Anda di halaman 1dari 33

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Belajar adalah sebuah proses yang terjadi pada manusia dengan berpikir,

merasa, dan bergerak untuk memahami setiap kenyataan yang diinginkannya

untuk menghasilkan kecakapan  atau pengetahuan ,sebuah perilaku, pengetahuan,

atau teknologi atau apapun yang berupa karya dan karsa manusia tersebut untuk

menjadi yang lebih baik ke depan. Belajar berarti sebuah pembaharuan menuju

pengembangan diri individuagar kehidupannya bisa lebih baik dari sebelumnya.

Belajar pula bisa berarti adaptasi terhadap lingkungan dan interaksi seorang

manusia dengan lingkungan tersebut.

Berpijak dari pandangan itu Konstruktivisme berkembang. Dasarnya

pengetahuan dan keterampilan siswa diperoleh dari konteks yang terbatas dan

sedikit demi sedikit.Kontruktivisme merupakan aliran filsafat pengetahuan yang

menekankan bahwa pengetahuan kita merupakan hasil konstruksi kita sendiri (von

Glaserfeld dalam Pannen dkk, 2001:3). Konstruktivisme sebagai aliran filsafat,

banyak mempengaruhi konsep ilmu pengetahuan, teori belajar dan pembelajaran.

Konstruktivisme menawarkan paradigma baru dalam dunia pembelajaran. Sebagai

landasan paradigma pembelajaaran, konstruktivisme menyerukan perlunya

partisipasi aktif siswa dalam proses pembelajaran, perlunya pengembagan siswa

belajar mandiri, dan perlunya siswa memiliki kemampun untuk mengembangkan

pengetahuannya sendiri.
2

Akibatnya, oreintasi pembelajaran di kelas mengalami pergeseran.

Orentasi pembelajaran bergeser dari berpusat pada guru mengajar ke

pembelajaran berpusat pada siswa.Siswa tidak lagi diposisikan bagaikan bejana

kosong yang siap diisi. Dengan sikap pasrah siswa disiapkan untuk dijejali

informasi oleh gurunya. Atau siswa dikondisikan sedemikian rupa untuk

menerima pengatahuan dari gurunya. Siswa kini diposisikan sebagai mitra belajar

guru. Guru bukan satu-satunya pusat informasi dan yang paling tahu. Guru hanya

salah satu sumber belajar atau sumber informasi. Sedangkan sumber belajar yang

lain bisa teman sebaya, perpustakaan, alam, laboratorium, televisi, koran dan

internet.

Sebagai fasilitator guru bertanggung jawab terhadap kegiatan

pembelajaran di kelas. Diantara tanggung jawab guru dalam pembelajaran adalah

menstimulasi dan memotivasi siswa. Mendiagnosis dan mengatasi kesulitan siswa

serta menyediakan pengalaman untuk menumbuhkan pemahaman siswa

(Suherman dkk, 2001:76).

Oleh karena itu, guru harus menyediakan dan memberikan kesempatan

sebanyak mungkin kepada siswa untuk belajar secara aktif. Sedemikian rupa

sehingga para siswa dapat menciptakan, membangun, mendiskusikan,

membandingkan, bekerja sama, dan melakukan eksperimentasi dalam kegiatan

belajarnya (Setyosari, 1997: 53).

B. Rumusan Masalah

 Bagaimana konsep kontruktivisme dalam pendidikan?

 Bagaimana isu terkait kotruktivisme dalam pendidikan?


3

C. Tujuan

 Untuk mengetahui konsep kontruktivisme dalam pendidikan

 Untuk mengetahui isu terkait kontruktivisme dalam pendidikan


4

BAB II

SUBSTANSI MATERI

A. Pengertian Kontruktivisme

Konstruktivisme berasal dari kata konstruktiv dan isme. Konstruktiv berarti

bersifat membina, memperbaiki, dan membangun. Sedangkan Isme dalam kamus

Bahasa Indonesia berarti paham atau aliran. Konstruktivisme merupakan aliran

filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita merupakan hasil

konstruksi kita sendiri (von Glaserfeld dalam Pannen dkk, 2001:3).

Konstruksi berarti bersifat membangun. Konstruktivisme adalah sebuah

teori yang memberikan kebebasan terhadap manusia yang ingin belajar atau

mencari kebutuhannya dengan kemampuan untuk menemukan keinginan atau

kebutuhannya dengan bantuan fasilitasi orang lain.Kontruksi berarti bersifat

membangun, dalam konteks filsafat pendidikan, Konstruktivisme adalah suatu

upaya membangun tata susunan hidup yang berbudaya modern. Konstruktivisme

merupakan landasan berfikir (filosofi) pembelajaran konstektual yaitu bahwa

pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas

melalui konteks yang terbatas dan tidak sekonyong-konyong. Pengetahuan

bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil

dan diingat. Manusia harus mengkontruksi pengetahuan itu dan memberi makna

melalui pengalaman nyata.

Teori Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat

generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari.

Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru, apa yang


5

dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan

pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai

pengetahuan dan menjadi lebih dinamis.

Pendekatan konstruktivisme mempunyai beberapa konsep umum seperti:

1. Pelajar aktif membina pengetahuan berasaskan pengalaman yang sudah ada.

2. Dalam konteks pembelajaran, pelajar seharusnya membina sendiri

pengetahuan mereka.

3. Pentingnya membina pengetahuan secara aktif oleh pelajar sendiri melalui

proses saling mempengaruhi antara pembelajaran terdahulu dengan pembelajaran

terbaru.

