Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Seiring berjalannya waktu dan semakin pesatnya tingkat intelektualitas
serta kualitas kehidupan, maka pendidikan pun menjadi lebih kompleks. Oleh
karena itu, tentu saja hal ini membutuhkan sebuah desain pendidikan yang tepat
dan sesuai dengan kondisinya. Sehingga berbagai teori, metode dan desain
pembelajaran serta pengajaran pun dibuat dan diciptakan untuk mengapresiasikan
semakin beragamnya tingkat kebutuhan dan kerumitan permasalahan pendidikan.
Jadi memang itulah yang menjadi esensi pendidikan itu sendiri, yakni bagaimana
menciptakan sebuah kehidupan lebih baik yang tercipta dari proses pendidikan
yang kontekstual dan mampu menyerap aspirasi zaman dengan tepat dan sesuai.
Guru di dalam melaksanakan pembelajaran, juga harus bisa memilih
maupun menetapkan suatu pendekatan pembelajaran yang tepat di kelas sehingga
hasil pembelajaran lebih optimal, selayaknya seseorang dalam menjalankan
kehidupannya sehari-hari yang harus mampu menetapkan sasaran yang hendak
dicapai. Guru pun demikian, harus bisa menetapkan pendekatan pembelajaran
yang tepat.
Masing – masing individu akan memilih cara dan gayanya sendiri untuk
belajar dan mengajar, namun setidak-tidaknya ada karakteristik tertentu dalam
pendekatan pembelajaran tertentu yang khas dibandingkan dengan pendekatan
lain. Salah satu contoh pendekatan pembelajaran adalah pendekatan
konstruktivisme. Martin. Et. Al (dalam Gerson Ratumanan, 2002) mengemukakan
bahwa konstruktivisme menekankan pentingnya setiap siswa aktif
mengkonstruksikan pengetahuan melalui hubungan saling mempengaruhi dari
belajar sebelumnya dengan belajar baru. Hubungan tersebut dikonstruksikan oleh
siswa untuk kepentingan mereka sendiri. Elemen kuncinya adalah bahwa orang
belajar secara aktif mengkonstruksikan pengetahuan mereka sendiri,
membandingkan informasi baru dengan pemahaman sebelumnya dan
menggunakannya untuk menghasilkan pemahaman baru. Untuk itu, setiap

1
pelajaran di sekolah perlu diarahkan untuk selalu mendidik siswa agar
mengkonstruksikan pengetahuannya.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dibuat rumusan masalah
sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan konstruktivisme ?
2. Bagaimana komparasi behaviorisme dan konstruktivisme ?
3. Bagaimana pembelajaran menurut konstruktivisme ?
4. Apa saja kendala - kendala dalam penerapan pembelajaran menurut
konstruktivisme ?

1.3 Tujuan Penulisan


Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan konstruktivisme.
2. Untuk mengetahui bagaimana komparasi behaviorisme dan konstruktivisme.
3. Untuk mengetahui bagaimana pembelajaran menurut konstruktivisme.
4. Untuk mengetahui apa saja kendala - kendala dalam penerapan pembelajaran
menurut konstruktivisme.

