Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Seiring berjalannya waktu dan semakin pesatnya tingkat intelektualitas serta kualitas
kehidupan, maka pendidikan pun menjadi lebih kompleks. Oleh karena itu, tentu saja hal ini
membutuhkan sebuah desain pendidikan yang tepat dan sesuai dengan kondisinya. Sehingga
berbagai teori, metode dan desain pembelajaran serta pengajaran pun dibuat dan diciptakan
untuk mengapresiasikan semakin beragamnya tingkat kebutuhan dan kerumitan permasalahan
pendidikan. Jadi memang itulah yang menjadi esensi pendidikan itu sendiri, yakni bagaimana
menciptakan sebuah kehidupan lebih baik yang tercipta dari proses pendidikan yang
kontekstual dan mampu menyerap aspirasi zaman dengan tepat dan sesuai.
Tujuan belajar pada hakikatnya adalah proses perubahan kepribadian meliputi
kecakapan, sikap, kebiasaan dan kepandaian. Perubahan itu bersifat menetap dalam tingkah
laku sebagai hasil latihan atau pengalaman. Pembelajaran hakikatnya adalah proses interaksi
antara anak dengan anak, anak dengan sumber belajar dan anak dengan pendidik. Kegiatan
pembelajaran akan bermakna bagi anak jika dilakukan dalam lingkungan nyaman dan aman.
Proses belajar bersifat individual dan kontekstual. Dengan demikian penting bagi guru
mempelajari dan menambah wawasan pembelajaran.
Belajar bermakna adalah proses dikaitkannya informasi baru terhadap konsep-konsep
relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Kebermaknaan belajar sebagai hasil
peristiwa mengajar ditandai dengan terjadinya hubungan antar aspek, konsep, informasi atau
situasi dengan komponen-komponen yang relevan dalam struktur kognitif siswa.
Proses belajar tidak hanya sekedar mengahafal konsep atau fakta belaka, tetapi lebih
merupakan kegiatan internalisasi antar konsep, guna mengahasilkan pemahaman yang utuh.
Agar tercapai pembelajaran bermakna, guru harus berusaha mengetahui dan menggali
konsep-konsep yang telah dimiliki siswa dan memadukannya dengan pengetahuan baru.
Dengan kata lain, belajar lebih bermakna jika anak mengalami langsung apa yang
dipelajarainya dengan cara mengaktifkan secara maksimal potensi yang ada pada diri anak.
Sesuai dengan tahapan perkembangan anak, karakteristik belajar, konsep belajar dan
pembelajaran yang menyenangkan dan bermakna.
Tujuan pendidikan adalah menciptakan seseorang yang berkwalitas dan berkarakter
sehingga memiliki pandangan yang luas kedepan untuk mencapai suatu cita- cita yang di
harapkan dan mampu beradaptasi secara cepat dan tepat di dalam berbagai lingkungan.
Karena pendidikan itu sendiri memotivasi diri kita untuk lebih baik dalam segala aspek
kehidupan.
Pendidikan bisa saja berawal dari sebelum bayi lahir seperti yang dilakukan oleh
banyak orang dengan memainkan musik dan membaca kepada bayi dalam kandungan dengan
harapan ia bisa mengajar bayi mereka sebelum kelahiran.
Guru di dalam melaksanakan pembelajaran, juga harus bisa memilih maupun
menetapkan suatu pendekatan pembelajaran yang tepat di kelas sehingga hasil pembelajaran
lebih optimal, selayaknya seseorang dalam menjalankan kehidupannya sehari-hari yang harus
mampu menetapkan sasaran yang hendak dicapai. Guru pun demikian, harus bisa
menetapkan pendekatan pembelajaran yang tepat.
Masing – masing individu akan memilih cara dan gayanya sendiri untuk belajar dan
mengajar, namun setidak-tidaknya ada karakteristik tertentu dalam pendekatan pembelajaran
tertentu yang khas dibandingkan dengan pendekatan lain. Salah satu contoh pendekatan
pembelajaran adalah pendekatan konstruktivisme. Martin. Et. Al (dalam Gerson Ratumanan,
2002) mengemukakan bahwa konstruktivisme menekankan pentingnya setiap siswa aktif
mengkonstruksikan pengetahuan melalui hubungan saling mempengaruhi dari belajar
sebelumnya dengan belajar baru. Hubungan tersebut dikonstruksikan oleh siswa untuk
kepentingan mereka sendiri. Elemen kuncinya adalah bahwa orang belajar secara aktif
mengkonstruksikan pengetahuan mereka sendiri, membandingkan informasi baru dengan
pemahaman sebelumnya dan menggunakannya untuk menghasilkan pemahaman baru. Untuk
itu, setiap pelajaran di sekolah perlu diarahkan untuk selalu mendidik siswa agar
mengkonstruksikan pengetahuannya.

1.2 RUMUSAN MASALAH


Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan konstruktivisme ?
2. Bagaimana komparasi behaviorisme dan konstruktivisme ?
3. Bagaimana pembelajaran menurut konstruktivisme ?
4. Apa saja kendala - kendala dalam penerapan pembelajaran menurut konstruktivisme ?

1.3 TUJUAN PENULISAN


Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan konstruktivisme.
2. Untuk mengetahui bagaimana komparasi behaviorisme dan konstruktivisme.
3. Untuk mengetahui bagaimana pembelajaran menurut konstruktivisme.
4. Untuk mengetahui apa saja kendala - kendala dalam penerapan pembelajaran menurut
konstruktivisme.

1.4 MANFAAT PENULISAN


Adapun manfaat dari penulisan makalah ini adalah :
1. Memberikan informasi mengenai pembelajaran konstruktivisme.
2. Memberikan informasi dan pemahaman kepada pendidik bahwa peserta didik itu
sebenarnya bukanlah seperti kertas putih yang kosong di mana guru bisa secara bebas
membentuk pengetahuan siswa, tapi siswa adalah merupakan manusia yang sudah
mempunyai pengetahuan yang mereka peroleh dari pengalaman lingkungan mereka
sehari-hari.
3. Memberikan informasi dan pemahaman kepada peserta didik bahwa yang sebenarnya
peserta didik tersebut sudah memiliki pengetahuan awal dari pengalaman lingkungan
mereka, bukan dibentuk baru oleh pendidik.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Konstruktivisme
2.1.1. Pengertian Konstruktivisme
Konstruktivisme berasal dari kata konstruktiv dan isme. Konstruktiv berarti bersifat
membina, memperbaiki, dan membangun. Sedangkan Isme dalam kamus Bahasa Inonesia
berarti paham atau aliran. Konstruktivisme merupakan aliran filsafat pengetahuan yang
menekankan bahwa pengetahuan kita merupakan hasil konstruksi kita sendiri. Pandangan
konstruktivis dalam pembelajaran mengatakan bahwa anak-anak diberi kesempatan agar
menggunakan strateginya sendiri dalam belajar secara sadar, sedangkan guru yang
membimbing siswa ke tingkat pengetahuan yang lebih tinggi. Tran Vui juga mengatakan
bahwa teori konstruktivisme adalah sebuah teori yang memberikan kebebasan terhadap
manusia yang ingin belajar atau mencari kebutuhannya dengan kemampuan untuk
menemukan keinginan atau kebutuhannya tersebut dengan bantuan fasilitasi orang lain.
Sedangkan menurut Martin. Et. Al mengemukakan bahwa konstruktivisme menekankan
pentingnya setiap siswa aktif mengkonstruksikan pengetahuan melalui hubungan saling
mempengaruhi dari belajar sebelumnya dengan belajar baru.
Konstruktivisme merupakan pendekatan dalam psikologi yang berkeyakinan bahawa
anak dapat membangun pemahaman dan pengetahuannya sendiri tentang dunia di sekitarnya.
Dengan kata lain anak dapat membelajarakan dirinya sendiri melalui berbagai pengalamanya
(Bartlett 1932, Jonasson, 1991).1
Konstruktivisme adalah istilah luas yang digunakan oleh para filsuf, perancang
kurikulum, psikologi, pendidik dan lain-lain. Ernst Von Glasserfeld menyebutnya “bidang
yang sangat luas dan tidak jelas dalam psikologi, epistimologi dan pendidikan” (1997,hlm.
204) Perspektif konstruktivis berpijak pada penelitian, piaget, vygotsky, para psikolog gestalt,
Bartlett dan bruner maupun falsafah jhon dewey.2
Pembelajaran Konstruktivistik adalah membangunkan pengetahuan melalui
pengalaman, interaksi social, dan dunia nyata. Pembelajaran Konstruktivistik adalah

