Disusun oleh :
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat
menyelesaikan tugas makalah yang berjudul "PEMBELAJARAN KONTRUKTIVISME
DAN KONTEKSTUAL" dengan tepat waktu.
Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Psikologi Pendidikan. Selain itu,
makalah ini bertujuan menambah wawasan tentang manusia prasejarah bagi para pembaca
dan juga bagi penulis.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Nurussa`adah selaku dosen Mata Kuliah
Psikologi Pendidikan. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang telah
membantu diselesaikannya makalah ini.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan kritik
yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………………………………...i
DAFTAR ISI………………………………………………………………………………….ii
BAB I: PENDAHULUAN……………………………………………………………………1
A. PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISME…………………………………...3
B. PEMBELAJARAN KONSTEKTUAL…………………………………………8
A. KESIMPULAN…………………………………………………………………12
B. SARAN……………………………………………….…………………………12
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………13
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Belajar adalah sebuah proses yang terjadi pada manusia dengan berpikir, merasa, dan
bergerak untuk memahami setiap kenyataan yang diinginkannya untuk menghasilkan
kecakapan atau pengetahuan, sebuah perilaku, pengetahuan, atau teknologi atau apapun yang
berupa karya dan karsa manusia tersebut untuk menjadi yang lebih baik kedepan. Belajar
berarti sebuah pembaharuan menuju pengembangan diri individu agar kehidupannya bisa
lebih baik dari sebelumnya. Belajar pula bisa berarti adaptasi terhadap lingkungan dan
interaksi seorang manusia dengan lingkungan tersebut.
Menurut UNESCO dalam , pembelajaran yang efektif pada abad ini harus
diorientasikan pada empat pilar yaitu, (1) learning to know, (2) learning to do, (3) learning to
be, dan (4) learning to live together. Keempatnya dapat diuraikan bahwa dalam proses
pendidikan melalui berbagai kegiatan pembelajaran peserta didik diarahkan untuk
memperoleh pengetahuan tentang sesuatu, menerapkan atau mengaplikasikan apa yang
diketahuinya tersebut guna menjadikan dirinya sebagai seseorang yang lebih baik dalam
kehidupan sosial bersama orang lain.
Untuk mencapai keempat pilar pembelajaran tersebut diperlukan suatu metode atau
pendekatan dalam proses belajar mengajar. Saat ini model pendekatan yang gencar
dilaksanakan adalah model pembelajaran yang berpusat kepada siswa (students center). Dua
di antara beberapa jenis pendekatan student center yang kerap diterapkan adalah pendekatan
konstruktivisme dan kontekstual.
Oleh karena itu, pada makalah ini penulis akan memaparkan mengenai pengertian
serta konsep pembelajaran konstruktivisme dan kontekstual, bagaimana karakteristik
pembelejaran konstruktivisme dan kontekstual, hingga apa saja kekurangan dan kelebihan
pembelajaran konstruktivisme dan kontekstual.
Berdasarkan latar belakang di atas maka muncul beberapa masalah yang akan dibahas dalam
makalah ini, meliputi:
1
3. Bagaimana asumsi pembelajaran kontruktivisme?
1.3 Tujuan
Menilik rumusan masalah yang telah tersusun, maka tujuan penyusunan makalah ini adalah:
2
BAB II
KAJIAN TEORI
A. PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISME
Menurut Dahar (1989) dalam Melyana, I. P., & Pujiati, A. (2015) Teori
Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan
mencipta atau membangun pengetahuan suatu makna dari apa yang dipelajari dan sesuai
dengan pengalamanya.
Teori Konstruktivisme menurut Piaget yaitu bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam
pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata yang
dimilikinya secara individual.
Menurut Mohammad (2004:4) dalam (Nurjana, N., 2017) prinsip utama dalam
pembelajaran konstrutivisme adalah:
1). Penekanan pada hakikat sosial dari pembelajaran, yaitu peserta didik belajar melalui
interaksi dengan guru atau teman,
3
2). Zona perkembangan terdekat, yaitu belajar konsep yang baik adalah jika konsep itu
berada dekat dengan peserta didik,
3). Pemagangan kognitif, yaitu peserta didik memperoleh ilmu secara bertahap dalam
berinteraksi dengan pakar, dan
4). Mediated learning, yaitu diberikan tugas komplek, sulit, dan realita kemudian baru diberi
bantuan.
1. Siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif, melainkan memiliki tujuan serta
dapat merespon situasi pembelajaran dengan membawa konsepsi awal sebelumnya.
2. Melibatkan proses aktif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan yang sering kali
melibatkan negosiasi interpersonal.
3. Pengetahuan bukan sesuatu yang datang dari luar melainkan dikonstruksi secara
personal dan sosial.
4. Seperti siswa, guru juga membawa konsepsi awal ke dalam situasi pembelajaran, baik
mengenai materi pelajaran, dan pandangan mereka tentang pembelajaran.
c. Asumsi Pembelejaran
4
mengetahui keunikan dan kompleksitas peserta didik saja tetapi juga mendorong,
menggunakan, dan menghargainya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari proses
belajar.
3) Tanggungjawab belajar.
4) Motivasi belajar.
Motivasi belajar peserta didik bergantung pada keyakinan peserta didik terhadap potensi
belajarnya. Keyakinan akan potensi peserta didik diperoleh dari pengalaman peserta
didik dalam menyelesaikan suatu permasalahan yang telah lalu. Dengan memiliki
pengalaman menyelesaikan tugas yang menantang, peserta didik memperoleh keyakinan
dan motivasi untuk menghadapi tantangan yang lebih kompleks lagi.
Belajar bukan suatu proses yang hanya didalam jiwa seseorang, atau bukan
perkembanagan perilaku yang bersifat pasif yang dibentuk oleh kekuatan eksternal
dan belajar yang bermakna itu terjadi apabila individu terlibat dalam kegiatan sosial.
5
Karakteristik peran fasilitator dalam sudur pandang konstruktivisme sosial
adalah bahwa pendidik dan peserta didik terlibat secara sama dalam kegiatan belajar
Apabila peserta didik harus menyajikan dan berlatih isi pelajaran baru dengan
teman sekelasnya, maka akan terbentuk pembuatan pengetahuan yang bersifat
kolektif, dan proses ini tidak bersifat linier, sebagaimana yang terjadi dalam proses
pembelajaran.
2) Pentingnya konteks
5. Asesmen
Asesmen dipandang sebagai proses dua jalan yang melibatkan interaksi antara
pendidik dan peserta didik, oleh karena itu asesmen dan belajar dipandang proses yang
berkaitan dan bukan sebagai proses yang terpiah.
6
4) Pembelajaran konstruktivistik memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba
gagasan baru agar siswa terdorong untuk memperoleh kepercayaan diri dengan
menggunakan berbagai konteks.
3) Situasi dan kondisi tiap sekolah tidak sama, karena tidak semua sekolah memiliki
sarana prasarana yang dapat membantu keaktifan dan kreativitas siswa.
7
B. PEMBELAJARAN KONSTEKTUAL
Pembelajaran kontekstual menurut Johnson (2002) dalam (Suprapto, E., 2015) yaitu
bahwa pembelajaran kontekstual adalah proses pendidikan yang mempunyai tujuan untuk
membantu siswa melihat makna didalam materi yang mereka pelajari dengan cara
mengaitkan materi dengan konteks kehidupan keseharian mereka.
Prinsip saling ketergantungan menuntun pada penciptaan hubungan bukan isolasi. Para
pendidik yang bertindak menurut prinsip ini akan mengadopsi praktik CTL dalam
menolong siswa membuat hubungan-hubungan untuk menemukan makna. Prinsip saling
ketergantungan menekankan pada kerjasama. Dengan bekerjasama siswa akan terbantu
untuk menemukan persoalan, memasang rencana, dan mencari pemecahan masalah
2. Prinsip diferensiasi
8
Prinsip pengaturan diri meminta para pendidik untuk mendorong setiap siswa untuk
mengeluarkan seluruh potensinya. Untuk menyesuaikan dengan prinsip ini, CTL
memiliki sasaran menolong para siswa mencapai keunggulan akademik, memperoleh
ketrampilan karier, dan mengembangkan karakter dengan cara menghubungkan tugas
sekolah dengan pengalaman serta pengetahuan pribadinya.