1.4 Manfaat Penulisan


Adapun manfaat dari penulisan makalah ini adalah :
1. Memberikan informasi mengenai pembelajaran konstruktivisme.
2. Memberikan informasi dan pemahaman kepada pendidik bahwa peserta didik
itu sebenarnya bukanlah seperti kertas putih yang kosong di mana guru bisa
secara bebas membentuk pengetahuan siswa, tapi siswa adalah merupakan
manusia yang sudah mempunyai pengetahuan yang mereka peroleh dari
pengalaman lingkungan mereka sehari-hari.
3. Memberikan informasi dan pemahaman kepada peserta didik bahwa yang
sebenarnya peserta didik tersebut sudah memiliki pengetahuan awal dari
pengalaman lingkungan mereka, bukan dibentuk baru oleh pendidik.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Konstruktivisme
2.1.1 Pengertian Konstruktivisme
Konstruktivisme berasal dari kata konstruktiv dan isme. Konstruktiv berarti
bersifat membina, memperbaiki, dan membangun. Sedangkan Isme dalam kamus
Bahasa Inonesia berarti paham atau aliran. Konstruktivisme merupakan aliran
filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita merupakan hasil
konstruksi kita sendiri.
Filsafat Konstruktivisme berkenaan dengan hakikat pengetahuan. Adapun
filsafat Konstruktivisme ini memberikan implikasi yang berarti terhadap
pendidikan, khususnya dalam bidang pendidikan sains dan matematika.
Belakangan banyak para ahli pendidikan mempertimbangkan gagasan-gagasan
Konstruktivisme dalam rangka membangun konsep melaksanakan pembelajaran.
Von Glaserfeld (1988) mengemukakan, bahwa pengertian Konstruktivisme
kognitif muncul pada abad ini dalam tulisan Mark Baldwin yang diperdalam dan
disebarkan oleh Jean Piaget. Tetapi gagasan pokok cikal bakal Konstruktivisme
sesungguhnya sudah dimulai oleh Giambatista Vico, seorang epistemolog dari
Italia. Pada tahun 1710 dalam karyanya De Antiquissima Itolarum Sapienta, Vico
telah mengungkapkan fisalafatnya dengan berkata: “Tuhan adalah pencipta alam
semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan”. Selain itu, Vico juga
menyatakan bahwa : “Mengetahui” berarti “mengetahui bagaimana membuat
sesuatu”. Artinya, seseorang dapat dipandang mengetahui sesuatu jika ia dapat
menjelaskan unsur-unsur yang membangun sesuatu itu serta mengetahui
bagaimana membuat sesuatu itu. Berkenaan dengan ini Vico meyakini hanya
Tuhan yang dapat mengerti alam raya ini, sebab hanya Dia yang tahu bagaimana
membuatnya dan dari apa ia membuatnya. Sedangkan manusia hanya dapat
mengetahui sesuatu yang telah dikonstruksikannya (Paul Suparno, 1977).

3
Pandangan konstruktivis dalam pembelajaran mengatakan bahwa anak-anak
diberi kesempatan agar menggunakan strateginya sendiri dalam belajar secara
sadar, sedangkan  guru yang membimbing siswa ke tingkat pengetahuan yang
lebih tinggi. Tran Vui juga mengatakan bahwa teori konstruktivisme adalah
sebuah teori yang memberikan kebebasan terhadap manusia yang ingin belajar
atau mencari kebutuhannya dengan kemampuan untuk menemukan keinginan atau
kebutuhannya tersebut dengan bantuan fasilitasi orang lain. Sedangkan menurut
Martin. Et. Al mengemukakan bahwa konstruktivisme menekankan pentingnya
setiap siswa aktif mengkonstruksikan pengetahuan melalui hubungan saling
mempengaruhi dari belajar sebelumnya dengan belajar baru.
Jadi dapat disimpulkan bahwa sebagai landasan paradigma pembelajaran,
konstruktivisme menyerukan perlunya partisipasi aktif siswa dalam proses
pembelajaran, perlunya pengembangan siswa belajar mandiri, dan perlunya siswa
memiliki kemampuan untuk mengembangkan pengetahuannya sendiri.
Dalam hal tahap-tahap pembelajaran, pendekatan konstruktivisme lebih
menekankan pada pembelajaran top-down processing, yaitu siswa belajar dimulai
dari masalah yang kompleks untuk dipecahkan (dengan bantuan guru), kemudian
menghasilkan atau menemukan keterampilan-keterampilan dasar yang
dibutuhkan. Misalnya, ketika siswa diminta untuk menulis kalimat-kalimat,
kemudian dia akan belajar untuk membaca, belajar tentang tata bahasa kalimat-
kalimat tersebut, dan kemudian bagaimana menulis titik dan komanya.
Bagi aliran konstruktivisme, guru tidak lagi menduduki tempat sebagai
pemberi ilmu. Tidak lagi sebagai satu-satunya sumber belajar. Namun guru lebih
diposisikan sebagai fasilitator yang memfasilitasi siswa untuk dapat belajar dan
mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Aliran ini lebih menekankan bagaimana
siswa belajar bukan bagaimana guru mengajar.
Sebagai fasilitator guru bertanggung jawab terhadap kegiatan pembelajaran
di kelas. Diantara tanggung jawab guru dalam pembelajaran adalah menstimulasi
dan memotivasi siswa. Mendiagnosis dan mengatasi kesulitan siswa serta
menyediakan pengalaman untuk menumbuhkan pemahaman siswa. Oleh karena
itu, guru harus menyediakan dan memberikan kesempatan sebanyak mungkin
kepada siswa untuk belajar secara aktif. Sedemikian rupa sehingga para siswa