4. Unsur terpenting dalam teori ini ialah seseorang membina pengetahuan

dirinya secara aktif dengan cara membandingkan informasi baru dengan

pemahamannya yang sudah ada.

5. Ketidakseimbangan merupakan faktor motivasi pembelajaran yang utama.

Faktor ini berlaku apabila seorang pelajar menyadari gagasan-gagasannya tidak

konsisten atau sesuai dengan pengetahuan ilmiah.

6. Bahan pengajaran yang disediakan perlu mempunyai perkaitan dengan

pengalaman pelajar untuk menarik minat pelajar.

Menurut Wheatley (1991: 12) berpendapat dengan mengajukan dua

prinsip utama dalam pembelajaran dengan teori belajar konstrukltivisme. Pertama,

pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif oleh struktur

kognitif siswa. Kedua, fungsi kognisi bersifat adaptif dan membantu

pengorganisasian melalui pengalaman nyata yang dimiliki anak.


6

Dari pengertian di atas menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan

anak secara aktif dalam proses pengaitan sejumlah gagasan dan pengkonstruksian

ilmu pengetahuan melalui lingkungannya. Bahkan secara spesifik Hudoyo (1990:

4) mengatakan bahwa seseorang akan lebih mudah mempelajari sesuatu bila

belajar itu didasari kepada apa yang telah diketahui orang lain. Oleh karena itu,

untuk mempelajari suatu materi yang baru, pengalamanbelajar yang lalu dari

seseorang akan mempengaruhi terjadinya proses belajar tersebut.

Teori konstruktivisme juga merupakan landasan berfikir (filosofi)

pembelajaran kontekstual yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia

sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas.

Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep atau kaidah yang siap

untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan

memberi makna melalui pengalaman nyata.

Teori pembelajaran konstruktivisme ini sama halnya dengan model

pembelajaran experiental learning, yaitu suatu model dimana, proses belajar

mengajar yang mengaktifkan pembelajar untuk membangun pengetahuan dan

keterampilan melalui pengalamannya secara langsung. Experiental Learning

adalah : proses dimana pengetahuan diciptakan melalui transformasi pengalaman.

Hasil Pengetahuan dari kombinasi menggenggam dan mentransformasikan

pengalaman (Kolb, 1984).

Teori Konstruktivistik memandang bahwa belajar adalah mengonstruksi

makna atas informasi dan masukan-masukan yang masuk ke dalam otak. Belajar

yang bersifat konstruktif ini sering digunakan untuk menggambarkan jenis belajar
7

yang terjadi selama penemuan ilmiah dan pemecahan masalah kreatif di dalam

kehidupan sehari-hari. Pada teori ini juga memandang peserta didik sebagai

individu yang selalu memeriksa informasi baru yang berlawanan dengan prinsip-

prinsip yang telah ada dan merevisi prinsip-prinsip tersebut apabila sudah

dianggap tidak dapat digunakan lagi. Hal ini memberikan implikasi bahwa peserta

didik harus terlibat aktif dalam kegiatan pembelajaran.

Dengan demikian, belajar menurut teori konstruktivisme bukanlah sekadar

menghafal, akan tetapi proses mengkonstruksi pengetahuan melalui pengalaman.

Pengetahuan bukanlah hasil ”pemberian” dari orang lain seperti guru, akan tetapi

hasil dari proses mengkonstruksi yang dilakukan setiap individu. Pengetahuan

hasil dari ”pemberian” tidak akan bermakna. Adapun pengetahuan yang diperoleh

melalui proses mengkonstruksi pengetahuan itu oleh setiap individu akan

memberikan makna mendalam atau lebih dikuasai dan lebih lama

tersimpan/diingat dalam setiap individu.

Adapun tujuan dari teori ini adalah sebagai berikut:

1. Adanya motivasi untuk siswa bahwa belajar adalah tanggung jawab siswa

itu sendiri.

2. Mengembangkan kemampuan siswa untuk mengajukan pertanyaan dan

mencari sendiri pertanyaannya.

3. Membantu siswa untuk mengembangkan pengertian dan pemahaman

konsep secara lengkap.

4. Mengembangkan kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang mandiri.

5. Lebih menekankan pada proses belajar bagaimana belajar itu.


8

B. Karakteristik konstruktivisme

Menurut Konstruktivisme, belajar merupakan proses aktif siswa

mengkonstruksi arti, wacana, dialog, pengalaman fisik, dll. Belajar juga

merupakan proses mengasimilasi dan menghubungkan pengalaman atau informasi

yang dipelajari dengan pengertian yang sudah dimiliki siswa sehingga

pengetahuannya berkembang. Karakteristik konstruktivisme:

1. Belajar berarti membentuk makna. Makna diciptakan oleh siswa dari apa

yang dilihat, dengar, rasakan, dan alami. Konstruksi arti itu dipengaruhi oleh

pengertian yang telah dimiliki.

2. Konstruksi arti merupakan proses yang terus menerus. Setiap kali

berhadapan dengan fenomena atau persoalan yang baru, siswa akan selalu

mengadakan rekonstruksi.

3. Belajar bukanlah kegiatan mengumpulkan fakta, melainkan suatu proses

pengembangan pemikiran dengan membentuk suatu pengertian yang baru. Belajar

bukanlah suatu hasil perkembangan, melainkan perkembangan itu sendiri, yang

menuntut penemuan dan pengaturan kembali pemikiran seseorang.

4. Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman siswa dengan dunia fisik dan

lingkungannya.

5. Hasil belajar seseorang tergantung pada apa yang telah diketahui siswa,

yaitu konsep-konsep, tujuan, dan motivasi yang mempengaruhi interaksi dengan

bahan yang dipelajari.