1. Martini Jamaris, Orientasi baru dalam psikologi pendidikan, (Jakarta : Yayasan Pernamas Murni, 2010), cet 1
hal 207.
2. Anita Woolfolk, Educational Psychology active learning edition, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009) cet 1
hal 145
pembelajaran berpusat pada peserta didik, guru sebagai mediator, fasilitator, dan sumber
belajar dalam pembelajaran.3
Prinsip-prinsip dasar konstruktivisme yakni peserta didik membangun interpretasi
dirinya terhadap dunia nyata melalui pengalaman-pengalaman baru dan interaksi social,
Pengetahuan yang telah melekat dapat dipergunakan (memahami kenyataan), fleksibel
menggunakan pengetahuan, mempercayai berbagai cara (beragam perspektif) untuk
menstruktur dunia dan mengisinya dan mempercayai individu dapat memaknai kehidupan di
dunia secara bebas.4
Konstruktivisme dikembangkan berdasarkan paham behaviorisme yang memandang
manusia berada dalam kotak hitam atau black box dan kognitivisme yang memandang pikiran
manusia merupakan hal yang penting dalam memahami dan memaknai sesuatu yang
dihadapinya. Perpaduan kedua pandangan yang berbeda tentang manusia dan cara belajar
siswa dalam pertumbuhan dan perkembangannya membuat penerapan kedua teori tersebut
menjadi lebih sempurna. Kognitivisme berkeyakinan bahwa belajar merupakan proses
bersifat internal dan personal pada waktu manusia memberikan interpretasi dan memberikan
makna terhadap pengalamanya. Sebaliknya, behaviorisme beranggapan bahwa belajar
merupakan hubungan antara stimulus dan respon. Artinya proses belajar terjadi tanpa
melibatkan individu yang belajar secara aktif, yang dilakukan oleh individu yang belajar
hanyalah memberikan respon terhadap stimulus yang telah diatur oleh pengelola proses
pembelajaran terjadi di dalam diri manusia.
Jadi dapat disimpulkan bahwa sebagai landasan paradigma pembelajaran,
konstruktivisme menyerukan perlunya partisipasi aktif siswa dalam proses pembelajaran,
perlunya pengembangan siswa belajar mandiri, dan perlunya siswa memiliki kemampuan
untuk mengembangkan pengetahuannya sendiri.
Dalam hal tahap-tahap pembelajaran, pendekatan konstruktivisme lebih menekankan
pada pembelajaran top-down processing, yaitu siswa belajar dimulai dari masalah yang
kompleks untuk dipecahkan (dengan bantuan guru), kemudian menghasilkan atau
menemukan keterampilan-keterampilan dasar yang dibutuhkan. Misalnya, ketika siswa
diminta untuk menulis kalimat-kalimat, kemudian dia akan belajar untuk membaca, belajar
tentang tata bahasa kalimat-kalimat tersebut, dan kemudian bagaimana menulis titik dan
komanya.

3. Martinis Yamin, Desain Baru pembelajaran Konstruktivistik, ( Jakarta : Referensi, 2012) hal 10
4. Martinis Yamin, Paradigma Baru Pembelajaran, (Jakarta : Referensi, 2013) hal 24.
Bagi aliran konstruktivisme, guru tidak lagi menduduki tempat sebagai pemberi ilmu.
Tidak lagi sebagai satu-satunya sumber belajar. Namun guru lebih diposisikan sebagai
fasilitator yang memfasilitasi siswa untuk dapat belajar dan mengkonstruksi pengetahuannya
sendiri. Aliran ini lebih menekankan bagaimana siswa belajar bukan bagaimana guru
mengajar.
Sebagai fasilitator guru bertanggung jawab terhadap kegiatan pembelajaran di kelas.
Diantara tanggung jawab guru dalam pembelajaran adalah menstimulasi dan memotivasi
siswa. Mendiagnosis dan mengatasi kesulitan siswa serta menyediakan pengalaman untuk
menumbuhkan pemahaman siswa. Oleh karena itu, guru harus menyediakan dan memberikan
kesempatan sebanyak mungkin kepada siswa untuk belajar secara aktif. Sedemikian rupa
sehingga para siswa dapat menciptakan, membangun, mendiskusikan, membandingkan,
bekerja sama, dan melakukan eksperimentasi dalam kegiatan belajarnya. Berdasarkan
konstruktivisme, akibatnya orientasi pembelajaran bergeser dari berpusat pada guru mengajar
ke pembelajaran berpusat pada siswa (student centered instruction).

2.1.2. Langkah-Langkah Pembelajaran Kontrutivisme


 Identifikasi tujuan. Tujuan dalam pembelajaran akan memberi arah dalam merancang
program, implementasi program dan evaluasi.
 Menetapkan Isi Produk Belajar. Pada tahap ini, ditetapkan konsep-konsep dan prinsip-
prinsip fisika yang mana yang harus dikuasai siswa.
 Identifikasi dan Klarifikasi Pengetahuan Awal Siswa. Identifikasi pengetahuan awal
siswa dilakukan melalui tes awal, interview klinis dan peta konsep.
 Identifikasi dan Klarifikasi Miskonsepsi Siswa. Pengetahuan awal siswa yang telah
diidentifikasi dan diklarifikasi perlu dianalisa lebih lanjut untuk menetapkan mana
diantaranya yang telah sesuai dengan konsepsi ilmiah, mana yang salah dan mana yang
miskonsepsi.
 Perencanaan Program Pembelajaran dan Strategi Pengubahan Konsep. Program
pembelajaran dijabarkan dalam bentuk satuan pelajaran. Sedangkan strategi
pengubahan konsepsi siswa diwujudkan dalam bentuk modul.
 Implementasi Program Pembelajaran dan Strategi Pengubahan Konsepsi. Tahapan ini
merupakan kegiatan aktual dalam ruang kelas. Tahapan ini terdiri dari tiga langkah
yaitu : (a) orientasi dan penyajian pengalaman belajar, (b)menggali ide-ide siswa, (c)
restrukturisasi ide-ide.
 Evaluasi. Setelah berakhirnya kegiatan implementasi program pembelajaran, maka
dilakukan evaluasi terhadap efektivitas model belajar yang telah diterapkan.
 Klarifikasi dan analisis miskonsepsi siswa yang resisten. Berdasarkan hasil evaluasi
perubahan miskonsepsi maka dilakukaan klarifikasi dan analisis terhadap miskonsepsi
siswa, baik yang dapat diubah secara tuntas maupun yang resisten.
 Revisi strategi pengubahan miskonsepsi. Hasil analisis miskonsepsi yang resisten
digunakan sebagai pertimbangan dalam merevisi strategi pengubahan konsepsi siswa
dalam bentuk modul.