4
dapat menciptakan, membangun, mendiskusikan, membandingkan, bekerja sama,
dan melakukan eksperimentasi dalam kegiatan belajarnya. Berdasarkan
konstruktivisme, akibatnya orientasi pembelajaran bergeser dari berpusat pada
guru mengajar ke pembelajaran berpusat pada siswa (student centered
instruction).

2.1.2 Ciri-ciri Pembelajaran Konstruktivisme


Menurut Suparno (1997:49) secara garis besar prinsip-prinsip
konstruktivisme yang diambil adalah (1) pengetahuan dibangun oleh siswa
sendiri, baik secara personal maupun secara sosial; (2) pengetahuan tidak
dipindahkan dari guru ke siswa, kecuali dengan keaktifan siswa sendiri untuk
bernalar; (3) siswa aktif mengkonstruksi secara terus menerus, sehingga terjadi
perubahan konsep menuju ke konsep yang lebih rinci, lengkap, serta sesuai
dengan konsep ilmiah; (4) guru berperan membantu menyediakan sarana dan
situasi agar proses konstruksi siswa berjalan mulus.
Berikut ini akan dikemukakan ciri-ciri pembelajaran yang konstruktivis
menurut beberapa literatur yaitu sebagai berikut.
a.     Pengetahuan dibangun berdasarkan pengalaman atau pengetahuan yang telah
ada sebelumnya.
b.    Belajar adalah merupakan penafsiran personal tentang dunia.
c.     Belajar merupakan proses yang aktif dimana makna dikembangkan
berdasarkan pengalaman.
d.    Pengetahuan tumbuh karena adanya perundingan (negosiasi) makna melalui
berbagai informasi atau menyepakati suatu pandangan dalam berinteraksi atau
bekerja sama dengan orang lain.

2.1.3 Prinsip-Prinsip Konstruktivisme


Secara garis besar, prinsip-prinsip konstruktivisme yang diterapkan dalam
proses belajar mengajar adalah sebagai berikut:
1.    Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri.
2.    Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke murid, kecuali hanya
dengan keaktifan murid sendiri untuk menalar.

5
3.    Murid aktif megkonstruksi secara terus menerus, sehingga selalu terjadi
perubahan konsep ilmiah.
4.    Guru sekedar membantu menyediakan saran dan situasi agar proses kontruksi
berjalan lancar.
5.    Struktur pembelajaran seputar konsep diutamakan pada pentingnya sebuah
pertanyaan.
6.    Mencari dan menilai pendapat siswa.
7.    Menyesuaikan bahan pengajaran untuk menanggapi anggapan siswa.

2.2 Implikasi Terhadap Pendididikan


Dalam Konstruktivisme istilah pendidikan lebih diartikan sebagai
mengajar. Bagi penganut Konstruktivisme, mengajar bukanlah kegiatan
memindahkan pengetahuan dari guru kepada murid, melainkan suatu kegiatan
yang memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuannya. Mengajar berarti
partisipasi dengan pelajar dalam mengkonstruksi pengetahuan, membuat makna,
mempertanyakan kejelasan, bersikap kritis, dan mengadakan justifikasi. Jadi,
mengajar adalah suatu bentuk belajar sendiri (Bettencourt, 1989). Mengajar,
dalam konteks ini adalah membantu seseorang berpikir secara benar dengan
membiarkannya berpikir sendiri (von Glasersfeld, 1989). Dalam kegiatan
mengajar, penyediaan prasarana dan situasi yang memungkinkan dialog secara
kritis perlu dikembangkan. Selain itu perlu diperhatikan pula bahwa mengajar
juga adalah suatu seni yang menuntut bukan hanya penguasaan teknik, melainkan
juga intuisi (Paul Suparno, 1997).

