Anda di halaman 1dari 9

Prinsip vygotskian pada ZPD dan scaffolding

Zona perkembangan proal (ZPD), paling dipahami sebagai perbedaan antara apa yang dapat dilakukan
pelajar tanpa bantuan dan apa yang dapat dia lakukan dengan bantuan. Konsep ini dikembangkan oleh
psikolog Soviet dan Lev konstruktivis sosial Vygotsky (1896 – 1934).

Vygotsky menyatakan bahwa seorang anak mengikuti contoh orang dewasa dan secara bertahap
mengembangkan kemampuan untuk melakukan tugas tertentu tanpa bantuan atau bantuan. Definisi
Vygotsky dari ZPD menyajikannya sebagai jarak antara tingkat perkembangan aktual seperti yang
ditentukan oleh pemecahan masalah independen dan tingkat perkembangan potensial sebagaimana
ditentukan melalui pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa, atau bekerjasama dengan
rekan yang lebih mampu (L.S. Vygotsky: Mind in Society: pengembangan proses psikologis yang lebih
tinggi)

Vygotsky antara profesional pendidikan lain percaya peran pendidikan untuk memberikan anak dengan
pengalaman yang dalam ZPD mereka, sehingga mendorong dan memajukan learnin individu mereka.
(Berk, L & Winsler, A. (1995). "Vygotsky: hidupnya dan bekerja " dan "pendekatan Vygotsky untuk
pengembangan ". Dalam scaffolding belajar anak: Vygotsky dan usia dini belajar. Natl. Assoc untuk Educ.
Anak kecil.)

Konsep scaffolding terkait erat dengan ZPD dan dikembangkan oleh teorinya lain yang menerapkan ZPD
Vygotsky konteks pendidikan. Scaffolding adalah proses di mana seorang guru atau lebih kompeten
rekan memberikan bantuan kepada siswa di/ZPD nya yang diperlukan, dan Taper dari bantuan ini karena
menjadi tidak perlu, banyak sebagai scaffolding dihapus dari sebuah bangunan selama konstruksi.
"Scaffolding mengacu pada cara orang dewasa membimbing anak belajar melalui pertanyaan terfokus
dan interaksi positif. " (Balaban, N. (1995). "melihat anak, mengenal Person. " dalam Ayers, W. Untuk
menjadi seorang guru. Guru College Press. p. 52)

Bagaimana dampak Vygotsky belajar:

Kurikulum-karena anak belajar banyak melalui interaksi, kurikulum harus dirancang untuk menekankan
interaksi antara pelajar dan tugas belajar.

Instruksi – dengan bantuan orang dewasa yang sesuai, anak sering dapat melakukan tugas yang mereka
tidak mampu menyelesaikan sendiri. Dengan pemikiran ini, scaffolding-di mana orang dewasa terus
menyesuaikan tingkat nya membantu dalam menanggapi tingkat kinerja anak-adalah bentuk yang
efektif mengajar. Scaffolding tidak hanya menghasilkan hasil yang cepat, tetapi juga menanamkan
keterampilan yang diperlukan untuk pemecahan masalah independen di masa depan.

Penilaian-metode penilaian harus memperhitungkan zona perkembangan proal. Apa yang dapat
dilakukan anak mereka sendiri adalah tingkat perkembangan aktual mereka dan apa yang dapat mereka
lakukan dengan bantuan adalah tingkat perkembangan potensial mereka. Dua anak mungkin memiliki
tingkat yang sama pembangunan yang sebenarnya, tetapi mengingat bantuan yang tepat dari orang
dewasa, seseorang mungkin dapat memecahkan lebih banyak masalah daripada yang lain. Metode
penilaian harus menargetkan tingkat perkembangan aktual dan tingkat potensi pengembangan.
Interpretasi dan operasionalisasi metafora scaffolding dalam penelitian pendidikan sangat beragam dan
"kadang digunakan secara longgar untuk merujuk pada hal yang agak berbeda " (Hammond, 2002, p. 2).
Scaffolding telah ditafsirkan dalam arti luas sebagai "bentuk dukungan untuk pengembangan dan
pembelajaran anak dan orang muda " (Rasmussen, 2001, p. 570). Istilah ini dapat digunakan sebagai
metafora payung untuk menguraikan cara bahwa "guru atau rekan sebaya memasok siswa dengan alat
yang mereka perlukan untuk belajar " (Jacobs, 2001, hal. 125). Kerangka teori sistematis, dalam
hubungannya dengan sejumlah pendidikan

