skema tentang orang wanita yang sholat
menggunakan mukena warna putih. Dalam pikirannya terbangun skema bahwa seorang wanita
kalau sholat harus menggunakan mukena warna putih. Suatu ketika ia berkesempatan
menyaksikan orang wanita yang sholat menggunakan mukena warna kuning, orange, hitam, dan
motif bunga.
Dalam kesempatan berikutnya ia menyaksikan seorang wanita sholat memakai busana wanita
lengkap. Dalam pikiran peserta didik tersebut berkesimpulan bahwa seorang wanita yang sholat
tidak harus menggunakan mukena warna putih yang terpenting harus menutup aurat. Dalam
proses ini tampak bahwa skema lama tetap dipertahankan namun dikembangkan menjadi lebih
rinci sehingga dapat dipergunakan untuk menjawab beberapa perbedaan pengalaman.18
d. Guru sekedar membantu penyediaan sarana dan situasi agar proses konstruksi peserta didik
mulus

17
Sutiah, Op. Cit., h. 109
18
Ibid. h. 110
Tugas seorang guru bukan saja menyampaikan materi pelajaran tetapi berfungsi sebagai
mediator dan fasilitator dalam proses pembelajaran. Guru seharusnya menyediakan atau
memberikan suatu kegiatan yang mampu merangsang keinginan peserta didik dalam menambah
pengetahuan yang dimilikinya, serta membantu mereka dalam mengekspresikan gagasan atau
ide-ide yang mereka miliki. Guru perlu mengerti pengalaman belajar mana yang lebih sesuai
dengan kebutuhan peserta didik. Ini dapat dilakukan dengan berpartisipasi sebagai pelajar juga di
tengah pelajar. Guru perlu membicarakan tentang tujuan dan apa yang akan dilakukan di kelas
bersama peserta didik, sehingga peserta didik terlibat langsung pada apa yang akan mereka
pelajari. Selain itu guru perlu memilki pemikiran yang fleksibel untuk dapat memahami apa yang
ada dalam fikiran peserta didik, karena terkadang peserta didik berfikir berdasarkan pengandaian
yang berbeda dengan apa yang ada dalam fikiran guru.
Belajar melibatkan konstruksi pengetahuan saat pengalaman baru diberi makna oleh
pengetahuan terdahulu. Persepsi yang dimiliki peserta didik mempengaruhi pembentukan
persepsi baru. Peserta didik menginterpretasikan pengalaman baru dan memperoleh pengetahuan
baru berdasarkan realitas yang telah terbentuk di dalam pikiran peserta didik. Pada proses
pembelajaran, guru mengambil prinsip konstruktivisme untuk menyusun metode mengajar yang
lebih menekankan keaktifan peserta didik. Sedangkan sebagai alat evaluasi, konstruktivisme
dapat digunakan untuk meneliti mengapa peserta didik tertentu dapat belajar lebih baik dengan
teman.

4. Komponen Pembelajaran Pada Pendekatan Konstruktivistik

Adapun komponen yang ada dalam pendekatan konstruktivistik terdiri dari:19


a. Tujuan pembelajaran: menghasilkan manusia-manusia yang memiliki kepekaan (ketajaman
baik dalam arti kemampuan berfikirnya), kemandirian (kemampuan menilai proses dan hasil
berfikir sendiri), tanggung jawab terhadap resiko dalam mengambil keputusan, mengembangkan
segenap aspek potensi melalui proses belajar yang terus menerus untuk menemukan diri sendiri
yaitu suatu proses ”Learn To Be” serta mampu melakukan kolaborasi dalam memecahkan
masalah yang luas dan kompleks bagi kelestarian dan kejayaan bangsanya.
b. Strategi pembelajaran:
1) Membebaskan peserta didik dari belenggu kurikulum yang berisi fakta-fakta lepas yang sudah
di tetapkan dan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan idenya
lebih luas.
2) Menempatkan peserta didik sebagai tempat timbulnya interes, untuk membuat hubungan
diantara ide-ide atau gagasannya, kemudian memformulasikan kembali ide-ide tersebut serta
membuat kesimpulan-kesimpulan.
19
Asri Budiningsih. Op. Cit., h. 57
3) Guru mengakui bahwa proses belajar serta penilaiannya merupakan suatu usaha yang
kompleks, sukar dipahami, tidak teratur dan mudah dikelola.
4) Guru bersama peserta didik mengkaji pesan-pesan penting bahwa dunia adalah kompleks,
dimana terdapat macam- macam pandangan tentang kebenaran yang datangnya dari berbagai
interpretasi.