2.2.1 Tujuan Pendidikan


Tujuan pendidikan (Pengajaran) atau tujuan pengajaran Konstruktivisme
lebih menekankan pada perkembangan konsep dan pengertian (Pengetahuan) yang
mendalam sebagai hasil konstruksi aktif si pelajar (Fosnot, 1996). Ini berbeda
dengan behaviorisme yang menekankan keterampilan sebagai tujuan pengajaran.
Berbeda pula dengan maturasionisme yang lebih menekankan pengetahuan yang
berkembang sesuai dengan langkah-langkah perkembangan individu. Menurut
maturasionisme, jika seseorang mengikuti langkah-langkah perkembangan yang

6
ada, maka dengan sendirinya ia akan menemukan pengetahuan yang lengkap.
Sedangkan menurut Konstruktivisme, jika seseorang tidak mengkonstruksikan
pengetahuannya sendiri secara aktif, meskipun ia berumur tua, pengetahuannya
akan tetap berkembang (Paul Suparno, 1997).

2.2.2 Kurikulum Pendidikan


Driver dan Oldham (Matthews, 1994) menyatakan bahwa perencana
kurikulum Konstruktivisme tidak dapat begitu saja mengambil kurikulum standar
yang menekankan siswa pasif dan guru aktif, sebagai cara mentransfer
pengetahuan dari guru kepada murid. Kurikulum bukan sebagai tubuh
pengetahuan atau kumpulan keterampilan (skill), melainkan lebih sebagai
program aktivitas dimana pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksikan.
Kurikulum bukan kumpulan bahan ajar yang sudah ditentukan sebelumnya untuk
mengajar, melainkan lebih sebagai suatu persoalan (Permasalahan) yang perlu
dipecahkan oleh para siswa untuk lebih mengerti (Paul Suparno, 1997).

2.2.3 Metode Pendidikan


Setiap pelajar mempunyai caranya sendiri untuk mengerti, karena itu
mereka perlu menemukan cara belajar yang tepat untuk dirinya masing-masing.
Dalam konteks ini maka tidak ada satu metode mengajar yang tepat, satu metode
mengajar saja tidak akan banyak membantu pelajar belajar, sehingga pengajar
sangat mungkin untuk mempertimbangkan dan menggunakan berbagai metode
yang membantu pelajar belajar. Selain itu, mengingat pengetahuan dibentuk baik
secara individua maupun sosial, maka kelompok belajar dapat dikembangkan
(Paul Suparno, 1997).

2.2.4 Peranan Guru dan Siswa


Dalam kegiatan mengajar guru hendaknya berperan sebagai mediator yang
membantu agar proses belajar peserta didik berjalan dengan baik. Dalam artian
ini, guru dan peserta didik atau pelajar lebih sebagai mitra yang bersama-sama
membangun pengetahuannya. Adapun peserta didik dituntut aktif belajar dalam
rangka mengkonstruksi pengetahuannya.