9

C. Prinsip-Prinsip Konstruktivisme

Secara garis besar, prinsip-prinsip Konstruktivisme yang diterapkan dalam

belajar mengajar adalah:

1. Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri.

2. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru kemurid, kecuali hanya

dengan keaktifan murid sendiri untuk menalar.

3. Murid aktif megkontruksi secara terus menerus, sehingga selalu terjadi

perubahan konsep ilmiah.

4. Guru sekedar membantu menyediakan saran dan situasi agar proses

kontruksi berjalan lancar.

5. Menghadapi masalah yang relevan dengan siswa.

6. Struktur pembalajaran seputar konsep utama pentingnya sebuah

pertanyaan.

7. Mencari dan menilai pendapat siswa.

8. Menyesuaikan kurikulum untuk menanggapi anggapan siswa.

Dari semua itu hanya ada satu prinsip yang paling penting adalah guru tidak boleh

hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus

membangun pengetahuan didalam benaknya sendiri. Seorang guru dapat

membantu proses ini dengan cara-cara mengajar yang membuat informasi menjadi

sangat bermakna dan sangat relevan bagi siswa, dengan memberikan kesempatan

kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide dan dengan

mengajak siswa agar menyadari dan menggunakan strategi-strategi mereka sendiri


10

untuk belajar. Guru dapat memberikan tangga kepada siswa yang mana tangga itu

nantinya dimaksudkan dapat membantu mereka mencapai tingkat penemuan.

D. Teori Belajar yang Mendukung Pendekatan Konstruktivisme

Inti dari konstruktivisme di atas berkaitan erat dengan beberapa teori belajar,

yaitu; teori perubahan konsep, teori belajar bermakna Ausubel, dan teori Skemata

(Suparno, 1997:49).

1. Teori perkembangan mental Peaget

Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori

belajar konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget. Teori ini biasa

juga disebut teori perkembangan intelektual atau teori perkembangan kognitif.

Teori belajar tersebut berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar, yang

dikemas dalam tahap perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa. Setiap

tahap perkembangan intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri

tertentu dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Misalnya, pada tahap sensori

motor anak berpikir melalui gerakan atau perbuatan (Ruseffendi, 1988: 132).

Selanjutnya, Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama menegaskan

bahwa pengetahuan tersebut dibangun dalam pikiran anak melalui asimilasi dan

akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran.

Sedangkan, akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya

informasi baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat. Pengertian

tentang akomodasi yang lain adalah proses mental yang meliputi pembentukan
11

skema baru yang cocok dengan ransangan baru atau memodifikasi skema yang

sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu (Suparno, 1996: 7)

Lebih jauh Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif

oleh seseorang, melainkan melalui tindakan. Bahkan, perkembangan kognitif anak

bergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi

dengan lingkungannya. Sedangkan, perkembangan kognitif itu sendiri merupakan

proses berkesinambungan tentang keadaan ketidak-seimbangan dan keadaan

keseimbangan (Poedjiadi, 1999: 61).

Dari pandangan Piaget tentang tahap perkembangan kognitif anak dapat dipahami

bahwa pada tahap tertentu cara maupun kemampuan anak mengkonstruksi ilmu

berbeda-beda berdasarkan kematangan intelektual anak.

Berkaitan dengan anak dan lingkungan belajarnya menurut pandangan

konstruktivisme, Driver dan Bell (dalam Susan, Marilyn dan Tony, 1995: 222)

mengajukan karakteristik sebagai berikut:

1. Siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan memiliki

tujuan

2. Belajar mempertimbangkan seoptimal mungkin proses keterlibatan siswa

3. Pengetahuan bukan sesuatu yang datang dari luar melainkan dikonstruksi

secara personal

4. Pembelajaran bukanlah transmisi pengetahuan, melainkan melibatkan

pengaturan situasi kelas

5. Kurikulum bukanlah sekedar dipelajari, melainkan seperangkat

pembelajaran, materi, dan sumber.


12

Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang

dikembangkan dari teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu

pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan

akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya. Belajar merupakan proses

aktif untuk mengembangkan skemata sehingga pengetahuan terkait bagaikan

jaring laba-laba dan bukan sekedar tersusun secara hirarkis (Hudoyo, 1998: 5).

Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa belajar adalah suatu aktivitas yang

berlangsung secara interaktif antara faktor intern pada diri pebelajar dengan faktor

ekstern atau lingkungan, sehingga melahirkan perubahan tingkah laku.

Berbeda dengan kontruktivisme kognitif ala Piaget, konstruktivisme sosial yang

dikembangkan oleh Vigotsky adalah bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam

interaksi dengan lingkungan sosial maupun fisik. Penemuan atau discovery dalam

belajar lebih mudah diperoleh dalam konteks sosial budaya seseorang

(Poedjiadi, 1999: 62). Dalam penjelasan lain Tanjung (1998: 7) mengatakan

bahwa inti konstruktivis Vigotsky adalah interaksi antara aspek internal dan

ekternal yang penekanannya pada lingkungan sosial dalam belajar.

Adapun implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan anak

(Poedjiadi, 1999: 63) adalah sebagai berikut:

1. Tujuan pendidikan menurut teori belajar konstruktivisme adalah

menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk

menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi

2. Kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang

memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta


13

didik. Selain itu, latihan memcahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar

kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari

3. Peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar

yang sesuai bagi dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitor, dan

teman yang membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi

pengetahuan pada diri peserta didik.[12]

2. Teori Perubahan Konsep

Teori belajar perubahan konsep merupakan suatu teori belajar yang menjelaskan

adanya proses evolusi pemahaman konsep siswa dari siswa yang sedang belajar.