teori (Jacobs, 2001; Rasmussen, 2001) memperkaya konteks pelaksanaan metafora scaffolding tetapi
membuatnya lebih generik. Hammond dan rekan-rekannya (2002) berpendapat bahwa pemahaman
yang diperluas scaffolding dalam bahasa dan melek huruf pendidikan yang diperlukan. Mereka
menunjukkan peran penting dari bahasa di scaffolding. Sebuah studi yang lebih spesifik dari scaffolding
disajikan oleh Donovan dan Smolkin (2002). Mereka mengambil pandangan kritis pada masalah
scaffolding dalam menulis anak. Mereka meneliti peran berbagai tingkat scaffolding dalam pemahaman
anak dan demonstrasi pengetahuan mereka tentang genre. Tugas berkisar dari yang memberikan
dukungan minimal atau tingkat rendah kepada mereka yang memberikan tingkat dukungan menengah
atau tinggi (kontekstual dan dukungan visual). Menariknya, tingkat tertinggi dalam jangkauan scaffolding
mereka digambarkan sebagai "instruksi langsung dengan revisi " (Donovan & Smolkin, 2002, hal. 435).
Namun, penelitian mereka mengungkapkan, meskipun scaffolding dapat membantu anak, terkadang
juga menghambat anak dalam mendemonstrasikan berbagai pengetahuan genre mereka (Donovan &
Smolkin, 2002, hlm. 428). Temuan ini menegaskan keprihatinan kami bahwa scaffolding, ketika dipahami
sebagai instruksi langsung, mungkin menjadi kontraproduktif. Lebih lanjut, beberapa teks untuk pra-
Layanan pendidik juga mengacu pada instruksi langsung seperti pada tingkat tertinggi scaffolding (Berk,
2000, p. 261). Beberapa teks lain fokus pada teknik scaffolding sebagai berbagai bentuk dukungan orang
dewasa: demonstrasi; membagi tugas menjadi langkah yang lebih sederhana; memberikan panduan;
menjaga perhatian terfokus (McDevitt & Ormrod, 2002) serta memberikan contoh dan pertanyaan
(Eggen & Kauchak, 1999). Melanggar konten menjadi potongan dikelola juga tampaknya menjadi fitur
umum dari scaffolding yang telah ditekankan dalam teks (Berk, 2002; Yang & Kauchak, 1999; & Ormrod,
2002; McDevitt Krause et al., 2003).

Analisis metafora dari scaffolding dalam hubungannya dengan konsep Vygotskian zona perkembangan
proal. Terlepas dari keterbatasan yang jelas dari metafora dibandingkan dengan gagasan dari ZPD,
scaffolding tetap semakin populer di kalangan pendidik-peneliti dan praktisi. Istilah ini muncul dalam
buku pelajaran psikologi pendidikan yang paling modern yang mencakup teori Vygotsky. Sebagai
metafora scaffolding menyediakan mudah untuk memahami pembenaran dari intervensi guru dalam
belajar, itu bisa menjadi penghalang daripada bantuan untuk pengembangan anak tergantung pada
konteks penggunaannya. Sebuah pemahaman yang lebih mendalam tentang teori yang mendasari
metafora scaffolding akan mempromosikan penggunaan kreatif dan informasi oleh para pendidik.
Istilah ”scaffolding” berasal dari kata ”scaffold” yang biasa digunakan oleh pekerja bangunan; yang
merupakan sruktur sementara yang mendukung pekerja untuk menyelesaikan pekerjaaan yang mereka
tidak dapat lakukan. Scaffold memberikan pekerja tempat untuk bekerja dan untuk mencapai daerah
pekerjaan yang tidak dapat mereka mencapainya sendiri. Kemudian, istilah scaffolding ini dikembangkan
sebagai metaphora untuk menjelaskan bentuk-bentuk bantuan yang disediakan guru atau teman sebaya
untuk mendukung belajar. Di dalam proses scaffolding, guru membantu siswa menuntaskan tugas atau
konsep pada pada awalnya tidak mampu dia peroleh secara mandiri. Guru hanya memberikan bantuan
berupa teknik./keterampilan tertentu dari tugas-tugas yang diluar batas kemampuan siswa. Ketika
siswa telah melakukan tanggung jawabnya dalam tugas-tugas maka ketika itu guru mulai dengan proses
”fading”, atau melenyapkan bantuan, agar siswa dapat bekerja secara mandiri. Ide scaffolding pertama
kali dikemukakan oleh Lev Vygotsky, yang merupakan bagian dari teorinya ”ZDP”, atau Zone of Proximal
Development. ZDP dapat diartikan sebagai daerah antara apa yang dapat dilakukan siswa sendiri pada
actual developmental level (tingkat perkembangan saat ini) dan apa yang dicapai siswa tersebut untuk
potential developmental level (tingkat perkembangan potensial) bila dibantu oleh orang dewasa/ahli;
dan scaffolding memainkan peranan yang penting untuk mencapai level perkembangan potensial
tersebut. Berdasarkan teori ZDP ini, scaffolding dapat juga dipandang sebagai suatu strategi
pembelajaran.

