Filsafat Komunikasi
(Paradigma Kontruktivisme)
“Disusun dalam rangka memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah Filsafat
Komunikasi dengan dosen pembimbing Ibu “Dr. Fitri Yanti, M.A”
DISUSUN OLEH :
Aida Desmayanti (2141010006)
Assalamualikum Wr.Wb
Puji syukur senantiasa selalu kita panjatkan kepada Allah SWT yang telah
memberikan limpahan Rahmat,Taufik dan hidayah-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan penyusunan makalah ini. Shalawat serta salam tak lupa kita curahkan
kepada Nabi Muhammad SAW yang telah menunjukan jalan kebaikan dan kebenaran
di dunia dan akhirat kepada umat manusia.
Makalah ini di susun guna memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Komunikasi dan juga
untuk khalayak ramai sebagai bahan penambah ilmu pengetahuan serta informasi yang
semoga bermanfaat.
Makalah ini kami susun dengan segala kemampuan kami dan semaksimal mungkin.
Namun, kami menyadiri bahwa dalam penyusunan makalah ini tentu tidaklah
sempurna dan masih banyak kesalahan serta kekurangan. Maka dari itu sebagai
penyusun makalah ini mohon kritik, saran dan pesan dari semua yang membaca
makalah ini terutama Dosen Mata Kuliah Filsafat Komunikasi yang saya harapkan
sebagai bahan koreksi untuk kami.
Wassalamualaikum Wr. Wb
Penyusun
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.3 Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui definisi paradigma kontruktivisme
2. Untuk mengetahui sejarah lahirnya paradigma kontruktivisme
3. Untuk mengetahui prinsip-prinsip paradigma kontruktivisme
4. Untuk mengetahui implikasi paradigma kontruktivisme
5. Untuk mengetahui tujuan paradigma kontruktivisme
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Paradigma Kontruktivisme
Paradigma adalah suatu cara pandang untuk memahami kompleksitas dunia
nyata. Paradigma tertanam kuat dalam sosialisasi para penganut dan praktisinya.
Paradigma menunjukkan pada mereka apa yang penting, absah, dan masuk akal.
Paradigma juga bersifat normatif, menunjukkan kepada praktisinya apa yang
harus dilakukan tanpa perlu melakukan pertimbangan eksistensial atau
epitemologis yang panjang.1
1
Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2003).
2
Meli Febriani, “IPS Dalam Pendekatan Kontruktivisme” 07 (2021).
3
Definisi Paradigma Kontruktivisme menurut para ahli :3
3
Hamzah, “Kontruktivisme Dan Implikasinya Dalam Pembelajaran” (n.d.).
4
Ibid.
4
1. Kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman.
2. Kemampuan membandingkan dan mengambil keputusan mengenai
persamaan dan perbedaan tentang suatu hal.
3. Kemampuan untuk lebih menyukai suatu pengalaman yang satu dari pada
yang lain (selective conscience)
5
Ibid.
5
realitas sosial. Konsep Konstruktivisme sejalan dengan konsep konstruksi realitas
sosial, konstruksionisme, construktivis sosial, construksionist sosial. Dalam hal
ini bisa disebut sebagai konsep konstruksi sosial (social construction). Berger dan
Luckmann menjelaskan bahwa konstruksi sosial/realitas terjadi secara stimulan
melalui tiga tahapan, yaitu tahap eksternalisasi, objektivasi, dan terakhir tahap
internalisasi. Paradigma konstruktivisme oleh Peter L.Berger dan Luckmann
kemudian dikenal dengan teori konstruksi realitas sosial atau teori dialektika.6
Mereka menjelaskan bahwa proses sosial didapatkan melalui aksi dan interaksi
yang diciptakan oleh individu secara terus menerus sehingga menghasilkan suatu
realitas yang dimiliki dan dialami secara perorangan. Pendapat lain oleh Goffman
lebih menganggap konsep kostruksi sosial atas realitas itu sederhana. Ia
berpendapat bahwa setiap orang secara terus menerus dapat mengubah definisi
dalam melambangkan sesuatu baik tindakan maupun tentang individu lain ketika
kita bergerak melewati ruang dan waktu. Setiap orang memiliki beragam
perlambangan hanya saja terkadang kita tidak menyadarinya. Setiap orang dapat
berpindah dari satu realitas pengalaman ke realitas lainnya tanpa menyadari
bahwa kita telah melewati batasnya. Oleh karena itu ia menganggap bahwa setiap
orang tidak memiliki stok kemampuan pengetahuan yang dikontrol oleh institusi
sebagaimana yang diyakini oleh para ahli konstruksionisme sosial. Goffman
menyatakan bahwa pengalaman seorang individu terhadap realitas tergantung
pada kemampuannya dalam mengartikan kondisi di kehidupan sehari-hari.