Pada mulanya siswa memahami sesuatu melalui konsep secara spontan.

Pengertian spontan merupakan pengertian yang tidak sempurna, bahkan belum

sesuai dengan konsep ilmiah, dan harus mengalami perubahan menuju pengertian

yang logis dan sistematis, yaitu pengertian ilmiah. Proses penyempurnaan

pemahaman itu berlangsung melalui dua bentuk yaitu tanpa melalui perubahan

yang besar dari pengertian spontan tadi (asimilasi), atau sangat perlu adanya

perubahan yang radikal dari pengertian yang spontan menuju pengertian yang

ilmiah (akomodasi).

Menurut pendukung teori perubahan konsep, dalam proses belajar ada proses

perubahan konsep yang mencakup dua tahap, yaitu tahap asimilasi dan akomodasi

(Suparno, 1997: 50). Dengan asimilasi peserta didik menggunakan konsep-konsep

yang telah mereka punyai untuk berhadapan dengan fenomena yang baru. Dengan

akomodasi peserta didik mengubah konsepnya yang tidak cocok lagi dengan
14

fenomena baru yang mereka hadapi. Proses dalam akomodasi oleh kaum

konstruktivis disebut sebagai perubahan konsep secara radikal. Teori perubahan

konsep cukup senada dengan teori konstruktivisme dalam arti bahwa dalam proses

pengetahuan seseorang mengalami perubahan konsep. Pengetahuan seseorang itu

tidak sekali jadi, melainkan merupakan proses berkembang yang terus menerus.

Dalam perkembangan itu ada yang mengalami perubahan besar dengan mengubah

konsep lama melalui akomodasi, ada pula yang hanya mengembangkan dan

memperluas konsep yang sudah ada melalui asimilasi. Proses perubahan terjadi

bila si peserta didik aktif berinteraksi dengan lingkungannya.

Konstruktivisme dapat membantu untuk mengerti bagaimana peserta didik

membentuk pengetahuan yang tidak tepat. Dengan demikian, seorang pendidik

dibantu untuk mengarahkan peserta didik dalam pembentukan pengetahuan

mereka yang lebih tepat. Teori perubahan konsep sangat membantu karena

mendorong pendidik untuk menciptakan suasana dan keadaan yang

memungkinkan perubahan konsep yang kuat pada peserta didik sehingga

pemahaman mereka lebih sesuai dengan pengertian ilmuan.

3.  Teori Skema

Jonassen menjelaskan bahwa skema adalah abstraksi mental seseorang yang

digunakan untuk mengerti sesuatu hal, menemukan jalan keluar, atau

memecahkan persoalan (galam Suparno, 1997:55) . Menurut teori skema,

pengetahuan itu disimpan dalam suatu paket informasi atau skema yang terdiri

atas suatu set atribut yang menjelaskan objek tersebut, maka dari itu membantu

kita untuk mengenal objek atau kejadian itu. Hubungan skema yang satu dengan
15

yang lain memberikan makna dan arti kepada gagasan kita.  Belajar menurut teori

skema adalah mengubah skema (Suparno, 1997:55). Lebih jauh ia menyatakan

Teori skema berpendapat bahwa pengetahuan itu disimpan dalam suatu paket

informasi, atau skema, yang terdiri dari konstruksi mental gagasan kita. Skema

adalah abstraksi mental seseorang yang digunakan untuk mengerti sesuatu hal,

menemukan jalan keluar, ataupun memecahkan persoalan. Orang harus mengisi

atribut skemanya dengan informasi yang benar agar dapat membentuk kerangka

pemikiran yang benar. Kerangka pemikiran inilah yang menurut Jonassen dkk.

( Suparno,1997: 55), membentuk pengetahuan struktural seseorang, di mana

pengetahuan struktural tersebut terdiri dari skema-skema yang dipunyai dan

hubungan antara skema-skema itu.

Menurut teori skema, seseorang belajar dengan mengadakan restrukturisasi atas

skema yang ada, baik dengan menambah maupun dengan mengganti skema itu.

Ini mirip dengan konstruktivisme Piaget yang menggunakan asimilasi dan

akomodasi. Perbedaannya adalah bahwa teori skema tidak menjelaskan proses

pengetahuan, tetapi lebih bagaimana pengetahuan manusia itu tersimpan dan

tersusun.

4.    Teori Belajar Bermakna Ausubel

David Ausubel (Dahar, 1989:112) terkenal dengan teori belajar bermakna

(meaningful learning). Belajar bermakna adalah suatu proses belajar dimana

informasi baru dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah dipunyai

seseorang yang sedang belajar. Belajar bermakna terjadi bila pelajar mencoba
16

menghubungkan fenomena baru kedalam struktur pengetahuan mereka. Ini terjadi

melalui belajar konsep, dan perubahan konsep yang telah ada, yang akan

mengakibatkan pertumbuhan dan perubahan struktur konsep yang telah dipunyai

si pelajar (Suparno, 1997: 54).

Kedekatan teori belajar bermakna Ausubel dengan konstruktivisme adalah

keduanya menekankan pentingnya mengasosiasikan pengalaman, fenomena, dan

fakta-fakta baru kedalam sistem pengertian yang telah dimiliki, keduanya

menekankan pentingnya asimilasi pengalaman baru ke dalam konsep atau

pengertian yang sudah dimiliki siswa, dan keduanya mengasumsikan adanya

keaktifan siswa dalam belajar.

