John Dewey sebagai seorang filosof dan banyak menulis mengenai pendidikan,
maka ia dikenal sebagai Bapak konstruktivisme. Idenya banyak dipakai sebagai dasar
metode konstruktivisme dan Discovery learning. John Dewey mengemukakan bahwa
belajar tergantung pada pengalaman dan minat siswa, dan topik pada kurikulum
seharusnya mempunyai keterkaitan satu sama lain. Belajar harus bersift aktif, langsung
terlibat dan berpusat pada siswa (SCL = Student-Centered Learning). (Sugihartono, dkk
: 108).
Dewey dalam bukunya Democracy and Education (1950 :89-90, dalam Dwi
Siswoyo,dkk), pendidikan adalah rekonstruksi atau reorganisasi pengalaman yang
menambah makna pengalaman, dan yang menambah kemampuan untuk mengarahkan
pengalaman selanjutnya. Dalam teori konstruktivisme disebutkan bahwa permasalahan
muncul dibangun dari rekonstruksi yang dibangun oleh siswa sendiri, hal ini dapat
dikatakan bahwa dalam pendidikan ada keterkaitan antara siswa dengan permasalahan
yang dihadapi dan dialami siswa tersebut yang merekonstruksi melalui pengetahuan
yang dimiliki.
Teori konstruktivisme yang dikemukakan oleh John Dewey juga terangkum
dalam teori kognitif, yang menegaskan bahwa pengalaman merupakan landasan dalam
pembelajaran. Teori kognitif pada dasarnya membahas mengenai faktor-faktor kognisi
yang berhubungan dengan jiwa atau kondisi psikologi seseorang. Definisi kognisi yaitu
proses atau upaya manusia dalam mengenal berbagai macam stimulus atau informasi
yang masuk melalui alat indranya, menyimpan, menghubungkan, dan memecahkan
suatu masalah berdasar stimulus atau informasi tersebut.
Salah satu bentuk berpikir adalah reasoning. Reasoning adalah bentuk berpikir
di mana kemungkinan-kemungkinan pemecahan ditimbang-timbang secara simbolis
(Dimyati, 1990). Reasoning itu adalah serangkaian langkah yang berurutan dan
langkah-langkah itu antara lain (John Dewey, 1990 dalam Dimyati, 1990):
a. Tahap premoral. Tingkah laku seseorang didorong oleh desakan yang bersifat
fisikal atau sosial.
b. Tahap convention. Seseorang mulai bisa menerima nilai dengan sedikit kritis
berdasarkan kepada kriteria kelompoknya.
c. Tahap autonomous. Seseorang sudah mulai bisa berbuat atau bertingkah laku
sesuai dengan akal pikiran dan pertimbangan dirinya sendiri, tidak sepenuhnya
menerima kriteria kelompoknya.
B. Prinsip-prinsip konstruktivisme
Di dalam pembelajaran konstruktivisme, konstruktor pengetahuan aktif memiliki
prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Belajar selalu merupakan sebuah proses aktif. Pembelajar secara aktif
mengkonstruksikan belajarnya dari berbagai macam input yang diterimanya.
Hal ini mengisyaratkan bahwa pembelajar perlu bersikap aktif agar dapat belajar
secara efektif. Belajar adalah tentang membantu untuk mengkonstruksikan
makna mereka sendiri, bukan tentang "mendapatkan jawaban yang benar"
karena dengan cara seperti ini siswa dilatih untuk mendapatkan jawaban yang
benar tanpa benar-benar memahami konsepnya (Muijs, & Reynolds, 2009).
2. Anak-anak belajar dengan paling baik dengan menyelesaikan berbagai konflik
kognitif (konflik dengan berbagai ide dan konsepsi lain) melalui pengalaman,
refleksi, dan metakognisi (Beyer,1985).
3. Bagi konstruktivis, belajar adalah pencarian makna, Pembelajar secara aktif
berusaha mengkonstruksikan makna. Dengan demikian guru mestinya berusaha
mengkonstruksikan berbagai kegiatan belajar seputar ideide besar dan
eksplorasi yang memungkinkan pembelajar untuk mengkonstruksikan makna.
4. Konstruksi pengetahuan bukan sesuatu yang bersifat individual semata-mata.
Belajar juga dikonstruksikan secara sosial, melalui interaksi dengan teman
sebaya, guru, orang tua dan sebagainya. Dengan demikian yang terbaik adalah
mengkonstruksi topik.
5. Elemen lain yang berakar pada fakta bahwa pembelajar secara individual dan
kolektif mengkonstruksilan pengetahuan adalah bahwa agar efektif guru harus
memiliki pengetahuan yang baik tentang perkembangan anak dan teori belajar,
sehingga mereka dapat menilai secara lebih akurat belajar seperti apa yang dapat
terjadi.
6. Disamping itu belajar selalu dikonseptualisasikan. Kita tidak mempelajari fakta-
fakta secara murni abstrak, tetapi selalu dalam hubungannya dengan apa yang
telah kita ketahui. Kita juga belajar dalam kaitannya dengan prakonsepsi kita.
Ini berarti bahwa kita dapat belajar dengan paling baik bila pembelajaran baru
itu berhubungan secara eksplisit dengan apa yang telah kita ketahui.
7. Belajar secara betul-betul mendalam berarti mengkonstruksikan pengetahuan
secara menyeluruh, dengan mengeksplorasi dan menengok kembali mated yang
kita pelajari dan bukan dengan cepat pindah dari satu topic seperti pada
pendekatan pengajaran langsung. Murid hanya dapat mengkonstruksikan makna
bila mereka dapat melihat keseluruhannya.
8. Mengajar adalah sebagai pemberdayaan pembelajar, dan
memungkinkanpembelajar untuk menemukan danmelakukan refleksi terhadap
pengalaman-pengalaman realistis. Ini akan menghasilkan pembelajaran otentik
dan pemahaman yang lebih dalam bila dibandingkan dengan memorisasi
permukaan yang sering menjadi ciri pendekatan-pendekatan mengajar lainnya
(Von Glassersfeld,1989). Ini juga membuat kaum konstruktivis percaya bahwa
lebih baik menggunakan bahan-bahan hands-on dari riil daripada texbook.
C. Penerapan dalam Pembelajaran
Berikut ini adalah implikasi teori konstruktivisme dalam pembelajaran:
Kontribusi John Dewey sangat besar dan luar biasa di bidang pendidikan, politik,
humanisme, logika, dan estetika. Filosofinya terkait dengan pendekatan pendidikan,
masalah pedagogis, dan hubungan yang ia buat antara pendidikan, demokrasi,
pengalaman, dan masyarakat.
Daftar Pustaka :