2.1.3. Tujuan Teori Konstruktivisme di Kelas


 Adanya motivasi untuk siswa bahwa belajar adalah tanggung jawab siswa itu sendiri.
 Mengembangkan kemampuan siswa untuk mengejukan pertanyaan dan mencari sendiri
pertanyaannya.
 Membantu siswa untuk mengembangkan pengertian dan pemahaman konsep secara
lengkap.
 Mengembangkan kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang mandiri.
 Lebih menekankan pada proses belajar bagaimana belajar itu.

5. Ciri-ciri Pembelajaran Konstruktivisme


Ada sejumlah ciri-ciri proses pembelajaran yang sangat ditekankan oleh teori
konstruktivisme, yaitu:
 Menekankan pada proses belajar, bukan proses mengajar
 Mendorong terjadinya kemandirian dan inisiatif belajara pada siswa
 Memandang siswa sebagai pencipta kemauan dan tujuan yang ingin dicapai
 Berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses, bukan menekan pada hasil
 Mendorong siswa untuk melakukan penyelidikan
 Mengharagai peranan pengalaman kritis dalam belajar
 Mendorong berkembangnya rasa ingin tahu secara alami pada siswa
 Penilaian belajar lebih menekankan pada kinerja dan pemahaman siswa
 Berdasarkan proses belajarnya pada prinsip-prinsip toeri kognitif
 Banyak menggunakan terminologi kognitif untuk menjelaskan proses pembelajaran,
seperti prediksi, infernsi, kreasi, dan analisis
 Menekankan bagaimana siswa belajar
 Mendorong siswa untuk berpartisipasi aktif dalam dialog atau diskusi dengan siswa
lain dan guru
 Sangat mendukung terjadinya belajar kooperatif
 Melibatkan siswa dalam situasi dunia nyata
 Menekankan pentingnya konteks siswa dalam belajar
 Memperhatikan keyakinan dan sikap siswa dalam belajar
 Memberikan kesempatan kepada siswa untuk membangun pengetahuan dan
pemahaman baru yang didasarkan pada pengalaman nyata

2.1.4. Prinsip-prinsip pengajaran kontruktivisme


Secara garis besar, prinsip-prinsip Konstruktivisme yang diterapkan dalam belajar
mengajar adalah :
 Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri
 Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru kemurid, kecuali hanya dengan
keaktifan murid sendiri untuk menalar
 Murid aktif megkonstruksi secara terus menerus, sehingga selalu terjadi perubahan
konsep ilmiah
 Guru sekedar membantu menyediakan saran dan situasi agar proses kontruksi berjalan
lancar
 Menghadapi masalah yang relevan dengan siswa
 Struktur pembalajaran seputar konsep utama pentingnya sebuah pertanyaan
 Mencari dan menilai pendapat siswa
 Menyesuaikan kurikulum untuk menanggapi anggapan siswa.
Dari semua itu hanya ada satu prinsip yang paling penting adalah guru tidak boleh
hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa . Siswa harus membangun
pengetahuan didalam benaknya sendiri. Seorang guru dapat membantu proses ini dengan
cara-cara mengajar yang membuat informasi menjadi sangat bermakna dan sangat relevan
bagi siswa, dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau
menerapkan sendiri ide-ide dan dengan mengajak siswa agar menyadari dan
menggunakan strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberikan
tangga kepada siswa yang mana tangga itu nantinya dimaksudkan dapat membantu
mereka mencapai tingkat pemahaman yang lebih tinggi , tetapi harus diupayakan agar
siswa itu sendiri yang memanjatnya.
2.1.5. Fase – Fase Model Kontruktivisme
Fase-Fase pengajaran berasaskan model konstruktivisme 5-Fase seperti berikut:-
No Fase Tujuan/Kegunaan Kaedah
Orientasi Menimbulkan minat dan Awali penyelesaikan masalah
I menyediakan suasana sebentar, tunjuk cara oleh guru,
film, video dan kliping
Pencetusan Ide Sehingga murid dan guru sadar Awali, diskusi dalam kelompok
II tentang ide sebelumnya kecil, pemetaan konsep dan
laporan

Restrukturisasi Menciptakan kesadaran tentang


ide awal ide alternatif yang berbentuk Perbincangan dalam kumpulan
i. Penjelasan dan ilmiah. kecil dan buat laporan
pertukaran Menyadari bahwa ide-ide yang
ii. ada harus dimodifikasi, Perbincangan, pembacaan,
Mendengarkan dikembangkan atau diganti dengan input guru.
situasi konflik ide yang lebih ilmiah. Amali, kerja proyek,
III iii. Konstruksi Mengidentifikasi ide-ide alternatif eksperimen, tunjukcara guru
ide baru dan memeriksa secara kritis ide-
iv. Penilaian ide yang ada sendiri
Menguji validitas ide-ide yang ada
Renovasi, pemgembangan atau
konversi ide
Menguji validitas untuk ide-ide
baru yang dibangun
Penggunaan ide Penguatan kepada ide yang telah Penulisan sendiri kerja proyek
IV dibangun dalam situasi baru dan
biasa