6
dan Indrya Mulyaningsih Ummi, Hikmah Uswatun, “Penerapan Teori Konstruktivistik Pada
Pembelajaran,” Indonesian Language Education and Literature 1 (2016).
6
sendiri. Subjek mengkonstruksi realitas sosial kemudian mengkonstruksinya
dalam dunia realitasnya. Setelah itu menyempurnakan realitas tersebut
berdasarkan subjektifitas individu lain dalam lingkup sosialnya. Pengetahuan
juga merupakan konstruksi dari seseorang yang memahami suatu hal yang tidak
dipahami oleh individu yang pasif. Sehingga pemahaman tersebut tidak dapat
ditransfer. Konstruksi harus dilakukan sendiri oleh individu tersebut berdasar
pengetahuannya, sedangkan lingkungan adalah sarana terjadinya konstruksi itu.
Pengetahuan dalam pandangan realism hipotesis merupakan sebuah hipotesis
dari struktur realitas yang mendekati dan menuju pada pengetahuan realitas yang
haqiqi. Construktivism dilihat sebagai sebuah kerja kognitif individu dalam
menafsirkan dunia realitas yang ada.
7
Dr. Mohammad Muchlis Solichin, Paradigma Konstruktivisme Dalam Belajar Dan Pembelajaran,
ed. M. Pd Dr. H. Ali Nurhadi (Duta Media Publishing, 2021).
7
2. Seseorang yang melakukan aktivitas belajar dapat mendapatkan
solusi/penyelesaian dari berbagai konflik denan berbagai gagasan dan
konsep lain (cognitive conflict). Penyelesaian berbagai konflik tersebut di
dapat dari berbagai pengalaman, melakukan refleksi dan metacognitif.
3. Belajar adalah merupakan aktivitas pencarian/penemuan makna, yang
didapati dari berbagai upaya mengkonstruk beberapa gagasan dan
melakukan berbagai langkah eksploratif, yang dengannya seorang siswa
dapat memperkuat pemahamannnya terhadap konsep/gagasan yang
diterimanya.
4. Pembentukan/konstruksi pengetahuan tidak sematasemata
perorangan/individual, tetapi merupakan suatu konstruksi sosial melalui
hubungan interaksional dengan guru, orang tua, teman sebaya dan
masyarakat sekitanya. Dengan interaksi sosial itulah siswa melakukan
interpretasi terhadap informasi yang diterimanya.
5. Belajar adalah upaya konseptualisasi. Dalam melakukan aktivitas belajar
seorang tidak mempelajari suatu fakta yang bersifat abstrak, tetapi selalu
berkaitan dengan pengetahuan dan pemahaman yang sebelumnya.
6. Belajar dilakukan dengan secara menyeluruh dan mendalam dalam
mengkonstruksi pengetahuan seseorang. Manusia melakukan pemaknaan
melalui konstrusi tersebut. Pemaknaan sanagat penting bagi manusia untuk
mendapatkan pemahaman yang utuh dan menyuluruh terhadap materi
pembelajaraan.
7. Mengembagngkan pengetahuan yang telah dimiliki siswa melalui upaya
menyelaraskan ide-ide/gagasan baru dengan ide/gagasan/konsep yang telah
dipelajari sebelumnya, dengan cara yang unik berdasarkan kemampuan
dasar yang dimilikinya
8
2.4 Implikasi Paradigma Kontruktivisme
1. Makna Belajar dan Mengajar8
Berdasarkan prinsip dasar konstruktivisme bahwa pengetahuan dibentuk
sendiri oleh pelajar, maka belajar menurut kaum konstruktivis merupakan
proses aktif pelajar dalam mengkonstruksi makna. Belajar juga diartikan
sebagai proses mengasimilasikan dan menghubungkan pengalaman atau bahan
yang sudah dipelajari sebelumnya sehingga pengertiannya bisa dikembangkan.
