PENDAHULUAN
2.1 Konstruktivisme
2.1.1. Pengertian Konstruktivisme
Konstruktivisme berasal dari kata konstruktiv dan isme. Konstruktiv berarti bersifat
membina, memperbaiki, dan membangun. Sedangkan Isme dalam kamus Bahasa Inonesia
berarti paham atau aliran. Konstruktivisme merupakan aliran filsafat pengetahuan yang
menekankan bahwa pengetahuan kita merupakan hasil konstruksi kita sendiri. Pandangan
konstruktivis dalam pembelajaran mengatakan bahwa anak-anak diberi kesempatan agar
menggunakan strateginya sendiri dalam belajar secara sadar, sedangkan guru yang
membimbing siswa ke tingkat pengetahuan yang lebih tinggi. Tran Vui juga mengatakan
bahwa teori konstruktivisme adalah sebuah teori yang memberikan kebebasan terhadap
manusia yang ingin belajar atau mencari kebutuhannya dengan kemampuan untuk
menemukan keinginan atau kebutuhannya tersebut dengan bantuan fasilitasi orang lain.
Sedangkan menurut Martin. Et. Al mengemukakan bahwa konstruktivisme menekankan
pentingnya setiap siswa aktif mengkonstruksikan pengetahuan melalui hubungan saling
mempengaruhi dari belajar sebelumnya dengan belajar baru.
Konstruktivisme merupakan pendekatan dalam psikologi yang berkeyakinan bahawa
anak dapat membangun pemahaman dan pengetahuannya sendiri tentang dunia di sekitarnya.
Dengan kata lain anak dapat membelajarakan dirinya sendiri melalui berbagai pengalamanya
(Bartlett 1932, Jonasson, 1991).1
Konstruktivisme adalah istilah luas yang digunakan oleh para filsuf, perancang
kurikulum, psikologi, pendidik dan lain-lain. Ernst Von Glasserfeld menyebutnya “bidang
yang sangat luas dan tidak jelas dalam psikologi, epistimologi dan pendidikan” (1997,hlm.
204) Perspektif konstruktivis berpijak pada penelitian, piaget, vygotsky, para psikolog gestalt,
Bartlett dan bruner maupun falsafah jhon dewey.2
Pembelajaran Konstruktivistik adalah membangunkan pengetahuan melalui
pengalaman, interaksi social, dan dunia nyata. Pembelajaran Konstruktivistik adalah
1. Martini Jamaris, Orientasi baru dalam psikologi pendidikan, (Jakarta : Yayasan Pernamas Murni, 2010), cet 1
hal 207.
2. Anita Woolfolk, Educational Psychology active learning edition, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009) cet 1
hal 145
pembelajaran berpusat pada peserta didik, guru sebagai mediator, fasilitator, dan sumber
belajar dalam pembelajaran.3
Prinsip-prinsip dasar konstruktivisme yakni peserta didik membangun interpretasi
dirinya terhadap dunia nyata melalui pengalaman-pengalaman baru dan interaksi social,
Pengetahuan yang telah melekat dapat dipergunakan (memahami kenyataan), fleksibel
menggunakan pengetahuan, mempercayai berbagai cara (beragam perspektif) untuk
menstruktur dunia dan mengisinya dan mempercayai individu dapat memaknai kehidupan di
dunia secara bebas.4
Konstruktivisme dikembangkan berdasarkan paham behaviorisme yang memandang
manusia berada dalam kotak hitam atau black box dan kognitivisme yang memandang pikiran
manusia merupakan hal yang penting dalam memahami dan memaknai sesuatu yang
dihadapinya. Perpaduan kedua pandangan yang berbeda tentang manusia dan cara belajar
siswa dalam pertumbuhan dan perkembangannya membuat penerapan kedua teori tersebut
menjadi lebih sempurna. Kognitivisme berkeyakinan bahwa belajar merupakan proses
bersifat internal dan personal pada waktu manusia memberikan interpretasi dan memberikan
makna terhadap pengalamanya. Sebaliknya, behaviorisme beranggapan bahwa belajar
merupakan hubungan antara stimulus dan respon. Artinya proses belajar terjadi tanpa
melibatkan individu yang belajar secara aktif, yang dilakukan oleh individu yang belajar
hanyalah memberikan respon terhadap stimulus yang telah diatur oleh pengelola proses
pembelajaran terjadi di dalam diri manusia.
Jadi dapat disimpulkan bahwa sebagai landasan paradigma pembelajaran,
konstruktivisme menyerukan perlunya partisipasi aktif siswa dalam proses pembelajaran,
perlunya pengembangan siswa belajar mandiri, dan perlunya siswa memiliki kemampuan
untuk mengembangkan pengetahuannya sendiri.