Apa makna ’scaffolding?’. Menurut oxford dictionary, istilah ’scaffolding’ berasal dari kata ’scaffold’
artinya tangga atau perancah yang biasa digunakan oleh pekerja bangunan; yang merupakan sruktur
sementara yang mendukung pekerja untuk menyelesaikan pekerjaaan yang mereka tidak dapat lakukan.
Scaffold memberikan pekerja tempat untuk bekerja dan untuk mencapai daerah pekerjaan yang tidak
dapat mereka mencapainya sendiri. Kemudian, Bruner dan Ross (Lipscomb et al., 2005) menyatakan
”Scaffolding was developed as a metaphor to describe the type of assistance offered by a teacher or
peer to support learning”. Pernyataan ini menunjukkan bahwa, dalam proses scaffolding peranan guru
sangat penting, yaitu guru membantu siswa menuntaskan tugas atau konsep pada pada awalnya tidak
mampu dia peroleh secara mandiri. Atau dengan kata lain, peranan guru lebih difokuskan hanya
memberikan bantuan berupa teknik./keterampilan tertentu dari tugas-tugas yang diluar batas
kemampuan siswa. Ketika siswa dipandang telah mampu melakukan tanggung jawabnya dalam tugas-
tugas maka ketika itu guru mulai dengan proses ‘fading’, atau melenyapkan bantuan, agar siswa dapat
bekerja secara mandiri. Ide scaffolding pertama kali dikemukakan oleh Lev Vygotsky. Hartman (2002)
menyatakan bahwa teori Vygotsky memperkenalkan mengenai konstruktivis sosial yang terdiri dua hal,
yaitu belajar interaksi sosial dan zone of proximal development (ZDP). Beliau menolak ide Piaget bahwa
seseorang mengkonstruksi pengetahuannya secara mandiri, sementara beliau berpendapat bahwa
seseorang mengkonstruksi pengetahuannya harus dibantu dan didukung oleh orang dewasa guna
membantu memodelkan dan mengoreksi respon yang diberikan siswa. Menurut Stuyf (2002), Vygotsky
memandang bahwa scaffolding merupakan suatu strategi pembelajaran, dan mendefinisikannya sebagai
“the role of teachers and others in supporting the learner’s development and providing support
structures to get to that next stage or level”. yaitu menambahkan bahwa strategi scaffolding menjadi
cara yang tepat untuk mencapai level potential developmental level dari level actual developmental
level dalam Zone of Proximal Development (ZDP) dapat diartikan sebagai daerah antara apa yang dapat
dilakukan siswa sendiri pada actual developmental level (tingkat perkembangan saat ini) dan apa yang
dicapai siswa tersebut untuk potential developmental level (tingkat perkembangan potensial) bila
dibantu oleh orang dewasa/ahli; dan scaffolding memainkan peranan yang penting untuk mencapai
level perkembangan potensial tersebut. Byrnes (Hartman, 2001) menyatakan, Vygotsky telah
mengidentifikasi empat fase pembelajaran scaffolding, yaitu (1) pemodelan, dengan penjelasan secara
verbal, (2) peniruan terhadap pemodelan oleh guru, (3) masa ketika guru mulai menghilangkan
bantuannya, dan (4) siswa telah mencapai level penguasaan seorang ahli. Pada fase ke-2, guru harus
secara konstan menilai pemahaman dan memberikan bantuannya sesering mungkin. Pada fase ke-3,
secara bertahap guru mengurangi bantuannya seperti halnya ketika guru memulai penguasaan materi
yang baru Sementara itu, menurut Tumbull et al. (Hartman, 2002) menyatakan scaffolding melibatkan
dua tahap utama. Tahap ke-1, pengembangan rencana pembelajaran untuk mengarahkan siswa dari
keadaan dari apa sudah ia ketahui menuju pemahaman materi baru yang lebih mendalam. Tahap ke2,
melaksanakan rencana, dan guru menyediakan dukungan kepada siswa setiap tahap proses belajar.
Pada tahap ke-1, hendaknya rRencana scaffolding ditulis secara hati-hati berdasarkan apa yang siswa
sudah ketahui atau yang mampu untuk melakukan sesuatu. Guru harus menyiapkan penilaian yang terus
menerus dan mengaitkan informasi baru dengan pengetahuan yang dimiliki siswa. Hogan dan Pressley
(Hartman, 2002) menyebutkan ada lima teknik pembelajaran scaffolding berbeda, yaitu pemodelan dari
tingkah laku yang diinginkan, memberikan penjelasan, mengundang partisipasi siswa, memverifikasi dan
mengklarifikasi pemahaman siswa, dan mengundang siswa untuk memberikan isyarat (clues). Dalam
pelaksanaannya, teknik ini dapat dilakukan secara bersamaan atau masing-masing tergantung pada
materi yang diajarkan.