Renungan Menyadari tentang perubahan ide Penulisan sendiri, diskusi


kembali murid. Murid dapat membuat kelompok, catatan pribadi dan
V
refleksi sejauh manakah ide asal lain-lain.
mereka telah berubah.
2.1.6. Penerapan Model pembelajaran Kontruktivisme
1. Belajar Bermakna David P. Ausubel
Teori belajar Ausubel menitik beratkan pada bagaimana seseorang memperoleh
pengetahuannya. Menurut Ausubel terdapat dua jenis belajar yaitu belajar hafalan (rote-
learning) dan belajar bermakna (meaningful-learning).
a. Belajar Hapalan
Materi dalam pelajaran matematika bukanlah pengetahuan yang terpisah-pisah namun
merupakan satu kesatuan, sehingga pengetahuan yang satu dapat berkait dengan
pengetahuan yang lain. Seorang anak tidak akan mengerti penjumlahan dua bilangan jika
ia tidak tahu arti dari “1” maupun “2”. Ia harus tahu bahwa “1” menunjuk pada
banyaknya sesuatu yang tunggal seperti banyaknya kepala, mulut, lidah dan seterusnya;
sedangkan “2” menunjuk pada banyaknya sesuatu yang berpasangan seperti banyaknya
mata, telinga, kaki, … dan seterusnya. Sering terjadi, anak kecil salah menghitung
sesuatu. Tangannya masih ada di batu ke-4 namun ia sudah mengucapkan “lima” atau
malah “enam”. Kesalahan kecil seperti ini akan berakibat pada kesalahan menjumlah dua
bilangan. Hal yang lebih parah akan terjadi jika ia masih sering meloncat-loncat di saat
membilang dari satu sampai sepuluh.
b. Belajar Bermakna
Agar proses mengingat bilangan kedua dapat bermakna, maka proses mengingat bilangan
kedua (yang baru) harus dikaitkan dengan pengetahuan yang sudah dimiliki, yaitu tentang
17-08-1945 akan tetapi dengan membalik urutan penulisannya menjadi 5491-80-
71.Untuk bilangan pertama, yaitu 89.107.145. Bilangan ini hanya akan bermakna jika
bilangan itu dapat dikaitkan dengan pengetahuan yang sudah ada di dalam pikiran kita.
Contohnya jika bilangan itu berkait dengan nomor telepon atau nomor lain yang dapat
kita kaitkan. Tugas guru adalah membantu memfasilitasi siswa sehingga bilangan
pertama tersebut dapat dikaitkan dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya. Jika
seorang siswa tidak dapat mengaitkan antara pengetahuan yang baru dengan pengetahuan
yang sudah dimiliki siswa, maka proses pembelajarannya disebut dengan belajar yang
tidak bermakna (rote learning).
Itulah inti dari belajar bermakna (meaningful learning) yang telah digagas David P
Ausubel. Di samping itu, seorang guru dituntut untuk mengecek, mengingatkan kembali
ataupun memperbaiki pengetahuan prasyarat siswanya sebelum ia memulai membahas
topik baru, sehingga pengetahuan yang baru tersebut dapat berkait dengan pengetahuan
yang lama yang lebih dikenal sebagai belajar bermakna tersebut.
2. Teori Belajar Bruner
Menurut Bruner, ada tiga tahap belajar, yaitu enaktif, ikonik dan simbolik.Berbeda
dengan Teori Belajar Piaget yang telah membagi perkembangan kognitif seseorang atas
empat tahap berdasar umurnya, maka Bruner membagi penyajian proses pembelajaran
dalam tiga tahap, yaitu tahap enaktif, ikonik dan simbolik.
Bruner memusatkan perhatian pada masalah apa yang dilakukan manusia
terhadap informasi diterimanya dan apa yang dilakukan setelah menerima informasi
tersebut untuk pemahaman dirinya.
a. Tiga Tahap Proses Belajar
Teori Bruner tentang tiga tahap proses belajar berkait dengan tiga tahap yang harus
dilalui siswa agar proses pembelajarannya menjadi optimal, sehingga akan terjadi
internalisasi pada diri siswa, yaitu suatu keadaan dimana pengalaman yang baru dapat
menyatu ke dalam struktur kognitif mereka. Ketiga tahap pada proses belajar tersebut
adalah:
1. Tahap Enaktif.
Pada tahap ini, pembelajaran yang dilakukan dengan cara memanipulasi obyek secara
aktif. Contohnya, ketika akan membahas penjumlahan dan pengurangan di awal
pembelajaran, siswa dapat belajar dengan menggunakan batu, kelereng, buah, lidi,
atau dapat juga memanfaatkan beberapa model atau alat peraga lainnya. Ketika
belajar penjumlahan dua bilangan bulat, para siswa dapat saja memulai proses
pembelajarannya dengan menggunakan beberapa benda nyata sebagai “jembatan”
atau dengan menggunakan obyek langsung.
2. Tahap Ikonik
Tahap ikonik, yaitu suatu tahap pembelajaran sesuatu pengetahuan di mana
pengetahuan itu direpresentasikan (diwujudkan) dalam bentuk bayangan visual (visual
imaginery), gambar, atau diagram, yang menggambarkan kegiatan kongkret atau
situasi kongkret yang terdapat pada tahap enaktif tersebut di atas (butir a). Bahasa
menjadi lebih penting sebagai suatu media berpikir. Kemudian seseorang mencapai
masa transisi dan menggunakan penyajian ikonik yang didasarkan pada pengindraan
kepenyajian simbolik yang didasarkan pada berpikir abstrak.
3. Tahap Simbolik
Dalam tahap ini bahasa adalah pola dasar simbolik, anak memanipulasi simbul-simbul
atau lambang-lambang objek tertentu. Anak tidak lagi terikat dengan objek-objek
seperti pada tahap sebelumnya. Anak pada tahap ini sudah mampu menggunakan
notasi tanpa ketergantungan terhadap objek riil. Pada tahap simbolik ini, pembelajaran
direpresentasikan dalam bentuk simbol-simbol abstrak (abstract symbols), yaitu
simbol-simbol arbiter yang dipakai berdasarkan kesepakatan orang-orang dalam
bidang yang bersangkutan, baik simbol-simbol verbal (misalnya huruf-huruf, kata-
kata, kalimat-kalimat), lambang-lambang matematika, maupun lambang-lambang
abstrak yang lain.

