Disusun Oleh:
Kelompok VI
Amelia (19.23.021539)
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan hidayah-
Nya sehingga makalah ini dapat diselesaikan pada waktunya. Tak lupa shalawat dan salam
kami haturkan kapada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW, Nabi yang telah membawa
manusia dari alam kegelapan menuju alam yang terang benderang ini.
Kami mengharapkan kemaklumannya jika dalam penulisan makalah ini masih terdapat
kekurangan dari segi cara penulisan, tata bahasa maupun dari isi mutu penulisan. Oleh karena
itu dengan segala kerendahan hati yang paling dalam penulis harapkan saran dan kritikan
yang sifatnya membangun demi kelengkapan dan kesempurnaan makalah ini. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Tim Penulis
i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Didalam UUD 1945 dinyatakan bahwa tujuan kita membentuk Negara Kesatuan Republik
Indonesia diantaranya adalah untuk mencerdasakan kehidupan bangsa, bangsa yang cerdas
adalah bangsa yang dapat bangkit didalam menghadapi berbagai kesulitan. Tujuan
Pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Pendidikan memiliki peran yang sangat penting dalam keseluruhan hidup manusia.
Pendidikan berintikan interaksi antar manusia, terutama antara pendidik dan terdidik demi
mencapai tujuan pendidikan. Dalam interaksi tersebut terlibat isi yang diinteraksikan serta
proses bagaimana interaksi tersebut berlangsung. Apakah yang menjadi tujuan pendidikan,
siapakah pendidik dan terdidik, apa isi pendidikan dan bagaimana proses interaksi pendidikan
tersebut, merupakan pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan jawaban yang mendasar,
yang esensial, yakni jawaban-jawaban filosofis.
1
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam pandangan konstruktivisme, belajar adalah kegiatan aktif dimana peserta didik
membangun sendiri pengetahuannya. Peserta didik mencari sendiri makna yang
dipelajari. Hal ini merupakan proses menyesuaikan konsep dan ide-ide baru dengan
kerangka berpikir yang telah ada dalam pikiran siswa. Siswa harus punya pengalaman
dengan membuat hipotesis, memecahkan persoalan, mencari jawaban, menggambarkan,
mengadakan refleksi, mengungkapkan pertanyaan, mengekspresikan gagasan, dan lain-
lain untuk membentuk konstruktif yang baru. Belajar, menurut teori belajar
konstruktivistik bukanlah sekedar menghafal, akan tetapi proses mengkonstruksi
pengetahuan melalui pengalaman. Pengetahuan bukanlah hasil “pemberian” dari orang
lain seperti guru, akan tetapi hasil dari proses mengkonstruksi yang dilakukan setiap
individu. Pengetahuan hasil dari “pemberian” tidak akan bermakna.
2
kontruktivisme jenis ini yang menekankan bahwa pribadi (subjek) sendirilah yang
mengkontruksikan pengetahuan.
2. Kontruktivisme Sosiologis yang lebih menekankan masyarakat sebagai
pembentuk pengetahuan.
3. Sosiokulturalisme yang mengakui baik peranan aktif personal maupun masyarakat
dan lingkungan dalam pembentukan pengetahuan. Sosiokulturalisme inilah yang
mulai banyak diterima dalam pendidikan sains dan matematika.
B. Filosofi Pendidikan Kontruktivisme
Di alam semesta, bukan hanya realitas fisik atau hanya realitas non fisik yang ada,
realitas yang bersifat fisik dan non fisik tampak dalam pluralitas fenomena alam semesta
sebagai isi, nilai, norma atau hukum didalamnya. Alam tersebut adalah tempat dan sarana
bagi manusia dalam rangka hidup dan kehidupannya, dalam rangka melaksanakan tugas
3
hidup untuk mencapai tujuan hidupnya. Dibalik itu, terdapat alam akhir yang abadi
dimana setelah mati manusia akan dimintai pertanggung jawaban dan menerima imbalan
atas pelaksanaan tugas dari Tuhan YME. Dalam uraian diatas tersurat dan tersirat makna
adanya realitas yang besifat abadi dan realitas yang bersifat fana.