Dalam hal tahap-tahap pembelajaran, pendekatan konstruktivisme lebih menekankan
pada pembelajaran top-down processing, yaitu siswa belajar dimulai dari masalah yang
kompleks untuk dipecahkan (dengan bantuan guru), kemudian menghasilkan atau
menemukan keterampilan-keterampilan dasar yang dibutuhkan. Misalnya, ketika siswa
diminta untuk menulis kalimat-kalimat, kemudian dia akan belajar untuk membaca, belajar
tentang tata bahasa kalimat-kalimat tersebut, dan kemudian bagaimana menulis titik dan
komanya.
3. Martinis Yamin, Desain Baru pembelajaran Konstruktivistik, ( Jakarta : Referensi, 2012) hal 10
4. Martinis Yamin, Paradigma Baru Pembelajaran, (Jakarta : Referensi, 2013) hal 24.
Bagi aliran konstruktivisme, guru tidak lagi menduduki tempat sebagai pemberi ilmu.
Tidak lagi sebagai satu-satunya sumber belajar. Namun guru lebih diposisikan sebagai
fasilitator yang memfasilitasi siswa untuk dapat belajar dan mengkonstruksi pengetahuannya
sendiri. Aliran ini lebih menekankan bagaimana siswa belajar bukan bagaimana guru
mengajar.
Sebagai fasilitator guru bertanggung jawab terhadap kegiatan pembelajaran di kelas.
Diantara tanggung jawab guru dalam pembelajaran adalah menstimulasi dan memotivasi
siswa. Mendiagnosis dan mengatasi kesulitan siswa serta menyediakan pengalaman untuk
menumbuhkan pemahaman siswa. Oleh karena itu, guru harus menyediakan dan memberikan
kesempatan sebanyak mungkin kepada siswa untuk belajar secara aktif. Sedemikian rupa
sehingga para siswa dapat menciptakan, membangun, mendiskusikan, membandingkan,
bekerja sama, dan melakukan eksperimentasi dalam kegiatan belajarnya. Berdasarkan
konstruktivisme, akibatnya orientasi pembelajaran bergeser dari berpusat pada guru mengajar
ke pembelajaran berpusat pada siswa (student centered instruction).
Dengan demikian jelaslah bahwa asas peragaan dalam bentuk enaktif dan ikonik
selama pembelajaran matematika adalah sangat penting untuk meningkatkan pemahaman
dan daya tarik siswa dalam mempelajari matematika sebelum mereka menggunakan
bentuk-bentuk simbolik.
3.1 KESIMPULAN
Konstruktivisme merupakan pendekatan dalam psikologi yang berkeyakinan bahawa
anak dapat membangun pemahaman dan pengetahuannya sendiri tentang dunia di sekitarnya.
Dengan kata lain anak dapat membelajarakan dirinya sendiri melalui berbagai pengalamanya
(Bartlett 1932, Jonasson, 1991).
Pembelajaran Konstruktivistik adalah membangunkan pengetahuan melalui
pengalaman, interaksi social, dan dunia nyata. Pembelajaran Konstruktivistik adalah
pembelajaran berpusat pada peserta didik, guru sebagai mediator, fasilitator, dan sumber
belajar dalam pembelajaran.
Prinsip-prinsip dasar konstruktivisme yakni peserta didik membangun interpretasi
dirinya terhadap dunia nyata melalui pengalaman-pengalaman baru dan interaksi social,
Pengetahuan yang telah melekat dapat dipergunakan (memahami kenyataan), fleksibel
menggunakan pengetahuan, mempercayai berbagai cara (beragam perspektif) untuk
menstruktur dunia dan mengisinya dan mempercayai individu dapat memaknai kehidupan di
dunia secara bebas.
Keunggulan Model kontruktivisme
Pembelajaran berdasarkan konstruktivisme memberikan kesempatan kepada siswa untuk
mengungkapkan gagasan secara eksplisit dengan menggunakan bahasa siswa sendiri,
berbagi gagasan dengan temannya, dan mendorong siswa memberikan penjelasan tentang
gagasannya.
pembelajaran berdasarkan konstruktivisme memberi pengalaman yang berhubungan
dengan gagasan yang telah dimiliki siswa atau rancangan kegiatan disesuaikan dengan
gagasan awal siswa agar siswa memperluas pengetahuan mereka tentang fenomena dan
memiliki kesempatan untuk merangkai fenomena, sehingga siswa terdorong untuk
membedakan dan memadukan gagasan tentang fenomena yang menantang siswa.