9
1. Konstruktivisme (Contructivism) merupakan landasan berpikir (filosofi) pendekatan
CTL, dimana siswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif
dalam proses belajar mengajar.
2. Menemukan (Inquiry). Pengetahuan dan ketrampilan yang diharapkan bukan hasil dari
mengingat melainkan hasil dari menemukan sendiri. Siklus inkuiri yaitu : observasi,
bertanya, mengajukan dugaan, pengumpulan data dan menyimpulkan.
4. Masyarakat Belajar (Learning Community). Hasil belajar diperoleh dari kerja sama
dengan orang lain, sharing dengan teman, maupun kelompok. Masyarakat belajar terjadi
apabila ada komunikasi dua arah.
5. Pemodelan (Modelling). Dalam sebuah pembelajaran ada model yang bisa ditiru, bisa
berupa cara mengoperasikan sesuatu, melafalkan ejaan dan sebagainya. Pendidik
memberi contoh cara bekerja sesuatu, secara sederhana, kegiatan itu disebut pemodelan.
6. Refleksi (Reflection) adalah cara berfikir tentang apa yang baru dipelajari atau berfikir ke
belakang tentang hal-hal yang telah dilakukan pada masa lalu. Refleksi merupakan
respon terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahuan yang baru diterima atau ditemukan.
1) Pembelajaran menjadi lebih bermakna dan riil. Artinya siswa dituntut untuk dapat
menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan
nyata. Hal ini sangat penting, sebab dengan dapat mengkorelasikan materi yang
ditemukan dengan kehidupan nyata, bukan saja bagi siswa materi itu akan berarti
secara fungsional, akan tetapi materi yang dipelajarinya akan tertanam erat dalam
memori siswa, sehingga tidak akan mudah dilupakan.
10
seorang siswa dituntun untuk menemukan pengetahuannya sendiri. Melalui
landasan filosofis konstruktivisme siswa diharapkan belajar melalui ”mengalami”
bukan ”menghafal”.
3) Siswa akan lebih percaya diri dalam mengungkapkan apa yang mereka lihat dan
apa yang mereka alami dalam kehidupan nyatanya.
5) Dengan pembelajaran yang seperti ini akan membuat siswa lebih mencintai
lingkungan dan menjaga kelestarian lingkungan yang ada di sekitarnya dan lebih
peka terhadap alam.
6) Siswa dapat berpikir kritis dan kreatif dalam mengumpulkan data, memahami suatu
isu, dan memecahkan masalah.
7) Terbentuk sikap kerja sama yang baik antar individu maupun kelompok
1) Kurang efisien karena membutuhkan waktu yang agak lama dalam proses belajar
mengajar.
2) Dalam proses pembelajaran dengan pendekatan kontekstual nampak jelas antara siswa
yang memiliki kemampuan tinggi dan siswa yang memiliki kemampuan kurang, yang
kemudian dapat menimbulkan rasa tidak percaya diri bagi siswa yang kurang
kemampuannya.
3) Bagi siswa yang tertinggal dalam proses pembelajaran kontekstual akan sulit untuk
mengejar ketertinggalan, karena dalam pembelajran ini kesuksesan siswa bergantung
dari keaktifan dan usaha sendiri.
4) Tidak semua siswa dapat dengan mudah menyesuaikan diri dan mengambangkan
kemampuan yang dimiliki dengan penggunaan pendekatan kontekstual.
5) Pengetahuan yang didapat oleh setiap siswa akan berbeda-beda dan tidak merata.
11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
12
DAFTAR PUSTAKA
Melyana, I. P., & Pujiati, A. (2015). Pengaruh Sikap dan Pengetahuan Kewirausahaan
terhadap Kesiapan Berwirausaha Melalui Self-Efficacy. Journal of Economic
Education, 4(1).
Dewi, S. K., Suarjana, I. M., & Sumantri, M. (2014). Penerapan model polya untuk
meningkatkan hasil belajar dalam memecahkan soal cerita matematika siswa kelas
V. MIMBAR PGSD Undiksha, 2(1).
13