5.    Teori Belajar Bruner

Menurut Bruner, “pembelajaran adalah proses yang aktif dimana pelajar membina

ide baru berasaskan pengetahuan yang lampau”. Selanjutnya Bruner (Nur,

2000:10) menyatakan bahwa “mengajarkan suatu bahan kajian kepada siswa

adalah untuk membuat siswa berfikir untuk diri mereka sendiri, dan turut

mengambil bagian dalam proses mendapatkan pengetahuan. Mengetahui adalah

suatu proses bukan suatu produk”. Masih menurut Bruner (Dahar, 1997:98)

bahwa dalam membangun pengetahuan di dasarkan kepada dua asumsi yaitu

:asumsi pertama adalah perolehan pengetahuan merupakan suatu proses interaktif

yaitu orang yang belajar akan berinteraksi dengan lingkungannya secara aktif,

perubahan tidak hanya terjadi dilingkungan tatapi juga dalam diri orang itu

sendiri.
17

E. Ciri-Ciri Pembelajaran Secara Konstuktivisme

Ada sejumlah ciri-ciri proses pembelajaran yang sangat ditekankan oleh teori

konstruktivisme, yaitu:

1. Menekankan pada proses belajar, bukan proses mengajar.

2. Mendorong terjadinya kemandirian dan inisiatif belajara pada siswa.

3. Memandang siswa sebagai pencipta kemauan dan tujuan yang ingin

dicapai.

4. Berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses, bukan menekan

pada hasil.

5. Mendorong siswa untuk melakukan penyelidikan.

6. Mengharagai peranan pengalaman kritis dalam belajar.

7. Mendorong berkembangnya rasa ingin tahu secara alami pada siswa.

8. Penilaian belajar lebih menekankan pada kinerja dan pemahaman siswa.

9. Berdasarkan proses belajarnya pada prinsip-prinsip toeri kognitif.

10. Banyak menggunakan terminologi kognitif untuk menjelaskan proses

pembelajaran, seperti prediksi, infernsi, kreasi, dan analisis.

11. Menekankan bagaimana siswa belajar.

12. Mendorong siswa untuk berpartisipasi aktif dalam dialog atau diskusi

dengan siswa lain dan guru.

13. Sangat mendukung terjadinya belajar kooperatif.

14. Melibatkan siswa dalam situasi dunia nyata.


18

15. Menekankan pentingnya konteks siswa dalam belajar.

16. Memperhatikan keyakinan dan sikap siswa dalam belajar.

17. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk membangun pengetahuan

dan pemahaman baru yang didasarkan pada pengalaman nyata.

Berikut ini akan dikemukakan ciri-ciri pembelajaran yang konstruktivis menurut

beberapa literatur yaitu sebagai berikut.

1. Pengetahuan dibangun berdasarkan pengalaman atau pengetahuan yang

telah ada sebelumnya.

2. Belajar adalah merupakan penafsiran personal tentang dunia.

3. Belajar merupakan proses yang aktif dimana makna dikembangkan

berdasarkan pengalaman.

4. Pengetahuan tumbuh karena adanya perundingan (negosiasi) makna

melalui berbagai informasi atau menyepakati suatu pandangan dalam berinteraksi

atau bekerja sama dengan orang lain.

Sedangkan menurut Mahisa Alit dalam bukunya menuliskan bahwa ciri-ciri

pembelajaran yang konstruktivis adalah sebagai berikut:

 menyediakan pengalaman belajar dengan mengkaitkan pengetahuan yang

telah dimiliki siswa sedemikian rupa sehingga belajar melalui proses

pembentukan pengetahuan,

 menyediakan berbagai alternatif pengalaman belajar, tidak semua

mengerjakan tugas yang sama, misalnya suatu masalah dapat diselesaikan dengan

berbagai cara,
19

 mengintegrasikan pembelajaran dengan situasi yang realistik dan relevan

dengan melibatkan pengalaman konkrit, misalnya untuk memahami suatu konsep

melalui kenyataan kehidupan sehari-hari,

 mengintegrasikan pembelajaran sehingga memungkinkan terjadinya

transmisi sosial yaitu terjadinya interaksi dan kerja sama seseorang dengan orang

lain atau dengan lingkungannya, misalnya interaksi dan kerjasama antara siswa,

guru, dan siswa-siswa,

 memanfaatkan berbagai media termasuk komunikasi lisan dan tertulis

sehingga pembelajaran menjadi lebih efektif.

 Melibatkan siswa secara emosional dan sosial sehingga menjadi menarik

dan siswa mau belajar (2004:37).

F. Kontruktivisme Dalam Kurikulum 2013

Dalam pembelajaran kontruktivisme di gunakan pendekatan saintifik yang

mengasumsikan suatu kontruksi pengetahuan baru bagi siswa melalui proses

mengamati, menanya, menalar dan mencoba.

Pertama, mengamati. Pengamatan yang dilakukan oleh siswa melalui

pendekatan saintifik kurikulum 2013 ini secara konstruktif memungkinkan siswa

untuk mengadakan pengubahan gagasan atau ide sebelumnya yang telah dimiliki.