Proses tersebut bercirikan:
a) belajar berarti membentuk makna,
b) belajar bukanlah kegiatan mengumpulkan fakta melainkan lebih suatu
pengembangan pemikiran dengan membuat pemikiran yang baru,
c) proses belajar yang sebenarnya adalah pada saat terjadi tidak
keseimbangan.
Sedangkan makna mengajar bagi kaum konstruktivis bukanlah kegiatan
memindahkan pengetahuan dari guru ke pelajar, melainkan suatu kegiatan yang
membuat pelajar menjadi belajar dan memungkinkan ia membangun sendiri
pengetahuannya. Mengajar berarti partisipasi pelajar dalam membangun sendiri
pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, bersikap kritis, dan
mengadakan justifikasi. Jadi, mengajar adalah suatu kegiatan yang
membelajarkan pelajar secara mandiri untuk membentuk pengetahuannya.
Dalam proses mengajar, kegiatan mencari tahu, mencari solusi, membentuk
sendiri dan menentukan sendiri secara mandiri oleh pelajar sangat dipentingkan
dalam konstruktivisme.
2. Peran Pelajar dan Mengajar
Berdasarkan pengertian belajar yang merupakan proses aktif pelajar dalam
mengkonstruksi makna dan membangun sendiri pengetahuannya, maka peran
pelajar tentunya menjadi sentral dalam proses pembelajaran (student centered
8
Hamzah, “Kontruktivisme Dan Implikasinya Dalam Pembelajaran.”
9
learning). Pelajar sendiri yang aktif membangun pengetahuannya, membentuk
pengertian dan konsep dari pengetahuan lama menjadi sebuah pengetahuan
baru dengan bimbingan seorang guru dalam membantu belajar untuk
mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Bahkan konstruktivisme
menyebutkan bahwa pelajar sendirilah yang bertanggung jawab atas hasil
belajarnya. Oleh karenanya pembelajaran dalam konstruktivisme lebih
mengedepankan strategi pembelajaran yang berpusat pada pelajar.
Sedangkan peran pengajar dalam konstruktivisme tidak lebih dari sebagai
fasilitator dan mediator yang membantu agar proses belajar pelajar berjalan
dengan baik dan mampu mengkostruksi pengetahuannya sendiri. Maka tugas
pengajar dalam proses pembelajaran adalah
a) menjadi mitra yang aktif bertanya,
b) merangsang pemikiran pelajar,
c) menciptakan persoala,
d) membiarkan murid mengungkapkan gagasan dan konsepnya,
e) kritis menguji konsep murid,
f) menghargai dan menerima pemikiran pelajar apapun adanya,
g) menguasai bahan atau materi ajar secara luas dan mendalam,
h) memonitor, mengevaluasi dan menunjukkan apakah pemikiran si
pelajar jalan atau tidak.
3. Strategi Belajar dan Mengajar
Strategi belajar maupun mengajar dalam konstruktivisme secara baku tidak
ada, akan tetapi strategi apa saja bisa digunakan yang penting sesuai dengan
asumsi dan prinsip belajar konstruktivisme. Maka berdasarkan asumsi dan
prinsip kontruktivisme yang disebutkan bahwa pengetahuan dibentuk oleh
pelajar sendiri secara aktif dan terus menerus baik secara individual maupun
sosial maka strategi belajar yang bisa digunakan oleh pelajar adalah strategi
yang menyebabkan dirinya belajar aktif, belajar mandiri, belajar memecahkan
permasalahan dan mengkonstruksi pengetahuan baik secara individu maupun
10
kelompok. Di antara strategi belajar yang bisa digunakan adalah strategi belajar
mandiri, cooperative learning strategy, discovery learning strategy, active
learning strategy, generative learning strategy, cognitive learning strategy, top-
down strategy dan mediated learning/scaffolding learning strategy.