c. Peranan dalam pembelajaran:


Peran guru: membantu agar proses mengkonstruksi pengetahuan oleh peserta didik berjalan
lancar.
Peran peserta didik: pembentukan pengetahuan oleh peserta didik.
Ia harus aktif dalam berkegiatan, aktif berfikir, menyusun konsep dan member makna tentang
hal-hal yang sedang dipelajari.
d. Evaluasi pembelajaran
Evaluasi belajar dari teori konstruktivistik mengemukakan bahwa lingkungan belajar
sangat mendukung munculnya berbagai pandangan dan interpretasi terhadap realitas, konstruksi
pengetahuan, serta aktivitas-aktivitas lain yang didasarkan dari pengalaman. Pandangan
konstruktivistik mengakui bahwa pikiran adalah instrument penting dalam menginterpretasikan
kejadian, objek dan pandangan terhadap dunia nyata, di mana interpretasi tersebut terdiri dari
pengetahuan dasar manusia secara individual. Sedangkan untuk evaluasi, teori ini menggunakan
goal-free evalution, yaitu suatu konstruk untuk mengatasi kelemahan evaluasi pada tujuan
spesifik.
Evaluasi akan lebih objektif jika evaluator tidak di beri informasi tentang tujuan
selanjutnya, tujuan belajar mengarahkan pembelajaran yang juga akan mengontrol aktivitas
belajar peserta didik.20
Dari semua komponen dalam konstruktivistik yang lebih diutamakan adalah tujuan
pembelajaran karena mengajarkan kepada peserta didik untuk mengambil keputusan,
mengembangkan segenap aspek potensi mereka melalui proses belajar yang terus menerus untuk
menemukan diri sendiri serta mampu melakukan kolaborasi dalam memecahkan masalah yang
luas.
Kalau kita simak ciri-ciri pembelajaran konstruktivisme sebelumnya, maka penerapan
konsep ini di dalam kelas, menurut Asrori (2007)21, adalah sebagai berikut:

20
Ibid. h. 58
21
Cahyo, Agus N. 2013. Panduan Aplikasi Teori-Teori Belajar Mengajar Teraktual dan Terpopuler. Diva Press:
Yogyakarta. Hal.178-181.
1. Mendorong kemandirian dan inisiatif siswa dalam belajar
Dengan menghargai gagasan-gagasan atau pemikiran siswa serta mendorong siswa berpikir
mandiri, berarti guru telah membantu siswa menemukan identitas sintelektual mereka. Para
siswa yang merumuskan pertanyaan-pertanyaan dan kemudian menganalisis serta menjawabnya
berarti telah mengembangkan tanggung jawab terhadap proses belajar mereka sendiri serta
menjadi ”pemecah masalah” (problem solvers).

2. Guru mengajukan pertanyaan terbuka dan memberikan kesempatan beberapa waktu kepada
siswa untuk merespons.

Berpikir reflektif memerlukan waktu yang cukup dan sering kalli atas dasar gagasan-gagasan
dan komentar orang Iain. Cara-cara guru mengajukan pertanyaan dan cara siswa merespons atau
menjawabnya akan mendorong siswa mampu membangun keberhasilan dalam melakukan
penyelidikan.

3. Mendorong siswa berpikir tingkat tinggi

Guru yang menerapkan proses pembelajaran konstruktivisme akan menantang para siswa untuk
mampu menjangkau hal-hal yang berada di balik respons-respons faktual yang sederhana. Guru
mendorong siswa untuk menghubungkan dan merangkum konsep-konsep melalui analisis,
prediksi, justifikasi, dan mempertahankan gagasan atau pemikirannya.

4. Siswa terlibat secara aktif dalam dialog atau diskusi dengan guru dan siswa lainnya

Dialog dan diskusi yang merupakan interaksi sosial dalam kelas yang bersifat intensif
sangat membantu siswa untuk mampu mengubah atau menguatkan gagasan-gagasannya. Jika
mereka memiliki kesempatan untuk mengemukakan apa yang mereka pikirkan dan
mendengarkan gagasan orang lain, maka mereka akan mampu membangun pengetahuan sendiri
yang didasarkan atas pemahaman sendiri. Jika merasa nyaman dan aman untuk mengemukakan
gagasan-gagasan mereka, maka dialog yang sangat bermakna akan tercipta di dalam kelas.