Siswa mengamati gambar, video, peristiwa tentang suatu hal yang sebelumnya

belum pernah diketahui atau sudah diketahui. Jika sudah diketahui oleh siswa,

maka siswa memperkuat ingatan pengetahuannya. Jika sudah diketahui tetapi

berbeda dari pengetahuan sebelumnya, maka siswa akan mengkonstruksi


20

pengetahuan baru yang menurutnya sesuai. Jika belum diketahui siswa, maka

siswa akan membentuk pengetahuan barunya sebelum diganti pengetahuan yang

lebih baru. Proses pengamatan oleh siswa ini sangat dekat dengan ciri-ciri

pembelajaran konstruktivisme yaitu mengajar bukan berarti meneruskan

gagasan/ide guru kepada siswa, melainkan merupakan suatu proses untuk

mengubah gagasan/ide siswa yang sudah dimilikinya yang mungkin salah.

Kedua, menanya. Pendekatan saintifik kurikulum 2013 mengupayakan siswa agar

aktif secara kognitif dengan pertanyaan-pertanyaan yang dimunculkan siswa

setelah proses mengamati sesuatu. Proses menanya ini timbul jika proses

mengamati pada awal pembelajaran dilakukan dengan baik. Karena pengamatan

menarik siswa untuk mengetahui banyak hal. Dalam proses ini, siswa masih

secara aktif mengonstruksi pengetahuannya sendiri. Kemandirian dalam konstuksi

pengetahuan juga merupakan salah satu asumsi-asumsi dalam teori pembelajaran

konstruktivis.

Ketiga, menalar. Proses menalar dalam pendekatan saintifik kurikulum

2013 merupakan proses di mana siswa mulai memproses pembentukan makna

dalam struktur kognitifnya tentang pengetahuan yang telah dipelajarinya setelah

melalui proses mengamati dan menanya. Proses menalar ini juga menjadi salah

satu asumsi yang dibangun dalam pembelajaran konstruktivisme yaitubahwa

belajar merupakan pembentukan makna (meaning) dengan cara membangun atau

mengkonstruksi hubungan antara pengetahuan yang telah dimiliki oleh pembelajar

dan pengetahuan yang sedang dipelajari.


21

Keempat, mencoba. Proses mencoba ini dalam Bahasa ilmiah disebut

bereksperimen. Setelah siswa membentuk pengetahuannya secara mapan maka

secara otomatis siswa akan mencoba pengetahuan barunya secara empiris. Ini

menjadi konsekuensi model pembelajaran konstruktivisme yang mengaktifkan

pengetahuan siswa berlangsung secara terus menerus. Proses mencoba ini

menampilkan dua asumsi dari pembelajaran konstruktivisme sekaligus

yaituproses pembelajaran yang berlangsung secara terus-menerus dan aktif dan

belajar juga menyangkut kesedian pembelajar untuk menerima pengetahuan yang

sedang dipelajari, sehingga pembelajar bertanggung jawab tentang belajarnya. Ini

sekaligus menjadi kelemahan dari pembelajaran konstruktivisme bahwa motivasi

belajar siswa menjadi elemen penting dalam keberhasilan model pembelajaran

konstruktivisme.

Kelima mengkomunikasikan. Dalam bentuk sederhana,

mengkomunikasikan berarti mempresentasikan atau menunjukkan hasil

pekerjaannya kepada public, secara lisan atau tulisan, atau bentuk karya lain

sehingga mendapat respon yang lebih luas.

G. Konstruktivisme dalam Pembelajaran

Pendekatan konstruktivisme menghendakai siswa harus membangun pengetahuan

di dalam benaknya sendiri. Guru dapat membantu proses ini dengan cara

mengajar yang membuat informasi lebih bermakna dengan memberikan

kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide

mereka. Guru dapat memberi siswa tangga yang dapat membantu siswa mencapai

tingkat pemahaman yang lebih tinggi, namun harus diupayakan agar siswa sendiri
22

yang memanjat tangga tersebut. Oleh karena itu agar pembelajaran lebih

bermakna bagi siswa dan pendidik maka pendekatan konstruktivisme merupakan

solusi yang baik untuk dapat diterapkan. Berikut akan dipaparkan perbedaan

pembelajaran tradisional (behavioristik) dengan pembelajaran yang

konstruktivistik.

Perbedaan pembelajaran behavioristik (tradisional) dengan konstruktivistik

menurut Aqib, (2002:120), Budiningsih, (2005:63) adalah sebagai berikut.

No
Pembelajaran Tradisional Pembelajaran Kontruktivistik
.
1. Kurikulum disajikan dari Kurikulum disajikan mulai dari
bagian-bagian menuju keseluruhan menuju kebagian-
keseluruhan dengan bagian dan lebih mendekatkan
menekankan pada keterampilan kepada konsep-konsep yang lebih
dasar luas
2. Pembelajaran sangat taat pada Pembelajaran lebih menghargai
kurikulum yang telah ditetapkan pada pemunculan pertanyaan dan
ide-ide siswa
3. Kegiatan kurikuler lebih banyak Kegiatan kurikuler lebih banyak
mengandalkan pada buku teks mengandalkan pada sumber-
dan buku kerja sumber data primer dan
manipulasi bahan
4. Siswa dipandang sebagai “kertas Siswa dipandang sebagai
kosong” yang dapat digoresi pemikir-pemikir yang dapat
informasi oleh guru, dan guru memunculkan teori-teori tentang
menggunakan cara didaktik dirinya
dalam menyampaikan informasi
kepada siswa
5. Penilian hasil belajar atau Pengukuran proses dan hasil
23