Kelebihan dan Kekurangan Scaffolding Scaffolding sebagai salah teknik pembelajaran memiliki kelebihan
dan kekurangan sebagaimana teknik pembelajaran lain, karena tidak ada satupun orang atau lembaga
yang menjamin suatu strategi hanya memiliki kelebihan dan tidak ada kekurangannya. Lawson (2002)
menyebutkan scaffolding dapat memotivasi siswa merespon dengan antusias, berani mengambil resiko,
mengakui keberhasilan, dan menampakkan rasa ingin tahu yang kuat pada sesuatu yang akan datang.
Namun, kekurangannya adalah sulitnya guru membuat rencana scaffolding dan sulitnya memetakan ZDP
setiap siswa. Hartman (2002) menyatakan, scaffolding membantu kegagalan siswa dalam
perkembangan kognitif, keberuntungan diri, dan menghargai diri; dan kekurangannya adalah kadang-
kadang siswa kurang percaya diri menyelesaikan tugas-tugasnya bila bantuan dikurangi/dihilangkan.
Lipscomb et al. (2005) menyebutkan 4 manfaat dari scaffolding, yaitu (1) meminimalkan tingkat frustasi
siswa, (2) memotivasi siswa untuk belajar, (3) mengkreasikan momentum, dan(4) memungkin siswa
dapat mengidentifikasi bakatnya sejak dini; namun ada 3 kelemahan, yaitu (1) guru kurang/ tidak
mampu melakukan dengan benar, (2) menghabiskan banyak waktu, dan (3) sulitnya memetakan ZDP
siswa. Berdasarkan pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa guru perlu memperhatikan kelebihan
yang ada dan berupaya memanfaatkan kelebihan tersebut, namun guru juga perlu mewaspadai
kekurangan agar scaffolding dapat memberikan dampak positif dalam pembelajaran.

Konsep scaffolding sejalan dengan pendapat Vygotsky (1978) berkaitan dengan Zone of Proximal
Development (ZPD), yang menyatakan bahwa setiap anak, dengan bantuan, dapat mengerjakan lebih
dari yang dapat dikerjakannya hanya jika pembelajaran dilakukan dalam batas perkembangannya
(McMahon, 2000). Vygotsky menekankan pentingnya memanfaatkan lingkungan dalam pembelajaran.
Lingkungan sekitar siswa meliputi orang-orang, kebudayaan, termasuk pengalaman dalam lingkungan
tersebut. Vygotsky menggangap anak punya konsep yang kaya tetapi tidak sistematis , tidak teratur dan
spontan. Anak akan bertemu dengan konsep yang lebih sistematis, logis, dan rasional yang dimilki oleh
orang yang lebih ahli yang membantunya. Sebagai hasil dari pertemuan dan dialog antara anak dengan
orang yang lebih ahli tesebut, konsep anak akan mejadi lebih sistematis, logis, dan rasional. Siswa akan
dapat mempelajari konsep-konsep dengan baik jika berada dalam ZPD. ZPD adalah zona berfikir siswa
ketika siswa belum bisa memecahkan masalah sendiri, tetapi setelah mendapat bantuan orang lain yang
lebih ahli atau temannya (peer) siswa bisa memecahkan masalah tersebut. Bantuan tersebut