5. Siswa terlibat dalam pengalaman yang menantang dan mendorong terjadinya diskusi

Jika diberi kesempatan untuk menyusun berbagai macam prediksi, sering kali siswa
menghasilkan hipotesis tentang fenomena alam ini. Guru yang menerapkan konstruktivisme
dalam pembelajaran memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk menguji
hipotesis mereka, terutama melalui diskusi kelompok dan pengalaman nyata.

6. Guru menggunakan data mentah, sumber-sumber utama, dan materi-materi interaktif

Proses pembelajaran yang menerapkan pendekatan konstruktivisme melibatkan para siswa dalam
mengamati dan menganalisis fenomena alam dalam dunia nyata. Guru kemudian membantu
siswa untuk menghasilkan abstraksi atau pemikiran-pemikiran tentang fenomena-fenomena alam
tersebut secara bersama-sama.

Pembelajaran kontruktivistik membantu siswa menginternalisasi dan


mentransformasi informasi baru.Perbedaan karakteristik antara pembelajaran tradisional
(behavioristik) dengan pembelajaran konstruktivisme, adalah sebagai berikut.

Pembelajaran Tradisional Pembelajaran Konstruktivisme


1.Kurikulum disajikan dari bagian-bagian 1.Kurikulum disajikan mulai dari
menuju keseluruhan dengan menekankan keseluruhan menuju kebagian-bagian, dan
pada keterampilan-keterampilan dasar. lebih mendekatkan pada konsep-konsep
yang lebih luas.
2.Pembelajaran sangat taat pada kurikulum 2.Pembelajaran lebih menghargai pada
yang telah ditetapkan. pemunculan pertanyaan dan ide-ide siswa.
3.Kegiatan kurikuler lebih banyak 3.Kegiatan kurikuler lebih banyak
mengandalkan pada buku teks dan buku mengandalkan pada sumber-sumber data
kerja primer dan manipulasi bahan.
4.Siswa dipandang sebagai: “kertas kosong” 4.siswa dipandang sebagai pemikir yang
yang dapat digoresi informasi oleh guru, dan dapat memunculkan teori-teori tentang
guru-guru pada umumnya menggunakan cara dirinya.
didaktik dalam menyampaikan informasi
kepada siswa
5.Penilaian hasil belajar atau pengetahuan 5.pengukuran proses dan hasil belajar
siswa dipandang sebagai bagian dari siswa terjalin di dalam kesatuan kegiatan
pembelajaran, dan biasanya dilakukan pada pembelajaran, dengan cara guru mengamati
akhir pembelajaran dengan cara testing. hal-hal yang sedang dilakukan siswa, serta
melalui tugas-tugas pekerjaan.
6.Siswa-siswi biasanya bekerja sendiri- 6. siswa-siswi banyak belajar dan bekerja
sendiri, tanpa ada grup proses dalam belajar. di dalam grup proses.

Pembelajaran dengan Model kontruktivisme memiliki keunggulan antara lain22:


1. Pembelajaran berdasarkan konstruktivisme memberikan kesempatan kepada siswa untuk
mengungkapkan gagasan secara eksplisit dengan menggunakan bahasa siswa sendiri,
berbagi gagasan dengan temannya, dan mendorong siswa memberikan penjelasan tentang
gagasannya.
2. pembelajaran berdasarkan konstruktivisme memberi pengalaman yang berhubungan
dengan gagasan yang telah dimiliki siswa atau rancangan kegiatan disesuaikan dengan
gagasan awal siswa agar siswa memperluas pengetahuan mereka tentang fenomena dan
memiliki kesempatan untuk merangkai fenomena, sehingga siswa terdorong untuk
membedakan dan memadukan gagasan tentang fenomena yang menantang siswa.
22
Cahyo, Agus N. 2013. Panduan Aplikasi Teori-Teori Belajar Mengajar Teraktual dan Terpopuler. Diva Press:
Yogyakarta. Hal.178-181.
Pembelajaran konstruktivisme memberi siswa kesempatan untuk berpikir tentang
pengalamannya. Ini dapat mendorong siswa berpikir kreatif, imajinatif, mendorong
refleksi tentang model dan teori, mengenalkan gagasan-gagasanpada saat yang tepat.
3. Pembelajaran berdasarkan konstruktivisme memberi kesempatan kepada siswa untuk
mencoba gagasan baru agar siswa terdorong untuk memperoleh kepercayaan diri dengan
menggunakan berbagai konteks, baik yang telah dikenal maupun yang baru dan akhirnya
memotivasi siswa untuk menggunakan berbagai strategi belajar. Murid yang belajar
secara konstruktivisme diberi peluang untuk membina sendiri kefahaman mereka tentang
sesuatu. Ini menjadikan mereka lebih yakin kepada diri sendiri dan berani menghadapi
dan menyelesaikan masalah dalam situasi baru.
4. Pembelajaran Konstruktivisme mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan
merka setelah menyadari kemajuan mereka serta memberi kesempatan siswa untuk
mengidentifikasi perubahan gagasan mereka. Kefahaman murid tentang sesuatu konsep
dan idea lebih jelas apabila mereka terlibat secara langsung dalam pembinaan
pengetahuan baru. Seorang murid yang memahami apa yang dipelajari akan dapat
mengaplikasikan pengetahuan yang baru dalam kehidupan dan situasi baru.
5. Pembelajaran Konstruktivisme memberikan lingkungan belajar yang kondusif yang
mendukung siswa mengungkapkan gagasan, saling menyimak, dan menghindari kesan
selalu ada satu jawaban yang benar.
6. Murid yang berkemahiran sosial boleh bekerjasama dengan orang lain dalam menghadapi
sebarang cabaran dan masalah. Kemahiran sosial ini diperoleh apabila murid berinteraksi
dengan rakan-rakan dan guru dalam membina pengetahuan mereka.
Kelemahan Model Konstruktivisme
1. Model pembelajaran konstruktivisme memiliki beberapa kendala pada
pengaplikasiannya. Ada beberapa kendala yang mungkin timbul dalam penerapan teori
belajar dengan pendekatan konstruktivis yaitu:
2. Guru merasa kesulitan memberikan contoh-contoh konkrit dan realistik dalam proses
pembelajaran. Dalam hal ini guru harus memiliki kreatifitas yang tinggi dalam
menyampaikan materi. Apalagi dalam hal ini guru sejarah kurang bisa membawa nilai-
nilai masa lalu untuk diterapkan dalam masa sekarang.
3. Guru tidak ingin berubah dalam menggunakan model pembelajaran. Guru merasa
nyaman dengan model pembelajaran tradisional, yaitu model ceramah. Pandangan guru
terhadap siswa diibaratkan siswa seperti bejana yang masih kosong perlu diisi oleh ilmu
pengetahuan yang dimiliki guru. Guru merasa dengan menggunakan model tradisional
saja bisa mendapatkann nilai yanng tinggi, sehingga tidak perlu menggunakan model
pembelajaran lainnya.
4. Guru berpikir bahwa pembelajaran konstruktivisme memerlukan lebih banyak waktu.
Proses pembelajaran konstruktivisme ingin membuat siswa menjadi aktif, hal in
terkadang juga terkendala dengan kemampuan kognitif siswa. Beban mengajar guru
sudah terlalu banyak.
5. Belum adanya alat-alat laboratorium yang cukup memadai untuk jumlah siswa yang
besar. Kebanyakan sekolahan masih terbatas dalam menyediakan fasilitas guna
mendukung pembelajaran konstruktivisme. Sarana dan prasarana kurang mendukug
pembelajaran model konstruktivisme.
6. Terlalu banyak bidang studi yang harus dipelajari dalam kurikulum. Masih ada banyak
guru yang mengajar diluar bidang studi sesuai kualifikasinya. Sehingga penguasaan
materi oleh guru kurang memadai.