B. Pandangan Epistemologi
4
empiris, penghayatan, dan intuisi. Kebenaran pengetahuan ada yang bersifat mutlak
(seperti dalam pengetahuan keagamaan atau revealed knowledge yang diimani), tetapi
ada pula yang besifat relative (seperti dalam pengetahuan ilmiah sebagai hasil upaya
manusia melalui riset, dan sebagainya).
5
sebagai suatu persoalan yang perlu dipecahkan oleh para siswa untuk lebih
mengerti (Paul Suparno:1997).
4. Metode
Setiap pelajar mempunyai caranya sendiri untuk mengerti, karena itu mereka
perlu menemukan cara belajar yang tepat untuk dirinya masing-masing. Dalam
konteks ini maka tidak ada satu metode mengajar yang tepat, satu metode
mengajarcsaja tidak akan banyak membantu pelajar belajar, sehingga pengajar
sangat mungkin untuk mempertimbangkan dan menggunakan berbagai metode
yang membantu pelajar belajar. Selain itu, mengingat pengetahuan dibentuk baik
secara individual maupun sosial, maka kelompok belajar dapat dikembangkan
(Paul Suparno:1997).
5. Peranan guru dan peserta didik
Dalam kegiatan mengajar guru hendaknya berperan sebagai mediator dan
fasilitator yang membantu agar proses belajar peserta didik berjalan dengan bai.
Menurut Tobin, dkk.,(1994) “bagi siswa, guru berfungsi sebagai mediator,
pemandu, dan sekaligus teman belajar (Paul Suparno, 1977). Dalam artian ini,
guru dan peserta didik atau pelajar lebih sebagai mitra yang bersama-sama
membangun pengetahuan. Adapun peserta didik dituntut aktif belajar dalam
rangka mengontruksi pengetahuannya, dank arena itu peserta didik sendirilah
yang harus bertanggung jawab atas hasil belajarnya.
Menurut Suparno ada sejumlah implikasi yang relevan terhadap proses pembelajaran
berdasarkan pemikiran konstruktivisme personal dan sosial. Implikasi itu antara lain sebagai
berikut:
1. Implikasinya dalam proses pembelajaran adalah bahwa pendidik tidak dapat secara
langsung memberikan informasi, melainkan proses belajar hanya akan terjadi bila
peserta didik berhadapan langsung dengan realitas atau objek tertentu. Pengetahuan
diperoleh oleh peserta didik atas dasar proses transformasi struktur kognitif tersebut.
Dengan demikian tugas pendidik dalam proses pembelajaran adalah menyediakan
objek pengetahuan secara konkret, mengajukan pertanyaan-pertanyaan sesuai dengan
pengalaman peserta didik atau memberikan pengalaman-pengalaman hidup konkret
(nilai-nilai, tingkah laku, sikap, dll) untuk dijadikan objek pemaknaan.
6
2. Kaum konstruktivis berpendapat bahwa pengetahuan dibentuk dalam diri individu atas
dasar struktur kognitif yang telah dimilikinya, hal ini berimplikasi pada proses belajar
yang menekankan aktivitas personal peserta didik. Agar proses belajar dapat berjalan
lancar maka pendidik dituntut untuk mengenali secara cermat tingkat perkembangan
kognitif peserta didik. Atas dasar pemahamannya pendidik merancang pengalaman
belajar yang dapat merangsang struktur kognitif anak untuk berpikir, berinteraksi
membentuk pengetahuan yang baru.
3. Terkait dengan kedua hal di atas, maka dalam proses pembelajaran seorang pendidik
harus menciptakan pengalaman yang autentik dan alami secara sosial kultural untuk
para peserta didiknya. Materi pembelajaran sungguh harus kontekstual, relevan dan
diambil dari pengalaman sosio budaya setempat.
4. Pendidik dalam proses pembelajaran harus mendorong terjadinya kegiatan kognitif
tingkat tinggi seperti mengklasifikasi, menganalisis, menginterpretasikan,
memprediksi dan menyimpulkan, dll.