diberikan agar siswa mampu mengerjakan tugas-tugas atau soal-soal yang lebih tinggi tingkat
kerumitannya dari pada tingkat perkembangan kognitif yang sedang dimiliki oleh siswa. Inti teori
Vygotsky adalah menekankan interaksi antara aspek internal dan eksternal dari pembelajaran dan
penekanannya pada lingkungan sosial pembelajaran. Menurut teori Vygotsky, fungsi kognitif manusia
berasal dari interaksi sosial masing-masing individu dalam konteks budaya. Vygotsky juga yakin bahwa
pembelajaran terjadi saat siswa bekerja menangani tugas-tugas yang belum dipelajari namun tugas-
tugas tersebut masih dalam jangkauan kemampuannya atau tugas-tugas itu berada dalam ZPD mereka.
ZPD (Zona of Proximal Development) adalah zona berfikir siswa ketika siswa belum bisa memecahkan
masalah sendiri, tetapi setelah mendapat bantuan orang lain atau temannya (peer) bisa memecahkan
masalah tersebut. Yang terpenting dalam teori konstruktivisme Vygotsky adalah bahwa dalam proses
pembelajaran, siswa yang harus aktif mengembangkan pengetahuan mereka, bukan pembelajar atau
orang lain. Mereka yang harus bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya. Penekanan belajar siswa
secara aktif ini perlu dikembangkan. Kreativitas dan keaktifan siswa akan membantu mereka untuk
berdiri sendiri dalam kehidupan kognitif siswa sehingga belajar lebih diarahkan pada experimental
learning yaitu merupakan adaptasi kemanusiaan berdasarkan pengalaman konkrit di laboratorium,
diskusi dengan teman sekelas, kemudian dijadikan ide dan pengembangan konsep baru. Karenanya
paradigma pembelajaran tidak terfokus pada si pendidik melainkan pada pebelajar (student centered).
Menurut Sudrajad (2013) scaffolding dapat diartikan sebagai suatu teknik pemberian dukungan belajar
secara terstruktur, yang dilakukan pada tahap awal untuk mendorong mahasiswa agar dapat bekerja
secara mandiri. Pemberian scaffolding tidak dilakukan secara terus-menerus, melainkan seiring
terjadinya peningkatan kemampuan peserta didik, secara berangsur-angsur pendidik harus mengurangi
dan melapaskan peserta didik untuk belajar mandiri. Jika peserta didik belum mengalami kemajuan pada
pemahamannya, maka pendidik kembali memberikan bantuan sampai mereka benar-benar dapat
mencapai kemandirian dalam berpikirnya. Pemberian scaffolding tidak selalu dilaksanakan di luar kelas
melainkan dapat juga dilaksanakan di kelas pada saat pembelajaran berlangsung. Saat siswa menjadi
semakin cakap dalam mengerjakan suatu tugas, scaffolding idealnya dimodifikasi untuk memelihara
kemampuan-kemampuan yang baru saja muncul,. Seiring berlalunya waktu, scaffolding secara
berangsur-angsur dihentikan, proses ini disebut fading (pemudaran). Hingga siswa dapat sepenuhnya
menyelesaikan tugas secara mandiri. Scaffolding merupakan suatu istilah pada proses yang digunakan
orang dewasa untuk menuntun anak-anak melalui Zone of proximal development-nya. Scaffolding
berasal dari kata scaffold yang berarti tangga untuk pijakan tukang batu ketika membangun tembok.
Sehingga scaffolding dapat diartikan sebagai bantuan yang disediakan teman yang lebih kompeten atau
orang dewasa. Istilah scaffolding juga dikenal dengan pentanggaan, yang berarti menyediakan banyak
dukungan kepada seseorang anak selama tahap-tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi
dukungan setelah anak sanggup memikul tanggungjawabnya (Slavin,2011). Wood, Bruner & Ross
memperkenalkan gagasan tentang “scaffolding” untuk menggambarkan cara belajar anak-anak yang
dapat didukung, dukungan pada akhirnya dihapus ketika anak dapat belajar secara mandiri. The notion
of “scaffolding” has been used to reflect the way adult support is adjusted as the child learns and is
ultimately removed when the learner can “stand alone”.