b. Empat Teori Belajar dan Mengajar


Meskipun pepatah Cina menyatakan “Satu gambar sama nilainya dengan seribu
kata”, namun menurut Bruner, pembelajaran sebaiknya dimulai dengan menggunakan
benda nyata lebih dahulu. Karenanya, seorang guru ketika mengajar matematika
hendaknya menggunakan model atau benda nyata untuk topik-topik tertentu yang dapat
membantu pemahaman siswanya. Bruner mengembangkan empat teori yang terkait
dengan asas peragaan, yakni:
1. Teori konstruksi menyatakan bahwa siswa lebih mudah memahami ide-ide abstrak
dengan menggunakan peragaan kongkret (enactive) dilanjutkan ke tahap semi
kongkret (iconic) dan diakhiri dengan tahap abstrak (symbolic). Dengan
menggunakan tiga tahap tersebut, siswa dapat mengkonstruksi suatu representasi dari
konsep atau prinsip yang sedang dipelajari.
2. Teori notasi menyatakan bahwa simbol-simbol abstrak harus dikenalkan secara
bertahap, sesuai dengan tingkat perkembangan kognitifnya. Sebagai contoh:
a) Notasi 3×2 dapat dikaitkan dengan 3×2 tablet.
b) Soal seperti ... + 4 = 7 dapat diartikan sebagai menentukan bilangan yang kalau
ditambah 4 akan menghasilkan 7. Notasi yang baru adalah 7 − 4 = ... .
3. Teori kekontrasan atau variasi menyatakan bahwa konsep matematika dikembangkan
melalui beberapa contoh dan bukan contoh seperti yang ditunjukkan gambar di bawah
ini tentang contoh dan bukan contoh pada konsep trapesium.
4. Teori konektivitas menyatakan bahwa konsep tertentu harus dikaitkan dengan konsep-
konsep lain yang relevan. Sebagai contoh, perkalian dikaitkan dengan luas persegi
panjang dan penguadratan dikaitkan dengan luas persegi. Penarikan akar pangkat dua
dikaitkan dengan menentukan panjang sisi suatu persegi jika luasnya diketahui.
Lebih lanjut, berbagai jenis kegiatan dalam pembelajaran yang menerapkan Teori- Teori
Bruner dapat diwujudkan dalam berbagai kegiatan seperti yang dikemukakan oleh Edgar
Dale dalam bukunya “Audio Visual Methods in Teaching” sebagaimana dikutip Heinich,
Molenda, dan Russell (1985:4) sebagai berikut,
1. Pengalaman langsung. Artinya, siswa diminta untuk mengalami, berbuat sendiri dan
mengolah, serta merenungkan apa yang dikerjakan.
2. Pengalaman yang diatur. Sebagai contoh dalam membicarakan sesuatu benda, jika
benda tersebut terlalu besar atau kecil, atau tidak dapat dihadirkan di kelas maka
benda tersebut dapat diragakan dengan model. Contohnya: peta, gambar benda-
benda yang tidak mungkin dihadirkan di kelas, model kubus, dan kerangka balok,
3. Dramatisasi. Misalnya: permainan peran, sandiwara boneka yang bisa digerakkan ke
kanan atau ke kiri pada garis bilangan.
4. Demonstrasi. Biasanya dilakukan dengan menggunakan alat-alat bantu seperti papan
tulis, papan flanel, OHP dan program komputer. Banyak topik dalam pembelajaran
matematika di SD yang dapat diajarkan melalui demonstrasi, misalnya:
penjumlahan, pengurangan, dan pecahan.
5. Karyawisata. Kegiatan ini sebenarnya sangat baik untuk menjadikan matematika
sebagai atau menjadi pelajaran yang disenangi siswa. Kegiatan yang diprogramkan
dengan melibatkan penerapan konsep matematika seperti mengukur tinggi objek
secara tidak langsung, mengukur lebar sungai, mendata kecenderungan kejadian dan
realitas yang ada di lingkungan merupakan kegiatan yang sangat menarik dan sangat
bermakna bagi siswa serta bagi daya tarik pelajaran matematika di kalangan siswa.
6. Pameran. Pameran adalah usaha menyajikan berbagai bentuk model-model kongkret
yang dapat digunakan untuk membantu memahami konsep matematika dengan cara
yang menarik. Berbagai bentuk permainan matematika ternyata dapat menyedot
perhatian siswa untuk mencobanya, sehingga jenis kegiatan ini juga cukup bermakna
untuk diterapkan dalam pembelajaran matematika.
7. Televisi sebagai alat peragaan. Program pendidikan matematika yang disiarkan
melalui media TV juga merupakan alternatif yang sangat baik untuk pembelajaran
matematika.
8. Film sebagai alat peraga
9. Gambar sebagai alat peraga

Dengan demikian jelaslah bahwa asas peragaan dalam bentuk enaktif dan ikonik
selama pembelajaran matematika adalah sangat penting untuk meningkatkan pemahaman
dan daya tarik siswa dalam mempelajari matematika sebelum mereka menggunakan
bentuk-bentuk simbolik.

2.1.7. Keunggulan dan Kelemahan Model Konstrutivisme


Keunggulan Model kontruktivisme
 Pembelajaran berdasarkan konstruktivisme memberikan kesempatan kepada siswa
untuk mengungkapkan gagasan secara eksplisit dengan menggunakan bahasa siswa
sendiri, berbagi gagasan dengan temannya, dan mendorong siswa memberikan
penjelasan tentang gagasannya.
 pembelajaran berdasarkan konstruktivisme memberi pengalaman yang berhubungan
dengan gagasan yang telah dimiliki siswa atau rancangan kegiatan disesuaikan dengan
gagasan awal siswa agar siswa memperluas pengetahuan mereka tentang fenomena dan
memiliki kesempatan untuk merangkai fenomena, sehingga siswa terdorong untuk
membedakan dan memadukan gagasan tentang fenomena yang menantang siswa.
 Pembelajaran konstruktivisme memberi siswa kesempatan untuk berpikir tentang
pengalamannya. Ini dapat mendorong siswa berpikir kreatif, imajinatif, mendorong
refleksi tentang model dan teori, mengenalkan gagasan-gagasan pada saat yang tepat.
 pembelajaran berdasarkan konstruktivisme memberi kesempatan kepada siswa untuk
mencoba gagasan baru agar siswa terdorong untuk memperoleh kepercayaan diri
dengan menggunakan berbagai konteks, baik yang telah dikenal maupun yang baru dan
akhirnya memotivasi siswa untuk menggunakan berbagai strategi belajar.
 Pembelajaran Konstruktivisme mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan
merka setelah menyadari kemajuan mereka serta memberi kesempatan siswa untuk
mengidentifikasi perubahan gagasan mereka.
 Pembelajaran Konstruktivisme memberikan lingkungan belajar yang kondusif yang
mendukung siswa mengungkapkan gagasan, saling menyimak, dan menghindari kesan
selalu ada satu jawaban yang benar.

2.1.8. Kelemahan Model Konstruktivisme


Dalam bahasan kekurangan atau kelemahan ini mungkin bisa kita lihat dalam
proses belajarnya dimana peran guru sebagai pendidik itu sepertinya kurang begitu
mendukung. Kekurangan Metode Konstruktivisme :
 Siswa membangun pengetahuan mereka sendiri, tidak jarang bahwa konstruksi siswa
tidak cocok dengan pembangunan ilmuwan yang menyebabkan kesalahpahaman.
 Konstruktivisme pengetahuan kita menanamkan bahwa siswa membangun sendiri, hal
ini pasti memakan waktu yang lama dan setiap siswa memerlukan penanganan yang
berbeda.
 Situasi dan kondisi masing-masing sekolah tidak sama, karena tidak semua sekolah
memiliki infrastruktur yang dapat membantu keaktifan dan kreativitas siswa.

2.1.9. Dilema-dilema praktik konstruktivisme


Bertahun-tahun silam, larry cremin(1961) mengamati bahwa pedagogi yang progresif dan
inovatif membutuhkan guru-guru yang sangat terampil. Sekarang hal yang sama dapat
dikatakan tentang pengajaran konstruktivisme . diantara dilemma-dilema praktik
konstruktivisme yang dihadapi guru yakni :
a. Dilema Konseptual
Menangkap tiang pondasi konstruktivisme kognitif dan social, merekonsiliasikan
keyakinan saat ini tentang pedagogi dengan keyakinan yang dibutuhkan untuk
mendukung lingkungan belajar yang konstruktivis. Pertanyaan representatif yang terkait
yang sering muncul pada diri guru yakni, manakah versi konstruktivisme yang sesuai
sebagai dasar mengajar saya
b. Dilema pedagogis
Menghormati usaha siswa untuk berpikir bagi dirinya sendiri sambil tetap meyakini ide-
ide disipliner yang diterima, mengembangkan pengetahuan yang lebih dalam tentang
subjek; menguasai seni fasilitasi; mengelola jenis-jenis wacana baru dan kerja kolaboratif
dikelas. Pertanyaan representatif yang terkait yang sering muncul pada diri guru yakni,
ketrampilan dan strategi apa saja yang saya butuhkan untuk menjadi seorang fasilitator?
Haruskah saya meletakkan batas-batas pada konstruksi ide-ide siswa sendiri?
c. Dilema kultural
Menjadi paham akan budaya kelas anda; mempertanyakan asumsi tentang apa jenis-jenis
kegiatan yang seharusnya dihargai; memanfaatkan pengalaman, pola-pola wacana dan
pengetahuan local siswa dengan beragam latar belakang budaya. Pertanyaan representatif
yang terkait yang sering muncul pada diri guru yakni, Dapatkah saya mempercayai siswa
untuk memikul tanggung jawab atas pembelajarannya sendiri.
d. Dilema politis
Menghadapi isu-isu akuntabilitas dengan berbagai stake holder dalam komunitas sekolah;
bernegosiasi dengan orang kunci tentang wewenang dan dukungan untuk mengajar demi
pemahaman. Pertanyaan representatif yang terkait yang sering muncul pada diri guru
yakni, Bagaimana saya bisa mendapatkan dukungan dari para administrator dan para
orang tua untuk mengajar dengan cara yang berbeda secara radikal dan tidak familier?5