Pembelajaran konstruktivisme memberi siswa kesempatan untuk berpikir tentang
pengalamannya. Ini dapat mendorong siswa berpikir kreatif, imajinatif, mendorong
refleksi tentang model dan teori, mengenalkan gagasan-gagasanpada saat yang tepat.
pembelajaran berdasarkan konstruktivisme memberi kesempatan kepada siswa untuk
mencoba gagasan baru agar siswa terdorong untuk memperoleh kepercayaan diri dengan
menggunakan berbagai konteks, baik yang telah dikenal maupun yang baru dan akhirnya
memotivasi siswa untuk menggunakan berbagai strategi belajar.
Pembelajaran Konstruktivisme mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan
merka setelah menyadari kemajuan mereka serta memberi kesempatan siswa untuk
mengidentifikasi perubahan gagasan mereka.
Pembelajaran Konstruktivisme memberikan lingkungan belajar yang kondusif yang
mendukung siswa mengungkapkan gagasan, saling menyimak, dan menghindari kesan
selalu ada satu jawaban yang benar.
Kelemahan Model Konstruktivisme
Dalam bahasan kekurangan atau kelemahan ini mungkin bisa kita lihat dalam proses
belajarnya dimana peran guru sebagai pendidik itu sepertinya kurang begitu mendukung.
Kekurangan Metode Konstruktivisme
Siswa membangun pengetahuan mereka sendiri, tidak jarang bahwa konstruksi siswa tidak
cocok dengan pembangunan ilmuwan yang menyebabkan kesalahpahaman.
Konstruktivisme pengetahuan kita menanamkan bahwa siswa membangun sendiri, hal ini
pasti memakan waktu yang lama dan setiap siswa memerlukan penanganan yang berbeda.
Situasi dan kondisi masing-masing sekolah tidak sama, karena tidak semua sekolah
memiliki infrastruktur yang dapat membantu keaktifan dan kreativitas siswa.
Dilema Konseptual
Menangkap tiang pondasi konstruktivisme kognitif dan social, merekonsiliasikan
keyakinan saat ini tentang pedagogi dengan keyakinan yang dibutuhkan untuk mendukung
lingkungan belajar yang konstruktivis. Pertanyaan representatif yang terkait yang sering
muncul pada diri guru yakni, manakah versi konstruktivisme yang sesuai sebagai dasar
mengajar saya
Dilema pedagogis
Menghormati usaha siswa untuk berpikir bagi dirinya sendiri sambil tetap meyakini
ide-ide disipliner yang diterima, mengembangkan pengetahuan yang lebih dalam tentang
subjek; menguasai seni fasilitasi; mengelola jenis-jenis wacana baru dan kerja kolaboratif
dikelas. Pertanyaan representatif yang terkait yang sering muncul pada diri guru yakni,
ketrampilan dan strategi apa saja yang saya butuhkan untuk menjadi seorang fasilitator?
Haruskah saya meletakkan batas-batas pada konstruksi ide-ide siswa sendiri?
Dilema kultural
Menjadi paham akan budaya kelas anda; mempertanyakan asumsi tentang apa jenis-
jenis kegiatan yang seharusnya dihargai; memanfaatkan pengalaman, pola-pola wacana dan
pengetahuan local siswa dengan beragam latar belakang budaya. Pertanyaan representatif
yang terkait yang sering muncul pada diri guru yakni, Dapatkah saya mempercayai siswa
untuk memikul tanggung jawab atas pembelajarannya sendiri.
Dilema politis
Menghadapi isu-isu akuntabilitas dengan berbagai stake holder dalam komunitas
sekolah; bernegosiasi dengan orang kunci tentang wewenang dan dukungan untuk mengajar
demi pemahaman. Pertanyaan representatif yang terkait yang sering muncul pada diri guru
yakni, Bagaimana saya bisa mendapatkan dukungan dari para administrator dan para orang
tua untuk mengajar dengan cara yang berbeda secara radikal dan tidak familier?
3.1 Saran
Kami menyadari kekurangan dari makalah ini. Sehingga kami manyarankan kepada
pembaca agar bisa memberikan kritik dan sarannya, agar makalah ini bisa jadi lebih baik.
Terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Amaris, Martini. Orientasi Baru dalam Psikologi Pendidikan, Jakarta : Yayasan Penamas
Murni, 2010
Gino, dkk. 1997. Belajar Dan Pembelajaran. Surakarta : UNS Press. Disadur dari : Sarlito
W. Sarwono, 2002, Berkenalan dengan ALiran-Aliran dan Tokoh-tokoh Psikologi,
(PT Bulan Bintang: Jakarta)
Pranita, Tya. 2010. Teori Konstruktivisme. Kompasiana.com; diakses online pada tanggal 7
Mei 2013.
http://edukasi.kompasiana.com/2010/10/06/teori-konstruktivisme-280303.html