McKenzie (1999) mengemukakan 8 karakteristik pembelajaran scaffolding : (1) provides clear directions;
(2) clarifies purpose; (3) keeps students on task; (4) points students to worthy sources; (5) reduces
uncertainty, surprise and disappointment; (6) delivers efficiency; (5) creates momentum.
Terjemahannya adalah (1) memberikan arah yang jelas; (2) menjelaskan tujuan; (3) memberikan tugas
pada siswa; (4) menunjukkan kepada siswa sumber yang layak; (5) mengurangi ketidakpastian, surprise
dan kekecewaan; (6) memberikan efisiensi; (5) menciptakan momentum. Wood et al. (dalam Anghileri,
2006) mengidentifikasi enam elemen kunci dalam scaffolding yaitu sebagai berikut: a. recruitment -
membuat daftar minat pelajar dan kesungguhan mereka dalam mengerjakan tugas tugas; b.
pengurangan derajat kebebasan - menyederhanakan tugas yang diberikan; c. direction maintenance –
memberikan dorongan kepada pelajar untuk dapat mencapai tujuan tertentu d. menandai fitur penting -
mengkonfirmasikan dan memeriksa adanya perbedaan; e. Kontrol frustrasi – merespon emosional
pelajar; f. demonstrasi - atau memodelkan solusi dari tugas. Lange (2002) menyatakan bahwa ada dua
langkah utama yang terlibat dalam scaffolding pembelajaran: (1) pengembangan rencana pembelajaran
untuk membimbing peserta didik dalam memahami materi baru, dan (2) pelaksanaan rencana,
pembelajar memberikan bantuan kepada peserta didik di setiap langkah dari proses pembelajaran.
Scaffolding terdiri dari beberapa aspek khusus yang dapat membantu peserta didik dalam internalisasi
penguasaan pengetahuan. Adapun aspek-aspek scaffolding yaitu: (1) Intensionalitas: Kegiatan ini
mempunyai tujuan yang jelas terhadap aktivitas pembelajaran berupa bantuan yang selalu didiberikan
kepada setiap peserta didik yang membutuhkan; (2) Kesesuaian: Peserta didik yang tidak bisa
menyelesaikan sendiri permasalahan yang dihadapinya, maka pembelajar memberikan bantuan
penyelesaiannya; (3) Struktur: Modeling dan mempertanyakan kegiatan terstruktur di sekitar sebuah
model pendekatan yang sesuai dengan tugas dan mengarah pada urutan alam pemikiran dan bahasa; (4)
Kolaborasi: Pembelajar menciptakan kerjasama dengan peserta didik dan menghargai karya yang telah
dicapai oleh peserta didik. Peran pembelajar adalah kolaborator bukan sebagai evaluator; dan (5)
Internalisasi:

Eksternal scaffolding untuk kegiatan ini secara bertahap ditarik sebagai pola yang diinternalisasi oleh
peserta didik Prinsip-prinsip konstruktivis sosial dengan pendekatan scaffolding yang diterapkan dalam
pembelajaran adalah sebagai berikut : a. Pengetahuan dibangun oleh peserta didik sendiri. b.
Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari pembelajar ke peserta didik c. perubahan konsep ilmiah. d.
Pembelajar sekedar memberi bantuan dan menyediakan saran serta situasi agar proses kontruksi belajar
lancar. e. Menghadapi masalah yang relevan dengan peserta didik. f. Struktur pembelajaran seputar
konsep utama pentingnya sebuah pertanyaan. g. Mencari dan menilai pendapat peserta didik. h.
Menyesuaikan kurikulum untuk menanggapi anggapan peserta didik.
Level Scafolding Anghileri (2006) mengkategorikan scafolding menjadi tiga level sebagai berikut. a. Level
1 Pada level 1, bantuan yang diberikan guru yaitu menyiapkan lingkungan belajar siswa (classroom
organization). Kegiatan yang dilakukan guru dalam menyiapkan lingkungan belajar, di antaranya
membentuk kelompok (peer collaboration), mengatur tempat duduk (sequencing and pacing), dan
memberikan tugas terstruktur (structured task)

Pada level 2, antara guru dan siswa terlibat secara langsung dalam suatu interaksi. Bentuk interaksi yang
dimaksud, di antaranya: explaining (menjelaskan), yaitu menyampaikan konsep yang dipelajari,
reviewing (meninjau), yaitu memfokuskan kembali perhatian siswa, dan restructuring (membangun
ulang pemahaman), yaitu menyederhanakan sesuatu yang abstrak agar dapat dipahami siswa.
Pada level 3, terdapat interaksi antara guru dan siswa yang ditujukan pada perkembangan pemikiran
konseptual dengan cara menciptakan kesempatan untuk mengungkapkan pemahaman bagi siswa dan
guru.

Anda mungkin juga menyukai