2.2. PENERAPAN KONSTRUKTIVISME DALAM PENDIDIKAN DAN


PEMBELAJARAN.
1. Prinsip-prinsip penerapan konstruktivisme
Brook & Brook (1993:34) mengemukakan prinsip-prinsip penerapan pendekatan
konstruktivisme, yang diperkaya oleh jamaris (2004:101) seperti di bawah ini
 Belajar perlu dimulai dari isu-isu yang berkaitan dengan kegiatan siswa dalam
menginstruksikan pemahaman dan pengetahuannya secara aktif. Hal ini didasarkan
pada kenyataan bahwa belajar adalah kegiatan yang dilakukan dalam rangka
menemukan makna dari apa yang dipelajari
 Proses pembelajaran perlu disusun dengan memperhatikan konsep utama dan bagian-
bagian yang berkaitan dengan konsep utama tersebut. Hal ini disebabkan karena
kebermaknaan mempersyaratkan pemahaman konsep baik secara keseluruhan maupun
bagian-bagian dari konsep
 Pemahaman terhadap model mental yang digunakan siswa dalam memahami dunia
sekitarnya dan asumsi-asumsi yang menjadi dasar dalam pengembangan mental
tersebut perlu dipahami oleh pihak-pihak yang terkait dengan proses pembelajaran
 Pembelajaran perlu disajikan dalam konteks yang dapat membantu siswa untuk
membangun pemahaman dan pengetahuanya secara interdisiplin. Hal ini disebabkan
karena tujuan belajar bukan hanya menghafal akan tetapi memahami sesuatu dalam
konteks yang mengandung makna
 Assessmen merupakan bagian dari proses belajar. Hal ini disebabkan karena
assessmen tidak dilakukan hanya untuk mengetahui hasil belajar yang dilakukan
diakhir proses belajar. Sehubungan dengan hal tersebut sumber belajar yang dapat
digunakan untuk meningkatkan kualitas belajar siswa perlu disediakan

5 . Ibid anita woolfolk hal 172-173


 Berkaitan dengan pandangan konstruktivisme terhadap kemampuan siswa dalam
membangun pemahaman dan pengetahuannya sendiri maka penggunaan kurikulum
yang standar perlu dihindari. Oleh sebab itu, kurikulum hendaknya dikembangkan
berdasarkan pengetahuan actual yang dimiliki siswa yang diarahkan pada kemampuan
pemecahan masalah secara actual
 Konstruktivisme menganjurkan agar menghindari pemberian nilai berdasarkan tes
yang telah distandarisasi, karena assessmen merupakan bagian dari proses belajar
yang melibatkan siswa dalam menilai kemajuan belajar yang telah dicapainya
 Pembelajaran yang menerapkan pendekatan konstruktivisme menekankan peranan
pendidikan dalam menghubungkan fakta-fakta yang ada yang dapat mempertajam
pemahaman siswa dalam usahanya membangun pengetahuan barunya sendiri. Oleh
sebab itu, strategi pembelajaran digunakan adalah strategi yang mampu mendorong
siswa untuk melakukan analisis, interpretasi dan memprediksi. Berkaitan dengan hal
tersebut guru disarankan untuk mengajukan pertanyaan yang bersifat open-ended
question atau pertanyaan yang dapat memunculkan berbagai pendapat yang bersifat
divergent, artinya pertanyaan yang tidak dijawab dengan jawaban ya atau tidak.
Dengan demikian dialog antar siswa dapat terjadi dengan baik.

2.3. Karakteristik Penerapan Konstruktivisme Dalam Pembelajaran


Teori konstruktivisme yang dikembangkan oleh Vygotsky pada tahap selanjutnya
diperluas oleh para ahli terkait melalui berbagai penelitian yang dilakukan mereka. Dari
berbagai hasil penelitian tersebut dapat di sintesis karakteristik konsep-konsep
konstruktivisme dalam pendidikan, seperti yang dijelaskan di bawah ini ;
 Konsep penting dalam penerapan konstruktivisme di bidang pendidikan adalah zone of
proximal development yang diterapkan melalui scaffolding yaitu suatu proses pemberian
bimbingan pada siswa berdasarkan pengetahuan dan ketrampilan yang telah dimilikinya
kepada apa yang harus diketahuinya.
 Didalam mengembangkan ketrampilan dalam pemecahan masalah perlu dipertimbangkan :
1. Ketrampilan yang belum dikuasai siswa
2. Ketrampilan yang tidak dapat dilakukan siswa
3. Ketrampilan yang mungkin dapat dilakukan oleh siswa
4. Ketrampilan yang dapat dilakukan siswa dengan bantuan orang lain.
 Guru yang bijaksana memberikan dukungannya pada siswa dalam usahanya mencapai
perkembangannya secara optimal.
 Proses pembelajaran yang menerapkan prinsip konstruktivisme dikelola melalui
pendekatan lingkungan secara nyata yang dilakukan dengan berbagai kegiatan nyata.