7
2.3 Pembelajaran Menurut Konstruktivisme
Kegiatan belajar adalah kegiatan yang aktif, dimana siswa membangun
sendiri pengetahuannya. Siswa mencari arti sendiri dari yang mereka pelajari, ini
merupakan proses menyesuaikan konsep-konsep dan ide-ide baru dengan
kerangka berfikir yang telah ada dalam pikiran mereka. Dalam hal ini siswa
membentuk pengetahuan mereka sendiri dan guru membantu sebagai mediator
dalam proses pembentukan itu.
Proses perolehan pengetahuan akan terjadi apabila guru dapat menciptakan
kondisi pembelajaran yang ideal yang dimaksud disini adalah suatu proses belajar
mengajar yang sesuai dengan karakteristik IPA dan memperhatikan perspektif
siswa sekolah dasar. Pembelajaran yang dimaksud diatas adalah pembelajaran
yang mengutamakan keaktifan siswa, menerangkan pada kemampuan minds-on
dan hands-on serta terjadi interaksi dan mengakui adanya konsepsi awal yang
dimiliki siswa melalui pengalaman sebelumnya.
Dalam pelaksanaan teori belajar konstruktivisme ada beberapa saran yang
berkaitan dengan rancangan pembelajaran yaitu sebagai berikut :
a.       Memperhatikan dan memanfaatkan pengetahuan awal siswa
Kegiatan pembelajaran ditujukan untuk membantu siswa dalam
mengkonstruksi pengetahuan. Siswa didorong untuk mengkonstruksi
pengetahuan baru dengan memanfaatkan pengetahuan awal yang telah
dimilikinya. Oleh karena itu pembelajaran harus memperhatikan pengetahuan
awal siswa dan memanfaatkan teknik-teknik untuk mendorong agar terjadi
perubahan konsepsi pada diri siswa.
b.      Pengalaman belajar yang autentik dan bermakna
Segala kegiatan yang dilakukan di dalam pembelajaran dirancang sedemikian
rupa sehingga bermakna bagi siswa. Oleh karena itu minat, sikap, dan
kebutuhan belajar siswa benar-benar dijadikan bahan pertimbangan dalam
merancang dan melakukan pembelajaran. Hal ini dapat terlihat dari usaha-
usaha untuk mengaitkan pelajaran dengan kehidupan sehari-hari, penggunaan
sumber daya dari kehidupan sehari-hari, dan juga penerapan konsep.

8
c.       Adanya lingkungan sosial yang kondusif,
Siswa diberi kesempatan untuk bisa berinteraksi secara produktif dengan
sesama siswa maupun dengan guru. Selain itu juga ada kesempatan bagi siswa
untuk bekerja dalam berbagai konteks sosial.
d.      Adanya dorongan agar siswa bisa mandiri
Siswa didorong untuk bisa bertanggung jawab terhadap proses belajarnya.
Oleh karena itu siswa dilatih dan diberi kesempatan untuk melakukan refleksi
dan mengatur kegiatan belajarnya.
e.       Adanya usaha untuk mengenalkan siswa tentang dunia ilmiah
Sains bukan hanya produk (fakta, konsep, prinsip, teori), namun juga
mencakup proses dan sikap. Oleh karena itu pembelajaran sains juga harus
bisa melatih dan memperkenalkan siswa tentang “kehidupan” ilmuwan.
Pembelajaran kontruktuvisme merupakan pembelajaran yang cukup baik
dimana siswa dalam pembelajaran terjun langsung tidak hanya menerima
pelajaran yang pasti seperti pembelajaran bihavioristik. Misalnya saja pada
pelajaran pkn, tentang tolong menolong dan siswa di tugaskan untuk terjun
langsung dan terlibat mengamati suatu lingkungan bagaimana sikap tolong
menolong terbangun. Dan setelah itu guru memberi pengarahan yang lebih
lanjut. Siswa lebih mamahami makna ketimbang konsep.

2.4 Kendala - Kendala dalam Penerapan Pembelajaran menurut


Konstruktivisme
Konstruktivisme memberikan angin segar bagi perbaikan proses dan hasil
belajar. Walaupun demikian, terdapat pula kendala yang muncul dalam penerapan
pembelajaran menurut konstruktivisme di kelas. Kendala-kendala yang dimaksud
adalah sebagai berikut:
1.      Sulit mengubah keyakinan dan kebiasaan guru. Guru selama ini telah terbiasa
mengajar dengan menggunakan pendekatan tradisional, mengubah kebiasaan
ini merupakan suatu hal yang tidak mudah.
2.      Guru kurang tertarik dan mengalami kesulitan mengelola kegiatan
pembelajaran berbasis konstruktivisme. Guru konstruktivis dituntut untuk