Pancasila adalah dasar Negara Republik Indonesia. Pancasila yang dimaksud adalah
Pancasila yang rumusannya termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu : “Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil
dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam Permusyawaratan atau Perwakilan, Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Karena Pancasila adalah dasar Negara Indonesia, implikasinya maka Pancasila juga adalah
dasar pendidikan nasional. Berkenaan dengan ini Pasal 2 Undang-Undang RI No.20 Tahun
2003 Tentang “Sistem Pendidikan Nasional” menyatakan bahwa: “ Pendidikan nasional
adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 “.
Sehubungan dengan hal diatas dan karena Pancasila adalah filsafat hidup bangsa
Indonesia, maka pada hakikatnya bangsa Indonesia memiliki landasan filosofis pendidikan
tersendiri dalam system pendidikan nasionalnya, yaitu filsafat pendidikan yang berdasarkan
Pancasila. Sebab itu, kita perlu mengkaji nilai-nilai Pancasila untuk dijadikan titik tolak
dalam rangka praktek pendidikan maupun studi pendidikan. Barang kali muncul pertanyaan
di benak kita jika demikian halnya, untuk apa kita mempelajari landasan filosofis pendidikan
dari berbagai aliran (seperti: Idealisme, Konstruktivisme, Pragmatisme, dan sebagainya).
7
Sebagaimana telah dipelajari melalui bab-bab terdahulu, berbagai landasan filosofis
pendidikan tersebut tetap perlu kita kaji dengan tujuan untuk memahaminya, untuk kita pilah
dan kita pilih gagasan-gagasannya yang positif yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai
Pancasila, untuk diambil hikmahnya dalam rangka mengembangkan dan memperkaya
kebudayaan (pendidikan) kita. Hal ini memilki landasan yudiris yang kuat sebagaimana
tertuang dalam Pasal 32 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pancasila sebagai konsep filsafat memiliki nilai-nilai luhur yang menjiwai kehidupan
bangsa Indonesia, karena didalamnya mengandung muatan-muatan filosofis yang dapat dikaji
dan diyakini kebenarannya.
Tujuan hidup bangsa Indonesia adalah hidup kemanusiaan yang memiliki ciri-ciri nilai
luhur pancasila. Ciri-ciri kemanusiaan yang terlihat dari pancasila adalah ;
A. Integral
Kemanusiaan yang diajarkan pancasila adalah kemanusiaan yang mengakui manusia
seutuhnya, hakekat ini merupakan hakekat manusia sebagai subyek didik.
B. Etis
Pancasila mengandung nilai-nilai moral yang menjadi pedoman tindakan dalam setiap
bidang kehidupan. Jadi, pendidikan harus selasar dengan nilai-nilai pancasila.
C. Religius
8
Pancasila mengakui Tuhan sebagai Maha Pencipta dan sumber eksistensi. Filsafat
pancasila mengimplikasikan bahwa kegiatan pendidikan harus menumbuh kembangkan
nilai-nilai moral dari 5 sila pancasila pada diri subjek didik melalui berbagai kegiatan.
9
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Karena Pancasila adalah dasar Negara Indonesia, implikasinya maka Pancasila juga
adalah dasar pendidikan nasional. Berkenaan dengan ini Pasal 2 Undang-Undang RI No.20
Tahun 2003 Tentang “Sistem Pendidikan Nasional” menyatakan bahwa: “ Pendidikan
nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 “. Sehubungan dengan hal diatas dan karena Pancasila
adalah filsafat hidup bangsa Indonesia, maka pada hakikatnya bangsa Indonesia memiliki
landasan filosofis pendidikan tersendiri dalam system pendidikan nasionalnya, yaitu filsafat
pendidikan yang berdasarkan Pancasila. Sebab itu, kita perlu mengkaji nilai-nilai Pancasila
untuk dijadikan titik tolak dalam rangka praktek pendidikan maupun studi pendidikan.
3.2 Saran
Kami sebagai penulis dan penyusun, menyadari bahwa makalah ini banyak sekali
kesalahan dan sangat jauh dari kesempurnaan. Tentunya, penulis akan terus memperbaiki
makalah dengan mengacu pada sumber yang dapat di pertanggungjawabkan nantinya. Oleh
karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran tentang pembahasan makalah
diatas.
10
DAFTAR PUSTAKA
11