2.4. Peranan Guru Dalam Kelas Berbasis Konstruktivisme


Pandangan konstruktivisme tentang proses perkembangan manusia mempengaruhi berbagai
kebijakan dan tindakan yang diterapkan didalam dunia pendidikan dan pembelajaran seperti
yang diuraikan di bawah ini.
 Konstruktivisme memodifikasi teori pendidikan dan pembelajaran kearah yang lebih
manusiawi dengan memadukan kemampuan yang ada di dalam diri individu dengan
lingkungan yang ada disekitarnya serta pemberian kesempatan pada anak untuk
menentukan strategi belajarnya, lingkungan belajarnya, proses dan kecepatan belajarnya.
 Konstruktivisme memodifikasi tugas dan peranan guru dari bersifat menentukan berubah
menjadi memberikan bantuan kepada siswa dalam mengkonstruksi pemahaman dan
pengetahuanya. Oleh sebab itu, dalam proses pembelajaran fungsi dan peranan guru
sebagai fasilitator, mediator dan motivator.
Perspektif konstruktivis adalah salah satu yang memegang "komando dataran tinggi"
di teknologi pendidikan penelitian dan pengembangan pada awal abad ke-21.
1). Konstruktivis Prescriptions.
Prinsip preskriptif berasal dari konstruktivisme menurut Driscoll (2005): "1. Embed
Pembelajaran yang kompleks, realistis, dan lingkungan yang relevan. 2. Menyediakan
negosiasi sosial sebagai bagian integral dari Pembelajaran. 3. Mendukung berbagai
perspektif dan penggunaan berbagai cara representasi. 4. Mendorong kepemilikan dalam
Pembelajaran. 5. Memupuk kesadaran diri dari proses konstruksi pengetahuan "(hal.
394-395). Apa macam strategi instruksional berasal dari prinsip-prinsip ini? terletak
kognisi (yang berhubungan dengan magang kognitif), berlabuh pengajaran, dan
Pembelajaran berbasis masalah plus Pembelajaran kolaboratif
2). Terletak kognisi.
Teori terletak kognisi menekankan gagasan bahwa semua pikiran manusia yang
dikandung dalam konteks tertentu - suatu waktu, tempat, dan latar sosial, JS Brown,
Collins, dan Duguid (1989) menunjukkan bahwa Pembelajaran akademis terletak di
lingkungan kelas dan karenanya cenderung menjadi "pengetahuan diam", tidak ditransfer
dengan kehidupan di luar kelas. Teori ini menempatkan aspek sosial di tengah proses
Pembelajaran, melihat keahlian sebagai berkembang dalam komunitas praktek
Kognitif magang, yang mewujudkan dua prinsip pertama yang dikutip oleh Driscoll
(2005), memberikan kerangka teoretis untuk proses membantu siswa menjadi ahli
melalui satu-ke-satu petunjuk.
3). Berlabuh instruksi.
The Cognition and Technology Group at Vanderbilt (CTGB) diperkenalkan berlabuh
instruksi sebagai strategi pada 1990-an untuk menggabungkan wawasan kognisi ke kelas
terletak instruksi. CTGB dikembangkan videodiscs interaktif yang memungkinkan siswa
dan guru untuk terjun ke dalam kompleks, masalah realistis yang membutuhkan
penggunaan prinsip-prinsip matematika dan sains untuk memecahkan.
4). Pembelajaran Berbasis Masalah.
Masalah mewujudkan strategi berbasis prinsip pertama, kompleks dan realistik
lingkungan, dan biasanya semua prinsip-prinsip yang lain juga. Konstruktivis cenderung
untuk merekomendasikan merendam pemPembelajaran dalam versi Sederhana masalah
untuk memulai dengan, bergerak ke arah versi lebih kompleks sebagai pelajar menguasai
pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk mengatasi meningkatnya
kompleksitas..
5). Collaborative Pembelajaran.
Negosiasi sosial (berasal dari teori Vygotsky dari sifat pengetahuan sosiokultural),
diwakili dalam Pembelajaran kolaboratif, yang termasuk di sebagian besar strategi
pengajaran konstruktivis dibahas sebelumnya. Komputer mendukung Pembelajaran
kolaboratif sekarang ini format yang paling menonjol. Roschelle dan Pea (2002)
berspekulasi bahwa perangkat genggam nirkabel akan memungkinkan berkembang ke
arah baru dari mereka mungkin di laboratorium komputer tradisional

2.5. Konstruktivisme adalah Teknologi Pendidikan.


Prinsip-prinsip Pembelajaran yang terlibat seperti yang dipromosikan oleh
(Tinzmann, Rasmussen, & Foertsch, 1999) meliputi banyak komponen konstruktivisme dan
penggunaan teknologi pendidikan sebagai alat untuk mencapai Pembelajaran. Deskripsi
Pembelajaran termasuk Penjelajah siswa, guru, murid kognitif, produsen pengetahuan, dan
direksi dan manajer dari Pembelajaran mereka sendiri. Guru adalah fasilitator, panduan, dan
colearners; mereka mencari pertumbuhan profesional, desain kurikulum, dan melaksanakan
penelitian. Tugas-tugas Pembelajaran yang autentik, menantang, dan multidisiplin. Penilaian
adalah otentik, berdasarkan kinerja, mulus dan berkelanjutan, dan menghasilkan
Pembelajaran baru.
Terlibat Pembelajaran, sebagaimana dikembangkan oleh guru melalui penggunaan
teknologi, yang bermanfaat ketika membantu siswa mencapai distrik penting, negara bagian,
dari standar nasional. Banyak guru telah Pembelajaran melalui pendidikan awal mereka,
pengembangan staf, atau penataran pendidikan untuk merencanakan kegiatan siswa yang
mewakili terlibat Pembelajaran, adalah otentik, yang berharga, dan melibatkan prinsip-prinsip
konstruktivis sementara pendidikan menggunakan teknologi sebagai alat untuk Pembelajaran.
Pendukung konstruktivisme telah berulang kali mendorong perkembangan tersebut melalui
teks dan artikel untuk pendidik, berdasarkan cita-cita konstruktivis
Pendukung ini juga sering menunjukkan perubahan yang diperlukan dalam metode
Pembelajaran yang dinilai. Penilaian adalah ruang kelas tersebut juga harus otentik dan
terfokus pada kinerja, gunakan kegiatan kompleks dan bermakna, didasarkan pada
pengetahuan konstruksi dan bukan pengulangan fakta-fakta, dan dapat dilakukan melalui
observasi, presentasi, dan realistis, di dunia nyata berbasis kegiatan ( Jonassen, Howland,
Moore, & Marra 2003).