pengetahuan siswa dipandang belajar siswa terjalin di dalam


sebagai bagian dari kesatuan kegiatan pembelajaran,
pembelajaran dan biasanya dengan cara guru mengamati hal-
dilakukan pada akhir pelajaran hal yang sedang dilakukan siswa,
dengan cara testing serta melalui tugas-tugas
pekerjaan
6. Siswa-siswa biasanya bekerja Siswa-siswa banyak belajar
sendiri-sendiri, tanpa ada group dan bekerja di dalam group
proses dalam belajar proses
7. Memandang pengetahuan adalah Memandang pengetahuan adalah
objektif, pasti, tetap, dan tidak non objektif, bersifat temporer,
berubah. Pengetahuan telah selalu berubah, dan tidak
terstruktur dengan rapi menentu
8. Belajar adalah perolehan Belajar adalah penyusunan
pengetahuan, sedangkan pengetahuan, sedangkan
mengajar adalah memindahkan mengajar adalah menata
pengetahuan lingkungan agar siswa
termotivasi dalam menggali
makna
9. Kegagalan dalam menambah Kegagalan merupakan
pengetahuan dikategorikan interpretasi yang berbeda yang
sebagai kesalahan yang perlu perlu dihargai
dihukum
10. Evaluasi menuntut satu jawaban Evaluasi menggali munculnya
benar. Jawaban benar berfikir divergent, pemecahan
menunjukkan bahwa siswa telah ganda, dan bukan hanya satu
menyelesaikan tugas belajar jawaban benar
11. Evaluasi dipandang sebagai Evaluasi merupakan bagian utuh
bagian terpisah dari kegiatan dari pembelajaran dengan cara
pembelajaran, biasanya memberikan tugas-tugas yang
dilakukan setelah selesai bermakna serta menerapkan apa
kegiatan belajar dengan yang dipelajari yang menekankan
menekankan pada evaluasi pada keterampilan proses
24

individu

H. Langkah-Langkah Pembelajaran Kontruktivisme

1. Identifikasi tujuan. Tujuan dalam pembelajaran akan memberi arah dalam

merancang program, implementasi program dan evaluasi.

2. Menetapkan Isi Produk Belajar. Pada tahap ini, ditetapkan konsep-konsep dan

prinsip-prinsip yang mana yang harus dikuasai siswa.

3. Identifikasi dan Klarifikasi Pengetahuan Awal Siswa. Identifikasi pengetahuan

awal siswa dilakukan melalui tes awal, interview klinis dan peta konsep.

4. Identifikasi dan Klarifikasi Miskonsepsi Siswa. Pengetahuan awal siswa yang

telah diidentifikasi dan diklarifikasi perlu dianalisa lebih lanjut untuk menetapkan

mana diantaranya yang telah sesuai dengan konsepsi ilmiah, mana yang salah dan

mana yang miskonsepsi.

5. Perencanaan Program Pembelajaran dan Strategi Pengubahan Konsep. Program

pembelajaran dijabarkan dalam bentuk satuan pelajaran. Sedangkan strategi

pengubahan konsepsi siswa diwujudkan dalam bentuk modul.

6. Implementasi Program Pembelajaran dan Strategi Pengubahan Konsepsi. Tahapan

ini merupakan kegiatan aktual dalam ruang kelas. Tahapan ini terdiri dari tiga

langkah yaitu : (a) orientasi dan penyajian pengalaman belajar, (b)menggali ide-

ide siswa, (c) restrukturisasi ide-ide.

7. Evaluasi. Setelah berakhirnya kegiatan implementasi program pembelajaran,

maka dilakukan evaluasi terhadap efektivitas model belajar yang telah diterapkan.
25

8. Klarifikasi dan analisis miskonsepsi siswa yang resisten. Berdasarkan hasil

evaluasi perubahan miskonsepsi maka dilakukaan klarifikasi dan analisis terhadap

miskonsepsi siswa, baik yang dapat diubah secara tuntas maupun yang resisten.

9. Revisi strategi pengubahan miskonsepsi. Hasil analisis miskonsepsi yang resisten

digunakan sebagai pertimbangan dalam merevisi strategi pengubahan konsepsi

siswa dalam bentuk modul.


26

BAB III

ANALISIS ISU

Dalam pelaksanaannya, terdapat isu-isu pendekatan kontruktivisme dalam

pendidikan, yaitu :

1. Mengamati

a. Dalam prosesnya, peserta didik seringkali acuh tak acuh terhadap fenomena

alam

b. Motivasi peserta didik rendah

c. Memerlukan waktu persiapan yang lama dan matang

d. Biaya dan tenaga relatif banyak

e. Jika tidak terkendali akan mengaburkan makna serta tujuan pembelajaran.

2. Menanya

a. Jenis pertanyaan kadang tidak relevan


b. Kualitas pertanyaan peserta didik masih rendah
c. Kemampuan awal menjadi tolak ukur peserta didik untuk bertanya sehingga
intensitas bertanya dalam kelas sangat bergantung pada kemampuan awal
yang didapat dari jenjang atau materi sebelumnya
d. Tidak semua peserta didik memiliki keberanian untuk bertanya.
e. Kadang peserta didik  beranggapan bahwa bertanya berarti cenderung tidak
pintar
3. Menalar
27

Peserta didik terkadang malas untuk menalar sesuatu karena sudah terbiasa

mendapatkan informasi langsung oleh guru

4. Mencoba
a. Percobaan yang dilakukan oleh peserta didik seringkali tidak diikuti oleh rasa
ketelitian dan kehati-hatian peserta didik.
b. Memerlukan waktu yang lebih dalam  menemukan jawaban atas percobaan
5. Mengkomunikasikan

a. Tidak semua peserta didik berani menyampaikan ide gagasan atau hasil
penemuannya
b. Tidak semua peserta didik pandai dalam menyampaikan informasi
28
29

BAB IV
ALTERNATIF SOLUSI

Dalam pelaksanaan teori belajar konstruktivisme ada beberapa saran yang

berkaitan dengan rancangan pembelajaran yaitu sebagai berikut :

1. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan pendapatnya

dengan bahasa sendiri.

2. Memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya

sehingga lebih kreatif dan imajinatif.

3. Memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru.

4. Memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki

siswa.

5. Mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka.

6. Peserta didik didorong agar mengemukakan pengetahuan awalnya tentang konsep

yang akan dibahas. Bila perlu, guru memancing dengan pertanyaan problematik

tentang fenomena yang sering dijumpai seharihari oleh peserta didik dan

mengaitkannya dengan konsep yang akan dibahas. Selanjutnya, peserta didik

diberi kesempatan untuk mengkomunikasikan dan mengilustrasikan

pemhamannya tentang konsep tersebut.

7. Peserta didik diberi kesempatan untuk menyelidiki dan menemukan konsep

melalui pengumpulan, pengorganisasian, dan penginterprestasian data dalam suatu

kegiatan yang telah dirancang oleh guru. Secara keseluruhan dalam hidup ini akan
30

terpenuhi rasa keingintahuan peserta didik tentang fenomena dalam

lingkungannya.

8. Peserta didik melakukan penjelasan dan solusi yang didasarkan pada hasil

observasi peserta didik, ditambah dengan penguatan guru. Selanjutnya peserta

didik membangun pemahaman baru tentang konsep yang sedang dipelajari.

9. Guru berusaha menciptakan iklim pembelajaran yang memungkinkan peserta

didik dapat mengaplikasikan pemahaman konseptualnya, baik melalui kegiatan

maupun pemunculan masalahmasalah yang berkatian dengan isu-isu dalam

lingkungan peserta didik tersebut.

Dengan demikian, peran guru dalam pembelajaran konstruktivisme ialah

menyediakan pengalaman belajar bagi siswa, memberikan kegiatan yang

merangsang keingintahuan siswa, menyediakan sarana yang merangsang siswa

berpikir secara produktif, serta memonitor dan mengevaluasi hasil belajar siswa.

Aktivitas ialah salah satu faktor kunci dalam konstruksi pengetahuan.

Keikutsertaan siswa dalam seluruh aktivitas dan interaksi pembelajaran setiap hari

merupakan kekuatan untuk mengakses informasi dan keterampilan yang lebih

tinggi.

Para guru dan pengelola sekolah harus dengan cerdas memahami bahwa

tujuan pembelajaran dari pendekatan konstruktivisme adalah untuk

mengembangkan self-directed dan pemahaman saling ketergantungan satu sama

lain dalam mengakses dan menggunakan pengetahuan sekaligus keterampilan.


31

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Konstruksi berarti bersifat membangun. Konstruktivisme adalah sebuah

teori yang memberikan kebebasan terhadap manusia yang ingin belajar atau

mencari kebutuhannya dengan kemampuan untuk menemukan keinginan atau

kebutuhannya dengan bantuan fasilitasi orang lain.Kontruksi berarti bersifat

membangun, dalam konteks filsafat pendidikan, Konstruktivisme adalah suatu

upaya membangun tata susunan hidup yang berbudaya modern. Konstruktivisme

merupakan landasan berfikir (filosofi) pembelajaran konstektual yaitu bahwa

pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas

melalui konteks yang terbatas dan tidak sekonyong-konyong.

Pendekatan konstruktivisme menghendakai siswa harus membangun

pengetahuan di dalam benaknya sendiri. Guru dapat membantu proses ini dengan

cara mengajar yang membuat informasi lebih bermakna dengan memberikan

kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide

mereka. Guru dapat memberi siswa tangga yang dapat membantu siswa mencapai

tingkat pemahaman yang lebih tinggi, namun harus diupayakan agar siswa sendiri

yang memanjat tangga tersebut.

Dalam pembelajaran kontruktivisme di gunakan pendekatan saintifik yang

mengasumsikan suatu kontruksi pengetahuan baru bagi siswa melalui proses

mengamati, menanya, menalar dan mencoba.


32

B. Saran

b. Sekolah hendaknya menerapkan pendekatan kontruktivisme pada

pembelajaran agar hasil belajar siswa lebih meningkat.

c. Guru tidak lagi menggunakan metode-metode belajar yang lama sehingga

para peserta didik bias lebih aktif dalam proses pembelajaran

d. Bagi peserta didik dalam pembelajaran konstuktivisme lebih menekankan

pada keterampilan 5 M agar hasil belajar lebih meningkat


33

DAFTAR PUSTAKA

Aqib, Z. (2002). Profesionalisme Guru Dalam Pembelajaran.

Surabaya : Insan Cendikia.

Budiningsih, C.A. (2005). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta :

Rineka Cipta.

Hendri Purbo WAseso. Kurikulum 2103 Dalam Perspektif Teori


Pembelajaran Konstruktivis. TA’LIM : Jurnal Studi
Pendidikan Islam. Vol. 1 No. 1 Januari 2108

Hudoyo, H. (1998). Pembelajaran Matematika Menurut


Pandangan Konstruktivistik. Makalah Disajikan dalam
Seminar Nasional Upaya Meningkatkan Peran Pendidikan
Matematika dalam Menghadapi EraGlobaliasasi. PPS IKIP
Malang: Tidak Diterbitkan.

Kolb, D. (1984). Experiential Learning. New Jersey : Prentice-Hall,


Inc.

Wheatley, G.H.(1991).”Constructivist perspectives on science


and mathematics learning”. Journal Science Education, 75,
(1),9-21

Anda mungkin juga menyukai