Kesimpulan
Teori belajar konstrutivisme merupakan suatu metode pembelajaran yang lebih
menekankan pada proses dan kebebasan dalam menggali pengetahuan. Teori ini memberikan
keaktifan terhadap siswa untuk belajar menemukan sendiri kompetensi, pengetahuan atau
teknologi dan hal lain yang diperlukan guna mengembangkan dirinya sendiri. Model
pembelajaran konstruktivisme adalah salah satu pandangan tentang proses pembelajaran yang
menyatakan bahwa dalam proses belajar diawali dengan terjadinya konflik kognitif. Konflik
kognitif ini hanya dapat diatasi melalui pengetahuan akan dibangun sendiri oleh anak melalui
pengalamannya dari hasil interaks dengan lingkungannya. Pembelajaran yang mengacu kepada
teori belajar konstruktivisme lebih memfokuskan pada kessuksesan siswa dalam
mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi atas apa yang
telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain, siswa lebih diutamakan untuk
mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan akomodasi.
Saran
a. Diharapkan kepada guru untuk menggunakan teori belajar konstruktivisme dalam proses
belajar mengajar. Khususnya mata pelajaran matematika.
b. Saat menerapkan teori belajar konstruktivisme guru haru aktif dalam mengelola kelas.
c. Pesrta didik diharapkan selalu aktif dalam menemukan cara belajar yang sesuai dengan
dirinya. Guru hanya sebagai fasilitator, mediator, dan teman yang membuat situasi kondusif
untuk terjadinya konstruksi pada dir peserta didik
DAFTAR PUSTAKA
1. Sadia, I Wayan. Efektivtas Model Konflik Kognitif dan Model Siklus Belajar untuk
Memperbaiki Miskonsepsi Siswa dalam Pembelajaran Fisika. hal 4.
http://www.google.com/url. (diakses pada 21 maret 2013).
2. Yuliati, Lia. Miskonsepsi dan Remidiasi Pembelajaran IPA. hal 278.
http://p4tkmatematika.org/file/ARTIKEL/Artikel Pendidikan/Miskonsepsi Materi
Geometri Siswa Sekolah Dasar_amini_rinakusumayanti.pdf. (diakses pada 22 Maret
2013).
3. Brooks, Jacqueline Grennon and Brooks, Martin G. (1993). The case for constructivist
classrooms. Alexandria, VA: ASCD
4. von Glasserfield, E. (1995). A constructivist approach to teaching. In L. Steffe & J. Gale
(Eds.), Constructivism in education (pp. 3-16). Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum
5. Kant, I. (1787). Kritik der reinen Vernunft (Vol. Ill, 2nd ed. - Werke, Koenigliche
Preussische Akademie der Wissenschaften). Berlin: Reimer (2nded., 1911).
6. Hume, D. (1758, 1963). An enquiry concerning human understanding. New York:
Washington Square Press (originally published in 1742 and entitled Philosophical essays
concerning human understanding. London: Millar).
7. Huitt, W. (2003). Constructivism. Educational Psychology Interactive. Valdosta, GA:
Valdosta State University, Retrieved April 21, 2008 from
http://chiron.valdosta.edu/whuitt/col/cogsys/construct.html
8. Vico, G. (1710). De antiquissima Italorum sapientia (Pomodoro, trans.,1858). Naples:
Stamperia de Classici Latini.
9. “Teorikonstruktifistik”,http://.freewebs.com/hjrahsaputra/catatan/TEORI%20%DAN
%20PEMBELAJARAN.htm, (diakses pada 19 November 2012)
10. Asri Budiningsih. Belajar dan Pembelajaran,( Jakarta:Rineka Cipta, 2005). h. 57,58
11. Merriam, S. B., & Caffarella, R. S. (1999). Learning in adulthood: A comprehensive
guide. (2nd ed.).San Francisco, CA: Jossey-Bass.
12. Nurhadi. Transformasi Teori kognitive dalam belajar dan pembelajaran Volume 2,
Nomor 1, April 2020 h. 39
13. Siti Annijat Maimunah. Pendekatan Konstruktivisme Dalam Membaca Pemahaman Bagi
Siswa Kelas V SD Negeri Kota Malang. El-Hikmah. Vol 1 No.1.2003
14. Sutiah. 2013. Buku ajar Teori Belajar dan Pembelajaran. Universitas Negeri Malang. h.
109
15. Cahyo, Agus N. 2013. Panduan Aplikasi Teori-Teori Belajar Mengajar Teraktual dan
Terpopuler. Diva Press: Yogyakarta. Hal.178-181.
16. Vygotsky, L.S. 1978. Mind in Society. Cambridge, Mass.: Harvard.

Anda mungkin juga menyukai