9
lebih kreatif dalam merencanakan kegiatan pembelajaran dan dalam memilih
menggunakan media yang sesuai.
3.      Adanya anggapan guru bahwa penggunaan metode atau pendekatan baru
dalam pembelajaran akan menggunakan waktu yang cukup besar. Guru
khawatir target pencapaian kurikulum (TPK) tidak tercapai.
4.      Sistem evaluasi yang masih menekankan pada nilai akhir. Padahal yang
terpenting dari suatu pembelajaran adalah proses belajarnya bukan hasil
akhirnya.
5.      Besarnya beban mengajar guru, latar pendidikan guru tidak sesuai dengan
mata pelajaran yang diasuh, dan banyaknya pelajaran yang harus dipelajari
siswa merupakan yang cukup serius.
6.      Siswa terbiasa menunggu informasi dari guru. Siswa akan belajar jika ada
transfer pengetahuan dan tugas-tugas dari gurunya. Mengubah sikap
“menunggu informasi” menjadi “pencari dan pengkonstruksi informasi”
merupakan kendala itu sendiri.
7.      Adanya budaya negatif di lingkungan siswa. Salah satu contohnya di
lingkungan rumah. Pendapat orang tua selalu dianggap paling benar, ank
dilarang membantah pendapat orang tuanya. Kondisi ini juga terbawa ke
sekolah. Siswa terkondisi untuk “mengiakan” pendapat atau penjelasan guru.
Siswa tidak berani mengemukakan pendapatnya yang mungkin berbeda
dengan gurunya.

10
  BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan pada makalah ini, maka dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut:
1.      Konstruktivisme berasal dari kata konstruktiv dan isme. Konstruktiv berarti
bersifat membina, memperbaiki, dan membangun. Sedangkan Isme dalam
berarti paham atau aliran. Konstruktivisme merupakan aliran filsafat
pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita merupakan hasil
konstruksi kita sendiri.
2.      Komparasi pembelajaran behaviorisme dengan konstruktivisme meliputi
pandangan tentang pengetahuan, belajar dan pembelajaran, masalah belajar
dan pembelajaran, strategi pembelajaran, serta evaluasi.
3.      Pembelajaan menurut konstruktivisme yaitu kegiatan belajar adalah kegiatan
yang aktif, dimana siswa membangun sendiri pengetahuannya. Siswa mencari
arti sendiri dari yang mereka pelajari, ini merupakan proses menyesuaikan
konsep-konsep dan ide-ide baru dengan kerangka berfikir yang telah ada
dalam pikiran mereka.
4.      Kendala - kendala dalam penerapan pembelajaran menurut konstruktivisme
yaitu : sulit mengubah keyakinan dan kebiasaan guru, guru kurang tertarik dan
mengalami kesulitan mengelola kegiatan pembelajaran berbasis
konstruktivisme, adanya anggapan guru bahwa penggunaan metode atau
pendekatan baru dalam pembelajaran akan menggunakan waktu yang cukup
besar, sistem evaluasi yang masih menekankan pada nilai akhir, besarnya
beban mengajar guru, siswa terbiasa menunggu informasi dari guru, dan
adanya budaya negatif di lingkungan siswa.

3.1 Saran
Kami menyadari kekurangan dari makalah ini. Sehingga kami
manyarankan kepada pembaca agar bisa memberikan kritik dan sarannya, agar
makalah ini bisa jadi lebih baik. Terima kasih.

11
DAFTAR PUSTAKA

Anekaragammakalah. 2012. Makalah Teori Belajar Konstruktivisme.


Blogspot.com; diakses online pada tanggal 27 Desember 2016.
http://makalahmajannaii.blogspot.com/2012/07/teori-belajar-
konstruktivisme.html

Pranita, Tya. 2010. Teori Konstruktivisme. Kompasiana.com; diakses online pada


tanggal 27 Desember 2016.
http://edukasi.kompasiana.com/2010/10/06/teori-konstruktivisme-
280303.html

Suparno, Paul. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Jogjakarta:


Kanisi

Kurniasih, Tatang S. 2015. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Percikan


Ilmu.

12

Anda mungkin juga menyukai