2.6. Konstruktivisme dan Memfasilitasi Pembelajaran.


Bagaimana konstruktivisme memberikan kontribusi untuk memfasilitasi
Pembelajaran? Pertama, advokasi yang kuat yang dikemukakan oleh para pengikutnya telah
menangkap perhatian teknologi pendidikan. Sejak akhir 1980-an, percakapan dalam
teknologi pendidikan telah berkisar sekitar klaim konstruktivisme, berdebat jasa-jasa mereka
dan membayangkan implikasinya.
Setidaknya, sejumlah inovasi sebelumnya, seperti instruksi berlabuh, problem-based
Pembelajaran (PBL), dan kolaborasi Pembelajaran, telah dipelajari sebagai instantiations dari
teori konstruktivis.
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Konstruktivisme merupakan pendekatan dalam psikologi yang berkeyakinan bahawa
anak dapat membangun pemahaman dan pengetahuannya sendiri tentang dunia di sekitarnya.
Dengan kata lain anak dapat membelajarakan dirinya sendiri melalui berbagai pengalamanya
(Bartlett 1932, Jonasson, 1991).
Pembelajaran Konstruktivistik adalah membangunkan pengetahuan melalui
pengalaman, interaksi social, dan dunia nyata. Pembelajaran Konstruktivistik adalah
pembelajaran berpusat pada peserta didik, guru sebagai mediator, fasilitator, dan sumber
belajar dalam pembelajaran.
Prinsip-prinsip dasar konstruktivisme yakni peserta didik membangun interpretasi
dirinya terhadap dunia nyata melalui pengalaman-pengalaman baru dan interaksi social,
Pengetahuan yang telah melekat dapat dipergunakan (memahami kenyataan), fleksibel
menggunakan pengetahuan, mempercayai berbagai cara (beragam perspektif) untuk
menstruktur dunia dan mengisinya dan mempercayai individu dapat memaknai kehidupan di
dunia secara bebas.
Keunggulan Model kontruktivisme
 Pembelajaran berdasarkan konstruktivisme memberikan kesempatan kepada siswa untuk
mengungkapkan gagasan secara eksplisit dengan menggunakan bahasa siswa sendiri,
berbagi gagasan dengan temannya, dan mendorong siswa memberikan penjelasan tentang
gagasannya.
 pembelajaran berdasarkan konstruktivisme memberi pengalaman yang berhubungan
dengan gagasan yang telah dimiliki siswa atau rancangan kegiatan disesuaikan dengan
gagasan awal siswa agar siswa memperluas pengetahuan mereka tentang fenomena dan
memiliki kesempatan untuk merangkai fenomena, sehingga siswa terdorong untuk
membedakan dan memadukan gagasan tentang fenomena yang menantang siswa.
 Pembelajaran konstruktivisme memberi siswa kesempatan untuk berpikir tentang
pengalamannya. Ini dapat mendorong siswa berpikir kreatif, imajinatif, mendorong
refleksi tentang model dan teori, mengenalkan gagasan-gagasanpada saat yang tepat.
 pembelajaran berdasarkan konstruktivisme memberi kesempatan kepada siswa untuk
mencoba gagasan baru agar siswa terdorong untuk memperoleh kepercayaan diri dengan
menggunakan berbagai konteks, baik yang telah dikenal maupun yang baru dan akhirnya
memotivasi siswa untuk menggunakan berbagai strategi belajar.
 Pembelajaran Konstruktivisme mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan
merka setelah menyadari kemajuan mereka serta memberi kesempatan siswa untuk
mengidentifikasi perubahan gagasan mereka.
 Pembelajaran Konstruktivisme memberikan lingkungan belajar yang kondusif yang
mendukung siswa mengungkapkan gagasan, saling menyimak, dan menghindari kesan
selalu ada satu jawaban yang benar.
Kelemahan Model Konstruktivisme
Dalam bahasan kekurangan atau kelemahan ini mungkin bisa kita lihat dalam proses
belajarnya dimana peran guru sebagai pendidik itu sepertinya kurang begitu mendukung.
Kekurangan Metode Konstruktivisme
 Siswa membangun pengetahuan mereka sendiri, tidak jarang bahwa konstruksi siswa tidak
cocok dengan pembangunan ilmuwan yang menyebabkan kesalahpahaman.
 Konstruktivisme pengetahuan kita menanamkan bahwa siswa membangun sendiri, hal ini
pasti memakan waktu yang lama dan setiap siswa memerlukan penanganan yang berbeda.
Situasi dan kondisi masing-masing sekolah tidak sama, karena tidak semua sekolah
memiliki infrastruktur yang dapat membantu keaktifan dan kreativitas siswa.

Dilema-dilema praktik konstruktivisme


Bertahun-tahun silam, larry cremin(1961) mengamati bahwa pedagogi yang progresif dan
inovatif membutuhkan guru-guru yang sangat terampil. Sekarang hal yang sama dapat
dikatakan tentang pengajaran konstruktivisme . diantara dilemma-dilema praktik
konstruktivisme yang dihadapi guru yakni :

Dilema Konseptual
Menangkap tiang pondasi konstruktivisme kognitif dan social, merekonsiliasikan
keyakinan saat ini tentang pedagogi dengan keyakinan yang dibutuhkan untuk mendukung
lingkungan belajar yang konstruktivis. Pertanyaan representatif yang terkait yang sering
muncul pada diri guru yakni, manakah versi konstruktivisme yang sesuai sebagai dasar
mengajar saya
Dilema pedagogis
Menghormati usaha siswa untuk berpikir bagi dirinya sendiri sambil tetap meyakini
ide-ide disipliner yang diterima, mengembangkan pengetahuan yang lebih dalam tentang
subjek; menguasai seni fasilitasi; mengelola jenis-jenis wacana baru dan kerja kolaboratif
dikelas. Pertanyaan representatif yang terkait yang sering muncul pada diri guru yakni,
ketrampilan dan strategi apa saja yang saya butuhkan untuk menjadi seorang fasilitator?
Haruskah saya meletakkan batas-batas pada konstruksi ide-ide siswa sendiri?

Dilema kultural
Menjadi paham akan budaya kelas anda; mempertanyakan asumsi tentang apa jenis-
jenis kegiatan yang seharusnya dihargai; memanfaatkan pengalaman, pola-pola wacana dan
pengetahuan local siswa dengan beragam latar belakang budaya. Pertanyaan representatif
yang terkait yang sering muncul pada diri guru yakni, Dapatkah saya mempercayai siswa
untuk memikul tanggung jawab atas pembelajarannya sendiri.

Dilema politis
Menghadapi isu-isu akuntabilitas dengan berbagai stake holder dalam komunitas
sekolah; bernegosiasi dengan orang kunci tentang wewenang dan dukungan untuk mengajar
demi pemahaman. Pertanyaan representatif yang terkait yang sering muncul pada diri guru
yakni, Bagaimana saya bisa mendapatkan dukungan dari para administrator dan para orang
tua untuk mengajar dengan cara yang berbeda secara radikal dan tidak familier?

3.1 Saran
Kami menyadari kekurangan dari makalah ini. Sehingga kami manyarankan kepada
pembaca agar bisa memberikan kritik dan sarannya, agar makalah ini bisa jadi lebih baik.
Terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA

Anekaragammakalah. 2012. Makalah Teori Belajar Konstruktivisme. Blogspot.com; diakses


online pada tanggal 7 Mei 2013.
http://makalahmajannaii.blogspot.com/2012/07/teori-belajar-konstruktivisme.html

Amaris, Martini. Orientasi Baru dalam Psikologi Pendidikan, Jakarta : Yayasan Penamas
Murni, 2010

Budiningsih, C.A. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : Rineka Cipta.

Gerson.R.Tanwey 2002.Belajar dan Pembelajaran.Ambon: FKIP Universitas Pattimura


Ambon

Gino, dkk. 1997. Belajar Dan Pembelajaran. Surakarta : UNS Press. Disadur dari : Sarlito
W. Sarwono, 2002, Berkenalan dengan ALiran-Aliran dan Tokoh-tokoh Psikologi,
(PT Bulan Bintang: Jakarta)

Pranita, Tya. 2010. Teori Konstruktivisme. Kompasiana.com; diakses online pada tanggal 7
Mei 2013.
http://edukasi.kompasiana.com/2010/10/06/teori-konstruktivisme-280303.html

Sanjaya, Wina. Pembelajaran. Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2012.


Uno, Hamzah B. Model Pembelajaran Menciptakan Proses Belajar Mengajar Yang Kreatif
dan Efektif. Jakarta : PT. Bumi Aksara. 2012.

Suparno, Paul. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Jogjakarta: Kanisi

Woolfolk, Anita. Educational Psychology active learning edition, Yogyakarta : Pustaka


Pelajar, 2009

Yamin, Martinis. Desain Baru Pembelajaran Konstruktivistik, Jakarta : Referensi, 2012

------------, Paradigma Baru Pembelajaran, Jakarta : Referensi, 2013

Trianto.2007.Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Jakarta:


Prestasi Pustaka.

Anda mungkin juga menyukai