Dan untuk strategi mengajar yang bisa digunakan adalah tentunya strategi
yang berpusat pada pelajar, antara lain strategi belajar mandiri, cooperative
learning strategy, discovery learning strategy, active learning strategy,
generative learning strategy, cognitive learning strategy, top-down strategy dan
mediated learning/scaffolding learning strategy.
4. Evaluasi Pembelajaran
Evaluasi belajar terhadap pelajar dalam konstruktivisme berlangsung secara
terus menerus, mulai dari awal sampai akhir. Evaluasi belajar konstruktivisme
tidak tergantung pada evaluasi akhir dan produk, melainkan juga evaluasi
proses yang dilakukan oleh pelajar mulai dari keaktifannya sampai hasilnya.
Diantara yang dianggap penting untuk diperhatikan oleh pengajar juga
adalah memonitor dan menunjukkan kepada pelajar apakah pemikirannya jalan
atau tidak. Karena termasuk yang ditekankan dalam konstruktivisme adalah
bagaimana caranya pelajar bisa memiliki kemampuan berpikir yang baik dalam
memecahkan sebuah permasalahan dan membangun makna, pengertian,
konsep dan pengetahuannya secara aktif dan mandiri lewat skemata yang
diadopsi.
Berpikir yang baik dan benar dalam proses belajar konstruktivisme lebih
diutamakan dari pada hanya menemukan jawaban yang benar, karena memiliki
jawaban yang benar belum tentu bisa menyelesaikan masalah baru bila
diperhadapkan dengan situasi yang berbeda. Sedangkan yang mempunyai
pikiran yang baik dan benar maka ia akan bisa menyelesaikan permasalahan
11
lain diluar dirinya. Dengan kata lain, evaluasi yang ditekankan dalam
konstruktivisme adalah evaluasi proses, bukan hasil akhir.9
9
Ibid.
12
sangat dibutuhkan dalam poses belajar tersebut adalah kesiapan manusia
dalam melakukan pencarian dan penemuan data.
6. Mengaktifkan seseorang dalam proses penerimaaan informasi yang sesuai
dengan pengetahuan yang dimilikinya sehingga dapat memudahkan
melakukan transformasi pengetahuan.10
10
Dr. Mohammad Muchlis Solichin, No Title, ed. M. Pd Dr. H. Ali Nurhadi (Duta Media Publishing,
2021).
13
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pergeseran paradigma pembelajaran pada masa ini dari behaviorisme ke
konstruktivisme membawa dampak yang sangat signifikan, dari pembelajaran
yang bersifat teacher center learning menjadi student center learning. Sehingga
pelajar berperan aktif membangun sendiri pengetahuannya lewat skemata yang
sudah di adaptasi, sedangkan peran pengajar menjadi tidak lebih sebagai mitra
pelajar, fasilitator dan mediator yang membantu agar proses belajarnya berjalan
dengan baik. Dan adapun strategi yang bisa dipergunakan tentunya yang berpusat
pada pelajar. Teori belajar konstruktivisme menjadi teori belajar kontemporer
yang patut dipertimbangkan sebagai jalan alternatif dalam memberikan solusi
pembelajaran yang aktif, efektif dan kreatif.
Jadi teori konstruktivisme adalah suatu proses pembelajaran yang
mengkondisikan seseorang untuk melakukan proses aktif membangun konsep
baru, pengertian baru, dan pengetahuan baru berdasarkan data. Oleh karena itu
proses pembelajaran harus dirancang dan dikelola sedemikian rupa sehingga
mampu mendorong seseorang untuk mengorganisasi pengalamannya sendiri
menjadi pengetahuan yang bermakna. Teori ini mencerminkan manusia memiliki
kebebasan berpikir yang bersifat eklektik, artinya seseorang dapat memanfaatkan
teknik belajar apapun asal tujuan belajar dapat tercapai.
14
DAFTAR PUSTAKA
Solichin, Dr. Mohammad Muchlis. No Title. Edited by M. Pd Dr. H. Ali Nurhadi. Duta
Media Publishing, 2021.
15